Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 60 TAHUN DENGAN OBSERVASI KONVULSI


E.C. SINDROM UREMIA, DKD STAGE 5, DISPEPSIA ORGANIK E.C.
GASTROPARESIS DM DD GASTROPATI UREMIKUM, DM TIPE II NON-
OBESE, DAN CARDIO-RENAL SYNDROME

DISUSUN OLEH:
Ramdan Muhamad - G99181052

RESIDEN PEMBIMBING

dr. Tisha Patricia dr. Amiroh Kurniati, M. Kes., Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Patologi
Klinik Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan
judul:

SEORANG LAKI-LAKI USIA 60 TAHUN DENGAN OBSERVASI KONVULSI


E.C. SINDROM UREMIA, DKD STAGE 5, DISPEPSIA ORGANIK E.C.
GASTROPARESIS DM DD GASTROPATI UREMIKUM, DM TIPE II NON-
OBESE, DAN CARDIO-RENAL SYNDROME

Hari, tanggal: Senin, 20 Juli 2020

Oleh:
Ramdan Muhamad G99181052

Mengetahui dan menyutujui,


Pembimbing Laporan Kasus,
dr. Amiroh Kurniati, M.Kes., Sp.PK
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Salah satu komplikasi dari
DM adalah terjadinya gagal ginjal atau yang lebih dikenal dengan istilah Diabetic Kidney
Disease. Keadaan tersebut ditandai dengan albuminuria berat > 300 mg/24 jam (atau > 200
yang bertahan lama). μg/mnt), atau rasio albumin-kreatinin (ACR) > 300 mg/g,
dikonfirmasi dalam setidaknya 2 dari 3 sampel, dengan kehadiran bersamaan retinopati
diabetik dan tidak adanya tanda-tanda bentuk lain dari penyakit ginjal. Diagnosis DKD
hanya memerlukan evaluasi klinis dan laboratorium dasar.

Berkurangnya fungsi ginjal mengakibatkan menurunnya laju filtrasi glomerulus


serta penurunan kemampuan ekskresi zat sisa oleh tubuh. Pada keadaan tersebut, zat sisa
metabolisme yang tidak terbuang dapat terakumulasi hingga mencapai kadar toksik yang
dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh lain. Salah satu zat sisa yang dapat
terakumulasi dalam tubuh pasien dengan penurunan fungsi ginjal adalah ureum. Kadar
ureum yang tinggi pada plasma dapat menyebabkan gangguan-gangguan pada organ-organ
tertentu yang kemudian disebut dengan sindrom uremia.

Istilah "uremia" digunakan secara longgar untuk menggambarkan penyakit yang


menyertai gagal ginjal yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan volume ekstraseluler,
konsentrasi ion anorganik, atau kurangnya produk sintetik ginjal yang diketahui. Uremia
digambarkan sebagai penyakit yang sebagian besar disebabkan oleh akumulasi produk
limbah organik, yang belum semua teridentifikasi, yang biasanya dibersihkan oleh ginjal.

Tanda dan gejala uremia yang sering terjadi diantaranya adalah kelelahan,
neuropati perifer, anoreksia, anemia, kejang, hingga penurunan kesadaran. Anemia pada
pasien dengan uremia dapat terjadi karena defisiensi eritropoietin ataupun umur eritrosit
yang memendek. Dari tanda dan gejala yang muncul tersebut, tidak heran keadaan uremia
sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Gejala neurologis yang muncul biasanya
berkaitan dengan terjadinya ensefalopati uremikum akibat kadar urea yang tinggi sehingga
bersifat toksik pada otak.

Ensefalopati uremikum merupakan gangguan otak organik yang terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal akut maupun kronis, biasanya terjadi ketika perkiraan laju filtrasi
glomerulus (eGFR) turun dan tetap berada di bawah 15 mL / menit. Manifestasi sindrom
ini bervariasi dari gejala ringan seperti misalnya kelelahan, hingga tanda-tanda parah
misalnya, kejang hingga koma. Tingkat keparahan dan perkembangan tergantung pada
tingkat penurunan fungsi ginjal. Identifikasi uremia segera sebagai penyebab ensefalopati
sangat penting karena gejalanya mudah reversibel setelah inisiasi dialisis.
Kerusakan ginjal yang bersifat kronis dan berlangsung lama dapat berkontribusi
pada penurunan fungsi jantung mulai dari remodeling jantung, disfungsi diastolik ventrikel
kiri, hipertrofi, dan / atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular, seperti infark
miokard, gagal jantung, atau stroke. Terlepas dari pengaruh usia dan faktor risiko
konvensional, CKD telah terbukti menjadi penyebab independen dari terjadinya gangguan
kardiovaskuler. Kondisi dimana disfungsi ginjal dan kelainan jantung, baik bersifat akut
maupun kronis, yang saling mempengaruhi satu sama lain dikenal sebagai Cardio-renal
syndrome (CRS).
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas penderita
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Wonogiri,Jawa Tengah
No RM : 01029XXX
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 5 Agustus 2019
Tanggal Periksa : 6 Agustus 2019

