Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN ASCITES PERMAGNA,


CYLOTHORAX DD PSEUDOCYLOTHORAX DAN NHL B CELL CD 20+

Oleh:
Felina Joza S G991903017

Pembimbing: Residen:

Rina Aninda S., dr., Sp.PK(K) Indah Meyliza, dr

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:

SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN ASCITES PERMAGNA,


CYLOTHORAX DD PSEUDOCYLOTHORAX DAN NHL B CELL CD 20+

Oleh:
Felina Joza S G991903017

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:


Hari, tanggal : 18 Desember 2020

Pembimbing

dr. Rina Aninda Sidharta, Sp. PK (K)

ii
BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ngemplak, Boyolali
No RM : 0148xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Montir
Pendidikan : SMK
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 27 Februari 2020

B. Keluhan utama:
Sesak sejak 2 hari SMRS

C. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan sesak 2 hari
SMRS. Sesak dirasakan tiba-tiba dan terus-menerus. Sesak dirasa
tidak membaik dengan perubahan posisi maupun tidur dengan bantal
tinggi. Pasien sempat dirawat oleh dokter paru dan sempat diambil
cairannya. Cairan berwarna kuning seperti susu.
Pasien juga mengeluhkan perut terasa membesar semenjak 3 hari
SMRS. Awalnya pasien merasa perutnya mbeseseg dan mulai
membesar sejak 1,5 bulan SMRS. Keluhan memberat jika pasien tidur
dan membaik jika pasien duduk. Pasien sebelumnya sudah mondok di

1
RSDM dengan keluhan serupa dan pernah dilakukan penyedotan
cairan pada perutnya. Cairan berwarna merah muda keruh.
Pasien juga mengeluhkan benjolan di bahu kiri. Benjolan dirasa
sejak 1 tahun SMRS. Benjolan lama-kelamaan juga berada di depan
telinga kiri, ketiak, dan selangkangan. Benjolan tidak dirasa nyeri,
panas, maupun membesar. Benjolan terasa lunak dan mudah
digerakkan. Pasien didiagnosa NHL dari perawatan sebelumnya
namun pasien menolak untuk kemoterapi.
Pasien rutin mengkonsumsi obat dari bagian paru dan penyakit
dalam, namun pasien juga mengkonsumsi jamu herbal untuk
mencegah kanker. Keluhan lain seperti batuk, mual, muntah, berat
badan turun disangkal pasien.
BAB pasien normal 1x sehari setiap pagi. Konsistensi BAB
lunak, tidak cair, berwarna coklat, tidak ada lendir dan darah. BAK
pasien dalam sehari 5-6x. BAK berwarna jernih kekuningan. Pasien
menyangkal adanya rasa nyeri saat BAK dan anyang-anyangan.

D. Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
Riwayat sakit gula : Disangkal
Riwayat sakit liver : Disangkal
Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat sakit ginjal : Disangkal
Riwayat sakit serupa : Diakui, mondok 1 minggu yang
lalu

E. Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat sakit kanker : Disangkal

2
F. Riwayat kebiasaan
Makan : Pasien mengaku makan 3 kali sehari
dengan nasi, lauk-pauk, dan sayur.
Pasien terkadang makan buah.
Merokok : Pasien merokok sejak SMK sampai 1
tahun yang lalu
Alkohol : Disangkal
Konsumsi obat warung : Disangkal
Minum jamu : Diakui, pasien mengaku meminum
jamu herbal untuk mencegah kanker.
Jamu diminum 1x sehari sebelum
tidur.

G. Riwayat gizi
Pasien makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan +
10-12 sendok makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur, daging,
dan sayur. Pasien terkadang makan buah. Nafsu makan pasien baik.

H. Riwayat sosial ekonomi


Pasien bekerja sebagai montir di bengkel miliknya sendiri.
Bengkel berada di depan rumah pasien. Sehari-haari pasien bekerja
dari pukul 07.00 sampai 16.00 seorang diri. Namun sudah satu bulan
pasien tidak bekerja. Pasien berobat di RSDM menggunakan asuransi
BPJS kelas III non-PBI.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 23 Oktober 2019 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : GCS E4V5M6, compos mentis

3
3. Tanda vital
 Tensi : 100/60 mmHg
 Nadi : 92 kali /menit, reguler, isi kesan cukup.
 Frekuensi nafas : 26 kali /menit tipe thoracoabdominal
 Suhu : 36.70 C
4. Status gizi
 Berat Badan : 58 kg
 Tinggi Badan : 162 cm
 IMT : 22.1 kg/m2
 Kesan : Normoweight
5. Kulit : ikterik (-), turgor (-) normal, hiperpigmentasi (-), kering
(-), teleangiektasis (-), petechie (-), ekimosis (-)
6. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
7. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata merah (-/-),
lensa keruh (-/-)
8. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-), pembesaran kelenjar getah bening regio
prearicularis sinistra (+)
9. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)
10. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir
(-), oral thrush (-), lidah kotor (-).
11. Leher : JVP 5+2 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening

4
leher regio supraclavicular dextra (+), leher kaku (-),
distensi vena-vena leher (-)
12. Thorax : Bentuk normochest, simetris, dinding dada = dinding
abdomen pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla
(+/+)
13. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
 Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V linea mid clavicula
sinistra 2 cm ke medial
 Perkusi :
Batas Jantung
Kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Kiri atas : SIC II linea sternalis sinistra
Kiri bawah : SIC V linea mid clavicula sinistra
Kesan : Ukuran jantung kesan tidak melebar
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada kanan < kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan < kiri, fremitus raba kanan <
kiri

5
 Perkusi
- Kanan : Redup pada SIC IV ke bawah
- Kiri : Redup pada SIC VI ke bawah
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler menurun di SIC IV ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-) ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler menurun di SIC VI ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-), ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada kanan < kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan < kiri, fremitus raba kanan <
kiri
 Perkusi
- Kanan : Redup pada SIC IV ke bawah
- Kiri : Redup pada SIC VI ke bawah
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler menurun di SIC IV ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-) ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler menurun di SIC IV ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-) ronki basah kasar (-), krepitasi (-)

6
14. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut > dinding thorak, ascites (+),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), spider nevi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 10-12 x / menit
 Perkusi : Pekak alih (+)
 Palpasi : Supel (+), distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), defans muskuler (-), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (+)
15. Genital : Pembesaran kelenjar getah bening inguinal
(+/+)
16. Ekstremitas :
- -
- - - -
Akral dingin - - Oedem

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan
nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-),
pucat (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat (-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
deformitas (-/-)

III.DIAGNOSIS BANDING
1. Ascites permagna
2. NHL

7
3. Cylothorax dd pseudocylothorax

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium darah
Tanggal 27 Februari 2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 11.8 (↓) g/dl 13.5 – 17.5
Hct 36 % 33 – 45
AL 6.7 103 /  L 4.5 – 11.0

AT 236 103 /  L 150 – 450

AE 4.15 (↓) 106/  L 4.50 – 5.90


INDEX ERITROSIT
MCV 87.0 /um 80.0 – 96.0
MCH 27.5 (↓) pg 28.0 – 33.0
MCHC 32.8 (↓) g/dl 33.0 – 36.0
RDW 14.6 % 11.6 – 14.6
MPV 9.0 fl 7.2 – 11.1
PDW 16 (↓) % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 3.20 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.70 % 0.00 – 1.00
Netrofil 73.30 % 55.00 – 80.00
Limfosit 13.80 (↓) % 22.00 – 44.00
Monosit 9.00 (↑) % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 83 mg/dl 60 – 140
SGOT 29 u/l <35
SGPT 20 u/l <45
Protein total 5.7 g/dl 6.4 – 8.3
Albumin 3.5 g/dl 3.5 – 5.2

8
Creatinine 1.1 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 45 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.7 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 98 mmol/L 98 – 106

