DISUSUN OLEH:
Ramdan Muhamad - G99181052
RESIDEN PEMBIMBING
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Patologi
Klinik Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan
judul:
Oleh:
Ramdan Muhamad G99181052
Tanda dan gejala uremia yang sering terjadi diantaranya adalah kelelahan,
neuropati perifer, anoreksia, anemia, kejang, hingga penurunan kesadaran. Anemia pada
pasien dengan uremia dapat terjadi karena defisiensi eritropoietin ataupun umur eritrosit
yang memendek. Dari tanda dan gejala yang muncul tersebut, tidak heran keadaan uremia
sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Gejala neurologis yang muncul biasanya
berkaitan dengan terjadinya ensefalopati uremikum akibat kadar urea yang tinggi sehingga
bersifat toksik pada otak.
Ensefalopati uremikum merupakan gangguan otak organik yang terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal akut maupun kronis, biasanya terjadi ketika perkiraan laju filtrasi
glomerulus (eGFR) turun dan tetap berada di bawah 15 mL / menit. Manifestasi sindrom
ini bervariasi dari gejala ringan seperti misalnya kelelahan, hingga tanda-tanda parah
misalnya, kejang hingga koma. Tingkat keparahan dan perkembangan tergantung pada
tingkat penurunan fungsi ginjal. Identifikasi uremia segera sebagai penyebab ensefalopati
sangat penting karena gejalanya mudah reversibel setelah inisiasi dialisis.
Kerusakan ginjal yang bersifat kronis dan berlangsung lama dapat berkontribusi
pada penurunan fungsi jantung mulai dari remodeling jantung, disfungsi diastolik ventrikel
kiri, hipertrofi, dan / atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular, seperti infark
miokard, gagal jantung, atau stroke. Terlepas dari pengaruh usia dan faktor risiko
konvensional, CKD telah terbukti menjadi penyebab independen dari terjadinya gangguan
kardiovaskuler. Kondisi dimana disfungsi ginjal dan kelainan jantung, baik bersifat akut
maupun kronis, yang saling mempengaruhi satu sama lain dikenal sebagai Cardio-renal
syndrome (CRS).
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas penderita
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Wonogiri,Jawa Tengah
No RM : 01029XXX
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 5 Agustus 2019
Tanggal Periksa : 6 Agustus 2019
B. Data dasar
1. Keluhan utama:
Kejang sejak 2 hari SMRS
: Laki-laki : Pasien
6. Riwayat kebiasaan
Makan : Pasien mengaku makan 2 kali sehari dengan nasi,
lauk-pauk, dan sayur. Pasien saat ini hanya makan 3- 4
sendok sekali makan.
Merokok : Sejak 3 tahun SMRS, 3 – 4 batang sehari.
Alkohol : Disangkal
Minum jamu : Disangkal
Obat bebas : Disangkal
7. Riwayat gizi
Pasien makan 2 kali dalam sehari. Saat sakit pasien hanya makan 3-4
sendok sekali makan karena mual dan muntah.
12. Jantung
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC IV linea
mediana clavicula sinistra
c. Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V 2 cm lateral linea midklavicularis
sinistra
Batas jantung kesan melebar kearah kaudolateral
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising
(-), gallop (-).
1. Pulmo
a. Depan
1) Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
2) Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =
kiri
3) Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak
pada batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V
linea medioclavicularis sinistra
4) Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
1) Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
2) Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan
=kiri
3) Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
4) Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
a. Inspeksi : Dinding perut lebih rendah dari dinding thorak, venektasi
(-), sikatrik (-), striae (-),ikterik (-),
b. Auskultasi : Bising usus (+) 16 x / menit
c. Perkusi : Timpani, pekak alih/pekak sisi (-), nyeri ketok sudut
costovertevbrae (-), undulasi (-)
d. Palpasi : Distended (-), nyeri tekan (+) epigastrium, lien tidak
teraba, hemoroid (-)
14. Ekstremitas
_ _
_ _ _ _
Akral dingin _ _ Oedem
STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : compos mentis E4V5M6
N. cranialis :
N. I : dalam batas normal
N. II, N.III : pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
N. IV, N. VI : dalam batas normal
N. VII, N. XII : dalam batas normal
N. V, N. X, N. XI: dalam batas normal
Refleks fisiologis:
Biseps (+2/+2)
Triseps (+2/+2)
Patella (+2/+2)
Achilles (+2/+2)
Refleks patologis:
Hoffman tromnar (-/-)
Babinski (-/-)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Gordon (-/-)
Meningeal sign:
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Kernig (-)
Fungsi motorik 5 5
5 5
Fungsi sensorik N N
N N
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab darah (05 Agustus 2019) di RSDM
Tabel 1. Hasil pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hematokrit 24 % 33 – 45
Golongan Darah O
INDEKS ERITROSIT
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
HEPATITIS
HbsAg Nonreactive
MAKROSKOPIS
Warna Kuning
Kejernihan Cloudy
KIMIA URIN
MIKROSKOPIS
EPITEL
SILINDER
Gambar 3. Elektrokardiogram
Kesimpulan:
Sinus rythm, RBBB, HR: 89 bpm, normoaxis, dengan OMI inferior dan LVH
E. RESUME
1. Keluhan utama:
Kejang sejak 2 hari SMRS
2. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 2 hari yang lalu SMRS.