B. Data dasar
1. Keluhan utama:
Kejang sejak 2 hari SMRS

2. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 2 hari yang lalu SMRS.
Pasien sebelumnya pernah mengalami kejang. Kejang dirasakan di kedua
tangan dan kaki pasien menjadi kaku. Kejang dirasakan 2 hari yang lalu.
Kejang terjadi 2 kali dalam 2 hari dan berlangsung selama sekitar 15
menit. Pasien mengatakan tidak sadar selama kejang berlangsung.
Keluarga pasien menyangkal bahwa pasien memiliki riwayat kejang
sebelumnya. Pasien menyatakan tidak terdapat pusing, pandangan ganda
sebelum kejang (-), kilatan cahaya (-), demam (-).
Pasien dinyatakan gagal ginjal sejak 1 bulan SMRS di RSUD Wonogiri
dan sudah dilakukan cuci darah sebanyak 2 kali dalam 1 bulan terakhir.
Pasien belum rutin melakukan cuci darah dikarenakan keluarga masih
mempertimbangkan hal tersebut.
Pasien mengeluh mual dan muntah sejak 1 bulan SMRS. Pasien muntah
2-3 kali sehari dengan muntah cair, sisa makanan (+), muntah hitam (-),
darah (-). Pasien muntah sebanyak setengah gelas air mineral. Pasien
mengalami penurunan nafsu makan akibat dari mual dan muntah yang
dirasakan. Pasien makan 2 kali sehari dengan porsi kecil.
Pasien BAK 1-2 kali sehari dengan sekali BAK kurang lebih setengah
gelas air mineral, pasien menyangkal adanya nyeri BAK, BAK anyang-
anyangan (-), BAK berpasir (-). BAK pasien berwarna kuning jernih.
Pasien BAB 1 kali sehari berwarna cokelat. Pasien menyangkal adanya
nyeri BAB. BAB konsistensi lunak.
Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus tipe II sejak 2007 (12 tahun
yang lalu) dan rutin menggunakan glibenclamid 1 hari sekali. Pasien juga
mengaku rutin kontrol mengenai DM yang sedang dialami. Pasien juga
memiliki riwayat sakit hipertensi sejak 2010 (9 tahun yang lalu) dan rutin
meminum obat namun pasien lupa dengan nama obatnya.

3. Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat keluhan serupa : Disangkal
: Sejak 2013 dan rutin meminum obat
Riwayat sakit Jantung
captopril dan ISDN
Riwayat alergi : Metformin
Riwayat mondok : - Sebulan sebelumnya di RSUD Wonogiri
dengan keluhan lemas.
- 2010 mondok di ICU RSDM dengan
diagnosis sumbatan vaskuler.

Riwayat endoskopi : Disangkal


Riwayat transfuse : Disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat sakit serupa : Disangkal
Riwayat sakit liver : Disangkal
Diabetes mellitus : Ibu mengidap DM
Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat sakit hipertensi : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal

5. Pohon keluarga pasien :

: Perempuan : Meniggal : Ibu dengan DM

: Laki-laki : Pasien

Gambar 1. Pohon keluarga

6. Riwayat kebiasaan
Makan : Pasien mengaku makan 2 kali sehari dengan nasi,
lauk-pauk, dan sayur. Pasien saat ini hanya makan 3- 4
sendok sekali makan.
Merokok : Sejak 3 tahun SMRS, 3 – 4 batang sehari.
Alkohol : Disangkal
Minum jamu : Disangkal
Obat bebas : Disangkal

7. Riwayat gizi
Pasien makan 2 kali dalam sehari. Saat sakit pasien hanya makan 3-4
sendok sekali makan karena mual dan muntah.

