Anda di halaman 1dari 63

Makalah Presentasi Kasus

SIROSIS HEPATIS

Disusun
Oleh :
Firda
Fakhrena

1112103000006
Mariah Ulfah 1111103000074

Pembimbing :
dr. Anggraini PS, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan


hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam
senantiasa kami junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, semoga rahmat
dan hidayahnya selalu tercurah kepada kita selaku umatnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF Ilmu
Penyakit Dalam khususnya kepada dr. Anggraini PS, Sp.PD atas bimbingannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Sebagai manusia kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang
menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.

Jakarta, Juni 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh, dengan suplai darah yang
berasal dari dua sumber yaitu arteri hepatik dan vena porta. Hepar memiliki
banyak fungsi, diantaranya adalah sintesis portein, regulasi glukosa dan lipid,
dan produksi bilirubin. Fungsi-fungsi hepar akan terganggu jika berkembang
menjadi sirosis. Sirosis hepatis secara patologi adalah perubahan struktur
mikroskopis dari arsitektur lobular hepar menjadi fibrosis dan nodular. Penyakit
hati kronis, termasuk sirosis, menjadi 12 penyakit yang menyebabkan kematian
di Amerika Serikat. Alkoholik dan hepatitis C kronik dapat menyebabkan
sirosis, dan sirosis adalah penyebab tersering dari hipertensi portal.
Penyebab munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia masyoritas akibat hepatitis B dan C. Sirosis
hepatis diketahui disebabkan adanya peranan sel stelata dalam mengatur
keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi, dan
lama kelamaan sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen.
Sampai saat ini belum ada bukti bahwa penyakit sirosis hepatis bersifat
reversibel, tetapi dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini diharapkan
dapat memperpanjang status kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah
timbulnya komplikasi. Terapi sisrosis sendiri ditujukan untuk mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. Identitas pasien
Tanggal masuk : 08/05/2016
No. RM : 00264190
Nama : Tn. FP
Tempat / Tgl lahir : Jakarta/22-02-1981
Umur : 35 th 3 bl
Agama : Islam
Alamat : Pondok Kelapa TL.8655588 Jl. H. bara pangkalan jati
Limo
Pendidikan : Tamat SLTP
Pekerjaan : lain-lain
Status perkawinan : Kawin
Jaminan : JKN

II. Anamnesis

Keluhan utama :
Muntah kehitaman sejak 2 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :


Sejak 5 tahun SMRS, pasien memiliki riwayat sakit kuning, pasien berobat
ke puskesmas namun pasien tidak ingat obat-obat yang diminum dan berapa lama
pasien mengkonsumsinya.
Sejak 4 hari SMRS, pasien mengeluh demam hilang timbul, demam
muncul tidak dipengaruhi oleh waktu, pasien belum minum obat sebelumnya,
demam belum pernah diukur menggunakan termometer, demam tidak disertai
menggigil, di keluarga tidak ada yang mengalami hal yang sama, tidak ada
riwayat kontak dengan air kotor, tidak ada nyeri di belakang mata, tidak ada nyeri
perut, tidak ada nyeri sendi dan otot. Pasien juga mengeluhkan perut terasa
kembung, begah dan membesar namun tidak ada nyeri pada perut dan tidak ada
sesak.
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh muntah berwarna kehitaman
sebanyak 1 gelas belimbing setiap kali muntah,, muntah berisi makanan dan
cairan serta darah lebih dari 5 kali sehari. Pasien mengeluhkan mual sebelum
ingin muntah. Pasien muntah setiap kali makan dan minum. Pasien juga mengeluh
BAB kehitaman 3 kali dalam sehari, BAB lunak sejak 2 hari SMRS. Pasien tidak
pernah mengkonsumsi obat penghilang anti nyeri, sakit maag disangkal, minum
jamu-jamuan disangkal. Pasien juga mengeluhkan BAK seperti teh sejak 1 hari
SMRS, nyeri saat BAK disangkal. Tidak ada gangguan tidur saat ini.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat sakit kuning sejak 5 tahun SMRS, Riwayat diabetes melitus
disangkal, Riwayat hipertensi disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal,
riwayat alergi disangkal,

Riwayat penyakit keluarga :


Keluhan yang sama dengan pasien disangkal, DM disangkal, Hipertensi
disangkal, penyakit jantung disangkal,

Riwayat sosial ekonomi :


Pasien sudah menikah, memiliki 1 orang istri dan 2 orang anak. Kebiasaan
merokok (+) sejak ± 10 tahun yang lalu, 2 bungkus per hari, riwayat minum
alkohol (+) sejak SMA, sebanyak ± 1 botol tiap minggu dan sudah berhenti sejak
3 tahun SMRS. Riwayat transfusi di sangkal oleh pasien, riwayat menggunakan
obat-obatan dengan jarum suntik diakui oleh pasien namun tidak menyebutkan
kapan dan berapa banyak, riwayat ganti-ganti pasangan disangkal.

III. Pemeriksaan fisik


BB : 75 Kg
TB : 175 cm
Kesadaran : Compos mentis
KU : Tampak sakit sedang
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 105 x/ menit
Nafas : 19 x/ menit
Suhu : 36.9 C
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP (5 – 1) cmH2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-),
Spider naevy (-)
Paru : I : Pergerakan napas simetris, tidak ada pelebaran sela iga
P : vocal fremitus simetris di kedua lapang paru
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula sinistra
P : Batas jantung kanan ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kiri ICS 5 mid clavicula sinistra, Pinggang jantung di ICS 2 (tidak
ada pelebaran pinggang jantung)
A : BJ I dan II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : I : Tampak buncit, supel, spider nevi (-)
P : Nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai,
lingkar perut 90 cm
P : Shifting dullness (+)
A : BU (+) normal 4x/menit
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT < 3 detik, Palmar erithem (-)
Kulit : Ikterik (-)
Ascites

IV. Planning
 Diagnostik

Laboratorium :
Darah Perifer Lengkap, PT/APTT, cholinesterase, SGOT/SGPT, bilirubin total,
direct, indirect, albumin, globulin, ureum, creatinin, GDS, Elektrolit, IgM IgG
anti-dengue, HbsAg, Anti HCV, Anti HAV, IgM, UL.
Feses darah samar.
Pemeriksaan EGD dan USG
 Terapeutik
Dekstrosa 10% 1000cc/24 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vit K 3x10 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 3x2 gr IV
Paracetamol 3x500 mg PO
Sukralfat 3x CI PO
Lactulac 3x CI PO

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
28/05/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT 103 U/l 0 – 34
SGPT 57 U/l 0-40
Ureum darah 24 mg/dl 20-40
Creatinin darah 0,5 mg/dl 0,6-1,5
Gula Darah Sewaktu 234 mg/dl 70-140
Natrium 135 mmol/l 135-147
Kalium 3,97 mmol/l 3,1-5,1
Clorida 113 mmol/l 95-108

29/05/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 7.1 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 21 33-45 %
Leukosit 7.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 97 150-440 ribu/UL
Eritrosit 1.97 3,80-5.20 juta/UL
VER 104.5 80-100 fl
HER 36.0 26-34 pg
KHER 34.4 32-36 g/dl
RDW 21.2 11.5-14.5 %
APTT 30.2 26,3-40,3 detik
Kontrol APTT 30.7
PT 17.0 11,5-14,5 detik
Kontrol PT 13.6
INR 1.32
Fungsi Hati
Protein total 4.20 6,00-8,00 g/dl
Albumin 2.40 3,40-4,80 g/dl
Globulin 1.80 2,50-3,00 g/dl
bilirubin total 2.20 0,10-1,00 mg/dl
bilirubin direk 1.30 <0,20 mg/dl
bilirubin indirek 0.90 <0,60 mg/dl
Anti Dengue IgG negatif Negative
Anti Dengue IgM negatif Negative
Sero-Imunologi
Hepatitis
HbsAg Non reaktif Non Reaktif
Anti HCV Reaktif Non Reaktif
Anti HAV IgM Non reaktif

30/05/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 7.7 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 23 33-45 %
Leukosit 8.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 70 150-440 ribu/UL
Eritrosit 2.19 3,80-5.20 juta/UL
VER 104.2 80-100 fl
HER 35.4 26-34 pg
KHER 33.9 32-36 g/dl
RDW 22.5 11.5-14.5 %
Hitung Jenis
Basophil 0 0-1
Eusinofil 3 1-3
Netrofil 64 50-70
Limfost 21 20-40
Monosit 9 2-8
Luc 3 <4.5

Sero-Imunologi
Hepatitis
HbsAg Non reaktif Non Reaktif
Anti HCV Reaktif Non Reaktif
Anti HAV IgM Non reaktif

