Anda di halaman 1dari 42

PRESENTASI KASUS

THALASSEMIA



Oleh :
Amalia Tri Prasetyowati
0806471696

Narasumber :
Dr. dr. Pustika Amalia Wahidiyat, SpA(K)


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
MARET 2014
Pernyataan Plagiarisme


Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa sajian kasus tentang
Talasemia ini disusun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya didapati melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggungjawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.

Jakarta, Maret 2014


Amalia Tri Prasetyowati



















BAB I
ILUSTRASI KASUS

I.1 IDENTITAS
Pasien
Nama : An. AZ
Usia : 16 tahun
TTL : Jakarta, 14 November 2007
Jenis Kelamin : Laki-laki
Golongan Darah : A [Rh +]
Agama : Islam
Alamat : Cengkareng, Tangerang
No. RM : 199-40-74
Pembiayaan : Kartu Jakarta Sehat
Kunjungan : 14 Maret 2014
Tanggal Pemeriksaan : 14 Maret 2014 di Poliklinik Thalassemia RSCM

Orang Tua/Wali
Nama : Ny. PS
Usia : 38 tahun
Alamat : Cengkareng, Tangerang
Pekerjaan : Swasta
Hubungan : Ibu
Suku Ayah : Betawi
Suku Ibu : Melayu

I.2 ANAMNESIS
(Anamnesis dilakukan secara auto dan allo-anamnesis dengan ibu pasien dan pasien di
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, 14 Maret 2014)

1.2.1 Keluhan Utama
Pasien datang untuk menjalani transfusi darah rutin

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Awalnya, ketika pasien berusia 5 bulan, ibu pasien merasa pasien terlihat lebih pucat.
Pasien juga tampak lemas. Pasien saat itu juga demam yang muncul terus-menerus. Ibu
pasien mengatakan bahwa demam tidak diukur saat itu, namun dikatakan tidak terlalu tinggi.
Ibu pasien kemudian membawa pasien ke puskesmas dan diberikan obat penurun panas.
Demam hilang setiap kali minum obat, namun muncul kembali jika obat tidak diminum.
Selain itu, ibu pasien juga menyadari perut pasien terlihat membesar. Ibu pasien mengatakan
perut pasien sangat kencang saat diraba. Mual dan muntah disangkal. Semenjak itu, pasien
sering kali menangis tidak seperti biasanya. Ibu pasien juga mengaku pasien mencret 10 kali
dalam sehari, jumlah sedikit, warna hijau, tidak ada ampas, tidak ada lendir, tidak ada darah,
tidak berbau, namun terkadang berbusa. Tidak ada perdarahan. Ibu pasien saat itu tidak
membawa pasien ke puskesmas karena dianggap tidak apa-apa. Ibu pasien mengaku keluhan
mencret sudah tidak ada saat usia pasien 9 bulan.
1
Saat pasien berusia 9 bulan, ibu pasien semakin menyadari bahwa pasien terlihat lebih
pucat dan perut pasien semakin membesar. Pasien juga tampak lemas. Demam juga
dikeluhkan oleh ibu pasien. Mata atau badang kuning disangkal. Perdarahan disangkal. Ibu
pasien kemudian membawa pasien ke Puskesmas Cengkareng. Pemeriksaan dilakukan pada
pasien dan diduga pasien menderita thalassemia. Pasien kemudian dirujuk ke poli
hematologi RSCM untuk melakukan pemeriksaan darah. Dari hasil pemeriksaan darah
diketahui Hb pasien saat itu 6.1 g/dL dan dikatakan pula bahwa pasien menderita
Thalassemia. Pasien kemudian dirujuk ke Poli Thalassemia RSCM untuk diberikan transfusi
darah. Pasien mendapatkan transfusi darah merah sebanyak 2 kantong. Sejak saat itu, ibu
pasien rutin kontrol dan transfusi darah setiap bulan. Namun, semenjak menjalani transfusi
darah, pasien sering mengalami batuk pilek setiap bulan.

Saat usia pasien 3 tahun, pasien mendapatkan pengobatan kelasi besi Desferal yang
disuntikkan di perut pasien. Penyuntikan dilakukan sebanyak 5 kali dalam seminggu dan
setiap kali sebanyak 3 botol. Selama menjalani terapin kelasi besi, ibu pasien mengaku perut
pasien menjadi biru-biru dan terdapat keluhan BAK bewarna kemerahan. Pengobatan kelasi
besi besi kemudian diganti dengan Feriprox saat pasien berusia 11 tahun (sejak 5 tahun yang
lalu). Diberikan 3 tablet per hari. Saat awal pengobatan, pasien muntah setiap kali minum
obat. Kemudian ibu pasien mengurangi dosis obat menjadi tablet per hari. Keluhan
mubntah tidak ada. Selanjutnya ibu pasien menambahkan tablet secara perlahan hingga
jumlah tablet menjadi 10 tablet perhari, diminum pagi hari 4 tablet, siang 3 tablet dan malam
3 tablet.

Sejak 7 tahun yang lalu (usia pasien 9 tahun), pasien mulai mengeluh nyeri pada
pergelangan kaki kanan dan kiri serta di daerah pinggang. Saat itu pasien diberikan obat anti
nyeri dan nyeri hilang sementara. Ibu pasien kemudian membawa pasien ke Poliklinik Anak
RSCM dan dilakukan pemeriksaan tulang dan didapatkan bahwa pasien menderita
osteoporosis. Pasien diberikan obat Calnix plus yang diminum 1 tablet per hari. Keluhan
nyeri sudah tidak ada, Namun, selama pengobatan, pasien sering mengeluh kesemutan pada
kedua kakinya. Pengobatan sudah berjalan selama 5 tahun dan ibu pasien mengaku tidak
minum obat secara teratur. Diketahui pula semenjak usia 5 tahun, pasien sering mimisan
setiap kali terkena panas matahari. Pasien juga menderita amandel sejak usia 7 tahun. Ibu
pasien mengatakan bahwa pasien sering mendengkur keras saat tidur.

Sejak kontrol 4 tahun terakhir (usia pasien 13 tahun), awalnya pasien sering merasa
demam dan menggigil setelah mendapatkan transfusi, namun saat transfusi selanjutnya
(transfusi darah diganti menjadi Leukodepleted), pasien sudah jarang demam setelah
mendapat transfusi. Pemeriksaan yang telah dijalani yang ibu pasien ingat meliputi
pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan tulang, dan pemeriksaan endokrin. Dikataka pula saat
itu bahwa pasien menderita osteoporosis dan pertumbuhan yang terhambat.

Saat kontrol terakhir, diketahui Hb pasien 10.8 g/dL. Pasien sudah mendapat transfusi
2 kantong darah. Keluhan demam tidak ada, gatal tidak ada, lemas tidak ada, batuk pilek
tidak ada, BAB normal, warna kuning kecokelatan, frekuensi1x/hari, konsistensi baik. BAK
lancar, tidak ada nyeri. Perut sudah tidak membesar, tidak nyeri. Sesak napas tidak ada,
pasien aktif dan bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Kaki bengkak tidak ada. Nyeri dada
tidak ada. Nafsu makaN pasien baik dan berar badan pasien cenderung naik. Pasien juga
mendapat vitamin E dan asam folat yang harus diminum setiap hari. Pasien mengaku minum
obat secara teratur.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Asma, alergi, sakit kuning tidak ada
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit karena sakit yang diderita
Pasien menderita osteoporosis sejak usia 9 tahun yang lalu

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga












: laki-laki
: perempuan
: meninggal
: thalassemia

Adik pasien menderita thalassemia beta mayor sejak usia 2.5 bulan
Paman pasien meninggal dunia saat masih kecil namun penyebabnya tidak diketahui
(diduga karena sakit kuning)
Ibu pasien memiliki hipertensi


1.2.5 Riwayat Lainnya

Riwayat Kehamilan/Kelahiran
Selama hamil, ibu pasien rutin kontrol ke rumah sakit. Demam saat hamil, sakit,
minum obat-obatan dan jamu-jamuan selama hamil disangkal.
Pasien lahir di rumah sakit, spontan, cukup bulan, normal, dibantu oleh dokter. Berat
badan lahir 3100 gram, panjang lahir 50 cm, langsung menangis. Riwayat biru atau kuning
saat lahir disangkal. Tidak ada kelainan bawaan.

Riwayat Tumbuh Kembang
Menurut ibu pasien, perkembangan yang ibu pasien ingat adalah mengoceh usia 7
bulan, berdiri usia 9 bulan, berjalan 1 tahun 2 bulan, dan bicara 1.5 bulan. Pasien sudah
disunat saat kelas 3 SD (usia 9 tahun). Saat ini pasien sudah bersekolah kelas 1 SMK. Pasien
termasujk anak yang aktif, tidak ada masalah dalam belajar dan selalu naik kelas. Pasien juga
tidak memiliki masalah dalam bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, ibu pasien
menyadari ada keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada pasien saat ini. Ibu
pasien merasa pasien pendek dibandingkan dengan teman-teman sebaya pasien. Selain itu,
ibu pasien mengaku bahwa sampai saat ini pasien belum pernah mimpi basah dan alat
kelaminnya berukuran kecil.

Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI eksklusif selama 11 bulan. Setelah itu dilanjutkan dengan susu
formula SGM hingga usia pasien 2 tahun. Pasien juga diberikan makanan tambahan seperti
nasi tim dan buah. Saat ini, pasien makan makanan rumah 3-4 kali sehari; nasi dengan lauk
pauk yang bervariasi. Pasien mengaku kurang suka makan sayur dan buah, namun suka
minum susu kaleng.

Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan imunisasi dasar pasien lengkap (BCG 1x, Hepatitis B 3x,
Polio 3x, DTP 3x, campak 1x). Pasien diberikan imunisasi terakhir kali saat usia 9 bulan dan
tidak pernah mendapatkan imunisasi tambahan setelah itu.

Riwayat keluarga
No Usia Jenis Kelamin Hidup
1 0 tahun Lelaki Meninggal saat lahir
2 16 tahun (pasien) Lelaki Hidup (thalassemia)
3 14 tahun (adik pasien) Lelaki Hidup (thalassemia)

Riwayat kehamilan ibu pasien : P3A0
Anggota keluarga lain yang serumah : ayah, ibu, adik

Ayah Ibu
Nama Tn. A Ny. S
Perkawinan ke 1 1
Umur saat menikah 22 th 16 th
Pendidikan terakhir SD SD
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Betawi Melayu
Keadaan kesehatan Baik Baik

Tidak ada kosanguinitas pada kedua orang tua pasien.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK
(Pemeriksaan fisik dilakukan diRSCM, 14 Maret 2014)
Antropometri
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 150 cm
Tinggi badan (duduk) : 80 cm
Lingkar lengan atas : 26.5 cm
Kesan gizi : lebih
TB/U = 150/174 x 100% = 86%
o Height age = 12 tahun 2 bulan
o pasien berada pada < persentil 3 --> short stature

Status Nutrisi
Lingkar lengan atas : 26.5 cm

















Sumber: Frisancho A.R. New norms of upper limb fat and muscle areas for assessment of nutritional status. Am J Clin Nutr 34:2540 (1981)
Pasien berada di percentil 10 hingga 25
o kesan gizi klinis : normal

Keadaan umum : tampak sakit ringan, tampak hitam, tampak facies Cooley
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 97x/menit, reguler, isi cukup, ekual di keempat ekstremitas
Frekuensi nafas : 21x/menit, reguler, kedalaman cukup, tidak ada otot bantu napas
maupun napas cuping hidung
Suhu : 35,7C aksila
Kepala : normosefali, tampak facies Cooley
Rambut : hitam, penyebaran merata, tidak mudah dicabut
Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+)
konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak ada sekret dari telinga, tidak terdapat nyeri tekan sinus
Hidung : tidak terdapat septum deviasi, tidak ada napas cuping hidung, mukosa
tidak hiperemis dan tidak edema
Mulut :mukosa basah, oral hygiene cukup, tidak terdapat karies dentis, faring
hiperemis, uvula deviasi ke kiri, tonsil T2-T3
Leher : kaku kuduk negatif, tiroid dan KGB tidak teraba pembesaran
Paru : I : ekspansi dada simetris statis-dinamis, tidak terdapat retraksi dinding
dada, retraksi epigastrium maupun retraksi suprasternal
tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak ada venektasi
P : ekspansi dada simetris, fremitus kanan-kiri sama
P : sonor/sonor
A: vesikular +/+, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Jantung : I : iktus kordis terlihat di sela iga 5 linea midklavikularis sinistra
P : iktus kordis teraba di sela iga 5 linea midklavikula sinistra
P: batas kanan jantung di linea sternalis kanan
batas kiri jantung di 1 jari mediallinea midklavikula kiri
pinggang jantung di sela iga 2 linea parasternalis kiri
A: bunyi jantung I-II normal, tidak terdapat murmur dan gallop
Abdomen : I : agak buncit, lemas, tidak ada venektasi
P : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar teraba 2 cm dibawah arcus
costae, 2 cm dibawah prosesus xyphoideus, teraba kenyal, tepi
tajam, permukaan rata, limpa teraba schuffner 1.
P : timpani
A: bising usus (+) normal 4x/menit
Genitalia : belum ada rambut pubis, orifisium uretra eksterna tenang
Status pubertas: A1G1P2
Kulit : terdapat hiperpigmentasi, tidak ikterik, turgor baik
Ekstremitas : akral hangat, CRT kurang dari 3 detik, tidak ada edema, terdapat parut
BCG di lengan kanan, tidak ditemukan clubbing finger
Status neurologi
Motorik : 5555 5555
5555 5555
Spasme (-), klonus (-), refleks fisiologis (+), refleks patologis (-)


I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
I.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
14/08/12 3/2/14 24/2/14 14/3/14
Hematologi
Hb 8.8 (L) 9.8 (L) 9 (L) 10.8 (L) g/dL
Ht 24.9 (L) 28.2 (L) 26.2 (L) 31 (L) %
Eritrosit 3.34 (L) - - - Juta/L
Leukosit 6150 7860 6650 7230 /L
Trombosit 194000 218000 208000 260000 /L
RDW - 18.9 18.6 15.8 %
MCV 74.6 (L) 75.6 (L) 77.3 (L) 76.7 (L) Fl
MCH 26.3 26.3 26.5 26.7 Pg
MCHC 35.3 34.8 34.4 34.8 g/dL
Kimia Klinik 30/3/12 14/8/12
SGOT 28 U/L 24U/L
SGPT 17 U/L 18U/L
Ureum 20 mg/dL 29mg/dL
Kreatinin 0.6 mg/dL (L) 0.50 mg/dL (L)
Albumin 4.68 g/dL (H) 4.57 g/dL (H)
Bilirubin total 1.33 mg/dL 1.05mg/dL
Bilirubin direk 0.46 mg/dL (H) 0.45 mg/dL
(H)
Bilirubin indirek 0.87 mg/dL (H) 0.60mg/dL
imunoserologi
Serum Iron 176 mcg/dL (H) 182 mcg/dL
(H)
TIBC 180 mcg/dL (L) 182 mcg/dL
(L)
Saturasi Transferin 98% (H) 100% (H)
Ferritin 1743 ng/dL (H) 1575 ng/dL
(H)
Anti HIV Non reaktif Non reaktif

Gula darah
sewaktu
98 mg/dL 113 mg/dL
Elektrolit
Natrium - 140mEq/L
Kalium - 3.5mEq/L
Klorida - 100mEq/L


Hepatitis Marker 31/7/09 14/8/14
HbsAg negatif 0.700
Anti HBs - 82.2 IU/L (H) reaktif
Anti HBc total positif
Anti HCV negatif 0.11 non reaktif

21/10/10
FSH 0.8 mIU/mL (L) 1.5-12.4
LH 0.3 mIU/mL (L) 1.7-8.6
Ca 8.9 mg/dL 8.4-10.2

Pemeriksaan morfologi darah tepi (31 Juli 2009)
Eritrosit : Mikrositik hipokrom
Leukosit : Jumlah kurang, morfologi normal
Trombosit : Jumlah normal, morfologi normal
Kesan : Anemia mikrositik hipokrom dengan leukopenia

Ultrasonografi
(Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 31 Mei 2005)
Hepar:
Hati membesar, permukaan rata, tepi tajam,
sudut tumpul
Ekoparenkim homogen, normal
Tak tampak lesi fokal
Vena hepatika, vena porta tidak melebar
Vesika felea:
Dinding rata, tipis, tak tampak kelainan di
dalamnya
Saluran bilier normal
Lien:
Membesar dengan ukuran 12.3 x 5.15 cm, tepi
dan permukaan rata, ekodensitas meningkat, tak tampak
lesi fokal, tak tampak pelebaran vena lienalis
Kesan: Hepatosplenomegali non spesifik

1.4.2 Pemeriksaan Analisis Hb
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 3 November 1998

HbA
2
2.6% <3.5%
HbF 12.6% <2%
Analisa Hb A, F

Kesimpulan: Thalassemia mayor
1.4.2 Pemeriksaan Usia Tulang
(Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2010)












Rentang umur tulang: 2 tahun (11 tahun 15 tahun)
Umur tulang sesuai dengan anak lelaki umur 8 tahun
Bone modelling normal
Prediksi tinggi akhir 75.6%
Osteoporosis positif
Kesan:
1. Retarded boy
2. Osteoporosis positif

I.5 DAFTAR MASALAH
1. Thalassemia mayor
2. Osteoporosis
3. Iron overload
4. Infeksi hepatits B lama
5. Short stature

I.6 TATALAKSANA
Rencana terapi:
Transfusi PRC golongan darah A [Rh+] Leukodepleted 600 ml
Asam folat 2x5 mg per oral
Vit. E 2x 200 IU per hari
Deferiprone 4-3-3 tablet

Rencana pemeriksaan:
Evaluasi untuk kemungkinan komplikasi:
Foto thoraks, MRI, echocardigrafi
Periksa kadar Ferritin, TIBC, SI setelah transfusi darah
Gula darah puasa/PP, elektrolit
Monitor tanda vital dan reaksi transfusi saat 15 menit pasca transfusi dan setelah
selesai transfusi

Rencana edukasi:
Edukasi mengenai keadaan dan penyakit, semua komplikasi yang mungkin terjadi,
serta bagaimana cara penanganannya
Edukasi untuk rajin kontrol
Pemantauan lebih lanjut :
o Pemeriksaan darah lengkap setiap bulan
o Pemeriksaan kadar feritin setiap 3 bulan
o Permeriksaan terhadap efek samping besi (demam, sakit perut, sakit kepala,
gatal)
o Konsultasi genetik
o Memantau tumbuh kembang dan pubertasnya
o Pemantauan terhadap jantung, hati, endokrin, dan fraktur patologis.

