Oleh:
Felina Joza S G991903017
Pembimbing: Residen:
Oleh:
Felina Joza S G991903017
Pembimbing
ii
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ngemplak, Boyolali
No RM : 0148xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Montir
Pendidikan : SMK
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 27 Februari 2020
B. Keluhan utama:
Sesak sejak 2 hari SMRS
1
RSDM dengan keluhan serupa dan pernah dilakukan penyedotan
cairan pada perutnya. Cairan berwarna merah muda keruh.
Pasien juga mengeluhkan benjolan di bahu kiri. Benjolan dirasa
sejak 1 tahun SMRS. Benjolan lama-kelamaan juga berada di depan
telinga kiri, ketiak, dan selangkangan. Benjolan tidak dirasa nyeri,
panas, maupun membesar. Benjolan terasa lunak dan mudah
digerakkan. Pasien didiagnosa NHL dari perawatan sebelumnya
namun pasien menolak untuk kemoterapi.
Pasien rutin mengkonsumsi obat dari bagian paru dan penyakit
dalam, namun pasien juga mengkonsumsi jamu herbal untuk
mencegah kanker. Keluhan lain seperti batuk, mual, muntah, berat
badan turun disangkal pasien.
BAB pasien normal 1x sehari setiap pagi. Konsistensi BAB
lunak, tidak cair, berwarna coklat, tidak ada lendir dan darah. BAK
pasien dalam sehari 5-6x. BAK berwarna jernih kekuningan. Pasien
menyangkal adanya rasa nyeri saat BAK dan anyang-anyangan.
2
F. Riwayat kebiasaan
Makan : Pasien mengaku makan 3 kali sehari
dengan nasi, lauk-pauk, dan sayur.
Pasien terkadang makan buah.
Merokok : Pasien merokok sejak SMK sampai 1
tahun yang lalu
Alkohol : Disangkal
Konsumsi obat warung : Disangkal
Minum jamu : Diakui, pasien mengaku meminum
jamu herbal untuk mencegah kanker.
Jamu diminum 1x sehari sebelum
tidur.
G. Riwayat gizi
Pasien makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan +
10-12 sendok makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur, daging,
dan sayur. Pasien terkadang makan buah. Nafsu makan pasien baik.
3
3. Tanda vital
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 92 kali /menit, reguler, isi kesan cukup.
Frekuensi nafas : 26 kali /menit tipe thoracoabdominal
Suhu : 36.70 C
4. Status gizi
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 162 cm
IMT : 22.1 kg/m2
Kesan : Normoweight
5. Kulit : ikterik (-), turgor (-) normal, hiperpigmentasi (-), kering
(-), teleangiektasis (-), petechie (-), ekimosis (-)
6. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
7. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata merah (-/-),
lensa keruh (-/-)
8. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-), pembesaran kelenjar getah bening regio
prearicularis sinistra (+)
9. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)
10. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir
(-), oral thrush (-), lidah kotor (-).
11. Leher : JVP 5+2 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
4
leher regio supraclavicular dextra (+), leher kaku (-),
distensi vena-vena leher (-)
12. Thorax : Bentuk normochest, simetris, dinding dada = dinding
abdomen pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla
(+/+)
13. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V linea mid clavicula
sinistra 2 cm ke medial
Perkusi :
Batas Jantung
Kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Kiri atas : SIC II linea sternalis sinistra
Kiri bawah : SIC V linea mid clavicula sinistra
Kesan : Ukuran jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada kanan < kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan < kiri, fremitus raba kanan <
kiri
5
Perkusi
- Kanan : Redup pada SIC IV ke bawah
- Kiri : Redup pada SIC VI ke bawah
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler menurun di SIC IV ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-) ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler menurun di SIC VI ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-), ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada kanan < kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan < kiri, fremitus raba kanan <
kiri
Perkusi
- Kanan : Redup pada SIC IV ke bawah
- Kiri : Redup pada SIC VI ke bawah
- Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler menurun di SIC IV ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-) ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler menurun di SIC IV ke
bawah, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah halus (-) ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
