Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

SEORANG PEREMPUAN USIA 63 TAHUN DENGAN


ULKUS DM PEDIS DEXTRA, DM TIPE 2 TERKONTROL, HIPERTENSI
STAGE I, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK

Oleh:

Savira Widha Alifprilia G991905049

Pembimbing Residen

dr. Kunti Dewi Saraswati, M.Kes, dr. Indah Meyliza


Sp.PK

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2021
Laporan Kasus dengan judul:

SEORANG PEREMPUAN USIA 63 TAHUN DENGAN


ULKUS DM PEDIS DEXTRA, DM TIPE 2 TERKONTROL, HIPERTENSI
STAGE I, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK

Savira Widha Alifprilia G991905049

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:


Kamis, 11 Februari 2021

dr. Kunti Dewi Saraswati, M.Kes, Sp.PK


STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. TZ
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Ngemplak, Banjarasari, Surakarta
Nomor RM : 0151xxxx
Tanggal Masuk : 29 Oktober 2020
Tanggal Periksa : 9 November 2020

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada di Bangsal
Flamboyan 8 Bed 804C RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan nyeri kaki
kanan. Nyeri dirasakan sejak 2 minggu SMRS dan memberat 1 hari ini.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan tidak menjalar. Pasien
mengaku memiliki luka di kaki kanannya di jari ke-3. Luka dirasakan
sejak 2 minggu yang lalu, awalnya ungu dan lama kelamanaan menjadi
hitam.
Pasien juga mengeluh lemas. Lemas dirasakan diseluruh tubuh
yang membuat pasien tidak bisa beraktivitas. Lemas berkurang saat
pasien beristirahat dan bertambah jika aktivitas.
BAK pasien normal seperti biasa, tidak nyeri atau anyang-
anyangan. BAK 3-4x sehari warna kuning jernih. BAK darah disangkal.
BAB pasien juga normal, 2 hari sekali, tidak ada darah maupun lendir.
BAK coklat lembek, nyeri saat BAB disangkal.
2 minggu yang lalu pasien mengaku sempat dirawat di rumah sakit
dengan keluhan yang sama, dan sempat di amputasi di jari ke-2 kaki
kanannya. Pasien memiliki riwayat DM dan HT 7 tahun yang lalu. Pasien
rutin mengkonsumsi obat DM metformin 1x500mg.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat diabetes mellitus : (+) 7 tahun, rutin mengkonsumsi
metformin 1x500 mg
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) 7 tahun yang lalu
Riwayat operasi : post eksisi di inguinal dextra ai
melanoma maligna 1 tahun yang lalu, dan riwayat amputasi jari ke-2 kaki
kanan 2 minggu yang lalu
Riwayat transfusi : (+) 3 kantong 2 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan ibu rumah tangga. Tinggal bersama suami dan satu
orang anak. Pasien berobat dengan mnggunakan biaya BPJS Kesehatan
Kelas II

Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok : disangkal
Riwayat Minum Alkohol : disangkal
Riwayat Nutrisi : 3 kali sehari , 1 porsi orang dewasa sekali
makan, dengan nasi lauk dan sayuran yang cukup.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Derajat Kesadaran : GCS E4V5M6, compos mentis
- Derajat Gizi : gizi normal
2. Vital sign
- TD : 150/80 mmHg
- Nadi : 86 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit, irama teratur
- Suhu : 360 C
- Sp O2 : 98%
- VAS : 4.5 pedis (D)
3. Kepala
mesochepal, luka (-), rambut mudah dicabut (-)
4. Mata
Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+)
5. Hidung
deformitas (-), deviasi septum (-), krepitasi (-), discharge (-)
6. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-),nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
7. Mulut
sianosis (-), mukosa basah (+), gusi berdarah (-)
8. Leher
KGB membesar (-), peningkatan JVP (-)
9. Thorax
bentuk normochest, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-),
nyeri tekan(-)
10. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan -/-, krepitasi -/-
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
12. Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba
13. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -

Status lokalis : digiti 3 pedis ulkus gangrene


Look : Tampak hiperemis, darah, pus, dan gangrene
Feel : Teraba hangat dan nyeri saat palpasi
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah RSUD Dr. Moewardi (29/10/2020)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 9.2 g/dl 13.5 – 17.5
Hematokrit 27 % 33 - 45
Leukosit 23.9 103/  L 4.5 - 11.0