01/06/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 9.0 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 28 33-45 %
Leukosit 5.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 74 150-440 ribu/UL
Eritrosit 2.85 3,80-5.20 juta/UL
VER 97.6 80-100 fl
HER 31.5 26-34 pg
KHER 32.3 32-36 g/dl
RDW 22.3 11.5-14.5 %
Pemeriksaan USG
( 01/06/2016) :

Kesan : sirosis
hepatis dengan
splenomegaly dan
ascites

Pemeriksaan
Endoskopi
(02 juni 2016)
Kesimpulan : Varises esofagus potensial berdarah
Gastropati hipertensi portal

1.5 Resume

Anamnesis
Tn.F, laki-laki, 35 tahun, datang dengan hematemesis
kehitaman sejak 2 hari SMRS, riwayat ikterik (+) 5 tahun SMRS,
demam (+) sejak 4 hari SMRS, riwayat minum alcohol (+),
penggunaan narkoba jarum suntik (+). Pemeriksaan fisik : Mata:
konjungtiva anemis, ascites (+). Pemeriksaan Laboratorium :
Anemia makrositik hiperkrom, peningkatan enzim transaminase,
hipoalbumin. hiperbilirubin, anti HCV reaktif

VI. Daftar Masalah

1. Hematemesis melena
2. Anemia
3. Spontaneous Bacterial Peritonitis
4. Hiperglikemia
5. Sirosis Hepatis
6. Hepatitis C

VI. Pengkajian Masalah

1. Hematemesis Melena

Atas dasar :
Anamnesis : Pasien mempunyai riwayat muntah dan BAB kehitaman.
Riwayat sakit kuning (+), konsumsi alcohol (+), penggunaan
jarum suntik (+)

Pemeriksaan Fisik : rectal tousche: darah (-), CA anemis, ascites (+)


Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : bisitopeni, peningkatan enzim transaminase, anti
HCV (+)
Pemeriksaan USG : Sirosis hepatis dengan ascites dan splenomegaly
Pemeriksaan EGD : Varises esofagus potensial berdarah
Gastropati hipertensi portal

Dipikirkan :
Hematemesis melena et causa Pecah Varises Esofagus dd PVO non
sirotik

Rencana Diagnosis : -

Rencana Terapi :
Resusitasi Awal : Airway : pastikan tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : Pasang Saturasi oksigen, RR, bunyi
napas tambahan
Circulation : periksa nadi, TD, pasang akses IV
Farmakologi :
Puasakan, NGT alirkan
IVFD Dextrosa 10 % 1000cc/24 jam
Octreotide 50 Цg IV bolus
Cefotaxim 3x2 gr IV
Lactulosa 3x1 CI
Vit K 3x10 mg IV
Transamin 3x500 mg IV
Nonfarmakologi : Endoscopic band ligation

Rencana Edukasi : Edukasi mengenai hematemesis melena


Edukasi mengenai pencegahan primer dan sekunder

2. Anemia

Atas dasar :
Anamnesis : muntah darah kehitaman
PF : CA anemis
Lab : Hb 7.1 gr/dL

Dipikirkan : Anemia makrositik dd/ perdarahan dd/ mixed


Rencana Diagnosis : Gambaran darah tepi, asam folat, B12

Rencana Terapi : Transfusi PRC 900 cc, target Hb 10gr/Dl


Setelah 750 cc berikan Ca glukonas 375 mg IV
(5mg/kgBB)
3. Spontaneous Bacterial Infection

Atas dasar :
Anamnesis : Demam, perdarahan saluran cerna
Pemeriksaan Fisik : nyeri tekan epigastrium (-)
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : Leukositosis (-)
USG : ascites (+)

Dipikirkan :
Spontaneous Bacterial Peritonitis dd/ other viral infection

Rencana diagnosis :
Pungsi ascites diagnostic
Rencana Terapi :
Cefotaxim 3x2 gr IV

4. Hiperglikemia reaktif

Atas dasar :
Anamnesis : Riwayat diabetes mellitus (-), demam (+)
Pemeriksaan fisik : (-)
Laboratorium : GDS 234

Dipikirkan :
Hiperglikemia reaktif dd/ DM tipe 2

Rencana diagnostik :
GDP, GD2PP. HbA1c

Rencana Terapi : (-)


5. Sirosis hepatis

Atas dasar :
Anamnesis :Riwayat sakit kuning (+), muntah darah
kehitaman, BAB hitam. Perut membuncit
dan terasa begah, gangguan tidur (-)
Pemeriksaan Fisik : ascites (+)
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : bisitopenia, peningkatan enzim
transaminase, hiperbilirubin (2.2), hipoalbumin (2.40),
INR (1.3)
USG : Sirosis hepatis dengan ascites dan
splenomegali
Dipikirkan :
Sirosis hepatis Sirosis hepatis child-Turcotte-Pugh Scoring System B

Rencana diagnostik : (-)


Rencana Terapi : (-)

6. Hepatitis C Kronik
Atas dasar :
Anamnesis :Riwayat sakit kuning (+)
Pemeriksaan Fisik :-
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : Anti HCV (+)
Dipikirkan :
Hepatitis C Kronik

Rencana diagnostik : (-)


Rencana Terapi : (-)
VII. ANALISA KASUS

Tn. F, laki-laki, 35 tahun mengalami hematemesis kehitaman dan


melena yang disebabkan oleh adanya perdarahan pada saluran cerna
bagian atas. Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dibagi dalam dua
penyebab yaitu PVO dan non-PVO. Perdarahan saluran cerna karena non
PVO yang paling sering terjadi adalah karena terdapatnya ulkus pada
lambung (50%), gastritis (15%), erosif esophagitis (10%) namun hal
tersebut dapat disingkirkan dengan tidak terdapatnya riwayat penggunaan
obat-obat anti nyeri, riwayat sakit maag disangkal, dari pemeriksaan fisik
tidak didapatkannya nyeri tekan pada epigastrium dan dari pemeriksaan
gold standart dengan EGD tidak didapatkan erosi maupun ulkus pada
lambung namun didapatkan varises esofagus potensial berdarah dan
gastropati hipertensi portal.
Perdarahan varises esofagus atau lambung pada pasien ini
disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat sirosis
hepatis. Perdarahan varises esofagus harus ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan EGD.
Tatalaksana pada pasien ini yang diutamakan adalah airway-
breathing-circulation (ABC).
Airway : pastikan tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : Pasang Saturasi oksigen, RR, bunyi napas tambahan,
oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing
perlu ETT
Circulation : periksa nadi, TD, pemasangan iv-line minimal 2 dengan
jarum (kateter) besar minimal no 18 (penting untuk
transfusi), monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2,
keadaan lain sesuai komorbid

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien diberikan terapi :


a. Transfusi PRC 900 cc dengan perhitungan sbb :
Kebutuhan transfusi : ∆Hb x BB x 4cc
∆Hb x 75 x 4cc = 900 cc untuk target Hb 10 gr/dL
b. Puasakan, NGT alirkan
Pemasangan NGT bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi dan
memantau perdarahan
c. IVFD Dextrosa 10 %/ 12 jam
Pemberian IVFD NaCl tidak disarankan karena dapat memperburuk
retensi cairan dan garam pada pasien sirosis hepatis dengan ascites.
d. Octreotide 50 Цg IV bolus
Menurunkan aliran darah splanknik. Dosis pemberian awal dengan
bolus 50 mcg IV, lanjut per infus 50 mcg/jam selama 12–24 jam atau
sampai perdarahan berhenti.
e. Cefotaxim 3x2 gr IV
Sebagai antibiotik profilaksis
f. Lactulosa 3x1 CI
Lactulosa menyebabkan asam di lumen meningkat sehingga terjadi
hambatan absorbsi amonia sehingga dapat mencegah terjadinya
ensefalopati hepatikum
g. Vit K 3x10 mg IV
Terjadi penurunan faktor koagulasi yang membutuhkan vitamin K yaitu
faktor II, VI, IX, dan X
h. Asam Traneksamat 3x500 mg IV
Asam traneksamat berfungsi untuk membantu mengatasi perdarahan
akibat fibrinolisis yang berlebihan. Asam traneksamat merupakan
competitive inhibitor dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin.
Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor
pembekuan darah lain.

i. Calsium Glukonas 5mg/kgBB (375 mg) IV


Kalium dalam darah yang disimpan dalam 21 hari dapat meningkat setinggi
23 mEq/L. Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia sampai fibrilasi
ventrikel/ cardiac arrest. Maksud pemberian kalsium ini adalah karena
kalsium merupakan antagonis terhadap hiperkalemia.
2. Anemia
Anemia pada pasien ini disebabkan oleh perdarahan varises esofagus
yang menyebabkan hematemesis dan melena. Anemia pada sirosis hepatis juga
disebabkan oleh supresi sumsum tulang, splenomegali, Fe dan/atau defisiensi
asam folat. Trombositopeni yang terjadi disebabkan karena splenomegali dan
penurunan Tpo oleh hati. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan
transfusi PRC 900 cc dengan perhitungan sbb :
Kebutuhan transfusi : ∆Hb x BB x 4cc
∆Hb x 75 x 4cc = 900 cc untuk target Hb 10 gr/dL
Setelah pemberian 750cc maka diberikan Ca Glukonas 375 mg IV sebagai
antagonis hiperkalemia yang terjadi pada pemberian transfusi