I.7 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanasionam : dubia ad malam



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hematopoiesis
1

Karakteristik dari sistem hematopoiesis adalah pergantian sel yang konstan untuk
mempertahankan jumlah leukosit, trombosit, dan eritrosit.
Sistem hematopoietik dibagi menjadi 3 :
1. Stem sel, merupakan sel progenitor awal yang menyokong hematopoiesis.
Sel ini merupakan sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi beberapa
turunan, melakukan pembelahan, dan memproduksi stem sel sendiri dalam
pengaruh faktor hematopoietik.
2. Colony Forming Unit merupakan pelopor yang akan berkembang dan berdiferensiasi
dalam memproduksi sel.
3. Faktor regulator, dimana faktor ini mengatur keteraturan sistem hematopoiesis.
Sistem hematopoiesis membutuhkan perangsang dalam pertumbuhan granulosit dan
makrofag yaitu Colony Stimulating Factor yang merupakan sebuah glikoprotein.

Gambar 1. Hematopoiesis

Hematopoiesis dibagi dalam 3 periode besar:
1. Hematopoiesis yolk sac
2 -3 minggu setelah feritilisasi, mulai sel darah mulai dibentuk dari jaringan
mesenkim. Awalnya, dibentuk dalam pulau-pulau darah atau blood island yang
adalah awal dari sistem vaskular dan hematopoiesis. Saat masa gestasi 16 hari,
eritrosit dan megakariosit mulai dapat ditemukan.
Sel-sel induk hematopoiesis memiliki respon terhadap faktor-faktor
pertumbuhan seperti eritropoietin, IL-3, IL-6, dan faktor stem sel. Sel induk
hematopoiesis mulai ada dalam hepar janin pada usia gestasi 5 6 minggu dan
pada usia 8 minggu blood island mulai regresi.
2. Hematopoiesis hati (definitif)
Perubahan tempat hematopoiesis ini berhubungan dengan regulasi
perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi sitokin, serta ekspresi pada
reseptor. Usia gestasi 9 minggu, hematopoiesis mulai dibentuk dalam hati,
terutama eritropoiesis, namun granulosit dan trombosit masih ditemukan. Puncak
hematopoiesis dalam hati hingga usia gestasi 4 5 bulan lalu mengalami regresi
perlahan. Pada pertengahan kehamilan, hematopoiesis mayoritas terjadi di limpa,
timus, kelenjar limfa, dan ginjal.
3. Hematopoiesis medullar
Sejak usia gestasi 4 bulan, hematopoiesis terjadi di medullar. Ruang ini
terbentuk dalam tulang rawan serta tulang panjang dengan proses reabsorpsinya.
Mulai usia gestasi 32 minggu hingga lahir, rongga sum-sum tulang diisi jaringan
hematopoietik aktif dan penuh berisi sel darah. Selanjutnya proses hematopoiesis
diambil alih oleh sumsum tulang, hepar sudah tidak berfungsi sebagai pembuat sel
darah lagi. Sel mesenkim yang memiliki kemampuan untuk membentuk sel darah
merah menjadi kurang, namun tetap ada di sum-sum tulang, hati, limpa, KGB, dan
dinding usus yang dikenal sebagai sistem retikuloendotelial.
Hematopoiesis aktif pada bayi dan anak terutama di sum-sum tulang termasuk
bagian distal tulang panjang. Berbeda dengan dewasa yang terbatas pada vertebra,
sternum, costae, pelvis, skapula, dan tengkorak. Pada masa intra uterin, baik
skeletal maupun ekstraskeletal sama-sama aktif, namun pada waktu lahir
hematopoiesis terutama pada skeletal. Hematopoiesis ekstramedullar terutama
pada organ abdomen, terjadi akibat penyakit yang menyebabkan gangguan
produksi satu atau lebih sel darah, termasuk thalassemia.

Hemoglobin
Hemoglobin merupakan kompleks protein tetramer (yng terdiri atas 4 rantai
polipeptida), yang terdiri atas heme yang mengandung besi dan globin. Interaksi antara heme
dan globin membuat hemoglobin merupakan molekul ireversibel untuk mengikat oksigen.
Sama dengan hematopoiesis, pembentukan hemoglobin pun memiliki variasi. Sejak embrio
hingga dewasa, eritrosit memiliki 6 hemoglobin:
Hemoglobin embrional : Gower-1 (zeta2 epsilon2), Gower-2 (alfa2 epsilon2),
dan Portland (zeta2 gamma2)
Hemoglobin fetal : Hb-F (alfa2 gamma2)
Hemoglobin dewasa : HbA (22) dan HbA2 (22)

Gambar 2. Struktur hemoglobin

Gambar 3. Sintesis hemoglobin sesuai usia
Pada tahap perkembangan hemoglobin manusia dimulai dengan pembentukan Hb
Gower-1 (dalam 2 minggu usia gestasi) kemudian mulai disintesis rantai alfa mengganti zeta,
gamma mengganti epsilon dan terbantuk Hb Gower-2 yang bekerja sama dengan Hb Portland
dalam masa transisi menuju Hb. Semua Hb tersebut disintesis dalam yolk sac. Perpindahan
eritropoiesis ke hati diikuti dengan mulainya sintesis rantai beta. Sejak usia 8 minggu 6
bulan HbF merupakan Hb paling dominan, berkurang bertahap pada saat lahir, dan saat usia 6
12 bulan hanya sedikit ditemukan. Perubahan utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin
dewasa terjadi 3-6 bulan setelah kelahiran. Terjadi penurunan kadar Hb F mulai bayi berumur
20 minggu post partum.
Oksigen dalam tubuh ada 2 bentuk, yaitu: oksigen fisik yang terlarut dalam darah dan
oksigen terikat secara kimia oleh hemoglobin. Dikarenakan kelarutan oksigen dipengarugi
oleh tekanan parsial O2 dan suhu, dimana hal itu merupakan factor yang sangat berubah-ubah
sehingga untuk memenuhi kebutuhan O2 dalam jumlah besar dibutuhkan mekanisme lain
yaitu oksigen terikat secara kimia. Hal ini dilakukan oleh hemoglobin dimana terjadi ikatan
antara oksigen dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin. Pengikatan O2 oleh hemoglobin
khususnya dilakukan oleh besi. Hemoglobin terdiri atas hemoglobin normal dan hemoglobin
patologis. Hemoglobin normal diantaranya, yaitu: HbA, HbA2, Hb F, Hb Gowers, Hb
Portland. Hemoglobin patologis merupakan akibat dari adanya kelainan sintesis hemoglobin.
Hemoglobin patologis tersebut adalah :
Hb H: hemoglobin tetramer beta () yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
Hb Barts: hemoglobin tetramer gamma () yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
HbA1c: hemoglobin A terglikasi, terdapat satu heksosa pada terminal N rantai ,
konsentrasi meninggi pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik.
Hb anti-Leopore : hemoglobin crossover abnormal yang sama dengan Hb Leopore
tetapi rantai non- bergabung dengan konfigurasi yang berlawanan dengan Hb
Leopore (rantai pada terminal N dan rantai pada terminal C).
Hb Leopore : Hb crossover abnormal dengan rantai normal dan dua rantai globin
yang memiliki bagian rantai pada terminal N dan rantai pada terminal C.
Hb C : hemoglobin abnormal dimana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi
enam rantai .
Hb D : hemoglobin abnormal yang ditandai oleh mobilitas elektroforetik yang sama
dengan Hb S pada kertas atau selulosa asetat.
Hb E : hemoglobin abnormal di mana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi
26 rantai .
Hb S : hemoglobin abnormal di mana valin menggantikan asam glutamate pada posisi
enam rantai . Keadaan homozigot mengakibatkan anemia sickle cell dan heterozigot
asimptomatik: sickle cell trait
Maturasi atau pematangan akhir eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 (sianokobalamin) dan
asam folat. Kedua unsur tersebut penting untuk sintesis DNA, karena sianokobalamin dan
asam folat tersebut dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah satu blok
pembangun penting dari DNA. Oleh karena itu, kurangnya sianokobalamin atau asam folat
dapat menyebabkan penurunan DNA sehingga dapat terjadi kegagalan pematangan dan
pembelahan inti. Sel-sel eritroblastik pada sumsum tulang akan gagal berproliferasi secara
cepat sehingga mengakibatkan ukuran sel lebih besar dari normal. Masa hidup eritrosit pada
umumnya selama 120 hari. Sebagian besar eritrosit mengakhiri hidupnya di limpa
dikarenakan jaringan kapiler organ ini sempit sehingga sel menjadi rapuh dan pengeluaran
eritrosit usang pada hati oleh mekanisme makrofag. Dalam limpa, sebelum eritrosit masuk ke
dalam sinus limpa, eritrosit harus melewati bagian pulpa limpa dimana eritrosit akan diperas
sehingga sel-sel eritrosit tersebut akan rapuh karena trauma tersebut. Proses destruksi eritrosit
terjadi secara normal setelah masa hidup eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses ini terjadi
melalui mekanisme yang terdiri atas:
1. Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian membrane
eritrosit sehingga menyebabkan isi sel keluar termasuk hemoglobin.
2. Lisis Osmotik
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya kecenderungan mendorong
air dan Na dari daerah konsentrasi tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi
air rendah di plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih tinggi). Sehingga protein
plasma dapat dianggap menarik air ke dalam plasma. Hal ini dapat mengakibat lisis
eritrosit yang disebabkan efek osmotik.
3. Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan oleh monosit,
neutrofil, makrofag. Fagositosis eritrosit ini terutama terjadi pada eritrosit yang
dilapisi antibody. Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya AutoImun
Hemolitic Anemia (AIHA).
4. Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9). Sitolisis ini
meruapakan indikator Paroxysimal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
5. Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap membentuk Heinz bodies. Eritrosit
dengan Heinz bodies akan cepat didestruksi oleh limpa. Heinz bodies melekat pada
membran permeabilitas membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga.