6
14. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut > dinding thorak, ascites (+),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), spider nevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10-12 x / menit
Perkusi : Pekak alih (+)
Palpasi : Supel (+), distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), defans muskuler (-), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (+)
15. Genital : Pembesaran kelenjar getah bening inguinal
(+/+)
16. Ekstremitas :
- -
- - - -
Akral dingin - - Oedem
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan
nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-),
pucat (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat (-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
deformitas (-/-)
III.DIAGNOSIS BANDING
1. Ascites permagna
2. NHL
7
3. Cylothorax dd pseudocylothorax
8
Creatinine 1.1 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 45 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.7 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 98 mmol/L 98 – 106
C. Elektrokardiografi
Tanggal 27 Februari 2019
9
Irama : Sinus QRS complex : 0.08 second
Frekuensi : 91 x/menit ST segmen : isoelektrik
Axis : Normoaxis Gelombang T : normal
Gelombang P : reguler Zona interval : V3-V4
PR interval : 0.2 second Kesan : Normal
D. Pemeriksaan Imunohistokimia
Tanggal 12 Maret 2019 (Riwayat pemeriksaan sebelumnya)
No. Histopatologi : RS.1900XXX
Asal jaringan : Colli dextra
Diagnosa klinik : Menyokong diagnose klinis non-hodgkins
lymphoma
Terima sediaan : 6 Maret 2019
Jawab sediaan : 12 Maret 2019
Mikroskopis : D-20 (Positif)
Kesimpulan : Dapat menyokong B-Cell NHL
V. RESUME
1.Keluhan utama
Sesak sejak 2 hari SMRS
2.Riwayat penyakit sekarang
• Sesak 2 hari SMRS, terus-menerus
10
• Sesak tidak membaik dengan perubahan posisi
• Pasien sempat dirawat Sp.P dengan keluhan serupa dan diambil
cairan berwarna kuning keruh
• Perut membesar sejak 3 hari SMRS
• Perut mulai mbeseseg sejak 1.5 bulan SMRS, pernah dirawat
dengan keluhan serupa dan dilakukan penyedotan cairan
berwarna merah muda keruh
• Keluhan mbeseseg memberat jika pasien tidur, membaik jika
pasien duduk
• Benjolan di bahu kiri sejak 1 tahun SMRS
• Benjolan juga di depan telinga kiri, ketiak, dan selangkangan
• Benjolan tidak nyeri, panas, maupun membesar
• Pasien pernah didiagnosa NHL dari perawatan sebelumnya,
namun menolak kemoterapi
• BAB pasien dalam batas normal
• BAK pasien dalam batas normal
3. Pemeriksaan fisik:
Frekuensi napas: 26 kali/menit
Telinga: Pembesaran KGB regio preauricularis sinistra (+)
Leher: Pembesaran KGB leher regio supraclavicular dextra (+)
Thorax: Pembesaran KGB axilla dextra et sinistra (+/+)
Pulmo:
- Inspeksi: Pengembangan dinding dada kanan < kiri
- Palpasi: Pergerakan dinding dada kanan < kiri
- Perkusi: Pulmo dextra redup pada SIC IV ke bawah, pulmo
sinistra redup pada SIC VI ke bawah
- Auskultasi: Pulmo dextra suara dasar vesikuler menurun di
SIC IV ke bawah, pulmo sinistra suara dasar vesikuler
menurun di SIC VI ke bawah
Abdomen:
- Inspeksi: Dinding perut > dinidng dada, ascites (+)
11
- Palpasi: Undulasi (+)
- Perkusi: Pekak alih (+)
Genital: Pembesaran KGB inguinal dextra et sinistra (+/+)
4. Pemeriksaan penunjang:
Hematologi rutin : Hb 11.8 (↓), AE 4.15 (↓), PDW 16 (↓), MCHC
32.8 (↓), MCV 27.5 (↓)
Hitung jenis : Limfosit 13.80 (↓), Monosit 9.00 (↑)
Kimia klinik : Protein total 5.7 (↓)
Analisa cairan pleura kiri: Tidak ada bekuan, hitung jenis MN 89
(↑), kesan eksudat
Pemeriksaan imunohistokimia: Mikroskopis D-20 positif,
menyokong B-Cell NHL
12
BAB II
ANALISIS KASUS
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang disebabkan oleh adanya
cairan pada kedua paru pasien. Pasien sendiri merupakan pasien dengan NHL B
cell terkonfirmasi CD20+ sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien dengan chylothorax umumnya datang dengan keluhan sesak napas
(Dipsneu atau takipneu), dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik didapatkan
adanya peningkatan respiration rate, SDV menurun bentuk dan gerak dinding dada
asimetris, serta pada pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan gambaran efusi pleura yang luas dan pada torakosentesis keluarnya
cairan putih (milky fluid). Pada analisis cairan pleura, jika kadar trigliserida lebih
