Oleh:
Dwiana Kartikawati G991902016
Residen: Pembimbing
Oleh:
Dwiana Kartikawati G991902016
1
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. A
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Tasikmadu, Karanganyar
No. RM : 01486xxx
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 1 Desember 2019
Tanggal pemeriksaan : 2 Desember 2019
B. Data Dasar
Autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Flamboyan 8
Kamar 806C RSUD DR. Moewardi, Surakarta.
1. Keluhan Utama
BAB cair sejak 2 hari SMRS.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan BAB cair sejak 2 hari SMRS. BAB
konsistensi cair berwarna cokelat kekuningan, sehari 5-6 kali masing-
masing sebanyak ½ sampai 1 gelas belimbing. BAB cair tidak
menyemprot. BAB darah dan BAB lendir disangkal. Setiap BAB cair,
pasien merasakan perutnya terasa mulas. Riwayat makan makanan pedas
atau bersantan disangkal. Pasien mengatakan sering membeli makanan di
pinggir jalan. Di sekitar rumah dan di tempat kerja pasien tidak ada yang
memiliki keluhan serupa. Pasien sebelumnya sudah mencoba berobat ke
klinik, tapi tidak membaik. Pasien juga mengeluhkan demam, mual, dan
lemas.
2
Keluhan demam dirasakan sejak 1 hari SMRS. Demam dirasakan naik
turun. Demam dirasakan lebih tinggi di siang hari. Demam dapat turun
setelah mengonsumsi obat penurun panas, tapi beberapa saat kemudian
demam naik lagi. Demam disertai rasa pegal di seluruh tubuh. Nyeri dan
mengganjal saat menelan disangkal. Di sekitar rumah tidak ada yang
mengeluhkan demam. Pasien mengaku tidak berpergian ke luar pulau
dalam waktu dekat. Pasien mengaku tidak ada kontak dengan tikus di
rumah.
Keluhan mual dirasakan sejak 2 hari SMRS. Mual tidak disertai
muntah. Mual dirasakan setiap kali makan. Pasien mengaku nafsu makan
berkurang. Pasien juga mengeluhkan nyeri di bagian ulu hati. Riwayat
sakit maag disangkal.
Pasien BAK sebanyak 5-6 kali sehari BAK +- 1/2 gelas belimbing
berwarna kuning tidak didapatkan darah maupun BAK seperti teh, tidak
didapatkan nyeri saat BAK.
Pasien juga mengeluhkan badannya terasa lemas. Lemas dirasakan di
seluruh tubuh. Lemas dirasakan memberat dengan aktivitas dan membaik
dengan istirahat. Keluhan tidak disertai dengan kelemahan anggota gerak.
Pasien sebelumnya dirawat di klinik 24 jam, tapi karena keluhannya
dirasakan tidak membaik pasien dan keluarganya memutuskan pulang
APS, kemudian pasien dibawa ke RSDM.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : diakui, tapi sembuh sendiri
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma dan alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma dan alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai seorang karyawan. Pasien berobat menggunakan
fasilitas umum. Pasien makan 3-4 kali sehari dengan porsi sedang, dan
minum kurang lebih 4 gelas belimbing. Kebiasaan merokok disangkal,
riwayat mengonsumsi alkohol disangkal. Pasien tinggal di rumah
beralaskan ubin, dan menggunakan air PDAM.
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 2 Desember 2019 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, GCS E4V5M6 composmentis.
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 90/60 mmHg lengan kanan, posisi supine
b. Nadi : 94 kali/menit regular, isi dan tekanan lemah
c. Frekuensi nafas : 20 kali/menit pernapasan thorax
d. Suhu : 37.8 oC per axilla
e. VAS : 2 pada perut
3. Status Gizi
a. Berat Badan : 54 kg
b. Tinggi Badan : 160 cm
c. IMT : 21,09 kg/m2
d. Kesan : Normoweight
4. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi bekas garukan gatal (-), kering (-),
4
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah rontok (-),luka (-),
atrofi m. temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-
), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-), pandangan
kabur (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-), chvostek sign (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), bibir kering (+), mukosa kering (-), sianosis
(-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
10. Leher : JVP R+ 2cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-),
distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal,
sela iga melebar(-), pembesaran limfonodi axilla (-/-)
12 Jantung :
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kiri : SIC V linea midklavikularis sinistra 1 cm ke
lateral
Kanan : SIC V linea sternalis dextra
Pinggang : SIC III linea parasternalis sinistra
Ictus cordis : SIC V lineamidaksilaris sinistra 2cm ke medial
Kesan : Batas jantung kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, gallop (-), murmur (-).