8. Riwayat sosial ekonomi


Pasien merupakan petani. Pasien tinggal serumah dengan anak dan
istrinya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 6 Agustus 2019 dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
E4V5M6, kesan gizi cukup
2. Tanda vital
a. Tensi : 150/80 mmHg
b. Nadi : 84 kali /menit
c. Frekuensi nafas : 18 kali /menit
d. Suhu : 36,50C
e. Vas :0
3. Status gizi
a. Berat Badan : 60 kg
b. Tinggi Badan : 165 cm
c. IMT : 22.03 kg/m2
d. Kesan : Normoweight
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka
(-), atrofi m. temporalis (-)
6. Mata :Mata cekung (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), konjungtiva pucat
(+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Sianosis (-), papil lidah atrofi (+), gusi berdarah (-), luka pada
sudut bibir (-), oral thrush (-) , lidah kotor (-)
10. Leher : JVP R+3.5 cm H2O, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-),
leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar(-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)

12. Jantung
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC IV linea
mediana clavicula sinistra
c. Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V 2 cm lateral linea midklavicularis
sinistra
Batas jantung kesan melebar kearah kaudolateral
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising
(-), gallop (-).
1. Pulmo
a. Depan
1) Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
2) Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =
kiri

3) Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak
pada batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V
linea medioclavicularis sinistra
4) Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
1) Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
2) Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan
=kiri
3) Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm

4) Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
a. Inspeksi : Dinding perut lebih rendah dari dinding thorak, venektasi
(-), sikatrik (-), striae (-),ikterik (-),
b. Auskultasi : Bising usus (+) 16 x / menit
c. Perkusi : Timpani, pekak alih/pekak sisi (-), nyeri ketok sudut
costovertevbrae (-), undulasi (-)
d. Palpasi : Distended (-), nyeri tekan (+) epigastrium, lien tidak
teraba, hemoroid (-)

14. Ekstremitas
_ _
_ _ _ _
Akral dingin _ _ Oedem

STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : compos mentis E4V5M6
N. cranialis :
N. I : dalam batas normal
N. II, N.III : pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
N. IV, N. VI : dalam batas normal
N. VII, N. XII : dalam batas normal
N. V, N. X, N. XI: dalam batas normal

Refleks fisiologis:
Biseps (+2/+2)
Triseps (+2/+2)
Patella (+2/+2)
Achilles (+2/+2)

Refleks patologis:
Hoffman tromnar (-/-)
Babinski (-/-)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Gordon (-/-)
Meningeal sign:
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Kernig (-)

Fungsi motorik 5 5

5 5
Fungsi sensorik N N

N N

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab darah (05 Agustus 2019) di RSDM
Tabel 1. Hasil pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

DARAH RUTIN

Hemoglobin 7.8 g/dl 13.5 – 17.5

Leukosit 3.9 ribu/ul 4.5 – 11.0

Hematokrit 24 % 33 – 45

Trombosit 147 ribu/ul 150 – 450

Eritrosit 2.79 juta/ul 4.50 - 5.90

Golongan Darah O

INDEKS ERITROSIT

MCV 84.3 /um 80.0 – 96.0

MCH 27.9 Pg 28.0 – 33.0

MCHC 33.1 gram/dl 33.0 – 36.0

RDW 13.2 % 11.6 – 14.6


MPV 7.5 Fl 7.2 – 11.1

PDW 16 % 25 – 65

HITUNG JENIS

Netrofil 66.70 % 55.00 – 80.00

Limfosit 22.20 % 22.00 – 44.00

Mono,Eos,Bas 11.10 % 0.00 – 12.00

KIMIA KLINIK

GDS 195 mg/dl 60 – 140

Ureum 331 mg/dl <50

Kreatinin 14.4 mg/dl 0.9 – 1.3

ELEKTROLIT

Natrium darah 127 mmol/L 136 – 145

Kalium darah 4.5 mmol/L 3.3 - 5.1

Kalsium darah 1.07 mmol/L 1.17 - 1.29

HEPATITIS

HbsAg Nonreactive

2. Analisa urin (06 Agustus 2019) di RSDM

Tabel 2. Hasil pemeriksaan urinalisis


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

MAKROSKOPIS

Warna Kuning

Kejernihan Cloudy

KIMIA URIN

Berat Jenis 1.019 1.015-1.025

Ph 5.5 4.5 - 8.0


Leukosit Negatif /ul Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Protein ++/Positif 2 mg/dl Negatif

