Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

SEORANG PEREMPUAN 26 TAHUN DENGAN EDEMA ANASARKA ET


CAUSA SINDROM NEFROTIK DD SINDROM NEFRITIK, HIPERTENSI
STAGE II, ACUTE KIDNEY INJURY DD ACUTE ON CHRONIC KIDNEY
DISEASE, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK, ARTHRITIS
GOUT DD ARTHRITIS RHEUMATOID, HIPOALBUMINEMIA BERAT,
HIPOKALSEMIA RINGAN

Oleh:
Ervina Ruth Priya Sambada G991902018

Residen Pembimbing:

Dr. Yohana Fillamina Setiawan dr. Rina Aninda Sidharta, Sp.PK-K

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


STASE TERINTEGRASI – LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul

SEORANG PEREMPUAN 26 TAHUN DENGAN EDEMA ANASARKA ET


CAUSA SINDROM NEFROTIK DD SINDROM NEFRITIK, HIPERTENSI
STAGE II, ACUTE KIDNEY INJURY DD ACUTE ON CHRONIC KIDNEY
DISEASE, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK, ARTHRITIS
GOUT DD ARTHRITIS RHEUMATOID, HIPOALBUMINEMIA BERAT,
HIPOKALSEMIA RINGAN

Oleh:
Ervina Ruth Priya Sambada G991902018

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal

Dr. Rina Aninda Sidharta, Sp.PK-K

ii
BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Ny. EL
Umur : 26 tahun
Tanggal lahir : 16 November 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Banjarsari, Simo, Boyolali
No RM : 0149xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Penjahit
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 21 Januari 2019
Tanggal Periksa : 22 Januari 2019

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan tanggal 22 Januari
2020 di Flamboyan 8 kamar 812E RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

C. Keluhan utama:
Badan bengkak sejak 1 bulan SMRS

D. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan rujukan yang datang ke IGD dengan keluhan
badan bengkak sejak 1 bulan SMRS. Badan bengkak dirasakan
dimulai dari kelopak mata, muka, leher, kemudian bengkak juga
diikuti pada tangan, perut dan kaki. Bengkak dirasakan terus menerus
dan membuat bagian tubuh terasa bertambah berat, terutama kaki,

3
sehingga pasien lebih sering berbaring dan kesusahan untuk berjalan
atau beraktivitas. Bengkak dirasakan semakin memberat ketika
banyak beraktivitas dan berdiri. Bengkak dirasakan berkurang dengan
beristirahat, pasien mengaku belum memberikan obat untuk
mengurangi keluhan bengkaknya. Selain itu pasien juga mengeluhkan
badan terasa lemas, cepat lelah, letih, lesu, mudah lelah, pusing,
rambut mudah rontok, nyeri sendi seluruh tubuh, sesak napas, perut
mbeseseg, nyeri di punggung, dan BAK berkurang. Demam, batuk,
pilek disangkal. Mual muntah disangkal. Kemerahan di kulit apabila
terpapar sinar matahari disangkal.
Pasien mengeluh badan terasa lemas, cepat lelah, letih, lesu dan
mudah lelah semenjak ada bengkak di tubuhnya sekitar 1 bulan
SMRS. Keluhan tersebut dirasakan terus menerus dan memberat
dengan aktivitas. Tidak membaik dengan makan. Selain itu pasien
juga mengeluh kadang merasa pusing nggliyeng dan hilang timbul.
Keluhan nyeri saat menelan makanan, dan telinga berdenging
disangkal.
Rambut kepala dirasakan mudah rontok semenjak 5 tahun yang
lalu setelah pasien melahirkan anak pertama secara normal. Rambut
rontok dirasakan semakin banyak ketika pasien tidak enak badan dan
banyak pikiran. Berkurang bila pasien dalam kondisi baik dan bugar
serta tidak banyak pikiran.
Pasien mengeluh sering nyeri pada sendi di tangan dan kaki.
Nyeri dirasakan seperti ngilu, cenut-cenut, terkadang hingga pasien
tidak bisa berjalan atau beraktivitas. Keluhan dirasakan hilang timbul.
Dirasakan memberat terutama di pagi hari, dan berkurang di malam
hari. Pasien mengaku memiliki riwayat sakit asam urat tinggi sejak 1
tahun yang lalu dan sempat minum obat penurun asam urat namun
tidak rutin.
Pasien juga mengeluh sering sesak napas dan perut mbeseseg
sejak 1 bulan SMRS dan semakin memberat sejak sekitar 1 minggu

4
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus. Pasien lebih nyaman tidur
dengan 3 bantal, sesak bertambah dengan tidur terlentang dan
aktivitas. Pasien terkadang terbangun di malam hari karena sesak.
Sesak tidak dipengaruhi debu dan cuaca, tidak disertai mengi dan
batuk.
BAK 3-4 kali sehari. BAK sedikit, ½-1 gelas belimbing setiap
kali BAK, BAK keruh, berbusa (+). BAK panas, nyeri, berdarah,
berpasir disangkal. BAK seperti teh disangkal.
BAB tidak ada keluhan. 2-3 kali sehari, konsistensi lunak
berwarna kuning. Keluhan BAB hitam, BAB dengan lender dan darah
disangkal.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan
sakit gula sebelumnya.

E. Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat mondok : (+) di RS Sambi Boyolali dan
mendapat transfuse PRC 2 kolf
dan dilakukan USG Abdomen
dengan Observasi sindroma
nefrotik dan asites minimal dan RS
Kasih Ibu
Riwayat sakit kuning : Disangkal
Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat alergi/asma : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal

F. Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat sakit serupa : Disangkal
Riwayat sakit gula : Disangkal

5
Riwayat tekanan darah tinggi : (+) diakui, ayah
Riwayat sakit liver : Disangkal
Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat sakit ginjal : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal

G. Riwayat kebiasaan
Makan : Pasien mengaku makan 3 kali sehari
porsi cukup dengan nasi, lauk-pauk,
dan sayur. Pasien terkadang makan
buah.
Merokok : Pasien tidak pernah merokok
Alkohol : Disangkal
Obat Warung : Disangkal
Minuman berenergi/jamu : Disangkal

H. Riwayat sosial ekonomi


Pasien bekerja sebagai penjahit di rumah. Pasien berobat
menggunakan fasilitas BPJS kelas III. Pasien tinggal bersama keluarga
yaitu suami dan anaknya. Pasien mempunyai hubungan yang baik
dengan keluarga dan tetangga sekitar. Lingkungan sekitar rumah
bersih, tidak dekat dengan sungai ataupun tempat pembuangan
sampah.