5
13. Pulmo :
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : Simetris
2. Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
1. Kanan : Sonor
2. Kiri : Sonor
Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar: vesikuler, wheezing (-), ronkhi basah
halus (-), krepitasi (-)
2. Kiri : Suara dasar: vesikuler, wheezing (-), ronkhi basah
halus (-), krepitasi (-)
14. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding perut sama tinggi dengan dinding thorax,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput
medusae (-), ikterik (-), papul (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 36 x / menit (↑), bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Supel, hepar dan lien sulit dievaluasi, nyeri tekan
epigastrium (-), undulasi (-)
15. Ekstremitas : Akral Dingin Oedem
- - - -
- - - -
6
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-),ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-
), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-
), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-
), kesemutan (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-
), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/)
Nyeri (-/-), deformitas (-/-), kesemutan (-/-), nyeri
tekan (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium Darah (1 Desember 2019) di RSUD Dr. Moewardi
7
Kreatinin 0.9 mg/dl 0.9 – 1.3
Ureum 10 mg/dl <50
Albumin 4.0 mg/dl <5
ELEKTROLIT
Natrium darah 129 (↓) mmol/L 136 –146
Kalium darah 3.1 (↓) mmol/L 3.7-5.4
Calsium Ion 1.09 (↓) mmol/L 1.12-1.60
HBsAg Non reactive Non reactive
8
Konduktivitas 14.5 mS/cm 3.0– 32.0
Eritrosit 1-2/LPB, leukosit 6-7/LPB, bakteri
Lain-lain (+)
Hiperkonsentrasi,
hematuria, bacteriuria,
Kesan leukosituria, silinderuria
9
gelas belimbing. BAB menyemprot, BAB lendir darah disangkal
Setiap kali BAB pasien merasa mulas. Di sekitar rumah dan di
tempat kerja pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
Riwayat makan makanan pedas atau merangsang lambung disangkal.
Riwayat jajan pinggir jalan diakui.
Demam 1 hari SMRS, hilang timbul, berkurang dengan obat penurun
panas, disertai rasa pegal di seluruh tubuh. Di sekitar rumah tidak
ada yang mengeluhkan demam. Pasien mengaku tidak berpergian ke
luar pulau dalam waktu dekat. Pasien mengaku tidak ada kontak
dengan tikus di rumah.
Mual dirasakan sejak 2 hari SMRS. Mual dirasakan tiap kali makan.
Mual tidak disertai muntah.
Lemas dirasakan seluruh tubuh, dirasakan sejak 2 hari SMRS,
dirasakan terus menerus, berkurang dengan istirahat dan pemberian
makanan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa diakui, tapi sembuh sendiri.
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien bekerja sebagai karyawan tinggal bersama keluarga, berobat
menggunakan fasilitas umum.
3. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
● Vital sign:Tekanan darah 90/60 mmHg, RR 20x/ menit, HR 94x/menit,
suhu 37.8 0C
● Mulut: bibir kering (+), abdomen: bising usus (+) 36x / menit (↑)
4. Pemeriksaan penunjang:
● Laboratorium darah: leukositopenia, trombositopenia, limfositopenia,
hiponatremia sedang hipoosmolar, hipokalemia ringan, hipokalsemia sedang
● Urinalisis : Hiperkonsentrasi, hematuria, bacteriuria, leukosituria,
silinderuria
● Feses rutin: Ditemukan Blastocystis hominis pada sampel feces
10
F. ASSESSMENT
1. Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang ec Blastocystis hominis
2. Hiponatremia sedang hipoosmolar
3. Hipokalemia ringan
4. Hipokalsemia ringan
G. ASSESSMENT LABORATORIS
1. Laboratorium darah
a. Leukositopenia
b. Trombositopenia
c. Limfositopenia
d. Hiponatremia sedang hipoosmolar
e. Hipokalemia ringan
f. Hipokalsemia ringan
2. Urinalisis
Hiperkonsentrasi, hematuria, bacteriuria, leukosituria, silinderuria
3. Feses rutin
Ditemukan Blastocystis hominis pada sampel feces
H. TERAPI
1. Bedrest tidak total
2. Diet lunak 1700 kkal
3. Infus NaCl 0,9% 30 tpm
4. Paracetamol 500 mg 3x1 po k/p
5. Attapulgite 2 tab/diare
6. Loperamide 1 tab/12 jam
7. Zinc 10 mg/24 jam
8. Sucralfat 3x1 cth
9. KSR 3x1
10. CaCO3 3x1
11. Metronidazole 500 mg/8 jam
I. PLANNING
Elektrolit: cek elektrolit post koreksi
11
J. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
12
FOLLOW UP
Tanggal 1 Desember 2019 (DPH 0)
Subjektif BAB cair sejak 2 hari SMRS
Objektif KU : tampak sakit sedang, lemas, composmentis,
E4V5M6
Tensi : 90/60mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 94 kali/menit
Suhu : 37.8° C
VAS : 2 pada perut
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (-/-)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), bibir kering (+), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
15