Kejang dirasakan di kedua tangan dan kaki pasien menjadi kaku.
Kejang terjadi 2 kali dalam 2 hari dan berlangsung selama sekitar 15 menit.
Pasien mengatakan tidak sadar selama kejang berlangsung.
Keluarga pasien menyangkal bahwa pasien memiliki riwayat kejang
sebelumnya.
Pasien menyatakan tidak terdapat pusing, pandangan ganda sebelum kejang
(-), kilatan cahaya (-), demam (-).
Pasien dinyatakan gagal ginjal sejak 1 bulan SMRS di RSUD Wonogiri dan
sudah dilakukan cuci darah sebanyak 2 kali dalam 1 bulan terakhir.
Pasien belum rutin melakukan cuci darah dikarenakan keluarga masih
mempertimbangkan hal tersebut.
Pasien mengeluh mual dan muntah sejak 1 bulan SMRS.
Pasien muntah 2-3 kali sehari dengan muntah cair, sisa makanan (+), muntah
hitam (-), darah (-).
Pasien muntah sebanyak setengah gelas air mineral.
Pasien mengalami penurunan nafsu makan akibat dari mual dan muntah yang
dirasakan.
Pasien makan 2 kali sehari dengan porsi kecil.
Pasien BAK 1-2 kali sehari dengan sekali BAK kurang lebih setengah gelas
air mineral, pasien menyangkal adanya nyeri BAK, BAK anyang-anyangan
(-), BAK berpasir (-).
BAK pasien berwarna kuning jernih.
Pasien BAB 1 kali sehari berwarna cokelat.
Pasien menyangkal adanya nyeri BAB. BAB konsistensi lunak.
Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus tipe II sejak 2007 dan rutin
menggunakan glibenclamid 1 hari sekali. Pasien juga mengaku rutin kontrol
mengenai DM yang sedang dialami.
Pasien juga memiliki riwayat sakit hipertensi sejak 2010 dan rutin meminum
obat namun pasien lupa dengan nama obatnya.
3. Pemeriksaan fisik:
Sakit sedang, Compos mentis, GCS E4/V5/M6, TD 150/80 mmHg, HR 84x/
menit, RR 18x /menit, temp 36,50C. BB 60 kg, TB 165 cm, IMT 22.03 kg/m2
(underweight). Mata: konjungtiva anemis (+/+), Mulut: papila lidah atrofi (+).
Pemeriksaan perkusi jantung: Batas jantung kesan melebar.
Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan epigastrium
Status neurologis: dalam batas normal
4. Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium darah: Hb 7.8 g/dl, Eritrosit 2.79 juta/ul, Leukosit 3.9 ribu/ul,
trombosit 147 ribu/ul, Hematokrit 24%, MCH 27.9 Pg, PDW 16 %, GDS 195
mg/dl, creatinine 14.4 mg/dl, ureum 331 mg/dl, calsium ion 1.07 mmol/L,
Analisis urin: protein +2, eritrosit +1, small round cell 0.6/uL, epitel
squamous 0-9/LPB, epitel transisional 0-9/LPB, bakteriuri, jamur (+)
EKG: Sinus rythm, RBBB, HR: 89 bpm, normoaxis, OMI inferior, LVH
Rontgen Thorak PA: kardiomegali, aortosklerosis
F. Diagnosis
1. Observasi konvulsi e.c. sindrom uremia
2. DKD stage 5
3. Dispepsia organic e.c. gastroparesis DM dd. Gastropati uremikum
4. DM tipe II non-obese
5. Cardio-renal Syndrome
G. Temuan Laboratorium
1. Lab darah:
Anemia hipokromik - normositik, leukopenia, trombositopenia, hiperglikemia,
azotemia, hiponatremia, hipokalsemia.