B. Analisa Cairan Pleura


Tanggal 27 Februari 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Makroskopis
Warna Kuning
Kejernihan Keruh Keruh
Bekuan Tidak ada Bekuan
bekuan
Protein 3.8 gram/dL >3
Glukosa 111 mg/dL <70
LDH 131 U/L >200
Jumlah sel 334 /uL >1000
Hitung jenis MN 89 % 30 – 75
Hitung jenis PMN 11 % <10
Catatan: Hasil Analisa pleura kiri kesan: Eksudat

C. Elektrokardiografi
Tanggal 27 Februari 2019

9
Irama : Sinus QRS complex : 0.08 second
Frekuensi : 91 x/menit ST segmen : isoelektrik
Axis : Normoaxis Gelombang T : normal
Gelombang P : reguler Zona interval : V3-V4
PR interval : 0.2 second Kesan : Normal

D. Pemeriksaan Imunohistokimia
Tanggal 12 Maret 2019 (Riwayat pemeriksaan sebelumnya)
No. Histopatologi : RS.1900XXX
Asal jaringan : Colli dextra
Diagnosa klinik : Menyokong diagnose klinis non-hodgkins
lymphoma
Terima sediaan : 6 Maret 2019
Jawab sediaan : 12 Maret 2019
Mikroskopis : D-20 (Positif)
Kesimpulan : Dapat menyokong B-Cell NHL

V. RESUME
1.Keluhan utama
Sesak sejak 2 hari SMRS
2.Riwayat penyakit sekarang
• Sesak 2 hari SMRS, terus-menerus

10
• Sesak tidak membaik dengan perubahan posisi
• Pasien sempat dirawat Sp.P dengan keluhan serupa dan diambil
cairan berwarna kuning keruh
• Perut membesar sejak 3 hari SMRS
• Perut mulai mbeseseg sejak 1.5 bulan SMRS, pernah dirawat
dengan keluhan serupa dan dilakukan penyedotan cairan
berwarna merah muda keruh
• Keluhan mbeseseg memberat jika pasien tidur, membaik jika
pasien duduk
• Benjolan di bahu kiri sejak 1 tahun SMRS
• Benjolan juga di depan telinga kiri, ketiak, dan selangkangan
• Benjolan tidak nyeri, panas, maupun membesar
• Pasien pernah didiagnosa NHL dari perawatan sebelumnya,
namun menolak kemoterapi
• BAB pasien dalam batas normal
• BAK pasien dalam batas normal
3. Pemeriksaan fisik:
Frekuensi napas: 26 kali/menit
Telinga: Pembesaran KGB regio preauricularis sinistra (+)
Leher: Pembesaran KGB leher regio supraclavicular dextra (+)
Thorax: Pembesaran KGB axilla dextra et sinistra (+/+)
Pulmo:
- Inspeksi: Pengembangan dinding dada kanan < kiri
- Palpasi: Pergerakan dinding dada kanan < kiri
- Perkusi: Pulmo dextra redup pada SIC IV ke bawah, pulmo
sinistra redup pada SIC VI ke bawah
- Auskultasi: Pulmo dextra suara dasar vesikuler menurun di
SIC IV ke bawah, pulmo sinistra suara dasar vesikuler
menurun di SIC VI ke bawah
Abdomen:
- Inspeksi: Dinding perut > dinidng dada, ascites (+)

11
- Palpasi: Undulasi (+)
- Perkusi: Pekak alih (+)
Genital: Pembesaran KGB inguinal dextra et sinistra (+/+)
4. Pemeriksaan penunjang:
Hematologi rutin : Hb 11.8 (↓), AE 4.15 (↓), PDW 16 (↓), MCHC
32.8 (↓), MCV 27.5 (↓)
Hitung jenis : Limfosit 13.80 (↓), Monosit 9.00 (↑)
Kimia klinik : Protein total 5.7 (↓)
Analisa cairan pleura kiri: Tidak ada bekuan, hitung jenis MN 89
(↑), kesan eksudat
Pemeriksaan imunohistokimia: Mikroskopis D-20 positif,
menyokong B-Cell NHL

5. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Ascites permagna
2. Cylothorax dd pseudocylothorax
3. NHL B-cell CD-20 positif
I. TERAPI
a. Bedrest tidak total
b. O2 NK 3 lpm
c. Inf NaCl 0,9% 20 tpm
d. Inj. Metilprednisolone 62,5 mg/12 jam
e. Inj. Omeprazole 4 mg/24 jam
f. Inj. Metoclopramide 10 mg (klp mual)
g. Inj. Vit K 10 mg/8 jam
II. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia

12
BAB II
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang disebabkan oleh adanya
cairan pada kedua paru pasien. Pasien sendiri merupakan pasien dengan NHL B
cell terkonfirmasi CD20+ sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien dengan chylothorax umumnya datang dengan keluhan sesak napas
(Dipsneu atau takipneu), dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik didapatkan
adanya peningkatan respiration rate, SDV menurun bentuk dan gerak dinding dada
asimetris, serta pada pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan gambaran efusi pleura yang luas dan pada torakosentesis keluarnya
cairan putih (milky fluid). Pada analisis cairan pleura, jika kadar trigliserida lebih
besar dari 110 mg/dL maka 99% cairan itu adalah cairan limfe. Pada pasien
didapatkan keluhan berupa sesak napas sejak 2 hari SMRS, dimana sesak
didpatkan terus-menerus dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya peningkatan respiration rate (26x/menit) dan
pemeriksaan thoraks (pulmo), didapatkan Inspeksi: Pengembangan dinding dada
kanan < kiri, Palpasi: Pergerakan dinding dada kanan < kiri, Perkusi: Pulmo
dextra redup pada SIC IV ke bawah, pulmo sinistra redup pada SIC VI ke bawah,
Auskultasi: Pulmo dextra SDV menurun di SIC IV ke bawah, Pulmo sinistra SDV
menurun di SIC VI ke bawah. Dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang,
pada analisa cairan pleura: Warna kuning keruh, idak ada bekuan, hitung jenis MN
89 (↑), kesan eksudat. Penyebab terjadinya chylothorax dibagi menjadi dua, trauma
dan non trauma. Adanya trauma disangkal oleh pasien. Lalu, pada pasien
didapatkan adanya pembesaran KGB regio preauricularis sinistra (+), pembesaran
KGB regio supraclavicular dextra, dan pembesaran KGB axilla dextra et sinistra,
lalu pasien dilakukan pemeriksaan Imunohistokimia dan didapatkan mikroskopis
D-20 positif, menyokong B-Cell NHL. Maka pada pasien didapatkan penyebab
nontraumatik berupa keganasan.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding antara cylothorax dengan
pseudocylothorax, bisa dilakukan pemeriksaan cairan pleura yang dilihat dari kadar
trigliserid yang >110 mg/dL sehingga dapat ditegakkan sebagai cylothorax.
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum.
Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula
13
disebabkan penyakit lain seperti keganasan, infeksi dan lainnya. Pasien pada kasus
didapatkan adanya keganasan berupa NHL. Asites ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus didapatkan pasien perut
membesar dan mbeseseg, pada pemeriksaan fisik abdomen Inspeksi: Dinding
perut > dinding dada, Perkusi: Pekak alih (+), Palpasi: Undulasi (+). Asistes
dengan cairan yang massif, disebut juga denga asites permagna. Diperlukan
pemeriksaan cairan, secara makroskopis cairan asites hemoragik sering
dihubungkan dengan keganasan, serta pemeriksaan gradient nilai albumin serum,
dan pemeriksaan hitung sel. Untuk melakukan analisa cairan asiter dapat dilakukan
parasintesis abdomen untuk konfirmasi adanya asites, penyebab dan infeksi.
Faktor risiko pada pasien bisa berasal dari kebiasaan pasien seperti
merokok ataupun perkerjaan pasien sebagai montir, Faktor risiko sendiri
berhubungan juga dengan paparan lingkungan, pekerjaan, diet, dan paparan
lainnya. Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah
peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan karena adanya
paparan herbisisda dan pelarut organik. Resiko NHL juga meningkat pada orang
yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan terkena paparan
ultraviolet berlebihan.
Pada pemeriksaan klinik, pada pasien terdapat penurunan kadar Hb menjadi
11.8, hal ini belum bisa dikatakan sebagai anemia. Namun anemia pada pasien
dengan keganasan bisa dikarenakan oleh penurunan produksi sel darah merah yang
merupakan hasil dari defisiensi nutrisi. Selain itu bisa juga disebabkan oleh
infiltrasi sel tumor ke sumsum tulang dan juga efek dari pengobatan kanker seperti
kemotererapi atau radioterapi yang meningkatkan hemolisis sel darah merah.
Tatalaksana NHL sendiri adalah kemoterapi yang disesuaikan dengan
stadium penderita. Kemoterapi dan terapi Radiasi merupakan tatalaksana pada
pasien dengan limfoma. Namun, pasien tidak menjalankan kemoterap sehingga
tidak ada efek kemoterapi yang bisa ditelaah pada pasien ini.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ascites
1. Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum.
Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula
disebabkan penyakit lain.
2. Etiologi
Asites cenderung terjadi pada penyakit menahun (kronik). Paling sering
terjadi pada sirosis, terutama yang diisebabkan oleh alkoholisme. Asites juga
bisa terjadi pada penyakit non-hati, seperti kanker, gagal jantung, gagal ginjal
dan tuberkulosis. Pada penderita penyakit hati, cairan merembes dari permukaan
hati dan usus. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
 hipertensi portal
 menurunnya kemampuan pembuluh darah untuk menahan cairan
 tertahannya cairan oleh ginjal
 perubahan dalam berbagai hormon dan bahan kimia yang mengatur cairan
tubuh.
Penyebab asites:
1. Kelainan di hati :
 Sirosis, terutama yang disebabkan oleh alkoholisme
 Hepatitis alkoholik tanpa sirosis
 Hepatitis menahun
 Penyumbatan vena hepatik
2. Kelainan diluar hati :
 Gagal jantung
 Gagal ginjal, terutama sindroma nefrotik
 Perikarditis konstriktiva
 Karsinomatosis, dimana kanker menyebar ke rongga perut
 Berkurangnya aktivitas tiroid

