Anda di halaman 1dari 40

EPISTAKSIS

Siti Maghfirah 210131173


PENYUSUN : Ziqka Afriza Zuzafni 210131252

PEMBIMBING : Dr. dr. Yuliani M. Lubis Sp. T.H.T.K.L


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
D E PA R T E M E N I L M U K E S E H ATA N T E L I N G A H I D U N G T E N G G O R O K
R U M A H S A K I T U M U M P U S AT H A J I A D A M M A L I K M E D A N
R U M A H S A K I T U N I V E R S I TA S S U M AT E R A U TA R A
FA K U LTA S K E D O K T E R A N U N I V E R S I TA S S U M AT E R A U TA R A
MEDAN
2022
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang

Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut dengan pleksus kiesselbach.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.
Epistaksis merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian
telinga hidung dan tenggorokan yang mempengaruhi hingga 60% dari poulasi
dan hanya 6% yang membutuhkan perhatian medis.

(Punagi, 2016)
(Gilyoma dan Chalya, 2011)
Latar Belakang
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan, trauma yang hebat, iritasi
gas, benda asing dan juga trauma pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra juga dapat
menyebabkan epistaksis.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90% dapat berhenti sendiri, namum ada beberapa kasus yang berat dan
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari
asal perdarahan dan menghentikannya, disamping perlu juga menemukan dan
mengobati penyebab yang mendasarinya.

(Delfitri Munir, 2006)


(Punagi, 2016)
Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam


mengenai epistaksis. Selain itu, makalah ini juga berperan sebagai syarat
kelengkapan tugas Program Pendidikan dan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan.
Manfaat

Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan


pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis mengenai epistaksis
sehingga dapat meningkatkan kualitasnya sebagai seorang tenaga kesehatan
yang menangani secara holistik.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Anatomi Hidung

Hidung Bagian Luar


• Disebut nasal pyramid karena bila
diproyeksikan dari depan menyerupai pyramid
triangular
• Adapun bagian-bagiannya dari atas ke bawah
adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung
(dorsum nasi), puncak hidung (apeks/tip), ala
nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares
anterior/nares eksterna). • Bagian atas yang berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian bawah
berupa sudut bebas disebut apeks atau up, serta bagian yang menghubungkan
keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung disebut nasafacial
angels, sedangkan bagian yang berhubungan dengan bibir atas disebut naso
labial sulcus. Kedua ala dan septum mengapit kedua lubang hidung luar.
Bagian hidung yang berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan
bagian yang berhubungan dengan belakang disebut nares posterior.
(Sofyan, 2011)
Anatomi Hidung
Hidung Bagian Luar
• Kerangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat
serta beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
• Bagian tulang biasanya sempit dan tebal di bagian
atas, tetapi lebih lebar di bagian bawahnya, terdiri
dari tulang hidung (os nasalis), prosessus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontalis.
• Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior, beberapa pasang kartilago alar minor dan
tepi anterior septalis/kuadrangularis.

(Sofyan, 2011)
Anatomi Hidung
Hidung Bagian Dalam
• Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung
dinamakan ares, sementara lubang posterior dari
hidung ke nasofaring dinamakan koana.
• Tepat setelah nares, terdapat area kulit yang dinamai
vestibulum dan mengandung vibrissae.
• Permukaan medial tiap ruang hidung dibentuk oleh
septum nasi.
• Ada 3 konvolusi mukosa yang tegas bernama konka ,
dan dinamakan sesuai lokasi yaitu konka inferior,
medialis, superior.
• Diantara konka terdapat lekukan pada dinding
hidung (meatus).

(Adrianto et al, 1995)


Vaskularisasi Hidung
Arteri
• Hidung diperdarahi oleh pembuluh darah utama yang
berasal dari arteri karotis interna dan eksterna. Arteri
opthalmika merupakan percabangan dari arteri
karotis interna yang bercabang lagi menjadi arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Pada bagian
medialnya melintasi bagian atap hidung untuk
memperdarahi bagian superior dari septum hidung
dan dinding lateral hidung.