2. Urin rutin:
Proteinuria, Bakteriuri, Jamur (+)
H. Tatalaksana
1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak 1700 kkal, diet ginjal rendah protein 60g/hari
3. O2 2lpm NK
4. IVFD NaCl 0.9% 16 tpm. Mikrodrip
5. Diazepam ½ amp bila kejang
6. Inj. Lisinopril 5 mg/24 jam
7. Inj. Furosemid 20 mg/24 jam
8. Inj. Metoclopramid 1 amp/8jam
9. Novorapid 4-4-4
10. Atorvastatin 1x20 mg
Plan:
1. Monitoring tanda vital
2. Monitoring balance cairan dan urin output
3. Pro HD
4. Konsul spesialis mata
5. Konsul spesialis jantung
Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kejang terjadi selama 15 menit dan pasien mengaku tidak
sadar saat kejang terjadi.
Kejang disebabkan oleh gangguan pada aktivitas listrik, di satu atau
seluruh area otak. Gangguan tersebut dapat dipicu oleh penyakit di otak, atau
kondisi lain yang secara tidak langsung memengaruhi fungsi otak. Pada pasien ini
penyebab terjadinya kejang bisa dipengaruhi oleh dua kemungkinan yang belum
dapat diketahui secara pasti yaitu keadaan ensefalopati diabetikum dan
ensefalopati uremikum. Kondisi ensefalopati diabetikum didasari dengan adanya
riwayat diabetes mellitus sejak 12 tahun yang lalu. Sedangkan Kondisi
ensefalopati uremikum didasari oleh peningkatan kadar urea pada pasien yang
melebihi 50 mg/dl dimana pada keadaan tersebut dapat terjadi sebuah kondisi
uremia atau yang lebih dikenal dengan sindroma uremia. Selain kadar urea apda
darah, Ensefalopati uremikum juga ditandai dengan penurunan nilai kadar -
creatinine clearance yang berada di bawah 15 mL/menit (Lohr, 2020). Pada
pasien ini nilai creatinine clearance adalah 5mL/ menit, memenuhi kriteria
tersebut.
Sindroma uremia pada pasien ini disebabkan oleh kerusakan fungsi ginjal.
Hal tersebut ditandai dengan terjadinya azotemia (peningkatan kadar ureum dan
kreatinin), terdapatnya proteinuria (positif 2), peningkatan tekanan darah, serta
temuan laboratorium yang menunjukkan anemia normositik normokromik dan
trombositopenia. Pada pasien ini gagal ginjal telah mencapai stage 5 yang
ditentukan dari nilai eGFR <15 mL/menit (pada pasien ini bernilai 3.7 mL/menit).
Kondisi tersebut kemungkinan diakibatkan oleh penyakit diabetes mellitus yang
sudah dimiliki pasien sejak 13 tahun yang lalu atau yang lebih dikenal dengan
istilah Diabetic Kidney Disease (DKD).
DKD ditandai oleh albuminuria berat> 300 mg / 24 jam (atau> 200 yang
bertahan lama). μg / mnt), atau rasio albumin-kreatinin (ACR)> 300 mg / g,
dikonfirmasi dalam setidaknya 2 dari 3 sampel, dengan kehadiran bersamaan
retinopati diabetik dan tidak adanya tanda-tanda bentuk lain dari penyakit ginjal
(Persson dan Rossing, 2017). Pada pasien ini belum dilakukan pemesiksaan
albumin urin kuantitatif maupun ACR. Kondisi retinopati diabetik pada pasien ini
dapat ditandai dengan adanya penurunan visus, namun perlu diperiksa lebih lanjut
oleh spesialis mata terkait adanya tanda-tanda pasti retinopati diabetik.
Kerusakan ginjal yang kronis tersebut juga yang mendasari terjadinya laju
filtrasi glomerulus, sehingga pada pasien ini hanya dapat memproduksi urin
sebanyak ½ gelas air mineral dalam 1 hari.
Selain itu, kerusakan ginjal yang bersifat kronis dan berlangsung lama
dapat berkontribusi pada penurunan fungsi jantung mulai dari remodeling jantung,
disfungsi diastolik ventrikel kiri, hipertrofi, dan / atau peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular, seperti infark miokard, gagal jantung, atau stroke. Terlepas dari
pengaruh usia dan faktor risiko konvensional, CKD telah terbukti menjadi
penyebab independen dari terjadinya gangguan kardiovaskuler. Kondisi dimana
disfungsi ginjal dan kelainan jantung, baik bersifat akut maupun kronis, yang
saling mempengaruhi satu sama lain dikenal sebagai Cardio-renal syndrome
(CRS).