3. Spontaneous Bacterial Peritonitis


Pada pasien ini telah terjadi komplikasi sirosis hepatis berupa ascites.
Sekitar 10-30% pasien sirosis hepatis dengan ascites dapat mengalami peritonitis
bakterialis spontan karena migrasi bakteri lumen usus ke nodus limfe mesenterika
dan lokasi lainnya. Migrasi tersebut disebabkan oleh sistem imunitas lokal yang
menurun, salah satunya karena migrasi sel kupfer hati mengikuti aliran
portosistemik. Dari hasil anamnesis didapatkan demam sejak 4 hari SMRS yang
mendukung ke arah terjadinya komplikasi SBP. Namun dari pemeriksaan fisik
tidak didapatkan nyeri tekan pada epigastrium dan dari laboratorium tidak
didapatkan leukositosis. Maka dari itu diberikan cefotaxim 3x2 gr IV sebagai
antibiotik profilaksis pada pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut.

4. Hiperglikemia reaktif
Pada pasien ini didapatkan gula darah sewaktu 234 mg/dL. Untuk
membedakan apakah ini merupakan DM tipe 2 atau hanya hiperglikemia reaktif
adalah dengan berpedoman kembali pada kriteria diagnostik DM yaitu
terdapatnya gejala klasik DM + GDS ≧200 mg/dL, Gejala klasik DM + GDP
≧126 mg/dL, GD2PP ≧200mg/dL atau HbA1c ≧6,5%.
Pada pasien ini tidak didapatkan riwayat diabetes melitus sebelumnya,
gejala klasik DM seperti poliuri, polifagi, polidipsi dan penurunan BB tanpa sebab
yang jelas tidak ditemukan pada pasien. Untuk memastikan maka
dipertimbangkan untuk pemeriksaan GDP, GD2PP dan HbA1c pada pasien.
Hiperglikemia reaktif biasa terjadi pada pasien dengan stress kerusakan jaringan
sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Hiperglikemia reaktif biasa
terjadi pada hari pertama, kadar tertinggi pada hari kedua, terjadi penurunan pada
hari ketiga, dan hari ke 4,5 kadar glukosa darah akan stabil kembali. Oleh karena
itu, tidak diperlukan tatalaksana hiperglikemia pada pasien ini.

5. Sirosis hepatis child-Turcotte-Pugh Scoring System B

Sirosis hepatis pada pasien ini disebabkan oleh hepatitis C kronis yang
diderita oleh pasien. Hepatitis C kronis yang diderita pasien dapat menyebabkan
jejas dan reaksi inflamasi yang akan mengakibatkan aktivasi dari sel Stealata
sehingga sel Stealata berproliferasi, memproduksi matriks ekstraseluler (kolagen
tipe I dan III, prteoglikan sulfat, dan glikoprotein), serta menjadi sel miofibroblas
yang mampu berkontraksi. Hal tersebutlah yang mendasari sirosis hepatis pada
pasien ini. Sirosis hepatis Child Pugh Score B didapatkan dari penilaian
ensefalopati, asites, bilirubin, albumin, dan waktu protombin. Pada pasien tidak
terdapat ensefalopati dan asites. Sedangkan nilai albumin (2.4 g/dl), nilai bilirubin
total (2,2 mg/dl) dan waktu protombin (17 detik) serta INR (1,32). Berdasarkan
nilai-niai tersebut didapatkan nilai 8, sehingga pada pasien ini dikategorikan
Sirosis Hepatis Chid Pugh B dengan angka kesintasan 1 tahun pertama = 80%;.
Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah hematemesis dan melena karena
pecah varises esofagus, splenomegali ,ascites, bisitopenia, hipoalbumin, dan
gangguan hemostasis. Tatalaksana pada pasien ini adalah tatalaksana sirosis
dekompensata yang bertujuan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan
mengembalikan ke kondisi kompensata. Tatalaksana yang diberikan diet hati
untuk memenuhi kebutuhan gizi dan diharapkan dapat memperbaiki hipoalbumin.
Untuk riwayat hematemesis dan melena karena varises esofagus dilakukan EGD
untuk mendeteksi dan memantau varises esofagus. Dipertimbangkan untuk
transfusi apabila kadar Hb <7 g/dL atau >7 g/dL seperti tatalaksana pemberian
transfusi di point sebelumnya.
Untuk asites dilakukan diet rendah garam, 5,2 gr atau 90 mmol/hari,
diberikan diuretik dengan pemberian spironolakton dengan dosis 50-200 mg
1x/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. jika
pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 L dilindungi dengan pemberian albumin.

6. Hepatitis C kronik
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis hepatitis C kronik berdasarkan
anamnesis yang menyatakan pasien memang memiliki riwayat sakit kuning. Pada
pemeriksaan Anti HCV (reaktif), HbsAg (non reaktif), Anti HAV (non reaktif).
Hepatitis C kronis umumnya asimtomatis, dapat juga berupa gejala tidak
spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada hepatitis C kronis terjadinya
peningkatan transaminase serum menandakan terjadinya kerusakan hati secara
progresif. Meski kerusakan juga dapat terjadi pada kadar ALT normal. Laju
progressive fibrosis pada hati diperkirakan sekitar 0,1-0,3 U/tahun pada pasien
yang tidak diobati. Komplikasi lebih lanjut menjadi sirosis hati. Pemeriksaan lebih
lanjut untuk membuktikan hepatitis c dengan cara:
1. Penanda serologi hepatitis C ( metode ELISA atau CLIA). Apabila anti –
VHC positif, maka dinyatakan terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan RNA VHC. Namun, hasil anti HCV bisa negatif palsu pada kondisi
HIV, hemodialisa, atau imunosupresan. Untuk itu, pasien tersebut perlu diperiksa
RNA HCV.
2. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT,AST, GGT, alkalin fosfatase, bilirubin,
globulin, serta pemeriksaan darah perifer lengkap dan waktu protrombin.
3. USG dan biopsy hati. Menilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada
kasus infeksi kronis dan sirosis hati.
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain, bila diperlukan,
termasuk kemungkinan ko-infeksi hepatitis B dan/atau HIV.
Pada pasien ini tidak diberikan terapi untuk hepatitis C kroniknya karena
sudah terjadi sirosis hepatis. Pemberian terapi interferon dapat memperburuk
bisitopenia karena interferon memiliki efek samping depresi sumsum tulang.
Ribavirin juga dapat menyebabkan penurunan Hb yang pada akhirnya dapat
memperburuk kondisi anemia pada pasien ini.

VII. Follow up

01 Juni 2016
S : Muntah darah (-), BAB hitam (-), nyeri perut (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/90, N : 80 x/mnt, P : 16 x/mnt, suhu : 36.5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-), lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)
A : 1. Riwayat hematemesis melena ec. Susp. PVO
2. Sirosis hepatis dengan susp. PVO ascites
3. Anemia post transfuse ec. GI bleeding
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam
Aminofluid 500 cc/24 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vit K 3x10 mg IV
Ondansentron 3x8 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 2x1gr IV
Paracetamol 3x500 mg PO
Sukralfat 3x CI PO
Lactulac 3x CI PO

Transfusi PRC target Hb >10g/Dl


Diet luak 1500 kkal

2 Juni 2016
S : Muntah darah (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/70, N : 72x/menit x/mnt, P : 18 x/mnt, suhu : 36,4 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)

A : 1. Riwayat hematemesis melena ec suspect pecah varises esofagus


2. sirosis hepatis CPB, dengan suspect PVO, ascites
3. Anemia post transfuse ec GI bleeding
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 12 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vitamin K 3x10 mg IV
Sukralfat 3x CI PO
Ondansentron 3x8 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 2x1 gr IV
Lactulax 3x CI PO

Diet lunak 1500 kkal

3 Juni 2016
S : Muntah darah (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/70, N : 90x/menit x/mnt, P : 18 x/mnt, suhu : 36,5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)

A : 1. Riwayat hematemesis melena ec suspect pecah varises esofagus


2. sirosis hepatis, dengan suspect PVO, ascites
3. Anemia post transfuse ec GI bleeding
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 12 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vitamin K 3x10 mg IV
Sukralfat 3x CI PO
Ondansentron 3x8 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 2x1 gr IV
Lactulax 3x CI PO
Propranolol 3x10 mg PO