• Terjadi anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri


palatina mayor, arteri ethmoidalis anterior dan arteri
labialis superior pada bagian anterior septum hidung
yang membentuk plexus kiesselbach atau sering juga
disebut little’s area.

(Bestari, 2012)
Vaskularisasi Hidung
Vena

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan


berjalan bersamaan dengan arterinya. Aliran darah balik
dari hidung dialirkan melalui pembuluh v. ethmoidalis
anterior dan posterior menuju v. sfenopalatina lalu ke
pleksus pterygoideus dalam fossa infratemporalis yang
akhirnya bermuara pada sinus kavernosus. Karakteristik
vena yang tidak memiliki katup merupakan salah satu hal
yang dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi ke
intrakranial

(Maulida, 2018)
Persarafan Hidung

• Mukosa hidung mendapatkan persarafan


sensorik dari cabang-cabang n. trigeminus yaitu
n. oftalmikus dan n. maksilaris.
• Nervus olfaktorius memegang peranan dalam
fungsi menghidu. Serabut sarafnya berasal dari
bulbus olfaktorius di otak dan turun ke kavum
nasi melalui lamina kribosa. Saraf ini
mempersarafi sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius yang terletak di sepertiga
atas hidung.
• Persarafan lain yang penting pada hidung ialah
nervus fasialis yang mempersarafi otot-otot
hidung dan saraf penciuman, yang bertanggung
jawab atas indera penciuman

(Galarza et al, 2021).


Fungsi Hidung
Fungsi Respirasi Fungsi Fonetik
Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, Untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi, maka
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke diperlukan resonansi oleh hidung. Sumbatan hidung akan
arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar
arkus. suara sengau (rhinolalia). Contohnya saat pembentukan konsonan m,
n dan ng.
Fungsi Pertahanan
Sekresi lendir menjebak partikel dan antigen yang dibawa ke dalam sistem Refleks Nasal
pernapasan selama proses inhalasi. Patogen akan terikat oleh dimer IgA Saat terjadi iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
sekretori. Sekresi lendir juga mengandung IgE untuk respon alergi serta dan napas berhenti. Reseptor refleks pada mukosa hidung
juga terdapat flora normal di hidung. berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan.

Fungsi Penghidu
Reseptor olfaktorius berada di atap rongga hidung dekat lempeng
cribriform. Reseptor ini mengikat bau yang dibawa ke hidung selama
inhalasi dan mengirim sinyal ke korteks penghidu dan daerah otak lainnya.

(Soejipto et al., 2007), (Freeman et al., 2021)


Fisiologi Penghidu

Lokasi dan struktur sel reseptor olfaktorius


Mekanisme penghidu di bulbus olfaktorius

(Sherwood, 2013)
Definisi Epistaksis
Epistaksis berasal dari istilah Yunani, epistazein yang berarti perdarahan
dari hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari
vestibulum nasi, kavum nasi atau nasofaring. Epistaksis merupakan suatu
gejala, bukanlah suatu penyakit. Oleh karena itu, sangat penting
menentukan penyebab terjadinya epistaksis.

(Kunandam & Bingham, 2016), (Adam et al., 1997)


Epidemiologi Epistaksis

• Diperkirakan terjadi pada 60% orang di seluruh dunia selama masa hidup mereka dan
sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke pelayanan kesehatan.
• Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10 tahun dan kemudian naik lagi
setelah usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang sedikit terkena dibanding dengan
wanita sampai usia 50 tahun.
• Epistaksis jarang berakibat fatal, kematian di Amerika Serikat sekitar 1 dari 200
kunjungan gawat darurat dan terhitung hanya 4 dari 2,4 juta kematian.
• Pasien dengan usia tua 3 kali lebih mungkin untuk membutuhkan perawatan medis
daripada pasien anak

Pallin et al, 2005)


