Anda di halaman 1dari 72

KASUS BESAR

SEORANG LAKI-LAKI 71 TAHUN DENGAN MELENA E.C. NON VARICEAL


DD VARICEAL, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK E.C.
PERDARAHAN AKUT DD PENYAKIT KRONIS,
DM TYPE II NORMOWEIGHT, HEPATITIS B,
OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL

Oleh:
Stefanus Bramantyo W G99142089
Ida Bagus Ananta W G99142090

Pembimbing

dr. Bayu Basuki Wijaya, Sp.PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

SEORANG LAKI-LAKI 71 TAHUN DENGAN MELENA E.C. NON VARICEAL


DD VARICEAL, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK E.C.
PERDARAHAN AKUT DD PENYAKIT KRONIS,
DM TYPE II NORMOWEIGHT, HEPATITIS B,
OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL

Oleh:
Stefanus Bramantyo W G99142089
Ida Bagus Ananta W G99142090

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal :

Pembimbing

dr. Bayu Basuki Wijaya, Sp.PD, M.Kes

STATUS PENDERITA

2
I. ANAMNESA
A. Identitas Penderita
Nama : Tn.W
No. RM : 01-30-71-90
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 71 tahun
Suku : Jawa
Alamat : Sayangan RT/RW 2/3 Bentakan, Baki, Sukoharjo
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Pekerjaan :-
Tanggal masuk RS : 12 Juli 2015
Tanggal periksa : 15 Juli 2015

B. Data Dasar:
Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada
tanggal 15 Juli 2015

1. Keluhan Utama:
Buang air besar hitam sejak 9 hari SMRS.

2. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Nirmala Sari,
Sukoharjo. Pasien datang dengan keluhan buang air besar berwarna
hitam sejak 9 hari SMRS. Buang air besar hitam dengan konsistensi
lunak dan jumlah sekitar 1 buah gelas belimbing tidak disertai lendir.
Buang air besar hitam berbau amis dan berwarna merah setelah disiram.
Sejak pasien masuk rumah sakit, pasien hanya satu kali buang air besar
dengan warna masih hitam, konsistensi lunak dan jumlah sekitar 1 gelas
belimbing pada tanggal 12 Juli 2015. Riwayat buang air besar sebelum
masuk rumah sakit 2-3x per hari dengan buang air besar berwarna hitam
dan konsistensi lunak.
Pasien mengatakan nyeri ulu hati yang dirasakan semakin
memberat sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan
hilang timbul, tidak menjalar sampai ke bahu atau lengan kiri. Nyeri
berkurang dengan pemberian makan dan pemberian obat maag.

3
Akibatnya nafsu makan pasien menjadi turun. Pasien menyangkal nyeri
di bagian perut selain ulu hati, perut mrongkol atau membesar, dan
riwayat sakit kuning. Sejak 1 tahun SMRS, pasien mengaku memiliki
riwayat sakit maag. Keluhan biasanya akan muncul apabila pasien
terlambat makan. Konsumsi makanan pedas dan asam tidak memicu
nyeri di ulu hatinya. Saat sakit maag kambuh, pasien merasa nyeri di ulu
hati dan dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri akan berkurang dengan
konsumsi obat-obatan.
Pasien juga mengeluhkan adanya mual setiap setelah habis makan
sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku tidak pernah
muntah darah. Pasien mengatakan mengalami penurunan nafsu makan
sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit, dalam sehari 3 kali makan,
masing-masing hanya 3-4 sendok makan.
Lemas juga dirasakan oleh pasien sejak 9 hari sebelum masuk
rumah sakit. Lemas dirasakan diseluruh tubuh dan terus-menerus. Lemas
yang dirasakan seperti nggliyer atau rasa ingin terjatuh ketika berjalan
dan terutama pada perubahan posisi dari duduk ke berdiri. Lemas tidak
berkurang dengan pemberian makan dan istirahat. Keluhan mata
berkunang-kunang juga dirasakan oleh pasien, pandangan kabur
disangkal, berdebar-debar disangkal, kesemutan disangkal, dan nyeri
telan disangkal, dan kelemahan anggota badan sesisi disangkal.
Keluhan nyeri kedua lutut juga dirasakan pada pasien sejak 4
bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan pasien saat berjalan.
Nyeri dan kaku di lutut setiap pagi hari juga dirasakan pasien selama
sekitar 10 menit Pasien belum mengkonsumsi obat-obatan dari dokter
Buang air kecil pasien sekitar 5-6 kali/ hari @ ½ - 1 gelas
belimbing, berwarna kuning jernih. Tidak ada nyeri saat berkemih, tidak
ada panas saat berkemih, tidak anyang-anyangan, tidak ada kencing
berpasir atau batu serta tidak ada darah di air kencing.
Satu tahun sebelum masuk rumah sakit pasien menderita penyakit
gula. Pasien kontrol rutin, minum obat glibenclamid 1x1. Dulu pasien
mengaku kalau sering sekali buang air kecil. Sehari pasien BAK >12

4
kali, sekali kencing ± ½-1 gelas belimbing. Pasien juga merasa sering
haus, pasien sehari biasa minum >15 gelas belimbing. Selain itu pasien
juga mudah merasa lapar, pasien sering makan 5x sehari dengan porsi
standar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Onset/ Kronologis


Ada 3 kali, 9 hari yang lalu di RS
Nirmala Suri, 1 tahun yang lalu
Riwayat mondok ketika operasi daging tumbuh di
telinga, 10 tahun yang lalu ketika
operasi mata kanan (katarak)
Ada, operasi telinga kanan dan
Riwayat operasi
mata kanan
Ada, pasien mulai mengetahui
Riwayat maag memiliki sakit maag sejak 1
tahun SMRS
Ada, sejak 1 tahun SMRS dengan
Riwayat DM kontrol rutin dan minum
glibenklamid rutin
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat Hipertensi Disangkal
Riwayat sakit kuning Disangkal
Ada, 5 kolf saat dirawat di RS
Riwayat transfusi Nirmala Suri 7 hari sebelum
masuk rumah sakit

4. Riwayat Penyakit Keluarga

5
Penyakit Onset/ Kronologis
Riwayat sakit tekanan darah tinggi Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat PPOK Disangkal
Riwayat alergi Disangkal
Ada, satu anaknya pernah sakit
Riwayat sakit kuning
kuning

5. Riwayat Keluarga

Keterangan:
= Pasien = Laki – laki
X = meninggal = Perempuan

6. Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Keterangan
Merokok Disangkal
Alkohol Disangkal
Obat-obatan bebas Disangkal
Jamu-jamuan Disangkal
Minuman berenergi Disangkal
Makan-minum Pasien makan 3 kali/hari, 3-4 sendok tiap

6
kali makan. Makan dengan nasi, sayur, lauk
pauk (tahu, tempe, ikan, telur dan daging).
Minum air putih 2 liter per hari.
Olah raga Pasien jarang berolah raga, sehari-hari hanya
melakukan aktivitas fisik ringan.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang laki-laki 71 tahun. Saat ini pasien merupakan
pensiunan Dipenda kabupaten Sukoharjo. Pasien tinggal bersama istri dan
anak bungsunya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS kelas I.

8. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 14 Juli 2015
1. Keadaan umum : pasien tampak lemas, tidak tampak sesak,
compos mentis, GCS E4V5M6
2. Tanda vital
 Tensi : 120/90 mmHg
 Nadi : 80x/menit, irama reguler, isi dan tegangan
cukup, equal
 Frekuensi nafas : 20 kali/menit
 Suhu : 36,30C
3. Status gizi
 Berat Badan : 47 kg
 Tinggi Badan : 155 cm
 IMT : 19.56 kg/m2
 Kesan : normoweight
4. Kulit : Turgor menurun (-), kering (-) teleangiektasis (-), petechie (-),
kuning (-).
5. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. Temporalis (-), rambut mudah
rontok (-), luka (-)
6. Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-), strabismus (-/-), pandangan kabur (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus
(-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)

7
9. Mulut : Mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-), ikterik sublingual (-)
sianosis (-), gusi berdarah (-), ulserasi (-)
10. Leher : JVP= R + 2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan=kiri,
retraksi intercostal (-), pembesaran kelenjar getah bening aksila
(-/-), spidernevi (-), atrofi m. Pectoralis (-)
12. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 1 cm
medial LMCS
 Perkusi :
 Batas jantung kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
 Batas jantung kanan bawah : SIC V linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
 Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
midclavicularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising(-), gallop (-)
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri,
ketertinggalan gerak(-), retraksi intercostal(-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan=dinding dada
kiri, fremitus raba kanan=kiri
 Perkusi
- Kanan : redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC
VI linea medioclavicularis dekstra,
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar
(-), ronkhi basah halus (-)

8
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar
(-), ronkhi basah halus (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri,
retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan=kiri,
fremitus raba kanan=kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar
(-) ronkhi basah halus (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar
(-), ronkhi basah halus (-)
14. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut setinggi dengan dinding dada, scar (-),
striae (-), venektasi (-), caput medusa (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani, pekak sisi (-), undulasi (-), pekak alih (-), liver
span 10 cm, area traube timpani
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba
15. Ekstremitas
Akraldingin _ _ Oedem
+ +

Regio genu dextra


Look : deformitas (-), scar (-)
Feel : nyeri tekan (-)
Movement : ROM genu terbatas kaku, krepitasi (+)
Regio genu sinistra

9
Look : deformitas (-), scar (-)
Feel : nyeri tekan (-)
Movement : ROM genu terbatas kaku, krepitasi (+)

16. Rectal Toucher : TMSA (+), mukosa licin, mukosa tidak berbenjol, ampula
tidak kolaps, STLD (lendir tidak ada, darah tidak ada, feses ada)

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah (12 Juli 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 6.7 g/dl 12.1-17.6
Hematokrit 20 % 33-45
Leukosit 14.3 ribu/ul 4.500 – 11.000
Trombosit 164 ribu/ul 150.000-450.000
Eritrosit 2.35 106/ul 4.5-5.9
Golongan darah AB