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2019).
1. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2.
Kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin),
sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai
the ominous octet (gambar-1)
Gambar 5. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the
Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus.
Diabetes. 2009;58: 773-795)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah
oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.
Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon
atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor
dan amylin.
g. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine.
Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
h. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
2. Klasifikasi
Tabel 3. Klasifikasi DM
3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 4. Kriteria Diagnosis DM
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2-jam <140 mg/dl;
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Gastroparesis DM
Gastroparesis didefinisikan sebagai terlambatnya pengosongan makanan
yang sudah terdigesti tanpa adanya obstruksi mekanik pada lambung maupun
duodenum (Koch, 2015). Gastroparesis adalah komplikasi DM yang serius
(Vanormelingen et al., 2013). Pada pasien DM dengan gastroparesis, makanan
yang sudah dicerna tidak dikosongkan pada waktu yang telah diprediksikan,
sehingga absorbsi nutrisinya tidak tercapai. Oleh karenanya, dosis dan waktu
pemberian terapi insulin untuk mengontrol glukosa postprandial mungkin tidak
tepat.
Saat pasien DM tipe 1 atau tipe 2 mengalami gastroparesis, konsekuensi
yang diderita bisa menjadi berat. Gejala-gejala yang berhubungan dengan
gastroparesis, seperti kenyang lebih awal, rasa begah, mual, dan muntah sisa
makan, tidak hanya mengurangi kualitas hidup namun juga mempersulit kontrol
glukosa darah (Koch, 2015).
1. Gejala
Gejala yang terkait dengan gastroparesis DM adalah rasa kenyang lebih
awal, rasa begah, mual, muntah sisa makanan, kembung, rasa tidak nyaman
hingga nyeri pada perut. Gejala-gejala ini tidak khas dan nonspesifik. Rasa
mual adalah gejala utama yang paling mengganggu. Rasa mual yang
berhubungan dengan gastroparesis biasanya berpusat di epigastrium dan
bertambah ketika makan. Gejala-gejala ini sama pada DM tipe 1 atau 2,
walaupun beberapa sumber menyebutkan pada pasien DM tipe 2 biasanya
memiliki gejala kembung dan begah yang lebih sering. Lama-kelamaan
gejala-gejala ini memburuk dan menyebabkan penurunan berat badan dan
menurunnya jumlah intake makanan (Vanormelingen et al., 2013).
2. Patofisiologi
Patofisiologi gastroparesis DM sangat kompleks dan multifaktorial.
Mekanisme genetik yang terjadi bersifat heterogen dan termasuk disfungsi
inervasi vagal, kerusakan interstitial cells of Cajal (ICC) dan reduksi
neuronal nitric oxide synthase (nNOS) (Jalleh et al., 2019).
3. Tatalaksana
Ketika diagnosis gastroparesis DM telah ditegakkan, kontrol simptomatik
yang adekuat dapat dicapai dengan modifikasi diet dan/atau tatalaksana
farmakologi. Tujuan terapi adalah kontrol gejala dan peningkatan
pengosongan lambung. Obat-obatan yang biasanya diberikan adalah
prokinetik, antimual, dan terapi modulasi nyeri. Modifikasi diet adalah
intervensi pertama pada gastroparesis DM. Untuk dikeluarkan dari lambung,
sisa makanan yang tidak dapat dicerna seperti bahan kasar atau serat
membutuhkan fungsi lambung yang terkoordinasi. Oleh karena itu, diet
rendah serat dan residu dapat mengurangi gejala (Vanormelingen et al.,
2013).
Prokinetik (Antidopaminergik: Domperidon, Metoclopramide, Agonis
motilin: Eritromycin, Azithromycin) adalah pilihan utama bagi manajemen
B. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan
darah tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney
Foundation, 2015). Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan
C. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai
dengan penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi.
Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR
masih normal atau justru meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan
berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan gejala
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul
gejala dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT (Suwitra,
2009).