Etiologi Epistaksis
Lokal Sistemik Obat-obatan
• Hipertensi • NSAIDs (ibuprofen,
• Deviasi septum • Migrain naproxen, aspirin)
• Trauma • Kelainan darah • Antikoagulan (warfarin)
• Infeksi lokal • Kelainan kongenital • Anti agregasi platelet
• Tumor • Infeksi sistemik (clopidogrel)
• Alkoholisme • Topical nasal steroid sprays
• Suplemen / obat alternatif
(vitamin E, ginkgo, ginseng)
• Pengggunaan zat adiktif
Idiopatik
Faktor Lingkungan (cocaine)
Sekitar 10% pasien dengan epistaksis
• Alergi tidak diketahui penyebabnya bahkan
• Cuaca kering setelah dilakukan evaluasi
menyeluruh
(Tabassom & Cho, 2021), (Punagi, 2016),
(Soejipto et al., 2007), (Quoc, 2022), (Kunandam & Bingham, 2016)
Klasifikasi Epistaksis
Epistaksis Anterior Epistaksis Posterior
• Lebih sering • Jarang

• Sebagian besar berasal dari pleksus • Sebagian besar dari bagian


Kiesselbach / little’s area atau bagian posterosuperior rongga hidung/ pleksus
anterior dinding lateral Woodruff's, sering sulit untuk
melokalisasi titik pendarahan
• Sebagian besar terjadi pada anak-anak
atau dewasa muda • Sebagian besar terjadi dewasa >40 tahun

(Krulewitz & Fix, 2019), (Dhingra, 2014)


Patofisiologi Epistaksis

Epistaksis disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di dalam mukosa hidung.


Ruptur dapat terjadi secara spontan, diprakarsai oleh trauma, penggunaan obat-obatan
tertentu, dan/atau sekunder dari komorbiditas atau keganasan lainnya. Peningkatan
tekanan darah pasien dapat meningkatkan durasi episode. Obat antikoagulan, serta
gangguan pembekuan darah, juga dapat meningkatkan waktu perdarahan.

(Tabassom & Cho, 2021)


Patofisiologi Epistaksis
Epistaksis Anterior
PRESENTED BY MARKETING TEAM
• Sebagian besar epistaksis terjadi di bagian anterior hidung (pleksus
Kiesselbach/Little’s area) dan etiologi pembuluh darah biasanya dapat
ditemukan pada pemeriksaan hidung yang cermat.
• Pleksus ini dibentuk oleh percabangan dari arteri karotis interna (arteri
ethmoidal anterior dan posterior) dan arteri karotis eksternal
(sphenopalatina, labial superior dan arteri palatine mayor).
• Epistaksis anterior biasanya ringan dan kebanyakan terjadi pada anak-
anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.

(Tabassom & Cho, 2021), (Soejipto et al., 2007).


Patofisiologi Epistaksis
Epistaksis Posterior
PRESENTED BY MARKETING TEAM
• Perdarahan dari rongga hidung posterior ini biasanya diduga karena
perdarahan dari pleksus Woodruff’s yang merupakan cabang terminal
posterior dan superior dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoidalis
posterior.
• Ini sering sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan perdarahan
dari kedua lubang hidung atau ke nasofaring, di mana ia tertelan atau
batuk, menunjukkan hemoptisis.
• Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi
dan arteriosklerosis karena pecahnya arteri sfenopalatina.

(Tabassom & Cho, 2021), (Soejipto et al., 2007)


Diagnosis Epistaksis
1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik
• Pada saat melakukan anamnesis harus ditanyakan
tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat terjadi • Penilaian tanda tanda vital
perdarahan sebelumnya, ada atau tidaknya
penyakit penyerta dan riwayat pemakaian obat
• Pemeriksaan hidung
obatan seperti warfarin atau aspirin. Harus
diperhatikan jumlah kehilangan darah.
• Kejadian epistaksis kebanyakan terjadi oleh karena • Endoskopi fiberoptik
trauma ringan pada bagian septum anterior hidung
seperti kebiasaan mencongkel hidung oleh karena
itu saat melakukan anamnesis harus menanyakan
kemungkinan-kemungkinan tersebut
• Tanyakan riwayat medis sebelumnya, riwayat
penggunaan obat dan riwayat perdarahan hidung
berulang.