MCV 85.10 /um 80.0-96.0


MCH 28.51 pg 28.0-33.0
MCHC 33.50 g/dl 33.0-36.0
HEMOSTASIS
PT 16.2 detik 10.0-15.0
APTT 23.0 detik 20.0-40.0
INR 1.390
KIMIA
GDS 192 mg/dl 60-140
SGOT 76 u/l <35
SGPT 108 u/l <45
Albumin 3.3 g/dl 3.2-4.6
Ureum 45 mg/dl <50
Kreatinin 1.1 mg/dl 0.8-1.3
ELEKTROLIT
Natrium darah 139 mmol/L 132-146
Kalium darah 4.1 mmol/L 3.7-5.4
Kalsium darah 1.20 mmol/L 1.17-1.29
HBsAg Reactive Non reactive

Gambaran Darah Tepi (12 Juli 2015)


Eritrosit : Normokrom sebagian populasi hipokromik, normosit,
anisositosis mikrosit ovalosit sel target, sel eritroblas (-)

10
Leukosit : jumlah meningkat, netrofilia, hipersegmentasi netrofil,
sel blast (-)
Trombosit : jumlah menurun, trombosit besar, clumping trombosit (-)
Kesimpulan : anemia normokromik normositik dengan netrofilia
absolut dan trombositopenia suspek et causa proses
kronis disertai adanya proses infeksi
Saran : SI/TIBC, CRP

Pemeriksaan Laboratorium (13 Juli 2015)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.2 g/dl 12.1-17.6
Hematokrit 27 % 33-45
Leukosit 16.1 Ribu/uI 4.5-11.0
Trombosit 179 Ribu/uI 150-450
Eritrosit 3.11 Juta/uI 4.50-5.90
Albumin 3.3 g/dl 3.2-4.6

B. Foto Thorax PA (12 Juli 2015)

11
 Nama :Tn.W
 Lokasi foto rontgen : RSUD Dr. Moewardi
 Tanggal diambil : 12 Juli 2015
 Cor : CTR tidak valid dinilai, kesan normal
Pulmo : tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan bronkovaskuler
normal
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengan
Sistema tulang baik
 Kesimpulan : cor dan pulmo tak tampak kelainan

C. Foto Genu Kanan Kiri, AP dan Lateral (12 Juli 2015)

12
 Nama : Tn.W
 Lokasi foto rontgen : RSUD Dr. Moewardi
 Tanggal diambil : 12 Juli 2015
 Tampak osteofit di condylus lateralis et medialis os tibia kanan di aspek
anteroinferioros patella kanan disertai penyempitan celah sendi femurotibial
aspek medial kanan
Tampak penyempitan celah sendi femurotibial aspek medial kiri
Alignment baik
Trabekulasi tulang normal
Subchondral layer bone tampak baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
 Kesimpulan : osteoartritis genu joint kanan grade II dan kiri grade I (menurut
Kellgren Lawrence Grading Scale)

D. EKG (12 Juli 2015)

13
Hasil:
Irama : Sinus ritmis
Heart rate : 83x/menit
Axis : Normoaxis
Gelombang p : 0.08
Kompleks QRS : 0.08
PR interval : 0.14
QT interval : 0.28
Kesimpulan : Sinus ritmis dengan heart rate 7x/menit, normoaksis

III. RESUME

14
1. Keluhan utama:
BAB hitam sejak 9 hari SMRS
2. Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan BAB hitam sejak 9 hari SMRS dengan
konsistensi lunak dan jumlah sekitar 1 gelas belimbing. Riwayat BAB 2-
3kali/hari konsistensi lunak dan tidak ada lendir. Riwayat terakhir BAB 12
Juli 2015 dengan warna hitam dan konsistensi lunak.
Pasien juga merasakan nyeri ulu hati yang semakin memberat sejak 9 hari
SMRS. Nyeri yang dirasakan hilang timbul, tidak sampai menjalar ke bahu
dan lengan kiri. Nyeri tidak membaik dengan pemberian obat maag dan
makan. Pasien mengaku mengalami maag sejak 1 tahun SMRS. Keluhan
sakit muncul ketika terlambat makan, namun tidak muncul jika
mengkonsumsi makanan pedas dan asam. Pasien mengkonsumsi pil herbal
untuk meredakan sakit maagnya. Pasien mengatakan bahwa sekitar 9 hari
terakhir ini pasien jarang makan karena merasa tidak nafsu makan. Pasien
juga merasa lemas sejak 9 hari SMRS. Lemas tidak berkurang dengan
pemberian makan dan istirahat.
Pasien mengalami mual saat setelah makan. Riwayat muntah tidak ada,
muntah darah juga tidak ada.
Nyeri pada kedua lutut juga dirasakan pasien sejak 4 bulan SMRS. Nyeri
dirasakan saat berjalan. Nyeri dan kaku di lutut setiap pagi hari juga
dirasakan pasien selama sekitar 10 menit. Pasien mengkonsumsi belum
mengkonsumsi obat-obatan dari dokter untuk meredakan nyerinya.
Pasien juga menderita diabetes melitus sejak 1 tahun SMRS. Kontrol
rutin, minum obat glibenklamid 1x1 rutin.
Buang air kecil pasien sekitar 2-3 kali/ hari @ ½ - 1 gelas aqua, berwarna
kuning jernih. Tidak ada nyeri saat berkemih, tidak ada panas saat berkemih,
tidak anyang-anyangan, tidak ada kencing berpasir atau batu dan tidak ada
darah di air kencing.
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum pasien tampak lemas, tidak tampak sesak, compos mentis,
tanda vital TD 120/90 mmHg, nadi 80x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,30C.
Status gizi kesan normoweight.
Konjunctiva anemis pada kedua mata, nyeri tekan (+) epigastrium, Regio
genu dextra : ROM genu terbatas kaku, krepitasi (+). Regio genu sinistra
:ROM genu terbatas kaku, krepitasi (+), Rectal Toucher : TMSA (+),
mukosa licin, mukosa tidak berbenjol, ampula tidak kolaps, STLD (lendir
tidak ada, darah tidak ada, feses ada berwarna hitam,lengket dan amis seperti
petis)
4. Pemeriksaan penunjang:
15
a. Pemeriksaan Laboratorium : Hb 8.2g/dl, Ht 27%, L 16.1 ribu/uI,
E 3.11 juta/uI,
IV. DAFTAR MASALAH
1. Melena e.c. non variceal bleeding (susp gastritis kronis, ulkus peptikum)
dd variceal
2. Anemia normositik normokromik e.c. perdarahan akut
dd. penyakit kronis
3. Diabetes Mellitus type II Non Obess
4. Osteoarthritis genu bilateral
5. Hepatitis B

16
V. Rencana Awal
No Diagnosis/ Pengkajian (Assesment) Rencana Awal Rencana Terapi Rencana Edukasi Rencana
masalah diagnosis Monitoring
1. Melena e.c.  BAB hitam sejak 9 hari  Feses Rutin  Bedrest total  Penjelasan kepada  KUVS
non variceal  EGD
SMRS dengan BAB  Diet lunak DM 1700 pasien tentang
bleeding (susp lengket, seperti petis, kkal konsisi pasien,
gastritis berbau amis, tidak  Infus NaCl 0.9% 20 diagnosis/masalah
kronis) disertai lendir dan tpm dan kemungkinan
dd variceal berwarna merah setelah  Sucralfat 3x C1 penyebabnya
disiram  Inj Omeprazole
 Terakhir BAB 12 Juli
80mg bolus pelan
2015
 Nyeri ulu hati diikuti injeksi

memberat, tidak omeprazole 8mg/jam

berkurang dengan  Injeksi

pemberian makan dan metochlorperamide

obat maag. Riwayat 5mg/24jam

maag 1 tahun SMRS


 Mual setiap setelah
makan
Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan(+) epigastrium
Rectal toucher : TMSA (+),
mukosa licin, mukosa tidak
berbenjol, ampula tidak
kolaps, STLD (lendir tidak
ada, darah tidak ada, feses
ada berwarna hitam,lengket
dan amis seperti petis)
 DD : non variceal
(Gastritis erosif,
gastropati diabetikum)
2 Anemia Anamnesis : Cek retikulosit Transfusi PRC 2 kolf  Penjelasan kepada  KUVS
 Cek
normositik  Pasien lemas sejak 3 pasien dan
normokromik ulang
hari SMRS keluarganya
e.c perdarahan  Lemas tidak berkurang laboratori
mengenai
akut dengan um:
penyakitnya seperti
dd.penyakit istirahat+pemberian hematolo
penyebab, faktor
kronis makan gi klinik
risiko, rencana
 Pasien mengalami BAB
terapi selanjutnya,
hitam sejak 3 hari
dan komplikasi
SMRS
PemeriksaanFisik

18
 KU tampak lemas
 Konjunctiva palpebra
anemis kedua mata
Pemeriksaan Penunjang
 Hemoglobin (13 Juli
2015) : 8.2 g/dl
 Hematokrit (13 juli
2015) : 27%
 Gambaran darah tepi
(12 Juli 2015): Anemia
normokromik
normositik dengan
netrofilia absolut dan
disertai adanya proses
infeksi
3 Diabetes Anamnesis  GDP  Navorapid 6-6-4  Penjelasan kepada  Cek GDS
 GD2PP
Mellitus type  Pasien menderita SC a.c pasien dan
II non obese diabetes melitus sejak 1  Diet lunak DM keluarganya
tahun SMRS, kontrol 1700 kkal mengenai
rutin, konsumsi penyakitnya
glibenklamid 1x1 dan seperti penyebab,