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 36 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin - -
- -
- -
Oedem
- -
16
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. Paracetamol 500 mg po k/p
5. Attapulgite 2 tab/diare
6. Loperamide 1 tab/12 jam
7. Zinc 10 mg/24 jam
8. Sucralfat 3x1 cth
9. KSR 3x1
Planning - Cek feses rutin
- Cek elektrolit urin
- Cek eletrolit/3 hari post koreksi
- Monitoring KUVS/12 jam
- Monitoring BC/24 jam
17
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 36 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin - -
- -
- -
Oedem
- -
18
3. Infus NaCl 0,9% 30 tpm
4. Paracetamol 500 mg 3x1 po k/p
5. Attapulgite 2 tab/diare
6. Loperamide 1 tab/12 jam
7. Zinc 10 mg/24 jam
8. Sucralfat 3x1 cth
9. KSR 3x1
10. Buscopan 1 tab/12 jam
Planning - Cek elektrolit/3 hari post koreksi
- Monitoring KUVS/12 jam
- Monitoring BC/24 jam
19
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 28 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin - -
- -
- -
Oedem
- -
20
7. Zinc 10 mg/24 jam
8. Sucralfat 3x1 cth
9. KSR 3x1
10. CaCO3 3x1
11. Metronidazole 500 mg/8 jam
Planning - Cek elektrolit/3 hari post koreksi
- Monitoring KUVS/24 jam
- Monitoring BC/24 jam
21
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 24 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin - -
- -
- -
Oedem
- -
22
11. Metronidazole 500 mg/8 jam
Planning - Cek DR3
- Monitoring KUVS/24 jam
- Monitoring BC/24 jam
23
BAB II
ANALISIS KASUS
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan diare akut dehidrasi ringan sedang.
Hal ini didasarkan pada anamnesis, dimana BAB cair dirasakan sejak 2 hari
SMRS, konsistensi cair berwarna cokelat kekuningan, sehari 5-6 kali masing-
masing sebanyak ½ sampai 1 gelas belimbing. Selain itu, pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya peningkatan bising usus hingga 36x/menit.
Keterangan ini menegakkan diagnosis diare akut, karena kurang dari 14 hari.
Riwayat pasien sering jajan di pinggir jalan sudah menjadi pemicu port d’
entry mikroorganisme patogen yang rentan mengalami infeksi maupun
inflamasi, hal tersebut didukung dengan kondisi lingkungan tempat tinggal
pasien bersama keluarga dengan banyak orang yang dapat menjadi penyebab
kurang memprioritaskan faktor higienitas (Jamenson et al., 2018).Keluhan
lemas dan nyeri ulu hati memperburuk kondisi umum tubuh pasien yang
memicu nafsu makan berkurang.
Derajat dehidrasi ringan sedang didasarkan dari pasien yang mengeluh
lemas sepanjang hari, TD 90/60 mmHg, dan adanya temuan bibir kering (+)
pada pemeriksaan fisik. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
diantaranya hematologi serta kimia klinik berupa elektrolit untuk melihat
keseimbangan cairan dalam tubuh pasien.
Pasien juga didiagnosis dengan febris berdasarkan anamnesis bahwa
pasien demam sejak 1 hari SMRS, hilang timbul, berkurang dengan obat
penurun panas, pada pemeriksaan tanda vital juga didapatkan adanya
peningkatan suhu tubuh, yakni 37,8oC. Diagnosis banding pertama penyebab
febris pada pasien ini adalah infeksi mikroorganisme penyebab diare.
Diagnosis banding kedua penyebab febris pada pasien ini adalah DF. Hal ini
didasarkan pada anamnesa berupa febris yang disertai pegal di seluruh tubuh,
dan temuan hasil lab darah berupa adanya trombositopenia ringan (108
ribu/uL), leukositopenia (4.2 ribu/uL), dan limfositopenia (17.70 %) (PAPDI,
2019). Diagnosis banding ketiga penyebab febris pada pasien ini adalah DHF,
hal ini didasarkan dari anamnesis dan hasil pemeriksaan darah yang mengarah
ke DF, disertai temuan TD 90/60 mmHg (PAPDI, 2019).
24
Diagnosis banding keempat pada pasien ini adalah hepatitis A. Hal ini
didasarkan dari temuan anamnesis berupa anoreksia, nausea, fatique, malaise,
myalgia dan demam yang tidak terlalu tinggi (37,8oC) (PAPDI, 2019). Selain
itu, dari hasil lab darah juga mengarah ke infeksi virus.
Pemeriksaan lanjutan dilakukan untuk menegakkan diagnosis kerja pada
pasien. Hasil darah lengkap pasien ditemukan leukopenia, trombositopenia
dan limfopenia serta monositosis relatif. Leukopenia disertai demam
menunjukkan adanya kecurigaan ke arah infeksi, trombositopenia menunjukan
kemungkinan gangguan faktor koagulasi akibat proses inflamasi, dan
limfopenia relatif menunjukan adanya kemungkinan inflamasi.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk mencari focus infeksi
penyebab demam pada pasien. Hasil urinalisis menunjukkan hasil yang tidak
mengarah ke proses infeksi. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan feses rutin
untuk mengetahui etiologi diare. Hasil pemeriksaan feses rutin menunjukkan
ditemukan protozoa, Blastocystis hominis pada sampel feces (Kurt et al.,
2016).
