Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

WANITA 47 TAHUN DENGAN ULKUS DM PEDIS DEXTRA et


SINISTRA WAGNER IV, DM TIPE 2 OBESE GULA DARAH
TERKONTROL BURUK, DAN CHF NYHA III
a. CARDIOMEGALY
e. HHD

Oleh:
Frizka Aprilia G99181032

Pembimbing

dr. Kunti Dewi Saraswati, M. Kes, Sp. PK

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Laporan kasus dengan judul:

WANITA 47 TAHUN DENGAN ULKUS DM PEDIS DEXTRA et


SINISTRA WAGNER IV, DM TIPE 2 OBESE GULA DARAH
TERKONTROL BURUK, DAN CHF NYHA III
a. CARDIOMEGALY
e. HHD

Hari, tanggal : Jumat, 11 September 2020

Oleh:
Frizka Aprilia G99181032

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Laporan Kasus

dr. Kunti Dewi Saraswati, M. Kes, Sp. PK

2
PENDAHULUAN

Ulkus diabetik merupakan gambaran secara umum dari kelainan tungkai


bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes melitus yang diawali dengan
adanya lesi hingga terbentuknya ulkus berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat yang sering disebut dengan
ulkus diabetik karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi
vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
oleh bakteri aerob maupun anaerob yang pada tahap selanjutnya dapat
dikategorikan dalam gangren yang pada penderita diabetes melitus disebut dengan
gangren diabetik.10
Pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes melitus dilihat dari
dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan glukosa darah jangka panjang. Pemantauan
glukosa darah sesaat dilihat dari glukosa darah puasa dan 2 jam PP, sedangkan
pengontrolan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
HbA1c.5
Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-
75% pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi
kontribusi pada perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien
dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada gagal
jantung, seperti pada diabetes mellitus. Beberapa faktor risiko yang berperan
terhadap kejadian gagal jantung antara lain adalah tekanan darah yang tinggi,
penyakit arteri koroner, serangan jantung, diabetes, konsumsi beberapa obat
diabetes, sleep apnea, defek jantung kongenital, penyakit katup jantung, virus,
konsumsi alkohol, rokok, obesitas, serta irama jantung yang tidak reguler.8

3
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : Ny. D
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gemolong, Sragen
No RM : 0144xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 16 Januari 2019
Tanggal Periksa : 18 Januari 2019

B. Data dasar
Autoanamnesis dilakukan saat hari ke-2 perawatan di Bangsal
Penyakit Dalam Flamboyan 8 Bed 804 A RSUD Dr. Moewardi
Surakarta pukul 10.00.
Keluhan utama:
Luka menghitam di kedua kaki sejak 2 minggu SMRS
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan luka yang menghitam pada kedua
kaki sejak dua minggu SMRS. Pasien mengaku luka di kaki kanan
muncul sejak satu bulan SMRS dan luka di kaki kiri sejak tiga minggu
SMRS. Awalnya luka berupa gelembung berisi cairan yang terasa
nyeri. Luka kemudian membesar dan bertambah dalam. Nyeri
dirasakan menerus, berkurang dengan obat anti nyeri.

4
Satu bulan SMRS pasien memeriksakan dirinya ke RS di
Boyolali. Pasien dirawat selama 8 hari. Selama dirawat, pasien
mengaku gelembung tersebut disedot cairannya dan diberi perawatan
luka dan diperbolehkan pulang.
Dua minggu SMRS pasien mengeluhkan luka pada kedua
kakinya menghitam, serta keluar nanah. Pasien memeriksakan diri
kembali ke RSUD Gemolong dan dirawat selama enam hari. Ketika di
rawat, pasien mengeluh demam dan mual tanpa disertai muntah. BAK
pasien tidak ada keluhan, 6-7 kali sehari, warna kuning jernih, BAK
nyeri disangkal. BAB tidak ada keluhan.
Sejak enam bulan SMRS, pasien mengeluh sesak nafas, dan
memberat saat melakukan aktivitas. Sesak berkurang saat pasien
beristirahat. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu maupun cuaca.
Pasien biasanya tidur dengan 2-3 bantal, dan terkadang terbangun
pada malam hari karena sesak.
Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi sejak satu tahun
yang lalu. Pasien memiliki obat hipertensi tetapi tidak tahu jenis apa.
Pasien juga memiliki riwayat DM sejak lima tahun yang lalu. Pasien
rutin mendapat obat DM yaitu insulin 14 unit, 2x sehari.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat sakit yang sama : (+) satu bulan yang lalu di opname RS di
Boyolali
Riwayat hipertensi : (+) sejak satu tahun yang lalu
Riwayat DM : (+) sejak lima tahun yang lalu
Riwayat mondok : (+) satu bulan yang lalu di RS di Boyolali
dengan keluhan yang sama

5
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat Tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Sakit Liver : disangkal

Pohon keluarga pasien:

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan
nasi, lauk-pauk, dan sayur. Jam makan teratur
dan diselingi snack.
Merokok Disangkal

6
Alkohol Disangkal
Minum jamu Disangkal
Minum minuman Disangkal
berenergi
Obat bebas Disangkal

Riwayat gizi
Pasien makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan + 8-10 sendok
makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur dan sayur dan diselingi snack.

Riwayat sosial ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal di rumah bersama
keluarga. Pasien berobat menggunakan BPJS kelas III.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 18 Januari 2019 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis,
GCS E4V5M6, kesan gizi cukup
2. Tanda vital
 Tensi : 140/90 mmHg
 Nadi : 92 kali /menit, reguler
 Frekuensi nafas : 20 kali /menit
 Suhu : 36,40 C
 SpO2 : 98%
 VAS : 3 di regio pedis bilateral
3. Status gizi
 Berat badan : 65 kg
 Tinggi badan : 155 cm
 IMT : 27 kg/m2

7
 Kesan : overweight
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3
mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-), eksoftalmus (-/-), pandangan kabur (-/-)
7. Telinga : sekret (-/-) darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tekan tragus (-/-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), cavum nasi lapang (-/-) sekret (-
/-), polip (-/-), septum deviasi (-/-), krepitasi (-/-)
9. Mulut : Mukosa bibir basah (+), sianosis (-), papil lidah atrofi (-),
gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush
(-), lidah kotor (-)
10. Leher : JVP R 5+2 cm H2O, trakea ditengah, simetris,
pembesaran kelenjar getah bening (-), kelenjar tiroid
teraba membesar (-), leher kaku (-), hepatovena jugular
refluks (+)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar(-), pembesaran
kelenjar getah bening axilla (-/-), spider navy (-),
ginekomasti ( -)

12. Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tak tampak

8
 Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V 2 cm di medial dari
Linea Mid Clavicularis Sinistra, ictus kordis tak
kuat angkat.
 Perkusi : Kiri bawah: SIC VI 2 cm di medial dari Linea Mid
Clavicularis Sinistra
Pinggang jantung: SIC II Linea Para Sternalis
Sinistra
Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
Kesan: batas jantung kesan melebar
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, tunggal, bising (-),
murmur (-).

13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : sonor
- Kiri : sonor
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)

9
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris
kanan=kiri, sela iga tidak melebar,
retraksi intercostal (-)

 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan =kiri
 Perkusi
- Kanan : sonor
- Kiri : sonor
- Peranjakan diafragma (-)
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut > dinding thorak, asites (+),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), ikterik (-)

10
 Auskultasi : Bising usus (+) 10 x / menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
 Perkusi : timpani (+), pekak alih (-) undulasi (+)
 Palpasi : supel (+), nyeri tekan (+) epigastrium, defans
muskuler (-). Hepar dan lien tidak membesar

14. Ekstremitas CRT <2 detik

Akral dingin _ _ Edema _ _


_ _ + +

STATUS LOKALIS
R. Pedis dextra et sinistra: Ulkus (+) dengan ukuran sekitar 10 cm, pus
(+), gangren (+), darah (+), dasar tulang tulang (+), jaringan (+)
 Pedis dextra: ulkus (+), dasar tulang (+), pedis tersambung dengan
jaringan dan tendon, nekrotik (-), Sensorik (-). Seluruh kaki
menghitam.
 Pedis sinistra: terdapat jaringan nekrotik di tumit

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium darah

Tanggal: 17 Januari 2019 di RSDM


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 7.2 g/dl 12 – 15.6
Hct 23 % 33 – 45
Leukosit 16.4 103 /  L 4.5 – 11.0
Trombosit 746 103 /  L 150 – 450
Eritrosit 2.72 103/  L 4.10 – 5.10

11
Golongan Darah A
HITUNG JENIS
Basofil 0.70 % 0.00 – 2.00
Limfosit 13.10 % 22.00 – 44.00
Monosit 6.60 % 0.00 – 7.00
Eosinofil 0.30 % 0.00 - 4.00
Neutrofil 79.30 % 55.00 - 80.00
INDEKS ERITROSIT
MCV 84.9 U3 80.0 – 96.0
MCH 26.5 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 31.2 g/dL 33.0 – 36.0
RDW 16.2 % 11.6 – 14.6
PDW 9 % 25 – 65
MPV 8.9 fl 7.2 - 11.1

