Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

Wanita 55 Tahun dengan Keganasan Endometrium, Cholelithiasis, dan


HHD dengan Pacemaker Pro CSS Plan General Anestesi Intubasi Oral
Status Fisik ASA III

Oleh:
Ulfa Puspita Rachma
G99171043

Pembimbing :
dr. R. Th. Supraptomo, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker ovarium adalah terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak lazim (kanker) pada satu
atau dua bagian indung telur. Indung telur sendiri merupakan salah satu organ reproduksi
yang sangat penting bagi perempuan. Dari organ reproduksi ini dihasilkan telur atau ovum,
yang kelak bila bertemu sperma akan terjadi pembuahan (kehamilan). Indung telur juga
merupakan sumber utama penghasil hormon reproduksi perempuan, seperti hormon estrogen
dan progesteron.

1 dari 67 perempuan berpotensi menderita kanker indung telur sepanjang hidupnya.


Kemugkinan perempuan terkena kanker indung telur ini akan semakin tinggi dengan
bertambahnya usia. Mayoritas kanker indung telur muncul setelah seorang perempuan
melewati masa menopause. Separuh dari kasus kanker indung telur menyerang perempuan di
atasa usia 63 tahun. Berdasarkan data dari Survailance, Epidemiology and End Results
(SEER) usia penderita kanker ovarium rata-rata di atas 40 tahun. Dengan gambaran di bawah
usia 20 sekitar 1,3%,antara 20 dan 34 sekitar 3,6%, antara 35 dan 44 sekitar 7,4%, antara 45
dan 54 sekitar 18,6%, antara 55 dan 64 sekitar 23,4%, antara 65 dan 74 sekitar 20,1%, antara
75 dan 84 sekitar 17,6% dan tahun 85 sekitar 8,1%. Angka ini didasarkan kasus yang di
diagnosis pada 2005-2009 dari 18 daerah menurut data SEER.

Complete Surgical Staging atau CSS adalah suatu tindakan bedah laparotomi
eksplorasi yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perluasan suatu kanker ovarium
dengan melakukan evaluasi daerah-daerah yang potensial akan dikenai perluasaan atau
penyebaran kanker ovarium. Temuan pada surgical staging akan menentukan stadium
penyakit dan pengobatan adjuvant yang perlu diberikan.

Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu (Lesmana, 2000).

2
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu
adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh
karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
empedu (Denis, 2005)

Menurut Lesmana (2000), Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko
dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : (1). Wanita
(beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki); (2). Usia lebih dari 40 tahun; (3).
Kegemukan (obesitas); (4). Faktor keturunan; (5). Aktivitas fisik; (6). Kehamilan (resiko
meningkat pada kehamilan); (7). Hiperlipidemia.

Kolesistektomi merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan


kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Prosedur kolesistektomi di antaranya yaitu
kolesistektomi terbuka dan kolesistektomi laparoskopik.

General anestesi merupakan keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya
kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat
karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada syaraf. Agen anestesi
umum bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat (SSP) secara reversibel (Adams
2001). Anestesi general dapat memberi keuntungan pada operasi pembedahan yang harus
dilakukan dalam posisi terlentang , memerlukan waktu operasi yang lama dan memerlukan
kendali penuh terhadap sistem pernapasan dan sirkulasi tubuh pasien.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Tegalmulyo, Surakarta, Jawa Tengah
Tanggal Masuk : 19 Mei 2016
Tangga Pemeriksaan : 16 November 2017
No RM : 01326xxx

B. Data Dasar
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan perdarahan menstruasi sedikit demi sedikit
dan tidak teratur sejak 5 bulan yang lalu. Setelah diperiksakan
ditemukan benjolan di rahim, lalu dilakukan kuretase bulan September,
2017 dinyatakan ganas. Pasien juga mengeluh keluhan jantung
sebelum dipasang pacemaker. Pasien sering merasa sebah saat
beraktivitas berat sejak September, 2015. Pada bulan Januari, 2016
pasien mengeluh sering sesak saat beraktifitas dan kaki bengkak
sehingga dipasang pacemaker pada bulan Februari 2016. Sejak
terpasang pacemaker, pasien tidak mengeluhkan sesak.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Tekanan Darah Tinggi : + terkontrol dengan Candesartan 1 x