19
pil herbal faktor risiko,
Pemeriksaan penunjang rencana terapi
 Gula Darah Sewaktu (12 selanjutnya, dan
Juli 2015) : 192 mg/dl komplikasi
4 Osteoarthritis Anamnesis  Paracetamol tab mg  Penjelasan kepada  Evaluasi
genu bilateral  Nyeri pada kedua lutut 500 3 dd tab 1 p.r.n pasien dan VAS
saat berjalan  Fisioterapi keluarganya
 Nyeri dan kaku pada mengenai
kedua lutut pada pagi penyakitnya
hari selama sekitar 10 seperti penyebab,
menit faktor risiko,
Pemeriksaan fisik rencana terapi
Regio genu dextra selanjutnya, dan
Look : deformitas (-), komplikasi
scar (-)
Feel: nyeri tekan (-)
Movement : ROM genu
terbatas kaku, krepitasi
(+)
Regio genu sinistra
Look : deformitas (-),

20
scar (-)
Feel: nyeri tekan (-)
Movement : ROM genu
terbatas kaku, krepitasi
(+)
Pemeriksaan penunjang
Foto genu kanan kiri AP-
Lateral : osteoartritis genu
joint kanan grade II dan kiri
grade I (menurut Kellgren
Lawrence Grading Scale)
5 Hepatitis B Anamnesis  USG Abdomen Edukasi pasien
Riwayat keluarga pasien  HBV DNA tentang kondisi
sakit kuning dan kemungkinan
Pemeriksaan penunjang penyebab serta
HBsAg : reactive komplikasinya
SGOT : 76
SGPT : 108

21
VI. FOLLOW UP

Tanggal Subyektif Obyektif Assasment Terapi / Plan


13 Juli - BAB KU : CM, tampak sakit sedang  Melena e.c. non variceal Bed rest tidak total
2015 Hitam Tensi : 100 / 70 mmHg bleeding (susp gastritis O2 4 lpm
RR : 20 x / menit kronis) dd variceal Diet DM 1700 kkal
Nadi : 86 x / menit, isi cukup, reguler  Anemia normositik Infus NaCl 0,9% 16 tpm

22
Suhu : 36,5° C normokromik e.c. Injeksi ceftriaxon 2 g/ 12 jam
Kepala : atrofi m. temporalis (-) perdarahan akut Injeksi omeprazole 40 mg/12
Mata : CP (+/+), SI (-/-)  Diabetes Mellitus type II jam dilanjutkan SP omeprazol
Leher : JVP(R+2cm), KGB tidak Non Obess 5cc/jam
membesar.  Osteoarthritis genu bilateral Sucralfat 3 x 1C
Cor :  Hepatitis B B plex 3 x 1
I : IC tidak tampak Paracetamol 3 x 1 p.r.n
P : IC tidak kuat angkat
P : batas jantung kesan tidak melebar Plan : Globulin, SPE, Bilirubin
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, dd
total, bilirubin direk indirek,
bising (-), gallop (-) GDT, HbsAg, GDP, G2JPP,
Pulmo : HbA1C, Urin rutin, EGD,
I: Pengembangan dada kanan=kiri USG Abdomen, Profil Lipid,
P : Fremitus raba kanan=kiri asam urat, feses rutin
P : sonor/sonor
A : SDV(N/N), ST (-/-)
Abdomen :
I : DP > DD
A : bising usus (+) 10x/m
P : tympani, pekak alih (-), undulasi (-),
pekak sisi (-), area traube timpani
P: supel, nyeri tekan di regio
epigastrium (+)
Ekstremitas :
Akral dingin: Oedem
- -
- -

23
Pemeriksaan Laboratorium (13 Juli 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.2 g/dl 12.1-17.6
Hematokrit 27 % 33-45
Leukosit 16.1 Ribu/uI 4.5-11.0
Trombosit 169 Ribu/uI 150-450
Eritrosit 3.11 Juta/uI 4.50-5.90
Albumin 3.3 g/dl 3.2-4.6

15 Juli - BAB KU : CM, tampak sakit sedang  Melena e.c. non variceal  Bed rest tidak total
2015 Hitam Tensi : 100 / 70 mmHg bleeding (susp gastritis  O2 4 lpm
RR : 22 x / menit kronis) dd variceal  Diet DM 1700 kkal
Nadi : 74 x / menit, isi cukup, reguler  Anemia normositik  Infus NaCl 0,9% 20 tpm
Suhu : 36,5° C normokromik e.c.  Injeksi ceftriaxon 2 g/ 12 jam
Kepala : atrofi m. temporalis (-) perdarahan akut  Injeksi novorapid 6-6-4 iu SC
Mata : CP (+/+), SI (-/-)  Diabetes Mellitus type II  Injeksi metoclopramide
Leher : JVP(R+2cm), KGB tidak Non Obess 5mg/8jam
membesar.  Osteoarthritis genu bilateral  SP omeprazol 5cc/jam
Cor :  Hepatitis B  Sucralfat 3 x 1C
I : IC tidak tampak

24
P : IC tidak kuat angkat  B plex 3 x 1
P : batas jantung kesan tidak melebar  Paracetamol 3 x 1 p.r.n
A : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), gallop (-) Plan : Globulin, SPE, Bilirubin
Pulmo : total, bilirubin direk indirek,
I : Pengembangan dada kanan=kiri GDT, HbsAg, GDP, G2JPP,
P : Fremitus raba kanan=kiri HbA1C, Urin rutin, EGD,
P : sonor/sonor USG Abdomen, Profil Lipid.
A : SDV(N/N), ST (-/-)
Abdomen :
I : DP > DD
A : bising usus (+) 10x/m
P : tympani, pekak alih (-), undulasi (-),
pekak sisi (-), area traube timpani
P : supel, nyeri tekan di regio
epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral dingin: Oedem
- -
- -

Pemeriksaan Laboratorium (15 Juli 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin

25
Hemoglobin 13.2 g/dl 12.1-17.6
Hematokrit 41 % 33-45
Leukosit 12.8 Ribu/uI 4.5-11.0
Trombosit 169 Ribu/uI 150-450
Eritrosit 4.77 Juta/uI 4.50-5.90
Albumin 3.3 g/dl 3.2-4.6
KIMIA KLINIK
GDP 100 mg/dl 70-110
GD2JPP 109 mg/dl 80-140
Bilirubin Total 1.80 mg/dl 0.00-1.00
Bilirubin Direk 1.00 mg/dl 0.00-0.30
Bilirubin Indirek 0.80 mg/dl 0.00-0.70
Protein Total 6.3 g/dl 6.2-8.1
Albumin 3.3 g/dl 3.2-4.6
Globulin 2.3 g/dl -

Tanggal Subyektif Obyektif Assasment Terapi / Plan


20 Juli - BAB KU : CM, tampak sakit sedang  Melena e.c. non variceal  Bed rest tidak total
2015 Hitam (-) Tensi : 100 / 70 mmHg bleeding (susp gastritis  O2 2 lpm
RR : 22 x / menit kronis) dd variceal  Diet DM 1700 kkal
Nadi : 98 x / menit, isi cukup, reguler  Anemia normositik  Infus NaCl 0,9% 20 tpm
Suhu : 36,5° C normokromik e.c.  Injeksi ceftriaxon 2 g/ 12 jam
Kepala : atrofi m. temporalis (-) perdarahan akut  Injeksi novorapid 6-6-4 iu SC
Mata : CP (-/-), SI (-/-)  Diabetes Mellitus type II  Injeksi metoclopramide
Leher : JVP(R+2cm), KGB tidak Non Obess 5mg/8jam
membesar.  Osteoarthritis genu bilateral  SP omeprazol 5cc/jam
Cor :

26
I : IC tidak tampak  Hepatitis B dilanjutkan dengan injeksi
P : IC tidak kuat angkat omeprazol 40 mg/24jam
P : batas jantung kesan tidak melebar  Sucralfat 3 x 1C
A : BJ I-II intensitas normal, reguler,  B plex 3 x 1
bising (-), gallop (-)  Paracetamol 3 x 1 p.r.n
Pulmo :
I : Pengembangan dada kanan=kiri Plan : SPE, GDP, G2JPP,
P : Fremitus raba kanan=kiri HbA1C, Urin rutin, EGD,
P : sonor/sonor USG Abdomen, Profil Lipid
A : SDV(N/N), ST (-/-)
Abdomen :
I : DP > DD
A : bising usus (+) 10x/m
P : tympani, pekak alih (-), undulasi (-),
pekak sisi (-), area traube timpani
P : supel, nyeri tekan di regio
epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral dingin: Oedem
- -
- -

Pemeriksaan Laboratorium (20 Juli 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

27
Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.4 g/dl 12.1-17.6
Hematokrit 36 % 33-45
Leukosit 6.0 Ribu/uI 4.5-11.0
Trombosit 158 Ribu/uI 150-450
Eritrosit 4.57 Juta/uI 4.50-5.90
Albumin 3.3 g/dl 3.2-4.6
KIMIA KLINIK
GDP 86 mg/dl 70-110
GD2JPP 97 mg/dl 80-140
HbA1c 5.9 % 4.8-5.9

Pemeriksaan Urinalisa (20 Juli 2015 )

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


PEMERIKSAAN URIN
MAKROSKOPIS
Warna Yellow - -
Kejernihan Sl.Cloudy - -
KIMIA URIN
Berat Jenis 1,023 - 1,015-1,025
Ph 6,5 - 4,5-8,0
Leukosit Negatif /µl Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif Mg/dl Negatif
Glukosa Normal Mg/dl Normal
Keton Negatif Mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal Mg/dl Normal

28
Bilirubin Negatif Mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif /µl Negatif
EPITEL
Epitel Squamosa Negatif /lpb Negatif
Epitel - /lpb Negatif
Transisional
Epitel Bulat - /lpb Negatif
SILINDER
Hialin 0 /lpk 0-3
Granulated - /lpk Negatif
Leukosit - /lpk Negatif