Trombosit 464 103/  L 150 - 450

Eritrosit 3.23 106/  L 4.5 - 5.9

Indeks Eritrosit
MCV 84.0 fL 80.0 - 96.0
MCH 28.6 Pg 28 - 33
MCHC 34.0 % 33.0 - 36.0
MPV 7.4 Fl 7.2 - 11.1
PDW 15 % 25 - 65
RDW 13.5 % 11.6 - 14.6
Hitung Jenis
Eosinofil 0.40 % 0.00 - 4.00
Basofil 0.20 % 0.00 - 2.00
Neutrofil 90.10 % 55.00 - 80.00
Limfosit 5.40 % 22.00 - 44.00
Monosit 3.90 % 0.00 - 7.00
Golongan B
darah
Hemostasis
PT 15.3 Detik 10.0 – 15.0
APTT 27.2 Detik 20.0 – 40.0
INR 1.100
Kimia Klinik
Glukosa darah 142 Mg/dl 60 – 140
sewaktu
Albumin 2.6 g/dl 3.2 - 4.6
Kreatinin 1.4 Mg/dl 0.8 – 1.3
Ureum 194 Mg/dl <50
Elektrolit
Natrium darah 131 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.0 mmol/L 3.3 – 5.1
Kalsium Ion 1.10 Mmol/L 1.17 – 1.29

Gambaran Darah Tepi RSUD Dr. Moewardi (30/10/2021)


Eritrosit Normokrom,sebagian hipokrom, normosit, polikromasi,
eritroblast (+)
Lekosit Jumlah meningkat, netrofilia, hipergranulasi dan vakuolisasi
netrofil, limfosit atipik, monosit atipik, monosit teraktivasi, sel
blast (-)
Trombosit Jumlah meningkat, makrotrombosit, clumbping (+) beberapa
lapang pandang
Simpulan Anemia normokromik normositik dengan neutrofilia absolut dan
trombositosis suspek ec proses kronis dd defisiensi besi disertai
infeksi (mixed infection) dan perdarahan
Saran SI, TIBC, Retikulosit, CRP

Laboratorium Darah RSUD Dr. Moewardi (3/11/2020)


Kimia Klinik
Gula Darah Puasa 146 Mg/dl 70 - 110
Asam Urat 4.7 mg/dl 2.4 – 6.1
Kolesterol Total 101 Mg/dl 50 - 200
Kolesterol LDL 44 Mg/dl 100 - 224
Kolesterol HDL 21 Mg/dl 38 - 92
Trigliserida 158 Mg/dl < 150
Ekspertise: DM tipe 2, penurunan kolesterol HDL

Laboratorium Darah RSUD Dr. Moewardi (16/11/2020)


Kimia Klinik
Gula Darah Puasa 191 Mg/dl 70 - 110
Glukosa 2 Jam PP 216 Mg/dl 80-140

Foto Thorak PA RSUD Dr. Moewardi (29/10/2020)

Kesimpulan :
1. Pulmo tak tampak kelainan
2. CTR tak valid di ukur
Foto Pedis Kanan AP RSUD Dr. Moewardi (29/10/2020)

Kesimpulan :
1. Soft tissue swelling dan emfisema subcutis di regio pedis kanan mengarah
gambaran selulitis pedis kanan
2. Segmen amputatum pada phalang proksimal hingga distal digiti 2 dan
destruksi phalang distal digiti 1 pedis kanan