6
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 23 Oktober 2019 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos
mentis, GCS E4V5M6, kesan gizi
cukup
2. Tanda vital
 Tensi : 170/90 mmHg
 Nadi : 68 kali /menit, reguler, isi kesan cukup.
 Frekuensi nafas : 20 kali /menit
 Suhu : 36.80 C
3. Status gizi
 Berat Badan : 58 kg
 Tinggi Badan : 156 cm
 IMT : 20.95 kg/m2
 Kesan : Normoweight
4. Kulit : ikterik (-), turgor (-) normal, hiperpigmentasi (-), kering
(-), teleangiektasis (-), petechie (-), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah
rontok (+), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-),perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata merah (-/-),
lensa keruh (-/-), edema palpebra (+/+)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)

7
9. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir
(-), oral thrush (-), lidah kotor (-).
10. Leher : JVP 5+2 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, dinding dada = dinding
abdomen pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
 Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra, ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi :
Batas Jantung
Kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra
Pinggang : SIC III linea midclavicularis sinistra
Kiri bawah : SIC V 2 jari di lateral linea midclavicula sinistra
Kesan : Ukuran jantung kesan melebar ke caudolateral
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris

8
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) di basal
paru ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) di basal
paru, ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) di basal
paru, ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) di basal
paru, ronki basah kasar (-), krepitasi (-)

9
13. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut = dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), spider nevi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit
 Perkusi : timpani, pekak alih (+)
 Palpasi : supel (+), distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), defans muskuler (-), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (-)
14. Ekstremitas :
Akral dingin + + Oedem
+ +

Superior Ka/Ki : Oedem (+/+), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan
nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (+/+), hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-),
pucat (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat (-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
deformitas (-/-)

10
Foto Klinis

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Hasil USG Urologi 2 Januari 2020 di RS Asy Syifa Sambi
Klinis: sindrom nefrotik
Ren dextra : ukuran membesar, 12.25cm x5.02 cm dan
echostruktur tampak meningkat, pyramid prominent,
permukaan licin, batas korteks dan sinus mengabur, SPC
tak tampak melebar, tak tampak batu ataupun lesi massa
Ren sinistra : ukuran membesar, 12.21 cm x 5.45 cm dan
echostruktur tampak meningkat, pyramid prominent,
permukaan licin, batas korteks dan sinus mengabur, SPC
tak tampak melebar, tak tampak batu ataupun lesi massa
VU : isi cairan cukup, dinding regular, tak tampak menebal,
tak tambak batu ataupun lesi massa.
Uterus : ukuran dan echostruktur tampak normal, permukaan
licin, tak tampak lesi massa

11
Daerah adneksa: tak tampak lesi kistik ataupun solid. Tampak lesi
anechoic atau cairan di cavum douglas.
KESAN :
- Obs sindroma nefrotik bilateral
- Ascites ringan
- VU dan uterus dalam batas normal

B. Hasil Pemeriksaan Laboratorium : Darah


Lab Darah (21 Januari 2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 7.0 (↓) g/dl 12 -15.6
Hct 21(↓) % 33 – 45
AL 13.9 (↑) 103 /  L 4.5 – 11.0
AT 109 (↓) 103 /  L 150 – 450
AE 2.25 (↓) 106/  L 4.10 – 5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 92.4 /um 80.0 – 96.0
MCH 30.2 pg 28.0 – 33.0
MCHC 32.8 (↓) g/dl 33.0 – 36.0
RDW 19.5 (↑) % 11.6 – 14.6
MPV 9.9 fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Netrofil 88.20 (↑) % 55.00 – 80.00
Limfosit 6.30 (↓) % 22.00 – 44.00
Monosit, eosinophil, basofil 5.50 % 0.00 – 12.00
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.8 mmol/L 3.3 – 5.1
Kalsium Ion 1.14 (↓) mmol/L 1.17– 1.29
KIMIA KLINIK
SGOT 13 u/l <35
SGPT 11 u/l <45
Albumin 2.5 (↓) g/dl 3.5 – 5.2
Creatinine 1.6 (↑) mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 164 (↑) mg/dl <50

C. Hasil Pemeriksaan Laboratorium : Urin

12
Lab urin (21 Januari 2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
MAKROSKOPIS
Warna Kuning
Kejernihan Keruh
KIMIA URIN
Berat jenis 1.025 1.015-1.025
pH 6.0 4.5 – 8.0
Leukosit Negative /ul Negative
Nitrit Negative Negative
Protein +++/positive 3 mg/dl Negative
Glukosa Normal mg/dl Negative
Keton Negative mg/dl Negative
Urobilinogen Normal mg/dl Negative
Bilirubin Negative mg/dl Negative
Eritrosit +++/positive 3 mg/dl Negative

D. Hasil Pemeriksaan Radiologi 21 Januari 2020

Foto toraks PA
Cor : ukuran membesar dengan CTR 62% bentuk apeks grounded
Pulmo: tampak perihillar haziness di kedua lapang paru
Sinus costophrenicus kanan tajam kiri tumpul

13
Hemidiafragma kanan kiri normal
Trachea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan :
1. Cardiomegaly dengan konfigurasi LVH
2. Edema paru dan efusi pleura kiri minimal

4. ASSESSMENT
1. Edema anasarka ec sindrom nefrotik dd sindrom nefritik
2. Hipertensi stage II
3. Anemia normositik normokromik ec suspek OCD dd perdarahan
4. Trombositopenia ec suspek OCD
5. Leukositosis dengan netrofilia suspek infeksi
6. Gout arthritis dd rheumatoid arthritis
7. Hipoalbuminemia berat
8. Hipokalsemia ringan

VI. ASSESSMENT LABORATORIS


Pemeriksaan lab darah
Kesan :
- Anemia normositik normokromik,
- Leukositosis dengan neutrofilia absolut
- Trombositopenia
- Hipokalsemia ringan
- Hiperalbuminemia berat
- Peningkatan ureum creatinin

Pemeriksaan lab urin


Kesan:
- Proteinuria
- Hematuria

VII. TATALAKSANA

14
a. Bedrest tidak total ½ duduk
b. O2 NK 3 lpm bila SpO2 <90%
c. Inf ringer laktat 20 tpm mikro
d. Diet ginjal 1700 kkal, rendah haram <2 gr/hari
e. Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
f. Ramipril 5 mg/24 jam
g. Inj. Ampisilln 1 gr/6 jam
h. Albumin kapsul 500mg/8jam
i. Transfuse PRC 696 cc ~ 3 kolf, 1 kolf/hari

VII. PLANNING
Pemeriksaan Manfaat
GDT Melihat morfologi sel darah tepi
Hitung retikulosit Bantu mengarahkan proses anemia
Profil Lipid Pada sindrom nefrotik bisa ada peningkatan
Asam urat darah - Mencari tahu penyebab arthritis
Rheumatoid Factor - Mencari tahu penyebab arthritis
CRP - Penanda inflamasi
Urin tampung 24 jam - Mengetahui produksi urin dalam 24 jam
Urin rutin dengan sedimen - memeriksa kadar analit urin (protein Esbach)
- mengetahui sedimen urin misal silinder, kristal urin
dsb untuk bantu arahkan diagnosis

Kultur urin, darah, sputum (?) Mencari fokus infeksi


Albumin, Fungsi Ginjal - Monitoring
Biopsi Ginjal - CKD(?)
ANA IF - Curiga autoimun(?)

VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia

15
ANALISIS KASUS

Edema Anasarka Ec Sindrom Nefrotik DD Sindrom Nefritik


Pada kasus ini didapatkan pasien dengan keluhan bengkak sejak 1 bulan SMRS.
Badan bengkak dirasakan dimulai dari kelopak mata, muka, leher, kemudian bengkak
juga diikuti pada tangan, perut dan kaki. Bengkak dirasakan terus menerus dan membuat
bagian tubuh terasa bertambah berat, terutama kaki, sehingga pasien lebih sering
berbaring dan kesusahan untuk berjalan atau beraktivitas. Bengkak dirasakan semakin
memberat ketika banyak beraktivitas dan berdiri. Bengkak dirasakan berkurang dengan
beristirahat, pasien mengaku belum memberikan obat untuk mengurangi keluhan
bengkaknya. Selain itu pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas, cepat lelah, letih,
lesu, mudah lelah, pusing, rambut mudah rontok, nyeri sendi seluruh tubuh, sesak napas,
perut mbeseseg, nyeri di punggung, dan BAK berkurang, BAK keruh (+), berbusa (+).
Demam, batuk, pilek disangkal. Mual muntah disangkal. Kemerahan di kulit apabila
terpapar sinar matahari disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adaya edema palpebral, RBH di basal kedua
paru. Pada abdomen didapatkan pekak alih (+) dan undulasi (+) yang menunjukkan
adanya ascites. Dan pada keempat ekstremitas didapatkan edema. Pada pemeriksaan
penunjang lab darah didapatkan hipoalbuminemia (2.5), peningkatan ureum (164) dan
peningkatan kreatinin (1.6). Lab urin didapatkan urin warna kuning keruh dengan protein
+++ (positif 3), dan eritrosit +++ (positif 3). Dan pada rontgen toraks didapatkan edema
pulmo dan efusi pleura kiri minimal.
Pada pasien ini terdapat edema anasarka, hipertensi, proteinuria, hematuri, dan
hipoalbuminemia yang mengarah pada keadaan sindrom nefrotik dd sindrom nefritik.
Sindrom Nefrotik merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang itandai
dengan edema anasarka, proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari) dan
hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 gram/hari) hiperkolesterolemia, dan lipiduria (Buku
ajar IPD). Sindrom Nefrotik timbul karena rusaknya membran basal pada glomerulus
ginjal terutama akibat infeksi dan tromboemboli sehingga meningkatkan permeabilitas
glomerulus (Tapia dan Bashir, 2019).
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua

16
berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria
dibedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul
protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuri
ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia disebabkan
oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi
dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat
juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.
Edema pada sindrome nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma
terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi
natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler
tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema.
Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti asupan natrium, efek
diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi gromerulus, dan
keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang
lebih berperan
Sindrom Nefritik merupakan kumpulan gambaran klinis berupa hematuria dengan
sel darah merah dismorfik dan silinder sel darah merah dalam urine, beberapa derajat
oligouria dan azotemia, retensi natrium dan air, hipertensi yang disertai adanya kelainan

17
urinalisis (proteinuria kurang dari 2 gram/hari dan hematuria serta silinder eritrosit).
Meskipun terdapat proteinuria dan bahkan edema, keduanya biasanya tidak terlalu
mencolok seperti pada sindroma nefrotik (Sondeimer, 2007). Sindrom Nefritik Akut
(SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia,
red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut. Bentuk
SNA yang sering ditemukan pada anak adalah glomerulonephritis yang didahului oleh
infeksi streptokokus β hemolitikus A sehingga disebut glomerulonephritis akut pasca
streptokokus (GNAPS). Streptokokus β hemolitikus grup A serotipe 12 sebagai penyebab
paling sering pasca ISPA (pharyngitis) dan serotype 46 pasca infeksi kulit (impetigo)
(Albar, 2012).
Untuk membantu menegakkan diagnosis direncakan pasien dilakukan pemeriksaan
urin rutin dan sedimen urin untuk melihat adakan kelainan pada urin seperti adanya red
blood cast, proteinuria, hematuria, bakteriuria. Dilakukan pemeriksaan profil lipid untuk
mengetahui adakan kelainan seperti hiperkolesterolemia yang dapat terjadi pada sindrom
nefrotik; serta hemostasis untuk menilai apakah terdapat hiperkoagubilitas yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli pada keadaan sindrom nefrotik.
Pasien mendapatkan terapi berupa bedrest tidak total ½ duduk karena pasien
memiliki keluhan sesak napas yang semakin memberat saat beraktivitas, selain itu pada
pasien juga didapatkan adanya edema paru dan efusi pleura minimal yang umumnya akan
membuat sesak napas pada pasien semakin memberat bila dalam posisi berbaring. Hal ini
dikarenakan saat posisi berbaring maka akan semakin besar luas permukaan paru yang
“terendam” oleh cairan, sehingga pasien dapat menjadi semakin sesak.
Pemberian suplemenetasi oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksia. Pemberian
infus NaCl 0.9% untuk maintenance cairan, namun dilakukan dengan hati-hati untuk
mencegah overload cairan, sehingga diberikan infus mikro. Diberikan diet ginjal, rendah
protein <2,5 gr / hari karena pada pasien diduga terdapat gangguan pada ginjal, supaya
tidak memperberat kerja ginjal.
Untuk tatalaksana kondisi edema anasarka pada pasien diberikan perlu dilkukan
peningkatan tekana onkotik plasma menuju ke tekanan onkotik normal sehingga cairan
tidak ekstravasi keluar dari pembuluh darah ke jaringan interstisial. Hal ini dibantu
dengan pemberian VIP albumin 3x1.
Pada pasien juga didapatkan adanya hipertensi stage II dengan tekanan darah
170/90, yang masuk ke dalam hipertensi stage 2 menurut JNC., yakni adanya peningkatan
tekanan darah diatas ≥ 160/100. Untuk tatalaksana hipertensi menurut guideline ESC,

18
2018 pasien dapat langsung diberikan terapi kombinasi 2 jenis obat, seperti ACE
inhibitor/ARB dan CCB. Pada pasien ini diterapi dengan amlodipin 10 mg/24 jam dan
ramipril 5 mg/24 jam, sehingga dapat menurunkan tekanan darah – dan dengan begitu
menurunkan tekanan hidrostatik plasma untuk membantu mengurangi edema pada pasien.
Selain itu pasien juga mendapatkan furosemide, yakni loop diuretic yang berefek pada
menurunnya cardiac output dengan begitu juga mengurangi cairan dalam tubuh dan
menurunkan tekanan darah.