Glukosa Normal mg/dl Normal

Keton Negatif mg/dl Negatif

Urobilinogen Normal mg/dl Normal

Bilirubin Negatif mg/dl Negatif

Eritrosit +/Positif 1 mg/dl Negatif

MIKROSKOPIS

Leukosit 1.9 /LPB 0-12

Kristal 0.0 /uL 0.0-0.0

Small Round Cell 0.6 /uL 0.0-0.0

Mukus 0.00 /uL 0.00-0.00

Sperma 0.0 /uL 0.0-0.0

EPITEL

Epitel Squamous 0-2 /LPB Negatif

Epitel Transisional 0-2 /LPB Negatif

Epitel Bulat - /LPB Negatif

SILINDER

Granulated - /LPK Negatif

Leukosit - /LPK Negatif

Lain-lain Eritrosit 1-2/LPB, Leukosit 1-2/LPB, Bakteri (++++),


Jamur (+)

 Creatinine clearance: 5 mL/menit


 eGFR: 3,7 mL/menit
3. Foto Thorak PA ( 05 Agustus 2019) di RSDM

Gambar 2. Foto Thorax PA


Kesimpulan:

1. Pulmo tak tampak kelainan


2. Kardiomegali
3. Aortosklerosis

4. EKG (06 Agustus 2019) di RSDM

Gambar 3. Elektrokardiogram
Kesimpulan:
Sinus rythm, RBBB, HR: 89 bpm, normoaxis, dengan OMI inferior dan LVH
E. RESUME
1. Keluhan utama:
Kejang sejak 2 hari SMRS
2. Anamnesis
 Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 2 hari yang lalu SMRS.
 Kejang dirasakan di kedua tangan dan kaki pasien menjadi kaku.
 Kejang terjadi 2 kali dalam 2 hari dan berlangsung selama sekitar 15 menit.
 Pasien mengatakan tidak sadar selama kejang berlangsung.
 Keluarga pasien menyangkal bahwa pasien memiliki riwayat kejang
sebelumnya.
 Pasien menyatakan tidak terdapat pusing, pandangan ganda sebelum kejang
(-), kilatan cahaya (-), demam (-).
 Pasien dinyatakan gagal ginjal sejak 1 bulan SMRS di RSUD Wonogiri dan
sudah dilakukan cuci darah sebanyak 2 kali dalam 1 bulan terakhir.
 Pasien belum rutin melakukan cuci darah dikarenakan keluarga masih
mempertimbangkan hal tersebut.
 Pasien mengeluh mual dan muntah sejak 1 bulan SMRS.
 Pasien muntah 2-3 kali sehari dengan muntah cair, sisa makanan (+), muntah
hitam (-), darah (-).
 Pasien muntah sebanyak setengah gelas air mineral.
 Pasien mengalami penurunan nafsu makan akibat dari mual dan muntah yang
dirasakan.
 Pasien makan 2 kali sehari dengan porsi kecil.
 Pasien BAK 1-2 kali sehari dengan sekali BAK kurang lebih setengah gelas
air mineral, pasien menyangkal adanya nyeri BAK, BAK anyang-anyangan
(-), BAK berpasir (-).
 BAK pasien berwarna kuning jernih.
 Pasien BAB 1 kali sehari berwarna cokelat.
 Pasien menyangkal adanya nyeri BAB. BAB konsistensi lunak.
 Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus tipe II sejak 2007 dan rutin
menggunakan glibenclamid 1 hari sekali. Pasien juga mengaku rutin kontrol
mengenai DM yang sedang dialami.
 Pasien juga memiliki riwayat sakit hipertensi sejak 2010 dan rutin meminum
obat namun pasien lupa dengan nama obatnya.
3. Pemeriksaan fisik:
Sakit sedang, Compos mentis, GCS E4/V5/M6, TD 150/80 mmHg, HR 84x/
menit, RR 18x /menit, temp 36,50C. BB 60 kg, TB 165 cm, IMT 22.03 kg/m2
(underweight). Mata: konjungtiva anemis (+/+), Mulut: papila lidah atrofi (+).
Pemeriksaan perkusi jantung: Batas jantung kesan melebar.
Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan epigastrium
Status neurologis: dalam batas normal

4. Pemeriksaan penunjang:
 Laboratorium darah: Hb 7.8 g/dl, Eritrosit 2.79 juta/ul, Leukosit 3.9 ribu/ul,
trombosit 147 ribu/ul, Hematokrit 24%, MCH 27.9 Pg, PDW 16 %, GDS 195
mg/dl, creatinine 14.4 mg/dl, ureum 331 mg/dl, calsium ion 1.07 mmol/L,
 Analisis urin: protein +2, eritrosit +1, small round cell 0.6/uL, epitel
squamous 0-9/LPB, epitel transisional 0-9/LPB, bakteriuri, jamur (+)
 EKG: Sinus rythm, RBBB, HR: 89 bpm, normoaxis, OMI inferior, LVH
 Rontgen Thorak PA: kardiomegali, aortosklerosis