RESUME
1. Keluhan utama:
Nyeri pada kaki kanan
● Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan nyeri
kaki kanan. Nyeri dirasakan sejak 2 minggu SMRS dan memberat 1
hari ini. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan tidak menjalar.
Pasien mengaku memiliki luka di kaki kanannya di jari ke-3. Luka
dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, awalnya ungu dan lama
kelamanaan menjadi hitam.
Pasien juga mengeluh lemas. Lemas dirasakan diseluruh
tubuh yang membuat pasien tidak bisa beraktivitas. Lemas
berkurang saat pasien beristirahat dan bertambah jika aktivitas.
BAK pasien normal seperti biasa, tidak nyeri atau anyang-
anyangan. BAK 3-4x sehari warna kuning jernih. BAK darah
disangkal. BAB pasien juga normal, 2 hari sekali, tidak ada darah
maupun lendir. BAK coklat lembek, nyeri saat BAB disangkal.
2 minggu lalu pasien mengaku sempat dirawat di rumah sakit
dengan keluhan yang sama, dan sempat di amputasi di jari ke-2
kaki kanannya. Pasien memiliki riwayat DM dan HT 7 tahun yang
lalu. Pasien rutin mengkonsumsi obat DM metformin 1x500mg.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat diabetes melitus dan hipertensi, pasien rutin
minum obat metformin 1x500mg.
Riwayat transfusi 3 kantong 2 minggu yang lalu.
Riwayat operasi 1 tahun dan 2 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak mengetahui riwayat serupa pada keluarganya.
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Tinggal bersama suami dan satu orang
anak. Pasien berobat dengan mnggunakan biaya BPJS Kesehatan Kelas II
Riwayat merokok, riwayat mengonsumsi alkohol, minum jamu-jaumuan,
serta penggunaan obat-obatan suntik disangkal pasien.
2. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
● Vital sign: Tekanan darah 150/80 mmHg, RR 20x/ menit, HR
86x/menit, suhu 36.00 C, VAS 4.5 pedis (D)
● Kepala: Bentuk mesocephal
● Mata : CA (+/+)
● Leher: KGB membesar (-), JVP R+2 cm H2O
● Thorax: Simetris, normochest, retraksi (-)
● Pulmo:
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/ Sonor
Auskultasi : SDV ( + /+) RBK (-/-), RBH (-/-),
● Abdomen:
Inspeksi : Dinding dada = dinding perut
Auskultasi: Bising usus (+) 12 x / menit
Perkusi: Timpani
Palpasi: Supel, Nyeri Tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Oedem (-/-), akral dingin (-/-)
Status lokalis : digiti 3 pedis ulkus gangrene
Look : Tampak hiperemis, darah, pus, dan gangrene
Feel : Teraba hangat dan nyeri saat palpasi
3. Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium (Tanggal 29 Oktober 2020)
- Hematologi rutin : hemoglobin 9.2 g/dl (↓) hematokrit 27 % (↓)
leukosit 23.9 103/  L (↑) trombosit 464 103/  L (↑) eritrosit 3.23 106/
 L (↓)

- Index Eritrosit : PDW 15% (↓)


- Hitung Jenis : Neutrofil 90.10% (↑) Limfosit 5.40 % (↓)
- Elektolit darah : Natrium darah 131 (↓) Calsium Ion 1,10 (↓)
- Kimia klinik : GDS 142 mg/dl (↑) albumin 2.8 gr/dl (↓) kreatinin 1.8
mg/dl (↑) ureum 194 mg/dl (↑)
- Hemostasis : PT 15.3 detik (↑)
Gambaran Darah Tepi RSUD Dr. Moewardi (30/10/2021)
- Simpulan : Anemia normokromik normositik dengan neutrofilia
absolut dan trombositosis suspek ec proses kronis dd defisiensi besi
disertai infeksi (mixed infection) dan perdarahan
Laboratorium (tanggal 3 November 2020)
- Kimia klinik : GDP 146 mg/dl (↑) kolesterol LDL 44 mg/dl (↓)
kolesterol HDL 21 mg/dl (↓) trigliserida 158 mg/dl (↑)

Laboratorium (tanggal 16 November 2020)


- GDP 191 mg/dl (↑), GD2PP 216 mg/dl (↑)
Foto Thorak PA RSUD Dr. Moewardi (29/10/2020)
1. Pulmo tak tampak kelainan
2. CTR tak valid di ukur
Foto Pedis Kanan AP RSUD Dr. Moewardi (29/10/2020)
1. Soft tissue swelling dan emfisema subcutis di regio pedis kanan
mengarah gambaran selulitis pedis kanan
2. Segmen amputatum pada phalang proksimal hingga distal digiti 2
dan destruksi phalang distal digiti 1 pedis kanan

D. DIAGNOSIS
1. Ulkus diabetes mellitus pedis dextra Wagner IV
2. Diabetes mellitus tipe 2 terkontrol
3. Hipertensi stage 1
4. Anemia normositik normokromik ec perdarahan dd penyakit kronik

E. TATALAKSANA
1. Bedrest total
2. O2 NK 3 lpm
3. Diet DM 1500 kkal
4. Inf. Ringer Laktat 16 tpm
5. Inf. Renxamin 1 fl/24 jam
6. Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
7. Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
8. Inj. Novorapid 6-6-6 IU sc
9. Asam Folat 1 mg/24 jam
10. Candesartan 16 mg/24 jam
11. N-Acetylcysteine 200 mg/8 jam

F. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Evaluasi darah lengkap
2. Evaluasi GDS
3. Pemeriksaan HbA1C
4. Pemeriksaan fungsi hati
5. Urinalisis
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, seorang perempuan usia 63 tahun datang dengan keluhan
nyeri kaki kanan. Nyeri dirasakan sejak 2 minggu SMRS dan memberat 1 hari ini.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan tidak menjalar. Pasien mengaku
memiliki luka di kaki kanannya di jari ke-3. Luka dirasakan sejak 2 minggu yang
lalu, awalnya ungu dan lama kelamanaan menjadi hitam. 2 minggu yang lalu
pasien mengaku sempat dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama, dan
sempat di amputasi di jari ke-2 kaki kanannya. Pasien juga memiliki riwayat DM
sejak 7 tahun yang lalu, sehingga mendukung diagnosis ulkus DM pedis dextra.

Diagnosis DM tipe 2 terkontrol didukung dari GDS pasien sebesar 142


mg/dl, pasien juga rutin mengkonsumsi obat metformin 1x500 mg sejak 7 tahun
yang lalu. Pasien juga didiagnosis dengan hipertensi stage I didukung dari hasil
pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah sistolik sebesar 150 mmHg.

Diabetes dan hipertensi memiliki jalur mekanisme yang sama seperti SNS,
RAAS, stres oksidatif, dan resistensi insulin. Jalur ini berinteraksi dan
mempengaruhi satu sama lain dan bahkan dapat menyebabkan lingkaran setan.
Hipertensi dan diabetes adalah hasil akhir dari sindrom metabolik. Oleh karena
itu, mereka dapat berkembang satu demi satu dalam hal yang sama individu.
Obesitas sentral adalah penyebab sindrom metabolik. . Oleh karena itu,
optimalisasi gaya hidup tetap menjadi landasan dalam pencegahan dan
pengobatan diabetes dan hipertensi.

Pasien juga didapatkan klinis anemia, dimana pasien mengeluh lemas.


Lemas dirasakan diseluruh tubuh yang membuat pasien tidak bisa beraktivitas.
Lemas berkurang saat pasien beristirahat dan bertambah jika aktivitas. Pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan CA (+/+). Pasien juga memiliki riwayat
transfusi 3 kantong 2 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan lab, didapatkan hb 9,2
g/dl, MCV normal, MCH normal, MCHC normal, sehingga mengarah ke anemia
normositik normokromik.

Anemia dapat terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi.
Hiperglikemia memiliki hubungan langsung dengan berkembangnya kondisi
inflamasi yang ditunjukkan dengan peningkatan ekspresi sitokin proinflamasi
seperti IL-6, TNF-𝛼, dan NF𝜅B. Peningkatan sitokin proinflamasi berperan
penting dalam terjadinya anemia. Dengan meningkatknya sitokin proinflamasi
terutama IL-6, efek antierythropoietic terjadi, karena sitokin ini mengubah
sensitifitas progenitor terhadap eritropoietin (faktor pertumbuhan eritroid) dan
juga meningkatkan apoptosis eritrosit yang belum matang menyebabkan
penurunan pada jumlah eritrosit yang beredar dan akibatnya menyebabkan
pengurangan sirkulasi hemoglobin (Deray G et al., 2004).