Anemia normositik normokromik dengan trombositopenia, leukositosis dengan


netrofilia absolut
Pasien mengeluh badan terasa lemas, cepat lelah, letih, lesu dan mudah lelah
semenjak ada bengkak di tubuhnya sekitar 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut dirasakan
terus menerus dan memberat dengan aktivitas. Tidak membaik dengan makan. Selain itu
pasien juga mengeluh kadang merasa pusing yang dirasakan seperti berdenyut dan hilang
timbul. Keluhan nyeri saat menelan makanan, dan telinga berdenging disangkal. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan lab darah
didapatkan penurunan Hb (7), penurunan hematokrit (21), penurunan jumlah eritrosit
(2.25). pada indeks eritrosit didapatkan MCH dan MCV dalam batas normal. Hal ini
menunjukkan adanya anemia normositik normokromik.
Anemia normositik normokromik dapat disebabkan karena beberapa sebab seperti
penyakit kronis, anemia aplastik, hemolisis, atau kehilangan darah secara akut sehingga
belum memengaruhi ukuran dan konsentrasi Hb dalam sel darah merah. Untuk membantu
menegakkan diagnosis dan penyebab anemia, direncakan pemeriksaan lanjutkan yakni
gambaran darah tepi dan pemeriksaan retikulosit. Kemudian untuk mengatasi kondisi ini
direncanakan transfusi darah packed red blood cells (PRC) dengan jumlah : (10-Hb) x BB
x 3 cc = (10-7) x 58 x 4 = 696 cc ~ 3 kantong PRC.
Anemia normositik normokromik yang disertai dengan trombositpenia atau dapat
disebut dengan bisitopenia dapat menunjukan kemungkinan adanya penyakit/kondisi
kronis yang menyebabkan kondisi ini, misalnya adanya penyakit ginjal. Leukositosis
dengan netrofilia absolut menunjukkan adanya proses infeksi yang mengarah pada infeksi
bakteri, dimana tubuh berusaha untuk melawan infeksi dengan mengeluarkan lebih
banyak netrofil ke darah tepi.
Sampai disini didapatkan adanya trias gagal ginjal pada pasien, yakni hipertensi,
edema, dan anemia.

19
Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (PGK) adalah abnormalitas
struktur atau fungsi ginjal, yang terjadi dalam waktu lebih dari 3 bulan dengan implikasi
bagi kesehatan (KDIGO, 2013).

Kriteria PGK (terjadi lebih dari 3 bulan)


Penanda kerusakan ginjal (1 atau lebih) - Albuminuria (AER ≥ 30mg/24 jam;
ACR ≥ 30mg/g (≥3 mg/mmol)
- Abnormalitas sedimen urin
- Abnormalitas elektrolit atau lainnya
yang berkaitan dengan gangguan
tubulus
- Abnormalitas struktur yang dideteksi
dari radiologi
- Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) LFG< 60 ml/menit/1,73 m2

Acute kidney injury (AKI) atau gagal injal akut (GGA) terdiagnosis jika terdapat
peningkatan serum kreatinin sekurang – kurangnya 0.3 mg/dl (26.5 µmol/l) dalam 48 jam
atau meningkat hingga sekurang – kurangnya 1.5 kali lipat dari nilai batas bawah selama
7 hari. Alat diagnostik sederhana untuk mendiagnosis GGA termasuk serum kreatinin,
nitrogen urea darah, keluaran urin, kimia urin, mikroskopi urin dan histologi. Definisi
terstandar yang merujuk pada “Kidney Disease; Improving Global Outcome” (KDIGO)
klasifikasi GGA, yang dikembangkan dari “Risk Injury, Failure, Loss of kidney function,
and End-stage kidney disease” (RIFLE) dan kriteria AKI Network (KDIGO, 2013).

Tingkatan Peningkatan serum kreatinin Keluaran urin


AKI
1 1.5 – 1.9 x dari nilai batas bawah < 0.5 ml/kg/jam selama 6 – 12 jam
Atau
Meningkat ≥ 0.3 mg/dl (≥26.5 µmol/l)
2 2.0 – 2.9 x dari nilai batas bawah < 0.5 ml/kg/jam selama ≥ 12 jam
3 3.0x dari nilai batas bawah < 0.3 ml/kg/jam selama ≥ 24 jam
atau Atau
meningkatnya serum kreatinin hingga ≥ Anuria selama ≥ 24 jam
4.0 mg/dl (≥ 353.6 µmol/l)
atau
inisiasi pemakaian terapi penggantian
ginjal (renal replacement therapy)

20
Pada pasien didapatkan adanya peningkatan serum kreatinin (1.6) sebanyak 2,6
kali dari batah bawah nilai normal (0.6). selain itu juga didapatkan adanya penurunan urin
output dimana urine pasien (menurut pengakuan pasien) sebanyak sekitar 450-700/hari ~
0,32 – 0,5 ml/kg/jam selama lebih dari 12 jam. Hal ini, ditambah dengan adanya trias
gagal ginjal menunjukkan kemungkinan adanya injury pada ginjal. Namun belum dapat
ditentukan apakah injury tersebut merupakan AKI atau acute on CKD karena untuk
menentukan adanya chronic kidney disease diperlukan adanya bukti kerusakan selama
minimal 3 bulan. Selain itu pada pasien ini ditemukan imblans elektrolit berupa
hipokalsemia ringan.

21
TINJAUAN PUSTAKA

A. SINDROMA NEFROTIK
1. Definisi
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi
dan penurunan fungsi ginjal. Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak.
Biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat
proteinuria berat.
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh:
 Peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria)
 Penurunan albumin dalam darah
 Edema
 Serum cholesterol yang tinggi (hiperlipidemia)
Tanda – tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran
kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permiabilitas glomerulus (Soeparman
dan Sarwono, 2011; Prico dan Wilson, 2005).

2. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya
etiologi dibagi menjadi :
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
o Malaria kuartana atau parasit lainnya.
o Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
o Glumerulonefritis akut atau kronik,
o Trombosis vena renalis.
o Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air
raksa.

22
o Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
c. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa
dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan
cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler
glomerulus.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
 Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
 Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
 Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai
kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
 Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran
basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis
buruk.
 Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi
tubulus. Prognosis buruk (Baradero, 2009; Soeparman dan Sarwono, 2011).

3. Patofisiologi

23
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran glomerulus.
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju sintesis hepar
dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia. Hal ini
menyebabkan retensi garam dan air.
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan
yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler. Penurunan
sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi
natrium dan edema lebih lanjut.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
karena hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau defisiensi seng.
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau
sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini
dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang
dewasa termasuk lansia. (Corwin, 2009).

4. Manifestasi Klinik
Gejala utama yang ditemukan adalah :
 Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
 Hipoalbuminemia < 30 g/l.
o Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan  edema muka, ascxites dan efusi pleura.
o Anorexia
o Fatigue
o Nyeri abdomen
o Berat badan meningkat
o Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
o Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis vena
dan arteri. (Soeparaman dan Sarwono, 2011).

5. Komplikasi
 Infeksi (akibat defisiensi respon imun)

24
 Tromboembolisme (terutama vena renal)
 Emboli pulmo
 Peningkatan terjadinya aterosklerosis
 Hypovolemia
 Hilangnya protein dalam urin
 Dehidrasi

6. Pemeriksaan Diagnostik
 Adanya tanda klinis pada anak
 Riwayat infeksi saluran nafas atas
 Analisa urin : meningkatnya protein dalam urin
 Menurunnya serum protein
 Biopsi ginjal (Baradero dkk, 2009)

7.  Penatalaksanaan Terapeutik
 Diit tinggi protein, diit rendah natrium jika edema berat
 Pembatasan sodium jika anak hipertensi
 Antibiotik untuk mencegah infeksi
 Terapi diuretik sesuai program
 Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang
 Terapi prednison dgn dosis 2 mg/kg/hari sesuai program (Aschenbrenner dkk,
2002).