15
 Peradangan pankreas.
3. Klasifikasi
Derajat  Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut:
 Tingkatan 1  : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
 Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah
cairan yang minimal.
 Tingkatan 3 :  dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan
abdomen  tidak tegang.
 Tingkatan 4 : asites permagna.

4. Patogenesis
Proses terjadinya asites karena malignansi merupakan proses multifaktorial.
Hal ini berkaitan erat dengan pembentukan asites terkait dengan kombinasi
permeabilitas vaskular yang berubah dan drainase limfatik yang terhambat.
Pemahaman yang cermat tentang peritoneum, sistem limfatik, dan aliran
dinamis cairan diperlukan untuk menjelaskan mekanisme pembentukan asites
karena keganasan.
Terdapat lima penghalang mikroskopis yang mencegah pergerakan protein
menjauh dari ruang intravaskuler: endotel kapiler, membran basis kapiler,
stroma interstisial, membran basal mesothelial dan sel mesothelial dari lapisan
peritoneum. Melalui kombinasi mekanisme mekanis dan selektif, termasuk
persimpangan ketat dan molekul makro anionik, penghalang yang efektif
dipertahankan, mencegah kebocoran molekul protein ke dalam rongga
peritoneum.
Pada awal 1953, Holm-Nielson menunjukkan bahwa pada tikus dengan
asites akibat keganasan, tinta India yang disuntikkan ke dalam rongga
peritoneum tetap berada di rongga peritoneum, menunjukkan obstruksi limfatik

16
sebagai faktor utama dalam patogenesis asites maligna. Studi ini menunjukkan
pentingnya obstruksi limfatik pada asites terkait tumor.
Kualitas cairan pada pasien dengan keganasan yang mengalami asites
akibat karsinomatosis peritoneal berbeda, dengan sitologi positif, konsentrasi
protein cairan asites yang tinggi dan gradien albumin serum-asites yang rendah.
Kandungan protein yang tinggi dari asites maligna menunjukkan bahwa ada
perubahan permeabilitas vaskular yang memungkinkan molekul besar
terakumulasi di ruang intraperitoneal.
Faktor yang mengubah permeabilitas pembuluh darah dan mendorong
pembentukan asites maligna. Faktor permeabilitas vaskular ini, yang dikenal
sebagai faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), bertanggung jawab
untuk memungkinkan berbagai tingkat pergerakan mikro dan makromolekul
melintasi endotel vaskular, dalam pengaturan keadaan fisiologis normal, selain
keadaan penyakit patologis, mulai dari peradangan akut, penyembuhan luka
dan menstruasi hingga angiogenesis tumor.
Zebrowski et al menunjukkan bahwa tingkat VEGF secara signifikan lebih
tinggi pada asites maligna bila dibandingkan dengan asites nonmalignant, dan
ketika asites sirosis terkena VEGF, permeabilitas sel endotel meningkat.
Penambahan antibodi penetral VEGF ke asites ganas mengurangi permeabilitas
ini. Dari catatan, paparan asites sirosis ke sel memiliki efek yang sama pada
permeabilitas endotel, menunjukkan faktor selain VEGF memiliki peran dalam
pembentukan asites maligna. Meskipun tidak jelas mekanisme di balik
pembentukan asites maligna, asites pada pasien sirosis telah dikaitkan dengan
hiperemia splanknikus, diperkirakan karena faktor nekrosis tumor.
Dengan demikian, terlihat jelas formasi yang ganas asites adalah proses
multifaktorial yang kompleks. Mekanisme nisme untuk akumulasi cairan dan
protein di intraperitoneal yang terkait dengan kanker tampaknya menjadi yang
kedua akibat kombinasi dari drainase limfatik yang terganggu dan peningkatan
permeabilitas vaskular.