Diet lunak 1500 kkal


Ligasi per rawat jalan
5 Juni 2016
S : Muntah darah (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/80, N : 76x/menit x/mnt, P : 18 x/mnt, suhu : 36,5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-),
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi (-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)
A : 1. Riwayat hematemesis melena ec suspect pecah varises esofagus
2. sirosis hepatis, dengan varises esophagus grade II-III, ascites
3. Anemia post transfusi ec GI bleeding
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 12 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vitamin K 3x10 mg IV
Sukralfat 3x CI PO
Ondansentron 3x8 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 2x1 gr IV
Lactulax 3x CI PO
Propranolol 3x10 mg PO

Diet lunak 1500 kkal


Ligasi tanggal 7/6/16

6 Juni 2016
S : Muntah darah (-) BAB hitam (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/90, N : 75x/menit x/mnt, P : 16 x/mnt, suhu : 36,5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)

A : 1. Riwayat hematemesis melena ec suspect pecah varises esofagus


2. sirosis hepatis, dengan varises esophagus grade II-III, ascites
3. Anemia post transfusi ec GI bleeding
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 12 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vitamin K 3x10 mg IV
Sukralfat 3x CI PO
Ondansentron 3x8 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 2x1 gr IV
Lactulax 3x CI PO
Propranolol 3x10 mg PO
Spironolakton 1x50 mg PO

Diet lunak 1500 kkal


Ligasi tanggal 7/6/16

BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 SIROSIS HEPATIS

Sirosis merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang ditandai


dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan nodul
degeneratif( benjolan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah proses regenerasi
jaringan yang rusak) akibat nekrosis hepatoseluler, yang mengakibatkaan
penurunan hingga hilangnya fungsi hati.

3.1.1 Epidemiologi
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar
ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker). Di seluruh dunia, sirosis menempati urutan ke
tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit ini.
Lebih dari 40 % pasien sirosis asimtomatis. Keseluruhan insidensi
sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya
sebagian besar akibat penyakit hati alkaholik maupun infeksi virus kronik.
Di Indonesia, data prevalensi sirosis hari belum ada, hanya laporan dari
beberapa pusat pendidikan saja. Di RS DR. Sardjito Yogyakarta jumlah
pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawwat di Bagian
Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam
kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4 %)
pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki
jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1, dengan umur rata-
rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya
sekitar 40 – 49 tahun.

3.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi sirosis dikelompokkan berdasarkan morfologi,
secara fungsional danetiologinya. Berdasarkan morfologi, Sherlock
membagi sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :

1. Mikronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam


septa parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata di seluruh
lobus. Pada sirosis mikronodular, besar nodulnya tidak melebihi 3 mm.
Tipe ini biasanya disebabkan alkohol atau penyakit saluran empedu.
Gambar 2.1 Sirosis hepatis mikronodular

2. Makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan


bervariasi, mengandung nodul yang bearnya juga bervariasi ada nosul
besar di dalamnya, ada daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau
terjadi regenerasi parenkim. Tipe ini biasanya tampak pada perkembangan
hepatitis seperti infeksi virus hepatitis B.

Gambar 2.2 Sirosis hepatis makronodular

3. Campuran (yang memperlihatkan mikro dan makronoduler)


Sedangkan secara fungsional, sirosis hepatis dibagi menjadi
kompensata dan dekompensata.
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan sirosis hati laten atau dini. Pada
stadium kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata.
Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.
2. Sirosis hati dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya
gejala-gejala sudah jelas, misalnya ascites, edema dan ikterus.

3.1.3 Etiologi

1. Alcoholic liver disease


Sirosis alkoholik terjadi pada sekitar 10-20% peminum
alkohol berat. Alkohol tampaknya melukai hati dengan
menghalangi metabolisme normal protein, lemak,dan karbohidrat.
2. Hepatitis C kronis
Infeksi virus hepatitis C menyebabkan peradangan dan kerusakan
hati yang selama beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis.
Dapat didagnosis dengan tes serologi yang mendeteksi antibodi
hepatitis C atau RNA virus.
3. Hepatitis B kronis
Virus hepatitis B menyebabkan peradangan dan kerusakan hati yang
selama beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Hepatitis D
tergantung pada kehadiran hepatitis B, tetapi mempercepat sirosis
melalui ko-infeksi Hepatitis B kronis dapat didiagnosis dengan
deteksi HbsAg >6 bulan setelah infeksi awal. HbeAg dan HBV DNA
bermanfaat untuk menilai apakah pasien perlu terapi antiviral.
4. Non-alcoholic steatohepatitis(NASH)
Pada NASH, terjadi penumpukan lemak dan akhirnya menjadi
penyebaba jaringan parut di hati. Hepatitis jenis ini dihbungkan
dengan diabetes, kekurangan protein, gizi obesitas, penyakit arteri
koroner, dan pengobatan dengan obat kortikosteroid. Penyakit ini
mirip dengan penyakit hati alkoholik tetapi pasien tidak memiliki
riwayat alkohol. Biopsi diperlukan untuk diagnosis.
5. Sirosis bilier primer 
Mungkin tanpa gejala atau hanya mengeluh kelelahan, pruritus, dan
nonikterik hiperpigmentasi dengan hepatomegali. Umumnya disertai
elevasi alkali fosfatase serta peningkatan kolesterol dan bilirubin.
Hal ini lebih umum pada perempuan.
6. Kolangitis sklerosis primer 
PSC adalah gangguan kolestasis progresif dengan gejala pruritus,
steatorrhea, kekurangan vitamin larut lemak, dan penyakit tulang
metabolik.
7. Autoimmune hepatitis
Penyakit ini disebabkan oleh gangguan imunologis pada hati yang
menyebabkan inflamasi dan akinya jaringan parut dan sirosis.
Temuan yang umum didapatkan, yaitu peningkatan globulin dalam
serum, terutama globulin gamma.
8. Sirosis jantung
Karena gagal jantung kronis sis kanan yang mengarah pada
kemasetan hati.
9. Penyakit keturunan dan metabolik, antara lain:
a) Defisiensi alpha1-antitripsin
Merupakan gangguan autosomal resesif. Pasien juga mungkin
memiliki PPOK, terutama jika mereka memiliki riwayat
merokok tembakau. Serum AAT selalu rendah.
b) Hemakhomatosis herediter
Biasanya hadir dengan riwayat keluarga sirosis,
hiperpigmentasi kulit, diabeetes meliitus, pseudogout, dan atau
kardiomiopati, semua karena tanda-tanda overload besi. Labor
akan menunjukkan saturasi transferin puasa >60% dan ferritin
> 300 ng/mL.
c) Penyakit Wilson
Kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan cerloplasmin
serum rendah dan peningkatan kadar tembaga pada biopsi hati.
d) Penyakit simpana glikogen tipe IV
e) Tirosinemia herediter
f) Galaktosemia
g) Intoleransi fruktosa herediter 
10. Infeksi parasit yang berat seperti skistosomiasis.

3.1.4 Patogenesis

Sirosis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis),


sesuia etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan
tersebut masih sepenuhnya reversibel.
Ciri patologis dari sirosis adalah pengembangan jaringan parut
yang menggantikan parenkim normal, memblokir aliran darah portal
melaui organ dan mengganggu fungsi normal. Penelitian terbaru
menunjukkan peran penting sel stellata, tipe sel yang beasanya menyimpan
vitamin A. Dalam pengembangan sirosis, kerusakan pada parenkim hati
menyebabkan aktivasi sel stellata, yang menjadi kontraktil (myofibroblast)
dan menghalangi aliran darah sirkulasi. Sel ini mengeluarkan TGF-β1,
yang mengarah pada respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat.
Selain itu, juga mengganggu keseimbangan antara matriks
metalloproteinase dann inhibitor alami (TIMP 1 dan 2),
menyebabkan kerusakan matriks.
Pita jaringan ikat (septa) memisahkan nodul-nodul hepatosis yang
pada akhirnya menggantikan arsitektur seluruh hati yang berujung pada
penurunan alirah darah di seluruh hati. Limpa menjadi terbendung,
mengarah ke hypersplenism dan peningkatan sekuestrasi platelet.
Hipertensi porta bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi parah
sirosis.