B. SINDROMA NEFRITIS AKUT


1. Definisi
Sindrom Nefritik Akut (Glomerulonefritis Akut, Glomerulonefritis Pasca Infeksi)
adalah suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah dalam
air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein dalam air
kemih) yang jumlahnya bervariasi (Soeparman dan Sarwono, 2011).
2. Etiologi
Bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus, misalnya strep throat. Kasus
seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomeruli mengalami
kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati

25
dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli
dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2
minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian
antibiotik akan efektif.
Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas
3 tahun dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada usia diatas 50 tahun.
Sindroma nefritik akut juga bisa disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi lainnya,
seperti: infeksi pada bagian tubuh buatan, endokarditis bakterialis, pneumonia,
abses pada organ perut, cacar air, hepatitis infeksius, sifilis, malaria, dll
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006); Corwin, 2009).

3. Gejala Klinis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama
kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema),
berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung
darah.
Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata,
tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat.
Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit kepala,
gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih serius (Soeparman dan
Sarwono, 2011)
4. Diagnosa
Urinalisis (analisa air kemih) menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan
konsentrasi urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi. Kadar antibodi untuk
streptokokus di dalam darah bisa lebih tinggi daripada normal.
Kadang pembentukan air kemih terhenti sama sekali segera setelah terjadinya
glomerulonefritis pasca streptokokus, volume darah meningkat secara tiba-tiba dan
kadar kalium darah meningkat. Jika tidak segera menjalani dialisa, maka penderita
akan meninggal.
Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain streptokokus biasanya
lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih
berlangsung. (Soeparman dan Sarwono, 2011; Sukandar, 2010).
5. Terapi

26
Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid tidak efektif,
kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan. Jika pada saat ditemukan
sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih berlangsung, maka segera diberikan
antibiotik.
Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya katup
jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan infeksinya bisa diatasi.
Untuk mengatasi infeksi biasanya dilakukan pengangkatan katup buatan yang
terinfeksi dan menggantinya dengan yang baru disertai dengan pemberian antibiotic.
Penderita sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai fungsi
ginjal kembali membaik. Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam
membuang kelebihan garam dan air.
Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti-hipertensi. Jika terjadi
gagal ginjal yang berat, penderita perlu menjalani dialisa (Sukandar, 2010)
6. Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan yang sempurna. Jika
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya sejumlah besar protein dalam air
kemih atau terjadi kemunduran fungsi ginjal yang sangat cepat, maka kemungkinan
akan terjadi gagal ginjal dan kerusakan ginjal.
Pada 1% penderita anak-anak dan 10% penderita dewasa, sindroma nefritik akut
berkembang menjadi sindroma nefritik yang berkembang dengan cepat.
Sekitar 85-95% anak-anak kembali mendapatkan fungsi ginjalnya yang normal,
tetapi memiliki resiko tinggi menderita tekanan darah tinggi di kemudian hari.
Sekitar 40% dewasa mengalami penyembuhan yang tidak sempurna dan tetap
memiliki kelainan fungsi ginjal (Black, 2005; Soeparman dan Sarwono, 2011).

C. ACUTE KIDNEY INJURY


1. Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) atau Gangguan Ginjal Akut (GGA) adalah sindrom
yang terdiri dari penurunan secara tiba-tiba dan cepat (dalam jam hingga hari)
kemampuan laju filtrasi glomerulus yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan atau tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi pada berbagai tingkat
berdasarkan besar dan sifat kerusakannya (Sinto dan Nainggolan, 2010). Definisi
terstandar merujuk pada “Kidney Disease; Improving Global Outcome” (KDIGO)

27
mengenai klasifikasi AKI berdasarkan kadar serum kreatinin dan produksi urin, yang
dikembangkan dari “Risk Injury, Failure, Loss of kidney function, and End-stage
kidney disease” (RIFLE) dan kriteria Acute Kidney Injury Network (AKIN) (Varrier
et al., 2015).
Klasifikasi RIFLE
Stage GFR Criteria Urine output criteria

Risk Serum creatinine increased 1.5-2 times baseline <0,5 ml/kg/hour >for 6 hours
Or
GFR decreased >25%
Injury Serum creatinine increased 2-3 times baseline <0,5 ml/kg/hour >for 12 hours
Or
GFR decreased >50%
Failure Serum creatinine increased >3 times baseline <0,3 ml/kg/hour for 12 hours (oligouria)
Or Or
GFR decreased 75% Anuria for 12 hour
Or
Serum creatinine ≥4 mg/dl; acute rise ≥0.5 mg/dL
Loss Persistent acute renal failure: complete loss of kidney function >4 weeks (requiring dialysis)

ESRD Complete loss of kidney function >3 months (requiring dialysis)

Acute kidney injury didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi (Kellum et al., 2012):
 Serum kreatinin naik sebesar ≥0,3 mg/dl (≥ 26μmol/l) dalam waktu 48 jam;
atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu 7 hari; atau
 Produksi urin menurun menjadi <0.5ml/kgBB/jam untuk 6 jam berturut-
turut.

Stage Serum Creatinin Urine Output criteria

1 Increase in serum creatinin ≥ 150% - 200% (1,5 – 2 ×) from <0,5 mg/kg/hour for >6 hours
baseline
2 Increase in serum creatinin > 200% - 300% (>2 – 3 ×) from <0,5 mg/kg/hour for>12 hours
baseline
3 Increase in serum creatinin > 300% (>3 ×) from baseline <0,3 mg/kg/hour for>24 hours
Or serum creatinine of ≥ 4,0mg/dl (≥354µmol/l) with an Or
acute increase of at least 0,5 mg/dl (44µmol/l) Anuria for > 12 hours
Klasifikasi AKIN
2. Etiologi AKI

28
Menurut Markum (2014). Etiologi AKI secara klasik dibagi menjadi tiga
kelompok utama berdasarkan lokasi kelainan patofisiologi, yaitu
1. AKI pre-renal (55%)
Merupakan penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal. Penyebab AKI pre-renal
adalah karena terjadinya penurunan aliran darah ginjal (renal hypoperfusion)
yangmengakibatkan penurunan tekanan filtrasi glomelurus dan
kemudiandiikuti oleh penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Hal ini
disebabkan oleh:
a. Hipovolemia atau kehilangan volume cairan tubuh, karena perdarahan,
dehidrasi, gangguan gastrointestinal, gangguan ginjal (pemakaian
diuretik berlebihan, insufisiensi adrenal, dll), gangguan pada kulit (luka
bakar, diaforesis), gangguan pada peritoneum (drain pascaoperasi);
b. Penurunan volume efektif pembuluh darah (curah jantung) pada infark
miokard, kardiomiopati, perikarditis (konstruktif atau tamponade
jantung), aritmia, disfungsi katup, gagal jantung, emboli paru,
hipertensi pulmonal, dan penggunaan ventilator;
c. Redistribusi cairan, seperti pada keadaan hipoalbuminemia (sindrom
nefrotik, sirosis hepatis, malnutrisi, syok sepsis, gagal hati, peritonitis,
pankreatitis, rhabdomiolisis, asites, konsumsi obat-obat vasodilator,
obstruksi renovaskular, gangguan pada arteri renalis (stenosis
intravaskular, emboli, laserasi,trombus), gangguan pada vena renalis
(trombosis intravaskuler, infiltrasi tumor);
d. Vasokonstriksi intra-renal primer karena konsumsi NSAID, siklosporin,
sindrom hepatorenal, hipertensi maligna, pre-eklampsia, dan
skleroderma.