16 mg
Riwayat Hipertiroid : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sesak : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi : +, 2 kali dengan General Anestesi
dengan pemasangan pacemaker dan
kuretase
3. Riwayat Penyakit Keluarga

4
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Menggunakan BPJS

II. PEMERIKSAAN FISIK DAN TANDA VITAL


Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-), patensi (+/+), deviasi septum (-)
Mulut : buka mulut >3 jari
Leher : gerak leher bebas, TMD >6 cm, limfadenopati –
Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, Bising (-)
Paru : Suara Dasar Vesikuler (+/+), Suara Tambahan (-/-)
Abdomen : supel, NT (-), Bising usus (+) reguler
Genital : VT vesica urinaria tenang, dinding vagina dalam batas
normal
Ekstremitas : AD -/-, oedem sup -/-, inf -/-, CRT <2 detik
BP : 150/90 mmHg
Heart rate : 83 x/menit
RR : 20 x/menit
Temperatur : 36,70C

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Thorax PA tanggal 9 September 2017:
Cardiomegaly, terpasang pacemaker diproyeksi setinggi SIC V
posterior kanan dengan tip distal di proyeksi setinggi Vth XI kiri.
B. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11 September 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Darah Rutin
Hb 13.5 g/dl 12.0-15.6
Hct 43 % 33-45
Leukosit 6.4 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 138 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 5.23 Juta/ul 4.10-5.10
Golongan Darah O
Hemostasis

5
PT 12.8 Detik 10.0-15.0
APTT 29.2 Detik 20.0-40.0
INR 1.020 -
Kimia Klinik
GDS 88 mg/dl 60-140
SGOT 22 u/l <31
SGPT 15 u/l <34
Albumin 4.3 g/dl 3.5-5.2
Creatinine 0.9 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 24 mg/dl <50

Elektrolit
Natrium Darah 141 Mmol/L 136-145
Kalium Darah 4.0 Mmol/L 3.5-5.1
Chlorida Darah 106 Mmol/L 98-106
Serologi Hepatitis
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive

C. Pemeriksaan echocardiography tanggal 6 Februari 2017


Hipertrofi ventrikel kiri dengan disfungsi diastolik pseudonormal.
Kontraktilitas LV baik EF 63 %. TR mild
D. Pemeriksaan MSCT abdomen tanggal 30 Oktober 2017
Massa hiperdens inhomogen densitas jaringan solid di daerah
endometrium, batas tidak tegas terukur 79,1 x 54 x 47,3 mm disertai
kalsifikasi multiple, invasif ke dinding posterior buli anterior rektum.
Limfadenopati paraaorta, parailliaca, parainguina, mesenterica. Staging
menurut FIGO T4N2Mx Cholelithiasis disertai gambaran cholesistisis.
E. Laboratorium PA tanggal 15 September 2017
Gambaran Adeno Carcinoma

IV. TATALAKSANA
- Pro CSS cholelithiasis
- Informed consent
- Konsul jantung
- Konsul bedah digestif

V. DIAGNOSA ANESTESI
Ny. S, perempuan 55 tahun dengan Ca endometrium, cholelithiasis,
dan HHD dengan pacemaker pro CSS. Pada pemeriksaan fisik kondisi
umum baik, tekanan darah 150/90. Pada prinsipnya setuju tata laksana

6
anestesi dengan status fisik ASA III, plan informed consent, premedikasi di
OK, general anestesi intubasi oral.