besar dari 110 mg/dL maka 99% cairan itu adalah cairan limfe. Pada pasien
didapatkan keluhan berupa sesak napas sejak 2 hari SMRS, dimana sesak
didpatkan terus-menerus dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya peningkatan respiration rate (26x/menit) dan
pemeriksaan thoraks (pulmo), didapatkan Inspeksi: Pengembangan dinding dada
kanan < kiri, Palpasi: Pergerakan dinding dada kanan < kiri, Perkusi: Pulmo
dextra redup pada SIC IV ke bawah, pulmo sinistra redup pada SIC VI ke bawah,
Auskultasi: Pulmo dextra SDV menurun di SIC IV ke bawah, Pulmo sinistra SDV
menurun di SIC VI ke bawah. Dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang,
pada analisa cairan pleura: Warna kuning keruh, idak ada bekuan, hitung jenis MN
89 (↑), kesan eksudat. Penyebab terjadinya chylothorax dibagi menjadi dua, trauma
dan non trauma. Adanya trauma disangkal oleh pasien. Lalu, pada pasien
didapatkan adanya pembesaran KGB regio preauricularis sinistra (+), pembesaran
KGB regio supraclavicular dextra, dan pembesaran KGB axilla dextra et sinistra,
lalu pasien dilakukan pemeriksaan Imunohistokimia dan didapatkan mikroskopis
D-20 positif, menyokong B-Cell NHL. Maka pada pasien didapatkan penyebab
nontraumatik berupa keganasan.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding antara cylothorax dengan
pseudocylothorax, bisa dilakukan pemeriksaan cairan pleura yang dilihat dari kadar
trigliserid yang >110 mg/dL sehingga dapat ditegakkan sebagai cylothorax.
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum.
Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula
13
disebabkan penyakit lain seperti keganasan, infeksi dan lainnya. Pasien pada kasus
didapatkan adanya keganasan berupa NHL. Asites ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus didapatkan pasien perut
membesar dan mbeseseg, pada pemeriksaan fisik abdomen Inspeksi: Dinding
perut > dinding dada, Perkusi: Pekak alih (+), Palpasi: Undulasi (+). Asistes
dengan cairan yang massif, disebut juga denga asites permagna. Diperlukan
pemeriksaan cairan, secara makroskopis cairan asites hemoragik sering
dihubungkan dengan keganasan, serta pemeriksaan gradient nilai albumin serum,
dan pemeriksaan hitung sel. Untuk melakukan analisa cairan asiter dapat dilakukan
parasintesis abdomen untuk konfirmasi adanya asites, penyebab dan infeksi.
Faktor risiko pada pasien bisa berasal dari kebiasaan pasien seperti
merokok ataupun perkerjaan pasien sebagai montir, Faktor risiko sendiri
berhubungan juga dengan paparan lingkungan, pekerjaan, diet, dan paparan
lainnya. Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah
peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan karena adanya
paparan herbisisda dan pelarut organik. Resiko NHL juga meningkat pada orang
yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan terkena paparan
ultraviolet berlebihan.
Pada pemeriksaan klinik, pada pasien terdapat penurunan kadar Hb menjadi
11.8, hal ini belum bisa dikatakan sebagai anemia. Namun anemia pada pasien
dengan keganasan bisa dikarenakan oleh penurunan produksi sel darah merah yang
merupakan hasil dari defisiensi nutrisi. Selain itu bisa juga disebabkan oleh
infiltrasi sel tumor ke sumsum tulang dan juga efek dari pengobatan kanker seperti
kemotererapi atau radioterapi yang meningkatkan hemolisis sel darah merah.
Tatalaksana NHL sendiri adalah kemoterapi yang disesuaikan dengan
stadium penderita. Kemoterapi dan terapi Radiasi merupakan tatalaksana pada
pasien dengan limfoma. Namun, pasien tidak menjalankan kemoterap sehingga
tidak ada efek kemoterapi yang bisa ditelaah pada pasien ini.
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ascites
1. Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum.
Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula
disebabkan penyakit lain.
2. Etiologi
Asites cenderung terjadi pada penyakit menahun (kronik). Paling sering
terjadi pada sirosis, terutama yang diisebabkan oleh alkoholisme. Asites juga
bisa terjadi pada penyakit non-hati, seperti kanker, gagal jantung, gagal ginjal
dan tuberkulosis. Pada penderita penyakit hati, cairan merembes dari permukaan
hati dan usus. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
hipertensi portal
menurunnya kemampuan pembuluh darah untuk menahan cairan
tertahannya cairan oleh ginjal
perubahan dalam berbagai hormon dan bahan kimia yang mengatur cairan
tubuh.