Destruksi Eritrosit
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan
destruksi patologis disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dapat juga terjadi
ekstravaskuler, terutama dalam sistem retikuloendotelial yaitu lien dan hati.
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-
komponen hemoglobin menjadi :
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat
dipakai kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi 2:
a. Besi: yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai kembali.
b. Bilirubin: yang akan diekskresikan melalui hati dan empedu.
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis.
Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum
masa hidup rata-rata eritrosit yaitu 120 hari) sehingga menyebabkan terjadinya pelepasan
hemoglobin dan isi sel lainnya dari eritrosit. Hemolisis ini menyebabkan terjadinya kerusakan
eritrosit lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Proses
hemolisis ini akan menimbulkan penuruanan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan
anemia, peningkatan pemecahan eritrosit dalam tubuh, dan kompensasi sumsum tulang untuk
meningkatkan eritropoesis. Anemia ini dapat disebabkan oleh adanya defek molekuler
(hemoglobinopati atau enzimopati), abnormalitas struktur dan fungsi-fungsi membran, dan
faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.
Secara etiologi, anemia hemolitik dikelompokkan menjadi:
1. Anemia hemolitik herediter
a. Defek enzim/Enzimopati
Defek jalur Embden Meyerhof (defisiensi piruvat kinase, glukosa fosfat
isomerase, fosfogliserat kinase)
Defek jalur heksosa monofosfat (defisiensi G6PD (glukosa 6 fosfat
dehidrogenase, defisiensi glutation reduktase)
b. Hemoglobinopati
1. Thalassemia
2. Anemia sickle cell
3. Hemoglobinopati lain seperti heterozigot ganda (thalassemia-Hb E)
c. Defek membran (membranopati): Sferositosis herediter, eliptositosis herediter,
stomatositosis herediter.
2. Anemia Hemolitik Didapat
a. Anemia hemolisis imun: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun,
infeksi, transfusi.
b. Mikroangiopati: Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik
Hemolitik (SUH), Disseminated Intravascular Coagulation/DIC, preeclampsia,
eklampsia, hipertensi maligna.
c. Infeksi: malaria.

Thalassemia
1

Thalassemia adalah gangguan pembuatan (berkurang atau tidak disintesisnya)
hemoglobin yang di turunkan secara autosomal resesif.

Kontrol genetik sintesis hemoglobin
Ada beberapa jenis hemoglobin yang disesuaikan dengan kebutuhan oksigen selama
masa pertumbuhan, mulai embrio, fetus sampai dewasa. Hb memiliki bentuk tetrametrik yang
sama, terdiri atas 2 pasang rantai globin yang terikat dengan heme. Hemoglobin fetus dan
(HbF,
z bersama rantai , menjadi Hb Portland (22)
atau dengan rantai e menjadi Hb Gower 1 (22), sedangkan rantai a dan membentuk Hb
-macam, ada 2 macam rantai yang berbeda
pada asam amino no.136, glisin atau alanin. Disebut rantai G dan rantai A, keduanya
diproduksi oleh lokus gen yang berbeda.
Perkembangan dari embrio, fetus dan dewasa mengubah produksi hemoglobin sesuai
dengan organ hematopoiesis saat itu. Regulasi dari perubahan tersebut masih belum
diketahui, diduga LCR secara bergantian mempengaruhi , dan juga rantai pada waktu
yang berbeda sesuai masa pertumbuhan. Bagaimana ini terjadi masih belum jelas, diduga
DNA-binding protein tertentu yang mempengaruhi aktivasi dan represi gen tertentu sesuai
masa pertumbuhan.

Klasifikasi
1

Thalassemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat
pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan
produksi rantai globin. Ada 3 tingkat klasifikasi thalassemia. Secara klinis bisa dibagi
menjadi 3 grup:
1. Thalassemia mayor yang sangat bergantung pada transfusi
2. Thalassemia minor/karier tanpa gejala
3. Thalassemia intermedia
Klasifikasi ini memiliki implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan.
-, -, atau -
sesuai dengan rantai globin yang berkurang produksinya. Pada beberapa thalassemia sama
sekali tidak terbentuk rantai globin disebut
dimana terjadi gangguan pada rantai dan .
Seringkali gen thalassemia diturunkan dari satu orang tua dan gen varian hemoglobin
dari orang tua lainnya. Selain itu, mungkin pula didapatkan thalassemia-
Interaksi dari beberapa gen ini menghasilkan gambaran klinis yang bervariasi mulai dari
kematian dalam rahim sampai sangat ringan.
Thalassemia diturunkan berdasarkan hukum Mendel, resesif atau ko-dominan.
Heterozigot biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot gejalanya lebih berat


Distribusi
1,5

Penyebaran penyakit thalassemia mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua
(sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan,
Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia dengan kisaran prevalens
thalassemia sebesar 2,515%. World Health Organization (WHO) pada tahun 1994
menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total
penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot). Dari jumlah tersebut sebanyak
80-90 juta adalah pembawa sifat thalassemia dan sisanya adalah pembawa sifat thalassemia,
jenis lain pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain. Saat ini
sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan ini.
Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan. Angka pembawa sifat thalassemia- adalah 3-5%, bahkan di beberapa daerah
mencapai 10%, sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-36%. Berdasarkan
hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka kelahiran dan jumlah penduduk
Indonesia, diperkirakan jumlah pasien thalassemia baru yang lahir setiap tahun di Indonesia
cukup tinggi, yakni sekitar 2.500 anak. Data Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, mencatat usia tertua pasien mencapai 40 tahun dan bisa
berkeluarga serta memiliki keturunan. Jumlah pasien yang terdaftar di Pusat Thalassaemia,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan bulan Agustus 2009
mencapai 1.494 pasien dengan rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru
terus meningkat setiap tahunnya mencapai 100 orang/tahun.

Patofisiologi
1

Patologi molekular bagaimana ketidakseimbangan rantai globin memengaruhi
kegagalan eritropoiesis dan kecepatan pengerusakan eritrosit, diperlukan untuk memahami
patofisiologi thalassemia.
Thalassemia Beta
Lebih 150 mutasi telah diketahui tentang thalassemia , sebagai besar disebabkan
perubahan pada satu basa, delesi atau insersi 1-2 basa pada bagian yang sangat berpengaruh.
Hal ini bisa terjadi pada intron, ekson ataupu diluar gen pengkode.
Satu subtitusi disebut mutasi non sense menyebabkan perubahan satu basa pada ekson
yang mengkode kodon stop pada mRNA dan membuat terminasi sintesis rantai globin men
jadi lebih pendek dan tidak tahan lama. Satu mutasi lain yang disebut frameshift
menyebabkan 1-2 basa tidak dibaca sehingga menghasilkan kodon stop baru. Mutasi pada
intron, ekson atau perbatasannya, mengganggu pelepasan ekson dari perkusor mRNA.
Misalnya satu substitusi pada GT atau AG pada intron-ekson junction mengganggu
pemisahan, beberapa mutasi pada bagian ini menyebabkan penurunan produksi b globin.
Mutasi pada sekuen ekson menjadi menyerupai intron-ekson junction mengaktivasi
terjadinya pemisahan. Misalnya sekuen yang menyerupai IVS-1 dan kodon 24-27 pada ekson
1 gen globin , mutasi pada kodon 19 (A-G), 26(G-A) dan 27(G-T) menyebabkan penurunan
jumlah mRNA karena splicing abnormal dan subtitusi asam amino pada mRNA normal yang
diterjemahkan menjadi protein. Hemoglobin abnormal yang dihasilkan adalah hemoglobin
Malay, E dan Knossos yang memberikan fenotip thalassemia minor.
Substitusi satu basa juga terjadi pada bagian kosong gen globin . Bila mengenai
bagian promotor, meurunkan jumlah transkripsi gen globin dan menyebabkan thalassemia
minor. Mutasi pada bagian akhir (3) mempengaruhi prosesing mRNA dan menyebabkan
thalassemia mayor.
Karena banyaknya mutasi pada thalassemia , pasien yang nampaknya homozigot
mungkin merupakan heterozigot dari 2 lesi molekuler yang berbeda. Jarang sekali pasien
dengan thalassemia memiliki Hb A2 normal, biasanya hal ini terjadi pada gabungan
thalassemia dan .