5. Diagnosis
Penyebab produksi cairan intraabdomen berlebih sangat banyak, termasuk
sirosis, gagal jantung kongestif, nefrosis, pankreatitis, peritonitis, keganasan
primer atau metastasis hati. Tidaklah mungkin untuk membedakan asites jinak
17
dari asites ganas hanya dengan pemeriksaan fisik atau teknik radiografi.
Pengujian invasif diperlukan untuk membedakan kedua jenis tersebut.
Parasentesis abdomen dengan analisis cairan asites dapat mendiagnosis
penyebab ganas produksi asites dalam banyak kasus, tetapi pengambilan
sampel jaringan laparoskopi mungkin diperlukan.
Analisis cairan asites terdiri dari evaluasi mikroskopis, kimiawi dan sitologi
untuk membantu membedakan antara pembentukan asites yang disebabkan
oleh infeksi, inflamasi dan keganasan. Pada pasien dengan karsinomatosis
peritoneal, cairan asites memiliki sitologi positif, konsentrasi protein yang
tinggi dan gradien albumin serum-asites yang rendah. Sementara dalam
beberapa laporan sitologi adalah diagnostik hanya pada 50% -60% kasus asites
ganas, telah dibuktikan bahwa hingga 97% pasien dengan karsinomatosis
peritoneal memiliki sitologi positif, menunjukkan bahwa tumor mengeluarkan
sel ke dalam peritoneal. rongga, menjadikannya tes yang sangat sensitif dan
standar emas untuk mendiagnosis karsinoma peritoneal.
Pada pasien dengan karsinomatosis peritoneal dan metastasis hati, sitologi
cairan positif dan konsentrasi protein asites bervariasi, tetapi gradien albumin
serum-asites tetap tinggi, dengan penambahan kadar alkali fosfatase serum
yang meningkat secara nyata (> 350 mg / dL).
Penambahan penanda tumor, terutama CEA, CA-125 dan α fetoprotein,
tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis keganasan tetapi dapat membantu
dalam mengidentifikasi tumor primer yang menyebabkan asites maligna. Sifat
biokimia dari cairan asites, termasuk fibronektin, kolesterol, laktat
dehidrogenase, asam sialat, aktivitas telomerase dan protease, telah dipelajari
dan, walaupun secara klinis membantu, mereka belum terbukti dapat
diandalkan dalam membedakan antara ganas dan asites jinak. Penanda tumor
dan biokimia bersama dengan ciri morfologi apusan sitologi, pewarnaan
imunohistokimia dan riwayat klinis penting dalam menentukan keberadaan
asites terkait keganasan dan lokasi utama karsinoma metastatik.
6. Tatalaksana
a. Bed rest
Istirahat Pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak
dikaitkan dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik, pengurangan di tingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi
18
natrium, serta respon menurun terhadap diuretik. Efek ini bahkan lebih
mencolok dalam hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini
sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat
istirahat. Namun, belum ada studi klinis yang menunjukkan
keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi
penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan
komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit,
tirah baring umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien
dengan asites tanpa komplikasi.
b. Retriksi diet garam
Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada
10% pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan
diuretik lebih rendah, resolusi asites lebih cepat , dan masa di RS lebih
pendek. Di masa lalu, makanan garam sering dibatasi sampai 22 atau 50
mmol / hari, diet ini dapat menyebabkan malnutrisi protein dan hasil
yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan.
c. Diuretik
Diuretik telah menjadi andalan pengobatan asites sejak tahun 1940
ketika pertama kali tersedia. Banyak agen diuretik telah dievaluasi
selama bertahun-tahun tetapi dalam praktek klinis dalam hal ini Inggris
telah membatasi terutama spironolactone, amilorid, furosemid, dan
bumetanide.
 Spironolactone
Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada
tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium.
Spironolactone adalah obat pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis.
Dosis harian inisial 100 mg bisa ditingkatkan sampai 400 mg untuk
mencapai natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari antara awal
pengobatan spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol natriuretik
telah menemukan bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan
diuresis dari loop diuretic seperti furosemide.
 Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis
dan diuresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai
19
tambahan untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila
digunakan sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40 mg/hari
dan umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160
mg/hari. Tinggi dosis frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit
berat dan alkalosis metabolik, dan harus digunakan hatihati. Furosemid dan
spironolactone bekerja simultan meningkatkan efek natriuretik.
d. Terapi paracentesis
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen
inisial oleh paracentesis ulanagan dengan volume besar. Beberapa studi
klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa besar Volume paracentesis
dengan penggantian koloid cepat, aman, dan effective. Penelitian
pertama menunjukkan bahwa seri volume besar paracentesis (4-6 l/hari)
dengan infus albumin (8 g/liter asites yang hilang) lebih efektif dan
berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat inap
yang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini
diikuti oleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan,
kecepatan paracentesis, perubahan hemodinamik setelah paracentesis,
dan kebutuhan terapi penggantian koloid. Paracentesis total umumnya
lebih aman dari paracentesis berulang, jika ekspansi volume diberikan
pasca-paracentesis. Jika ekspansi volume pascaparacentesis gagal
memberikan volume ekspansi dapat menyebabkan gangguan sirkulasi,
gangguan fungsi ginjal dan elektrolit.
Setelah paracentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi
diuretik tidak dihidupkan kembali, tapi berulang pada hanya 18%
pasien yang diobati dengan spironolactone. Memperkenalkan kembali
diuretik setelah paracentesis (biasanya dalam 1-2 hari) tampaknya tidak
meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi postparacentesis.

20
7. Prognosis
Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua
tahun diagnosis. Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam
waktu enam bulan. Meskipun memperbaiki manajemen dan kualitas cairan,
pasien hidup sambil menunggu transplantasi hati, perawatan seperti terapi
paracentesis dan TIPS tidak memperbaiki masa bertahan hidup jangka panjang
tanpa transplantasi untuk pasien. paling karena itu, ketika setiap pasien dengan
sirosis berkembang menjadi asites, kesesuaian untuk transplantasi hati harus
dipertimbangkan. Perhatian harus diberikan untuk fungsi ginjal pada pasien
dengan asites pra-transplantasi, disfungsi ginjal menyebabkan morbiditas lebih
besar dan pemulihan tertunda setelah transplantasi hati dan berhubungan
dengan tinggal lama di ICU dan rumah sakit.

B. Cylothorax dan Pseudocylothorax


"Chylothorax" adalah terjadinya chylus di rongga pleura, dan disebabkan oleh
kerusakan atau penyumbatan pada duktus toraks. Diagnosis ditegakkan dengan
analisis cairan pleura, yang mengandung trigliserida tingkat tinggi, dan
dikonfirmasi dengan ditemukannya kilomikron. "Chylus", atau chyle, adalah getah
bening, terutama dari saluran pencernaan, yang menjelaskan komposisinya.
"Pseudochylothorax" atau "kolesterol pleurisy" atau "chyliform effusion"
adalah cairan yang memiliki kandungan kolesterol yang sangat tinggi. Trigliserida
atau kilomikron, bagaimanapun, tidak ada dan entitas tidak ada hubungannya
dengan pembuluh limfatik atau chyle. Hal ini dapat terjadi ketika cairan telah ada
dalam waktu lama di rongga pleura dan, lebih khusus lagi, pada pleura fibrotik.
Kedua kondisi tersebut memiliki ciri yang sama: cairan pleura biasanya kental,
opalescent, keputihan atau warna café-au-lait atau susu coklat, karena kandungan
lemaknya yang sangat tinggi. Selain itu, mereka tidak memiliki kesamaan.
1. Anatomi
Chyle beralih dari limfatik usus kecisterna chyli dan kemudian melalui
saluran toraks untuk akhirnya kosong ke dalam sistem vena. Duktus toraks
dimulai pada cisterna chyli dekat vertebra T-12 dan naik melalui hiatus aorta
diafragma pada permukaan anterior tubuh vertebral antara aorta dan v. Azygos
ke mediastinum posterior. Pada tingkat vertebra toraks kelima, kemudian
melintasi ke kiri kolom vertebra dan naik ke belakang lengkungan aorta ke kiri
21
arteri subklavia yang berdekatan dengan pleura mediastinum. Pada tingkat
proses transversal vertebra serviks ketujuh, saluran berubah ke lateral dan
berjalan anterior ke arteri vertebral dan tirocervical dan trunkus simpatis.
Melewati selubung karotis, ia turun ke anterior ke asal arteri subklavia kiri dan
berakhir di dekat persimpangan vena jugularis dan subklavia interna. Katup
bikuspid di persimpangan limfovenosa mencegah refluks darah ke saluran.
Saluran itu sendiri memiliki banyak katup sepanjang panjangnya. Namun, pada
hingga 50% individu, rute saluran toraks anomali dan tidak dapat diprediksi,
sehingga membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan selama prosedur bedah.
Saluran ini membawa getah bening dari seluruh tubuh, kecuali dari sisi kanan
kepala, leher, dada, kedua paru-paru, dan ekstremitas kanan atas yang bermuara
di saluran limfatik kanan. Ada pembuluh anastomosis luas yang hadir di antara
berbagai limfatik, dan banyak anastomosis limfatikovenosa antara saluran
toraks dan azygos, intercostals, dan vena lumbar. Kekayaan sirkulasi kolateral
ini memungkinkan ligasi yang aman dari saluran toraks pada setiap tingkat.
2. Etiologi
Chylothorax terjadi karena kebocoran chyle dari duktus toraks. Ini pada
gilirannya disebabkan oleh trauma, melemahnya dinding, atau penyumbatan
saluran. Duktus toraks adalah struktur yang cukup lemah, dan, pada
kenyataannya, bahkan peregangan yang intens secara tiba-tiba dapat
menyebabkan ruptur, seperti yang telah dijelaskan setelah batuk yang kuat,
muntah, atau persalinan, lebih sering terjadi pada bayi tetapi juga bisa pada ibu.
Pecahnya saluran yang traumatis dapat menjadi komplikasi awal atau akhir
setelah kecelakaan lalu lintas, tetapi sekarang terlihat semakin sering setelah
berbagai jenis pembedahan yang melibatkan jantung, paru-paru atau daerah
kepala dan leher. Itu dapat terjadi bahkan setelah operasi torakoskopi. Insiden
chylothorax setelah operasi dada dari berbagai jenis sekitar 0,5%.
Dari penyebab non-traumatik, yang paling umum adalah limfoma ganas.
Kapanpun chylothorax dengan etiologi yang tidak diketahui terjadi, kecurigaan
pertama harus dari limfoma maligna yang mendasari. Keganasan lain dapat
menyebabkan penyumbatan duktus melalui penyebaran metastasis, tetapi ini
sebenarnya kejadian yang cukup jarang.
Sedangkan pada pseudocylothorax, selubung tebal yang menutupi seluruh
paru dapat dilihat setelah radang selaput dada tuberkulosis, pneumotoraks
22
terapeutik, atau radang selaput dada rheumatoid kronis, yang merupakan tiga
penyebab paling umum.
Penyebab lainnya adalah traumatis, yaitu perdarahan yang banyak pada
pleura yang menjadi teratur, sisa-sisa empiema yang tidak dirawat dengan baik,
dan penyakit lain yang dapat menyebabkan fibrosis yang luas pada pleura.
Saya belum melihat laporan tentang radang selaput dada kolesterol pada
orang dengan penebalan pleura difus terkait asbes. Kemungkinan pada fibrosis
pleura jenis ini, jaringan fibrotik yang dikandung terlalu padat, dan tidak
terdapat central pool dari cairan, sehingga kondisi untuk radang selaput dada
kolesterol tidak ada.