Perlu juga dicatat bahwa, karena perkembangan dari diabetes mellitus,


nefropati mungkin timbul, yang selanjutnya merusak produksi ginjal eritropoietin,
berkontribusi untuk meningkatkan anemia. Hipertensi juga dapat menimbulkan
nefropati, yang juga akan merusak produksi eritropoietin oleh ginjal, dan
menyebabkan anemia (Deray G et al., 2004).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ULKUS DM PEDIS
Ulkus merupakan rusaknya barrier kulit sampai keseluruh lapisan dari
dermis. Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau gangren. Gangren
diabetikum merupakan kematian jaringan yang disebabkan oleh penyumbatan
pembuluh darah (ischemic necrosis) karena adanya mikroemboli aterotrombosis
akibat penyakit vaskular perifer oklusi yang menyertai penderita diabetes sebagai
komplikasi menahun dari diabetes itu sendiri. Ulkus tersebut dapat diikuti oleh
invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, dapat terjadi di setiap
bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai bawah1,2,3.
Ulkus diabetikum adalah salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit
DM dengan neuropati perifer. Kadar LDL yang tinggi memainkan peranan
penting untuk terjadinya ulkus diabetik melalui pembentukan plak aterosklerosis
pada dinding pembuluh darah4.
Adapun klasifikasi Ulkus diabetikum berdasarkan derajatnya menurut
Wagner5:
 Derajat 0 : tidak ada ulkus di kaki
 Derajat 1 : ulkus dangkal, penebalan kulit tetapi tidak sampai dasar
jaringan
 Derajat 2 : ulkus dalam, menembus ke ligamen dan otot tapi tidak
melibatkan tulang atau pembentukan abses
 Derajat 3 : ulkus dalam dengan selulitis atau pembentukan abses,
sering dengan osteomielitis
 Derajat 4 : gangren lokal
 Derajat 5 : gangren luas yang melibatkan seluruh kaki
Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
Diabetes mellitus yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati baik sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudahkan terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah menyebar menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolahan
kaki diabetes8.
Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia
berkepanjangan yang berakibat peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance
glycosilation and product (AGEs), pembentukan radikal dan aktivasi protein
kinase C (PKC), aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya
vasodilatasi, sehingga aliran darah saraf menurun dan bersama rendahnya
mioniositol dalam sel terjadilah neuropati8.
Neuropati sensorik perifer berperan dalam timbulnya cedera pada kaki.
Komplikasi ini menyebabkan gangguan pada mekanisme proteksi kaki yang
normal, sehingga pasien dapat mengalami cedera pada kaki tanpa disadari.
Neuropati otonom menyebabkan terjadinya anhidrosis dan gangguan perfusi kaki.
Akibatnya kulit menjadi kering dan dapat terbentuk fisura8.
Biomekanika kaki yang abnormal disebabkan oleh beberapa faktor yang
berhubungan dengan neuropati, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Gangguan propriosepsi menyebabkan distribusi berat badan yang abnormal. Hal
ini berperan dalam terjadinya kalus atau ulserasi pada kaki. Perubahan struktural
pada kaki dapat terjadi akibat adanya komplikasi neuropati sensorik dan motorik.
Pada pasien DM, angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Gangguan pembuluh darah perifer menyebabkan gangguan oksigenasi
jaringan sehingga menghambat proses penyembuhan luka9.
Ulkus sering terjadi di ujung-ujung jari dan di telapak kaki pada
permukaan dari head metatarsal dan sering didahului oleh pembentukan kalus.
Jika kalus tidak dihilangkan bisa terjadi perdarahan dan kematian jaringan. Dan
terjadi ulkus. Ulkus bisa terjadi karena infeksi sekunder oleh Staphylococcus sp.,
Streptococcus sp., organisme gram negatif dan bakteri anaerob, yang berperan
penting pada terjadinya selulitis, abses, and osteomyelitis. Komplikasi sepsis
ulkus jari-jari ke apikal bisa menimbulkan trombosis pada digital arteri yang dapat
menimbulkan gangren pada jari9.
Adanya neuropati motorik dapat menimbulkan kelemahan otot kaki dan
perubahan struktural kaki, misalnnya hammer toe, claw toe, prominent metatarsal
head, charcot joint dan mudahnya terbentuk kalus. Gangguan otonom yang ada
seperti antihidrosis, gangguan aliran darah superfisial kaki, membuat kulit
menjadi kering dan mudah terbentuk retakan/fisura. Buruknya sirkulasi darah dan
penyembuhan luka dapat memperbesar luka kecil9.

Gambar 1. Patogenesis Ulkus diabetikum9.


Gambar 2. Ulkus Neuropati9.

Manifestasi Klinis10
Tanda dan gejala ulkus diabetika yaitu :
1. Sering kesemutan
2. Nyeri kaki saat istirahat
3. Sensasi rasa berkurang
4. Kerusakan Jaringan (nekrosis)
5. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea
6. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal
7. Kulit kering

