SIROSIS HEPATIS
Disusun
Oleh :
Firda
Fakhrena
1112103000006
Mariah Ulfah 1111103000074
Pembimbing :
dr. Anggraini PS, Sp.PD
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh, dengan suplai darah yang
berasal dari dua sumber yaitu arteri hepatik dan vena porta. Hepar memiliki
banyak fungsi, diantaranya adalah sintesis portein, regulasi glukosa dan lipid,
dan produksi bilirubin. Fungsi-fungsi hepar akan terganggu jika berkembang
menjadi sirosis. Sirosis hepatis secara patologi adalah perubahan struktur
mikroskopis dari arsitektur lobular hepar menjadi fibrosis dan nodular. Penyakit
hati kronis, termasuk sirosis, menjadi 12 penyakit yang menyebabkan kematian
di Amerika Serikat. Alkoholik dan hepatitis C kronik dapat menyebabkan
sirosis, dan sirosis adalah penyebab tersering dari hipertensi portal.
Penyebab munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia masyoritas akibat hepatitis B dan C. Sirosis
hepatis diketahui disebabkan adanya peranan sel stelata dalam mengatur
keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi, dan
lama kelamaan sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen.
Sampai saat ini belum ada bukti bahwa penyakit sirosis hepatis bersifat
reversibel, tetapi dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini diharapkan
dapat memperpanjang status kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah
timbulnya komplikasi. Terapi sisrosis sendiri ditujukan untuk mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas pasien
Tanggal masuk : 08/05/2016
No. RM : 00264190
Nama : Tn. FP
Tempat / Tgl lahir : Jakarta/22-02-1981
Umur : 35 th 3 bl
Agama : Islam
Alamat : Pondok Kelapa TL.8655588 Jl. H. bara pangkalan jati
Limo
Pendidikan : Tamat SLTP
Pekerjaan : lain-lain
Status perkawinan : Kawin
Jaminan : JKN
II. Anamnesis
Keluhan utama :
Muntah kehitaman sejak 2 hari SMRS
IV. Planning
Diagnostik
Laboratorium :
Darah Perifer Lengkap, PT/APTT, cholinesterase, SGOT/SGPT, bilirubin total,
direct, indirect, albumin, globulin, ureum, creatinin, GDS, Elektrolit, IgM IgG
anti-dengue, HbsAg, Anti HCV, Anti HAV, IgM, UL.
Feses darah samar.
Pemeriksaan EGD dan USG
Terapeutik
Dekstrosa 10% 1000cc/24 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vit K 3x10 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 3x2 gr IV
Paracetamol 3x500 mg PO
Sukralfat 3x CI PO
Lactulac 3x CI PO
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
28/05/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT 103 U/l 0 – 34
SGPT 57 U/l 0-40
Ureum darah 24 mg/dl 20-40
Creatinin darah 0,5 mg/dl 0,6-1,5
Gula Darah Sewaktu 234 mg/dl 70-140
Natrium 135 mmol/l 135-147
Kalium 3,97 mmol/l 3,1-5,1
Clorida 113 mmol/l 95-108
29/05/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 7.1 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 21 33-45 %
Leukosit 7.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 97 150-440 ribu/UL
Eritrosit 1.97 3,80-5.20 juta/UL
VER 104.5 80-100 fl
HER 36.0 26-34 pg
KHER 34.4 32-36 g/dl
RDW 21.2 11.5-14.5 %
APTT 30.2 26,3-40,3 detik
Kontrol APTT 30.7
PT 17.0 11,5-14,5 detik
Kontrol PT 13.6
INR 1.32
Fungsi Hati
Protein total 4.20 6,00-8,00 g/dl
Albumin 2.40 3,40-4,80 g/dl