Tanggal: 17 Januari 2019 di RSDM


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Puasa 88 mg/dl 70 – 110
Glukosa 2 jam PP 113 mg/dl 80 – 140
Kolestrol Total 201 mg/dl 50 – 200
Kolestrol LDL 116 mg/dL 79 – 186
Kolestrol HDL 11 mg/dL 34 – 87
Trigliserida 357 mg/dL <150
Albumin 2.5 g/dL 3.5 – 5.2
ELEKTROLIT
Natrium darah 131 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 6.2 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 114 mmol/L 98 – 106
SEROLOGI HEPATITIS
Anti HBc Total Negatif
Anti-HCV Nonreactive

12
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 161 mg/dl 60 – 140
SGOT 168 µ/L < 31
SGPT 49 µ/L < 34
Creatinine 3.8 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 248 mg/dl < 50

B. Pemeriksaan Urin Rutin


Tanggal 17 Januari 2019 di RSDM
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

MAKROSKOPIS

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Keruh Jernih

KIMIA URIN

Berat jenis 1.010 1.015 – 1.025

Ph 5.5 4.5 – 8.0

Leukosit 500 /µl Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Protein +/Positif 1 mg/dl Negatif

Glukosa Negatif mg/dl Negatif

Keton Negatif mg/dl Negatif

Urobilinogen Negatif mg/dl Negatif

Bilirubin Negatif mg/dl Negatif

13
Eritrosit +++/Positif 3 mg/dl Negatif

EPITEL

Epitel Squamous - /LPB Negatif

Epitel Transisional 110 /LPB Negatif

Epitel Bulat – /LPB Negatif

SILINDER

Hyline 0 /LPK 0–3

Granulated – /LPK Negatif

Lekosit – /LPK Negatif

Bakteri 2286.4 /µl 0.0 – 2150.0

Yeast Like Cell 187.9 /µl 0.0 – 0.0

Small Round Cell 4.9 /µl 0.00 – 0.0

Sperma 0.0 /µl 0.0 – 0.0

Konduktivitas 20.4 mS/cm 3.0 – 32.0

Lain-lain Eritrosit 0 – 1/ LPB. Leukosit 0 – 1 /LPB. Bakteri (+)

Mukus 0.00 /µl 0.00 – 0.00

Pemeriksaan EKG dan Foto Rontgen


EKG (Tanggal 16 Januari 2019)

14
Irama: Sinus Takikardia ST segmen: isoelektrik
Heart rate: 1500:15= 103 bpm Q patologis: tidak ada
Axis: Normoaxis, 40-50o T inverted: tidak ada
Gelombang P: Normal Zona transisi: V3-V4
PR interval: Normal
QRS complex: Normal

Kesimpulan:
Sinus Takikardia, HR 103 bpm, normoaxis 40-50O, zona transisi di V3-
V4.

Foto Pedis AP dan Oblique (16 Januari 2019)

Kesimpulan :
Menyokong gambaran selulitis gangrenosa regio pedis kiri

15
Foto Thoraks PA (16 Januari 2019)

Cor: besar dan bentuk membesar dengan CTR 61 %


Pulmo: Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskuler normal
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik

Kesimpulan:
1. Cardiomegali
2. Pulmo tak tampak kelainan

RESUME

1. Keluhan utama
Luka di kaki menghitam sejak 2 minggu yang lalu
2. Anamnesis:
i. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Luka di kaki kanan sejak 1 bulan SMRS
- Luka berupa gelembung berisi cairan

16
- Luka terasa nyeri
- Luka membesar dan bertambah dalam
- Luka menghitam sejak 2 minggu SMRS
b. Luka di kaki kiri 3 minggu SMRS
- Luka berupa gelembung berisi cairan
- Luka terasa nyeri
- Luka membesar dan bertambah dalam
- Luka menghitam sejak 2 minggu SMRS
c. Pasien mengeluh sesak nafas 6 bulan SMRS
-Sesak memberat saat aktivitas, berkurang saat istirahat
-Sesak tidak dipengaruhi debu dan cuaca
-Pasien tidur dengan 2-3 bantal
-Pasien terkadang terbangun pada malam hari karena sesak.

ii. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat dengan hipertensi sejak satu tahun yang lalu.
b. Riwayat dengan DM sejak lima tahun yang lalu
c. Riwayat mondok pada satu tahun yang lalu

iii.Riwayat gizi
Pasien makan tiga kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan + 8-10
sendok makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur dan sayur dan
diselingi snack.

iv. Riwayat sosial ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal di rumah
bersama keluarga. Pasien berobat menggunakan BPJS kelas III.

3. Pemeriksaan fisik:
 Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis,

17
 GCS E4V5M6, kesan gizi cukup.
 Tekanan darah 140/90 mmHg, RR 20x/ menit, HR 92x/menit, suhu
36.4oC, VAS 3 di regio pedis bilateral.
 Didapatkan ulkus di regio pedis dextra et sinistra, dasar tulang (+),
gangren (+).
 Pada pemeriksaan jantung terdapat cardiomegali.

4. Pemeriksaan Penunjang:
i.Laboratorium darah (17 Januari 2019)
a. Hematologi rutin : Hb 7.2, Ht 23, Leukosit 16.4, Trombosit 746,
Eritrosit 2.72, MCH 26.5, MCHC 31.2, RDW, 16.2, PDW 9,
Eosinofil 0.30, Limfosit 13.10, Monosit 6.60
b. Kimia Klinik : Gula darah sewaktu 161, Glukosa darah puasa 88,
Glukosa 2 jam PP 113, Albumin 2.5, Kolestrol total 201, Kolestrol
LDL 116, Kolestrol HDL 11, Trigliserida 357, Ur 248, Cr 3.8,
SGOT 168, SGPT 49
c. Elektrolit : Na 131, K 6.2, Cl 114
d. Serologi : Anti HBc Total Negatif, Anti HCV nonreactive

ii. Urin rutin (17 Januari 2019)


a. Makroskopis : Kejernihan keruh
b. Kimia urin : Leukosit 500, protein +/positif 1, eritrosit +++/positif
3
c. Epitel : Epitel transisional 110
d. Silinder: Bakteri 2286.4, Yeast like cell 187.9, Small round cell 4.9

iii.Foto Thoraks PA (16 Januari 2019): Cardiomegali


iv. Foto Pedis AP dan Oblique (16 Januari 2019): Menyokong gambaran
selulitis gangrenosa regio pedis kiri
v. Pemeriksaan EKG (16 Januari 2019) : Sinus Takikardia, HR 103
bpm, normoaxis 40-50O, zona transisi di V3-V4.

IV. DIAGNOSIS
1. Ulkus DM Pedis Dextra et Sinistra Wagner IV
2. DKD grade IV

18
3. CHF NYHA III, A. Cardiomegaly, E. NHD
4. DM type II Obese

V. EXPERTISE LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium darah kesan anemia normositik
normokromik, leukositosis, trombositosis, hiperglikemia, dislipidemia,
hipoalbuminemia, hiperkalsemia, hiponatremia, hiperkloremia, azotemia.
Hasil pemeriksaan laboratorium urin kesan hematuria, piuria, proteinuria.

VI. TERAPI
1. Terapi Ulkus DM Pedis dextra et sinistra Wagner IV
 Bedrest tidak total
 Diet DM 1700 kkal
 O2 3 lpm nasal kanul k/p
 Inf. NaCl 0,9 % 20 tpm IV
 Inj. Ampicilin 1 gram/6 jam
 Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Metamizole 1 gram/8 jam k/p
 Medikasi luka/hari

2. Terapi Acute on DKD dd DKD grade IV


 Infus EAS pfimmer 1 fl/24 jam
 Ketosteril 2 tab/8 jam
 O2 3 lpm nasal kanul
 Transfusi PRC 1248 CC 3 kolf. 1 kolf/hari
 Inj. D4 % 1 fl + 10 unit insulin

3. Terapi CHF NYHA III A. Cardiomegaly E. HHD


 O2 3 lpm nasal kanul
 Inj. Furosemide 20 mg/8 jam  jika T > 100

19
 Candesartan 8 mg/12 jam

4. Terapi DM Type 2 Obese


 Diet DM 1700 kkal
 Inj. Novorapid 10-10-10 IV

VII. EVALUASI DAN USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Evaluasi keluhan pasien : luka menghitam di kedua kaki


2. Evaluasi keadaan umum dan tanda vital pasien
3. Usulan pemeriksaan laboratorium: Kultur pus, kultur darah, program
HbA1c GDP GD2PP, evaluasi kadar kolestrol, evaluasi DR, evaluasi
elektrolit, evaluasi ureum kreatinin, evaluasi SGOT SGPT, program
urinalisa