Pada infeksi Blastocystis hominis belum diketahui secara pasti
patogenisitasnya. Patogenisitas Blastocystis hominis masih kontroversial.
Organisme ini setidaknya dianggap sebagai patogen potensial penyebab diare
pada beberapa literatur, sedangkan penulis lain menyimpulkan bahwa
Blastocystis hominis tidak patogen (Kurt et al., 2016).
Meskipun belum diketahui secara pasti mengenai patogenitas dari
Blastocystis hominis namun terdapat teori yang mengatakan bahwa kista
Blastocystis hominis yang masuk ke kolon kemudian akan menginfiltrasi
lamina propia kolon bagian superfisial. Infiltrasi tersebut menyebabkan
timbulnya inflamasi yang kemudian mengakibatkan munculnya manifestasi
klinis berupa diare (Kurt et al., 2016).
Diagnosis hiponatremia sedang hipoosmolar didasarkan dari hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya kadar natrium 129 mmol/L.
Berdasarkan klasifikasi European Renal Best Practice (ERBP) (2014), kadar
natrium 129 mmol/L masuk dalam kategori hiponatremia sedang (kadar
25
natrium plasma antara 125-129 mmol/L). Diagnosis hipoosmolar ditegakkan
dari hasil penghitungan osmolaritas plasma yang dihitung dengan rumus:
26
mempertahankan diri dari ketidak seimbangan cairan dan elektolit. Namun,
ada kalanya tubuh tidak bisa mengatasinya. Ketika tubuh mengalami
kehilangan cairan dalam jumlah yang banyak secara terus menerus seperti
pada diare maka tubuh sudah tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit dalam tubuh. Elektrolit yang pertama terpengaruh ialah natrium
dan klorida karena keduanya merupakan elektrolit ekstrasel dalam tubuh
(Rudolph dan Rufo, 2004).
27
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIARE AKUT
1. Definisi
Diare akut dapat didefinisikan sebagai perubahan pada frekuensi buang
air besar menjadi lebih sering dari normal atau perubahan konsistensi feses
menjadi lebih encer atau kedua-duanya dalam waktu kurang dari 14 hari
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009). Umumnya disertai
dengan segala gangguan saluran cerna yang lain seperti mual, muntah dan
nyeri perut, kadang-kadang disertai demam, darah pada feses serta
tenesmus (gejala disentri). Diare juga dapat didefinisikan dari berat tinja
lebih dari 200gram per hari pada populasi barat, atau kandungan air pada
tinja lebih dari 200cc per hari (Bresee et al., 2012).
2. Etiologi
a. Infeksi
1) Virus :
Jenis virus: Rotavirus, Adenovirus, Calicivirus, Norwalk virus,
Astrovirus.
Non-inflamasi, invasi mukosa (-), cair, lekosit feses (-)
2) Bakteri
Akibat infeksi bakteri di usus halus (Vibrio cholera,
Euschericia coli), biasanya bersifat non inflamasi, cair, invasi
mukosa (-), lekosit feses (-).
Akibat infeksi bakteri di kolon (Salmonella sp., Shigella sp.,
Campylobacter jejunii, Yersinia enterocolica, Entero Invasive
Euschericia coli/EIEC, Euschericia coli 0157:H7,
Staphylococcus aureus, Clostridium difficile), biasanya
terdapat invasi mukosa, bersifat inflamasi, diare berdarah serta
lekosit feses (+).
28
3) Parasit :
Akibat infeksi parasit di usus halus (Giardia lamblia,
Cryptosporidium), biasanya bersifat non inflamasi, invasi
mukosa (-), cair, lekosit feses (-).
Akibat infeksi parasit di kolon (Entamoeba histolytica),
biasanya bersifat inflamasi, invasi mukosa (+), diare berdarah,
lekosit feses (+).
29
b. Non-Infeksi
1) Keracunan makanan (food poisoning) karena toksin dari
Staphylococcus aureus, Baccillus cereus, Clostridium perfringens,
Clostridium botulinum. Dalam keadaan ini biasanya bersifat non
inflamsi, invasi mukosa (-), cair.
2) Obat-obatan dan toksin (magnesium, kafein, teofilin, laksatif,
opiat, laktulosa, kolkisin, metformin, digitalis, iron, metildopa,
hidralazin, sorbitol, kuinidin, fruktosa, manitol, arsen, kadmium,
merkuri, jamur).
3) Sindrom usus iritabel (Irritable bowel syndrome).
4) Fase akut penyakit usus inflamasi (Inflammatory bowel disease).
5) Penyakit usus iskemik (Ischemic bowel disease).
6) Alergi makanan.
7) Defisiensi laktosa.
8) Penyebab lainnya (seperti vasoactive intestinal peptide–secreting
tumor/VIPOMA) (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009).