2. AKI renal (40%)


AKI renal adalah penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal atau gangguan ginjal intrinsik. Penyebab
AKI renal atau intrinsik, antara lain:
a. Tubular nekrosis akut, karena konsumsi obat-obatan (aminoglikosida,
cisplatin, amphotericin B), iskemia, syok sepsis, obstruksi intratubuler
(rhabdomiolisis, hemolisis, multiple mieloma, asam urat, kalsium

29
oksalat),terpapar bahan toksik (zat kontras radiologi, karbon
tetraklorida, etilen glikol, logam berat);
b. Nefritis interstisial akut, karena konsumsi obat-obatan (penisilin, obat
antiinflamasi nonsteroid, angiotensin converting enzyme inhibitor,
alopurinol,cimetidine, H2-blockers, proton pump inhibitors), infeksi
(streptokokus, difteri, leptospirosis), gangguan metabolik
(hiperurisemia, nefrokalsinosis), terpapar bahan toksik (etilen glikol,
kalsium oksalat), penyakit autoimun (lupus eritemateus sistemik
(LES),cryoglobulinemia);
c. Glomerulonefritis akut, karena pascainfeksi (streptokokus, hepatitis B
virus, HIV, absesviseral), vaskulitis sistemik (LES, Wegener’s
granulomatous, poliartritis nodosa, Henoch-scholein purpura,
IgAnefritis, sindrom goodpastur), glomerulonefritis
membranoproliferatif, idiopatik;
d. Oklusi mikrokapiler atau glomerular pada thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP), hemoliticuremic syndrome (HUS), koagulasi
intravaskulardiseminata, emboli kolestrol;
e. Nekrosis kortikal akut

3. AKI post-renal (5%)


AKI post renal adalah penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih. Penyebab AKI post-renal, antara lain:
a. Obstruksi ureter karena faktor ekstrinsik (tumor endometrium,serviks,
limfoma, perdarahan atau fibrosis, retroperitoneum, Iigasi ureteryang
tidak sengaja pada tindakan bedah) dan faktor intrinsik (adanya batu,
bekuan darah, nekrosis papila ginjal,tumor).
b. Obstruksi kandung kemih atau uretra karena tumor atau hipertrofi prostat,
tumor vesika urinaria, neurogenic bladder, prolaps uteri, adanya batu,
bekuan darah, sloughed papillae, dan obstruksi kateter foley.
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul mungkin didominasi oleh penyakit
pencetus.Temuan-temuan klinis yang terkait dengan gagal ginjal meliputi pucat,
penurunan volume urin, hipertensi, muntah dan letargi. Komplikasi gagal ginjal akut

30
meliputi kelebihan cairan, dengan gagal jantung kongestif dan edema paru.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

5. Diagnosis
Anamnesis yang teliti dapat membantu dalam menentukan penyebab gagal ginjal.
Muntah, diare dan demam menandakan adanya dehidrasi. Adanya infeksi kulit atau
tenggorokan yang mendahuluinya menandakan glomerulonefritis pascastreptokokus.
Kelainan laboratorium dapat meliputi anemia, yang dapat disebabkan oleh
pengenceran akibat dari kelebihan beban cairan, peningkatan kadar BUN serum,
kreatinin, asam urat dan fosfat. Dan antibodi dapat dideteksi dalam serum
terhadapstreptokokus. Pada semua penderita gagal ginjal akut, kemungkinan
obstruksi dapatdinilai dengan melakukan roentgen abdomen, USG ginjal atau CT-
Scan abdomen. (Sukandar, 2010, Soeparan dan Sarwono, 2011).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus ditujukan kepada penyakit primer yang menyebabkan
gagal ginjal akut tersebut, dan berdasarkan keadaan klinis yang muncul.

D. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


1. Definisi
Menurut NKF-K/DOQI, kriteria CKD adalah sebagai berikut :
1. Kerusakan ginjal yang terjadi ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR),
dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa tanda kerusakan
ginjal.
2. Klasifikasi
Sistem klasifikasi CKD menurut NKFK/DOQI berdasarkan tingkat GFR, bersama
berbagai parameter klinis, laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya sistem
klasifikasi adalah untuk pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan

31
penatalaksanaan yang dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari
end stage renal disease (ESRD).

Stadium GFR (ml/mnt) Deskripsi


I ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
II 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
III 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang
IV 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat
V <15 atau dialisis Gagal ginjal

Selain itu, CKD juga diklasifikasikan berdasarkan penyakit yang


mendasarinya.
Klasifikasi Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes Tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit Tubulointerstisial (Pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik


Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

3. Patofisiologi
CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.

32
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidka aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang
aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factors seperti
transforming growth factor β (TGF- β).
 Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif
glomeruli yang dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular.
Kerusakan sel intraglomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik
(endotel, sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfosit,
monosit/makrofag).
Sel endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan
hemodinamik,metabolik dan imunologis. Kerusakan ini berhubungan dengan
reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi
dan agregasi trombosit serta pembentukan mikrotrombus pada kapiler glomerulus
serta munculnya mikroinflamasi. Akibat mikroinflamasi, monosit menstimulasi
proliferasi sel mesangium sedangkan faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi
sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel miofibroblas sehingga
mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu bereplikasi
terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis
glomerulus dan menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal
menyebabkan formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi
akumulasi material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-
tubular sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial.
 Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi,
proliferasi fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan.
Gangguan keseimbangan produksi dan pemecahan matriks ekstra selular
mengakibatkan fibrosis ireversibel
 Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular
mengeksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh

33
darah merupakan sumber miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya
fibrosis interstisial ginjal.

4. Manifestasi Klinis
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat. Lalu
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjaid peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan BB. Pada GFR di bawah
30%, pasien memperlihatkan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah,
dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
seperti natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15%, akan terjadi gejala dan
komplikais yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terpai pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal.

5. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes rnelitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang – kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).

34
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan GFR yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.

c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,


peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast,
isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran

35
ginjal yang sudah mengecil-(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
 Terapi spesifik mencegah penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat perburukan (progression)
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik sesuai dengan derajatnya
GFR
Derajat Rencana tatalaksana
(mlmnt/1.73 m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskuler
2 60-89 Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal

 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid


Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik
LFG
Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
(ml/mnt/1.73 m2)
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35 gr/kg/hari ≤10 gram
nilai biologis tinggi
5-25 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35 gr/kg/hari ≤10 gram
nilai biologis tinggi atau tambahan 0.3 gram
asam amino esensial atau asam keton
<60 (sindrom 0.8 gr/kg/hari (+ 1 gram protein/ g proteinuria ≤ 9 gram
nefrotik) atau 0.3 kg tambahan asam amino esensial atau
asam keton)

36
 Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
 Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit ≤30 % meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar
besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/Totol lron Binding
Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya..
Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
 Osteodistrofi Renal
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat
di saluran cerna..
 Mengatasi Hiperfosfatemia
Asupan fosfat dibatasi 600- 800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.
 Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium,
aluminium hidroksida, garam magnesium.
 Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem
dan komplikasi kardiovaskular. Dengan berasumsi bahwa air yang
keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai
dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan
500- 800ml ditambah jumlah urin.
 Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Teraphy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada
GFR kurang dari 15 ml/mnt berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal.