F. Diagnosis
1. Observasi konvulsi e.c. sindrom uremia
2. DKD stage 5
3. Dispepsia organic e.c. gastroparesis DM dd. Gastropati uremikum
4. DM tipe II non-obese
5. Cardio-renal Syndrome

G. Temuan Laboratorium
1. Lab darah:
Anemia hipokromik - normositik, leukopenia, trombositopenia, hiperglikemia,
azotemia, hiponatremia, hipokalsemia.
2. Urin rutin:
Proteinuria, Bakteriuri, Jamur (+)

H. Tatalaksana
1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak 1700 kkal, diet ginjal rendah protein 60g/hari
3. O2 2lpm NK
4. IVFD NaCl 0.9% 16 tpm. Mikrodrip
5. Diazepam ½ amp bila kejang
6. Inj. Lisinopril 5 mg/24 jam
7. Inj. Furosemid 20 mg/24 jam
8. Inj. Metoclopramid 1 amp/8jam
9. Novorapid 4-4-4
10. Atorvastatin 1x20 mg

Plan:
1. Monitoring tanda vital
2. Monitoring balance cairan dan urin output
3. Pro HD
4. Konsul spesialis mata
5. Konsul spesialis jantung

I. Usulan Pemeriksaan Laboratorium


1. Pemeriksaan HbA1c
2. Pemeriksaan darah rutin /24 jam
3. Pemeriksaan kimia klinik (GDS, Ureum, Creatinin, asam urat) /24 jam
4. Pemeriksaan elektrolit /24 jam
5. Pemeriksaan urinalisis /24 jam
6. Pemeriksaan profil lipid
BAB II
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kejang terjadi selama 15 menit dan pasien mengaku tidak
sadar saat kejang terjadi.
Kejang disebabkan oleh gangguan pada aktivitas listrik, di satu atau
seluruh area otak. Gangguan tersebut dapat dipicu oleh penyakit di otak, atau
kondisi lain yang secara tidak langsung memengaruhi fungsi otak. Pada pasien ini
penyebab terjadinya kejang bisa dipengaruhi oleh dua kemungkinan yang belum
dapat diketahui secara pasti yaitu keadaan ensefalopati diabetikum dan
ensefalopati uremikum. Kondisi ensefalopati diabetikum didasari dengan adanya
riwayat diabetes mellitus sejak 12 tahun yang lalu. Sedangkan Kondisi
ensefalopati uremikum didasari oleh peningkatan kadar urea pada pasien yang
melebihi 50 mg/dl dimana pada keadaan tersebut dapat terjadi sebuah kondisi
uremia atau yang lebih dikenal dengan sindroma uremia. Selain kadar urea apda
darah, Ensefalopati uremikum juga ditandai dengan penurunan nilai kadar -
creatinine clearance yang berada di bawah 15 mL/menit (Lohr, 2020). Pada
pasien ini nilai creatinine clearance adalah 5mL/ menit, memenuhi kriteria
tersebut.
Sindroma uremia pada pasien ini disebabkan oleh kerusakan fungsi ginjal.
Hal tersebut ditandai dengan terjadinya azotemia (peningkatan kadar ureum dan
kreatinin), terdapatnya proteinuria (positif 2), peningkatan tekanan darah, serta
temuan laboratorium yang menunjukkan anemia normositik normokromik dan
trombositopenia. Pada pasien ini gagal ginjal telah mencapai stage 5 yang
ditentukan dari nilai eGFR <15 mL/menit (pada pasien ini bernilai 3.7 mL/menit).
Kondisi tersebut kemungkinan diakibatkan oleh penyakit diabetes mellitus yang
sudah dimiliki pasien sejak 13 tahun yang lalu atau yang lebih dikenal dengan
istilah Diabetic Kidney Disease (DKD).
DKD ditandai oleh albuminuria berat> 300 mg / 24 jam (atau> 200 yang
bertahan lama). μg / mnt), atau rasio albumin-kreatinin (ACR)> 300 mg / g,
dikonfirmasi dalam setidaknya 2 dari 3 sampel, dengan kehadiran bersamaan
retinopati diabetik dan tidak adanya tanda-tanda bentuk lain dari penyakit ginjal
(Persson dan Rossing, 2017). Pada pasien ini belum dilakukan pemesiksaan
albumin urin kuantitatif maupun ACR. Kondisi retinopati diabetik pada pasien ini
dapat ditandai dengan adanya penurunan visus, namun perlu diperiksa lebih lanjut
oleh spesialis mata terkait adanya tanda-tanda pasti retinopati diabetik.
Kerusakan ginjal yang kronis tersebut juga yang mendasari terjadinya laju
filtrasi glomerulus, sehingga pada pasien ini hanya dapat memproduksi urin
sebanyak ½ gelas air mineral dalam 1 hari.
Selain itu, kerusakan ginjal yang bersifat kronis dan berlangsung lama
dapat berkontribusi pada penurunan fungsi jantung mulai dari remodeling jantung,
disfungsi diastolik ventrikel kiri, hipertrofi, dan / atau peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular, seperti infark miokard, gagal jantung, atau stroke. Terlepas dari
pengaruh usia dan faktor risiko konvensional, CKD telah terbukti menjadi
penyebab independen dari terjadinya gangguan kardiovaskuler. Kondisi dimana
disfungsi ginjal dan kelainan jantung, baik bersifat akut maupun kronis, yang
saling mempengaruhi satu sama lain dikenal sebagai Cardio-renal syndrome
(CRS).