3. Faktor Risiko
Kondisi medis yang menjadi predisposisi seseorang untuk mengalami
diare.
30
4. Patofisiologi diare
a. Diare Osmotik
- Diare yang disebabkan karena sejumlah besar bahan makanan yang
tidak dapat diabsorpsi dalam lumen usus sehingga terjadi
hiperosmolaritas intra lumen yang menimbulkan perpindahan
cairan dari plasma ke dalam lumen.
- Terjadi pada malabsorpsi karbohidrat, penggunaan garam
magnesium ataupun bahan yang bersifat laksansia.
- Dikatakan diare osmotik bila osmotic gap feses > 125mosmol/kg
(normal< 50mosmol/kg).
- Berhenti bila pasien puasa (Bresee et al, 2011).
b. Diare Sekretorik
- Diare yang terjadi bila ada gangguan transpor elektrolit baik
absorbsi yang berkurang maupun sekresi yang meningkat melalui
dinding usus. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan
bakteri.
- Biasanya dengan volume banyak, cair, tidak ada pus/darah.
- Diare sekretorik terjadi misalnya pada kasus kolera (toksin),
pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek atau
penggunaan laksansia non-osmotik. Beberapa hormon intestinal
seperti gastrin, vasoactiveintestinal polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
- Diare tetap berlangsung walaupun pasien dipuasakan (Bresee et al,
2011).
c. Diare Eksudatif
- Diare yang terjadi akibat proses inflamasi/peradangan yang
menyebabkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus
besar.
- Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, penyakit
usus inflamasi (inflamatory bowel disease) atau akibat radiasi.
31
- Oleh karena terjadi kerusakan dinding usus, feses dapat
mengandung pus,darah atau mukus.
- Pada diare eksudatif terjadi juga peningkatan beban osmotik,
hipersekresi cairan akibat peningkatan prostaglandin dan terjadi
hiperperistaltik(Bresee et al, 2011).
d. Diare Hiperperistaltik / Hipermotilitas
- Diare tipe ini terjadi akibat gangguan motilitas yang menyebabkan
waktu transit usus menjadi lebih cepat.
- Pada usus halus menyebabkan waktu paparan untuk absorpsi
berkurang.
- Tipe ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, penyakit usus iritabel
(irritable bowel syndrome), diabetes melitus, dan paska
gastrektomi(dumping syndrome) (Bresee et al, 2011).
Diare dapat terjadi melalui lebih dari satu mekanisme patofisiologi.
Misalnya, pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang
bekerja yaitu peningkatan sekresi dan penurunan absorpsi usus (Bresee et
al, 2011).
5. Diagnosis
a. Riwayat penyakit:
- Onset, durasi, frekuensi, progresivitas diare,kualitas diare;
- Muntah;
- Lokasi dan karakteristik nyeri perut;
- Riwayat penyakit dahulu, penyakit dasar/komorbid;
- Petunjuk epidemiologi (daerah endemik, Kejadian Luar
Biasa/KLB) (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009).
b. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umum, kesadaran, status gizi, tanda vital (tensi, nadi, laju
respirasi, suhu);
32
- Status hidrasi;
33
- Identifikasi penyakit komorbid (Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia, 2009).
c. Penunjang Diagnostik
1) Pemeriksaan feses rutin penting dikerjakan.
34
Skirrow agar Selektif untuk spesies Campylobacter
Sorbitol-Mac Conkey (SM) Selektif untuk enterohemorrhagic E coli
agar
Cefsulodin-ingrasan- Selektif untuk Y enterocolitica
novobiocin (CIN) agar
Thiosulfate-citrate-bile- sucrose
(TCBS) agar Selektif untuk spesies Vibrio
Cycloserine-cefoxitin-
fructose-egg (CCFE) agar Selektif untuk C difficile
Tabel 4. Medium kultur feses untuk isolasi bakteri (Bresee et al,
2011)
4) Pemeriksaan sigmoidoskopi/kolonoskopi dilakukan pada kasus
diare berdarah bila pemeriksaan penunjang yang sebelumnya tidak
memperlihatkan penyebab yang jelas (Bresee et al, 2011).
6. Diagnosis Banding
- Apendisitis
- Adneksitis
- Divertikulitis
- Peritonitis sekunder karena perforasi usus
- Infeksi sistemik: seperti malaria, campak, tifoid, dll
- Inflammatory bowel disease
- Enterokolitis iskemik
- Oklusi arteri/vena mesenterika
Tabel 5. Penyakit yang bermanifestasi diare akut dengan atau tanpa gejala peritonitis
(Bresee et al, 2011).
7. Tata laksana
a. Terapi Suportif (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009)
1) Rehidrasi cairan dan elektrolit
a) Oral, misalkan: Cairan garam gula, oralit, pedialyte, renalyte.
• Diberikan pada pasien dengan diare akut tanpa komplikasi
atau dengan dehidrasi ringan.