37
E. ANEMIA
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (Bakta, 2009).
B. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta,2009).
C. Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO:
1. Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
2. Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
3. Wanita hamil Hb < 11 gr/dl
D. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada keganasan hematologi

38
- Anemia diseritropoietik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
2. Anemia akibat perdarahan
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Anemia hemolitik
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)
1. Anemia hipokromik mikrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab
anemia ini adalah:
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik
pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai
dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada
anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan
ukuran eritrosit. Contoh anemia dengan morfologi ini adalah:
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks

39
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %).
Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam
folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan
myelodisplasia)
a. Bentuk megaloblastic
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

E. Diagnosis anemia
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal
ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia.
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.

F. HIPERTENSI
A. Definisi
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di
Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat
umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini
disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani

40
hipertensi terutama yang berkaitan dengan kelainan jantung dan pembuluh darah.
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang.
Klasifikasi Sistolik Diastolik
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 160-179 100-109
Hipertensi derajat 3 >180 >110
Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung.
Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan yang
sangat besar dalam pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan usia
lanjut. Hal ini telah banyak diteliti pada penggunaan diuretic, betablocker, ACEi dan
ARB, dimana penggunaan CCB paling sedikit memberikan keuntungan dalam
pencegahan gagal jantung.
Walaupun riwayat hipertensi merupakan hal yang sangat sering terjadi pada
gagal jantung, namun tekanan darah yang tinggi sering tidak ditemukan lagi pada
saat sudah terjadi disfungsi venrikrel kiri. Pada pasien dengan kondisi seperti ini,
telah banyak terdapat bukti dari berbagai penelitian yang mendukung pemberian
betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid receptor antagonist), dimana
pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk memperbaiki stimulasi simpatis dan
sitim renin angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada penurunan
tekanan darah.
Hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi
fraksi ejeksi yang masih baik daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri.
Apabila hipertensi tidak terkontrol akan menyebabkan kelainan pada organ-
organ lain yang berhubungan dengan sistem-sistem tersebut. Semakin tinggi tekanan
darah lebih besar kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit kardiovaskuler secara
premature1. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi
yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat
mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung dimana angka itu
diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di
pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder
didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi

41
ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang
disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan syok, gagal
ginjal, gangguan retina mata.
Peningkatan tekanan darah yang lama dan tidak terkontrol dapat menyebakan
bermacam-macam perubahan pada struktur miokardial, vaskuler koroner, dan sistem
konduksi dari jantung. Perubahan ini dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri
(LVH) , penyakit arteri koroner, kelainan system konduksi, dan disfungsi sistolik
dan diastolic dari miokardium, yang biasanya secara klinis tampak sebagai angina
atau infark miokard, aritmia (khususnya atrial fibrilasi), dan gagal jantung kongestif
(CHF).
Hipertensi heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk
menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle
hyperthrophy (LVH), aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit
jantung kronis, yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

B. Patofisiologi
Penyulit utama pada penyakit jantung hipertensif adalah hipertrofi ventrikel
kiri yang terjadi sebagai akibat langsung dari peningkatan bertahap tahanan
pembuluh darah perifer dan beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang menentukan
hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan diastole. Pengaruh
beberapa faktor humoral seperti rangsangan simpato-adrenal yang meningkat dan
peningkatan aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron (RAA) belum diketahui,
mungkin sebagai penunjang saja. Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi
berhubungan erat dengan penyebab hipertrofi dan terjadinya aterosklerosis primer.
Pada stadium permulaan hipertensi, hipertrofi yang terjadi adalah difus
(konsentrik). Rasio massa dan volume akhir diastolik ventrikel kiri meningkat tanpa
perubahan yang berarti pada fungsi pompa efektif ventrikel kiri. Pada stadium
selanjutnya, karena penyakir berlanjut terus, hipertrofi menjadi tak teratur, dan
akhirnya eksentrik, akibat terbatasnya aliran darah koroner. Khas pada jantung
dengan hipertrofi eksentrik menggambarkan berkurangnya rasio antara massa dan
volume, oleh karena meningkatnya volume diastolik akhir. Hal ini diperlihatkan
sebagai penurunan secara menyeluruh fungsi pompa (penurunan fraksi ejeksi),
peningkatan tegangan dinding ventrikel pada saat sistol dan konsumsi oksigen otot

42
jantung. Hal-hal yang memperburuk fungsi mekanik ventrikel kiri berhubungan erat
bila disertai dengan penyakit  jantung  koroner.
Walaupun tekanan perfusi koroner meningkat, tahanan pembuluh koroner juga
meningkat. Jadi cadangan aliran darah koroner berkurang. Perubahan-perubahan
hemodinamik sirkulasi koroner pada hipertensi berhubungan erat dengan derajat
hipertrofi otot jantung. Ada 2 faktor utama penyebab penurunan cadangan aliran
darah koroner, yaitu: 1) penebalan arteriol koroner, yaitu bagian dari hipertrofi
umum otot polos pembuluh darah resistensi arteriol (arteriolar resistance vessels)
seluruh badan. Kemudian terjadi retensi garam dan air yang mengakibatkan
berkurangnya compliance pembuluh-pembuluh ini dan mengakibatkan tahanan
perifer. 2) hipertrofi yang meningkat mengakibatkan kurangnya kepadatan kepiler
per unit otot jantung bila timbul hipertrofi eksentrik. Peningkatan jarak difusi antara
kapiler dan serat otot yang hipertrofik menjadi factor utama pada stadium lanjut dari
gambaran hemodinamik ini.

C. Tanda dan gejala


Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan
tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini
berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak
terukur. Gejala yang lazim Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai
hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan
gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

D. Tatalaksana
1. Pengaturan Diet
Berbagai studi menunjukkan bahwa diet dan pola hidup sehat dan atau dengan
obat-obatan yang menurunkan gejala gagal jantung dan bisa memperbaiki
keadaan LVH.
2. Olahraga Teratur
Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda bermanfaat untuk
menurunkan tekanan darah dan dapat memperbaiki keadaan jantung. Olaharaga
isotonik dapat juga bisa meningkatkan fungsi endotel, vasodilatasi perifer, dan
mengurangi katekolamin plasma. Olahraga teratur selama 30 menit sebanyak 3-4
kali dalam satu minggu sangat dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah.

43
3. Penurunan Berat Badan
Pada beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan kejadian
hipertensi dan LVH. Jadi penurunan berat badan adalah hal yang sangat efektif
untuk menurunkan tekanan darah.
4. Farmakoterapi
Pengobatan hipertensi atau penyakit jantung hipertensi dapat menggunakan
berbagai kelompok obat antihipertensi seperti thiazide, beta-blocker dan
kombinasi alpha dan beta blocker, calcium channel blockers, ACE inhibitor,
angiotensin receptor blocker dan vasodilator seperti hydralazine. Hampir pada
semua pasien memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai
tekanan darah yang diinginkan.