Globulin 1.80 2,50-3,00 g/dl
bilirubin total 2.20 0,10-1,00 mg/dl
bilirubin direk 1.30 <0,20 mg/dl
bilirubin indirek 0.90 <0,60 mg/dl
Anti Dengue IgG negatif Negative
Anti Dengue IgM negatif Negative
Sero-Imunologi
Hepatitis
HbsAg Non reaktif Non Reaktif
Anti HCV Reaktif Non Reaktif
Anti HAV IgM Non reaktif
30/05/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 7.7 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 23 33-45 %
Leukosit 8.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 70 150-440 ribu/UL
Eritrosit 2.19 3,80-5.20 juta/UL
VER 104.2 80-100 fl
HER 35.4 26-34 pg
KHER 33.9 32-36 g/dl
RDW 22.5 11.5-14.5 %
Hitung Jenis
Basophil 0 0-1
Eusinofil 3 1-3
Netrofil 64 50-70
Limfost 21 20-40
Monosit 9 2-8
Luc 3 <4.5
Sero-Imunologi
Hepatitis
HbsAg Non reaktif Non Reaktif
Anti HCV Reaktif Non Reaktif
Anti HAV IgM Non reaktif
01/06/2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 9.0 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 28 33-45 %
Leukosit 5.0 5-10 ribu/UL
Trombosit 74 150-440 ribu/UL
Eritrosit 2.85 3,80-5.20 juta/UL
VER 97.6 80-100 fl
HER 31.5 26-34 pg
KHER 32.3 32-36 g/dl
RDW 22.3 11.5-14.5 %
Pemeriksaan USG
( 01/06/2016) :
Kesan : sirosis
hepatis dengan
splenomegaly dan
ascites
Pemeriksaan
Endoskopi
(02 juni 2016)
Kesimpulan : Varises esofagus potensial berdarah
Gastropati hipertensi portal
1.5 Resume
Anamnesis
Tn.F, laki-laki, 35 tahun, datang dengan hematemesis
kehitaman sejak 2 hari SMRS, riwayat ikterik (+) 5 tahun SMRS,
demam (+) sejak 4 hari SMRS, riwayat minum alcohol (+),
penggunaan narkoba jarum suntik (+). Pemeriksaan fisik : Mata:
konjungtiva anemis, ascites (+). Pemeriksaan Laboratorium :
Anemia makrositik hiperkrom, peningkatan enzim transaminase,
hipoalbumin. hiperbilirubin, anti HCV reaktif
1. Hematemesis melena
2. Anemia
3. Spontaneous Bacterial Peritonitis
4. Hiperglikemia
5. Sirosis Hepatis
6. Hepatitis C
1. Hematemesis Melena
Atas dasar :
Anamnesis : Pasien mempunyai riwayat muntah dan BAB kehitaman.
Riwayat sakit kuning (+), konsumsi alcohol (+), penggunaan
jarum suntik (+)
Dipikirkan :
Hematemesis melena et causa Pecah Varises Esofagus dd PVO non
sirotik
Rencana Diagnosis : -
Rencana Terapi :
Resusitasi Awal : Airway : pastikan tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : Pasang Saturasi oksigen, RR, bunyi
napas tambahan
Circulation : periksa nadi, TD, pasang akses IV
Farmakologi :
Puasakan, NGT alirkan
IVFD Dextrosa 10 % 1000cc/24 jam
Octreotide 50 Цg IV bolus
Cefotaxim 3x2 gr IV
Lactulosa 3x1 CI
Vit K 3x10 mg IV
Transamin 3x500 mg IV
Nonfarmakologi : Endoscopic band ligation
2. Anemia
Atas dasar :
Anamnesis : muntah darah kehitaman
PF : CA anemis
Lab : Hb 7.1 gr/dL
Atas dasar :
Anamnesis : Demam, perdarahan saluran cerna
Pemeriksaan Fisik : nyeri tekan epigastrium (-)
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : Leukositosis (-)
USG : ascites (+)
Dipikirkan :
Spontaneous Bacterial Peritonitis dd/ other viral infection
Rencana diagnosis :
Pungsi ascites diagnostic
Rencana Terapi :
Cefotaxim 3x2 gr IV
4. Hiperglikemia reaktif
Atas dasar :
Anamnesis : Riwayat diabetes mellitus (-), demam (+)
Pemeriksaan fisik : (-)
Laboratorium : GDS 234