Patologi seluler
Meskipun dasarnya ketidakseimbangan produksi rantai globin, konsekuensi kelebihan
dapat membentuk tetramer dan mengendap pada perkusor eritosit. Sedangkan kelebihan
rantai dan , mampu membentuk tetramer yang viable dan membentuk hemoglobin Barts
(4) dan H (4). Perbedaan ini mempengaruhi patologi seluler kelainan ini.
Thalassemia Beta
menyebabkan pengrusakan perkusor eritrosit yang hebat intra moduler. Kemungkinan melalui
proses pembelahannya atau proses oksidasi pada membrane sel perkusor. Eritrosit yang
mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan
oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan
besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada thalassemia disebabkan oleh berkurangnya
produksi dan pemendekan umur eritrosit.
Sebagian kecil perkusor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat rantai ,
menghasilkan HbF extra uterine. Pada thalassemia sel ini sangat terseleksi dan kelebihan
HbF mengikat pada talsemia . seleksi seluler ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF.
Beberapa faktor genetic mempengaruhi respons pembentukan HbF ini. Kombinasi faktor-
faktor ini mengakibatkan peningkatan HbF pada thalassemia . Produksi rantai tidak
terpengaruh pada thalassemia , sehingga HbA2 meningkat pada heterozigot.
Kombinasi anemia pada thalassemia dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas
oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini
mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan tulang,
peningkatan absorpsi besi, metabolism rate yang tinggi dan gambaran kllinis thalassemia
mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa. Juga
diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit di dalam limpa, sehingga
menimbulkan gambaran hiperspelenisme.
Beberapa gejala ini bisa dihilangkan dengan transfusi yang bisa menekan eritropoesis,
tapi akan meningkatkan penimbunan besi. Hal ini bisa dimengerti dengan memahami
metabolisme besi. Di dalam tubuh besi terikat oleh transferin, dalam perjalanan ke jaringan,
besi ini segera diikat dalam timbunan molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak bisa
merusak sel. Pada pasien dengan kelebihan zat besi, timbunan ini bisa dijumpai di semua
miosit dan hepatosit yang bisa merusak. Kerusakan tersebut diakibatkan terbentuknya
hidroksil radikal bebas dan kerusakan akibat oksigen.
Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya radikal bebas. Pada
orang dengan kelebihan besi, transferin menjadi tersaturasi penuh, dan fraksi besi yang tidak
terikat transferin bisa terdeteksi di dalam plasma. Hal ini mengakibatkan terbentuknya radikal
bebas dan meningkatnya jumlah besi di jantung, hati dan kelenjar endokrin. Mengakibatkan
kerusakan dan gangguan fungsi organ.
Gambaran klinis tersebut bisa dikaitkan dengan gangguan produksi globin, dan
kelebihan rantai dan maturasi dan umur eritrosit. Dan akibat penumpukan zat besi akibat
peningkatan absorpsi dan transfusi. Sehingga mudah dimengerti mengapa ada bentukan yang
lebih ringan dari yang lain. Gambaran klinis ini dipengaruhi jumlah ketidakseimbangan rantai
globin. Termasuk thalassemia a, thalassemia b minor dan segresi gen yang mengakibatkan
peningkatan HbF.

Gambaran Klinis
1

Thalassemia Beta
Hampir semua anak dengan thalassemia homozigot dan heterozigot, memperlihatkan
gejala klinis sejak lahir, gagal tumbuh, kesulitan makan, infeksi berulang dan kelemahan
umum. Bayi nampak pucat dan didapatkan splenomegali. Pada stadium ini tidak ada tanda
klinis lain dan diagnosis dibuat berdasarkan adanya kelainan hematologi. Bila menerima
transfusi berulang, pertumbuhannya biasanya normal sampai pubertas. Pada saat itu bila
mereka tidak cukup mendapat terapi kelasi (pengikat zat besi), tanda-tanda kelebihan zat besi
mulai nampak. Bila bayi tersebut tidak mendapat cukup transfusi, tanda klinis khas
thalassemia mayor mulai timbul. Sehingga gambaran klinis thalassemia dapat dibagi
menjadi 2:
Cukup mendapat transfusi
Dengan anemia kronis sejak kanak
Pada anak yang cukup mendapat transfusi, pertumbuhan dan perkembangannya
biasanya normal, dan splenomegali biasanya tidak ada. Nila terapi kelasi efektif, anak ini bisa
mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa secara normal. Bila terapi chelasi tidak
adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukan zat besi. Efeknya mulai nampak pada
akhir dekade pertama. Adolescent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi hati, endokrin
dan jantung akibat kelebihan zat besi mulai nampak. Termasuk diabetes, hipertiroid,
hipoparatiroid dan kegagalan hati progresif. Tanda-tanda seks sekunder akan terlambat atau
tidak timbul.
Penyebab kematian tersering pada penimbunan zat besi ini adalah gejala gagal
jantung yang dicetuskan oleh infeksi atau aritmia, yang timbul di akhir decade kedua atau
awal dekade ketiga. Gambaran klinis pasien yang tidak mendapat transfusi adekuat sangat
berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan sangat terlambat. Pembesaran lien yang progresif
sering memperburuk anemianya dan kadang-kadang diikuti oleh trombositopenia. Terjadi
perluasan sumsum tulang yang mengakibatkan demormitas tulang kepala, dengan zigoma
yang menonjol, memberikan gambaran khas mongoloid. Perubahan tulang ini memberikkan
gambaran radiologis yang khas, termasuk penipisan dan peningkatan trabekulasi tulang-
tulang panjang termasuk jari-jari. Dan gambaran hair on end pada tulang tengkorak. Anak-
anak ini mudah terinfeksi, yang bisa mengakibatkan penurunan mendadak kadar
hemoglobin. Karena peningkatan jaringan eritropoesis, yang tidak efektif, pasien mengalami
hipermetabolik, sering demam dan gagal tumbuh. Kebutuhan folatnya meningkat, dan
kekurangan zat ini bisa memperburuk anemianya. Karena pendeknya umur eritrosit,
hiperurikemi dan gout sekunder sering timbul. Sering terjadi gangguan perdarahan, yang bisa
disebabkan oleh trombositopenia maupun kegagalan hati akibat penimbunan zat besi,
hepatitis virus maupun hemopoesis ekstrameduler. Bila pasien ini bisa mencapai pubertas,
akan timbul komplikasi akibat penimbunan zat besi. Dalam hal ini berasal daru kelebihan
absorpsi di saluran pencernaan. Prognosis pada pasien yang tidak memperoleh transfusi
adekuat, sangat buruk. Tanpa transfusi sama sekali mereka akan meninggal pada usia 2 tahun.
Bila dipertahankan pada Hb rendah selama masih kecil, mereka bisa meninggal karena
infeksi berulang. Bila berhasil mencapai pubertas mereka akan mengalami komplikasi akibat
penimbunan zat besi, sama dengan pasien yang cukup mendapat transfusi tapi kurang
mendapat terapi kelasi. Gangguan pertumbuhan pada thalassemia juga bisia timbul pada
pasien yang cukup transfusi maupun bahan kelasi.
Perubahan Hematologi
Pertama kali datang biasanya Hb berkisar 2-8 g/dl. Eritrosit terlihat hipokromik
dengan berbagai bentuk dan ukuran, beberapa makrosit yang hipokromik, mikrosit dan
fragmentosit. Didapatkan basophilic stippling dan eritrosit berinti selalu nampak di darah
tepi, setelah splenektomi sel-sel ini akan muncul dalam jumlah yang lebih banyak. Hitung
retikulosit hanya sedikit meningkat, jumlah leukosit dan trombosit masih normal, kecuali bila
didapatkan hipersplenisme. Pemeriksaan sumsum tulang memperllihatkan peningkatan
system eritroid dengan banyak inklusi di perkusor eritrosit, yang lebih nampak dengan
pengecatan metal-violet yang bisa memperlihatkan endapan a globin. Kadar HbF selalu
meningkat dan terbagi diantar eritrosit. Pada thalassemia o tidak didapatkan HbA, hanya
HbF dan HbA2. Pada thalassemia - kadar HbF berkisar 20- > 90%. Kadar HbA2 biasanya
normal dan tidak memiliki arti diagnosis. Penelitian in vitro sintesis globin, memperlihatkan

Karier Thalassemia Beta
Hampir tanpa gejala, dengan anemia ringan dan jarang didapatkan splenomegali.
Didapatkan penurunan ringan kadar Hb, dengan penurunan MCH dan MCV yang bermakna.
Hapusan darah memperlihatkan hipokromik, mikrositik dan basophilic stippling dalam
berbagai tingkatan. Pada 4-6% kasus, HbA2 meningkat 2 kali normal, 50% kasus
memiliki kadar HbA2 normal. Penyebab terseringnya adala gabungan dengan kelainan gen
thalassemia . Dalam konseling genetic, keadaan ini harus dibedakan dengan karier

Bentuk intermedia thalassemia beta
Tidak semua thalassemia homozigot dan heterozigot memerlukan transfusi sejak
lahir. Istilah thalassemia untermedia dipakai mulai kondisi yang hamper seberat thalassemia
, dengan anemia berat dan gangguan pertumbuhan, sampai kondisi yag hamper seringan
karier thalassemia , yang hanya bisa diketahui dari pemeriksaan rutin hematologi. Pada
varian yang lebih berat didapatkan gangguan pertumbuhan, perubahan tulang dan gagal
tumbuh sejak awal, penatalaksanaannya tidak dibedakan dengan thalasemia yang tergantung
transfusi
Thalassemia beta dengan varian struktural beta globin
Kelainan ini merupakan gabungan dengan HbS, C dan E.
HbS thalassemia beta
Gambaran klinisnya dipengaruhi gen thalassemia . pada HbS thalassemia o, di
mana HbA tidak diproduksi sulit dibedakan dengan anemia sel sickle. Pada HbS thalassemia
+ di mana produksi rantai normal menurun, didapatkan kadar HbA 5-10% dan sering
memberikan gambaran yang berat. Sedangka pada orang kulit hitam, dengan thalassemia +
ringan, kadar HbA 30-40% didapatkan tampilan yang ringan atau asimtomatis.
Jika dalam bentuk heterozigot ganda:
1. HbC thalassemia beta
Didapatkan di Afrik Barat dan Mediterania, dengan thalassemia ntermedia ringan
dampai sedang. Dapat ditemukan sel target hampir 100% pada darah tepi.
2. Thalassemia beta/HbE
Kondisi ini sering dijumpai di India Timur, Bangladesh, Birma dan Asia Tenggara.
Karena HbE memiliki gambaran kllinis gambaran mirip thalassemia minor, gabungan
heterozigot ini seberat thalassemia homozigot. Banyaknya variasi klinis dalam perjalanan
penyakitnya sulit dijelaskan. Dari yang tergantung transfusi sampai thalassemia intermedia
yang ringan.Komplikasi yang ditimbulkan mirip dengan thalassemia mayor, sedang bentuk
yang lebih ringan memiliki komplikasi seperti thalassemia ntermedia. Gambaran Hbnya
sesuai dengan gen thalassemia . pada HbE thalassemia o, Hb terdiri dari F dan E.
Sedangkan pada HbE thalassemia + didapatkan sejumlah Hb.