Penyebab asites:
1. Kelainan di hati :
Sirosis, terutama yang disebabkan oleh alkoholisme
Hepatitis alkoholik tanpa sirosis
Hepatitis menahun
Penyumbatan vena hepatik
2. Kelainan diluar hati :
Gagal jantung
Gagal ginjal, terutama sindroma nefrotik
Perikarditis konstriktiva
Karsinomatosis, dimana kanker menyebar ke rongga perut
Berkurangnya aktivitas tiroid
15
Peradangan pankreas.
3. Klasifikasi
Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut:
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah
cairan yang minimal.
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan
abdomen tidak tegang.
Tingkatan 4 : asites permagna.
4. Patogenesis
Proses terjadinya asites karena malignansi merupakan proses multifaktorial.
Hal ini berkaitan erat dengan pembentukan asites terkait dengan kombinasi
permeabilitas vaskular yang berubah dan drainase limfatik yang terhambat.
Pemahaman yang cermat tentang peritoneum, sistem limfatik, dan aliran
dinamis cairan diperlukan untuk menjelaskan mekanisme pembentukan asites
karena keganasan.
Terdapat lima penghalang mikroskopis yang mencegah pergerakan protein
menjauh dari ruang intravaskuler: endotel kapiler, membran basis kapiler,
stroma interstisial, membran basal mesothelial dan sel mesothelial dari lapisan
peritoneum. Melalui kombinasi mekanisme mekanis dan selektif, termasuk
persimpangan ketat dan molekul makro anionik, penghalang yang efektif
dipertahankan, mencegah kebocoran molekul protein ke dalam rongga
peritoneum.
Pada awal 1953, Holm-Nielson menunjukkan bahwa pada tikus dengan
asites akibat keganasan, tinta India yang disuntikkan ke dalam rongga
peritoneum tetap berada di rongga peritoneum, menunjukkan obstruksi limfatik
16
sebagai faktor utama dalam patogenesis asites maligna. Studi ini menunjukkan
pentingnya obstruksi limfatik pada asites terkait tumor.
Kualitas cairan pada pasien dengan keganasan yang mengalami asites
akibat karsinomatosis peritoneal berbeda, dengan sitologi positif, konsentrasi
protein cairan asites yang tinggi dan gradien albumin serum-asites yang rendah.
Kandungan protein yang tinggi dari asites maligna menunjukkan bahwa ada
perubahan permeabilitas vaskular yang memungkinkan molekul besar
terakumulasi di ruang intraperitoneal.
Faktor yang mengubah permeabilitas pembuluh darah dan mendorong
pembentukan asites maligna. Faktor permeabilitas vaskular ini, yang dikenal
sebagai faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), bertanggung jawab
untuk memungkinkan berbagai tingkat pergerakan mikro dan makromolekul
melintasi endotel vaskular, dalam pengaturan keadaan fisiologis normal, selain
keadaan penyakit patologis, mulai dari peradangan akut, penyembuhan luka
dan menstruasi hingga angiogenesis tumor.
Zebrowski et al menunjukkan bahwa tingkat VEGF secara signifikan lebih
tinggi pada asites maligna bila dibandingkan dengan asites nonmalignant, dan
ketika asites sirosis terkena VEGF, permeabilitas sel endotel meningkat.
Penambahan antibodi penetral VEGF ke asites ganas mengurangi permeabilitas
ini. Dari catatan, paparan asites sirosis ke sel memiliki efek yang sama pada
permeabilitas endotel, menunjukkan faktor selain VEGF memiliki peran dalam
pembentukan asites maligna. Meskipun tidak jelas mekanisme di balik
pembentukan asites maligna, asites pada pasien sirosis telah dikaitkan dengan
hiperemia splanknikus, diperkirakan karena faktor nekrosis tumor.
Dengan demikian, terlihat jelas formasi yang ganas asites adalah proses
multifaktorial yang kompleks. Mekanisme nisme untuk akumulasi cairan dan
protein di intraperitoneal yang terkait dengan kanker tampaknya menjadi yang
kedua akibat kombinasi dari drainase limfatik yang terganggu dan peningkatan
permeabilitas vaskular.
5. Diagnosis
Penyebab produksi cairan intraabdomen berlebih sangat banyak, termasuk
sirosis, gagal jantung kongestif, nefrosis, pankreatitis, peritonitis, keganasan
primer atau metastasis hati. Tidaklah mungkin untuk membedakan asites jinak
17
dari asites ganas hanya dengan pemeriksaan fisik atau teknik radiografi.