VIII. PROGNOSIS

1. Ad vitam : dubia ad bonam


2. Ad sanationam : dubia ad malam
3. Ad functionam : dubia ad malam

20
BAB II
ANALISA KASUS

Dari anamnesis, didapatkan pasien dengan keluhan luka yang menghitam


pada kedua kaki sejak dua minggu SMRS. Pasien mengaku luka di kaki
kanan muncul sejak satu bulan SMRS dan luka di kaki kiri sejak tiga minggu
SMRS. Awalnya luka berupa gelembung berisi cairan yang terasa nyeri. Luka
kemudian membesar dan bertambah dalam. Nyeri dirasakan menerus,
berkurang dengan obat anti nyeri. Keluhan luka yang menghitam pada kedua
kaki merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus yang dialami
pasien. Penderita diabetes mellitus dengan gula darah yang tidak terkontrol
baik dapat menyebabkan gangguan pembuluh darah, gangguan pada saraf,
dan infeksi.
Pada pasien juga didapatkan keluhan sesak nafas, dan memberat saat
melakukan aktivitas. Sesak berkurang saat pasien beristirahat. Sesak nafas
tidak dipengaruhi oleh debu maupun cuaca. Pasien biasanya tidur dengan 2-3
bantal, dan terkadang terbangun pada malam hari karena sesak. Salah satu
penyebab dari sesak yang timbul secara tiba-tiba adalah gangguan pada arteri
koroner jantung dan hipertensi.
Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi sejak satu tahun yang
lalu. Pasien memiliki obat hipertensi tetapi tidak tahu jenis apa. Pasien juga
memiliki riwayat DM sejak lima tahun yang lalu. Pasien rutin mendapat obat
DM yaitu insulin 14 unit, 2x sehari. Dari keterangan tersebut didapatkan
faktor risiko yang ada pada pasien antara lain: usia >45 tahun, perempuan,
memiliki riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus. Faktor risiko tersebut
memperkuat diagnosis adalah adanya kelainan pada jantung.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan compos mentis.
Pada pasien didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg, dan dapat dikategorikan
hipertensi derajat 1. Didapatkan denyut jantung 92 x/menit, laju napas
20x/menit, saturasi oksigen sebesar 98%. Selain itu juga didapatkan

21
temperatur 36,4oC dan gula darah sewaktu sebesar 161 mg/dL, sehingga
terdapat hiperglikemia.
Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan peningkatan JVP.
Pemeriksaan pada dada didapatkan normochest. Pada pemeriksaan jantung
secara inspeksi, iktus cordis tidak tampak. Secara palpasi iktus cordis teraba di
SIC V 2 cm di medial dari linea mid clavicularis sinistra, iktus cordis tidak
kuat angkat. Pemeriksaan perkusi pada jantung didapatkan batas jantung
melebar dengan kiri bawah di SIC VI 2 cm di medial dari linea mid
clavicularis sinistra, pinggang jantung di SIC II line para sternalis sinsitra,
kanan bawah di SIC IV linea para sternalis dextra. Pada pemeriksaan
auskultasi jantung tidak didapatkan kelainan maupun bising.
Pemeriksaan pulmo didapatkan suara dasar vesikuler, ronkhi basah
halus (-), dan ronkhi basah kasar (-), wheezing (-). Abdomen supel, nyeri tekan
(-).
Pada pemeriksaan ekstremitas tidak didapatkan akral dingin, tetapi
didapatkan oedem pada kedua sisi kaki. Kemudian pada regio pedis dextra et
sinistra didapatkan ulkus (+) dengan ukuran sekitar 10 cm, pus (+), gangren
(+), darah (+), dasar tulang tulang (+), jaringan nekrotik (+). Hal ini akibat
dari luka menghitam yang menyebabkan terjadinya insufisiensi arteri dan
kerusakan jaringan pada kedua kaki sebagai komplikasi dari diabetes mellitus.
Pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus takikardia, HR 103 bpm, normoaxis,
dengan zona transisi di V3-V4.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (Hb 7.2, Hct
23%), leukositosis (AL 16.4), trombositosis (AT 746), hiperglikemia (GDS
161), hipoalbuminemia (2.5), dislipidemia (kolestrol total 201, kolestrol HDL
11, trigliserida 357), azotemia (Cr 3.8, Ur 248), hiponatremia (Na 131),
hiperkalemia (K 6.2), hiperkloremia (Cl 114), hematuria, proteinuria dan
piuria. Anemia normositik normokromik dapat disebabkan salah satunya
karena adanya penyakit kronis. Adanya leukositosis dan trombositosis
menunjukkan adanya proses infeksi yang sedang berlangsung.
Hipoalbuminemia sering dikaitkan dengan proses inflamasi baik akut maupun

22
kronis. Azotemia, proteinuria, piuria dan hematuria kemungkinan diakibatkan
oleh adanya kerusakan pada ginjal karena salah satu komplikasi dari DM yaitu
nefropati.
Pada hasil laboratorium pasien didapatkan hiperglikemi dan
dislipidemia, hal ini menunjukkan bahwa adanya riwayat diabetes jangka
panjang memberi dampak yang nyata pada sistem kardiovaskuler. Komplikasi
mikrovaskuler terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh kecil.
Penyebab penebalan tersebut berkaitan langsung dengan dengan tingginya
kadar glukosa dalam darah. Selain itu, kelainan profil lipid adalah faktor
terjadinya aterosklerosis. Adanya dislipidemia mengakibatkan akumulasi lipid
ekstra sel, penebalan, dan kekakuan arteri.
Peningkatan SGOT dan SGPT dalam darah merupakan pertanda
bahwa adanya kerusakan jaringan dalam tubuh, dari pemeriksaan elektrolit
didapatkan pasien hiperkalemia, hiponatremia, dan hiperkloremia yang
menandakan adanya gangguan fungsi ginjal yang kemungkinan sebagai
komplikasi dari penyakit diabetes mellitus yang diderita.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Ulkus DM Pedis dextra et sinistra Wagner IV,
Acute on DKD dd DKD grade IV, CHF NYHA III A. Cardiomegaly E. HHD,
dan DM tipe II tipe Obese. Usulan pemeriksaan laboratorium lanjutan pada
pasien adalah kultur pus, kultur darah, program HbA1c GDP GD2PP, evaluasi
kadar kolestrol, evaluasi DR, evaluasi elektrolit, evaluasi ureum kreatinin,
evaluasi SGOT SGPT, program urinalisa.

23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ULKUS DIABETIK

Definisi Kaki Diabetik


Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat
dalam yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada
tungkai bawah, selain itu ada juga yang mendefinisikan sebagai kelainan tungkai
kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik yang
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.3
Kaki diabetik merupakan gambaran secara umum dari kelainan tungkai
bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes melitus yang diawali dengan
adanya lesi hingga terbentuknya ulkus berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat yang sering disebut dengan
ulkus diabetik karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi
vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
oleh bakteri aerob maupun anaerob yang pada tahap selanjutnya dapat
dikategorikan dalam gangren yang pada penderita diabetes melitus disebut dengan
gangren diabetik.10

Klasifikasi Kaki Diabetik


Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan Wagner.3
a. Derajat 0
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau lebih
faktor risiko berupa neuropati sensorik yang merupakan komponen primer
penyebab ulkus; peripheral vascular disease; kondisi kulit yaitu kulit
kering dan terdapat callous (yaitu daerah yang kulitnya menjadi hipertropik
dan anestesi); terjadi deformitas berupa claw toes yaitu suatu kelainan

24
bentuk jari kaki yang melibatkan metatarsal phalangeal joint, proximal
interphalangeal joint dan distal interphalangeal joint. Deformitas lainnya
adalah depresi caput metatarsal, depresi caput longitudinalis dan
penonjolan tulang karena arthropati charcot.