Dipikirkan :
Hiperglikemia reaktif dd/ DM tipe 2
Rencana diagnostik :
GDP, GD2PP. HbA1c
Atas dasar :
Anamnesis :Riwayat sakit kuning (+), muntah darah
kehitaman, BAB hitam. Perut membuncit
dan terasa begah, gangguan tidur (-)
Pemeriksaan Fisik : ascites (+)
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : bisitopenia, peningkatan enzim
transaminase, hiperbilirubin (2.2), hipoalbumin (2.40),
INR (1.3)
USG : Sirosis hepatis dengan ascites dan
splenomegali
Dipikirkan :
Sirosis hepatis Sirosis hepatis child-Turcotte-Pugh Scoring System B
6. Hepatitis C Kronik
Atas dasar :
Anamnesis :Riwayat sakit kuning (+)
Pemeriksaan Fisik :-
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : Anti HCV (+)
Dipikirkan :
Hepatitis C Kronik
4. Hiperglikemia reaktif
Pada pasien ini didapatkan gula darah sewaktu 234 mg/dL. Untuk
membedakan apakah ini merupakan DM tipe 2 atau hanya hiperglikemia reaktif
adalah dengan berpedoman kembali pada kriteria diagnostik DM yaitu
terdapatnya gejala klasik DM + GDS ≧200 mg/dL, Gejala klasik DM + GDP
≧126 mg/dL, GD2PP ≧200mg/dL atau HbA1c ≧6,5%.
Pada pasien ini tidak didapatkan riwayat diabetes melitus sebelumnya,
gejala klasik DM seperti poliuri, polifagi, polidipsi dan penurunan BB tanpa sebab
yang jelas tidak ditemukan pada pasien. Untuk memastikan maka
dipertimbangkan untuk pemeriksaan GDP, GD2PP dan HbA1c pada pasien.
Hiperglikemia reaktif biasa terjadi pada pasien dengan stress kerusakan jaringan
sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Hiperglikemia reaktif biasa
terjadi pada hari pertama, kadar tertinggi pada hari kedua, terjadi penurunan pada
hari ketiga, dan hari ke 4,5 kadar glukosa darah akan stabil kembali. Oleh karena
itu, tidak diperlukan tatalaksana hiperglikemia pada pasien ini.
Sirosis hepatis pada pasien ini disebabkan oleh hepatitis C kronis yang
diderita oleh pasien. Hepatitis C kronis yang diderita pasien dapat menyebabkan
jejas dan reaksi inflamasi yang akan mengakibatkan aktivasi dari sel Stealata
sehingga sel Stealata berproliferasi, memproduksi matriks ekstraseluler (kolagen
tipe I dan III, prteoglikan sulfat, dan glikoprotein), serta menjadi sel miofibroblas
yang mampu berkontraksi. Hal tersebutlah yang mendasari sirosis hepatis pada
pasien ini. Sirosis hepatis Child Pugh Score B didapatkan dari penilaian
ensefalopati, asites, bilirubin, albumin, dan waktu protombin. Pada pasien tidak
terdapat ensefalopati dan asites. Sedangkan nilai albumin (2.4 g/dl), nilai bilirubin
total (2,2 mg/dl) dan waktu protombin (17 detik) serta INR (1,32). Berdasarkan
nilai-niai tersebut didapatkan nilai 8, sehingga pada pasien ini dikategorikan
Sirosis Hepatis Chid Pugh B dengan angka kesintasan 1 tahun pertama = 80%;.
Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah hematemesis dan melena karena
pecah varises esofagus, splenomegali ,ascites, bisitopenia, hipoalbumin, dan
gangguan hemostasis. Tatalaksana pada pasien ini adalah tatalaksana sirosis
dekompensata yang bertujuan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan
mengembalikan ke kondisi kompensata. Tatalaksana yang diberikan diet hati
untuk memenuhi kebutuhan gizi dan diharapkan dapat memperbaiki hipoalbumin.