VI. PROBLEM
- Keganasan di endometrium
- Cholelithiasis
- HHD dengan terpasanganya pacemaker

VII. POTENSIAL PROBLEM


- Perdarahan
- Aritmia
- Malfungsi pacemaker

VIII. PELAKSANAAN OPERASI


Operasi dilaksanakan pada tanggal 16 November 2017 di OK IBS
Primary Survey
Airway : bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-), buka mulut >3
jari, malampati 1, gerak leher bebas, TMD>6cm
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi nafas
20x/menit.
Circulation : BJ I-II reguler, bising (-). Tekanan darah 140/70 mmHg, nadi
70 x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
reflek cahaya +/+.
Exposure : suhu 36,70C
Secondary survey
Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-), patensi (+/+), deviasi septum (-)
Mulut : buka mulut >3 jari
Leher : gerak leher bebas, TMD >6 cm
Abdomen : supel, NT (-), Bising usus (+) normal
Genital : VT vesica urinaria tenang, dinding vagina dalam batas
normal

7
Ekstremitas : AD -/-, oedem sup -/-, inf -/-, CRT <2 detik
Anestesi dimulai pukul 09.00 berlangsung 480 menit, sampai pukul
17.00. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 09.30 - 16.00 WIB.
Dilakukan general anestesi intubasi oral dengan Midazolam 2 mg, Fentanil
100 mcg, Propofol 60 mg dan Atracurium 30 mg secara intravena. Setelah
menunggu beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan
tindakan pengambilan Choleslithiasis dengan posisi supine pada pasien.
Durante operasi diberikan O2 1,5 lpm, Endotracheal tube (ETT) ukuran 7
kedalaman 20, infus NaCl, dan infus RL.
Perhitungan cairan durante operasi adalah (BB = 60 kg)
EBV pasien = 65 cc/kg x 60 kg = 3.900 cc
Kebutuhan cairan selama operasi:
Maintenance = 2 x 60 = 120 cc/jam
Stres Operasi = 6 x 60 = 360 cc/jam
Defisit puasa = 6 x 2 x 60 = 720 cc/jam
Maka, kebutuhan cairan:
i. Jam ke-I : 480 + 360 = 840 cc/jam
ii. Jam ke-II : 480 + 180 = 660 cc/jam
iii. Jam ke-III : 480 + 180 = 660 cc/jam
Tabel hemodinamik durante operasi

Waktu TD Nadi Obat Cairan Saturasi O2


(x/ menit)
(mmHg) (%)
09.00 140/90 110 Midazolam 2 NaCl 100
RL
mg, Fentanil
100 mcg,
Propofol 60 mg,
Atracurium 30
mg
09.30 110/60 90 Atracurium 20 100
mg
Fentanil 25 mcg
10.00 120/70 95 100
10.30 160/100 95 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 30 mcg
11.00 140/90 100 Atracurium 10 100
mg

8
Fentanil 25 mcg
11.30 130/90 100 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
12.00 140/80 95 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
12.30 140/80 100 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
13.00 140/80 100 100
13.30 120/70 100 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg

14.00 120/70 90 Atracurium 10 100


mg
Fentanil 25 mcg
14.30 110/60 90 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
15.00 110/60 90 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
15.30 100/60 90 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
16.00 100/60 100 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
16.30 100/60 100 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg
17.00 110/60 105 Atracurium 10 100
mg
Fentanil 25 mcg

Proses operasi CSS selesai pada pukul 16.00 WIB. Di ruang


pemulihan 45 menit setelah operasi kesadaran compos mentis dengan GCS
E4V5M6, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 70 x/menit, frekuensi napas
20 x/menit, SpO2 98 % dengan nasal kanul 3 lpm.

9
Setelah operasi, pasien dirawat di ruang ICU untuk mendapat
perawatan intensif lebih lanjut. Keadaan umum pasien baik, kesadaran
compos mentis dengan nilai GCS E4V5M6, tekanan darah 130/70 mmHg
dengan penggunaan pacemaker, nadi 70 x/menit, frekuensi napas 20
x/menit, SpO2 98 % dengan nasal kanul 3 lpm. Tatalaksana post operasi
pasien diminta untuk puasa dan diberikan Procalcitonin (PCT) 1
gram/8jam, Fentanil 0,5 mcg/kgBB/jam.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Cholelithiasis
Cholelithiasis atau lebih dikenal dengan batu empedu, gallstones, billiary
calculus adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu.

Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon,
lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi
menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah

10
kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava. Kuadran kanan atas
abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang


mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam
usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu


mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di
dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan
dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar
melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu,


sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan
batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan.
Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong empedu.
Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa
terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga
cairan yang berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu.
Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di
kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan
pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul
akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.