3.1.5 Manifestasi Klinis

Stadium awal sirosis sering terjadi tanpa gejala sehingga kadang


ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perassan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung,mual, berat badan menurun, padalaki-laki dapat itmbul
impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, serta menurunnya
dorongan seksualitas.
Manifestasi klinis dari sirosis hati yang lanjut terjadi akibat dua
tipe gangguan fisiologis; kegagalan parenkim hati dan hipertensi porta.
Kegagalan parenkim hati memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Ikterus
2. Asites
3. Edema perifer
4. Kecenderungan perdarahan
5. Eritema palmaris
6. Spider nevi
7. Fetor hepatikum
8. Ensefalopati hepatikum
Sedangkan gambaran klinis yang berkaitan dengan hipertensi
portal antara lain:
1. Varises esofagus dan lambung
2. Splenomegali
3. Perubahan sumsum tulang
4. Caput medusa
5. Asites
6. Collateral vein hemorrhoid
7. Kelainan sel darah tepi (anemia, leukopenia, dan trombositopeni)

3.1.6 Diagnosis

Pada saat ini, penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas


pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan
peeriksaan biopsi hati atau peritoneskopi karena sulit membedakan
hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.
a) Temuan klinis pada pemeriksaan fisik
Hati: perkiraan besar hati, biasnya hati membesar pada awal sirosis,
bila hati mengecil artinya prognosis kurang baik. Pada sirosis hati,
konsistensi hati biasanya kenyal/firm, pinggir hati biasanya tumpul dan
ada nyeri tekan pada peraban hati.
1. Limpa: pembesaran limpa/splenomegali
2. Perut &ekstra abdomen: pada perut diperhatikan vena kolateral dan
asites.
3. Manifestasi di luar perut: perhatikan adana spider navy pada tubuh
bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medusae, dan tubuh
bagian bawah. Perlu diperhatikan adanya eritema palmaris,
ginekomastia, dan atrofi testis pada pria. Bisa juga dijumpai
hemoroid.

b) Laboratorium
1. Aminotransferase: AST dan ALT meningkat cukup tinggi, dengan
AST>ALT. Namun, aminotransferase normal tidak meningkirkan
sirosis
2. Fsfatase alkali: biasanya sedikit lebih tinggi.
3. GGT: berkorelasi dengan tingkat AP. Bbiasanya jauh lebih tinggi
pada penyakit hati kronis karena alkohol.
4. Bilirubin: dapat meningkat sebagai tanda sirosis sedang
berlangsung
5. Albumin: rendah akibat dari menurunnya fungsi sintesis oleh hati
dengan sirosis yang semakin memburuk.
6. Waktu protombin; meningkat sejak hati mensintesis faktor
pembekuan.
7. Globulin; meningkat kaena shunting antigen bakteri jauh dari hari
ke jaringan limfoid.
8. Serum natrium: hiponatremia karena ketiakmampuan untuk
mengeluarkan air bebas akibat dari tinggainya ADH dan
aldosteron.
9. Trombositopenia; karena splenomegali kongestif dan menurunnya
sintesis thrombopoeitin dari hati. Namun, ini jarang menyebabkan
platelet < 50.000/mL.
10. Leukopenia dan neutropenia; karena splenomegali dan marginasi
limpa.
11. Defek koagulasi; hati memproduksi sebagian besar faktor-faktor
koagulasi dan dengandemikian koagulopati berkorelasi dengan
memburuknya penyakit hati.
c) Pemeriksaan penunjang lainnya
1. Radiologi: dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises
essofagus untuk konfirmasi hipertensi porta.
2. Esofagoskopi; dapat afidilihat varises esofagus sebagai komplikasi
sirosis hati/hipertensi porta.
3. Ultrasonografi: pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan
sebagai alt pemeriksaan rutin pada penyakit hati. Yang dilihat
pinggir hati, pembesaran, prmukaan, homogenitas, asites,
splenomegali, gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran
saluran empedu/HBD, daerah hipo atau iperekoik atau adamya
SOL (space occupying lession. Sonografi bisa mendukung
diagnosis sirosis hati terutama stadium sekompensata,
hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan
saluran empedu, dan lain-lain.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan caoran asites
dengan melakukan pungsi asites. Bila dijumpai tanda-tanda infeksi
(peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan, dan eksudat,
dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan, dan
pemeriksaan kadar protein, amilase dan lipase.

3.1.7 Komplikasi

Morbiditas dan mortalitas sirosis sangat tinggi akibat


komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan
pencegahan dan penanganan komplikasinya.
 Asites adalah akumulasi cairan yang banyak di rongga peritoneal,
biasa terjadi pada pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik
lainnya. Akumulasi cairan asites menggambarkan kadar sodium dan
keluaran cairan. Terdapat tiga teori yang menjelaskan asites, yang
pertama adalah teori “Underfilling” dikatakan adanya abnormalitas
pada pembuluh splanknik karena adanya hipertensi porta
mengakibatkan menurunnya aliran pembuluh darah. Karena
“underfilling”, ginjal mendeteksi adanya penurunan sirkulasi dan
menimbulkan respon dengan retensi garam dan cairan. Teori
“overflow” mengatakan bahwa masalah utama karena retensi cairan
dan garam yang berlebihan karena hilangnya deplesi volume. Teori
yang ketiga adalah hipotesis vasodilatasi arteri perifer, dan
bersambung dari teori-teori sebelumnya. Retensi sodium akibat
underfilling dan peningkatan permeabilitas vaskular karena
vasodilatasi arteri perifer menyebabkan perpindahan cairan menuju
interstisial.

Gambar 2.3 Faktor-faktor yang menimbulkan ascites

 Splenomegali kongestif biasa terjadi pada hipertensi porta. Namun,


splenomegali dari penyakit nonhepatik dapat menyebabkan hipertensi
porta akibat meningkatnya aliran darah menuju vena splenikus.
 Peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abominal. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen.
 Sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oiguri
peningkatan ureum dan kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
 Varises esofagus 20-40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah
yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi,
sebanyak dua pertiganya akan meninggal dalam waktu 1 tahun
walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan
beberapa cara.
 Ensefalopati hepatik, merupakan kelaianan neuropsikiatrik akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan
hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma.

Tabel 2.1 Stadium Ensefalopati hepatikum


 Sindrom hepatopulmonal, terdapat hidrothoraks dan hipertensi
portpumonal.

3.1.8 Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Tetapi
ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan bahan
yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penangan
komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang
mengandung protein 1 gr/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.2
Tatalaksana pasien sirosis kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien
ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya;

Alkohol  dan  bahan-bahan  lain  yang  toksik  dan  dapat  mencederai
hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan
obat herbalbisa menghambat kolagenik.

Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.

Pada  hemokromatosis  flebotomi  setiap  minggu  sampai  konsentrasi
besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat badan akan
mencegah terjadinya sirosis.

Pada hepatitis B, IFN alfa, dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utam. Lamivudin sebagai terpai lini pertama
diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama 1 tahun. Namun
pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD
sehingga terjadi resistensi obat. IFN alfa diberikan secara suntuikan
subkutan 3 mIU,3 kali seminggu selama 4-6 bulan.

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan 5 mIU
3 kali seminggu dan dikombinasi dengan ribavirin 800-1000 mg/hari
selama 6 bulan.2

Tatalaksana pasien sirosis dekompensata



Asites:
o Tirah baring
o Diet rendah garam, 5,2 gr atau 90 mmol/hari
o Diuretik, aalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis
50-200 mg 1x/hari. Respon diuretik bila dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki
atau 1 kh/hari dengan adanya edema kaki. Bilaamana
pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi
dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa
hingga 4-6 L dilindungi dengan pemberian albumin.

Ensefalopati hepatik
o Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.
o Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus
penghasil amonia, diet rendah protein dikurangi sampai 0,5 gr/
kgBB/ hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai
cabang.

Varises esofagus
o Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat
penyekat beta (propanolol)
o Waktu perdarahn akut bisa diberikan preparat somatostatin atau
okkteotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi.

Peritonitis bakterialis spontan
o Diberikan antibiotika seperti sefotaksim IV, amoksisilin, atau
aminoglikosida.

Sindrom hepatorenal
o Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur
keseimbangan garam dan air.