3. Pathogenesis
Patogenesis chylothorax dapat dibagi menjadi dua kategori utama —
penyebab bedah dan medis. Chylothorax dari penyebab medis hasil dari
kompresi ekstrinsik atau infiltrasithoracic duct, yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraductal. Tekanan yang meningkat ini mendorong
pembentukan saluran kolateral yang melebar yang akhirnya mengalir ke ruang
pleura. Penyebab paling umum chylothorax adalah neoplasma, yang
bertanggung jawab atas lebih dari 50% kasus. Keganasan yang paling umum
yang menyebabkan kondisi ini adalah limfoma, yang mengarah ke chylothorax
dengan menekan atau menginvasi saluran toraks atau melenyapkan limfatik
setelah terapi radiasi. Obstruksi saluran toraks oleh limfoma atau karsinoma
bronkogenik cenderung menyebabkan chylothorax sisi kanan ketika bagian
bawah duct terlibat, sedangkan chylothorax sisi kiri terjadi ketika bagian atas
duktus toraks terlibat. Chylothorax dalam pengaturan keganasan di bawah
diafragma selalu menunjukkan metastasis. Penyebab utama chylothorax
lainnya adalah pembedahan dan trauma. Meskipun setiap luka tembus yang
mengganggu saluran toraks akan menghasilkan chylothorax, batuk dan
ketegangan yang parah dilaporkan telah menyebabkan kondisi ini. Prosedur
bedah pada jantung, mediastinum, operasi di leher, seperti pembedahan leher
radikal, dan penempatan kateter di vena cava superior untuk pemantauan
hemodinamik dapat menyebabkan chylothorax. Chylothorax adalah penyebab
paling umum efusi pleura pada neonatus, dan biasanya muncul secara spontan.
Kondisi sistemik, seperti amiloidosis Behcet, sarkoidosis, gagal jantung, dan
23
sindrom nefritik, terdiri dari kelompok lain dari kondisi lain yang berhubungan
dengan chylothorax. Sindrom Jaffe-Campanacci, yang mencakup fibromata
non-pengerasan yang disebarluaskan juga telah dilaporkan dikaitkan dengan
chylothorax.
Sedangkan pada pseudocylothorax, beberapa eksudat yang bertahan dalam
waktu lama (berbulan-bulan atau bertahun-tahun) di rongga pleura cenderung
diperkaya dengan kolesterol. Biasanya, "radang selaput dada kolesterol" ini
terlihat dalam cairan, yang dikemas dalam area fibrotik dari pleura yang sangat
menebal. Jaringan parut fibrotik, yang membentuk dinding bilik, mengalami
vaskularisasi buruk dan hanya ada sedikit sel, sehingga hanya ada sedikit
penyerapan zat apa pun di dalam cairan. Teori sebelumnya menyatakan bahwa
sel darah, baik merah maupun putih, yang mencapai cairan menjadi nekrotik
dan tidak terintegrasi. Kolesterol dari dinding sel diserap dengan buruk dalam
keadaan ini, dan dengan demikian, seiring waktu, kadarnya akan meningkat.
Namun, analisis telah menunjukkan bahwa ada pengikatan utama kolesterol ke
lipoprotein densitas tinggi (HDL), yang menyiratkan bahwa itu berasal dari
lipoprotein serum daripada dari puing-puing seluler.
Mungkin karena efek osmotik, efusi kolesterol cenderung membesar secara
perlahan. Selama beberapa tahun, ruang kecil asli dapat bertambah menjadi
satu liter atau lebih. Karena fibrosis pleura sangat sering dikaitkan dengan
perubahan di paru-paru, seringkali menyebabkan penurunan fungsi paru-paru,
pleura yang menebal ini dapat menyebabkan dispnea yang parah dan kualitas
hidup yang buruk.
4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gejala yang biasa muncul adalah dyspnea karena penumpukan cairan
pleura. Nyeri dada dan demam jarang terjadi karena chyle tidak menyebabkan
iritasi pada permukaan pleura. Traylatic chylothorax biasanya berkembang
dalam dua hingga sepuluh hari setelah cedera. Pada chylothorax nontraumatic,
timbulnya gejala lebih berbahaya. Chylothorax spontan jarang hadir sebagai
massa leher mendadak. Keparahan gejala terkait dengan tingkat akumulasi
chyle dan ukuran efusi pleura. Sekuel chylothorax yang lebih serius adalah
malnutrisi, kelemahan, dehidrasi, asidosis metabolik, dan status imunologis
yang terganggu karena hilangnya chyle, yang kaya akan protein, lemak,
elektrolit, bikarbonat, limfosit, dan vitamin yang mudah larut.
24
Diagnosis chylothorax ditegakkan dengan mengukur kadar trigliserida
dalam cairan pleura. Jika trigliserida lebih besar dari 110 mg / dL, diagnosis
mungkin adalah chylothorax; sebaliknya, jika kadarnya kurang dari 50 mg / dL,
chylothorax tidak mungkin. Ketika kadar antara 50 hingga 110 mg / dL,
analisis lipoprotein harus dilakukan. Chylomicron dalam cairan menetapkan
diagnosis chylothorax. Cairan pleura seperti susu atau krim juga dapat
dikaitkan dengan kondisi yang disebut pseudochylothorax. Dalam kondisi ini,
biasanya dikaitkan dengan penyakit kronis, seperti tuberkulosis, kekeruhan
adalah akibat tingginya kadar kolesterol atau kompleks lesitin-globulin dan
bukan kilomikron. Efusi biasanya berlangsung lama dan dapat menyebabkan
pleura menebal dan bahkan kalsifikasi.
Diagnosis dibuat dengan analisis cairan pleura. Kadar trigliserida yang
lebih besar dari 110 mg/dl, memiliki indikasi pada efusi chylous yang tinggi.
Dalam kasus samar, dengan kadar trigliserida 50–110 mg/dl, elektroforesis
lipid akan memperjelas diagnosis. Trigliserida di bawah 50 mg/dl secara virtual
menyingkirkan diagnosis chylothorax. Nilai kolesterol harus diukur secara
bersamaan, karena kadar trigliserida yang tinggi dapat terjadi pada
pseudochylothorax, tetapi kadar kolesterol selalu sangat tinggi (> 200 mg/dL),
dan pada mikroskop, kristal kolesterol dapat dilihat, yang dianggap diagnostik.
5. Membedakan Cylothorax dan Pseudocylothorax