Tanggal Subyektif Obyektif Assasment Terapi / Plan


22 Juli - BAB KU : CM, tampak sakit sedang  Melena e.c. non variceal  Bed rest tidak total
2015 Hitam (-) Tensi : 100 / 70 mmHg bleeding (susp gastritis  O2 2 lpm
RR : 22 x / menit kronis) dd variceal  Diet DM 1700 kkal
Nadi : 84 x / menit, isi cukup, reguler  Anemia normositik  Infus NaCl 0,9% 20 tpm
Suhu : 36,5° C normokromik e.c.  Injeksi ceftriaxon 2 g/ 12 jam
Kepala : atrofi m. temporalis (-) perdarahan akut  Injeksi novorapid 6-6-4 iu SC
Mata : CP (-/-), SI (-/-)  Diabetes Mellitus type II  Injeksi metoclopramide
Leher : JVP(R+2cm), KGB tidak Non Obess 5mg/8jam
membesar.  Osteoarthritis genu bilateral  SP omeprazol 5cc/jam
Cor :  Hepatitis B dilanjutkan Injeksi
I : IC tidak tampak
Omeprazole IV 40 mg/24 jam
P : IC tidak kuat angkat
 Sucralfat 3 x 1C

29
P : batas jantung kesan tidak melebar  B plex 3 x 1
A : BJ I-II intensitas normal, reguler,  Paracetamol 3 x 1 p.r.n
bising (-), gallop (-)
Pulmo : Plan : SPE, EGD, USG
I : Pengembangan dada kanan=kiri abdomen, Profil Lipid, Edukasi
P : Fremitus raba kanan=kiri pasien dan monitoring KUVS
P : sonor/sonor
A : SDV(N/N), ST (-/-)
Abdomen :
I : DP > DD
A : bising usus (+) 10x/m
P : tympani, pekak alih (-), undulasi (-),
pekak sisi (-), area traube timpani
P : supel, nyeri tekan di regio
epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral dingin: Oedem
- -
- -

Tanggal Subyektif Obyektif Assasment Terapi / Plan


24 Juli - BAB KU : CM, tampak sakit sedang  Melena e.c. non variceal  Bed rest tidak total
2015 Hitam (-) Tensi : 110 / 80 mmHg bleeding (susp gastritis  O2 2 lpm
- Nyeri RR : 22 x / menit kronis) dd variceal  Diet DM 1700 kkal

30
Lutut Nadi : 82 x / menit, isi cukup, reguler  Anemia normositik  Infus NaCl 0.9 % 16 tpm
Suhu : 36,5° C normokromik e.c.  Injeksi ceftriaxon 2 g/ 12 jam
Kepala : atrofi m. temporalis (-) perdarahan akut  SP omeprazol 5cc/jam
Mata : CP (-/-), SI (-/-)  Diabetes Mellitus type II dilanjutkan Injeksi
Leher : JVP(R+3cm), KGB tidak Non Obess Omeprazole IV 40 mg/24 jam
membesar.  Osteoarthritis genu bilateral  Injeksi novorapid 6-6-4 iu SC
Cor :  Hepatitis B  Injeksi metoclopramide
I : IC tidak tampak 5mg/8jam
P : IC tidak kuat angkat  Sucralfat 3 x 1C
P : batas jantung kesan tidak melebar
 B plex 3 x 1
A : BJ I-II intensitas normal, reguler,
 Paracetamol 3 x 1 p.r.n
bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Plan : SPE, USG abdomen,
I : Pengembangan dada kanan=kiri
Profil Lipid, Edukasi pasien,
P : Fremitus raba kanan=kiri
monitoring KUVS dan pro
P : sonor/sonor
endoskopi.
A : SDV(N/N), ST (-/-)
Abdomen :
I : DP > DD
A : bising usus (+) 10x/m
P : tympani, pekak alih (-), undulasi (-),
pekak sisi (-), area traube timpani
P : supel, nyeri tekan di regio
epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral dingin: Oedem

31
- -
- -

VII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad sanam : dubia ad malam

Ad fungsionam: dubia ad malam

VIII. ALUR PERMASALAHAN

Riwayat maag Kebiasaan makan telat Usia tua

Penurunan fungsi
fisiologi sistem organ

32
Penurunan fungsi Penurunan fungsi Penurunan fungsi
Gangguan fungsi
sistem endokrin imun
lambung
muskuloskeletal pankreas

Suspek Gastritis erosif dd ulkus peptikum Osteoarthritis DM tipe 2 Hepatitis B

Perdarahan saluran cerna bagian atas


Gangguan fungsi hepar
Melena

Anemia

33
IX. PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis pasien datang dengan keluhan buang air besar pasien
berwarna hitam, berbau amis, bila disiram berubah menjadi merah darah. Buang air
besar dengan darah menetes disangkal, darah bercampur lendir disangkal, hal tersebut
menunjukkan bahwa pasien mengalami melena. Selain itu adanya buang air besar
berwarna hitam seperti ter atau aspal sangat khas pada melena, tidak disebut
hematokezia karena tidak ditemukan adanya buang air besar berwarna merah marun dan
tetesan darah dari anus akibat dari perdarahan salruan cerna bagian bawah, misalnya
hemoroid. Kondisi-kondisi di atas lebih mengarah kepada perdarahan saluran cerna
bagian atas (SCBA) dari pada perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB).
Penyebab melena pada pasien ini harus dipertimbangkan. Untuk keperluan klinik
melena dapat dibedakan akibat perdarahan varises esofagus atau non varises, karena
antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Pada
anamnesis harus diketahui riwayat penyakit hepar kronis, riwayat dispepsia, riwayat
konsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu-jamuan, obat untuk penyakit jantung,
obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan
adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya
hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory-Weiss.
Pemeriksaan fisik yang penting, yaitu mencari kriteria penyakit hepar kronis
(hepatoseluler dan hipertensi portal), masa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan
peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik dll. Pemeriksaan yang
tidak boleh dilupakan adalah colok dubur. Dari anamnesis, pasein mengeluh nyeri ulu
hati yang dirasakan semakin memberat sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan seperti ditekan hilang timbul, tidak menjalar sampai ke bahu atau lengan kiri.
Nyeri tidak berkurang dengan pemberian makan dan pemberian obat. Nyeri di bagian
perut selain ulu hati disangkal, perut mrongkol atau membesar disangkal, air kencing
seperti teh disangkal, dan riwayat sakit kuning disangkal. Pasien mempunyai riwayat
sakit maag dan kebiasaan telat makan. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kriteria hepatoseluler dan hipertensi portal, pemeriksaan fisik regio abdomen didapatkan
nyeri tekan di regio epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Hal ini menunjukkan bila
melena pada pasien disebabkan karena perdarahan non varises esofagus, lebih
spesifiknya mengarah pada suspek gastritis kronis. Berdasarkan kriteria Roma II, pada
gastritis kronis gejala dispepsia yang muncul seperti: keluhan rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di epigastrium dapat terjadi minimal bahkan
pasien datang hanya datang dengan keluhan nyeri ulu hati. Untuk memastikan diagnosis
perlu dilakukan endoskopi sebagai gold standar. Namun adanya perdarahan sangat khas
mengarahkan kepada kerusakan mukosa lambung yang dapat dijumpai pada gastritis
kronis, dengan gejala dispepsia yang minimal sehingga dikatakan suspek gastritis kronis
pada pasien ini.
Pasien juga mengeluh lemas yang dirasakan diseluruh tubuh dan terus-menerus.
Lemas yang dirasakan seperti nggliyer atau rasa ingin terjatuh ketika berjalan dan
terutama pada perubahan posisi dari duduk ke berdiri. Keluhan mata berkunang-kunang
juga dirasakan oleh pasien, pandangan kabur disangkal, berdebar-debar disangkal,
kesemutan disangkal, dan nyeri telan disangkal, dan kelemahan anggota badan sesisi
disangkal. Lemas tidak berkurang dengan pemberian makan dan istirahat. Dari
pemeriksaan fisik yang mengarah ke kondisi lemas pasien didapatkan adanya
konjungtiva pucat pada kedua mata. Berdasarkan data-data di atas, kondisi lemas pada
pasien ini kerana anemia. Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan
oleh bermacam penyebab. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang,
kehilangan darah (perdarahan), proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis).
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit,
atau hitung eritrosit. Akibatnya fungsi untuk membawa oksigen yang cukup ke bagian
perifer berkurang, sehingga proses metabolisme terganggu dan pasien merasakan lemas.
Pada pasien tersebut didapatkan Hb 8,2 g/dl, Hct 27 %, AE 3,11 juta/ul, sehingga
semakin menguatkan kondisi anemia pada pasien. Selanjutnya dengan pemeriksaan
GDT didapatkan bahwa jenis anemia pada pasien tersebut adalah anemia normokromik
normositik dengan netrofilia absolut suspek e.c proses kronik bersamaan dengan proses
infeksi. Berdasarkan hasil pemeriksaan GDT tersebut dan dikaitkan dengan kondisi
yang dialami pasien, kemungkinan penyebab anemia berasal dari perdarahan akut.
Kemungkian perdarahan akut didasarkan pada melena e.c non variceal e.c suspek
gstritis kronis yang ditandai PT memanjang menjadi 16,2 s.
Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 1 tahun yang lalu, dengan rutin
mengonsumsi obat glibenklamid 1×1. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gula

35
darah sewaktu 192 mg/dl. Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada
tahap diabetes, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang
menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes. Tingginya kadar glukosa darah
(glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab
terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses
glikosilasi yang meluas. Hiperglikemia akan menyebabkan peningkatan oksidatif stres
melalui berbagai macam cara, antara lain melalui autooksidasi glukosa dan
pembentukan AGE (Advanced Glycation End-product). Pada DM, AGE banyak
ditemukan pada berbagai jaringan, seperti hati, ginjal, dan eritrosit adalah jaringan yang
paling mudah mengalami pembentukan AGE. AGE pada sel tersebut akan menghasilkan
ROS yang akan menghasilkan peningkatan oksidatif stres dan menyebabkan terjadinya
kerusakan sel, salah satunya sel-sel hepar.
Pasien mengeluhkan kakinya juga sakit saat berjalan, pasien juga mengaku kaki
sering kaku pada pagi hari sekitar 10 menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan krepitasi
pada kedua lutut pasien, serta terdapat kekakuan. Dari pemeriksaan penunjang rontgen
genu tampak osteofit di condylus lateralis et medialis os tibia kanan di aspek
anteroinferioros patella kanan disertai penyempitan celah sendi femurotibial aspek
medial kanan, tampak penyempitan celah sendi femurotibial aspek medial kiri. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemriksaan penunjang pasien diketahui
menderita osteoarthritis genu bilateral.
Kemudian, pasien juga mengaku bahwa ada keluarganya yang pernah menderita
penyakit sakit kuning. Kemudian pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hasil
pemeriksaan lab HbsAg reactive, kemudian dari hasil pemeriksaan LFT didapatkan
SGPT/ALT 108 dan SGOT/AST 76 u/l . Hal ini menunjukkan bahwa terdapat infeksi
akut, yang ditunjukkan oleh nilai perbandingan SGPT/SGOT >1. HbsAg reactive
menunjukkan bahwa antigen Hepatitis B muncul dua minggu sebelum timbul gejala
klinik, menandakan bahwa penderita dapat menularkan VHB ke orang lain, dan
biasanya menghilang pada masa konvalesen dini.