1. Tipe Cholelithiasis
a. Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol,
dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium
bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu
pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu,

11
dapat berupa soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin
atau multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah
murbei.3,29 Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol
di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam
darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu tinggi,
pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu.
Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di dalam
kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan
empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan empedu
sehingga terjadi pengendapan.30
b. Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu
lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering
ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah
banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai
hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.3,29
Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran
empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin
kalsium dan akibat penyakit infeksi.22,30
c. Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%)
dan terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam
kalsium. Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium
sehingga bersifat radioopaque.
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah
asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang
kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang
simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah
kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri

12
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas
dalam.
b. Ultrasonografi (USG)
USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat
baik untuk menegakkan diagnosa Batu Kantong Empedu.
Kebenaran dari USG ini dapat mencapai 95% di tangan Ahli
Radiologi.
c. CT-Scan
Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila batu
berada di dalam saluran empedu.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kadang diperlukan pemeriksaan ini apabila ada komplikasi
sakit kuning.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak
menunjukkan kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin
serum terjadi akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dan
penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut.
3. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Non Bedah
1) Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi
non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm
dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan
duktus sistik paten.
2) Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan
ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterektomi
endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun 1974
hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif
untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran
empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi
melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen

13
duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk
batu saluran empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di
saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu
yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik
tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu
dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
3) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah pemecahan
batu dengan gelombang suara. ESWL Sangat populer
digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan
untuk menjalani terapi ini.
b. Penatalaksanaan Bedah
1) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.
2) Kolesistektomi laparoskopi
Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.7 Indikasi
pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik,
adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering
atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium
lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter
lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis
akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7
Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku
untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik.
Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi
luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah
minimal.
4. Komplikasi

14
a. Kolesistitis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran
kandung empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan
infeksi dan peradangan kandung empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi
karena infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus
kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu
empedu.
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan
hidrops kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops
biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak
dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
Kolesistektomi bersifat kuratif.
d. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi
ini dapat membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi
darurat segera.
B. Karsinoma Endometrium
Kanker endometrpium adalah tumor ganas epitel primer di endometrium,
umumnya dengan diferensiasi glandular dan berpotensi mengenai
miometrium dan menyebar jauh. Kanker endometrium merupakan kanker
ginekologi yang paling sering terjadi di dunia barat, menempati urutan
keempat kanker pada wanita setelah kanker payudara, kolon, dan paru. Hal
ini disebabkan oleh karena sebagian besar kanker endometrium berada dalam
stadium awal sehingga dapat disembuhkan secara sempurna.
Sebagian besar kanker endometrium adalah adenokarsinoma (75%), yang
berasal dari lapisan tunggal dari sel-sel epitel yang melapisi endometrium dan
membentuk kelenjar endometrium. Terdapat beberapa subtipe kanker
endometrium yaitu jenis endometrioid, dimana sel kanker menyerupai
gambaran endometrium normal, papillary serous carcinoma yang agresif dan
clear cell carcinoma.
1. Stadium dan Derajat Karsinoma Endometrium

15
a. Stadium Karsinoma Endometrium
Tabel Klasifikasi stadium kanker endometrium berdasarkan FIGO
2009
Stadium Keterangan

I Tumor terbatas pada korpus uteri

IA Tidak atau kurang dari setengah invasi myometrium

IB Invasi mencapai sama atau lebih dari setengah myometrium

Tumor menginvasi stroma serviks, tetapi tidak meluas ke luar


II
uterus

III Tumor menyebar secara lokal dan/atau regional

IIIA Tumor menginvasi serosa korpus uteri dan/atau adneksa

IIIB Keterlibatan vagina dan/atau parametrium

Metastasis ke pelvis dan/atau kelenjar getah bening para


IIIC
aorta

IIIC1 Kelenjar getah bening pelvis positif

Kelenjar getah bening para aorta positif dengan/tanpa


IIIC2
kelenjar getah bening pelvis positif

Tumor menginvasi mukosa buli dan/atau usus, dan/atau


IV
metastasis jauh

IVA Tumor menginvasi mukosa buli dan/atau usus

Metastasis jauh, termasuk metastasis intra abdomen


IVB
dan/atau kelenjar getah bening inguinal

b. Derajat Karsinoma Endometrium


G1 : derajat diferensiasi adenokarsinoma baik dengan ≤ 5%
nonskuamosa atau pola pertumbuhan nonmorular padat
G2 : derajat diferensiasi adenokarsinoma dengan 6% sampai 50%
non skuamosa atau pola pertumbuhan nonmorular padat