(Womack P jason, 2014).


(Jason et al, 2018)
Diagnosis Epistaksis
3. Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan Laboratorium

• Foto kepala sinus dan CTscan atau MRI

• Pemeriksaan foto kepala

• Endoskopi hidung

Endoskopi pada epistaksis posterior

(Punagi, 2016) (Viewhug & Jhon, 2006)


Diagnosis Banding Epistaksis

Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah,
perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid
ataupun tuba eustachius.

(Punagi, 2016)
Tatalaksana Epistaksis
2. Cari Sumber Perdarahan
1. Perbaiki Keadaan Umum
• Untuk menghentikan perdarahan maka dicari terlebih
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan dahulu sumber perdarahannya
keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan • Alat yang dibutuhkan diantaranya lampu kepala, spekulum
darahnya. Bila ada kelainan maka dapat diatasi hidung dan alat pengisap
terlebih dahulu misalnya dengan mengatasi jalan • Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk,
napas dengan cara dibersihkan atau diisap dan biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga dapat
memasang infus. dimonitor
• Jika keadaan lemah sebaiknya setengah duduk atau
berbaring dengan kepala ditinggikan
• Cegah darah mengalir ke saluran napas bawah
• Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk,
kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak

(Soejipto et al., 2007)


3. Hentikan Perdarahan
a. Penekanan ala nasi b. Vasokonstriktor dan anastesi topikal

• Dilakukan saat darah tidak berhenti dengan


penekanan ala nasi
• Diberikan tampon sementara dengan pemberian
kapas yang telah dibasahi dengan vasokonstriktor
topikal untuk menghentikan perdarahan dan obat
anastesi untuk mengurangi rasa nyeri pada saat
dilakukan tindakan selanjutnya
• Tampon dibiarkan selama 10-15 menit
• Contoh vasokonstriktor topikal ialah 0,05%
Penekanan ala nasi kanan dan kiri selama 5-10 menit. oxymetazoline, 0,5% phenylepphrine
Evaluasi setiap 5-10 menit sekali, apakah perdarahan hydrochloride, 1:1000 epinephrine
sudah berhenti atau belum. • Contoh anastesi topikal ialah 4% lidocaine, 0,1%
epinephrine

(Soejipto et al., 2007)


c. Kauterisasi d. Tampon hidung

• Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach • Tampon Anterior


dapat ditangani dengan kauterisasi kimia Perak Nitrat
(AgNO3) 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau
Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami
perdarahan selama 2–3 detik
• Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum
karena dapat menimbulkan perforasi

Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon Boorzalf.


Tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberi pelumas
vaselin putih (petrolatum) dan asam borat 10%, atau dapat
menggunakan salep antibiotik. Tampon Boorzalf harus
dilepaskan dalam 2 hari untuk mencegah infeksi hidung
sedangkan apabila menggunakan bismuth dan pasta parafin
iodoform dapat dipertahankan sampai 4 hari.

(Husni & Hadi, 2019)


• Tampon Posterior

Tampon posterior

Epistaksis dari bagian posterior dapat dilakukan pemasangan


tampon posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat 3 cm. Pada
tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah
di sisi berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada
perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang
dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring,
Kateter Folley
lalu ditarik keluar dari mulut.
e. Ligasi Arteri f. Embolisasi

• Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi • Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis
bergantung pada lokasi epistaksis. eksterna dapat diembolisasi.
• Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi • Dilakukan angiografi preembolisasi untuk
perdarahan, maka kontrol perdarahan semakin mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri
efektif. karotis interna.
• Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri • Embolisasi juga dapat dilakukan pada arteri maxilaris
karotis eksterna, arteri maksila interna atau arteri interna dan externa.
etmoidalis • Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk
menilai tingkat oklusi

(Krulewitz & Fix, 2019)