Gambar 1. Kaki dengan kalus

b. Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan
terjadinya neuropati sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko
seperti deformitas tulang dan mobilitas sendi yang terbatas dengan ditandai
adanya lesi kulit terbuka, yang hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat
bersih atau purulen (ulkus dengan infeksi yang superfisial terbatas pada
kulit).

c. Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat tanda-tanda pada
grade I dan ditambah dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus.
Dasar ulkus meluas ke tendon, tulang atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih
atau purulen, ulkus yang lebih dalam sampai menembus tendon dan tulang
tetapi tidak terdapat infeksi yang minimal.

d. Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah dengan adanya abses
yang dalam dengan atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat

25
osteomyelitis. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif
yang mengakibatkan jaringan menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke
dasar tulang, oleh karena itu diperlukan hospitalisasi/ perawatan di rumah
sakit karena ulkus yang lebih dalam sampai ke tendon dan tulang serta
terdapat abses dengan atau tanpa osteomielitis.

e. Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih,
gangren dapat pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren
pada ekstremitas bawah biasanya terjadi dengan salah satu dari dua cara,
yaitu gangren menyebabkan insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan
perfusi dan oksigenasi tidak adekuat. Pada awalnya mungkin terdapat suatu
area focal dari nekrosis yang apabila tidak dikoreksi akan menimbulkan
peningkatan kerusakan jaringan yang kedua yaitu adanya infeksi atau
peradangan yang terus-menerus. Dalam hal ini terjadi oklusi pada arteri
digitalis sebagai dampak dari adanya edema jaringan lokal.

f. Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren- gangren di
seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan atau


pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut :
 Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada
 Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
 Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan
tindakan bedah mayor (amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut).
Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki diabetik
ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
 Insisi : abses atau selulitis yang luas
 Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II

26
 Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V
 Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
 Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

Patofisiologi Kaki Diabetik

Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang menyebabkan


gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki, kerentanan terhadap infeksi
meluas sampai ke jaringan sekitarnya. Faktor aliran darah yang kurang membuat
luka sulit untuk sembuh dan jika terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi
dan meluas ke jaringan yang lebih dalam bahkan sampai ke tulang.3
1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada
pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf
sebagai akibat dari hiperglikemia kronis. Angka kejadian neuropati ini meningkat
bersamaan dengan lamanya menderita penyakit diabetes melitus dan
bertambahnya usia penderita. Tipe neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu :3,10

a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf sensoris
pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang menyebabkan
distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan
menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi
dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti kejang
dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis sensari
nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi
protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma berulang pada
kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hila ngnya sensasi terhadap 10 g
nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g nylon

27
monofilament, dapat juga menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork untuk
mengukur getaran.3

a. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor
end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan
menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan
stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan
tekanan terbesar. Jaringan di bawah kalus akan mengalami iskemia dan nekrosis
yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan
kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus
peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur
dengan menggunakan pressure mat atau platform untuk mengukur tekanan pada
plantar kaki.10

b. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi kering.
Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada kalus.
Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol
distribusi arteri- vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi iskemi pada kaki,
keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki.

2. Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari
diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri
banyak menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos,
lemak, kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang
bukan diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini dan

28
cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena adalah arteri
tibialis dan arteri peroneus serta percabangannya. Risiko untuk terjadinya kelainan
vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik,
merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas.(47,50) Pasien diabetes
melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah biasanya ada gejala, tetapi
kadang juga tanpa gejala, sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu :5
 Intermitten Caudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang saat berhenti
berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika Ankle-Brachial Index <
0,75.
 Kaki terasa dingin
 Nyeri
Terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas, aktivitas,
dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri ata u kaki menggantung.
 Nyeri iskemia nokturnal
Terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah berkurang sehingga
terjadi neuritis iskemik.
 Pulsasi arteri tidak teraba
Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan Capillary Refilling
Time (CRT) yang memanjang
 Atropi jaringan subkutan
 Kulit terlihat licin dan berkilat
 Rambut di kaki dan ibu jari menghilang
 Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur

Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan rekonstruksi vaskuler.
Pemeriksaan penunjang lanjutan yang non invasif antara lain:3,10
1) Palpasi dari denyut perifer

29
Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka PAP tidak ada. Jika denyut dorsalis
pedis dan tibial posterial tidak teraba maka dibutuhkan pemeriksaan yang lebih
lanjut.

2) Doppler flowmeter
Dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan semi kuantitatif melalui
analisis gelombang doppler. Frekuensi sistolik doppler distal dari arteri yang
mengalami oklusi menjadi rendah dan gelombangnya menjadi monofasik.

3) Ankle Brachial Index (ABI)


Tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas menggunakan manset
pneumatik dan flow sensor, biasanya doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik
akan meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan turun.
Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi dibanding
Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik akan turun walaupun
penyumbatan masih minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki
dengan tekanan sistolik di arteri brachialis (Ankle Brachial Index) merupakan
indikator sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak.

4) Transcutaneous Oxymetri (TcPO2)


Berhubungan dengan saturasi O2 kapiler dan aliran darah ke jaringan. TcPO2
pada arteri yang mengalami oklusi sangat rendah. Pengukuran ini sering
digunakan untuk mengukur kesembuhan ulkus maupun luka amputasi.

5) Magnetic Resonance Angiography (MRA)


Merupakan teknik yang baru, menggunakan magnetic resonance, lebih sensitif
dibanding angiografi standar. Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan
yang invasif, merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi arteri. Namun,
pasien-pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya gagal ginjal
akut akibat kontras meskipun kadar kreatinin normal.

30
3. Infeksi
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan
osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik
biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan
osteomyelitis bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada
infeksi ringan adalah Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta isolation of
Methycillin-resstant Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita sudah
mendapat antibiotik sebelumnya atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga
bakteri batang gram negatif (Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas
aeruginosa ).3,10

Mekanisme kejadian kaki diabetik tergambar pada gambar 2.14 dibawah ini:10

Gambar 2. Mekanisme kaki diabetik

31
Tanda dan Gejala Kaki Diabetik
Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada kaki
saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal serta kulit kering.5

Diagnosis Kaki Diabetik


Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki diabetik
ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki diabetes melitus dapat
ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan sebagai berikut :5,10
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga
Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi :
1)Lama diabetes
2)Manajemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3)Olahraga dan obat-obatan
4)Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5)Alergi
6)Pola hidup
7)Medikasi terakhir
8)Kebiasaan merokok
9)Minum alkohol
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki, pernah
terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala neuropati dan
gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus
meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus, temperatur
dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit, pecah-pecah;
berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya kalus atau bula; bentuk kuku;

32
adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai
kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan
gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen ditambah
dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk mengukur
getaran, tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada arteri
kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kulit dan kuku dan
pengukuran ankle brachial index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman, tipe
sepatu dan ukurannya.

c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien,
yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu,
glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, dan
lain- lain.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi infeksi dan
menentukan kuman penyebabnya.
e. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki diabetik
adalah dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik
brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi
dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai
normalnya adalah O,9-1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien
penderita diabetes melitus memiliki penyakit kaki diabetik dengan melihat
gangguan aliran darah pada kaki. Alat pemeriksaan yang digunakan
ultrasonic doppler. Doppler dapat dikombinasikan dengan manset pneumatic
standar untuk mengukur tekanan darah ekstremitas bawah.

33
Faktor Risiko Kaki Diabetik
Faktor risiko terjadinya kaki diabetik dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai
berikut :
1. Usia
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi
sehingga penurunan sekresi atau resistensi insulin dan kemampuan fungsi tubuh
terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal serta
menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin yang mengakibatkan
timbulnya makroangiopati, yang akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah
yang salah satunya pembuluh darah besar atau sedang pada tungkai yang lebih
mudah untuk terjadinya kaki diabetik.
Kelompok usia terbanyak dalam penelitiannya terdapat pada rentang usia 45
sampai dengan 59 tahun dan 60 sampai dengan 74 tahun (45,5%), senada dengan
penelitian yang menyebutkan bahwa mayoritas pasien dengan kaki diabetik
berada pada rentang usia 51 sampai dengan 70 tahun dengan rerata umur
57,04±11,63 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kaki diabetik dalam
penelitian ini tinggi pada usia yang lebih tua.6 Pada beberapa populasi di dunia
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 yang
meningkat seiring bertambahnya usia, kemudian mengalami penurunan pada usia
yang sangat tua. Prevalensi diabetes melitus mencapai puncak pada usia 70-89
tahun dan 60-69 tahun, kemudian mengalami penurunan pada usia lebih dari 70
tahun.3 Penurunan prevalensi diabetes melitus pada usia yang sangat tua
menunjukkan bahwa mereka yang berada pada kelompok usia sangat tua memiliki
kekuatan untuk bertahan hidup lebih rendah dibanding kelompok usia sebelumnya.
Hal ini berhubungan dengan komplikasi kronik diabetes melitus yang
menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada usia sangat tua, hal
ini juga berkaitan dengan lama menderita diabetes. Mereka yang mendapatkan
diabetes pada usia tua memiliki kekuatan bertahan hidup lebih tinggi daripada
mereka yang menderita diabetes selama bertahun-tahun. Usia merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan berkembangnya peripheral vascular disease,
neuropati dan amputasi ekstremitas bawah.(58) Penelitian hubungan antara usia

34
dengan kejadian penyakit arteri perifer didapatkan semakin bertambahnya usia
proses aterosklerosis makin bertambah.(59) Menurut American Diabetes
Association (ADA) diperlukan pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI) pada
penderita dengan diabetes melitus yang berusia atau individu berusia <50 tahun
yang memiliki faktor risiko aterosklerosis serta pasien yang mengidap diabetes
selama 10 tahun.5

2. Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan jenis kelamin laki- laki mempunyai faktor risiko tinggi
terhadap kaki diabetik (p=0,009).(25) Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa
prevalensi diabetes melitus secara keseluruhan lebih banyak terjadi pada wanita
dibanding pria. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa prevalensi
diabetes melitus sama diantara pria dan wanita, namun sedikit lebih tinggi pada
pria yang berusia kurang dari 60 tahun dan wanita pada usia yang lebih tua.3
Penelitian selanjutnya juga menyebutkan bahwa 84% pasien dengan kaki diabetik
adalah pria dan 15,4% adalah wanita.6 Penyebab perbedaan prevalensi kaki
diabetik diantara pria dan wanita dalam penelitian lainnya mengenai kaki diabetik
dengan ulkus neuropati dan neuroiskemik antara lain dapat disebabkan oleh
beberapa alasan yaitu: faktor hormonal (adanya hormon estrogen pada wanita
yang dapat mencegah komplikasi vaskuler yang berkurang seiring bertambahnya
usia), perbedaan kebiasaan hidup seperti kebiasaan merokok dan konsumsi
alkohol pada laki- laki.5

3. Lama Menderita Diabetes Melitus


Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang telah
menderita 10 tahun atau lebih dengan kadar glukosa darah tidak terkendali yang
menyebabkan munculnya komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler
sehingga mengalami makroangiopati- mikroangiopati yang akan terjadi
vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan
adanya robekan/luka pada kaki penderita diabetik yang sering tidak dirasakan.