16
G3 : lebih dari 50% nonskuamosa atau pola pertumbuhan
nonmorular padat (undiferensiasi)
2. Diagnosis
a. Gejala klinis
1) Perdarahan dari kemaluan, seperti metroragia yang terjadi pada
wanita post menopouse menunjukkan suatu tanda karsinoma
endometrium
2) Keputihan
3) Pembesaran abdomen
4) Gejala penekanan kandung kemih dan rectum
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan ginekologi, dengan pemeriksaan rektovaginal
d. Pemeriksaan histologi
1) Office endometrial aspiration biopsy
2) Dilatasi dan kuretase
3) Histeroskopi-endometrial biopsy
e. Histerografi
f. CA125
3. Penatalaksanaan
a. Operasi
1) Stadium I : total abdominal histerektomi + bilateral
salpingo-oophorectomy + sitologi peritoneal + limfadenoktomi
pelvis dan paraaorta.
2) Stadium II : radikal histerektomi + limfadenoktomi
pelvis dan paraaorta, dilanjutkan radiasi eksternal dengan dosis
4000-5000 rads pada pelvis.
3) Stadium III dan IV: bersifat individual, usahakan operasi
radikal histerektomi yang dilanjutkan kemoterapi dan radiasi.
b. Radioterapi
c. Kemoterapi
Terapi ini bersifat paliatif. Saat ini kemoterapi dengan reaksi yang
paling baik adalah kombinasi CAP, yaitu Cyclophoshasmida
600mg/m2, Aderiamycin 45-50mg/m2, dan Cisplatin 60mg/m2
d. Terapi hormonal
Indikasi terapi hormonal dilakukan pada tumor yang sudah
mengalami metastase dan bila sewaktu operasi masih terdapat sisa
tumor serta keadaan pasien sudah inoperable.
4. Prognosis
Prognosis kanker serviks sangat tergantung pada seberapa dini kasus ini
terdiagnosis dan dilakukan terapi yang adekuat. Ada beberapa faktor

17
prognostik yang utama bagi pasien kanker serviks stadium IB dan IIA
yang dilakukan histerektomi radikal dan limfadenektomi, yaitu:
a. Status keterlibatan KGB
b. Ukuran tumor primer
c. Kedalaman invasi stroma
d. Ada tidaknya invasi ke pembuluh darah dan pembuluh limfe
e. Ada tidaknya keterlibatan parametrium
f. Tipe histologi sel
g. Status batas sayatan vagina
5. Komplikasi
a. Asites
Kanker ovarium dapat bermetastasis dengan invasi langsung ke
struktur-struktur yang berdekatan pada abdomen dan panggul dan
melalui penyebaran benih tumor melalui cairan peritoneal ke
rongga abdomen dan rongga panggul.
b. Efusi Pleura
Dari abdomen, cairan yang mengandung sel-sel ganas melalui
saluran limfe menuju pleura.
Komplikasi lain yang dapat disebabkan pengobatan adalah :
a. Infertilitas adalah akibat dari pembedahan pada pasien menopause
b. Mual, muntah dan supresi sumsum tulang akibat kemoterapi. Dapat
juga muncul maaslah potensial ototoksik, nefroktoksik, neurotoksis
c. Penyakit berulang yang tidak terkontrol dikaitkan dengan obstruksi
usus, asites fistula dan edema ekstremitas bawah
C. Hypertension Heart Disease (HHD) dengan Pacemaker
Hypertension heart disease (HHD) atau penyakit jantung hipertensi adalah
istilah yang diterapkan untuk menyebutkan penyakit jantung secara
keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy (LVH), aritmia jantung,
penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung kronis, yang disebabkan
kerana peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
1. Diagnosis
Tabel alogaritma diagnosis hipertensi menurut Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki), 2015 yang diadaptasi dari
Canadian Hypertension Education Program, 2014.