• Larutan rehidrasi oral (LRO), dengan komposisi:
- Natrium 75mmol/L, Klorida 65mmol/L, glukosa
anhidrat 75mmol/L, kalium 20mmol/L, sitrat
35
10mmol/L = 245mmol/L
- Larutan rehidrasi oral (LRO) dari beras (air tajin)
lebih superior dari LRO biasa pada kolera.
b) Intravena
• Diberikan kepada pasien dengan diare akut dengan
komplikasi dehidrasi sedang-berat dan/atau komplikasi
lainnya.
• Resusitasi, dapat digunakan cairan intravena sebagai berikut:
- Ringer laktat
- Ringer asetat
c) Rumatan, dapat digunakan kombinasi elektrolit + nutrisi
cairan intravena sebagai berikut:
- Ringer laktat
- Ringer asetat + Dekstrosa + As.Amino
- Normal salin
- Ringer dekstrosa
- Aminofluid
- Dan cairan sejenis lainnya
a) Dehidrasi minimal
- Kekurangan cairan kurang 3% dari kebutuhan normal/berat
badan.
- Terapi:
Kebutuhan cairan = 103/100 x 30-40cc/kgBB/hari
Atau
Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL(10% BB)]
ditambah 30-40cc/kgBB/hari
36
b) Dehidrasi ringan sedang
- Kekurangan cairan 3-9% dari kebutuhan normal/berat
badan.
- Terapi:
Kebutuhan cairan = 109/100 x 30-40cc/kgBB/hari
Atau
Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL(10%BB)]
ditambah 30-40cc/kgBB/hari
c) Dehidrasi berat
- Terapi:
Atau
37
b. Terapi nutrisi, diberikan sesuai dengan kebutuhan dan dapat
berupa:
- Nutrisi oral
- Nutrisi enteral
- Nutrisi parenteral
- Nutrisi kombinasi (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia,
2009)
c. Terapi Etiologi
1) Infeksi (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009)
a) Bakteri
E. coli patogen (EPEC), toksigenik (ETEC), hemoragik
(EHEC).
- Kuinolon (siprofloksasin [500mg BID],
norfloksasin[400mg BID], levofloksasin [500mg OD]).
- Kotrimoksazol (forte tab/160mg+800mg BID).
Enterobacter aerogenes
- Kuinolon (siprofloksasin [500mg BID], norfloksasin
[400mg BID], levofloksasin [500mg OD]).
- Kotrimoksazol (forte tab/160mg+800mg BID).
Salmonella sp.
- Kloramfenikol (500mg QID), Tiamfenikol (50mg/kg
BB dosis terbagi QID).
- Kuinolon (siprofloksasin [500mg BID], norfloksasin
[400mg BID], levofloksasin [500mg OD]).
- Kotrimoksazol (forte tab/160mg+800mg BID).
Shigella sp.
- Kuinolon (Siprofloksasin [500mg BID], norfloksasin
[400mg BID], levofloksasin [500mg OD]).
- Kotrimoksazol (forte tab/160mg+800mg BID).
Campylobacter jejunii
- Kuinolon (Siprofloksasin [500mg BID], norfloksasin,
levofloksasin [500mg OD]).
38
- Makrolid (Eritromisin [500mg BID 5 hari]).
Vibrio cholera
- Tetrasiklin (500mg QID 3 hari).
- Doksisiklin (300mg QD, single dose).
- Fluorokuinolon (Siprofloksasin [500mg BID],
norfloksasin, levofloksasin [500mg OD]).
Clostridium difficile
- Oral metronidazol (250-500mg QID 7-14 hari).
- Oral vankomisin (125mg QID 7-14 hari).
- Probiotik
Yersinia enterocolytica
- Aminoglikosida (Streptomisin IM 30mg/kgBB/24 jam,
BID 10 hari).
- Kotrimoksazol (forte tab 160mg/800mg BID).
- Fluorokuinolon (Siprofloksasin [500mg BID],
norfloksasin [400mg BID], levofloksasin [500mg OD])
.
b) Virus
Tidak diberikan antivirus, hanya diberikan obat simptomatik
dan suportif
c) Parasit
Giardia lamblia
- Metronidazol (250-500mg QID 7-14 hari).
Kriptosporidium
- Paromomisin (4g/24 jam dosis terbagi) plus Azitromisin
(500mg dosis tunggal dilanjutkan 250mg OD selama 4
hari).
Entamoeba histolitika
- Metronidazol (250-500mg QID 7-14 hari).
- Tinidazol (2g/24 jam 3 hari).
- Seknidazol (1,5g/24 jam selama 5 hari).
- Paromomisin (4g/24 jam dosis terbagi).
39
Isospora belii
- Kotrimoksazol (forte tab 160mg+800mg BID 7-10
hari).
d) Jamur
Biasanya antifungal diberikan secara intravena terlebih dahulu,
dilanjutkan oral tergantung keadaan umum.