36
X.TINJAUAN PUSTAKA
1. MELENA E.C GASTRITIS DD ULKUS PEPTIKUM
a. Definisi
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal, dan lengket
yang menunjukkan perdarahan saluran pencernaan bagian atas serta dicernanya
darah pada usus halus. Warna merah gelap atau hitam berasal dari konversi Hb
menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Sumber perdarahannya biasanya
juga berasal dari saluran cerna atas. (Sylvia, 2005).
b. Etiologi
1) Kelainan di esophagus.
a) Varises Esofagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises
esofagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrum. Pada
umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif. Darah yang
dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung.
b) Karsinoma Esofagus
Karsinoma esofagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak masif. Pada
pemeriksaan endoskopi jelas terlihat gmabaran karsinoma yang hampir
menutup esofagus dan mudah berdarah yang terletak di sepertiga bawah
esofagus.
c) Sindroma Mallory Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah–muntah hebat yang pada
akhirnya baru timbul perdarahan, misalnya pada peminum alkohol atau
pada hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah-
muntah hebat dan terus menerus. Bila penderita mengalami disfagia
kemungkinan disebabkan oleh karsinoma esofagus.
d) Esofagitis dan tukak Esofagus.
Esofagitis bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat
intermittem atau kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul
melena daripada hematemesis. Tukak di esofagus jarang sekali
mengakibatkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak lambung dan
duodenum.
2) Kelainan di Lambung
a) Gastritis Erisova Hemoragika

37
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum
obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah
penderita mengeluh nyeri ulu hati. Perlu ditanyakan juga apakah penderita
sedang atau sering menggunakan obat rematik (NSAID + steroid) ataukah
sering minum alkohol atau jamu-jamuan.
b) Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati
dan sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium
yang berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu
masif dan melena lebih dominan dari hematemesis.
3) Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofilia,
trombositopenia purpura
c. Patofisiologi
Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral
dalam submukosa esophagus, lambung dan rectum serta pada dinding
abdomen anterior yang lebih kecil dan lebih mudah pecah untuk mengalihkan
darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya
tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang dan
membesar (dilatasi) oleh darah disebut varises. Varises dapat pecah,
mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat
mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke
jantung, dan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan
curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba
mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan
gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah
tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi selular.
Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh system tubuh, dan
tanpa suplai oksigen yang mencukupi system tersebut akan mengalami
kegagalan.
Pada melena dalam perjalanannya melalui usus, darah menjadi berwarna
merah gelap bahkan hitam. Perubahan warna disebabkan oleh HCL lambung,
pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin. Kadang-
kadang pada perdarahan saluran cerna bagian bawah dari usus halus atau
kolon asenden, feses dapat berwarna merah terang / gelap.

38
Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan
tertahan pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna feses
menjadi hitam. Paling sedikit perdarahan sebanyak 50-100cc baru dijumpai
keadaan melena. Feses tetap berwarna hitam selama 48–72 jam setelah
perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses yang berwarna hitam
tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah yang tersembunyi
terdapat pada feses selama 7–10 hari setelah episode perdarahan tunggal.
d. Manifestasi klinis
Gejala yang ada yaitu :
a. Muntah darah (hematemesis)
b. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
c. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
d. Denyut nadi yang cepat, TD rendah
e. Akral teraba dingin dan basah
f. Nyeri perut
g. Nafsu makan menurun
h. Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologic
Pemeriksaan radiologic dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk
daerah esophagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast
pada lambung dan duodenum. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada
berbagai posisi terutama pada daerah 1/3 distal distal esophagus, kardia
dan fundus lambung untuk mencari ada atau tidaknya varises.
2. Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendokop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat
tempat asal dan sumber perdarahan. keuntungan lain dari dari pemeriksaan
endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk
dokumentasi, aspirasi cairan, dan infuse untuk pemeriksaan sitopatologik.
Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung,
pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sendiri
mungkin setelah hematemesis berhenti.
3. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas.

39
f. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini
mungkin dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan
pengawasan yang diteliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan
penderita perdarahan saluran makan bagian atas meliputi :
Pengawasan dan pengobatan umum.
a. Tirah baring.
b. Diit makanan lunak
c. Pemeriksaan Hb, Ht setiap 6 jam pemberian transfusi darah
d. Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan yang luas (hematemesis
melena)
e. Infus cairan lagsung dipasang untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
f. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila
perlu CVP monitor.
g. Pemeriksaan kadar Hb dan Ht perlu dilakukan untuk mengikuti keadaan
perdarahan.
h. Tranfusi darah diperlukan untuk mengganti darah yang hilang dan
mempertahankan kadar Hb 50-70% harga normal.
i. Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4x10mg/hari,
karbosokrom (adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis
berguna untuk menanggulangi perdarahan.
j. Dilakukan klisma dengan air biasa disertai pemberian antibiotika
yang tidak diserap oleh usus, sebagai timdakan sterilisasi usus.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan
produksi amoniak oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan
ensefalopati hepatic.
g. Komplikasi
1. Syok hipovolemik
Disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan dapat terjadi karena
kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler
menyebabkan penurunan volume intraventrikel. Pada klien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24-28 jam.
2. Gagal Ginjal Akut
Terjadi sebagai akibat dari syock yang tidak teratasi dengan baik.
Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syock, diobati dengan
menggantikan volume intravaskuler.

40
3. Penurunan kesadaran
Terjadi penurunan transportasi O2 ke otak, sehingga terjadi penurunan
kesadaran.
4. Ensefalopati
Terjadi akibat kersakan fungsi hati di dalam menyaring toksin di
dalam darah. Racun-racun tidak dibuang karena fungsi hati terganggu. Dan
suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-
zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang
oleh hati.

GASTRITIS
a. Pengertian
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung yang diakibatkan oleh diet
yang tidak benar, atau makanan yang berbumbu atau mengandung
mikroorganisme penyebab penyakit (Brunner and Suddarth, 2001). Sedangkan
menurut Mansjoer (2001), gastritis akut adalah lesi mukosa akut berupa erosi
atau perdarahan akibat faktor- faktor agresif atau akibat gangguan sirkulasi
akut mukosa lambung. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan
submukosa lambung, secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya
infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Suyono Slamet, 2001). Gastritis
adalah episode berulang nyeri epigastrium, gejala sementara atau cepat hilang,
dapat berhubungan dengan diet, memiliki respon yang baik dengan antasid atau
supresi asam. (Grace, Pierce A,dkk, 2006).
Gastritis dibagi menjadi 2 yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis
akut adalah kelainan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan tanda dan
gejala yang khas, biasanya ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil.
Sedangkan gastritis kronik merupakan suatu peradangan bagian permukaan
mukosa lambung yang menahun, yang disebabkan oleh ulkus dan berhubungan
dengan Helicobacter pylori. (Mansjoer, 2001)
b. Etiologi
Menurut Mansjoer, 2001 penyebab gastritis adalah :
1. Gastritis Akut

41
a. Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan obat anti inflamasi
nonsteroid dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa
lambug.
b. Alkohol
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung
dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung
walaupun pada kondisi normal.
c. Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung : trauma, luka bakar
d. Stress
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau
infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan perdarahan pada lambung.
2. Gastritis Kronik
Pada gastritis kronik penyebab tidak jelas, tetapi berhubungan dengan
Helicobacter pylori, apalagi ditemukan ulkus pada pemeriksaan penunjang.

Sedangkan menurut Brunner & Suddarth, 2001 penyebab gastritis adalah :


1. Gastritis Akut
Gastritis akut sering disebabkan akibat diet yang tidak benar. Penyebab lain
dari gastritis akut mencakup alcohol, aspirin, refluks empedu atau terapi
radiasi.
2. Gastritis Kronik
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau
maligna dari lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylori
c. Patofisiologi
Menurut Priyanto, 2008 proses terjadinya gastritis yaitu awalanya karena
obat-obatan, alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas dapat merusak
mukosa lambung (gastritis erosif), mengganggu pertahanan mukosa lambung
dan memungkinkan difusi kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon mukosa lambung terhadap
kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena
itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya.