G. GOUT ARHTRITIS
A. Definisi
Gout arthritis, atau lebih dikenal dengan nama penyakit asam urat, adalah
salah satu penyakit inflamasi yang menyerang persendian. Gout arthritis disebabkan
oleh penimbunan asam urat (kristal mononatrium urat), suatu produk akhir
metabolisme purin, dalam jumlah berlebihan di jaringan. Penyakit ini sering
menyerang sendi metatarsophalangeal 1 dan prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Kadang-kadang terbentuk agregat kristal besar yang
disebut sebagai tofi (tophus) dan menyebabkan deformitas.

B. Patofisiologi
Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh pembentukan
berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, ataupun keduanya. Asam urat adalah
produk akhir metabolisme purin. Asam urat yang terbentuk dari hasil metabolisme
purin akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi di tubulus
proksimal ginjal. Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi kemudian diekskresikan
di nefron distal dan dikeluarkan melalui urin. Pada penyakit gout-arthritis, terdapat
gangguan kesetimbangan metabolisme (pembentukan dan ekskresi) dari asam urat
tersebut, meliputi:
1. Penurunan ekskresi asam urat secara idiopatik
2. Penurunan eksreksi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal

44
3. Peningkatan produksi asam urat, misalnya disebabkan oleh tumor (yang
meningkatkan cellular turnover) atau peningkatan sintesis purin (karena
defek enzim-enzim atau mekanisme umpan balik inhibisi yang berperan)
4. Peningkatan asupan makanan yang mengandung purin
Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan kadar asam
urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang kelarutannya sangat
rendah sehingga cenderung membentuk kristal. Penimbunan asam urat paling
banyak terdapat di sendi dalam bentuk kristal mononatrium urat. Mekanismenya
hingga saat ini masih belum diketahui. Adanya kristal mononatrium urat ini akan
menyebabkan inflamasi.
Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan menyebabkan
terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut tofi/tofus (tophus) di tulang
rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut endapan akan memicu reaksi peradangan
granulomatosa, yang ditandai dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh
makrofag, limfosit, fibroblas, dan sel raksasa benda asing. Peradangan kronis yang
persisten dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat diikuti
oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat terbentuk di tempat lain (misalnya tendon,
bursa, jaringan lunak). Pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal dapat
mengakibatkan penyumbatan dan nefropati gout.

C. Gejala
Gejala khas artritis gout adalah serangan akut biasanya bersifat monoartikular
(menyerang satu sendi saja) dengan gejala pembengkakan, kemerahan, nyeri hebat,
panas dan gangguan gerak dari sendi yang terserang yang mencapai puncaknya
kurang dari 24 jam. Lokasi yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi
pangkal ibu jari kaki. Hampir pada semua kasus, lokasi artritis terutama pada sendi
perifer dan jarang pada sendi sentral.
Perjalanan penyakit gout sangat khas dan mempunyai 3 tahapan. Tahap
pertama disebut tahap artritis gout akut. Pada tahap ini penderita akan mengalami
serangan artritis yang khas dan serangan akan menghilang tanpa pengobatan dalam
waktu 5 – 7 hari. Karena cepat menghilang, maka sering penderita menduga kakinya
keseleo atau kena infeksi sehingga tidak menduga terkena penyakit gout dan tidak
melakukan pemeriksaan lanjutan.

45
Setelah serangan pertama, penderita akan masuk pada gout interkritikal/
intermiten. Pada keadaan ini penderita dalam keadaan sehat selama jangka waktu
tertentu. Tahap kedua disebut sebagai tahap artritis gout akut intermiten. Setelah
bertahun-tahun tanpa gejala, penderita akan memasuki tahap serangan (kambuh)
yang jarak antara serangan yang satu dan serangan berikutnya makin lama makin
rapat dan lama, jumlah sendi yang terserang makin banyak.
Tahap ketiga disebut sebagai tahap artritis gout kronik bertofus. Tahap ini
terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini
akan terjadi benjolan-benjolan di sekitar sendi yang sering meradang yang disebut
sebagai tofus. Tofus ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang
merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Tofus ini akan mengakibatkan
kerusakan pada sendi dan tulang di sekitarnya.

D. Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan artritis gout adalah:
1. Mengobati serangan akut secara baik dan benar
2. Mencegah serangan ulangan artritis gout akut
3. Mencegah kelainan sendi yang berat akibat penimbunan kristal urat
4. Mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat peningkatan asam urat pada
jantung, ginjal dan pembuluh darah.
5. Mencegah pembentukan batu pada saluran kemih.
Makin cepat seseorang mendapat pengobatan sejak serangan akut, makin
cepat pula penyembuhannya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah obat anti
inflamasi nonsteroid, obat yang mempercepat/meningkatkan pengeluaran asam urat
lewat kemih (probenecid), atau yang menurunkan produksi asam urat (allopurinol).

46
DAFTAR PUSTAKA
Gulberg V, Moller S, Gerbes Al,Henriksen JH. Increased Renal production of
Natriuretic Peptide (CNP) in Patients with Cirrhosis and Funtional Renal
Failure. Gut 2000;47:852-7
Sherlock S, Dooley J. Funtional Renal Failure,In: Disease of The Liver and
Biliary System (9th ed).
Girgrah N, Liu P, Collier J, Blendins L.Wong F. Haemodinamic, Renal Sodium
Handling, and Neurohumoral Effects Of Acute Administration of Low Dose
Losartan,An Angiotension D Receptor Antagonost, In Preascitic Cirrhosis.
Gut 2000;46:114-20 \
Krige JEJ,Beckingham IJ.ABC of diseases og liver,pancreas and billiary system
portal hipertension-2.Ascites,encephalopathy, and other conditions.BMJ
2001;322:416-8
Kumar,vinay (2003). Robbins basic pathology. elsevier inc. ISBN 978-979-448-
843-0.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman tatalaksana
hipertensi pada penyakit kardiovaskular. 2015.
Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi.
2007;7(1):18-24.
Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA,
Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNP AD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.41-66.
Markum HMS. Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Ed 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p.585-9.
Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension
course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.
Underwood JCE. General and Systemic Pathology. 4th ed. USA: Elsevier; 2004. P.
729-30.
National Kidney Foundation (2002). K/DOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am
J Kidney Dis, 39 : S1-S266
Suwitra K (2014). Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, pp: 2159-2165
Warady BA, Chadha V (2007). Chronic kidney disease in children: the global
perspective. Pediatr Nephrol, 22 : 1999–2009
Kanitkar CM (2009). Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective,
update. MJAFI, 65 : 45-49
Wilson LM (1999). Gagal Ginjal Kronis. Dalam: Price SA, Wilson LM,
penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-4.
Jakarta : EGC, pp : 712-769

47
Hogg RJ et al (2003). National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease
in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification.
Pediatrics, 111:1416 1421.
Whyte DA, Fine RN (2008). Chronic Kidney Disease in Children. Pediatr. Rev,
29:335-341.
Brenner BM, Lazarus JM (2000). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3
Edisi 13. Jakarta: EGC, pp: 1435-1443.
Mansjoer A, et al (2002).Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI

48

Anda mungkin juga menyukai