35
4. Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik atau pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes
melitus dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan glukosa darah jangka
panjang. Pemantauan glukosa darah sesaat dilihat dari glukosa darah puasa dan 2
jam PP, sedangkan pengontrolan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan HbA1c.5 Pada penelitian ini hanya melihat kontrol glikemik
berdasarkan pemantauan kadar glukosa darah sesaat yaitu dengan menilai kadar
gula darah yang tidak terkontrol dengan pengukuran GDP >100 mg/dl atau
GD2JPP >144 mg/dl. Kadar GDP >100 mg/dl atau GD2JPP >144 mg/dl akan
mengakibatkan komplikasi kronik jangka panjang, baik makrovaskuler maupun
mikrovaskuler yang salah satunya kaki diabetik yang berlanjut menjadi ulkus
diabetika.5,10 Kadar GDP >100 mg/dl atau GD2JPP >144 mg/dl disebut sebagai
kondisi hiperglikemia, yang jika berlangsung terus menerus menyebabkan
berkurangnya kemampuan pembuluh darah untuk berkontraksi dan relaksasi,
sehingga terjadi penurunan sirkulasi darah terutama pada kaki dengan gejala, sakit
pada tungkai ketika berdiri, berjalan atau beraktivitas fisik; kaki teraba dingin;
kaki terasa nyeri pada waktu istirahat dan malam hari; telapak kaki terasa sakit
setelah berjalan; luka sukar sembuh; tekanan nadi menjadi kecil atau tidak teraba;
perubahan warna kulit, kaki tampak pucat atau kebiru- biruan ketika dielevasikan.

5. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol
HDL.5 Pada penderita diabetes melitus juga sering dijumpai adanya peningkatan
kadar kolesterol plasma dan trigliserida, sedangkan konsentrasi HDL
(highdensity-lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah (≤45 mg/dl).
Kadar kolesterol total ≥200mg/dl, trigliserida ≥150mg/dl dan HDL≤45 mg/dl akan
mengakibatkan buruknya sirkulasi sebagian besar jaringan dan menyebabkan
hipoksia serta cedera jaringan yang merangsang reaksi peradangan dan terjadinya
aterosklerosis.(64) Konsekuensi adanya aterosklerosis adalah penyempitan lumen

36
pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga
suplai darah ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai. Penelitian kasus kontrol pada penderita diabetes melitus dengan
kolesterol, HDL, trigliserida tidak terkontrol mempunyai risiko kaki diabetik
berupa ulkus sebesar 3 kali lebih tinggi dari pada kadar kolesterol, trigliserida
normal.10

6. Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak di badan secara abnormal atau berlebihan
yang dapat mengganggu kesehatan seseorang, dikatakan obesitas apabila Indeks
Massa Tubuh (IMT) ≥23 untuk wanita dan IMT≥25 untuk laki- laki.3 Hal ini akan
membuat resistensi insulin yang menyebabkan aterosklerosis, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi darah pada kaki yang dapat menyebabkan terjadinya kaki
diabetik. Hasil penelitian menyebutkan dimana seseorang yang mempunyai berat
badan 20 kg melebihi berat badan idealnya maka berisiko akan terkena kaki
diabetik dengan nilai RR sebesar 1,2 (95%CI=1,1–1,4).10 Pada obesitas dengan
IMT ≥23kg/m2 (wanita) dan IMT ≥25kg/m2 (pria) atau BBR lebih dari 120%
akan lebih sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi
10μU/ml, keadaan ini menunjukkan hiperinsulinemia yang dapat menyebabkan
aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan
sirkulasi darah sedang/besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah
terjadi kaki diabetik.

7. Hipertensi
Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding-dinding arteri ketika darah
tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah merupakan gaya yang
diberikan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan ini bervariasi sesuai
pembuluh darah terkait dan denyut jantung. Tekanan darah pada arteri besar

37
bervariasi menurut denyutan jantung. Tekanan paling tinggi ketika ventrikel
berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi
(tekanan diastolik).3 Ketika jantung memompa darah melewati arteri, darah
meneka n dinding pembuluh darah. Mereka yang menderita hipertensi mempunyai
tinggi tekanan darah yang tidak normal. Penyempitan pembuluh nadi atau
aterosklerosis merupakan gejala awal yang umum terjadi pada hipertensi. Karena
arteri terhalang lempengan kolesterol dalam aterosklerosis, sirkulasi darah
melewati pembuluh darah menjadi sulit. Ketika arteri mengeras dan mengerut
dalam aterosklerosis, darah memaksa melewati jalan yang sempit itu, sebagai
hasilnya tekanan darah menjadi tinggi.1

Untuk mengetahui faktor risiko tekanan darah terhadap kejadian kaki diabetik,
maka tekanan darah dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan tekanan darah berisiko
menurut PERKENI yaitu hipertensi (TD >130/80mmHg) dan tidak hipertensi (TD
≤130/80 mmHg).5 Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan penderita
kaki diabetik terbanyak adalah dengan hipertensi (38,92%).
Hipertensi (TD >130/80mmHg) pada penderita diabetes melitus karena adanya
viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga
terjadi defisiensi vaskuler, selain itu hipertensi dengan tekanan >130/80mmHg
dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel pembuluh darah. Kerusakan
pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi
dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi
hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus. Penelitian
studi kasus kontrol di Lowa menghasilkan bahwa riwayat hipertensi 4 kali lebih
besar untuk terjadi ulkus diabetika dengan tanpa hipertensi pada diabetes
melitus.(3, 10)

8. Kebiasaan Merokok
Penelitian tentang pengaruh merokok dengan kaki diabetik pada pasien muda
tidak ditemukan pada pasien lanjut usia. Hasil penelitian yang dikutip oleh WHO,
pada pasien diabetes melitus yang merokok mempunyai risiko 3 kali untuk

38
menjadi kaki diabetik dibanding pasien diabetes melitus yang tidak merokok.
Kesimpulannya, merokok merupakan faktor kuat menyebabkan penyakit arteri
perifer yang mana sudah dibuktikan berhubungan dengan kaki diabetik. Nikotin
yang dihasilkan dari rokok akan menempel pada dinding pembuluh darah
sehingga menyebabkan insufisiensi dari aliran pembuluh darah ke arah kaki yaitu
arteri dorsalis pedis, poplitea dan tibialis menjadi menurun.(3,10)
Pada penderita diabetes mellitus yang merokok ≥12 batang per hari mempunyai
risiko 3 kali untuk menjadi ulkus kaki diabetes dibandingkan dengan penderita
diabetes mellitus yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin
yang terkandung di dalam rokok akan dapat menyebabkan kerusakan endotel
kemudian terjadi penempelan dan agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi
kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat clearance lemak darah
dan mempermudah timbulnya aterosklerosis. Aterosklerosis berakibat insufisiensi
vaskuler sehingga aliran darah ke arteri dorsalis pedis, poplitea, dan tibialis juga
akan menurun.10

9. Deformitas Pada Kaki


Faktor mekanikal mempunyai peran penting dalam perkembangan kaki diabetik.
Faktor mekanikal disini adalah pengeluaran non-enzimatik yang membuat
pengerasan pada sekitar sendi yang menyebabkan meningkatnya tekanan pada
plantar ketika melangkah. Kapalan diketahui cenderung meningkatkan tekanan
pada plantar kaki yang cenderung menyebabkan ulserasi. Deformitas adalah
kelainan bentuk pada kaki yang ditandai dengan adanya hammer toe, claw
toe,hallus valgus (small bunion, large bunion), pes planus, pes clavus, dan
perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot. Deformitas kaki seperti kaki
charcot dan kaki claw juga merupakan faktor risiko terhadap kaki diabetik.3