Pada kasus ini, pasien mengaku memiliki riwayat penyakit gula


sebelumnya. Saat dilakukan pemeriksaan GDS saat pemeriksaan awal, hasil GDS
pasien menunjukkan hiperglikemia (195 mg/dL). Pada pasien perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan HbA1c (hemoglobin terglikasi) untuk
melihat keadaan glukosa dalam darah dalam 3 bulan. Sesuai dengan algoritma
pengelolaan DM di Indonesia oleh Perkeni (2015), terapi pada pasien DM tipe 2
disesuaikan dengan jumlah HbA1c.
Kondisi hiponatremia pada pasien ini kemungkinan dikarenakan
kurangnya asupan nutrisi. Hal itu didukung oleh pernyataan pasien yang merasa
mengalami penurunan nafsu makan dan sering merasa mual dan muntah selama 1
bulan terakhir. Selain itu BMI pasien juga termasuk kedalam kategori
underweight.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2019).

Gambar 4. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia (Perkeni, 2019).

1. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2.
Kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin),
sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai
the ominous octet (gambar-1)

Gambar 5. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the
Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus.
Diabetes. 2009;58: 773-795)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah
oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.
Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon
atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor
dan amylin.
g. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal.
Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine.
Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
h. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
2. Klasifikasi

Tabel 3. Klasifikasi DM

3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 4. Kriteria Diagnosis DM
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2-jam <140 mg/dl;
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 5. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan


prediabetes.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan
glukosa darah kapiler seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 6. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)
4. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
 Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
 Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM secara holistik. Edukasi berisi tentang perjalanan
penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan, penyulit DM dan risikonya, intervensi non-farmakologis dan
farmakologis serta target pengobatan, interaksi antara asupan makanan,
aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan
lain, Cara pemantauan glukosa darah, mengenal gejala dan penanganan awal
hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya perawatan
kaki
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau
terapi insulin itu sendiri.
 Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi Terutama
karbohidrat yang berserat tinggi. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila
perlu dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan makanan yang perlu
dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara
lain: daging berlemak dan susu fullcream.
 Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu dan tempe.
c. Olahraga
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara
teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total
150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari hari bukan termasuk dalam latihan
jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang.
d. Terapi Farmakologis
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko
tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia. Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara
lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran
 Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam
usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Gastroparesis DM
Gastroparesis didefinisikan sebagai terlambatnya pengosongan makanan
yang sudah terdigesti tanpa adanya obstruksi mekanik pada lambung maupun
duodenum (Koch, 2015). Gastroparesis adalah komplikasi DM yang serius
(Vanormelingen et al., 2013). Pada pasien DM dengan gastroparesis, makanan
yang sudah dicerna tidak dikosongkan pada waktu yang telah diprediksikan,
sehingga absorbsi nutrisinya tidak tercapai. Oleh karenanya, dosis dan waktu
pemberian terapi insulin untuk mengontrol glukosa postprandial mungkin tidak
tepat.
Saat pasien DM tipe 1 atau tipe 2 mengalami gastroparesis, konsekuensi
yang diderita bisa menjadi berat. Gejala-gejala yang berhubungan dengan
gastroparesis, seperti kenyang lebih awal, rasa begah, mual, dan muntah sisa
makan, tidak hanya mengurangi kualitas hidup namun juga mempersulit kontrol
glukosa darah (Koch, 2015).
1. Gejala
Gejala yang terkait dengan gastroparesis DM adalah rasa kenyang lebih
awal, rasa begah, mual, muntah sisa makanan, kembung, rasa tidak nyaman
hingga nyeri pada perut. Gejala-gejala ini tidak khas dan nonspesifik. Rasa
mual adalah gejala utama yang paling mengganggu. Rasa mual yang
berhubungan dengan gastroparesis biasanya berpusat di epigastrium dan
bertambah ketika makan. Gejala-gejala ini sama pada DM tipe 1 atau 2,
walaupun beberapa sumber menyebutkan pada pasien DM tipe 2 biasanya
memiliki gejala kembung dan begah yang lebih sering. Lama-kelamaan
gejala-gejala ini memburuk dan menyebabkan penurunan berat badan dan
menurunnya jumlah intake makanan (Vanormelingen et al., 2013).