42
Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat
terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat
korosif dapat mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung
(gastritis korosif). Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung
dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
d. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer, 2001 tanda dan gejala pada gastritis adalah :
a. Gastritis akut
1) Nyeri epigastrium, hal ini terjadi karena adanya peradangan pada mukosa
lambung.
2) Mual, kembung, muntah merupakan salah satu keluhan yang sering
muncul. Hal ini dikarenakan adanya regenerasi mukosa lambung
sehinggs terjadi peningkatan asam lambung yang mengakibatkan mual
hingga muntah.
3) Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan
melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan.
b. Gastritis kronis
Pada pasien gastritis kronis umumnya tidak mempunyai keluhan. Hanya
sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia, nausea dan pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.
e. Komplikasi
Menurut Mansjoer, 2001 komplikasi yang terjadi dari gastritis adalah :
a. Gastritis Akut
1) Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berupa hematemesis dan
melena. Kadang-kadang perdarahannya cukup banyak sehingga dapat
menyebabkan syok hemoragik yang bisa mengakibatkan kematian.
2) Terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat. Ulkus ini diperlihatkan hamper
sama dengan perdarahan saluran cerna bagian atas. Namun pada tukak
peptic penyebab utamanya adalah infeksi Helicobacter pylori, sebesar
100% pada tukak duodenum dan 60-90% pada tukak lambung. Hal ini
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi.
b. Gastritis Kronis

43
1) Atrofi lambung dapat menyebabkan gangguan penyerapan terhadap
vitamin.
2) Anemia Pernisiosa yang mempunyai antibody terhadap faktor intrinsik
dalam serum atau cairan gasternya akibat gangguan penyerapan terhadap
vitamin B12.
3) Gangguan penyerapan zat besi.
f. Penatalaksanaan
1. Gastritis Akut
Menurut Brunner dan Suddarth, 2001 penatalaksanaan medis pada
pasien gastritis akut diatasi dengan menginstruksikan pasien untuk
menghindari alcohol dan makanan samapi gejala berkurang. Bila pasien
mampu makan melalui mulut, diet mengandung gizi dianjurkan. Bila gejala
menetap, cairan perlu diberikan secara parenteral. Bila perdarahan terjadi,
maka penatalaksanaan adalah serupa dengan prosedur yang dilakukan untuk
hemoragi saluran gastrointestinal atas. Bila gastritis diakibatkan oleh
mencerna makanan yang sangat asam, pengobatan terdiri dari pengenceran
dan penetralisasian agen penyebab. Untuk menetralisir asam digunakan
antacid umum. Dan bila korosi luas atau berat dihindari karena bahaya
perforasi.
Sedangkan menurut Sjamsuhidajat, 2004 penatalaksanaannya jika
terjadi perdarahan, tindakan pertama adalah tindakan konservatif berupa
pembilasan air es disertai pemberian antacid dan antagonis reseptor H2
Pemberian obat yang berlanjut memerlukan tindakan bedah.
2. Gastritis Kronik
Menurut Brunner dan Suddarth, 2001 penatalaksanaan medis pada
pasien gastritis kronik diatasi dengan memodifikasi diet pasien,
meningkatkan istirahat, mengurangi stress dan memuli farmakoterapi.
Helicobacter pylori dapat diatasi dengan antibiotic dan bismuth.
Sedangkan menurut Mansjoer, 2001 penatalaksanaan yang dilakukan
pertama kali adalah jika tidak dapat dilakukan endoskopi caranya yaitu
dengan mengatasi dan menghindari penyebab pada gastritis akut, kemudian

44
diberikan pengobatan empiris berupa antacid. Tetapi jika endoskopi dapat
dilakukan berikan terapi eradikasi.

2. ANEMIA
a. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta,
2009)
b. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: (Bakta,2009)
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
c. Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO
 Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
 Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
 Wanita hamil Hb < 11 gr/dL
d. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
I. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
II. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut

45
2. Anemia akibat perdarahan kronik
III. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalasemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
IV. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)


I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
e. Gejala Anemia
1. Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga
tertentu.Gejala umum anemia ini timbul karena : (Bakta.2009)
a. Anoksia organ
b. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut
oksigen • Affinitas oksigen yang berkurang

46
Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien,
dilakukan dengan cara mengurangi affinitas hemoglobin
untuk oksigen. Aksi ini meningkatkan ekstraksi oksigen dengan jumlah
hemoglobin yang sama.
• Peningkatan perfusi jaringan
Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada
jaringan dapat dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan
dengan mengubah aktivitas vasomotor dan angiogenesis.
• Peningkatan cardiac output
Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus
diekstraksi selama setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang
lebih tinggi. Karena viskositas darah pada anemia berkurang dan
dilatasi vaskular selektif mengurangi resistensi perifer, cardiac output
yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan tekanan darah.
• Peningkatan fungsi paru
Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi
pernafasan yang mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan
ke udara di alveolar, dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia
lebih banyak daripada cardiac output yang normal.
• Peningkatan produksi sel darah merah
Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat pada kondisi
yang akut, 4-6 kali lipat pada kondisi yang kronis, dan kadang-kadang
sebanyak 10 kali lipat pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini
dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin. Produksi
eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi
eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi
hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang
berat.
Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan
penghancuran sel darah merah seimbang. Gejala umum anemia menjadi
jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada : (Bakta.2009)
a. Derajat penurunan hemoglobin
b. Kecepatan penurun hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
2. Gejala khas masing-masing anemia

47
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychias)
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya
gejala akibat infeksi cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis
dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala
penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat
penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
f. Diagnosis Anemia
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying
disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahap-tahap
dalam diagnosis anemia adalah: (Bakta.2009)
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
mempengaruhi hasil pengobatan.

3. HEPATITIS B
a. Definisi
Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang
disebabkan oleh Virus Hepatitis B. Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan
kronis : Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu.beberapa kasus
berubah menjadi hepatitis fulminan. Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama
dari 6 bulan (Dienstag,2005).
b. Epidemiologi
Prevalensi HBsAg di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 3-
20%, dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Pada umumnya di luar Jawa
angka ini lebih tinggi. Di Jakarta prevalens HBsAg pada suatu populasi

48
umum adalah 4,1%. Angka-angka ini sangat tinggi sehingga diperlukan suatu
cara untuk menurunkannya. Pengobatan untuk menghilangkan virus hepatitis
B sampai saat ini belum memuaskan dan hanya dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan criteria yang sangat selektif serta menelan biaya yang cukup
tinggi. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan imunisasi hepatitis B
secara universal. Berdasarkan data di atas, menurut klasifikasi WHO,
Indonesia tergolong dalam Negara dengan prevalens infeksi VHB sedang
sampai tinggi, sehingga strategi yang dianjurkan adalah dengan pemberian
vaksin pada bayi sedini mungkin (Isselbacher et al,2006).
Tingginya angka prevalensi hepatitis B di Indonesia terkait dengan
terjadinya infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar pengidap
VHB ini diduga mendapatka infeksi HBV melalui transmisi vertical,
sedangkan sebagian lainnya mendapatkan melalui transmisi horizontal karena
kontak erat pada usia dini. Tingginya angka transmisi vertical dapat
diperkirakan dari tingginya angka pengidap VHB pada ibu hamil pada
beberapa rumah sakit di Indonesia. Oleh sebab itu perlu dilakukan usaha
untuk memutuskan rantai penularan sedini mungkin, dengan cara vaksinasi
bahkan bila memungkinkan diberikan juga imunisasi pasif (HBIg)
(Isselbacher et al,2006).
c. Etiologi

Gambar 1. Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam


family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian

49
karena virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA.
Termasuk dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot
dari Amerika Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma
hati, virus hepatitis B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel).
Virus hepatitis B tidak bersifat sitopatik (Julfina,2007).

Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan


sterilisasi alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap
pengeringan dan penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B
yang utuh berukuran 42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel
genom (DNA) berlapis ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid
di bagian dalam. Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom
(DNA) VHB yang sebagian berantai ganda (partially double stranded)
dengan bentuk sirkular. Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus
yang terdapat dalam darah yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga
partikel Dane dan selubung virus yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus
kosong berukuran 22 nm, dapat berbentuk seperti bola atau filament
(Dienstag,2005).
d. Cara transmisi
Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur
parenteral) yang terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal.
Transmisi perinatal terjadi dari ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal
umumnya karena kontak erat antar keluarga / individu. Transmisi perinatal
dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B (VHB) ke bayi adalah salah stu cara
transmisi yang paling serius karena bayi lahir akan memiliki risiko tertinggi
untuk menjadi hepatitis kronis dan dapat berlanjut menjadi sirosis atau

50
karsinoma hepatoselular. Transmisi vertical ini dapat terjadi intrauterine
(pranatal), saat lahir (intranatal), dan setelah lahir (pascanatal). Transmisi
intrauterine sangat jarang, hanya terjadi pada <2% dari seluruh kejadian
transmisi perinatal. Besarnya risiko transmisi vertical ini sangat ditentukan
oleh status serologi ibu. Bila HBsAg dan HBeAg ibu positif, risiko transmisi
vertical sangat tinggi yaitu sebanyak 70-90%, sementara bila hanya HBsAg
yang positif, risiko transmisi vertical tersebut lebih rendah yaitu 10-67%. Bila
anti HBe ibu positif, berpotensi untuk menimbulkan hepatitis fulminan pada
bayi, walaupun jarang terjadi (Soemara,2000).
e. Patogenesis
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus
nonsitopatis yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang
diperantarai imun. Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi
hepatosit oleh HBV, menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan
sel. Yang paling penting dari antigen virus ini mungkin adalah antigen
nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen
ini, bersama dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I,
membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel T sitotoksis (Dienstag,2005).
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan
baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau
protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat
diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat
mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut,
beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan hidup
(Dienstag,2005).
Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-
keadaan ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV.
Kompleks imun yang sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat
terjadi pada penderita yang mengalami poliartritis, glomerulonefritis,
polimialgia reumatika, krioglobulinemia, dan sindrom Guillan Barre yang
terkait (Dienstag,2005).