Untuk riwayat hematemesis dan melena karena varises esofagus dilakukan EGD
untuk mendeteksi dan memantau varises esofagus. Dipertimbangkan untuk
transfusi apabila kadar Hb <7 g/dL atau >7 g/dL seperti tatalaksana pemberian
transfusi di point sebelumnya.
Untuk asites dilakukan diet rendah garam, 5,2 gr atau 90 mmol/hari,
diberikan diuretik dengan pemberian spironolakton dengan dosis 50-200 mg
1x/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. jika
pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 L dilindungi dengan pemberian albumin.
6. Hepatitis C kronik
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis hepatitis C kronik berdasarkan
anamnesis yang menyatakan pasien memang memiliki riwayat sakit kuning. Pada
pemeriksaan Anti HCV (reaktif), HbsAg (non reaktif), Anti HAV (non reaktif).
Hepatitis C kronis umumnya asimtomatis, dapat juga berupa gejala tidak
spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada hepatitis C kronis terjadinya
peningkatan transaminase serum menandakan terjadinya kerusakan hati secara
progresif. Meski kerusakan juga dapat terjadi pada kadar ALT normal. Laju
progressive fibrosis pada hati diperkirakan sekitar 0,1-0,3 U/tahun pada pasien
yang tidak diobati. Komplikasi lebih lanjut menjadi sirosis hati. Pemeriksaan lebih
lanjut untuk membuktikan hepatitis c dengan cara:
1. Penanda serologi hepatitis C ( metode ELISA atau CLIA). Apabila anti –
VHC positif, maka dinyatakan terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan RNA VHC. Namun, hasil anti HCV bisa negatif palsu pada kondisi
HIV, hemodialisa, atau imunosupresan. Untuk itu, pasien tersebut perlu diperiksa
RNA HCV.
2. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT,AST, GGT, alkalin fosfatase, bilirubin,
globulin, serta pemeriksaan darah perifer lengkap dan waktu protrombin.
3. USG dan biopsy hati. Menilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada
kasus infeksi kronis dan sirosis hati.
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain, bila diperlukan,
termasuk kemungkinan ko-infeksi hepatitis B dan/atau HIV.
Pada pasien ini tidak diberikan terapi untuk hepatitis C kroniknya karena
sudah terjadi sirosis hepatis. Pemberian terapi interferon dapat memperburuk
bisitopenia karena interferon memiliki efek samping depresi sumsum tulang.
Ribavirin juga dapat menyebabkan penurunan Hb yang pada akhirnya dapat
memperburuk kondisi anemia pada pasien ini.
VII. Follow up
01 Juni 2016
S : Muntah darah (-), BAB hitam (-), nyeri perut (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/90, N : 80 x/mnt, P : 16 x/mnt, suhu : 36.5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-), lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)
A : 1. Riwayat hematemesis melena ec. Susp. PVO
2. Sirosis hepatis dengan susp. PVO ascites
3. Anemia post transfuse ec. GI bleeding
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam
Aminofluid 500 cc/24 jam
Transamin 3x500 mg IV
Vit K 3x10 mg IV
Ondansentron 3x8 mg IV
Omeprazol 2x40 mg IV
Cefotaxim 2x1gr IV
Paracetamol 3x500 mg PO
Sukralfat 3x CI PO
Lactulac 3x CI PO
2 Juni 2016
S : Muntah darah (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/70, N : 72x/menit x/mnt, P : 18 x/mnt, suhu : 36,4 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)
3 Juni 2016
S : Muntah darah (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/70, N : 90x/menit x/mnt, P : 18 x/mnt, suhu : 36,5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)
6 Juni 2016
S : Muntah darah (-) BAB hitam (-)
O : Compos Mentis, Tampak sakit sedang
TD : 130/90, N : 75x/menit x/mnt, P : 16 x/mnt, suhu : 36,5 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Thorax : Pergerakan tampak simetris, massa (-), gynecomastia (-)
Paru : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I/II reguler, murmur(-) gallop (-)
Abdomen : Buncit, spider nevi(-) lemas, BU (+) normal, Hepar/Lien
sulit dinilai, Shifting dullness (+)
Ekstremitas : Piting edema -/-, CRT <3 detik
Kulit : Ikterik (-)
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1.1 Epidemiologi
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar
ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker). Di seluruh dunia, sirosis menempati urutan ke
tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit ini.