Transplantasi hati; terapi defenitif pada pasien sirosis dekompensata.
Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang
harus dipenuhi resepien dahulu.2

3.1.9 Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai.2
Klasifikasi Child-Pugh juga digunakan untuk menilai prognosis
pasien sirosis yangakan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati dan
juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Chil A, B dan C.
KlasifikasiChild-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk pasien Child A, B dan C
berturut-turut 100, 80, dan 45%.2

Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan fungsi hati

Derajat kerusakan Mininal Sedang Berat

Bilirubin serum (mu.mol/dl) < 35 35-50 >50

Albumin serum (gr/dl) >35 30-35 <30

Asites Nihil Mudah dikontrol Sukar

PSE/ensefalopati Nihil Minimal Berat/koma

Nutrisi Sempurna Baik Kurang/kurus

Tabel 2.2. Di unduh dari: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K
Marcellus S, Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas
indonesia.2006. hal. 446
Kategori 1 2 3

Ensefalopati 0 I/II III/IV


Asites Tidak ada Ringan- Berat
sedang

Bilirubin < 34 34-51 >51


(μmol/L)

Albumin (g/L) >35 28-35 <28


PT 1-3 s 4-6 s >6 s

Tabel 2.3. Diunduh dari: Longo Dan L, Kasper L Dennis, Jameson J


Larry, et al. Chronic Hepatitis B. Harrison’s Principles of Internal
Medicines. 18th edition:US;2012.
Child-Pugh kelas A jika skor 6 atau kurang, kelas B jika skor 7-9 dan
kelas C jika skor 10-l5

3.2 HEMATEMESIS & MELENA


3.2.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan
yang berasal dari dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal)
ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan
esophagus. Hal tersebut mengakibatkan muntah darah (hematemesis) dan
berak darah berwarna hitam seperti aspal (melena).
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa
dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau
berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan
berbentuk seperti butiran kopi. Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket
dan hitam seperti aspal (ter) dengan bau khas, yang menunjukkan
perdarahan saluran cerna atas serta dicernanya darah pada usus halus.
3.2.2 Etiologi
1. Kelainan di esophagus
a. Pecahnya varises esophagus
Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan
masif, kehilangan darah gastrointestinal kronik jarang
ditemukan. Perdarahan varises esofagus atau lambung
biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi
sekunder akibat sirosis hepatis. Meskipun sirosis alkoholik
merupakan penyebab varises esofagus yang paling prevalen di
Amerika Serikat, setiap keadaan yang menimbulkan hipertensi
portal dapat mengakibatkan perdarahan varises. Lebih lanjut,
kendati adanya varises berarti adanya hipertensi portal yang
sudah berlangsung lama, penyakit hepatitis akut atau infiltrasi
lemak yang hebat pada hepar kadang-kadang menimbulkan
varises yang akan menghilang begitu abnormalitas hepar
disembuhkan. Meskipun perdarahan SMBA pada pasien
sirosis umumnya berasal dari varises sebagai sumber
perdarahan, kurang lebih separuh dari pasien ini dapat
mengalami perdarahan yang berasal dari ulkus peptikum atau
gastropati hipertensi portal. Keadaan yang disebut terakhir ini
terjadi akibat penggembungan vena-vena mukosa lambung.
Sebagai konsekuensinya, sangat penting menentukan
penyebab perdarahan agar penanganan yang tepat dapat
dikerjakan.
Angka kejadian pecahnya varises esophagus yang
menyebabkan perdarahan cukup tinggi yaitu 54,8%. Sifat
perdarahan hematemesisnya mendadak dan masif, tanpa
didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna kehitaman dan
tidak akan membeku karena sudah tercampur asam lambung.
Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena.
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan
keluhan melena daripada hematemesis. Pada panendoskopi
jelas terlihat gambaran karsinoma yang hampir menutup
esophagus dan mudah berdarah terletak di sepertiga bawah
esophagus.
c. Sindrom Mallory-Weiss
Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi
(vomitus tanpa darah). Muntah hebat mengakibatkan ruptur
mukosa dan submukosa daerah kardia atau esophagus bawah
sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi aktif disertai
ulserasi, maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat
terlalu sering muntah sehingga tekanan intraabdominal naik
menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esophagus/
kardia. Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul
setelah pasien berulangkali muntah hebat, lalu disusul rasa
nyeri di epigastrium. Misalnya pada hiperemesis gravidarum.
d. Esofagogastritis korosiva
Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang
muntah darah setelah tidak sengaja meminum air keras untuk
patri. Air keras tersebut mengandung asam sitrat dan asam
HCl yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esophagus dan
lambung. Penderita juga mengeluh nyeri dan panas seperti
terbakar di mulut, dada dan epigastrium.
e. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering
bersifat intermiten atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih
sering timbul melena daripada hemetemesis. Tukak esophagus
jarang menimbulkan perdarahan jika dibandingkan dengan
tukak lambung dan duodenum.
2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erosiva hemoragika
Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang
mengiritasi mukosa lambung atau obat yang merangsang
timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat
golongan salisilat seperti Aspirin, Ibuprofen, obat bintang
tujuh dan lainnya. Obat-obatan lain yang juga dapat
menimbulkan hematemesis yaitu : golongan kortikosteroid,
butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain. Golongan
obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas.
Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua
penyebab perdarahan saluran cerna atas. Pada endoskopi
tampak erosi di angulus, antrum yang multipel, sebagian
tampak bekas perdarahan atau masih terlihat perdarahan aktif
di tempat erosi. Di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak
terlihat varises di esophagus dan fundus lambung. Sifat
hematemesis tidak masif dan timbul setelah berulang kali
minum obat-obatan tersebut, disertai nyeri dan pedih di ulu
hati.
b. Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan
terutama di angulus dan prepilorus bila dibandingkan dengan
tukak duodeni. Tukak lambung akut biasanya bersifat dangkal
dan multipel yang dapat digolongkan sebagai erosi.
Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien
mengeluh nyeri dan pedih di ulu hati selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun. Sesaat sebelum hematemesis rasa nyeri
dan pedih dirasakan bertambah hebat, namun setelah muntah
darah rasa nyeri dan pedih tersebut berkurang. Sifat
hematemesis tidak begitu masif, lalu disusul melena.
c. Karsinoma lambung
Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam
fase lanjut dengan keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati,
rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang mengalami
hematemesis, tetapi sering melena.
3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan
panendoskopi terletak di bulbus. Sebagian pasien
mengeluhkan hematemesis dan melena, sedangkan sebagian
kecil mengeluh melena saja. Sebelum perdarahan, pasien
mengeluh nyeri dan pedih di perut atas agak ke kanan.
Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam saat sedang
tidur pulas sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri
dan pedih, pasien biasanya mengkonsumsi roti atau susu.
b. Karsinoma papilla Vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di
ampula menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreas
yang umumnya sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul selain
kolestatik ekstrahepatal, juga dapat menimbulkan perdarahan tersembunyi
(occult bleeding), sangat jarang timbul hematemesis. Selain itu pasien juga
mengeluh badan lemah, mual dan muntah.

3.2.3 Patofisiologi

Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sbb:


1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau
adanya anemia defisiensi Fe+)
2. Perdarahan masif dengan renjatan
Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat
dikembalikan pada faktor-faktor penyebab perdarahan, yaitu :
1. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak
peptik, pecahnya varises esophagus
2. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic
Thrombocytopenia Purpura (ITP)
3. Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy)
seperti pada hemophilia, sirosis hati, dan lain-lain

Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di atas : vasculopathy


(pecahnya varises esophagus); trombopathy (pengurangan
trombosit di tekanan perifer akibat hipersplenisme); coagulopathy
(kegagalan sel-sel hati).

Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori :


1. Teori erosi : pecahnya pembuluh darah karena
erosi dari makanan kasar (berserat tinggi dan kasar) atau
konsumsi NSAID
2. Teori erupsi : karena tekanan vena porta terlalu
tinggi, atau peningkatan tekanan intraabdomen yang tiba-tiba
karena mengedan, mengangkat barang berat, dan lain-lain

3.2.4 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda,
tergantung pada :
1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan
4. Keadaan penderita sebelum perdarahan
Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan
tergantung dari asam hidroklorida dalam lambung dan
campurannya dengan darah. Jika vomitus terjadi segera setelah
perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah dan baru
beberapa waktu kemudian penampakannya menjadi merah gelap,
coklat atau hitam. Bekuan darah yang mengendap pada muntahan
akan tampak seperti ampas kopi yang khas. Hematemesis biasanya
menunjukkan perdarahan di sebelah proksimal ligamentum Treitz
karena darah yang memasuki traktus gastrointestinal di bawah
duodenum jarang masuk ke dalam lambung.
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan
hematemesis biasanya mengakibatkan melena, kurang dari separuh
pasien melena menderita hematemesis. Melena biasanya
menggambarkan perdarahan esophagus, lambung atau duodenum.
Namun lesi di jejunum, ileum bahkan kolon ascendens dapat
menyebabkan melena jika waktu perjalanan melalui traktus
gastrointestinal cukup panjang. Diperkirakan darah dari duodenum
dan jejunum akan tertahan di saluran cerna selama ± 6–8 jam untuk
merubah warna feses menjadi hitam. Feses tetap berwarna hitam
seperti ter selama 48–72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan
berarti keluarnya feses warna hitam tersebut menandakan
perdarahan masih berlangsung. Darah sebanyak ±60 mL cukup
untuk menimbulkan satu kali buang air besar dengan tinja warna
hitam. Kehilangan darah akut yang lebih besar dari jumlah tersebut
dapat menimbulkan melena lebih dari tujuh hari. Setelah warna
tinja kembali normal, hasil tes untuk adanya perdarahan tersamar
dapat tetap positif selama 7–10 hari setelah episode perdarahan
tunggal.
Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl
sehingga terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter
(lengket) dan menimbulkan bau khas. Konsistensi ini berbeda
dengan tinja yang berwarna hitam/ gelap yang muncul setelah
orang mengkonsumsi zat besi, bismuth atau licorice. Perdarahan
gastrointestinal sekalipun hanya terdeteksi dengan tes occult
bleeding yang positif, menunjukkan penyakit serius yang harus
segera diobservasi.
Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda
sistemik kecuali perdarahan pada manula atau pasien anemia
dengan jumlah kehilangan darah yang sedikit sudah menimbulkan
perubahan hemodinamika. Perdarahan yang banyak dan cepat
mengakibatkan penurunan venous return ke jantung, penurunan
curah jantung (cardiac output) dan peningkatan tahanan perifer
akibat refleks vasokonstriksi. Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt
test) menandakan perdarahan minimal 20% dari volume total
darah. Gejala yang sering menyertai : sinkop, kepala terasa ringan,
mual, perspirasi (berkeringat), dan haus. Jika darah keluar ±40 %
terjadi renjatan (syok) disertai takikardi dan hipotensi. Gejala pucat
menonjol dan kulit penderita teraba dingin.
Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas
singkat dan berulang disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi
“normal”, dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri
submukosa dekat cardia yang menyebabkan perdarahan saluran
cerna intermiten yang banyak).