Pengujian invasif diperlukan untuk membedakan kedua jenis tersebut.
Parasentesis abdomen dengan analisis cairan asites dapat mendiagnosis
penyebab ganas produksi asites dalam banyak kasus, tetapi pengambilan
sampel jaringan laparoskopi mungkin diperlukan.
Analisis cairan asites terdiri dari evaluasi mikroskopis, kimiawi dan sitologi
untuk membantu membedakan antara pembentukan asites yang disebabkan
oleh infeksi, inflamasi dan keganasan. Pada pasien dengan karsinomatosis
peritoneal, cairan asites memiliki sitologi positif, konsentrasi protein yang
tinggi dan gradien albumin serum-asites yang rendah. Sementara dalam
beberapa laporan sitologi adalah diagnostik hanya pada 50% -60% kasus asites
ganas, telah dibuktikan bahwa hingga 97% pasien dengan karsinomatosis
peritoneal memiliki sitologi positif, menunjukkan bahwa tumor mengeluarkan
sel ke dalam peritoneal. rongga, menjadikannya tes yang sangat sensitif dan
standar emas untuk mendiagnosis karsinoma peritoneal.
Pada pasien dengan karsinomatosis peritoneal dan metastasis hati, sitologi
cairan positif dan konsentrasi protein asites bervariasi, tetapi gradien albumin
serum-asites tetap tinggi, dengan penambahan kadar alkali fosfatase serum
yang meningkat secara nyata (> 350 mg / dL).
Penambahan penanda tumor, terutama CEA, CA-125 dan α fetoprotein,
tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis keganasan tetapi dapat membantu
dalam mengidentifikasi tumor primer yang menyebabkan asites maligna. Sifat
biokimia dari cairan asites, termasuk fibronektin, kolesterol, laktat
dehidrogenase, asam sialat, aktivitas telomerase dan protease, telah dipelajari
dan, walaupun secara klinis membantu, mereka belum terbukti dapat
diandalkan dalam membedakan antara ganas dan asites jinak. Penanda tumor
dan biokimia bersama dengan ciri morfologi apusan sitologi, pewarnaan
imunohistokimia dan riwayat klinis penting dalam menentukan keberadaan
asites terkait keganasan dan lokasi utama karsinoma metastatik.
6. Tatalaksana
a. Bed rest
Istirahat Pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak
dikaitkan dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik, pengurangan di tingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi
18
natrium, serta respon menurun terhadap diuretik. Efek ini bahkan lebih
mencolok dalam hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini
sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat
istirahat. Namun, belum ada studi klinis yang menunjukkan
keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi
penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan
komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit,
tirah baring umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien
dengan asites tanpa komplikasi.
b. Retriksi diet garam
Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada
10% pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan
diuretik lebih rendah, resolusi asites lebih cepat , dan masa di RS lebih
pendek. Di masa lalu, makanan garam sering dibatasi sampai 22 atau 50
mmol / hari, diet ini dapat menyebabkan malnutrisi protein dan hasil
yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan.
c. Diuretik
Diuretik telah menjadi andalan pengobatan asites sejak tahun 1940
ketika pertama kali tersedia. Banyak agen diuretik telah dievaluasi
selama bertahun-tahun tetapi dalam praktek klinis dalam hal ini Inggris
telah membatasi terutama spironolactone, amilorid, furosemid, dan
bumetanide.
Spironolactone
Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada
tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium.
Spironolactone adalah obat pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis.
Dosis harian inisial 100 mg bisa ditingkatkan sampai 400 mg untuk
mencapai natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari antara awal
pengobatan spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol natriuretik
telah menemukan bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan
diuresis dari loop diuretic seperti furosemide.
Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis
dan diuresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai
19
tambahan untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila
digunakan sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40 mg/hari
dan umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160
mg/hari. Tinggi dosis frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit
berat dan alkalosis metabolik, dan harus digunakan hatihati. Furosemid dan
spironolactone bekerja simultan meningkatkan efek natriuretik.
d. Terapi paracentesis
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen
inisial oleh paracentesis ulanagan dengan volume besar. Beberapa studi
klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa besar Volume paracentesis
dengan penggantian koloid cepat, aman, dan effective. Penelitian
pertama menunjukkan bahwa seri volume besar paracentesis (4-6 l/hari)
dengan infus albumin (8 g/liter asites yang hilang) lebih efektif dan
berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat inap
yang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini
diikuti oleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan,
kecepatan paracentesis, perubahan hemodinamik setelah paracentesis,
dan kebutuhan terapi penggantian koloid. Paracentesis total umumnya
lebih aman dari paracentesis berulang, jika ekspansi volume diberikan
pasca-paracentesis. Jika ekspansi volume pascaparacentesis gagal
memberikan volume ekspansi dapat menyebabkan gangguan sirkulasi,
gangguan fungsi ginjal dan elektrolit.