Lebih dari 40 % pasien sirosis asimtomatis. Keseluruhan insidensi
sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya
sebagian besar akibat penyakit hati alkaholik maupun infeksi virus kronik.
Di Indonesia, data prevalensi sirosis hari belum ada, hanya laporan dari
beberapa pusat pendidikan saja. Di RS DR. Sardjito Yogyakarta jumlah
pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawwat di Bagian
Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam
kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4 %)
pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki
jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1, dengan umur rata-
rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya
sekitar 40 – 49 tahun.
3.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi sirosis dikelompokkan berdasarkan morfologi,
secara fungsional danetiologinya. Berdasarkan morfologi, Sherlock
membagi sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
3.1.3 Etiologi
3.1.4 Patogenesis
3.1.6 Diagnosis
b) Laboratorium
1. Aminotransferase: AST dan ALT meningkat cukup tinggi, dengan
AST>ALT. Namun, aminotransferase normal tidak meningkirkan
sirosis
2. Fsfatase alkali: biasanya sedikit lebih tinggi.
3. GGT: berkorelasi dengan tingkat AP. Bbiasanya jauh lebih tinggi
pada penyakit hati kronis karena alkohol.
4. Bilirubin: dapat meningkat sebagai tanda sirosis sedang
berlangsung
5. Albumin: rendah akibat dari menurunnya fungsi sintesis oleh hati
dengan sirosis yang semakin memburuk.
6. Waktu protombin; meningkat sejak hati mensintesis faktor
pembekuan.
7. Globulin; meningkat kaena shunting antigen bakteri jauh dari hari
ke jaringan limfoid.
8. Serum natrium: hiponatremia karena ketiakmampuan untuk
mengeluarkan air bebas akibat dari tinggainya ADH dan
aldosteron.
9. Trombositopenia; karena splenomegali kongestif dan menurunnya
sintesis thrombopoeitin dari hati. Namun, ini jarang menyebabkan
platelet < 50.000/mL.
10. Leukopenia dan neutropenia; karena splenomegali dan marginasi
limpa.
11. Defek koagulasi; hati memproduksi sebagian besar faktor-faktor
koagulasi dan dengandemikian koagulopati berkorelasi dengan
memburuknya penyakit hati.
c) Pemeriksaan penunjang lainnya
1. Radiologi: dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises
essofagus untuk konfirmasi hipertensi porta.
2. Esofagoskopi; dapat afidilihat varises esofagus sebagai komplikasi
sirosis hati/hipertensi porta.
3. Ultrasonografi: pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan
sebagai alt pemeriksaan rutin pada penyakit hati. Yang dilihat
pinggir hati, pembesaran, prmukaan, homogenitas, asites,
splenomegali, gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran
saluran empedu/HBD, daerah hipo atau iperekoik atau adamya
SOL (space occupying lession. Sonografi bisa mendukung
diagnosis sirosis hati terutama stadium sekompensata,
hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan
saluran empedu, dan lain-lain.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan caoran asites
dengan melakukan pungsi asites. Bila dijumpai tanda-tanda infeksi
(peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan, dan eksudat,
dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan, dan
pemeriksaan kadar protein, amilase dan lipase.
3.1.7 Komplikasi
3.1.8 Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Tetapi
ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan bahan
yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penangan
komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang
mengandung protein 1 gr/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.2
Tatalaksana pasien sirosis kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien
ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya;
Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai
hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan
obat herbalbisa menghambat kolagenik.