D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan
dengan stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation,
2010). Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 7. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai Stadium
Hiponatremia
Hiponatremia adalah penurunan konsentrasi natrium serum <136
mEq/L disebabkan oleh kelebihan air relative terhadap zat terlarut (Wang
dan Ewen, 2006). Hiponatremia sendiri diklasifikasikan sebagai:
1. Hiponatremia ringan : 130– 135 mEq / L
2. Hiponatremia sedang : 125 – 130 mEq / L
3. Hiponatremia berat : <125 mEq / L
Hiponatremia sendiri dapat disebabkan oleh:
Hiperglikemia, dimana pergerakan air bebas terjadi ke dalam ruang
ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler.
Defisit natrium yang berhubungan dengan hipovolemia: kehilangan
melalui renal, gastrointestinal, keringat berlebih, penyakit Addison
Defisit natrium yang berhubungan normovolemia/euvolemic:
insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, syndrome of inappropriate ADH
secretion (SIADH), polidipsi psikogenik.
Defisit natrium yang berhubungan hipervolemia: gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis, sindrom nefrotik, gagal ginjal.
Penanganan hipokalemia tergantung dari adanya dan beratnya
disfungsi organ yang terlibat. Hipokalemia sekunder akibat redistribusi
akut tidak selalu membutuhkan terapi. Pada hipokalemia ringan dan
sedang (3-3.5 mEq/L), terapi pengganti kalium tidak perlu dilakukan
segera, khususnya apabila hipokalemia tersebut asimptomatik dan terjadi
secara kronis. Pada pasien dengan perubahan gambaran EKG yang
signifikan seperti perubahan segmen ST atau aritmia, diperlukan
pemantauan EKG, khususnya selama terapi kalium intravena. Kekuatan
otot juga sebaiknya diperiksa pada pasien dengan kelemahan otot (Morgan
et al., 2006).
Terapi oral dengan cairan kalium klorida (60-80 mEq/hari)
umumnya adalah yang paling aman. Terapi hipokalemia biasanya
memerlukan waktu beberapa hari. Terapi kalium klorida secara intravena
biasanya hanya dilakukan pada pasien dengan atau yang memiliki risiko
kelainan jantung serius atau kelemahan otot. Tujuan terapi intravena
adalah untuk menyelamatkan pasien dari bahaya yang mengancam; bukan
untuk mengoreksi defisit kalium. Terapi intravena melalui kateter perifer
tidak boleh melebihi 8 mEq/jam karena kalium memiliki efek iritasi pada
vena perifer. Cairan yang mengandung dekstrosa sebaiknya dihindari
karena dapat mengakibatkan hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder
dapat mengurangi kadar kalium plasma. Terapi intravena secara cepat (10-
20 mEq/jam) memerlukan kateter vena sentral dan pemantauan EKG.
Terapi yang lebih cepat paling aman melalui kateter femoralis, karena
konsentrasi kalium yang sangat tinggi di dalam jantung dapat terjadi
apabila dilakukan melalui kateter vena sentral standar( Morgan et al.,
2006). Pemberian kalium melalui vena cava superior tidak
direkomendasikan apabila kecepatan terapi melebihi 20 mEq/jam karena
peningkatan kalium plasma mendadak di ruang jantung kanan dapat
menyebabkan asistol (Marino et al., 2014). Terapi kalium intravena tidak
boleh melebihi 240 mEq/ hari (Morgan et al., 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Borghetti, G., Von Lewinski, D., Eaton, D. M., Sourij, H., Houser, S. R., &
Wallner, M. (2018). Diabetic cardiomyopathy: Current and future therapies.
Beyond glycemic control. Frontiers in Physiology, 9(OCT), 1–15.
https://doi.org/10.3389/fphys.2018.01514
Marathe, C. S., Rayner, C. K., Jones, K. L., & Horowitz, M. (2016). Novel
insights into the effects of diabetes on gastric motility. Expert Review of
Gastroenterology & Hepatology, 10(5), 581–593.
doi:10.1586/17474124.2016.1129898
Meyer, T. W., & Hostetter, T. H. (2007). Uremia Review Article. The New
England Journal of Medicine, 357, 1316–1325.
Poskurica, M., & Petrović, D. (2014). Congestive Heart Failure in Patients with
Chronic Kidney Disease. Srpski Arhiv Za Celokupno Lekarstvo, 142(11–12),
747–755. https://doi.org/10.2298/SARH1412747P
Shiba, N., & Shimokawa, H. (2011). Chronic kidney disease and heart failure-
Bidirectional close link and common therapeutic goal. Journal of
Cardiology, 57(1), 8–17. https://doi.org/10.1016/j.jjcc.2010.09.004
Soelistijo, S., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., Manaf, A.,
… Soetedjo, N. (2015). Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe2 Di Indonesia 2015. In Perkeni.