18
2. Penatalaksanaan
a. Terapi Non Farmakologis
1) Penurunan berat badan
2) Mengurangi asupan garan
3) Olahraga teratur sebanyak 30 - 60 menit / hari minimal 3
hari / minggu

19
4) Mengurangi konsumsi alkohol
5) Berhenti merokok
b. Terapi Farmakologis
Tabel alogaritma tatalaksana hipertensi secara umum menurut
Perki, 2015 yang disadur dari A Statement by the American Society
of Hypertension and the International Society of Hypertension,
2013.

3. Komplikasi
Penyakit jantung koroner dan hipertrofi ventrikel kiri pada penyakit
jantung hipertensi dapat menyebabkan komplikasi berupa:
a. Gagal jantung
b. Aritmia
c. Penyakit jantung iskemi
d. Serangan jantung mendadak
e. Stroke
f. Kematian mendadak
4. Penggunaan pacemaker

20
Alat pacu jantung atau pacemaker adalah alat pacu detak jantung
dan langsung mengontrol detak jantung. Kontraksi jantung (cardiac) otot
pada manusia , alat mekanis yang disebut alat pacu jantung buatan (atau
hanya "alat pacu jantung") dapat digunakan setelah kerusakan pada sistem
konduksi intrinsik tubuh untuk menghasilkan impuls sintetis (Shadily,
2014).
Tujuan dari pemasangan alat pacu jantung adalah untuk
memberikan impuls ekstrinsik sehingga terjadi depolarisasi dan urutan
kontraksi yang benar.
Indikasi dari pemasangan alat pacu jantung pada pasien yaitu:
i. Penderita sick sinus syndrome dengan sinkop (pingsan).
ii. Penderita dengan AV block pada gambaran rekam
jantungnya.
iii. Penderita hypersensitive carotid sinus syndrome yang tidak
respon dengan pengobatan dan kardioversi.
iv. Penderita refraktori takidisirtimois yang tidak memberikan
respon dengan pengobatan dan kardioversi.
Komplikasi yang disebabkan oleh pemasangan alat pacu jantung:
i. Pneumothoraks
ii. Miokardial perforasi, yaitu adanya peradangan atau infeksi
pada otot jantung
iii. Aritmia ventrikel
iv. Peerdarahan
v. Pacemaker syndrome
D. General Anestesi
Anestesi general adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi ideal terdiri dari: (1). Hipnotik, (2). Analegsia, dan (3) Muscle
relaxant atau relaksasi otot.
Metode anestesi dilihat dari cara pemberian obat meliputi:
i. Parenteral
Anestesi general dengan metode parenteral baik intravena (IV)
maupun intramuskular (IM) biasanya digunakan untuk tindakan dalam
waktu singkat seperti induksi anestesi.
ii. Per rektal
Anestesi general dengan metode per rektal umumnya dipakai pada
anak-anak, terutama untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
iii. Per inhalasi

21
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan bahan gas atau cairan
anestesika yang mudah menguap sebagai zat anestesika melalui udara
pernapasan.
Teknik pemberian anestesi general:
i. Napas spontan dengan face mask
ii. Napas spontan dengan pipa endotrakea
iii. Napas terkendali dengan pipa endotrakea
Keuntungan pemberian anestesi general:
i. Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
ii. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu lama
iii. Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi
iv. Dapat digunakan terhadap kasus sensitivitas terhadap agen anestesi
lokal
v. Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
vi. Dapat diberikan dengan cepat
vii. Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang (supine)
Kerugian pemberian anestesi general:
i. Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
ii. Terkait dengan komplikasi yang kurang serius dan memerlukan waktu
untuk kembali ke fungsi mental normal
iii. Terkait dengan hipertermia dimana paparan beberapa, namun tidak
semua agen anestesi general menyebabkan kenaikan suhu akut,
hiperkarbia, asidosis metabolik dan hiperkalemi.
1. Anestesi General dengan Intubasi Oral (Endotracheal Tube)
Intubasi endotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan pipa
khusus kedalam trakea, sehingga jalan nafas menjadi bebas dan nafas
menjadi mudah dibantu atau dikendalikan. Intubasi endotrakeal dapat
dilakukan dengan memasukkan pipa dari hidung, mulut atau trakeal stoma.
a. Indikasi pemasangan
1) Untuk patensi jalan nafas, dengan menjamin ventilasi,
oksigenasi adekuat.
2) Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET,
terutama pada pasien yang baru saja makan atau pasien
obstruksi usus.
3) Operasi dengan ventilasi tekanan positif paru, misal
torakotomi, penggunaan muscle relaxant atau ventilasi
kontrol yang lama.
4) Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang

22
5) Operasi daerah kepala, leher, atau jalan nafas atas
6) Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo
(bronchiolpulmonair toilet)
7) Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak
sadar atau dengan depresi refleks muntah (misal selama
anestesi umum)
8) Ada penyakit atau kelainan jalan nafas atas, misal paralisis
pita suara, tumor supraglotis, dan tumor subglotis.
9) Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.
b. Kontra indikasi pemasangan
1) Trauma jalan nafas berat atau obstruksi yang tidak
memberikan pemasangan ET yang aman. Cricothyrotomi
diindikasikan untuk beberapa kasus.
2) Trauma servikal, dimana diperlukan imobilisasi komplit.
c. Keuntungan pemasangan intubasi ET
1) Intubasi ET akan membantu saluran nafas yang bagus
selama salurannya masih terbuka.
2) Akan menurunkan normal anatomic dead space (75 ml)
menjadi 25 ml.
3) Ventilasi dapat diukur dan dikontrol tanpa mempengaruhi
lambung dan usus.
4) Akan mengurangi kemungkinan aspirasi sekresi, darah,
jaringan dan muntah secara drastis.
5) Ventilasi dapat diukur dan dikontrol walau pada posisi
lateral telungkup atau lainnya.
6) Respirasi dapat dikontrol selama pemberian obat pelumpuh
otot.
7) Mempermudah dilakukan suction pada paru
8) Anestesiolog dan alat-alat anestesi dapat diletakan jauh dari
daerah operasi jika dilakukan operasi kepala atau leher.
d. Kerugian pemasangan intubasi ET
1) Intubasi ET akan menambah resistensi terhadap pernafasan.
Untuk menjaga resistensi sekecil mungkin dapat digunakan
ET dengan diameter yang sesuai.
2) Trauma terhadap bibir, lidah, hidung, tenggorokan dan
laring dapat saja terjadi, mengakibatkan suara serak, sakit
dan disfagia. Aberasi nukosa dapat diakibatkan oleh suatu

23
operasi empisema yang luas. Bila terjadi perforasi dari
membran padadecussatio dari otot krikofaringeal akan
dapat mengakibatkan mediastinitis.
2. Anestesi pada pemasangan alat pacemaker
Agen anestesi baik regional maupun general relatif aman
digunakan pada pasien dengan pacemaker. Agar selama dilakukan teknik
anestesi tidak mengganggu kerja pacemaker, hal-hal yang harus
diperhatikan:
a. Menghindari penggunaan Suksinil kolin.
Suksinil kolin pada sistem kardiovaskuler menimbulkan bradikardi
terutama pada pemberian dosis tinggi atau berulang, meningkatkan
kadar kalium darah yang bila diberikan pada penderita hiperkalemi
dapat menyebabkan disritmia atau henti jantung. Penggunaan
suksinil kolin menyebabkan fasikulasi otot yang dapat memicu atau
menghambat rangsangan mode pacemaker.
b. Menghindari penggunaan Ketamin dan Etomidat
Penggunaan Ketamin dan Etomidat menyebabkan mioklonik.
c. Mencegah dan mengatasi shivering
Shivering menyebabkan terjadinya miopotensial yang selanjutnya
dapat menghambat kerja pacemaker.
d. Menghindari penggunaan N2O
Penggunaan N2O dapat terjebak dalam saku pacemaker yang dapat
mengganggu fungsi pacemaker selama berlangsungnya operasi.
e. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik dapat menyebabkan malposisi pada alat
pacemaker.

24

Anda mungkin juga menyukai