Skrining dan Pencegahan
Ada 2 pendekatan untuk menghindari thalassemia :
a. Karena karier thalassemia bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi
dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan.
b. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa
dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan thalassemia berat.
Skrining
Bila populasi tersebut menghendaki pemillihan pasangan, dilakukan skrining
premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program konseling
verbal maupun tertulis mengenai hasil skrining.Alternatif lain adalah memeriksa setiap
wanita hamil muda berdasarkan ras. Skrining yang efektif adalah melalui ukuran eritrosit,
bila MCV dan MCH sesuai gambaran thalassemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur,
biasanya meningkat pada thalassemia . bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang
- n
- -
adalah
dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisis DNA. Penting unutk mememriksa Hb
elektroforesa pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb.
Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk thalassemia, dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Dapat sibuat dengan penelitian sintesis rantai globin pada sampel darah janin
dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini
sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi
chorion (CVS = corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini berisiko
rendah untuk menimbulkan kematian dan kelainan janin.
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang dari 1%.
Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin, non-paterniti, dan
rekombinasi genetic jika menggunakan RELP linkage analysis.

Penatalaksanaan klinis
Thalassemia
Pemberian transfusi darah dan kombinasi dengan terapi agen pengikat (chelating
agent) yang efektif, mampu merubah gambaran anak dengan thalassemia yang berat, tentu
diperlukan biaya yang mahal.
Transfusi sel darah merah
Pemberian transfusi sel darah merah yang teratur, mengurangi komplikasi anemia dan
eritropoiesis yang tidak efektif, membantu pertumbuhan dan perkembangan selama masa
anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup thalassemia mayor. Keputusan unuk
memulai program transfusi didasarkan pada kadar hemoglobin < 6 g/dl dalam interval 1
bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu,
pembesaran limpa dan atau ekspansi sumsum tulang. Penentuan berbasis molekuler dari
thalassemia b yang berat jarang dapat memperkirakan kebutuhan transfusi yang teratur.
Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin
hepatitis B diberikan dan fenotif sel darah merah secara lengkap ditentukan, sehingga
alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi.
Regimen yang digunakan untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin sebelum
transfusi tidak melebihi dari 9,5 g/dl telah menunjukan berupa penurunan kebutuhan transfusi
dan memperbaiki control beban besi tubuh, dibandingkan dengan regimen transfusi dimana
hemoglobin lebih dari 11 g/dl. Regimen transfusi secara individual pada tiap-tiap pasien,
perlu dketahui. Konsentrasi hemoglobin sebelum transfusi, volume sel darah merah yang
diberikan dan besarnya limpa, sebaiknya dicatat pada setiap kunjungan untuk mendeteksi
perkembangan hipersplenisme.
Tipe konsentrat sel darah merah
Penelitian dengan menggunakan neosit atau sel darah merah muda telah menunjukan
ketahanan yang lebih lama, menurunkan kebutuhan masa sel darah merah untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin. Analisis terbaru melaporkan interval sekitar 15%
selama pemberian konsentrat neosit. Meskipun hal ini diperkirakan akan mengurangi hingga
menurunkan kebutuhan terapi pengikat besi, hal ini dapat meningkatkan paparan pada unti
donor dan meningkatkan biaya persiapan sebesar 5 kali lipat dibandingkan konsentrat standar.
Hence mengatakan, penggunaan neosit hanya memberikan keuntungan sedikit pada
tatalaksana jangka panjang pada kebanyakan pasien yang ditransfusi.

Komplikasi Infeksi

Virus hepatitis, HIV
Penyebab kematian tersering pada pasien thalassemia di atas 15 tahun. Kerusakan
hepar yang disebabkan besi, yang berhubungan dengan komplikasi sekunder dari transfusi
dan infeksi virus hepatitis C merupakan penyebab tersering hepatitis pada anak dengan
thalassemia. Angka kejadian yang tinggi dari kegagalan hati dan karsinoma hepatoseluler,
pada pasien yang terinfeksi virus setelah transfusi mendukung penggunaan terapi antivirus
pada pasien thalassemia.
Splenektomi
Dahulu sebagian besar pasien thalassemia berat akan mengalami pembesaran limpa
yang bermakna dan peningkatan kebutuhan sel darah merah setiap tahunnya pada decade
pertama kehidupan. Meskipun hipersplenisme kadang-kadang dapat dihindari dengan
transfusi lebih awal dan teratur, namun banyak pasien yang memerlukan splenektomi.
Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah mencapai 30% pada pasien yang
indeks transfusinya (dihitung dari penambahan PRC yang diberikan selama setahun dibagi
berat badan dalam kg pada pertengahan tahun) melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya
risiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu
sebelum dilakukan splenektomi, pasien sebaiknya di vaksinsi dengan vaksin pneumococcal
dan Haemophlus Influenzae type B dan sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis.