2. Patofisiologi
Patofisiologi gastroparesis DM sangat kompleks dan multifaktorial.
Mekanisme genetik yang terjadi bersifat heterogen dan termasuk disfungsi
inervasi vagal, kerusakan interstitial cells of Cajal (ICC) dan reduksi
neuronal nitric oxide synthase (nNOS) (Jalleh et al., 2019).

3. Tatalaksana
Ketika diagnosis gastroparesis DM telah ditegakkan, kontrol simptomatik
yang adekuat dapat dicapai dengan modifikasi diet dan/atau tatalaksana
farmakologi. Tujuan terapi adalah kontrol gejala dan peningkatan
pengosongan lambung. Obat-obatan yang biasanya diberikan adalah
prokinetik, antimual, dan terapi modulasi nyeri. Modifikasi diet adalah
intervensi pertama pada gastroparesis DM. Untuk dikeluarkan dari lambung,
sisa makanan yang tidak dapat dicerna seperti bahan kasar atau serat
membutuhkan fungsi lambung yang terkoordinasi. Oleh karena itu, diet
rendah serat dan residu dapat mengurangi gejala (Vanormelingen et al.,
2013).
Prokinetik (Antidopaminergik: Domperidon, Metoclopramide, Agonis
motilin: Eritromycin, Azithromycin) adalah pilihan utama bagi manajemen

gastroparesis DM. Obat-obatan ini meningkatkan fungsi pengosongan


lambung dengan tujuan memperbaiki gejala (Vanormelingen et al., 2013).
Gambar 6. Ringkasan hubungan pengosongan lambung, hormone incretin, dan
glikemia postprandial (Marathe et al., 2016).
Gambar 7. Fungsi lambung pada kondisi gastroparesis (Vanormelingen et al.,
2013).
Chronic Kidney Disease (CKD)
A. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada
struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
disertai penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat
pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73
m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal (National
Kidney Foundation, 2002).

B. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan
darah tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney
Foundation, 2015). Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan

ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan seperti glomerulonefritis,


penyakit ginjal polikistik, malformasi saat perkembangan janin dalam
rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau pembesaran
kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang

C. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai
dengan penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi.
Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR
masih normal atau justru meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan
berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan gejala
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul
gejala dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT (Suwitra,
2009).

D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan
dengan stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation,
2010). Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 7. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai Stadium