4. Mencegah Berulangnya Perdarahan

• Setelah epistaksis dapat diatasi maka perlu dicari penyebabnya untuk menghindari
berulangnya epistaksis
• Penanganan penyakit yang menjadi penyebab epistaksis seperti hipertensi,
trombositopenia, koagulopati, keganasan, fraktur maksilofasial membantu dalam
penanganan epistaksis dan pencegahan rekurensi
• Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan
ginjal, gula darah, hemostasis, pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai
ada sinusitis

(Husni & Hadi, 2019), (Soejipto et al., 2007)


Pengobatan Sistemik Epistaksis

a. Asam Traneksamat
Asam traneksamat merupakan obat golongan anti-fibrinolitik yang bekerja dengan cara mempercepat
proses penggumpalan sarah sehingga epistaksis akan dapat berhenti. Pada epistaksis, asam traneksamat dapat
diberikan 1000-1500 mg setiap 8-12 jam selama 7 hari.

b. Antibiotik
Antibiotik dapat diberikan sebagai profilaksis untuk indikasi setelah pemasangan tampon hidung agar tidak
terjadi infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah amoxicillin-asam clavulanate 250-500 mg, clindamycin
150-300 mg, trimethoprim-sulfamethoxazole atau dapat juga diberikan charithomycin 500 mg.

c. Obat Penyakit Penyerta


Pasien yang memiliki penyakit penyebab dari epistaksisnya dapat tetap diberikan pengobatan. Misalnya
pasien dengan hipertensi dapat diberikan obat anti hipertensi. Jangan berikan obat yang dapat menyebabkan
epistaksis semakin memburuk seperti NSAIDs, anti koagulan, dan anti agregasi platelet.

(Husni & Hadi, 2019), (Soejipto et al., 2007)


Komplikasi Epistaksis

Komplikasi dapat terjadi adalah infeksi, syok, anemia dan gagal ginjal. Tekanan darah
yang turun secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.

Saat pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Kateter Folley yang dipompa keras dapat menyebabkan nekrosis
pada mukosa dan septum hidung. Selain itu, dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat
mengalirnya darah melalui tuba Eustachius.

(Soejipto et al., 2007)


Prognosis Epistaksis

90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien


hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk

(Punagi, 2016)
Pencegahan Epistaksis
• Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
• Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
• Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
• Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
• Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
• Bersin melalui mulut.
• Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
• Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
• Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
• Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.