6. Tatalaksana

25
Manajemen awal menentukan etiologi. Penyebab bedah lebih jelas. Karena
limfoma adalah penyebab chylothorax yang paling umum dalam keadaan non-
bedah, CT scan dada dan perut harus dilakukan untuk mengevaluasi kelenjar
getah bening mediastinal dan para-aorta. Perawatan primer harus diarahkan
pada penyebab yang mendasarinya. Dalam kebanyakan kasus terapi bedah
harus dilakukan hanya setelah kegagalan terapi konservatif. Namun, waktu
manajemen bedah tidak memiliki konsensus.
Terapi Konservatif

Pendekatan awal untuk manajemen chylothorax melibatkan drainase tabung


dada dari ruang pleura. Drainase hisap kontinu membantu meringankan
tekanan chyle pada paru-paru, memperluas kembali paru-paru yang sebagian
kolaps, melenyapkan ruang pleura, dan memungkinkan pengukuran produksi
chyle yang akurat. Perluasan kembali paru-paru kadang-kadang terhalang oleh
pembentukan membran fibrinous di sekitar paru-paru, yang mungkin
memerlukan intervensi bedah. Tingkat kebocoran chyle sebenarnya dapat
diukur dan dicatat, jika tabung dada terpasang. Drainase tabung dada kurang
dari 500 mL selama 24 jam pertama aftar penghentian asupan oral lengkap dan
nutrisi parenteral total dapat memprediksi keberhasilan pengobatan konservatif.

26
Karena chyle hingga tiga liter dapat mengalir setiap hari, sejumlah besar cairan,
elektrolit, lemak, protein, dan limfosit dapat hilang yang mengarah pada
penipisan nutrisi yang parah dan keadaan defisiensi imun.
Terapi Bedah

Dua minggu sering digunakan sebagai batas resolusi olehmanajemen


konservatif, tetapi tidak ada studi terkontrol besar untuk mengkonfirmasi
rekomendasi ini. Sangat dihargai bahwa pasien yang menggunakan lebih dari
1.000 mililiter per hari dapat mengambil manfaat dari intervensi bedah
sebelumnya (5-7 hari) karena mortalitas yang lebih tinggi dengan peningkatan
output. Kegagalan perawatan konservatif dalam kasus chylothorax bedah
membutuhkan intervensi bedah untuk manajemen definitif. Lampson pertama
kali menunjukkan bahwa chylothorax dapat dikontrol oleh ligasi duktus toraks.
Pemberian pewarna lipofilik pra-operasi (mis., Evans blue or cream) membantu
menemukan lokasi kebocoran limfatik selama prosedur. Saluran dada
kemudian diidentifikasi, diisolasi, dan diikat tepat di atas hiatus aorta antara T-
8 dan T-12. Setelah ligasi, biasanya ada beberapa halangan untuk aliran getah
bening distal ke situs yang diikat sampai saluran kolateral baru terbentuk (2
sampai 3 minggu). Pendekatan abdominal untuk mengikat laktasi duktus toraks
merupakan alternatif pada pasien di mana pendekatan toraks tidak
memungkinkan. Yang lain telah menggambarkan pendekatan ekstra-pleura
27
posterior untuk ligasi duktus toraks. Baru-baru ini, operasi toraks dengan
videoassisted telah memberikan pendekatan yangefektif dan berpotensi kurang
invasif untuk chylothorax.
C. Limfoma Non-Hodkin
1. Definisi

Berdasar American Cancer Society NHL merupakan kanker yang


prosesnya dimulai pada sel yang disebut limfosit, yang merupakan bagian
dari imun sistem. Limfosit terletak di limfa nodul dan limfoid tissue lainnya
seperti limfa ataupun sumsum tulang. Tetapi beberapa tipe kanker seperti
kanker paru ataupun kanker kolon yang dapat menyebar ke jaringan limfa
nodul, bukanlah merupakan Non Hodgkin limfoma tetapi hanya merupakan
metastase.

Non hodgkin limfoma merupakan suatu keganasan yang dimulai ketika


limfosit berdiferensiasi menjadi sel yang abnormal. Sel yang abnormal akan
terus bereplikasi menggandakan dirinya terus menerus dan bertambah
banyak. Abnormal sel tidak dapat melakukan apoptosis. Mereka juga tidak
bisa memproteksi tubuh dari infeksi dan penyakit imun lainnya. Sel yang
abnormal akan membentuk ekstra sel yang akan menjadi suatu massa di
jaringan yang disebut tumor.
2. Etiologi dan Faktor Risiko

Infeksi virus merupakan salah satu yang dicurigai menjadi etiologi NHL
contohnya ialah infeksi virus Epstein Barr dan HTLV (Human T
Lymphoytopic Virus type 1) yang berhubungan dengan limfoma Burkitt ,
yang merupakan limfoma sel B. Selain itu abnormalitas sitogenik seperti
translokasi kromosom juga ikut berperan menyebabkan proliferasi dari
limfosit. Pada limfoma sel B ditemukan abnormalitas kromosom, yaitu
translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q) ke lengan panjang
kromosom nomor 14 (14q). Faktor resiko berhubungan juga dengan paparan
lingkungan, pekerjaan, diet, dan paparan lainnya. Beberapa pekerjaan yang
sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan
dan pertanian. Hal ini disebabkan karena adanya paparan herbisisda dan
pelarut organik. Resiko NHL juga meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan terkena paparan
28
ultraviolet berlebihan.
3. Klasifikasi

Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingungkan


dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian
cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi dan antara klasifikasi satu sama
lain tidak kompatibel. Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan
kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia.

Tabel. Jenis-jenis limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin berdasarkan klasifikasi


WHO.
Klasifikasi WHO
B-CELLS NEOPLASM
Precursor B-cell neoplasm
Precursor B lymphoblastic leukaemia/ lymphoma
Matur B-cell Neoplasm
Chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma
B cell lymphocytic leukemia
Lymphoplasmacytic lymphoma
Splenic marginal zone lymphoma
Hairy cell leukaemia
Plasma cell myeloma
Solitary plasmacytoma of bone
Extraosseous plasmacytoma
Extranodal marginal zone B cell lymphoma of mucosa-asociated lymphoid
tissue (MALT –lymphoma)
Nodal marginal zone B cell lymphoma
Follicular lymphoma
Mantle cell lymphoma
Diffuse large B cell lymphoma
Subtipe : Mediastinal (thymic) large B cell lymphoma, Intravascular large B
cell lymphoma, Primary effusion lymphoma
Burkitt lymphoma
Plasmacytoma
T-CELL dan NK CELL NEOPLASM

29
Precursor T cell neoplasm
T-cell lymphoblastic leukaemia/ lymphoma
Matur T cell dan NK cell Neoplasm
T cell prolymphocytic leukaemia
T cell large granular lymphocytic
leukaemia NK-cell leukaemia
Ekstranodal NK/T-cell lymphoma, nasal type (angiocentric
lymphoma) Mycosis fungoides
Sezary syndrome
Angioimunoblastic T cell lymphoma
Peripheral T cell lymphoma
Adult T cell leukaemia
Systemic anaplastic large cell lymphoma
Primery cutaneous anaplastic large cell
lymphoma Subcutaneos panniculitis-like T
cell lymphoma
Enteropathy-type intestinal T cell lymphomaHepatosplenic T-cell
lymphoma
HODGKIN LYMPHOMA
Nodular lymphocyte predominant Hodgkin
Lymphoma Classical Hodgkin Lymphoma
Nodular sclerosis classical Hodkin
Lymphoma Mixed cellularity classical
Hodkin Lymphoma Lymphocyte-rich
classical Hodkin Lymphoma
Lymphocyte-depleted classical Hodkin Lymphoma