Terapi Ulkus Diabetikum


Tujuan manajemen Diabetic Ulcer adalah untuk dapat menutup luka
secepat mungkin. Diabetes adalah penyakit sistemik multi-organ, semua
komorbiditas yang mempengaruhi penyembuhan luka harus dikelola oleh tim
multidisiplin untuk hasil yang optimal.
1. Mengontrol gula darah
Indikator terbaik dari gula darah selama satu periode waktu adalah
HbA1C. Tes ini mengukur konsentrasi gula darah rata-rata selam arentang
90 hari sel darah merah rata-rata berada di sirkulasi darah perifer.
2. Wound Debridement
Debridement adalah menghilangkan jaringan nekrotik dan senescent
tissue serta bahan asing dan material penginfeksi dari luka, yang dianggap
sebagai langkah pertama dan terpenting yang mengarah pada wound
closure dan penurunan kemungkinan amputasi pada pasien dengan
diabetic ulcer.
3. Offloading
Penggunaan teknik offloading, umumnya dikenal sebagai modulasi
tekanan, diangga sebagai komponen penting dalam managemen diabetic
ulcer. Teknik offloading paling efektif untuk diabetic ulcer adalah Total
Contact Casts (TCC). TCC empuk dan dibentuk hati- hati dengan bentuk
kaki dengan tumit untuk berjalan. Casts ini dirancang untuk mengurangi
tekanan ulkus dan mendistribusikan tekanan atas seluruh permukaan kaki,
dengan demikian melindungi lokasi luka.

Gambar 2. TCC

4. Advance Dressing
Idealnya, dressing harus memberi keseimbangan kelembaban,
penyerapan protease, stimulasi growth factor, aktivitas antimikroba,
permeabilitas oksigen, dan kapasitas untuk mempromosikan debridement
autolitik yang memfasilitasi produksi jaringan granulasi dan proses
reepitelisasi
6. Surgery

B. Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolik kronik
dan serius yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah oleh
karena pankreas yang tidak dapat memproduksi insulin dengan cukup atau
ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah diproduksi secara
efektif. Insulin merupakan hormon yang mengatur keseimbangan gula darah,
sehingga pada pasien DM, kadar gula dalam darah akan tinggi atau disebut
dengan hiperglikemia.

Patogenesis
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan
gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru
dari ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven)
perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada
kinerja obat sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah
atau memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang
sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ
lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven. Secara
garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu:

1. Kegagalan sel beta pankreas


Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis
glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil
peptidase-4 (DPP- 4).
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel
alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal
meningkat secara bermakna dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi agonis GLP-1,
penghambat DPP-4 dan amilin.

3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan
kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) dalam
plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di
hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidinedion.
4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multipel di intramioselular, yang diakibatkan
oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi
glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obese baik yang DM maupun non-DM,
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur
Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi


dalam keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti
berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas
sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu
berat badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan
prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani
keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih
besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek
yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan oleh 2
hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan
glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut
juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada
penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan
resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga
segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa
glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi
monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa
glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim
sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada bagian
convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan
diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden
dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada penyandang DM terjadi peningkatan ekspresi
gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi
glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin
dan canaglifozin adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar
amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambung
dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase
akut (disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan
bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang
berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan
dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai
dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi
insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah
pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.

Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya


hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap
inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting
inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap
sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan
metabolik lain yang berkaitan dengan inflamasi juga
banyak terjadi pada DM tipe 2.
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah


kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan
keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP). (B)

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan
meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan


pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil
lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup


sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres
berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
atau tersier.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala


hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat
dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari
penatalaksanaan DM secara komprehensif. Kunci keberhasilannya
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM agar mencapai sasaran.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 – 5 hari
seminggu selama sekitar 30 – 45 menit, dengan total 150 menit per
minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 – 70% denyut
jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. (A) Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien. Pasien diabetes dengan usia
muda dan bugar dapat melakukan 90 menit/minggu dengan latihan
aerobik berat, mencapai > 70% denyut jantung maksimal.
Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik.
Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan fisik.
Pasien diabetes asimptomatik tidak diperlukan pemeriksaan
medis khusus sebelum memulai aktivitas fisik intensitas ringan-
sedang, seperti berjalan cepat. Subyek yang akan melakukan
latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko tinggi harus
dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisik
Pada penyandang DM tanpa kontraindikasi (contoh:
osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati)
dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan beban) 2 –
3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan fisik
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran fisik.
Intensitas latihan fisik pada penyandang DM yang relatif sehat bisa
ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai
komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan
dengan masing-masing individu.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral (dapat dilihat di lampiran 1)
dan bentuk suntikan.
1.B.1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal).
1.B.2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan
sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir
berupa penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak tersedia di
Indonesia.
1.B.3. Metformin
Metformin mempunyai efek utama meng-urangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60

ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada

beberapa keadaan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2, adanya


gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK, gagal jantung NYHA fungsional class III-IV). Efek
samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran
pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
1.B.4. Tiazolidinedion
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidinedion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
fungsional class III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah pioglitazone.
1.B.5. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat
absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambat glukosidase alfa

tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m 2,


gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas
dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.
1.B.6. DPP-4 Inhibitor
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua
asam amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di
posisi kedua peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di
berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan membran brush
border ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler villi,
dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan
menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan
mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses
inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan glucose-
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di
sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk
dalam golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin,
saxagliptin dan alogliptin.
1.B.7. SGLT-2 inhibitor
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di
tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui
urin. Obat golongan ini mempunyai manfaat untuk menurunkan
berat badan dan tekanan darah. Efek samping yang dapat terjadi
akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran kencing dan
genital. Pada penyandang DM dengan gangguan fungsi ginjal
perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan bila
LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena dapat
mencetuskan ketoasidosis.
1.B.8. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
- HbA1c saat diperiksa  7.5% dan sudah menggunakan satu
atau dua obat antidiabetes
- HbA1c saat diperiksa > 9%
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

C. HIPERTENSI
Hipertensi yang tidak diketahui didefinisikan sebagai hipertensi esensial,
atau lebih dikenal hipertensi primer, untuk membedakannya dengan hipertensi
sekunder bahwa hipertensi sekunder dengan sebab yang diketahui. Menurut
The Seventh Report Of The Joint Committe on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok Normotensi,
Prahipertensi, Hipertensi Derajat I, Hipertensi derajat II.4

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC VII

Klas.Tekanan Darah TDS (mmHG) TDD (mmHg)

Normal <120 <80


Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stage I 140-159 90-99

Hipertensi Stage II ≥160 ≥100

Diagnosis
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali
pengukuran, hanya dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran
pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau
gejala-gejala klinis. Pengukuran pertama harus dikonfirmasikan pada
sedikitnya 2 kunjungan lagi dalam waktu satu sampai beberapa minggu.
Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan pasien duduk bersandar,
setelah pasien beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran pembungkus lengan
yang sesuai.6

Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan


lamanya menderita, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan dengan
penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit serebrovaskuler dll. Apakah
terdapat riwayat penyakit dalam keluarga dan gejala-gejala yang berkaitan
dengan penyebab hipertensi, perubahan aktivitas/ kebiasaan merokok,
konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, faktor lingkungan, pekerjaan,
psikososial dsb.4

Patogenesis
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul
terutama karena interaksi antara faktor-faktor risisko tertentu. Faktor-
faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan darah tersebut adalah :

1. faktor risiko, seperti : diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas,
merokok, genetik
2. sistem syaraf simpatis
a. tonus simpatis
b. variasi diurnal
3. keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi :
endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari
endotel, otot polos dan interstitium juga memberikan kontribusi akhir.
4. pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada system renin,
angiotensin, dan aldosteron.
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi Tekanan Darah = Curah
Jantung x Tekanan Perifer.6

Pengobatan
Tujuan pengobatan pada pasien hipertensi adalah :

a. target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi


(diabetes,gagal ginjal proteinuri)<130/80 mmHg
b. penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler
c. mengahambat laju penyakit ginjal proteinuri
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan
terapi farmakologis. Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua
pasien hipertensi dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko, serta penyakit penyerta lainnya. Adapun
terapi nonfarmakologis sbb:

a. menghentikkan merokok
b. menurunkan berata badan yang berlebihan
c. menurunkan konsumsi alkohol yang berlebihan
d. latihan fisik
e. menurunkan asupan garam
f. meningkatkan konsumsi buah dan sayur
g. menurunkan asupan lemak
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis
hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah :

a. diuretika, terutaman jenis thiazid atau aldosterone antagonist


b. beta bloker (BB)
c. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist
d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACE Inhibitor)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker
(ARB)
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang dan yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali
sehari. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan
kemudian tekanan darah belum mancapai target, maka langkah selanjutnya
adalah meningkatakan dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi
yang lain dengan dosis rendah baik tunggal maupun kombinasi. Kombinasi
yang terbukti dapat ditolerir pasien adalah : diuretika dan ACEI atau ARB,
CCB dan BB, CCB dan atau ARB, CCB dan diuretika, ARB dan BB, kadang
diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.4,5

Gambar. Ringkasan mekanisme patofisiologis

perkembangan hipertensi pada diabetes mellitus.