Setelah paracentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi
diuretik tidak dihidupkan kembali, tapi berulang pada hanya 18%
pasien yang diobati dengan spironolactone. Memperkenalkan kembali
diuretik setelah paracentesis (biasanya dalam 1-2 hari) tampaknya tidak
meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi postparacentesis.
20
7. Prognosis
Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua
tahun diagnosis. Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam
waktu enam bulan. Meskipun memperbaiki manajemen dan kualitas cairan,
pasien hidup sambil menunggu transplantasi hati, perawatan seperti terapi
paracentesis dan TIPS tidak memperbaiki masa bertahan hidup jangka panjang
tanpa transplantasi untuk pasien. paling karena itu, ketika setiap pasien dengan
sirosis berkembang menjadi asites, kesesuaian untuk transplantasi hati harus
dipertimbangkan. Perhatian harus diberikan untuk fungsi ginjal pada pasien
dengan asites pra-transplantasi, disfungsi ginjal menyebabkan morbiditas lebih
besar dan pemulihan tertunda setelah transplantasi hati dan berhubungan
dengan tinggal lama di ICU dan rumah sakit.
3. Pathogenesis
Patogenesis chylothorax dapat dibagi menjadi dua kategori utama —
penyebab bedah dan medis. Chylothorax dari penyebab medis hasil dari
kompresi ekstrinsik atau infiltrasithoracic duct, yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraductal. Tekanan yang meningkat ini mendorong
pembentukan saluran kolateral yang melebar yang akhirnya mengalir ke ruang
pleura. Penyebab paling umum chylothorax adalah neoplasma, yang
bertanggung jawab atas lebih dari 50% kasus. Keganasan yang paling umum
yang menyebabkan kondisi ini adalah limfoma, yang mengarah ke chylothorax
dengan menekan atau menginvasi saluran toraks atau melenyapkan limfatik
setelah terapi radiasi. Obstruksi saluran toraks oleh limfoma atau karsinoma
bronkogenik cenderung menyebabkan chylothorax sisi kanan ketika bagian
bawah duct terlibat, sedangkan chylothorax sisi kiri terjadi ketika bagian atas
duktus toraks terlibat. Chylothorax dalam pengaturan keganasan di bawah
diafragma selalu menunjukkan metastasis. Penyebab utama chylothorax
lainnya adalah pembedahan dan trauma. Meskipun setiap luka tembus yang
mengganggu saluran toraks akan menghasilkan chylothorax, batuk dan
ketegangan yang parah dilaporkan telah menyebabkan kondisi ini. Prosedur
bedah pada jantung, mediastinum, operasi di leher, seperti pembedahan leher
radikal, dan penempatan kateter di vena cava superior untuk pemantauan
hemodinamik dapat menyebabkan chylothorax. Chylothorax adalah penyebab
paling umum efusi pleura pada neonatus, dan biasanya muncul secara spontan.
Kondisi sistemik, seperti amiloidosis Behcet, sarkoidosis, gagal jantung, dan
23
sindrom nefritik, terdiri dari kelompok lain dari kondisi lain yang berhubungan
dengan chylothorax. Sindrom Jaffe-Campanacci, yang mencakup fibromata
non-pengerasan yang disebarluaskan juga telah dilaporkan dikaitkan dengan
chylothorax.
Sedangkan pada pseudocylothorax, beberapa eksudat yang bertahan dalam
waktu lama (berbulan-bulan atau bertahun-tahun) di rongga pleura cenderung
diperkaya dengan kolesterol. Biasanya, "radang selaput dada kolesterol" ini
terlihat dalam cairan, yang dikemas dalam area fibrotik dari pleura yang sangat
menebal. Jaringan parut fibrotik, yang membentuk dinding bilik, mengalami
vaskularisasi buruk dan hanya ada sedikit sel, sehingga hanya ada sedikit
penyerapan zat apa pun di dalam cairan. Teori sebelumnya menyatakan bahwa
sel darah, baik merah maupun putih, yang mencapai cairan menjadi nekrotik
dan tidak terintegrasi. Kolesterol dari dinding sel diserap dengan buruk dalam
keadaan ini, dan dengan demikian, seiring waktu, kadarnya akan meningkat.