(Punagi, 2016)
BAB III
Kesimpulan
Kesimpulan
Epistaksis bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala
dari penyakit. Oleh karena itu, sangat penting mencari penyebab terjadinya
epistaksis. Secara umum penyebab epistaksis dibagi menjadi lokal,
sistemik, faktor lingkungan, obat-obatan dan idiopatik. Epistaksis
berdasarkan lokasinya dibagi menjadi dua yaitu epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Epistaksis anterior bersumber dari pleksus
Kiesselbach (Little’s area) sedangkan epistaksis posterior bersumber dari
pleksus Woodruf’s. Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki
keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan dan cari
faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.
Daftar Pustaka
• Adams, G.L., Boeis, L.R., Higler, P.A., 1997. Epistaksis. Buku Ajar Penyakit THT BOIES edisi 6. Jakarta :EGC. hal. 224-233.
• Andrianto, Petrus, Thaller, Seth R, Granick, Mark S. (1995). Diagram diagnostik penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan . Jakarta: EGC.
• Bestari J Budiman, A. H. (2012). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya? Jurnal Kesehatan Andalas, 75.
• Delfitri Munir, Y. H. (2006). Epistaksis . Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 , 275.
• Dhingra, P. L., Dhingra, S. 2014. Epistaxis in Diseases of Ear, Nose and Throat Head & and Neck Surgery, 4th edn. Elsevier. India,pp: 4-5,
70., 4th edn, Elsevier, India, hal. 176-180
• Freeman S. C., Karp D.A., Kahwaji C.I., 2021, ‘Physiology Nasal’, StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2022
Jan-. Available from: Accessed 15 February 2022, Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526086/.
• Galarza, P. L., Marston, G., Downs, B. W. 2021 ‘Anatomy, Head and Neck, Nose’StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/
• Gilyoma, J. M. & Chalya, P. L. 2011, ‘Etiological profile and treatment outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern
Tanzania: a prospective review of 104 cases’, BMC Ear Nose Throat Disorder, vol. 11, no. 8, [Online], accessed 10 april 2017, Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3175172/#B9
• Husni, T, T.R., Hadi, Z. 2019. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. Jurnal Kedokteran Neggroe Medika. Vol. 2. No. 2.
• Jason, P. W. M., Jill, K. M., Marissa, J. S. D. 2018. ‘Epistaxis: Outpatient Management’. Rutgers University Robert Wood Johnson Medical
School, New Brunswick, New Jersey, vol. 98(98), hal. 240
• Krulewitz, N, A., Fix, M. L. 2019. Epistaxis. Division of Emergency Medicine, University of Utah, USA, hal. 30
• Kunandam, T., Bingham, B. 2016. Epistaxis. Logan Turner’s Diseases Of The Nose Throat and Ear Head and Neck Surgery. ed. Hussain S.
CRC press. London.
Daftar Pustaka
• Lubis, B., Saragih, R. A. C. 2007. ‘Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak’. Sari Pediatri, vol. 9, pp. 75-76
• Maulida A. R., Dewi A. M. K., dan Naftali Z., 2018, 'Perbandingan Efektivitas Irigasi Hidung Dengan Spuit dan Nasal Wash Bottle
Terhadap Derajat Sumbatan Hidung: Studi Pada Petugas Gerbang Tol'. Jurnal Kedokteran Diponegoro, vol.7, no. 2, pp.1542-1553
• Netter, F. H. 2011, Atlas of Human Anatomy. 5 ed, hal .36.
• Netter, F. H., 2016, Atlas Anatomi Manusia, Singapore : Elsevier.
• Pallin, D. J, Chng, Y. M., McKay, M. P, et al. 2005. ‘Epidemiology of epistaxis in US emergency departments’. Ann Emerg Med, vol. 46,
pp.77–81
• Paulsen, F., Waschke, J., 2012. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia, 23rd ed. Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta
• Punagi, A. Q. 2016. Epistaksis. Sistem Trauma dan Kegawatdaruratan. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, hal. 1-30
• Quoc A Nguyen, MD. 2022. Epistaxis. Medscape [Internet]. Medscape Publishing: 2022 April. Available from: Accessed 15 February 2022,
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview
• Sherwood, L. 2013. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
• Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RS. 2007. Hidung. Dalam: Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Retno, S. W. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. hal. 118-122.
• Sofyan, F. 2011, ‘Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal’, Repository USU, Accessed 25 January 2022, Available at
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/28893/Anatomi%20hidun
• Swift, A. C., Bleier,B. S., Bhalla, R. K., Schlosser, R. J. 2013. Epistaxis: etiology,investigation and management. In Rhinology and skull
base surgery from lab to the opening room: an evidence based approach. Thieme Medical publisher, New York,USA, hal. 507-523
• Tabassom A, Cho JJ. 2021. Epistaxis. Statpearl [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2022, 18 Sept. Available from:
Accessed 15 February 2022, Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK435997/
Daftar Pustaka
• Teuku Husni T. R., Z. H., 2019. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala, RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis, juni, 2(2), pp. 26-31.
• Viewhug, T. L., Jhon, B. R. 2006. Epistaxis : Diagnosis and Treatment. USA: American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons,pp.
511-8
• Viljoen, J. 2003, ‘Epistaxis in children: approach and management: main topic’, CME: Your SA Journal of CPD, vol.21, no. 11, pp.664-
669.
• Womack JP, Jill K, Stabile MJ. Epistaxis: Outpatient Management. American Family Physician. 2018; 98(4): 240-245. PMID: 30215971

Anda mungkin juga menyukai