Hiponatremia
Hiponatremia adalah penurunan konsentrasi natrium serum <136
mEq/L disebabkan oleh kelebihan air relative terhadap zat terlarut (Wang
dan Ewen, 2006). Hiponatremia sendiri diklasifikasikan sebagai:
1. Hiponatremia ringan : 130– 135 mEq / L
2. Hiponatremia sedang : 125 – 130 mEq / L
3. Hiponatremia berat : <125 mEq / L
Hiponatremia sendiri dapat disebabkan oleh:
 Hiperglikemia, dimana pergerakan air bebas terjadi ke dalam ruang
ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler.
 Defisit natrium yang berhubungan dengan hipovolemia: kehilangan
melalui renal, gastrointestinal, keringat berlebih, penyakit Addison
 Defisit natrium yang berhubungan normovolemia/euvolemic:
insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, syndrome of inappropriate ADH
secretion (SIADH), polidipsi psikogenik.
 Defisit natrium yang berhubungan hipervolemia: gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis, sindrom nefrotik, gagal ginjal.
Penanganan hipokalemia tergantung dari adanya dan beratnya
disfungsi organ yang terlibat. Hipokalemia sekunder akibat redistribusi
akut tidak selalu membutuhkan terapi. Pada hipokalemia ringan dan
sedang (3-3.5 mEq/L), terapi pengganti kalium tidak perlu dilakukan
segera, khususnya apabila hipokalemia tersebut asimptomatik dan terjadi
secara kronis. Pada pasien dengan perubahan gambaran EKG yang
signifikan seperti perubahan segmen ST atau aritmia, diperlukan
pemantauan EKG, khususnya selama terapi kalium intravena. Kekuatan
otot juga sebaiknya diperiksa pada pasien dengan kelemahan otot (Morgan
et al., 2006).
Terapi oral dengan cairan kalium klorida (60-80 mEq/hari)
umumnya adalah yang paling aman. Terapi hipokalemia biasanya
memerlukan waktu beberapa hari. Terapi kalium klorida secara intravena
biasanya hanya dilakukan pada pasien dengan atau yang memiliki risiko
kelainan jantung serius atau kelemahan otot. Tujuan terapi intravena
adalah untuk menyelamatkan pasien dari bahaya yang mengancam; bukan
untuk mengoreksi defisit kalium. Terapi intravena melalui kateter perifer
tidak boleh melebihi 8 mEq/jam karena kalium memiliki efek iritasi pada
vena perifer. Cairan yang mengandung dekstrosa sebaiknya dihindari
karena dapat mengakibatkan hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder
dapat mengurangi kadar kalium plasma. Terapi intravena secara cepat (10-
20 mEq/jam) memerlukan kateter vena sentral dan pemantauan EKG.
Terapi yang lebih cepat paling aman melalui kateter femoralis, karena
konsentrasi kalium yang sangat tinggi di dalam jantung dapat terjadi
apabila dilakukan melalui kateter vena sentral standar( Morgan et al.,
2006). Pemberian kalium melalui vena cava superior tidak
direkomendasikan apabila kecepatan terapi melebihi 20 mEq/jam karena
peningkatan kalium plasma mendadak di ruang jantung kanan dapat
menyebabkan asistol (Marino et al., 2014). Terapi kalium intravena tidak
boleh melebihi 240 mEq/ hari (Morgan et al., 2006)
DAFTAR PUSTAKA

Borghetti, G., Von Lewinski, D., Eaton, D. M., Sourij, H., Houser, S. R., &
Wallner, M. (2018). Diabetic cardiomyopathy: Current and future therapies.
Beyond glycemic control. Frontiers in Physiology, 9(OCT), 1–15.
https://doi.org/10.3389/fphys.2018.01514

Christophe Vanormelingen, Jan Tack, Christopher N. Andrews (2013). Diabetic


gastroparesis, British Medical Bulletin, Volume 105, Issue 1, March 2013,
Pages 213–230, https://doi.org/10.1093/bmb/ldt003

Koch, K. L., & Calles-Escandón, J. (2015). Diabetic gastroparesis.


Gastroenterology Clinics of North America, 44(1), 39–57.
https://doi.org/10.1016/j.gtc.2014.11.005

Mansjoer A, et al. (2015). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Marathe, C. S., Rayner, C. K., Jones, K. L., & Horowitz, M. (2016). Novel
insights into the effects of diabetes on gastric motility. Expert Review of
Gastroenterology & Hepatology, 10(5), 581–593.
doi:10.1586/17474124.2016.1129898 

Markum HMS. Gangguan Ginjal Akut. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editors. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
II. 6th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2014. p. 2168-77.

Meyer, T. W., & Hostetter, T. H. (2007). Uremia Review Article. The New
England Journal of Medicine, 357, 1316–1325.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Perkeni. (2015). Konsensus Pengendalian


dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. Jakarta:
Perkeni.

Phadke, G., & Misra, M. (2011). Cardio-renal syndrome. Missouri Medicine,


108(1), 42–44. https://doi.org/10.12688/f1000research.8004.1

Poskurica, M., & Petrović, D. (2014). Congestive Heart Failure in Patients with
Chronic Kidney Disease. Srpski Arhiv Za Celokupno Lekarstvo, 142(11–12),
747–755. https://doi.org/10.2298/SARH1412747P

Shiba, N., & Shimokawa, H. (2011). Chronic kidney disease and heart failure-
Bidirectional close link and common therapeutic goal. Journal of
Cardiology, 57(1), 8–17. https://doi.org/10.1016/j.jjcc.2010.09.004
Soelistijo, S., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., Manaf, A.,
… Soetedjo, N. (2015). Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe2 Di Indonesia 2015. In Perkeni.

Suwitra K. Penyakit Gijal Kronis. Dalam Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A.


Marcellus Simadibrata & S. Setiadi (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2009; 1035-1040.

Anda mungkin juga menyukai