Namun, analisis telah menunjukkan bahwa ada pengikatan utama kolesterol ke
lipoprotein densitas tinggi (HDL), yang menyiratkan bahwa itu berasal dari
lipoprotein serum daripada dari puing-puing seluler.
Mungkin karena efek osmotik, efusi kolesterol cenderung membesar secara
perlahan. Selama beberapa tahun, ruang kecil asli dapat bertambah menjadi
satu liter atau lebih. Karena fibrosis pleura sangat sering dikaitkan dengan
perubahan di paru-paru, seringkali menyebabkan penurunan fungsi paru-paru,
pleura yang menebal ini dapat menyebabkan dispnea yang parah dan kualitas
hidup yang buruk.
4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gejala yang biasa muncul adalah dyspnea karena penumpukan cairan
pleura. Nyeri dada dan demam jarang terjadi karena chyle tidak menyebabkan
iritasi pada permukaan pleura. Traylatic chylothorax biasanya berkembang
dalam dua hingga sepuluh hari setelah cedera. Pada chylothorax nontraumatic,
timbulnya gejala lebih berbahaya. Chylothorax spontan jarang hadir sebagai
massa leher mendadak. Keparahan gejala terkait dengan tingkat akumulasi
chyle dan ukuran efusi pleura. Sekuel chylothorax yang lebih serius adalah
malnutrisi, kelemahan, dehidrasi, asidosis metabolik, dan status imunologis
yang terganggu karena hilangnya chyle, yang kaya akan protein, lemak,
elektrolit, bikarbonat, limfosit, dan vitamin yang mudah larut.
24
Diagnosis chylothorax ditegakkan dengan mengukur kadar trigliserida
dalam cairan pleura. Jika trigliserida lebih besar dari 110 mg / dL, diagnosis
mungkin adalah chylothorax; sebaliknya, jika kadarnya kurang dari 50 mg / dL,
chylothorax tidak mungkin. Ketika kadar antara 50 hingga 110 mg / dL,
analisis lipoprotein harus dilakukan. Chylomicron dalam cairan menetapkan
diagnosis chylothorax. Cairan pleura seperti susu atau krim juga dapat
dikaitkan dengan kondisi yang disebut pseudochylothorax. Dalam kondisi ini,
biasanya dikaitkan dengan penyakit kronis, seperti tuberkulosis, kekeruhan
adalah akibat tingginya kadar kolesterol atau kompleks lesitin-globulin dan
bukan kilomikron. Efusi biasanya berlangsung lama dan dapat menyebabkan
pleura menebal dan bahkan kalsifikasi.
Diagnosis dibuat dengan analisis cairan pleura. Kadar trigliserida yang
lebih besar dari 110 mg/dl, memiliki indikasi pada efusi chylous yang tinggi.
Dalam kasus samar, dengan kadar trigliserida 50–110 mg/dl, elektroforesis
lipid akan memperjelas diagnosis. Trigliserida di bawah 50 mg/dl secara virtual
menyingkirkan diagnosis chylothorax. Nilai kolesterol harus diukur secara
bersamaan, karena kadar trigliserida yang tinggi dapat terjadi pada
pseudochylothorax, tetapi kadar kolesterol selalu sangat tinggi (> 200 mg/dL),
dan pada mikroskop, kristal kolesterol dapat dilihat, yang dianggap diagnostik.
5. Membedakan Cylothorax dan Pseudocylothorax
6. Tatalaksana
25
Manajemen awal menentukan etiologi. Penyebab bedah lebih jelas. Karena
limfoma adalah penyebab chylothorax yang paling umum dalam keadaan non-
bedah, CT scan dada dan perut harus dilakukan untuk mengevaluasi kelenjar
getah bening mediastinal dan para-aorta. Perawatan primer harus diarahkan
pada penyebab yang mendasarinya. Dalam kebanyakan kasus terapi bedah
harus dilakukan hanya setelah kegagalan terapi konservatif. Namun, waktu
manajemen bedah tidak memiliki konsensus.
Terapi Konservatif
26
Karena chyle hingga tiga liter dapat mengalir setiap hari, sejumlah besar cairan,
elektrolit, lemak, protein, dan limfosit dapat hilang yang mengarah pada
penipisan nutrisi yang parah dan keadaan defisiensi imun.