10. Riwayat Ulserasi Pada Kaki


Riwayat ulserasi yang ditandai dengan luka terbuka pada permukaan kulit,
nekrosis jaringan karena gangguan peredaran darah ke organ perifer ditandai
dengan menurunnya pulsasi arteri dorsalis pedis dan neuropati ditandai dengan

39
menurunnya sensasi rasa pada penderita diabetes melitus tipe 2. Beberapa
penelitian mempunyai hasil yang sama bahwa riwayat kaki diabetik sebelumnya
mempunyai faktor risiko terhadap kaki diabetik. Ini didukung oleh hasil penelitian
dimana masing-masing dengan RR 1,6 dan p= 0,003.10

11. Riwayat Trauma Pada Kaki


Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi syaraf
sensoris kaki. Pada keadaan normal, sensasi nyeri yang diterima oleh kaki cepat
mendapat respon dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih besar. Pada penderita diabetes melitus, adanya neuropati
diabetika sensorik akan menyebabkan penderita diabetes melitus kurang atau
tidak merasakan adanya trauma, baik trauma mekanik, kemikal maupun termis.
Keadaan ini memudahkan terjadinya lesi atau ulserasi yang kemudian karena
infeksi terjadilah selulitis ataupun gangren.3

12. Riwayat Amputasi Pada Kaki


Amputasi pada kaki merupakan pemotongan pada bagian atau sebagian tungkai
bawah penderita misalnya jari dan seterusnya atau sebagian pedis atau sebagian
tungkai bawah. Sebagian besar amputasi pada kaki diabetik bermula dari ulkus
pada kulit. Bila dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan dapat
mengurangi kejadian tindakan amputasi. Ironisnya evaluasi dini dan penanganan
yang adekuat di rumah sakit tidak optimal.3

B. DIABETES MELLITUS
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya.
International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi. Klasifikasi DM
berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut:11
1. DM Tipe-1 (destruksi sel-β)

40
2. DM Tipe-2
3. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel β
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
d. Gangguan endokrin
e. Terinduksi obat dan zat kimia
4. Diabetes Gestasional
Tabel 1. Klasifikasi DM (PERKENI, 2019)

1. Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel β-
pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin
berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat
resistensi insulin. (Rustama DS, dkk., 2010).
a. Patogenesis
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang
berhubungan dengan kehancuran selektif sel beta pankreas
yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis
merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang

41
mengarah ke DM tipe 1. Antigen yang terlibat dalam DM
tipe 1 meliputi antigen 64kD, asam glutamat
dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet
(ICA). Antigen tersebut berperan dalam kerusakan sel beta
pancreas, sehingga terjadi destruksi progresif sel-sel beta
dan mengarah pada defisiensi insulin progresif.

b. Kriteria Diagnosis
DM ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala.
Bila dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka
pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah dapat
menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala,
maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula
darah abnormal pada waktu yang berbeda.11
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal
adalah:
1) Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2) Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3) Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka


perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu kadar C-
peptide. C-peptide ini merupakan salah satu penanda
banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi.
Pemeriksaan lain adalah untuk memeriksa adanya
autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA),
Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (GAD), IA2
(dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase) dan
Insuline autoantibodies (IAA). Adanya autoantibody
mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun.7

42
c. Tatalaksana
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya
meliputi pengobatan berupa pemberian insulin, melainkan
ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana
agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terdapat 5
pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :6
a. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus
diberikan pada penderita DM tipe 1. Dalam
pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin,
dosis insulin, regimen yang digunakan, cara
menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.
b. Diet
Mayoritas penderita DM tipe 1 merupakan
anak-anak atau remaja, sehingga untuk diet perlu
diperhatikan agar tetap mendukung tumbuh
kembangnya.
c. Aktivitas Fisik
Berolahraga akan membantu
mempertahankan berat badan ideal, menurunkan
berat badan apabila menjadi obes serta
meningkatkan percaya diri. Olahraga akan
membantu menurunkan kadar gula darah serta
meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin.
Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia maupun
hiperglikemia (bahkan ketoasidosis).
d. Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diedukasi tentang
penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak

43
boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis,
cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek
samping penyuntikan), monitor gula darah dan juga
target gula darah ataupun HbA1c yang diinginkan.
e. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah
tatalaksana yang diberikan sudah baik atau belum.
Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah
komplikasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu keadaan
hiperglikemia yang diakibatkan oleh resistensi insulin pada sel
otot dan hati, serta kegagalan sel beta pancreas dalam
memproduksi insulin.5
Organ yang terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak,
gastrointestinal, sel alfa pancreas, ginjal, dan otak, yang ikut
berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
a. Patogenesis
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa
tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pancreas saja yang
berperan sentral dalam pathogenesis DM tipe 2, tetapi
terdapat delapan organ lain yang berperan, yang disebut
dengan the egregious eleven.

44
Gambar 3. The Egregious Eleven (sebelas penyebab hiperglikemia)
(Schwartz, 2016)
Secara garis besar pathogenesis hiperglikemia
disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven) yaitu:
a. Kegagalan sel beta pancreas
Sel beta pankreas yang berperan sebagai
penghasil insulin, fungsinya sudah sangat berkurang
saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Sehingga
sekresi insulin dalam tubuh menurun dan
menyebabkan hiperglikemia.
b. Disfungsi sel alfa pancreas
Sel alfa berfungsi pada sintesis glucagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic
glucose production) dalam keadaan basal meningkat
secara bermakna dibanding individu yang normal.
c. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar free fatty acid (FFA)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi

45
insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu
sekresi insulin.
d. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan
kinerja insulin yang multiple di intramioselular,
yang diakibatkan oleh gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.

e. Hepar
Pada penyanda DM tipe 2 terjadi resistensi
insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh hepar (hepatic glucose production), meningkat.
f. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan
yang kuat. Pada individu yang obese baik yang DM
maupun non DM, didapatkan hyperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin.
g. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi microbiota pada kolon
berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia.
Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM
tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga
menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat
badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan
prebiotic diperkirakan sebagai mediator untuk
menangani keadaan hiperglikemia.
h. Usus halus

46
Glukosa yang ditelan memicu respons
insulin jauh lebih besar disbanding kalua diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebeagi efek
incretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu
glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose
dependent polypeptide (GIP). Pada pasien DM Tipe
2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormone GIP. Hormon incretin juga segera dipecah
oleh keberadaan enzim DPP4, sehingga kerjanya
sangat singkat. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa glucosidase yang akan memecah
polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian
diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan.
i. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. 90% glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter (SGLT-2) pada bagian convulated
tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada pasien DM, terjadi peningkatan ekspresi
gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah.
j. Lambung
Penurunan produksi amylin pada DM
merupakan konsekuensi kerusakan sel beta pancreas.
Penurunan kadar amylin menyebabkan percepatan

47
pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi
glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa post prandial
k. Sistem Imun
Sitokin menginduksi respons fase akut, yang
berhubungan dengan pathogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia
dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma
akibat peningkatan keburuhan metabolisme untuk
insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat
rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar,
dan otot.
b. Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar
pemeriksaa kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Selain
pemeriksaan glukosa darah, pasien DM juga memiliki
keluhan klasik DM, yaitu poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus (PERKENI, 2019)

48
Hasil pemeriksaaan yang tidak memenuhi kriteria normal
atau kriteria DM, digolongkan ke dalam kelompok prediabetes
yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).

Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan


prediabetes (PERKENI, 2019)

c. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Tujuan tatalaksana DM secara umum adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
Tatalaksana DM diawali dengan edukasi perilaku
hidup sehat, pola makan, dan perubahan gaya hidup.
Kemudian diberikan juga terapi nutrisi yang disesuaikan
dengan kebutuhan kalori, selain itu, pasien juga perlu
melakukan latihan fisik. Dan pilar tatalaksana DM yang
terakhir adalah terapi farmakologis.

49
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana DM tipe 2 (PERKENI, 2019)

Dalam tatalaksana DM, perlu adanya kriteria


pengendalian DM agar kualitas hidup pasien DM tetap
terjaga.