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi
besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat badan akan
mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, IFN alfa, dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utam. Lamivudin sebagai terpai lini pertama
diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama 1 tahun. Namun
pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD
sehingga terjadi resistensi obat. IFN alfa diberikan secara suntuikan
subkutan 3 mIU,3 kali seminggu selama 4-6 bulan.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan 5 mIU
3 kali seminggu dan dikombinasi dengan ribavirin 800-1000 mg/hari
selama 6 bulan.2
3.1.9 Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai.2
Klasifikasi Child-Pugh juga digunakan untuk menilai prognosis
pasien sirosis yangakan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati dan
juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Chil A, B dan C.
KlasifikasiChild-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk pasien Child A, B dan C
berturut-turut 100, 80, dan 45%.2
Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan fungsi hati
Tabel 2.2. Di unduh dari: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K
Marcellus S, Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas
indonesia.2006. hal. 446
Kategori 1 2 3
3.2.3 Patofisiologi
3.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi
dan frekuensi perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan
dalam keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah
(Sindrom Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang
menyebabkan nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang
varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue,
tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi,
alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan
fokus pada status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi :
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume
intravaskuler) mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak
stabil, dengan tanda :
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg)
dengan frekuensi nadi > 100 x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg,
sistole turun >20 mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan
hal-hal berikut:
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan
lavase tidak segera jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 – 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu
dilakukan evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria :
Perdarahan Keadaan hemodinamik
(%)
<8 Hemodinamik stabil
8 – 15 Hipotensi ortostatik
15 – 25 Renjatan (syok)
25 – 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)
3.2.6 Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-
breathing-circulation (ABC). Terhadap pasien yang stabil
setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk terapi
lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar
minimal no 18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan
pemasangan CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing
perlu ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain
sesuai komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan
endoskopi
3.2.7 Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan
3.3 HEPATITIS C
3.3.1 Pendahuluan
3.3.2 Epidemiologi
3.3.3 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan
model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC
atau partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa
bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan
reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini
diketahui pula mampu beerinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti
sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan
apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC
bersifat sitotoksis atau tidak, terus berlangsung.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi
kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati
dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan
virus maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus-menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan
aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran
dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan
melemahnya respons CTL.
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-
inflamasi seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel
inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang disse
hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan ‘tenang’ (quiescent)
kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang
dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan
aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro inflamasi. Mekanisme ini
dapat timbul terus-menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak
berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati
yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati
lanjut sirosis hati.
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat
ditemukan proses inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular,
disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masukke
lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan
fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang agak khas
untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC.
Gambaran histopatologis pada infeksikronik VHC sangat berperan
dalam menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis
dapat dilakukan skoring untuk inflamasi dan fibrosis di hati sehingga
memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi
antara ahli patologi.
3.3.5 Diagnosis
3.3.6 Penatalaksanaan
KESIMPULAN
• Sirosis hepatis merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang
ditandai dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan
nodul degeneratifakibat nekrosis hepatoseluler, yang mengakibatkaan
penurunan hingga hilangnya fungsi hati.
• Etiologi dari sirosis hepatis dapat disebabkan penyakit infeksi, penyakit
keturunan dan metabolik, serta obat dan toksin.
• Tanda dan gejala pada sirosishepatis ada dua, yaitu kegagalan parenkim
hepar (ikterus, asites, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema
palmaris, spider nevi, fetor hepatikum, ensefalopati hepatikum) dan
hipertensi porta (varises esofagus dan lambung, splenomegali, perubahan
sumsum tulang, caput medusa, asites, collateral vein hemorrhoid, kelainan
sel darah tepi (anemia, leukopenia, dan trombositopeni).
• Pemeriksaan Gold Standard untuk sirosis hepatis adalah biopsi jaringan
hati.
• Prinsip pengobatan pada sirosis hepatis ada dua, yaitu tatalakasana
kompensata yang bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati dan
tatalaksana dekompensata yang bertujuan untuk mengatasi
kegawatdaruratan dan mengembalikan ke kondisi kompensata.
DAFTAR PUSTAKA