51
Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan
strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang
menyebebkan kegagalan mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan
dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV
kronis yang lebih berat (Dienstag,2005).
Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme system imun diaktivasi
untuk mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi
peningkatan serum transaminase, dan terbentuk antibody spesifik terhadap
protein HBV, yang terpenting adalah anti-HBs (Dienstag,2005).
Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan
respons imun non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan
baik. Segera setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun
non-spesifik diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini men ingkatkan
ekspresi HLA kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB,
sehingga nantinya memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang
terinfeksi dan melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC)
seperti sel makrofag atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah
VHB. Sel APC ini kemudian akan mempresentasikan antigen VHB dengan
bantuan HLA kelas II pada sel CD4 (sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan
dan membentuk suatu kompleks. Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan
produk sitokin. Sel CD4 ini mulanya adalah berupa Th0, dan akan
berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. Diferensiasi ini tergantung pada
adanya sitokin yang mempengaruhinya (Dienstag,2005).
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan
IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel
hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga
melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi.
Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun yang
dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel (Dienstag,2005).
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan
mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang
secara non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi

52
sitotoksis dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon. Walaupun
peran sel NK yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini berperan penting
untuk terjadi resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B kronis siketahui
terdapat gangguan fungsi sel NK ini (Dienstag,2005).
Perjalanan klinis HBV umumnya dibagi menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Bersifat imun toleran. Pada neonatus, stadium ini dapat berlangsung
hanya 2-4 minggu saja. Pada periode ini, replikasi virus dapat terus
berlangsung walaupun serum ALT hanya sedikit atau bahkan tidak meningkat
sama sekali serta tidak menimbulkan gejala klinis.
2. Stadium II
Mulai muncul respons imun dan berkembang. Hal ini akan
mengakibatkan stimulasi sitokin dan menyebabkan sitolisis hepatosit secara
langsung dan terjadi proses inflamasi. Pada stadium ini HBeAg tetap
diproduksi, tetapi serum DNA-VHB menurun jumlahnya karena sel yang
terinfeksi juga menurun. Pada hepatitis B akut, stadium ini merupakan
periode simtomatik dan umumnya berlangsung selama 3-4 minggu. Pada
pasien dengan hepatitis kronis stadium ini dapat berlangsung selama 10 tahun
atau lebih, yang kemudian akan melanjut sitosis dan komplikasinya.
3. Stadium III
Dimulai ketika pejamu mampu mempertahankan respons imunnya dan
mampu mengeliminasi sel hepatosit yang terinfeksi sehingga sel yang
terinfeksi menurun jumlahnya dan replikasi virus aktif berakhir. Pada stadium
ini tidak terdapat lagi HBeAg dan kemudian muncul antibody terhadap
HBeAg. Penurunan jumlah DNA virus yang bermakna ditemukan walaupun
DNA-VHB pasien tetap positif.
4. Stadium IV
HBsAg menghilang dan timbul antibody terhadap HBsAg (anti-HBs) (Dienstag,2005).

Petanda Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV


HbsAg + + + _
Anti-HBs _ _ _ +
DNA-VHB + kuat + _ _
Anti HBc + + + +
HbeAg + + _ _
Anti Hbe _ _ + +
AST & ALT N meningkat N N

Faktor yang dapat berperan dalam evolusi ke 4 stadium di atas adalah :

53
1. Predisposisi genetic (Ras Asia)
2. Adanya virus lain (virus hepatitis D, virus hepatitis C)
3. Pengobatan menggunakan imunosupresif
4. Jenis kelamin (lelaki lebih buruk disbanding perempuan)
5. Timbul HBV mutan (Dienstag,2005)
Seorang bayi dengan infeksi perinatal oleh HBV mempunyai predisposisi
untuk mengalami infeksi HBV kronis, karena :
1. Pada neonatus system imunnya belum sempurna
2. Diduga HBeAg ibu akan melewati barier plasenta dan HBeAg ini
menyebabkan sel T helper tidak responsive terhadap HBcAg
3. HBeAg pada neonatus yang lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg positif
4. Adanya IgG anti HBc ibu yang secara pasif masuk dalam sirkulasi bayi
akan menutupi ekspresi HBcAg di permukaasn hepatosit bayi, sehingga
akan mengganggu pengenalan dan penghancuran hepatosit oleh sel T
sitotoksik (Dienstag,2005).
f. Gejala klinis
Hepatitis B biasanya asimtomatik atau dengan gejala yang ringan saja.
Walaupun demikian infeksi HBV yang terjadi pada masa anak-anak
mempunyai risiko untuk menjadi kronis. Kronisitas terutama terjadi pada
anak yang mendapat infeksi perinatal. Meskipun asimtomatik, sebetulnya
tingkat replikasi DNA-VHB tinggi. Tetapi hal ini tidak berarti infeksi
hepatitis B kronis selalu ringan pada anak-anak karena dapat langsung terjadi
KHS (Dienstag,2005).
Pada pemeriksaan fisik, hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan
yang ditemukan. Infeksi hepatitis B kronis pada anak yang melanjut sampai
dewasa berhubungan dengan tingginya angka kejadian sirosis dan KHS.
Karsinoma hepatoseluler akibat hepatitis B walaupun jarang ditemukan telah
diketahui dapat terjadi pada anak pengidap hepatitis B kronis. Risiko
pengidap VHB untuk berkembang menjadi KHS 230 x lebih besar
dibandingkan populasi umum. Frekuensi tertinggi terjadinya KHS ditemukan
pengidap hepatitis B berjenis kelamin lelaki dengan sirosis. Hubungan KHS
dengan VHB pada anak telah dilaporkan. Walaupun hampir semua kasus
KHS yang dilaporkan terjadi pada anak didahului terjadinya sirosis, tetapi
adanya kasus yang tanpa sirosis mengarah pada kesimpulan bahwa integrasi
genom VHB mungkin bersifat onkogenik (Dienstag,2005).

54
Walaupun umumnya infeksi hepatitis B bersifat asimtomatik, tetapi pada
sebagian kecil kasus (kurang dari 1%) dapat terjadi hepatitis fulminan. Bila
sudah hepatitis fulminan, umumnya bersifat fatal. Hepatitis fulminan pada
bayi berhubungan erat dengan ibu pengidap dengan HBeAg negative dan
anti-HBe positif. Selain itu terdapat hubungan adanya mutan pre-core dengan
gejala infeksi hepatitiS B yang berat, termasuk hepatitis fulminan
(Dienstag,2005).

Gambar 5. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis

Diperkirakan akibat ketidakhadiran HBeAg di dalam serum


menyebabkan virus tidak mampu membuat respons imun untuk toleran
terhadap VHB. Mutasi pada daerah pre-core merupakan cara virus untuk
melepaskan diri terhadap tekanan respons imun. Adanya antibody terhadap
HBeAg (anti-HBe) mendahului timbulnya stop codon pre-core, sehingga
tidak mengherankan bahwa sekuens pre-core tipe wild dapat ditemukan bila
terdapat anti-Hbe (Julfina,2007).
 Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar virus.
Awalnya gejala seperti flu biasa. Gejala-gejala yang muncul antara lain :
- Kehilangan nafsu makan
- Cepat lelah
- Mual dan muntah
- Gatal seluruh tubuh
- Nyeri abdomen kanan atas
- Kuning, kulit dan atau sklera
- Warna urin seperti teh atau cola
- Warna feses lebih pucat (Julfina,2007)
 Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk
akut. Gejalanya:

55
- Ketidakseimbangan mental seperti : bingung, lethargy, halusinasi
(hepatic encephalopati)
- Kolaps mendadak disertai keadaan sangat lemah
- Jaundice
- Pembengkakan abdomen
 Gagal hati, gejalanya :
- Asites
- Jaundice yang persisten
- Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan
- Muntah disertai darah
- Perdarahan pada hidung, mulut, anus, atau keluar bersama feses
(Julfina,2007)
g. Diagnosis
Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya
2 pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang
muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang terinfeksi; kenaikannya
sangat bertepatan dengan mulainya gejala. HBeAg sering muncul selama fase
akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius. Karena kadar HBsAg
turun sebelum akhir gejala, antibody IgM terhadap antigen core hepatitis B
(IgM anti HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan
menetap selama beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg,
yang menetap selama beberapa tahun. IgM anti-HBcAg biasanya tidak ada
pada infeksi HBV perinatal. Anti-HBcAg adalah satu pertanda serologis
infeksi HBV akut yang paling berharga karena ia muncul hampir seawal
HBsAg dan terus kemudian dalam perjalanan penyakit bila HBsAg telah
menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada pada orang-orang yang diimunisasi
dengan vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg dan anti-HBcAg terdeteksi
pada orang dengan infeksi yang sembuh (Dienstag,2005).
h. Penatalaksanaan
Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan
prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode
simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak
efektif. Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada hepatitis
fulminan akibat eksaserbasi akut HVB (Julfina,2007).

56
Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi
dengan menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya replikasi
virus dengan terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe dan tidak
terdeteksinya HBV-DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan terjadi pula
serokonversi HBsAg menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma
hepatoseluler dapat dicegah (Julfina,2007).
Berdasarkan rekomendasi APASL (Asia Pacific Association for Study of
the Liver), anak dengan HBV dipertimbangkan untuk mendapat terapi
antiviral bila nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas normal selama lebih dari 6
bulan, terdapat replikasi aktif (HBeAg dan/atau HBV-DNA positif).
Sebaiknya biopsy hati dilakukan sebelum memulai pengobatan untuk
mengetahui derajat kerusakan hati. Interferon dan lamivudin telah disetujui
untuk digunakan pada terapi hepatitis B kronis. Bila hanya memakai
interferon (dosis 5-10 MU/m2, subkutan 3x/minggu) dianjurkan diberikan
selama 4-6 bulan, sedangkan bila hanya digunakan lamivudin tersendiri
diberikan paling sedikit selama 1 tahun atau paling sedikit 6 bulan bila telah
terjadi konversi HBeAg menjadi anti Hbe (Dienstag,2005).
i. Komplikasi
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus
hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi
bersama atau superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih
besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif;
perawatan pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita
sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah
satu-satunya pilihan lain (Julfina,2007).
Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat
menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa-2b
tersedia untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur 18
tahun atau lebih dengan penyakit hati kompensata dan replikasi HBV.
Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan komplemen dan HBeAg
pada kapiler glomerulus merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang
(Dienstag,2005).

