Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut dengan pleksus kiesselbach.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.
Epistaksis merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian
telinga hidung dan tenggorokan yang mempengaruhi hingga 60% dari poulasi
dan hanya 6% yang membutuhkan perhatian medis.
(Punagi, 2016)
(Gilyoma dan Chalya, 2011)
Latar Belakang
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan, trauma yang hebat, iritasi
gas, benda asing dan juga trauma pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra juga dapat
menyebabkan epistaksis.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90% dapat berhenti sendiri, namum ada beberapa kasus yang berat dan
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari
asal perdarahan dan menghentikannya, disamping perlu juga menemukan dan
mengobati penyebab yang mendasarinya.
(Sofyan, 2011)
Anatomi Hidung
Hidung Bagian Dalam
• Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung
dinamakan ares, sementara lubang posterior dari
hidung ke nasofaring dinamakan koana.
• Tepat setelah nares, terdapat area kulit yang dinamai
vestibulum dan mengandung vibrissae.
• Permukaan medial tiap ruang hidung dibentuk oleh
septum nasi.
• Ada 3 konvolusi mukosa yang tegas bernama konka ,
dan dinamakan sesuai lokasi yaitu konka inferior,
medialis, superior.
• Diantara konka terdapat lekukan pada dinding
hidung (meatus).
(Bestari, 2012)
Vaskularisasi Hidung
Vena
(Maulida, 2018)
Persarafan Hidung
Fungsi Penghidu
Reseptor olfaktorius berada di atap rongga hidung dekat lempeng
cribriform. Reseptor ini mengikat bau yang dibawa ke hidung selama
inhalasi dan mengirim sinyal ke korteks penghidu dan daerah otak lainnya.
(Sherwood, 2013)
Definisi Epistaksis
Epistaksis berasal dari istilah Yunani, epistazein yang berarti perdarahan
dari hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari
vestibulum nasi, kavum nasi atau nasofaring. Epistaksis merupakan suatu
gejala, bukanlah suatu penyakit. Oleh karena itu, sangat penting
menentukan penyebab terjadinya epistaksis.
• Diperkirakan terjadi pada 60% orang di seluruh dunia selama masa hidup mereka dan
sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke pelayanan kesehatan.
• Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10 tahun dan kemudian naik lagi
setelah usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang sedikit terkena dibanding dengan
wanita sampai usia 50 tahun.
• Epistaksis jarang berakibat fatal, kematian di Amerika Serikat sekitar 1 dari 200
kunjungan gawat darurat dan terhitung hanya 4 dari 2,4 juta kematian.
• Pasien dengan usia tua 3 kali lebih mungkin untuk membutuhkan perawatan medis
daripada pasien anak
• Pemeriksaan Laboratorium
• Endoskopi hidung
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah,
perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid
ataupun tuba eustachius.
(Punagi, 2016)
Tatalaksana Epistaksis
2. Cari Sumber Perdarahan
1. Perbaiki Keadaan Umum
• Untuk menghentikan perdarahan maka dicari terlebih
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan dahulu sumber perdarahannya
keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan • Alat yang dibutuhkan diantaranya lampu kepala, spekulum
darahnya. Bila ada kelainan maka dapat diatasi hidung dan alat pengisap
terlebih dahulu misalnya dengan mengatasi jalan • Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk,
napas dengan cara dibersihkan atau diisap dan biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga dapat
memasang infus. dimonitor
• Jika keadaan lemah sebaiknya setengah duduk atau
berbaring dengan kepala ditinggikan
• Cegah darah mengalir ke saluran napas bawah
• Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk,
kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak
Tampon posterior
• Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi • Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis
bergantung pada lokasi epistaksis. eksterna dapat diembolisasi.
• Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi • Dilakukan angiografi preembolisasi untuk
perdarahan, maka kontrol perdarahan semakin mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri
efektif. karotis interna.
• Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri • Embolisasi juga dapat dilakukan pada arteri maxilaris
karotis eksterna, arteri maksila interna atau arteri interna dan externa.
etmoidalis • Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk
menilai tingkat oklusi
• Setelah epistaksis dapat diatasi maka perlu dicari penyebabnya untuk menghindari
berulangnya epistaksis
• Penanganan penyakit yang menjadi penyebab epistaksis seperti hipertensi,
trombositopenia, koagulopati, keganasan, fraktur maksilofasial membantu dalam
penanganan epistaksis dan pencegahan rekurensi
• Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan
ginjal, gula darah, hemostasis, pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai
ada sinusitis
a. Asam Traneksamat
Asam traneksamat merupakan obat golongan anti-fibrinolitik yang bekerja dengan cara mempercepat
proses penggumpalan sarah sehingga epistaksis akan dapat berhenti. Pada epistaksis, asam traneksamat dapat
diberikan 1000-1500 mg setiap 8-12 jam selama 7 hari.
b. Antibiotik
Antibiotik dapat diberikan sebagai profilaksis untuk indikasi setelah pemasangan tampon hidung agar tidak
terjadi infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah amoxicillin-asam clavulanate 250-500 mg, clindamycin
150-300 mg, trimethoprim-sulfamethoxazole atau dapat juga diberikan charithomycin 500 mg.
Komplikasi dapat terjadi adalah infeksi, syok, anemia dan gagal ginjal. Tekanan darah
yang turun secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Saat pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Kateter Folley yang dipompa keras dapat menyebabkan nekrosis
pada mukosa dan septum hidung. Selain itu, dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat
mengalirnya darah melalui tuba Eustachius.
(Punagi, 2016)
Pencegahan Epistaksis
• Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
• Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
• Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
• Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
• Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
• Bersin melalui mulut.
• Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
• Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
• Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
• Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.
(Punagi, 2016)
BAB III
Kesimpulan
Kesimpulan
Epistaksis bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala
dari penyakit. Oleh karena itu, sangat penting mencari penyebab terjadinya
epistaksis. Secara umum penyebab epistaksis dibagi menjadi lokal,
sistemik, faktor lingkungan, obat-obatan dan idiopatik. Epistaksis
berdasarkan lokasinya dibagi menjadi dua yaitu epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Epistaksis anterior bersumber dari pleksus
Kiesselbach (Little’s area) sedangkan epistaksis posterior bersumber dari
pleksus Woodruf’s. Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki
keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan dan cari
faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.
Daftar Pustaka
• Adams, G.L., Boeis, L.R., Higler, P.A., 1997. Epistaksis. Buku Ajar Penyakit THT BOIES edisi 6. Jakarta :EGC. hal. 224-233.
• Andrianto, Petrus, Thaller, Seth R, Granick, Mark S. (1995). Diagram diagnostik penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan . Jakarta: EGC.
• Bestari J Budiman, A. H. (2012). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya? Jurnal Kesehatan Andalas, 75.
• Delfitri Munir, Y. H. (2006). Epistaksis . Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 , 275.
• Dhingra, P. L., Dhingra, S. 2014. Epistaxis in Diseases of Ear, Nose and Throat Head & and Neck Surgery, 4th edn. Elsevier. India,pp: 4-5,
70., 4th edn, Elsevier, India, hal. 176-180
• Freeman S. C., Karp D.A., Kahwaji C.I., 2021, ‘Physiology Nasal’, StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2022
Jan-. Available from: Accessed 15 February 2022, Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526086/.
• Galarza, P. L., Marston, G., Downs, B. W. 2021 ‘Anatomy, Head and Neck, Nose’StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/
• Gilyoma, J. M. & Chalya, P. L. 2011, ‘Etiological profile and treatment outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern
Tanzania: a prospective review of 104 cases’, BMC Ear Nose Throat Disorder, vol. 11, no. 8, [Online], accessed 10 april 2017, Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3175172/#B9
• Husni, T, T.R., Hadi, Z. 2019. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. Jurnal Kedokteran Neggroe Medika. Vol. 2. No. 2.
• Jason, P. W. M., Jill, K. M., Marissa, J. S. D. 2018. ‘Epistaxis: Outpatient Management’. Rutgers University Robert Wood Johnson Medical
School, New Brunswick, New Jersey, vol. 98(98), hal. 240
• Krulewitz, N, A., Fix, M. L. 2019. Epistaxis. Division of Emergency Medicine, University of Utah, USA, hal. 30
• Kunandam, T., Bingham, B. 2016. Epistaxis. Logan Turner’s Diseases Of The Nose Throat and Ear Head and Neck Surgery. ed. Hussain S.
CRC press. London.
Daftar Pustaka
• Lubis, B., Saragih, R. A. C. 2007. ‘Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak’. Sari Pediatri, vol. 9, pp. 75-76
• Maulida A. R., Dewi A. M. K., dan Naftali Z., 2018, 'Perbandingan Efektivitas Irigasi Hidung Dengan Spuit dan Nasal Wash Bottle
Terhadap Derajat Sumbatan Hidung: Studi Pada Petugas Gerbang Tol'. Jurnal Kedokteran Diponegoro, vol.7, no. 2, pp.1542-1553
• Netter, F. H. 2011, Atlas of Human Anatomy. 5 ed, hal .36.
• Netter, F. H., 2016, Atlas Anatomi Manusia, Singapore : Elsevier.
• Pallin, D. J, Chng, Y. M., McKay, M. P, et al. 2005. ‘Epidemiology of epistaxis in US emergency departments’. Ann Emerg Med, vol. 46,
pp.77–81
• Paulsen, F., Waschke, J., 2012. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia, 23rd ed. Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta
• Punagi, A. Q. 2016. Epistaksis. Sistem Trauma dan Kegawatdaruratan. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, hal. 1-30
• Quoc A Nguyen, MD. 2022. Epistaxis. Medscape [Internet]. Medscape Publishing: 2022 April. Available from: Accessed 15 February 2022,
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview
• Sherwood, L. 2013. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
• Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RS. 2007. Hidung. Dalam: Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Retno, S. W. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. hal. 118-122.
• Sofyan, F. 2011, ‘Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal’, Repository USU, Accessed 25 January 2022, Available at
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/28893/Anatomi%20hidun
• Swift, A. C., Bleier,B. S., Bhalla, R. K., Schlosser, R. J. 2013. Epistaxis: etiology,investigation and management. In Rhinology and skull
base surgery from lab to the opening room: an evidence based approach. Thieme Medical publisher, New York,USA, hal. 507-523
• Tabassom A, Cho JJ. 2021. Epistaxis. Statpearl [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2022, 18 Sept. Available from:
Accessed 15 February 2022, Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK435997/
Daftar Pustaka
• Teuku Husni T. R., Z. H., 2019. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala, RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis, juni, 2(2), pp. 26-31.
• Viewhug, T. L., Jhon, B. R. 2006. Epistaxis : Diagnosis and Treatment. USA: American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons,pp.
511-8
• Viljoen, J. 2003, ‘Epistaxis in children: approach and management: main topic’, CME: Your SA Journal of CPD, vol.21, no. 11, pp.664-
669.
• Womack JP, Jill K, Stabile MJ. Epistaxis: Outpatient Management. American Family Physician. 2018; 98(4): 240-245. PMID: 30215971