30
4. Diagnosis
Pendekatan diagnostik untuk menegakkan NHL ialah dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat
diketahui gejala sistemik umum berupa berat badan menurun 10 % dalam
waktu 6 bulan, demam tinggi 38o C 1 minggu tanpa sebab , keringat malam,
keluhan anemia, kelainan darah, malaise, dan keluhan organ (misalnya
lambung, nasofaring). Pada pemeriksaan fisik akan didapati pembesaran
kelenjar getah bening dan kelainan atau pembesaran organ.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah pemeriksaan laboratorium,
biopsi, aspirasi sumsum tulang, dan radiologi. Pemeriksaan laboratorium
ialah memeriksa status hematologi berupa darah perifer lengkap dan
gambaran darah tepi. Dilakukan juga pemeriksaan urinanalisis dan kilmia
klinik seperti SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat,
elektrolit (Na,K,Cl,Ca,P), dan gula darah puasa. Biopsi kelenjar getah bening
hanya dilakukan pada satu kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjar perifer atau supefisial yang representatif, maka
tidak perlu dilakukan biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi sumsum tulang dari dua sisi spina
iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. Pada pemeriksaan radiologi
rutin dapat dilihat dari foto toraks PA dan lateral dan CT scan seluruh
abdomen (atas dan bawah). Pada pemeriksaan radiologi khusus dapat
diperiksa CT scan toraks, USG abdomen, dan limfografi. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.
5. Patogenesis

Sel limfosit dari kelenjar limfe berasal dari sel sel induk multipotensial di
dalam sumsum tulang. Sel induk akan bertransformasi menjadi sel progenitor
limfosit yang kemuadian akan berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian
akan mengalami pematangan di dalam kelenjar timus menjadi limfosit T.
Sebagian lagi akan menuju kelenjar limfe ataupun tetap berada di sumsum
tulang dan berdiferensiasi menjadi limfosit B.

Apabila ada rangsangan antigen yang sesuai maka limfosit T akan aktif
berpoliferasi sebagai respon sistem imun seluler. Sedangkan limfosit B akan
aktif menjadi imunoblas yang kemuadian menjadi sel plasma dan akan

31
membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan pada sitoplasma sel plasma
menjadi lebih banyak dari pada sitoplasma sel B. Sedangkan limfosit T yang
aktif akan berukuran lebih besar dari pada sel T yang belum aktif.

Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma (abnormal)


merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari kelompok
sel limfosit yang belum aktif yang tengah berada dalam proses transformasi
menjadi imunoblas akibat respon dari adanya antigen. Beberapa perubahan
pada sel limfosit inaktif ialah ukurannya semakin lebih besar, kromatin inti
menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat dan protein permukaan sel
mengalami perubahan.
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada non hodgkin dilakukan sesuai dengan klasifikasi
dan stadiumnya. Untuk NHL indolen stadium I dan stadium II standar
pilihan terapinya ialah iradiasi, kemoterapi dengan terapi radiasi, kemoterapi
saja, dan sub total atau total iridasi limfoid (jarang). Radioterapi luas tidak
meningkatkan angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap
kemoterapi lanjutan nantinya.
Untuk Indolen stadium II/III/IV standar pilihan terapinya ialah: tanpa
terapi, pasien pada stadim lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak
mempengaruhi harapan hidup dan remisi spontan tidak terjadi. Terapi hanya
diberikan bila ada gejala sistemik. Dapat juga diberikan rituximab (anti CD
20 monoclonal antibodi. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi
komplemendan memperantarai sinyal intraseluler. Pilihan terapi berikutnya
ialah pemberian analog purin nukleosida (fludarabin atau 2
klorodoksiaadenosin kladribin) dan juga pemberian alkylating agent oral
(dengan atau tanpa steroid) yaitu siklofosfamid dan klorambusil.
Terapi pilihan yang banyak di pakai ialah terapi kombinasi. Terutama
untuk memberikan hasil yang cepat biasanya digunakan kombinasi
klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan fludarabilplus
mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi menghasilkan respon yang
cukup baik(60- 80%). Terapi diteruskan sampai hasil maksimum. Terapi
maintenence tidak dapat meningkatkan harapan hidup. Beberapa protokol
kombinasi antara lain : 1) CVP yaitu siklofosfamid , vinkristin dan

32
prednison. 2) C(M)OPP yaitu siklofosfamid, vinkristin, prokarbazin, dan
prednison. 3) CHOP yaitu siklofosfamid doksorubisin, vinsikrin dan
prednison. 4) FND yaitu fludarabin, mitoksantron, dan dengan atau tidak
deksametason. NHL agresif merupakan NHL indolen yang bertransformasi
menjadi lebih ganas akan memiliki prognosis yang jelek dan dapat
melibatkan sistem saraf pusat. Biasanya memberikan respon terapi yang baik
dengan protokol pengobatan NHL keganasan derajat menengah atau tinggi
yaitu dengan terapi radiasi paliatif, kemoterapi, rituximab, dan transplantasi
sumsum tulang. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk
kasus ini harus dipertimbangkan.
7. Stadium

Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan


dan setiap lokasi jangkitan harus di data dengan cermat. Strategi Terapi non
hodgkin limfoma akan berbeda pada setiap stadium penyakit tergantung
penyebaran dari tumor. Stadium yang sering di aplikasikan ialah kesepakatan
Ann Arbor.
Tabel 2.2. Stadium Penyakit Non Hodgkin Limfoma
Stadium Keterangan
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya 1
regio.
I
I E : jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik
tidak difus/batas tegas
Pembesaran dua regio KGB atau lebih, tetapi masih
satu sisi diafragma.
II 2 : pembesaran 2 regio KGB dalam satu sisi
II diafragma
II 3 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi
diafragma
II E : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1

33
sisis diafragmadan 1 organ ekstra limfatik tidak
difus/ batas tegas.
Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma
III

Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih


IV
tetapi secara difus.

8. Kelainan Hematologi pada NHL

Kelainan hematologi tidak jarang ditemukan pada pasien pasien dengan non
hodgkin limfoma. Kelainan yang paling sering yaitu pada jumlah atau kadar dari
hemoglobin, jumlah trombosit, dan jumlah leukosit.
a. Jumlah Hemoglobin pada NHL
Kriteria anemia klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) untuk
Indonesia pada umumnya adalah hemoglobin dibawah 10 g/dl, hematokrit
dibawah 30% dan eritrosit dibawah 2,8 juta/mm 3. Klasifikasi derajat anemia
ialah ringan sekali jika Hb 10 g/dl, ringan jika Hb 8 g/dl, sedang jika Hb 6
g/dl – Hb 7,9 g/dl, dan berat jika Hb dibawah 6 g/dl.

Prevalensi anemia pada penyakit kanker ialah sekitar 40%, hasil


observasi pada European Survey on Cancer Anemia (ECAS) didapati lebih
dari 15.000 pasien kanker dengan stadium dan pengobatan yang berbeda
mengalami anemia. Penyebab anemia pada pasien kanker ialah penurunan
produksi sel darah merah yang merupakan hasil dari defisiensi nutrisi. Selain
itu bisa juga disebabkan oleh infiltrasi sel tumor ke sumsum tulang dan juga
efek dari pengobatan kanker seperti kemotererapi atau radioterapi yang
meningkatkan hemolisis sel darah merah.