Tabel 4. Sasaran Pengendalian DM (PERKENI, 2019)

50
C.GAGAL JANTUNG KRONIK

Definisi Gagal Jantung Kronik


Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang ditandai
oleh sesak napas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Dahulu, gagal jantung dianggap
merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan penyakit miokard (daya
pompa) sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta
vasodilator untuk mengurangi beban. Paradigma baru terhadap penyakit Gagal
Jantung mengacu kepada Model Neurohumoral dimana Gagal Jantung dianggap
sebagai proses remodelling progresif akibat beban atau penyakit pada miokard
sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral
(neurohumoral blocker) seperti ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor-Blocker
atau penyekat beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretik dan
digitalis) ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti biventricular
pacing, recyncronizing cardiac therapy (RCT), intra cardiac defibrillator (ICD),
bedah rekonstruksi ventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan mioplasti. Suatu
definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik
hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada
disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan
sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa
sesak, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif
adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.8

Etiologi Gagal Jantung Kronik


Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup dan gangguan irama. Perubahan
struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi gagal jantung pada pasien
tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari gagal jantung dengan
penurunan EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi dari kedua keadaan

51
tersebut tumpang tindih. Di negara-negara industri, Penyakit Jantung Koroner
(PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75% pada kasus gagal jantung pada
pria dan wanita. Hipertensi memberi kontribusi pada perkembangan gagal jantung
pada 75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan
hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada diabetes mellitus.
Beberapa faktor risiko yang berperan terhadap kejadian Gagal Jantung antara lain
adalah tekanan darah yang tinggi, penyakit arteri koroner, serangan jantung,
diabetes, konsumsi beberapa obat diabetes, sleep apnea, defek jantung kongenital,
penyakit katup jantung, virus, konsumsi alkohol, rokok, obesitas, serta irama
jantung yang tidak reguler.8

Patofisiologi
Pada gagal jantung, terjadi ketidakmampuan jantung untuk memompa darah pada
tingkatan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, ataupun dapat
menjalankan fungsinya tetapi dengan tekanan pengisian yang lebih tinggi dari
normal. Onset dapat tidak terlihat maupun bersifat akut. Pada kebanyakan kasus
gagal jantung, jantung tidak dapat mengikuti ritme kebutuhan dasar jaringan
perifer. Pada beberapa kasus, gagal jantung terjadi akibat peningkatan kebutuhan
jaringan akan darah yang meningkat (high-output failure). Pada definisi perlu
dieksklusikan kondisi dimana cardiac output yang tidak adekuat yang terjadi
karena kehilangan darah maupun proses lain yang menyebabkan penurunan
pengembalian darah ke jantung.4
Secara mekanis, jantung yang gagal tidak dapat lagi memompakan darah yang
telah dikembalikan melaui sirkulasi vena. Cardiac output yang tidak adekuat
(forward failure) hampir selalu diikuti oleh peningkatan kongesti sirkulasi vena
(backward failure), dikarenakan kegagalan ventrikel untuk mengejeksi darah vena
yang diterimanya. Hal ini menyebabkan peningkatan volume end-diastolic pada
ventrikel, yang mengakibatkan peningkatan tekanan end-diastolic, dan pada
akhirnya meningkatkan tekanan vena.9

52
Sistem kardiovaskular dapat beradaptasi terhadap penurunan kontraktilitas
miokardium ataupun peningkatan kegagalan hemodinamik dengan beberapa cara.
Beberapa hal yang paling penting antara lain :
a) Aktivasi sistem neurohumoral, terutama (1) pelepasan neurotransmitter
norepinefrin oleh sistem saraf simpatis (peningkatan heart rate dan kontraktilitas
miokardium serta tahanan vaskuler), (2) aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, dan (3) pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP), suatu hormon
polipeptida yang disekresi oleh atrium pada saat distensi atrium. ANP
menyebabkan vasodilatasi, natriuresis, dan diuresis yang akan membantu
pengaturan volume maupun tekanan.

b) Mekanisme Frank-Starling, dengan berjalannya kegagalan jantung, tekanan


end-diastolic akan meningkat, menyebabkan masing-masing serat otot jantung
terregang; kejadian ini secara bermakna meningkatkan volume ruang jantung.
Sesuai dengan hubungan Frank-Starling, awalnya serat otot yang memanjang ini
akan berkontraksi dengan daya yang lebih, yang akan menyebabkan peningkatan
cardiac output. Jika ventrikel yang terdilatasi mampu untuk mempertahankan
cardiac output pada tingkatan yang dapat menyesuaikan kebutuhan tubuh, pasien
dikatakan memiliki compensated heart failure. Tetapi, peningkatan dilatasi akan
meningkatkan tegangan dinding ventrikel, yang akan meningkatkan kebutuhan
oksigen dari miokardium. Sejalannya waktu, miokardium yang mengalami
kegagalan tidak dapat lagi memompakan darah yang cukup untuk mencapai
kebutuhan tubuh, walaupun saat istirahat. Pada keadaan ini, pasien telah
memasuki fase yang disebut decompensated heart failure.

c) Perubahan struktur miokardium, termasuk didalamnya yaitu hipertrofi massa


otot, untuk meningkatkan massa jaringan kontraktil. Karena sel miosit jantung
pada orang dewasa tidak dapat berproliferasi, adaptasi pada peningkatan kerja
jantung yang kronik melibatkan hipertrofi individu sel-sel otot. Pada kondisi
tekanan overload (misalnya pada hipertensi, stenosis valvular), hipertrofi memiliki
karakteristik peningkatan diameter serat otot. Hal ini menyebabkan concentric

53
hypertrophy, di mana ketebalan dinding ventrikel meningkat tanpa disertai
peningkatan ukuran ruangan. Pada kondisi volume overload (misalnya pada
regurgitasi valvular atau abnormal shunts), yang mengalami peningkatan adalah
panjang dari serat otot. Hal ini menyebabkan eccentric hypertrophy, yang
memiliki karakteristik peningkatan ukuran jantung dan juga peningkatan
ketebalan dinding.8
Gagal jantung dapat mempengaruhi salah satu sisi baik sisi kiri maupun sisi kanan
secara dominan, maupun kedua sisi dari jantung. Penyebab tersering gagal jantung
sisi kiri antara lain adalah (1) Ischaemic Heart Disease (IHD), (2) hipertensi
sistemik, (3) penyakit katup mitral atau aorta, dan (4) penyakit miokardium
primer.
Penyebab tersering gagal jantung sisi kanan adalah kegagalan ventrikel kiri,
dengan asosiasi kongesti pulmoner dan peningkatan tekanan arteri pulmoner.
Gagal jantung sisi kanan juga dapat terjadi tanpa adanya gagal jantung sisi kiri
pada pasien dengan penyakit intrinsik pada parenkim paru ataupun vaskularisasi
pulmoner dan pada pasien dengan penyakit paru primer dan penyakit pada katup
trikuspid. Terkadang gagal jantung sisi kanan juga mengikuti kelainan jantung
kongenital.9
Mekanisme kompensasi dapat juga menyebabkan deteriorasi miokardium
lebih lanjut dan perburukan kontraktilitas miokardium. Pada gagal jantung sistolik,
cardiac output mengalami penurunan secara langsung melalui penurunan fungsi
ventrikel kiri. Pada gagal jantung diastolik, penurunan cardiac output terjadi
karena buruknya kompliansi ventrikel, kegagalan relaksasi, dan perburukan
tekanan end-diastolic.12
PJK merupakan etiologi dari 60 sampai 70 persen pasien dengan gagal jantung
sistolik, dan merupakan prediktor untuk progresi disfungsi sistolik ventrikel dari
asimptomatik menjadi simptomatik. Hipertensi dan penyakit katup jantung
merupakan faktor risiko signifikan terhadap kejadian gagal jantung.
Diabetes mellitus meningkatkan risiko gagal jantung sebesar dua kali lipat
dengan langsung mengarah ke kejadian Kardiomiopati dan secara signifikan
berkontribusi terhadap PJK. Diabetes adalah salah satu faktor risiko terkuat untuk

54
gagal jantung pada wanita dengan PJK. Merokok, aktivitas fisik, obesitas, dan
status sosial ekonomi rendah seringkali menjadi faktor risiko yang diabaikan.16
Banyak kondisi yang dapat menyebabkan gagal jantung, baik keadaan akut tanpa
gangguan jantung yang mendasari atau melalui dekompensasi gagal jantung
kronis.12 Akibatnya, penyebab alternatif harus segera diidentifikasi, ditangani, dan
dimonitor untuk menentukan apakah gagal jantung bersifat reversibel.
Pertimbangan yang paling penting saat mengkategorikan gagal jantung adalah
apakah fraksi ejeksi ventrikel kiri (Left Ventricular Ejection Fraction atau LVEF)
mengalami penurunan atau tidak (kurang dari 50%).15 Penurunan LVEF pada
gagal jantung sistolik merupakan prediktor kuat terhadap mortalitas.8 Sebanyak 40
hingga 50 persen pasien gagal jantung memiliki gagal jantung diastolik dengan
fungsi ventrikel kiri yang tidak terganggu. Secara umum, tidak terdapat perbedaan
survival rate di antara kelompok gagal jantung sistolik dan diastolik.18 Pasien
dengan gagal jantung diastolik seringkali adalah wanita, usia lanjut, memiliki
riwayat hipertensi, fibrilasi atrial, dan hipertrofi ventrikel kiri, tetapi tanpa riwayat
PJK. Berbeda dengan gagal jantung sistolik, masih sedikit terapi yang
direkomendasikan untuk pasien kelompok gagal jantung diastolik.12
Gejala-gejala pada gagal jantung dapat muncul dengan ataupun tanpa penurunan
fraksi ejeksi (gagal jantung sistolik atau diastolik). New York Heart Association
(NYHA) membuat suatu sistem klasifikasi yang mudah dipakai serta digunakan
secara luas sebagai metode untuk mengukur tingkat keparahan gejala.4 Sistem
klasifikasi NYHA merupakan prediktor mortalitas yang baik dan dapat digunakan
pada diagnosis dan monitor respon terapi.
Sistem klasifikasi New York Heart Association (NYHA) mengkategorikan gagal
jantung dengan skala I sampai IV, sebagai berikut :
a) Kelas I : Pasien dengan penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik
b) Kelas II : Pasien dengan penyakit jantung dengan limitasi ringan terhadap
aktivitas fisik

c) Kelas III : Pasien dengan penyakit jantung dengan limitasi bermakna terhadap
aktivitas fisik