3.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi
dan frekuensi perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan
dalam keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah
(Sindrom Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang
menyebabkan nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang
varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue,
tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi,
alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan
fokus pada status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi :
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume
intravaskuler) mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak
stabil, dengan tanda :
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg)
dengan frekuensi nadi > 100 x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg,
sistole turun >20 mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan
hal-hal berikut:
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan
lavase tidak segera jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 – 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu
dilakukan evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria :
Perdarahan Keadaan hemodinamik
(%)
<8 Hemodinamik stabil
8 – 15 Hipotensi ortostatik
15 – 25 Renjatan (syok)
25 – 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah :


a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites,
splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai)
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai
prognostik mortalitas dengan interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin
perdarahan arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa
disertai perdarahan saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada
sindrom Peutz-Jeghers)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika
diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor
pembekuan primer atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung
(iskemik), paru kronis
f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan
sebagai pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan
informasi prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan

3.2.6 Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-
breathing-circulation (ABC). Terhadap pasien yang stabil
setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk terapi
lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar
minimal no 18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan
pemasangan CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing
perlu ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain
sesuai komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan
endoskopi

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat


diberikan terapi :
a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
2. Tatalaksana Khusus
a. Varises gastroesofageal
1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif
a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat
efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan
aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Pemberian
dengan mengencerkan vasopressin 50 unit dalam 100 ml
Dextrose 5%, diberikan 0,5–1 mg/menit/iv selama 20–60
menit dan dapat diulang tiap 3–6 jam; atau setelah pemberian
pertama dilanjutkan per infuse 0,1–0,5 U/menit
b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih
selektif daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises atau
nonvarises. Dosis pemberian awal dengan bolus 250 mcg/iv,
lanjut per infus 250 mcg/jam selama 12–24 jam atau sampai
perdarahan berhenti.
2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau
Minesota
3) Terapi endoskopi
a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap
1–2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau
ditemukan tanda baru saja mengalami perdarahan (bekuan
darah melekat, bilur merah, noda hematokistik). Efek samping
sklerosan dapat dihindari, mengurangi frekuensi ulserasi dan
striktur.
b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena
perdarahan masif, terus berlangsung atau teknik tidak
memungkinkan. Yang digunakan campuran yang sama banyak
antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alcohol absolute;
dibuat sesaat sebelum skleroterapi. Penyuntikan dari bagian
paling distal mendekati cardia, lanjut ke proksimal bergerak
spiral sejauh 5cm.
4) Terapi radiologi : pemasangan transjugular intrahepatic
portosystemic shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi
spleno-porta.
5) Terapi pembedahan
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi
b. Tukak peptic
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor) : obat anti sekresi asam untuk
mencegah perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol
80 mg/iv lalu per infuse 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh
diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa perdarahan.
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi
a) Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan
dengan adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan
batas 10 ml atau alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml
b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser
c) Mekanik : hemoklip, stapler
3) Terapi bedah
3. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4
perawatan. Perdarahan ulang (komorbid) sering
memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada komplikasi,
perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko
perdarahan ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien
biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain obat
pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe.

3.2.7 Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan

3.3 HEPATITIS C
3.3.1 Pendahuluan

Sebelum ditemukannya virus hepatitis C (VHC), dunia medis


mengenal 2 jenis virus sebagai penyebab hepatitis, yaituL: virus hepatitis
A (VHA) dan virus hepatitis B (VHB). Namun demikian, terdapat juga
peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus ini dan tidak dapat
dikenal pada saat itu sehinggan dinamakan hepatitits Non-A, Non-B
(hepatitis NANB) dan ketika Choo serta kawan-kawan dengan cara
amplifikasi dan identifikasi genetic berhasil mendaoatkan virus penyebab
hepatitis yang baru ini, virus ini kemudian dinamakan virus hepatitis C
(VHC).
Infeksi VHC merupakan masalah yang besar karena pada sebagian
besar kasus menjadi hepatitis ktonik yang dapat membawa pasien pada
sirosis hati dan kanker hati. Di Negara maju, infeksi VHC merupakan
salah satu indikasi utama transplantasi hati.

3.3.2 Epidemiologi

Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang


170 juta orang di seluruh dunia terinfeksi virus VHC. Prevalensinya
berbeda-beda di seluruh dunia. Di Indonesia belum ada data resmi
mengenai infeksi VHC tetapi dari laporan pada lembaga transfuse darah
didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi
populasi umum di Jakarta prevalensi VHC lebih kurang 4%.
Umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi darah
terutama yang didapatkan sebelum dilakukannya penapisan donor darah
untuk VHC oleh PMI. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan namun
jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV
karena jumlah VHC di kalangan ibu-ibu yang menderita HIV biasanya
tinggi.
Prevalensi yang tinggi didapatkan pada beberapa kelompok pasien
seperti pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien hemodialysis (70%).
Pada kelompok pengguna narkotika suntik ini selain infeksi VHC yang
tinggi, ko-infeksi dengan HIV juga dilaporkan tinggi (80%).

3.3.3 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan
model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC
atau partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa
bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan
reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini
diketahui pula mampu beerinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti
sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan
apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC
bersifat sitotoksis atau tidak, terus berlangsung.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi
kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati
dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan
virus maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus-menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan
aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran
dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan
melemahnya respons CTL.
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-
inflamasi seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel
inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang disse
hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan ‘tenang’ (quiescent)
kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang
dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan
aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro inflamasi. Mekanisme ini
dapat timbul terus-menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak
berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati
yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati
lanjut sirosis hati.
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat
ditemukan proses inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular,
disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masukke
lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan
fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang agak khas
untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC.
Gambaran histopatologis pada infeksikronik VHC sangat berperan
dalam menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis
dapat dilakukan skoring untuk inflamasi dan fibrosis di hati sehingga
memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi
antara ahli patologi.

3.3.4 Karakteristik Klinis dan Perjalanan Penyakit

Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya


bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan tanda
hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26 minggu) setelah terjadinya
paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenal karena pada
umunya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan
penyakit akibat infeksi VHC. Hepatitis fulminant sangat jarang terjadi. ALT
meninggi sampai berapa kali di atas batas atas nilai normal tetapi umumnya
tidak sampai lebih dari 1000 U/L.
Infeksi akan menajdi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak
menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus.
Hilangnya VHC setelah terjadinya hepatitis kronik sangat jarang terjadi.
Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan
terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronik.
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada
pemeriksaan fisik maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati.
Pada pasien di mana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan
hati yang bermakna, sedangkan di antara pasien dengan peningkatan ALT,
hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat.
Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati terhantung
beberapa faktor risiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus
hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki, dan usia tua saat terjadinya
infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati dengan
frekuensi 1-4% tiap tahunnya.
Ko-infeksi VHC dengan HIV diketahui menjadi masalah karena
dapat memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat
terjadinya sirosis hati dan mungkin pula mempercepat prenurunan sistem
kekebalan tubuh, terutama infeksi oleh VHC genotype 1. Adanya ko-infeksi
VHC dengan HIV juga menyulitkan terapi dengan obat-obatan anti
retrovirus karena memperbesar proporsi pasien yang menderita gangguan
fungsi hati dibandingkan mereka yang tidak terdapat ko-infeksi VHC-HIV.
Di Indonesia, permasalahan ko-infeksi VHC dan HIV banyak ditemukan
pada pengguna narkotika suntik yang menggunakan alat suntik bergantian.
Ko-infeksi VHC dengan virus hepatitis B juga memperburuk
perjalanan penyakit pasien. Dilaporkan kejadian sirosis hati relatif lebih
banyak ditemukan pada mereka yang menderita ko-infeksi VHC-VHB
dibandingkan dengan VHC atau VHB saja. Selain itu, risiko terjadinya
kanker hati meningkat menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita ko-
infeksi ini dibandingkan hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi
ekstra hepatik, antara lain: krioglobulinemia dengan komplikasi-
komplikasinya (glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura, atau
arthralgia), porphyria cutanea tarda, sicca syndrome, atau lichen planus.
Patofisologi gangguan ekstra hepatik ini belum diketahui pasti, namun
dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid
sehingga mengganggu respons sistem imunologis.