D. ANEMIA
Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapaat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan
sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit.

Kriteria Anemia
Cut off point menurut kriteria WHO:
Laki-laki dewasa : hemoglobin < 13 g/dl
Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12 g/dl
Perempuan hamil : hemoglobin < 11 g/dl
Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 12 g/dl
Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11 /dl

Patofisiologi Timbulnya Gejala Anemia


1. Anoksia organ target: menimbulkan gejala tergantung pada organ yang
terkena
2. Mekanisme adaptasi (kompensasi) terhadap anemia:
a. Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkatkan
ensim 2.3 DPG (2,3 disphopho glycerate)
b. Meningkatkan curah jantung
c. Redistribusi aliran darah
d. Menurunkan tekanan oksigen vena

Eritrosit/hemoglobin menurun

Kapasitas angkut oksigen


menurun

Anoksia organ target Mekanisme Kompensasi


tubuh

Gejala Anemia

Anemia pada Diabetes Melitus dan Hipertensi


Anemia dapat terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi.
Hiperglikemia memiliki hubungan langsung dengan berkembangnya kondisi
inflamasi yang ditunjukkan dengan peningkatan ekspresi sitokin proinflamasi
seperti IL-6, TNF-𝛼, dan NF𝜅B. Peningkatan sitokin proinflamasi berperan
penting dalam terjadinya anemia. Dengan meningkatknya sitokin proinflamasi
terutama IL-6, efek antierythropoietic terjadi, karena sitokin ini mengubah
sensitifitas progenitor terhadap eritropoietin (faktor pertumbuhan eritroid) dan
juga meningkatkan apoptosis eritrosit yang belum matang menyebabkan
penurunan pada jumlah eritrosit yang beredar dan akibatnya menyebabkan
pengurangan sirkulasi hemoglobin (Deray G et al., 2004).

Pada penyakit inflamasi, sitokin yang dilepaskan oleh leukosit yang


diaktifkan dan sel lain memberikan beberapa efek yang berkontribusi pada
penurunan kadar hemoglobin:

(A) Induksi sintesis hepcidin di hati (terutama oleh interleukin-6 [IL-6], bersama
dengan endotoksin) . Hepcidin mengikat ferroportin, pori-pori yang
memungkinkan keluarnya zat besi dari makrofag retikuloendotelial dan dari sel
epitel usus. Pengikatan hepcidin mengarah ke internalisasi dan degradasi
ferroportin; sekuestrasi besi di dalam makrofag membatasi ketersediaan zat besi
untuk prekursor eritroid.

(B) Penghambatan pelepasan eritropoietin dari ginjal (terutama oleh interleukin-


1β [IL-1β] dan faktor nekrosis tumor α [TNFα]). Proliferasi hematopoietik yang
dirangsang oleh eritropoietin berkurang.

(C) Penghambatan proliferasi progenitor eritroid (terutama oleh TNFα, interferon-


γ [IFNγ] dan IL-1β).

(D) Augmentasi eritrofagositosis oleh makrofag retikuloendotelial (oleh TNFα).


RES = sistem retikuloendotelial (Ryan Z et al., 2008).

Perlu juga dicatat bahwa, karena perkembangan dari diabetes mellitus,


nefropati mungkin timbul, yang selanjutnya merusak produksi ginjal eritropoietin,
berkontribusi untuk meningkatkan anemia. Hipertensi juga dapat menimbulkan
nefropati, yang juga akan merusak produksi eritropoietin oleh ginjal, dan
menyebabkan anemia (Deray G et al., 2004).
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (2019). Penatalaksanaan


di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Deray G, Heurtier A, Grimaldi A, Launay Vacher V, Isnard Bagnis C: Anemia
and Diabetes. Am J Nephrol 2004;24:522-526. doi: 10.1159/000081058

Hold RIG dan Hanley NA (2012). Essential Endocrinology and Diabetes. Oxford:
Wiley-Blackwell.
Ryan Z., Donald S. Houston (2008) Anemia of chronic disease: A harmful
disorder or an adaptive, beneficial response? CMAJ Aug
2008, 179 (4) 333-337

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (2014).


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y,
Budiman, et al. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2019. Jakarta: PB PERKENI
Yogiantoro, M. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simardibrata K. M.,
Setiati, S. 2006. Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Pp: 610-614

Anda mungkin juga menyukai