57
4. DIABETES MELLITUS
a. Pengertian
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2010).
b. Epidemiologi
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi kenaikan jumlah
pasien diabetes melitus di dunia sebanyak 366 juta pada tahun 2011 menjadi
552 juta pada tahun 2030
c. Klasifikasi
Klasifikasi etiologi DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
I Diabetes tipe I (destruksi sel, umumnya mengarah kepada defisiensi
insulin absolut)
 Immune mediated
 Idiopatik
II Diabetes tipe 2 (dari predominan resistensi insulin dengan defisiensi
insulin relative hingga predominan defek sekresi dengan resistensi
insulin)
III Tipe lain
 Defek genetik dari fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Imbas obat atau zat kimia
 Infeksi
 Jenis tidak umum dari diabetes yang diperantarai imun
 Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan dengan
DM
IV Diabetes mellitus gestasional

d. Patofisiologi
Diabetes tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.

58
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam
darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan
rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan
kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.Proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis
diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tandatanda dan gejala
seperti nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan
bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan
kematian.
Diabetes tipe II
Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan
insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada
diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.

59
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan
tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat
ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, polyuria, polidipsia, luka
yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi).
e. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini:
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur,dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat dilihat pada table berikut.

60
Gambar 1. Kriteria diagnosis DM

61
Gambar 2. Alur Penegakan Diagnosis DM

f. Penatalaksanaan
Pilar utama pengelolaan DM:
1. Edukasi
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin
timbul secara dini/saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan
pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan
kesehatan yang diperlukan.
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi
lemak (Perkeni, 2011)

62
2. Terapi Gizi Medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%,
lemak 20%-25%, protein 10%-20%, natrium kurang dari 3g, dan diet cukup
serat sekitar 25g/hari (Perkeni, 2011)
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat
aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan meningkatkan sensitifitas insulin (Perkeni, 2011).
Olahraga yang tidak terkendali akan menyebabkan terjadinya
peningkatan glukosa darah dan benda keton. Sebaiknya kadar glukosa darah
tidak lebih dari 250 mg/dl jika diabetes ingin berolahraga. Intensitas latihan
dapat ditentukan dengan menggunakan Maximum Heart Rate (MHR) yaitu:
220 – umur. Kemudian intensitas yang ideal adalah 60-70% dari MHR.
4. Intervensi Farmakologis
a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan:
1) Pemicu sekresi insulin
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin
3) Penghambat glukoneogenesis
4) Penghambat glukosidase alfa
b) Insulin
Insulin diindikasikan kepada setiap pasien DM tipe I dan
digunakan dalam diabetes dengan ketoasidosis. Selain itu insulin
digunakan untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar
glukosanya dengan kombinasi sulfonylurea dan metformin. (Suyono,
2009)
Insulin diperlukan pada keadaan:
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis
3) Ketoasidosis diabetic
4) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
c) Terapi Kombinasi

63
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa darah

Gambar 3. Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 tanpa dekompensasi

Gambar 4. Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 Berdasarkan A1c


5. OSTEOARTHRITIS
a. Pengertian Osteoartritis

64
Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai
dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada
tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan
melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi. (Felson, 2008)
b. Patogenesis Osteoartritis
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer
dan OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki
penyebab yang pasti (tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda
dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan
sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan
mobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada
praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA sekunder (Soeroso, 2006).
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak
dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui (Soeroso, 2006). Kerusakan
tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti
oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera
(Felson, 2008).
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu:
Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di
dasarnya. Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada
rentang gerak (Range of motion) sendi (Felson, 2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada
permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat
gesekan. Protein yang disebut dengan lubricinmerupakan protein pada cairan
sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan
apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi (Felson, 2008).
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu
mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik
yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk

65
memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi
bergerak (Felson, 2008).
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari
pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi
memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk
menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang
terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi
tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh
permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di
balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima
(Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh
cairan sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang
terjadi ketika bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan
berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada
sendi sebelum timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting
untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago (Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen
tipe dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi
molekul–molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan
adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan
memberikan kepadatan pada kartilago (Felson, 2008).
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha
elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim
pemecah matriks, sitokin {Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor
(TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut
akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk
molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga
keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan
(Felson, 2008).
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah
kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang
dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek

66
dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago
(Felson, 2008).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu
proses degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis
prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki
efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan
mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan
menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein
pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya OA (Felson,
2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks
yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi.
Namun, pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki
metabolisme yang sangat aktif (Felson, 2008).
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan
aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan
sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen
akan mudah mengendur (Felson, 2008).
Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi
akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi (Felson, 2008).
c. Tanda dan Gejala Klinis
Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang
dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan.
Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA:

1) Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.
Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri
yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA
masih tergolong dini (secara radiologis). Umumnya bertambah berat
dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan
dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah
gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso, 2006).
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada

67
sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago (Felson,
2008).
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber
dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi (sinovitis),
efusi sendi, dan edema sumsum tulang (Felson, 2008). Osteofit merupakan
salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi
neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan
menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri
(Felson, 2008).
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat
sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine
bursitis dan sindrom iliotibial band (Felson, 2008).
2) Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan
dengan pertambahan rasa nyeri (Soeroso, 2006).
3) Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu
yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari (Soeroso,
2006).

4) Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala
ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa
perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau
dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi
dapat terdengar hingga jarak tertentu (Soeroso, 2006).
5) Pembesaran sendi (deformitas)
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar (Soeroso, 2006).
6) Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi
yang biasanya tidak banyak (< 100 cc) atau karena adanya osteofit,
sehingga bentuk permukaan sendi berubah (Soeroso, 2006).
7) Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan
gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) dapat dijumpai

68
pada OA karena adanya synovitis. Biasanya tanda–tanda ini tidak
menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala
ini sering dijumpai pada OA lutut (Soeroso, 2006).
8) Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan
ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien
lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan terutama pada OA lutut (Soeroso, 2006).
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang
terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik (Soeroso,
2006). Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
1) Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban seperti lutut).
2) Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis).
3) Kista pada tulang
4) Osteofit pada pinggir sendi
5) Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan
suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai
kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan
hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit, gambaran
radiografis sendi masih terlihat normal (Felson, 2006).
e. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas–batas normal. Pemeriksaan
imunologi masih dalam batas–batas normal. Pada OA yang disertai
peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan (< 8000 /
m) dan peningkatan nilai protein (Soeroso, 2006).
f. Penatalaksanaan Osteoartritis
Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA
yang diderita (Soeroso, 2006). Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu :
1) Terapi non-farmakologis
a) Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien
dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya,
bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar
persendiaanya tetap terpakai (Soeroso, 2006).

69
b) Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi ini
dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat dipakai
dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. (Soeroso, 2006).
c) Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat OA.
Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan
diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila berat
badan berlebih (Soeroso, 2006).

2) Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang
timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi
manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi (Felson, 2006).
a) Obat Antiinflamasi Nonsteroid (AINS), Inhibitor Siklooksigenase-2
(COX-2), dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan
obat AINS dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada
penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS
lebih tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat
pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk
mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara
mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 (Felson,
2006).
b) Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat–obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat–obatan
yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah: tetrasiklin, asam
hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan
sebagainya (Felson, 2006).
3) Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk
mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi
deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari–hari.

70
XI. KESIMPULAN
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dilengkapi dengan pemeriksaan
penunjang didapatkan diagnosis melena e.c. non variceal (suspek gastritis kronis)
dd variceal, anemia normositik normokromik e.c. perdarahan akut dd penyakit
kronis, DM type II non obese, hepatitis B, osteoarthritis genu bilateral. Diet lunak
diberikan untuk meringankan kerja saluran cerna. Diberikan Omeprazole untuk
mengurangi produksi asam lambung yang berlebihan. Sucralfat digunakan untuk
melindungi mukosa lambung dari iritasi asam lambung. Methoclopramide untuk
mengatasi mual pada pasien ini. Prognosis ad vitam, ad sanam dan ad fungsionam
adalah dubia ad malam.

XII. SARAN DAN USUL


1. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui adanya komplikasi yang
mengarah ke sirosis hepatis
2. Untuk pasien geriatri perlu dikurangi penggunaan polifarmasi dikarenankan
penurunan fungsi organ.

71
XIII. DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. (2010). Position statement: Standards of
medical care in diabetes 2010. Diabetes Care, 35(Suppl.1)
Bakta, I Made. (2009). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Dienstag, Jules L. (2005). Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In
Harrison’s : Principles of Internal Medicine : New York: McGraw-Hill
Companies Inc. :1822-37.
Felson, D.T., (2008). Osteoarthritis. Dalam : Fauci, A., Hauser, L.S., Jameson,
J.L., Ed. HARRISON's Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition.
New York: McGraw-Hill Companies Inc. : 2158-2165.
Hanifah Oswari, (2000). Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak –
Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Jakarta:Balai Penerbit
FKUI
Isselbacher, Kurt. (2006). Hepatology. Dalam: Thomas D Boyer, Teresa L
Wright, Michael P Manns. A Textbook of Liver Disease. Canada:Elsevier.
Julfina Bisanto. (2007). Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Anak dengan Gejala Kuning. Jakarta:Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM
Lina Herlina Soemara, (2000). Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif
Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:FKUI
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011). Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.Jakarta :Perkeni
Sherwood, Lauralee. (2005). Fisiologi Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta:EGC
Suyono, S. (2009). Diabetes Melitus Di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi IV. Jakarta:Balai Penerbit FKUI. p:1875

72

Anda mungkin juga menyukai