55
d) Kelas IV : Pasien dengan penyakit jantung dengan ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas apapun tanpa menimbulkan gejala

Manifestasi Klinik
Pasien gagal jantung dapat mengalami penurunan toleransi latihan dengan
dyspneu, fatigue, kelemahan secara umum dan retensi cairan, dengan
pembengkakan perifer ataupun abdominal dan orthopneu.12 Anamnesis riwayat
pasien dan pemeriksaan fisik berguna untuk mengevaluasi penyebab alternatif dan
juga penyebab yang reversibel. Hampir seluruh pasien gagal jantung mengalami
dyspneu yang dipicu aktivitas. Walaupun demikian, gagal jantung hanya
berpengaruh terhadap 30% kejadian dyspneu pada kasus-kasus kesehatan primer.
Absensi kejadian dyspneu yang dipicu aktivitas hanya menurunkan sedikit
probabilitas kejadian gagal jantung sistolik dan ditemukannya orthopneu atau
paroxysmal nocturnal dyspnea mempunyai efek kecil terhadap peningkatan
probabilitas gagal jantung.8

Keberadaan distensi vena juguler, reflux hepatojuguler, ronkhi basah pada paru,
dan edema perifer pitting merupakan indikasi adanya volume overload dan
meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung. Distensi vena juguler dan
reflux mempunyai efek moderat, sedangkan tanda yang lain, termasuk juga
didalamnya murmur jantung hanya mempunyai efek kecil terhadap probabilitas
diagnosis. Ketiadaan tanda-tanda diatas secara umum membantu menyingkirkan
diagnosis gagal jantung.9

Diagnosis
Keberadaan suara jantung III (Gallop pengisian ventrikel) merupakan indikasi
peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri dan penurunan LVEF. Walaupun
secara relatif merupakan penemuan yang jarang, suara jantung III dan
perpindahan apex jantung adalah prediktor yang baik terhadap disfungsi ventrikel
kiri dan secara efektif mengarahkan kepada diagnosis gagal jantung sistolik.12

56
Sampai saat ini definisi gagal jantung masih menjadi perdebatan tetapi masih
dijadikan sebagai suatu diagnosis klinis. Beberapa kelompok telah
mempublikasikan kriteria diagnostik, tetapi kriteria Framingham menjadi salah
satu kriteria yang diterima secara luas dan juga mecakup komponen-komponen
untuk evaluasi awal, yang meningkatkan tingkat akurasinya. Sebuah studi
sebelumnya memvalidasi kriteria Framingham sebagai alat diagnostik gagal
jantung sistolik, dan sebuah studi yang menganalisa kriteria tersebut terhadap
gagal jantung sistolik dan diastolik.4 Kedua studi tersebut melaporkan hasil
sensitivitas yang tinggi untuk gagal jantung sistolik (97% dibandingkan dengan
89% untuk gagal jantung diastolik) sehingga akan secara efektif mengeksklusikan
gagal jantung saat kriteria Framingham tidak terpenuhi.8

Gambar 5. Kriteria Framingham

Radiografi thoraks harus dilakukan sebagai diagnosis inisial untuk mengevaluasi


gagal jantung sebab dapat mengidentifikasi penyebab dispneu yang berasal dari
paru (contohnya penumonia, pneumothoraks, massa). Kongesti vena pulmoner
dan edema interstisial pada radiografi thoraks pada pasien dengan dispneu

57
meningkatkan kemungkinan diagnosis dari gagal jantung. Penemuan lainnya,
seperti efusi pleura atau kardiomegali, dapat sedikit meningkatkan kemungkinan
gagal jantung, tetapi ketidakhadiran mereka hanya sedikit berguna untuk
mengurangi kemungkinan gagal jantung.9

Elektrokardiografi (EKG) berguna untuk mengidentifikasi penyebab lain pada


pasien-pasien dengan kecurigaan gagal jantung. Perubahan-perubahan seperti blok
cabang berkas kiri, hipertrofi ventrikel kiri, infark miokard akut maupun
sebelumnya, atau fibrilasi atrial dapat diidentifikasi dan mungkin menjamin
investigasi lebih lanjut menggunakan ekokardiografi, stress testing, ataupun
konsultasi kardiologi. Penemuan normal (ataupun abnormalitas minor) pada EKG
membuat gagal jantung hanya sedikit lebih kecil kemungkinannya. Keberadaan
penemuan-penemuan lainnya seperti fibrilasi atrial, perubahan-perubahan
gelombang-T yang baru, atau abnormalitas lainnya memiliki efek yang kecil
terhadap kemungkinan diagnosis gagal jantung.8

Prognosis
Sebagian besar studi longitudinal jangka panjang (dengan follow up lebih dari 10
tahun), termasuk studi yang dilakukan oleh Framingham pada 1971, telah
dilakukan sebelum meluasnya penggunaan ACE inhibitor. Pada studi
Framingham, rasio eight years survival secara keseluruhan pada seluruh kelas
NYHA adalah 30%, dibandingkan dengan rasio mortalitas satu tahun pada kelas
III dan IV sebesar 34% dan mortalitas satu tahun pada kelas IV sebesar lebih dari
60%. Prognosis pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatik
lebih baik daripada pasien disfungsi ventrikel kiri yang simptomatik. Prognosis
pasien dengan gagal jantung bergantung dari derajat keparahan, umur, dan jenis
kelamin, dengan prognosis yang lebih buruk pada pasien laki-laki. Sebagai
tambahan, beberapa indikasi prognosik yang diasosiasikan dengan prognosis
sampingan, meliputi kelas NYHA, fraksi ejeksi ventrikel kiri, serta status
neurohumoral. Morbiditas dan mortalitas pada seluruh tingkatan gagal jantung
kronik simptomatik cukup tinggi, dengan 20-30% mortalitas tiap tahunnya pada

58
gagal jantung ringan dan sedang dan lebih dari 50% mortalitas tiap tahunnya pada
gagal jantung yang berat. Data prognostik ini merujuk kepada pasien dengan
gagal jantung sistolik.12
Beberapa prediktor luaran buruk pada gagal jantung kronik:

 Kelas fungsional NYHA yang tinggi


 Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang menurun
 Rendahnya konsumsi oksigen maksimal pada olahraga maksimal (% nilai
prediksi)
 Peningkatan tekanan perfusi kapiler paru
 Penurunan indeks jantung
 Diabetes mellitus
 Penurunan konsentrasi natrium
 Peningkatan katekolamin plasma dan kontraksi peptida natriuretik.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease. Dalam: Harrison’s Principles


of Internal Medicine. Edisi ke-7. USA: Mcgraw-Hill; 2008. hlm 241.
2. Bilous R, Donelly R. Buku pegangan diabetes. Ed 4. Jakarta: Bumi Medika;
2014.
3. Gupta A, Haq M, Singh M. Management option in diabetic foot according to
Wagners classification: an observational study. Jk Science. 2016; 18(1): 35-
38.
4. Lukito AA, Rahajoe AU, Rilantono LI, Harimurti GM, Soesanto AM, Danny
SS, dkk. Pedoman tatalaksana pencegahan penyakit kardiovaskular pada
perempuan. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia;
2015.
5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengendalian dan
pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2019. Jakarta : PB Perkeni;
2019.
6. Schteingart DE. Pankreas: metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. In:
Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC; 2005.
7. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of
diabetes for 2010 and 2030. Diabetes Atlas. Diabetes Research and Clinical
Practice. 2010; (87): 4-14.
8. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, et
al. Pedoman tatalaksana gagal jantung. Edisi ke-1. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. hlm. 14-28
9. Stone, G. W.; Maehara, A.; Lansky, A. J., et al. A prospective natural-history
study of coronary atherosclerosis, New England Journal of Medicine. 2011,
364, 226-235.
10. Utami DT, Karim D, Agrina. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien diabetes mellitus dengan ulkus diabetikum. JOM PSIK. 2014;
1(2): 1-7.

60
11. WHO. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its
complications. Part 1: diagnosis and classification of diabetes mellitus
provisional report of a WHO consultation. Diabetes Medical.
2016;15(7):539–53.
12. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al.
ACCF/AHA guideline for the management of heart failure: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013; 62(16):e147-
239.

61

Anda mungkin juga menyukai