Kelebihan besi
Terapi pengikat besi dengan deferoksamin
Absorpsi deferoksamin secara oral buruk. Setelah lebih dari dua decade, pemberian
jangka panjang intramuscular dilaporkan menimbulkan akumulasi besi secara perlahan dan
penghambatan fibrosis hati pada pasien yang mendapat transfusi, bila deferoksamin diberikan
efektif melalui infuse 24 jam dan selanjutnya 12 jam. Bersamaan dengan studi ini diijinkan
pemberian infuse deferoksamin subkutan selama satu malam emnggunakan pompa portable
yang dapat dibawa ke rumah sebagai metode standar pemberian deferoksamin saat ini.
Thalassemia mayor
Penelitian pada 4 pusat studi di Amerika Selatan pada tahun 1990 menunjukkan
efektifitas penggunaan deferoksamin pada thalassemia mayor berhubungan dengan lamanya
komplikasi timbul kibat kelebihan besi, dengan determinan keluaran klinis besarnya beban
besi tubuh. Sembilan puluh persen pasien tidak mengalami kelainan jantung setelah 15 tahun
terapi. Sebagai perbandingan, pasien dengan besi dalam tubuh sulit terkontrol memiliki nilai
perkiraan bebas kelainan jantung kurang dari 20%.
Laporan mengenai perbaikan kelainan fungsi hati dan berkurangnya fibrosis hati
mendukung manfaat pemberian deferoksamin subkutan yang memberi pengaruh pada hati
pasien thalassemia.
Efektifitas deferoksamin pada pencegahan gangguan pertumbuhan dan disfungsi
gonadal telah dilaporkan secara studi cross sectional pada dewasa muda dengan thalassemia
mayor yang mendapat terapi teratur sejak masa kanak-kanak. Sembilan puluh persen dari
pasien mencapai pubertas normal, sebaliknya hanya 38% pada kelompok kedua yang
mendapat relatif lebih sedikit deferoksamin pada awal umur 10 tahun. Peningkatan fertilitas
dari pria dan wanita dengan thalassemia mayor telah dilaporkan pada decade sebelumnya.
Studi lain juga melaporkan insiden yang tinggi dari disfungsi gonadal dan amenorrhea
sekunder pada remaja dengan thalassemia mayor. Pemberian deferoksamin secara insentif
pada anak sendiri berhubungan dengan perbaikan pertumbuhan linier.
Perbaikan keadaan pasien thalassemia mayor yang menderita gangguan fungsi
jantung, hati dan tiroid yang dipacu besi selama terapi deferoksamin yang intensif, telah
dipelajari. Pada pasien dengan penyakit yang dipacu besi pada fase terminal, transplantasi
jantung atau kombinasi transplantasi jantung dan hati telah terbukti meningkatkan ketahanan
hidup pasien dengan thalassemia mayor. Sebaliknya penanganan gangguan pituitary belum
pernah dilaporkan sebelumnya pada pasien thalassemia, sehingga pencegahan dari
komplikasi ini dengan pemberian deferoksamin yang teratur penting untuk manajemen anak
dengan thalassemia.
Oleh karena besarnya beban besi tubuh merupakan determinan utama untuk outcome
klinis, tujuan utama terapi pengikat besi adalah untuk mengontrol besi tubuh secara optimal.
Ini berarti harus diminimalkan baik risiko komplikasi dan kelebihan besi, maupun efek
samping dari deferoksamin yang akan meningkat bila terjadi penurunan besar dari beban besi
tubuh. Dengan demikian, terapi untuk memenuhi kebutuhan simpanan besi tubuh yang
normal (besi hati mencapai 0,2-1,2 mg/g berat kering jaringan hati), meningkatakan
kemungkinan toksisitas deferoksamin dan tidak diharapkan pada pasien dengan terapi
pengikat besi. Tingkat rendah dari beban besi (sebanding dengan konsentrasi besi hati antara
3,2-7 mg/g berat kering jaringan hati) dapat berkembang pada individu dengan heterozigot
hemokromatosis herediter, suatu kelainan dimana absorpsi besi tidak dapat diatur,
berhubungan dengan harapan hidup normal dan tidak ada kejadian kematian yang dipicu besi
yang terjadi. Sebagai perbandingan, kelainan yang homozigot akan menimbulkan beban besi
tubuh lebih besar (besi hati melebihi 7 mg/g berat kering jaringan hati), meningkatkan risiko
komplikasi kelebihan besi. Akhirnya, pada pasien dengan beban besi tubuh yang lebih besar
(besi hati lebih 15 ml/g berat kering jaringan hati), risiko terjadinya penyakit jantung dan
kematian dini sangat meningkat. Pertimbangan ini menyarankan tujuan konserfatif pemberian
terapi pengikat besi pada pasien thalassemia mayor adalah untuk mempertahankan
konsentrasi simpanan (besi hati sekitar 3,2-7 mg/g berat kering jaringan hati), pada batas
yang ditemukan pula pada pasien heterozigot hemokromatosis herediter yang sehat.
Sesuai dengan keterangan diatas, sebagai tambahan untuk menurunkan simpanan besi
jaringan, penurunan fraksi besi plasma yang tidak terikat transferin (non-transferin-bound
plasma iron) juga merupakan tujuan terapi pengikat besi pada thalassemia mayor. Penurunan
fraksi ini telah ditunjukkan selama pemberian infuse deferoksamin subkutan dan intravena,
setelah konsentrasi sebelum terapi dapat diobservasi.
Pengukuran beban besi tubuh
Penentuan konsentrasi feritin serum atau plasma merupakan cara yang tersering
digunakan untuk estimasi tidak langsung dari simpanan besi tubuh pada penatalaksanaan
pasien dengan terapi pengikat. Konsentrasi feritin plasma sekitar 4000 mg/l menunjukan
batas atas fisiologis dari kecepatan sintesis feritin, kadar yang lebih tinggi, disebabkan
pelepasan feritin dari sel yang mengalami kerusakan, tidak menggambarkan simpanan besi
tubuh secara langsung. Implikasi klinisnya, perubahan konsentrasi feritin serum 4000 mg/l
memiliki relevansi klinis yang terbatas. Interpetasi dari kadar feritin dapat dipengaruhi
berbagai kondisi yang menyebabkan perubahan konsentrasi beban besi tubuh, termasuk
defisiensi askorbat, panas, infeksi akut, inflamasi kronis, kerusakan hati baik akut maupun
kronis, hemolisis dan eritropoesis yang tidak efektif, yang kesemuanya sering terjadi pada
pasien thalassemia mayor. Hence mengatakan, konsentrasi feritin serum bukan merupakan
determinan yang tepat bagi beban besi tubuh dan kepercayaan pada hasil pengukuran dapat
memnyebabkan manajemen yang keliru pada pasien.
Teknik pencitraan termasuk computed tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI) telah digunakan untuk evaluasi simpanan besi jaringan baik secara in vitro
maupun in vivo. MRI dapat mengidentifikasikan keberadaan besi jaringan, dan metode ini
juga potensial digunakan untuk mengetahui simpanan besi dalam jantung. Metode ini juga
telah dinyatakan shahih sebagai pemeriksaan besi jaringan yang secara kuantitatif setara
dengan biopsy jaringan.Pengukuran konsentrasi besi hati merupakan metode yang paling
kuantitatif, spesifik dan sensitive untuk mengukur beban besi tubuh pada pasien thalassemia
mayor. Biopsy hati memberikan hasil terbaik untuk evaluasi akumulasi besi pada hepatosit
dan sel Kupfer, aktifitas inflamasi dan gambaran histology dari hati. Prosedur dibawah arahan
ultrasonografi ini aman pada anak-anak, tanpa komplikasi pada pasien < 5 tahun walaupun
dilakukan > 1000 seri. Biopsy hati sebaiknya dikerjakan untuk penatalaksanaan anak dengan
thalassemia mayor.
Penatalaksanaan terapi pengikat (chelating therapy)
Hanya sedikit pedoman yang digunakan menentukan waktu yang tepat untuk memulai
terapi pengikat besi. Pendekatan yang praktis adalah dengan menentukan konsentrasi serum
feritin setelah pemberian transfusi yang teratur. Berdasarkan nilai tersebut ditentukan kapan
memulai pemberian terapi deferoksamin subkutan malam hari. Sebagaimana penekanan
diatas, percaya pada hasil pengukuran serum feritin saja, dapat menimbulkan
kekurangakuratan mengetahui beban besi tubuh pada pasien. Penulis merekomendasikan
pemeriksaan biopsy hati dengan arahan ultrasonografi, pada semua anak dengan thalassemia
mayor untuk mengetahui konsentrasi besi hati setelah transfusi teratur selama 1 tahun. Bila
kadar besi hati pada batas yang ideal dengan terapi pengikat besi jangka lama, maka terapi
segera dikerjakan. Bila biopsy hati tidak dapat dikerjakan pada awal terapi, pengobatan
dengan deferoksamin subkutan tidak boleh melebihi 2535 mg/kg/24 jam bagi anak,
sebaiknya dimulai 1 tahun setelah transfusi teratur. Dasar dari rekomendasi ini akan
dijelaskan pada bagian berikutnya.

Alternatif terapi dengan infuse deferoksamin subkutan
Kesulitan yang paling sering timbul sebuhungan dengan terapi jangka panjang
deferoksamin subkutan adalah kesulitan pelaksanaan terutama pada remaja. Alternatif yang
dapat diambil untuk mengatasi masalah iritasi jaringan adalah dengan pemberian obat melalui
akses vena yang dapat ditanam (implant). Cara inni menurunkan nyeri local dan iritasi nyeri
local dan iritasi infuse subkutan dan berhubungan dengan cepatnya penurunan total besi
tubuh. Kebutuhan pemberian deferoksamin malam hari berubah dengan regimen ini dan
pelaksanaannya pada pasien tampak membaik.
Pengikat besi aktif secara oral
Mahal dan tidak nyamannya pemberian deferoksamin mendorong penemuan pengikat
besi aktif secara oral. Agen ini merupakan 1,2 dimethyl -3 hydroxypyridin -4-one (deferipron
L1), yang dipatentkan tahun 1982 sebagai alternative deferoksamin untuk pengobatan
kelebihan besi kronis. Efektifitas jangka panjang obat ini sudah dievaluasi menggunakan
determinan kuantitatif dri kadar besi pada hati pada dua penelitian. Namun keduanya
memberikan kesimpulan yang masih dini pada tahun 1996. Pemantauan konsentrasi besi hati
terapi jangka panjang dengan defeeripron ini dilakukan pada pasien secara acak
menggunakan deferipron dan deferoksamin yang telah diberi informasi lebih dahulu
mengenai efektifitas jangka panjang deferipron pada thalassemia mayor. Yang pertama,
konsentrasi besi hati yang melebihi ambang batas berhubungan dengan peningkatan risiko
penyakit jantung dan kematian dini pada pasien sepertiga thalassemia mayor. Setelah 2 tahun
penelitian, bulan Mei 1997 menunjukkan rata-rata peningkatan konsentrasi besi hati
mendekati 50% pada pasien yang diterapi deferipron, namun tidak berbeda secara bermakna
dengan yang diterapi menggunakan deferoksamin.
Hasil ini dikonfirmasikan pada penellitian kohort lain baru-baru ini, di mana
determinan dari besi hati dilakukan setelah 2 sampai 6 tahun terapi, dengan menggarisbawahi
bahwa terapi deferipron jangka panjang tidak dapat member control yang adekuat pada besi
tubuh pada kebanyakan pasien thalassemia mayor. Sehubungan dengan itu, juga telah
ditegakkan adanya komplikasi yang berkait dengan deferipron berupa agranulositosis dan
neutropenia lebih dari 80%. Karena efektifitas yang tidak adekuat dan toksisitas deferipron,
maka evaluasi keseimbangan antara risiko dan manfaat harus lebih hati-hati disbanding
deferoksamin yang aman dan manjur.
Transplantasi sumsum tulang (TST)
Pengobatan thalassemia yang berat dengan transplantasi sumsum tulang allogenik
pertama kali dilaporkan lebih dari satu decade yang lalu, sebagai alternative dari pelaksanaan
klinis standard dan saat ini duterima dalam pengobatan thalassemia . Meskipun
penyembuhan pasien thalassemia adalah dengan TST, prosedur yang optimal untuk seleksi
pasien, waktu yang tepat untuk transplantasi dan regimen yang harus dipersiapkan masih
belum ditentukan dengan jelas hingga saat ini.
Percobaan yang paling ekstensif telah dilaporkan oleh Lucarelli dkk di Italia. Mereka
mengidentifikasikan tiga karakteristik yang bermakna dalam menimbulkan risiko komplikasi
setelah transplantasi allogenik pada pasien thalassemia: tingkatan hepatomegali, adanya
fibrosis portal pada biopsi hati, dan efektifitas terapi pengikat sebelum transplantasi.
Pada pasien dengan satu dari faktor diatas sebelum transplantasi, kejadian survival
bebas sakitnya lebih buruk secara bermakna disbanding pasien tanpa faktor diatas. Pada
pasien yang tidak memiliki faktor tersebut sebelum TST alogenik (didefinisikan sebagai
pasien kelas 1), ketahanan tanpa sakit lebih dari 90%. Sebaiknya pada pasien dengan semua
faktor diatas (pasien kelas 3) hanya 56%. Faktor-faktor ini berkaitan dengan beratnya
kelebhan besi pada saat transplantasi.
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis thalassemia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
Pasien anak lelaki, 16 tahun 6 bulan, datang untuk kontrol rutin ke poli thalassemia.
Pasien memiliki riwayat pucat yang dirasakan ibu sejak usia 5 bulan disertai dengan perut
yang membesar. Pucat dirasakan semakin bertambah dan perut semakin lama semakin besar
ketika pasien berusia 9 bulan disertai dengan adanya demam yang muncul terus-menerus,
suhu tidak terlalu tinggi. Pemeriksaan darah dilakukan pada pasien dan didiagnosis
thalassemia. Pasien rutin kontrol ke poliklinik thalassemia RSCM.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan dengan
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 97x/menit, frekuensi napas 21x/menit dengan suhu
afebris. Pada pemeriksaan fisik umum kepala didapatkan facies Cooley dan kulit
hiperpigmentasi. Didapatkan konjungtiva pucat. Pada pemeriksaan jantung dan paru
didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatosplenomegali.
Pada pemeriksaan antropometri, BB 52 kg, TB 150 cm, LLA 26.5 cm dan dilakukan
pemeriksaan TB/U berdasarkan kurva CDC didapatkan hasil 86% (Height age: 12 tahun 2
bulan). Pasien berada pada persentil < 3 dan digolongkan sebagai short stature. Status gizi
pasien dipertimbangkan karena adanya organomegali, sehingga penentuan status gizi pasien
diperoleh berdasarkan tabel Frisancho dan didapatkan pasien berada di percentil 10 hingga
25. Pasien digolongkan gizi baik.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menegakkan diagnosis thalassemia
meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap khususnya MCV, MCH, MCHC dan RDW.
Diperlukan juga evaluasi sediaan apus darah tepi, badan inklusi HbH dan analisis Hb meliputi
pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar HbA2, HbF.

Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan anemia mikrositik hipokrom.
Pada morfologi darah tepi didapatkan eritrosit mikrositik hipokrom dan leukopenia.
Diperlukan pemeriksaan serum iron, ferritin dan TIBC. Pada pasien ini, hasil pemeriksaan
tersebut tidak diketahui. Pada analisis Hb didapatkan hasil HbA
2
normal dan HbF meningkat
(12.6%) diperoleh kesan thalassemia beta mayor.
Berdasarkan data-data yang didapatkan di atas, dapat ditegakkan diagnosis
thalassemia beta mayor. Pada pasien ini tidak di assess dekompensasi kordis karena tidak
ditemukan klinis yang bermakna pada pasien.











Alur Diagnosis Thalassemia
7


Pemeriksaan tambahan yang harus dilakukan pada pasien ini adalah foto toraks untuk
melihat jantung pasien apakah terjadi kardiomegali, MRI untuk evaluasi simpanan besi
jaringan baik secara in vitro maupun in vivo. MRI dapat mengidentifikasikan keberadaan besi
jaringan, dan metode ini juga potensial digunakan untuk mengetahui simpanan besi dalam
jantung. Pemeriksaan echocardiografi juga perlu dilakukan untuk mengetahui adanya
kardiomiopati.
Perlu dipikirkan komplikasi yang terjadi pada pasien thalassemia. Komplikasi seperti
gagal jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan lainnya umumnya muncul
pada dekade kedua, tetapi dengan tatalaksana yang baik usia pasien dapat diperpanjang.
Komplikasi tersering yang terjadi pada pasien thalassemia adalah iron overload. Diperlukan
pemeriksaan kadar ferritin serum dan saturasi ferritin. Mengingat kadar ferritin pasien yang
sudah diatas 1000 ng/dL, perlu diberikan terapi kelasi besi pada pasien.







Pasien telah diberikan Deferiprone yang diminum tiga kali sehari dengan dosis 75-99
mg/kgBB/hari. Dosis obat setiap kali minum adalah 1250 mg. Saat ini berat badan pasien 52
kg sehingga total dosis yang diperlukan dalam sehari adalah 3750-5148 mg (2.5-4 tablet
setiap kali minum/hari).
Osteoporosis juga merupakan salah satu komplikasi dari thalassemia. Diketahui hasil
pemeriksaan tulang pada pasien menunjukkan adanya osteoporosis. Osteoporosis ini
dipikirkan disebakan karena iron overload. Selain itu, dipikirkan pula penyebab lain
terjadinya osteoporosis karena adanya disfungsi hormon pertumbuhan yang menyebabkan
pubertas pasien terhambat. Didapatkan hasil pemeriksaan pada FSH dan LH rendah. Pasien
saat ini juga didapatkan memiliki perawakan pendek.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada pasien thalassemia meliputi hepatitis dan
HIV, sehingga diperlukan pemeriksaan hepatitis marker berupa HBsAg, anti HCV, anti HBs,
anti HBc total secara berkala. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan HbsAg negatif,
anti HBs negatif anti HBc total positif dan anti HBs negatif.









Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat dipikirkan bahwa pasien pernah terkena infeksi
hepatitis sebelumnya dan dapat dipikirkan pula karena transfusi darah yang rutin
dilakukan pasien.
Tatalaksana yang akan dilakukan pada pasien ini adalah transfusi darah rutin untuk
menjaga kadar Hb tetap > 9 g/dL. Splenoktomi dipertimbangkan bila kebutuhan transfusi
meningkat melebihi batas yang diharapkan. Jumlah PRC yang dibutuhkan dihitung
dengan cara:
deltaHb x 4 x kgBB = (12-10.8) x 4 x 52 = 542 ml ~ 600ml
Selain itu, diberikan Vitamin E pada pasien. Hal ini berguna untuk memperpanjang usia
eritrosit sehingga menurunkan destruksi sel darah merah. Asam folat diberikan untuk
memenuhi kebutuhan yang meningkat untuk maturasi sel darah merah. Obat minum yang
sudah diberikan harus teratur diminum.
Pemberian nutrisi pada pasien adalah :
Ideal body weight x RDA = 41x 50-60 kcal/kgBB = 2050-2460
~ Diperlukan 2100 kcal/hari.
Mengurangi konsumsi sumber besi seperti daging merah, unggas, ikan
Menambah konsumsi bahan makanan yang dapat menghambat absorpsi besi
seperti sereal, teh, kopi, dan produk susu.
Terapi psikososial juga harus diberikan pada pasien ini mengingat pengobatan
thalassemia merupakan pengobatan rutin seumur hidup. Melihat keteraturan pasien ini
kontrol sesuai dengan jadwal, membuat prognosis pada pasien ini dapat dikatakan baik.
Namun, yang harus diperhatikan adalah keteraturan pasien untuk meminum obat oral
sebagai terapi pengurangan besi tubuh. Saat ini belum ditemukan adanya tanda-tanda
kardiomiopati namun harus selalu dipantau. Bila pasien tidak teratur kontrol atau
mendapat transfusi, maka prognosisnya akan menjadi buruk.
Mengingat bahwa Thalassemia merupakan penyakit genetik, diperlukan langkah
pencegahan terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan thalassemia
mayor. Terdapat 2 pendekatan target yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan
retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota keluarga
yang menderita thalassemia mayor. |Sementara pencegahan prospektif dilakukan dengan
skrining dan konseling genetik untuk mengidentifikasi karier thalassemia.
Konseling pada individu/pasangan yang mengidap thalassemia sangat penting karena
adanya implikasi moral dan psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada beberapa
opsi reproduksi. Pilihan yang tersedia tidak mudah, dan mungkin tiap pasangan memiliki
pilihan yang berbeda-beda.

Tabel 4. Beberapa pilihan bagi karier
5



DAFTAR PUSTAKA

1. Permono, H.Bambang. dkk. 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan ke-2.
Badan Penerbit IDAI: Jakarta.p64-84.
2. Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. Hal: 188-202.
3. Cohen, Alan R, et al. 2004. Hematology Thalassemia. New York: American Society of
Hematology. Page: 1234-6.
4. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. Hal: 567-9.
5. Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementriaan Kesehatan Republik Indonesia.
Pencegahan Thalassemia. 2010.
6. Frisancho A.R. 1981. New norms of upper limb fat and muscle areas for assessment
of nutritional status. Am J Clin Nutr 34:2540.
7. Muktiarti, D et al. 2006. Thalassenia alfa mayor dengan mutasi non-delesi heterozigot
ganda. Sari pediatri, Vo. 8, No. 3, p.248.
8. Terpos, E and Voaskaridou, E. 2010. Treatment options for thalassemia patient with
osteoporosis. Ann. N.Y. Acad. Sci. P.237-243

Anda mungkin juga menyukai