3.3.5 Diagnosis

Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasi dengan memeriksa antibodi


yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus ini menginfeksi pasien.
Antibodi ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak
mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi
VHC pada infeksi akut, namun antibody terhadap VHC masih terus
bertahan bertahun-tahun (18-20 tahun).
Deteksi antibody terhadap VHC dilakukan umumnya dengan
teknik enzyme immune assay (EIA). Antibody terhadap VHC dapat
dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensitivitas mencapai 99% dan
spesifisitas lebih dari 90%. Negative palsu dapat terjadi pada pasien
dengan defisiensi sistem kekebalan tubuh seperti pada pasien HIV, gagal
ginjal, atau pada krioglobulinemia.
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini
dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan
gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun hati
relatif sangat kecil sehingga diperlukan teknik amplifikasi agar dapat
terdeteksi. Teknik PCR dimana gen VHC digandakan oleh enzim
polymerase umumnya digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara
kualitatif) maupun menentukan jumlah virus dalam serum (kuantitatif).
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi
VHC dilakukan pada penapisan darah untuk transfusi darah. Umumnya
unit-unit transfusi darah menggunakan deteksi anti-VHC dengan EIA
maupun dengan cara imunokromatografi, namun masih terdapat kasus-
kasus pasien yang terinfeksi oleh VHC walaupun deteksi anti-VHC sudah
dinyatakan negatif.

3.3.6 Penatalaksanaan

Untuk penatalaksanaan infeksi VHC beberapa badan peneliti hati


di dunia sudah mengeluarkan panduan penatalaksanaan. Pasien biasanya
diketahuiterinfeksi VHC setelah adanya pemeriksaan anti-HCV yang
positif. Untuk mengetahui adanya infeksi sebenarnya, pemeriksaan RNA
VHC perlu dilakukan di mana sekaligus diketahui jumlah virus di dalam
darah serta genotype VHC.
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan
peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan
penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai normal. Hal ini
mungkin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas
nilai normal biasanya sudah menunjukkan adanya fibrosis yang nyata bila
dilakukan biopsy hati. Bila nilai ALT normal, harus tetap diketahui
terlebih dahulu apakah nilai normal ini menetap (persisten) atau
berfluktuasi dengan memonitor ALT setiap bulan untuk 4-5kali
pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi merupakan indikasi terapi,
namun pada nilai ALT yang perlu dilakukan biopsi untuk mengetahui
fibrosis yang sudah terjadi.
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya
merupakan fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan
karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20
tahun menderita infeksi VHC. Nilai fibrosis hati pada tingkat menengah
atau tinggi, sudah merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila
sudah terdapat sirosis hati, maka pemberian interferon harus berhati-hati
karena dapat menimbulkan penurunan fungsi hati secara bermakna.
Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan
interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotype VHC
adalah genotype 1 dan 4 maka terapi perlu diberikan selama 48 minggu
dan bila genotype 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu.
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan
interferon dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun,
Hb <10g/dL, leukosit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya
gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan
untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan
ginjal juga tidak diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat
memperberat gangguan ginjal yang terjadi.
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari
atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali
pemberian interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG)
atau dikenal dengan Peg-interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis
1,5 ug/kgBB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 190 ug untuk Peg-
Interferon 40 KD).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan
dosis pada pasien dengan berat badan < 50 kg 800 mg setiap hari, 50-70
kg 1000 mg setiap hari, dan >70 kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2
kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan
pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC
resisten terhadap pengobatan dengan interferon yang tidak akan
bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan interferon dan tidak
memerlukan pemeriksaan RNA VHC 6 bulan kemudian. Keberhasilan
terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan cara
memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila ditemukan positif, maka pasien
dianggap kambuh. Mereka yang tergolong kambuh ini dapat kembali
diberikan interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar
atau bila sebelumnya mengguunakan interferon konvensional, Peg-
Interferon mungkin akan bermanfaat.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-
gejala yang menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan
sejenisnya), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari
noemal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, dan kadang-kadang dapat
timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping, pemantauan pasien mutlak perlu
dilakukan. Terapi tidak dilanjutkan bila Hb <8g/dL, leukosit <1500/uL
atau kadar netrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL, depresi berat yang
tidak teratasi dengan pengobatan anti depresi, atau timbul gejala-gejala
tiroiditis yang tidak teratasi.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi
VHC lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada
beberapa hal. Pada pasien dengan genotype 1hanya 40% pasien yang
berhasil dieradikasi, sedangkan pada genotype lain hampir lebih dari 70%.
Peg-Interferon dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan terapi yang
lebih baik daripada interferon konvensional. Hal-hal yang berpengaruh
dengan respons terapi interferon adalah semakin tua umur, semakin lama
infeksi terjadi, jenis kelamin laki-laki, berat badan berlebih (obese), dan
tingkat fibrosis hati yang berat.
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih
baik daripada pasien hepatitis C kronik. Pada kelompok pasien ini
interferon dapat digunakan secara monoterapi tanpa ribavirin dan lama
terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menemukan infeksi akut VHC
karena tidak ada gejala akibat infeksi virus ini sehingga umumnya tidak
diketahui.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi interferon dan ribavirin dapat
diberikan bila jumlah CD4 pasien ini >200 sel/mL. bila CD4 kurang dari
nilai tersebut, respons terapi sangat tidak memuaskan.
Untuk pasien ko-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon
untuk VHC sudah sekaligus mencukupi untuk terapi VHB, sehingga kedua
virus dapat diterapi bersama-sama.

KESIMPULAN
• Sirosis hepatis merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang
ditandai dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan
nodul degeneratifakibat nekrosis hepatoseluler, yang mengakibatkaan
penurunan hingga hilangnya fungsi hati.
• Etiologi dari sirosis hepatis dapat disebabkan penyakit infeksi, penyakit
keturunan dan metabolik, serta obat dan toksin.
• Tanda dan gejala pada sirosishepatis ada dua, yaitu kegagalan parenkim
hepar (ikterus, asites, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema
palmaris, spider nevi, fetor hepatikum, ensefalopati hepatikum) dan
hipertensi porta (varises esofagus dan lambung, splenomegali, perubahan
sumsum tulang, caput medusa, asites, collateral vein hemorrhoid, kelainan
sel darah tepi (anemia, leukopenia, dan trombositopeni).
• Pemeriksaan Gold Standard untuk sirosis hepatis adalah biopsi jaringan
hati.
• Prinsip pengobatan pada sirosis hepatis ada dua, yaitu tatalakasana
kompensata yang bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati dan
tatalaksana dekompensata yang bertujuan untuk mengatasi
kegawatdaruratan dan mengembalikan ke kondisi kompensata.
DAFTAR PUSTAKA

Sabatine, Marc S. Pocket Medicine Ed IV. Penerbit : The Massachusetts General


Hospital Handbook of Internal Medicine. 2001
Nurdjanah Siti. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006. 443-4463.
Chung Raymond T, Padolsky Daniel K. Cirrhosis and Its Complications.
Dalam:Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi XVI. 2005.
Newyork: McGraw-Hill Companies. 1844-1855.
Lindseth Gleda N. Sirosis Hati. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Volume I. Edisi VI. Jakarta: EGC, 2005. 493-501.9.
Ghany Marc, Hofnagle Jay A. Approach to the Patient With Liver Disease.
Dalam:Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi XVI. 2005.
Newyork: McGraw-Hill Companies. 1813
Raymond T. Chung. Daniel K. Podolsky. 2005. Cirrhosis and Its Complications
in: Fauci et.al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA
Rino A Gani. 2006. Hepatitis C dalam: Sudoyo et.al,. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed IV. Jilid III. Jakarta : FK UI

Anda mungkin juga menyukai