- Candida sp. (Flukonazol [50mg BID], itrakonazol [200mg
BID], vorikonazol [200mg BID], amfoterisin B [1mg/kgBB
per 24 jam], nistatin [4 dd 1cc/1 tab]).
- Cryptococcus (Flukonazol [50mg BID], itrakonazol
[200mg BID], amfoterisin B [1mg/kgBB per 24 jam]).
- Coccidiomycosis (Flukonazol [50mg BID], itrakonazol
[200mg BID], amfoterisin B [1mg/kgBB per 24 jam]).
40
f) Fase akut penyakit usus inflamatorik (inflammatory bowel
disease)
- Antiinflamasi (5-ASA dan kortikosteroid)
d. Terapi Simtomatik
1) Diare:
- Antimotilitas
- Loperamid (awal 4mg, selanjutnya 2 mg setiap BAB
cair, maksimal 16mg/24 jam).
- Difenoksilat (kombinasi dengan loperamid dan atropin,
5mg 3-4 x sehari). Catatan: Golongan obat ini tidak
boleh diberikan pada pasien- pasien dengan inflamasi
berat/IBD, demam tinggi dan BAB berdarah.
- Antispasmodik/spasmolitik
- Hyosin-n-butilbromid (Buscopan®/20mg 2-3 x/hari,
maksimum 100mg/24jam).
- Ekstrak belladonna (5-10mg,TID)
- Papaverin (30-60mg,TID)
- Mebeverine (100-35mg,TID)Catatan: Golongan obat ini tidak
boleh diberikan dalam keadaan ileus paralitik.
- Pengeras feses (stool hardener)
- Atapulgit (2 tab @ 630mg setelah diare, diulang 2 tab
setiap diare selanjutnya, maksimal 12 tab/24 jam).
- Smektit (9g/24 jam, dosis terbagi,TID)
- Kaolin-pektin (2 ½ tab @ 550mg/20mg setiap diare,
maksimal 15 tab/24 jam) (Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia, 2009).
41
2) Diare dengan komplikasi
a) Gagal ginjal
- Obati penyakit gagal ginjal.
- Cairan disesuaikan dengan kebutuhan fase perjalanan
penyakit gagal ginjal akut (oliguria, poliguria,
normal)/gagal ginjal kronik dan defisit.
- Bila dengan rehidrasi masih terjadi asidosis metabolik,
baru diberikan bikarbonat natrikus (Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia, 2009).
b) Sepsis
- Dianjurkan rawat dalam ruang rawat intensif atau semi-
intensif.
- Kecukupan cairan dinilai dengan central venous pressure
(CVP).
- Pertimbangkan pemberian cairan kombinasi kristaloid
dengan koloid.
- Pemberian antibiotika intravena spektrum luas.
- Penatalaksanaan lain-lain sesuai dengan penatalaksanaan
sepsis terkait (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia,
2009).
c) Ileus paralitik
- Pasien dipuasakan.
- Pasang selang nasogastrik, dialirkan terbuka.
- Nutrisi parenteral sampai fungsi usus kembali normal
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009).
a) Sirosis hati
- Penatalaksanaan sesuai dengan klasifikasi Child-Pugh,
semakin berat klasifikasinya maka pemberian cairan
42
rehidrasi harus hati- hati.
- Hindari obat-obatan hepatotoksik, terutama
golongan antibiotika.
b) Gagal jantung
c) HIV/AIDS
- Antibiotika/antiparasit/antijamur sesuai dengan
penyebab diare pada HIV/AIDS
d) Geriatri
- Cairan diberikan sesuai dengan penyakit penyerta.
- Pemberian cairan rehidrasi setengah dari jumlah
yang dibutuhkan.
e) Neutropenia
- Diberikan siprofloksasin 500mg BID
8. Komplikasi
Pada diare akut, kehilangan cairan bisa terjadi mendadak dan
menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses bisa
menyebabkan hipokalemia dan asidosis metabolik. Komplikasi yang juga
dapat terjadi adalah nekrosis tubular ginjal akibat rehidrasi yang kurang
optimal. Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama
oleh EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare (Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia, 2009).
9. Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi antibiotik dengan indikasi, prognosis diare akibat infeksi sangat
baik dengan morbiditas dan mortalitas minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas yang sering terjadi adalah pada anak-
anak dan lansia (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2009).
43
B. GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT
1. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan
mutlak dalam jumlah berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya
natrium dalam relatif lebih hilangnya air. Kapasitas normal ginjal untuk
menghasilkan urin encer dengan osmolalitas serendah 40 mOsm / kg
(berat jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih dari
10 L air gratis per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa
ini, hiponatremia hampir selalu merupakan efeknya dari akibat kapasitas
pengenceran urin tersebut (osmolalitas urin> 100 mOsm / kg atau spesifik
c gravitasi> 1,003) (Butterworth et al, 2013).
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah
135mEq/L. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan,
sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma.
Antara penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Terapi untuk
mengkoreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara
perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif
(Butterworth et al, 2013).
Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:
44
Berat <125 mmol/L
45
Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung,
perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi
postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa.
46
Gambar 4. Klasifikasi dan terapi hipokalemia (Kardalas et al., 2018)
Rumus untuk menghitung defisit kalium:
3. Hipokalsemia
Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal adalah penting untuk
homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam fungsi biologis hampir semua
penting, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter dan hormon,
pembekuan darah, dan metabolisme tulang, dan kelainan pada
keseimbangan kalsium dapat mengakibatkan derangements fisiologis yang
mendalam (Hahn, 2012).
Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d.
Penyerapan kalsium terjadi di usus terutama di usus kecil proksimal tetapi
adalah variabel. Kalsium juga disekresi ke dalam saluran usus, dimana
sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari penyerapan. Hingga
47
80% dari asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal
bertanggung jawab untuk sebagian besar ekskresi kalsium. Rata-rata
ekskresi kalsium ginjal 100 mg / d namun dapat bervariasi dari serendah
50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d. Biasanya, 98% dari kalsium disaring
dan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium paralel dengan natrium dalam
tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle. Di tubulus distal,
bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid
(PTH) sekresi, sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi
aldosteron. tingkat PTH meningkat meningkatkan reabsorpsi kalsium
distal dan dengan demikian menurunkan ekskresi kalsium urin (Hahn,
2012).
90% kalsium terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia
biasanya terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia
disebabkan karena hipoparatiroidism, kongenital, idiopatik, defisiensi vit
D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan hiperfosfatemia.3
Manifestasi dari hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah
dan kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring),
tetani dengan spasme karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasme
(Tanda Chvostek), dan kejang. kolik bilier dan bronkospasme.1,3 EKG
dapat mengungkapkan irritasi jantung atau interval QT perpanjangan yang
mungkin tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan tingkat
hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan
gagal jantung, hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap
digoxin dan β-adrenergik agonis juga dapat terjadi (Hahn, 2012).
48
Gambar 5. Etiologi hipokalsemia (Goldstein, 1990)
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat
darurat karena menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat
diberikan 20-30 ml preparat kalsium glukonas 10% atau CaCl 10% dapat
diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar kalsium plasma yang
optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per oral.
Secara normal, tubuh bisa mempertahankan diri dari
ketidakseimbangan cairan & elektrolit. Namun, ada kalanya tubuh tidak
bisa mengatasinya. Ini terjadi apabila kehilangan tterjadi dalam total
banyak sekaligus, seperti pada muntah-muntah, diare, berkeringat luar
biasa, terbakar, luka/pendarahan dan sebagainya (Hahn, 2012).
Cairan dan elektrolit (zat lerlarut) didalam tubuh merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Bentuk gannguan keseimbangan cairan
yang umum terjadi adalah lebeihan atau kekurang cairan iaitu air.
Kelebihan cairan disebut overhidrasi, sebaliknya kekurang airan disebut
dehidrasi. Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit
dan nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai
dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, seperti protein, urea, glukosa,
oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik. Sedangkan elektrolit
tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++),
magnesium (Mg++), klorida (Cl-), bikarbonat(HCO3-), fosfat (HPO42-),
49
sulfat (SO42-). Elektrolit yang utama yang sering menyebabkan gangguan
pada hemodinamik tubuh adalah natrium, kalium, dan kalsium (Stoelting
et al., 2015).
Pasien yuang mengalami gangguan cairan dan elektrolit sebaiknya
segera ditangani karena sebagian besar dalam tubuh manusia terdiri dari
cairan dan elektrolit dan apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan
kematian (Stoelting et al., 2015).
50
DAFTAR PUSTAKA
Bresee, J., Bulens, S., Beard, R., Dauphin, L., Slutsker, L., Bopp, C.,
Eberhard, M., Hall, A., Vinje, J., Monroe, S. and Glass, R. 2012. The
Etiology of Severe 50 Acute Gastroenteritis Among Adults Visiting
Emergency Departments in the United States. Journal of Infectious
Diseases.205(9), pp.1374-1381.
Goldstein DA. Serum Calcium. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors.
Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations.
3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter 143. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK250/
Jameson JL, et al. 2018. eds. Protozoal infections. In: Harrison's Principles of
Internal Medicine. 20th ed. New York, N.Y.: The McGraw-Hill
Companies. https://accessmedicine.mhmedical.com. Accessed Nov. 1,
2020.
Kardalas, E., Paschou, S. A., Anagnostis, P., Muscogiuri, G., Siasos, G., &
Vryonidou, A. (2018). Hypokalemia: a clinical update. Endocrine
connections, 7(4), R135–R146. https://doi.org/10.1530/EC-18-0109
Rudolph JA, Rufo PA.2004. Diarrhea. In Benson JB, Haith MM. Disease and
disorder in infancy and early childhood. San Diego: Elsevier, p. 130-7.
51
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. 2015. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.17 : h.
341 – 49.
52
LAMPIRAN
53