Anemia pada NHL sering digolongkan sebagai anemia akibat penyakit


kronik yang merupakan anemia normokromik normositik, tetapi jika penyakit
yang mendasari telah berkembang selama beberapa minggu atau bulan maka
dapat ditemukan gambaran hipokromik mikrositik. Gambaran itu yang
34
membedakan anemia akibat penyakit kronik dan anemia akibat defisiensi zat
besi. Selain itu dapat ditemukan LED yang meningkat disebabkan oleh
hipergammaglobulinemia atau fibrinogemia.
b. Penurunan Jumlah Trombosit pada Penderita NHL
Penyakit non hematologi autoimun merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada non hodgkin limfoma salah satunya ialah autoimun
trombositopenia. Proses trombositopenia terjadi sejak seseorang di diagnosis
limfoma dan respon terhadap pemberian prednison secara terus menerus
untuk perbaikan dari nonhodgkin limfoma. Selain itu, kejadian
trombositopenia berkaitan juga dengan pengobatan NHL contohnya seperti
kemoterapi.

Trombositopenia merupakan kasus yang sering terjadi pada NHL yang


disebabkan karena infiltrasi sel limfoma ke sumsum tulang . Pada umumnya
infiltrasi sel limfoma ke sumsum tulang akan menyebabkan autoimun
trombositopenia. Pada kasus seperti ini akan terjadi penghancuran sel sel
platelet akibat proses autoimun. Kurangnya trombosit merupakan faktor
resiko terjadinya perdarahan yang akhirnya bisa menyebabkan anemia.
c. Peningkatan Jumlah Leukosit pada Penderita NHL
Berdasarkan Pedoman Interpretasi Data Klinik yang dikeluarkan oleh
kementrian Kesehatan RI, nilai leukosit normal ialah 4500 – 11.000/mm 3.
Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi melindungi tubuh dengan
memfagosit atau mengangkut dan mendistribusikan antibodi. Ada dua tipe
utama sel darah putih yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari
neutrofil,eosinofil, dan basofil, sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan
monosit. Leukosit dibentuk di sumsum tulang (myelogenous), disimpan
dalam jaringan limfatikus (limfa, timus, dan tonsil) dan diangkut oleh darah
ke organ dan ke jaringan.

Umur leukosit ialah 13-20 hari. Vitamin, asam folat dan asam amino
dibutuhkan dalam pembentukan leukosit. Sistem endokrin mengatur
produksi, penyimpanan, serta pelepasan dari leukosit sesuai dengan
kebutuhan sistemik.perkembangan granulosit dimulai dengan myeloblast
kemudian berkembang menjadi promyelosi, myelosit, metamyelosit dan

35
bands dan akhirnya akan menjasi neurtrofil, eosinofil dan basofil.
Perkembangan limfosit dimulai dengan limfoblast kemudian berkembang
menjadi prolimfoblast dan pada akhirnya menjadi sel limfosit.
Tabel. Granulosit dan Agranulosit sel Darah Putih
Neutrofil Neutrof Eosinofil Basofil Limfosit Monosit
Segment il
Bands
Persentase
36-73 0-12 0-6 0-2 15-45 0-10
%
Jumlah
800-
Absolut 1.260-7300 0-1440 0-500 0-150 100-800
4000
(/mm3)

Pada non Hodgkin limfoma dapat ditemukan kelainan hematologi berupa


leukositosis hal ini disebabkan karena proliferasi abnormal dari sel
limfosit.Nilai krisis leukositosis : diatas 30.000/mm3.
d. Efek Kemoterapi terhadap hematologi pada NHL
Pilihan terapi yang biasanya dipilih untuk penyakit non hodgkin limfoma
ialah dengan menggunakan kemoterapi. Pengobatan dilakukan dengan
prinsip multidisiplin sesuai dengan derajat keganasan atau stadium dari non
hodgkin limfoma. Pada derajat keganasan rendah atau indolen digunakan
kemoterapi menggunakan obat tunggal atau ganda jika perlu digunakan COP
(Cyclophosphamide,Oncovin, dan Prednisone).Pada keganasan menengah
atau agresif limfoma, pada stadium I diberikan kemoterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone) ditambah
radioterapi.Pada stadium II-IV diberikan kemotrapi parenteral kombinasi dan
diberikan juga radioterapi yang berperan untuk tujuan paliasi. Sedang pada
derajaat kegnsan tinggi selalu di berikan pengobatan seperti leukimia
limfoblastik akut.

Efek kemoterapi terhadap hematologi yang paling sering terjadi ialah


kejadian anemia, trombositopenia, dan leukopenia. Yang mugkin diakibatkan
karena efek kimiawi dari obat obatan yang menekan produksi dari sel darah

36
merah, trombosit maupun leukosit.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UI. hal. 415-6.
David C. Dale, Daniel D.Fedeman. 2007. AMP Medicine 2007 Edition, Washington D.C.
p.IX : 1-26
Douglas Eder. Histology. 2001. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology. 4 th
Edition. USA : McGraw-Hill Scienc. p.35
Faiz O, Moffat D. 2002. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a glance.
USA: Blackwell Publishing Company. p. 44-5.
Hall & Guyton. 2004. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. hal. 902-6.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2004. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H,
Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7 th Edition. Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.
Lindseth, Glenda N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam :
Sylvia A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal.472-5.
Marc S. Sabatine. 2004. Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The Massachusetts General
Hospital Handbook of Internal Medicine. p.106-10
Netter FH. Surface and bed of liver. 2006. In : Atlas of Human Anatomy. 4 th Edition.
USA : Saunders Elsevier. p. 287.
Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI. hal. 443-53.
Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. 2005. Cirrhosis and its complications. In : Kasper DL
et.al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw
Hill. p. 1858-62.
Cherian S, Umerah OM, Tufail M, Panchal RK. 2019. Chylothorax in a patient with HIV-
related Kaposi's sarcoma. BMJ Case Rep. 12(1)

37
Costa KM, Saxena AK. 2018. Surgical chylothorax in neonates: management and
outcomes. World J Pediatr. 14(2):110-115.
Furukawa M, Hara A, Miyazaki R, Yokoyama S, Hayashi M, Tao H, Okabe K. 2018.
Assessment of Fat-free Diet for Postoperative Chylothorax. Kyobu Geka. (13):1063-
1065.
Hayashi K, Hanaoka J, Ohshio Y, Igarashi T. 2019. Chylothorax secondary to a
pleuroperitoneal communication and chylous ascites after pancreatic resection. J
Surg Case Rep. (1):rjy364.
Iio K, Soneda K, Shimotakahara A, Hataya H, Kono T. 2019. Effective method of
evaluating infantile chylothorax. Pediatr Int. 61(2):203-205.
Papoulidis P, Vidanapathirana P, Dunning J. 2018. Chylothorax, new insights in treatment.
J Thorac Dis. (Suppl 33):S3976-S3977.
Pospiskova J, Smolej L, Belada D, Simkovic M, Motyckova M, Sykorova A, Stepankova
P, Zak P. 2019. Experiences in the treatment of refractory chylothorax associated
with lymphoproliferative disorders. Orphanet J Rare Dis. 14(1):9.
Schild HH, Pieper C. 2019. Chylothorax: Current Therapeutic Options. Zentralbl Chir.
144(S 01):S24-S30.
Yamagata Y, Saito K, Hirano K, Oya M. 2019. Laparoscopic Transhiatal Thoracic Duct
Ligation for Chylothorax after Esophagectomy. Thorac Cardiovasc Surg. 67(7):606-
609.
Yang RF, Liu TT, Wang P, Zhang RQ, Li C, Han B, Gao XX, Zhang L, Jiang ZM. 2018.
Ligation of thoracic duct during thoracoscopic esophagectomy can lead to decrease
of T lymphocyte. J Cancer Res Ther. (7):1535-1539.
Zhang C, Xi MY, Zeng J, Li Y, Yu C. 2019. Prognostic Impact of Postoperative
Complications on Overall Survival in 287 Patients With Oral Cancer: A
Retrospective Single-Institution Study. J. Oral Maxillofac. Surg. 77(7):1471-1479.

38

Anda mungkin juga menyukai