Terapi Bedah
Infeksi virus merupakan salah satu yang dicurigai menjadi etiologi NHL
contohnya ialah infeksi virus Epstein Barr dan HTLV (Human T
Lymphoytopic Virus type 1) yang berhubungan dengan limfoma Burkitt ,
yang merupakan limfoma sel B. Selain itu abnormalitas sitogenik seperti
translokasi kromosom juga ikut berperan menyebabkan proliferasi dari
limfosit. Pada limfoma sel B ditemukan abnormalitas kromosom, yaitu
translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q) ke lengan panjang
kromosom nomor 14 (14q). Faktor resiko berhubungan juga dengan paparan
lingkungan, pekerjaan, diet, dan paparan lainnya. Beberapa pekerjaan yang
sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan
dan pertanian. Hal ini disebabkan karena adanya paparan herbisisda dan
pelarut organik. Resiko NHL juga meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan terkena paparan
28
ultraviolet berlebihan.
3. Klasifikasi
29
Precursor T cell neoplasm
T-cell lymphoblastic leukaemia/ lymphoma
Matur T cell dan NK cell Neoplasm
T cell prolymphocytic leukaemia
T cell large granular lymphocytic
leukaemia NK-cell leukaemia
Ekstranodal NK/T-cell lymphoma, nasal type (angiocentric
lymphoma) Mycosis fungoides
Sezary syndrome
Angioimunoblastic T cell lymphoma
Peripheral T cell lymphoma
Adult T cell leukaemia
Systemic anaplastic large cell lymphoma
Primery cutaneous anaplastic large cell
lymphoma Subcutaneos panniculitis-like T
cell lymphoma
Enteropathy-type intestinal T cell lymphomaHepatosplenic T-cell
lymphoma
HODGKIN LYMPHOMA
Nodular lymphocyte predominant Hodgkin
Lymphoma Classical Hodgkin Lymphoma
Nodular sclerosis classical Hodkin
Lymphoma Mixed cellularity classical
Hodkin Lymphoma Lymphocyte-rich
classical Hodkin Lymphoma
Lymphocyte-depleted classical Hodkin Lymphoma
30
4. Diagnosis
Pendekatan diagnostik untuk menegakkan NHL ialah dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat
diketahui gejala sistemik umum berupa berat badan menurun 10 % dalam
waktu 6 bulan, demam tinggi 38o C 1 minggu tanpa sebab , keringat malam,
keluhan anemia, kelainan darah, malaise, dan keluhan organ (misalnya
lambung, nasofaring). Pada pemeriksaan fisik akan didapati pembesaran
kelenjar getah bening dan kelainan atau pembesaran organ.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah pemeriksaan laboratorium,
biopsi, aspirasi sumsum tulang, dan radiologi. Pemeriksaan laboratorium
ialah memeriksa status hematologi berupa darah perifer lengkap dan
gambaran darah tepi. Dilakukan juga pemeriksaan urinanalisis dan kilmia
klinik seperti SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat,
elektrolit (Na,K,Cl,Ca,P), dan gula darah puasa. Biopsi kelenjar getah bening
hanya dilakukan pada satu kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjar perifer atau supefisial yang representatif, maka
tidak perlu dilakukan biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi sumsum tulang dari dua sisi spina
iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. Pada pemeriksaan radiologi
rutin dapat dilihat dari foto toraks PA dan lateral dan CT scan seluruh
abdomen (atas dan bawah). Pada pemeriksaan radiologi khusus dapat
diperiksa CT scan toraks, USG abdomen, dan limfografi. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.
5. Patogenesis
Sel limfosit dari kelenjar limfe berasal dari sel sel induk multipotensial di
dalam sumsum tulang. Sel induk akan bertransformasi menjadi sel progenitor
limfosit yang kemuadian akan berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian
akan mengalami pematangan di dalam kelenjar timus menjadi limfosit T.
Sebagian lagi akan menuju kelenjar limfe ataupun tetap berada di sumsum
tulang dan berdiferensiasi menjadi limfosit B.
Apabila ada rangsangan antigen yang sesuai maka limfosit T akan aktif
berpoliferasi sebagai respon sistem imun seluler. Sedangkan limfosit B akan
aktif menjadi imunoblas yang kemuadian menjadi sel plasma dan akan
31
membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan pada sitoplasma sel plasma
menjadi lebih banyak dari pada sitoplasma sel B. Sedangkan limfosit T yang
aktif akan berukuran lebih besar dari pada sel T yang belum aktif.
32
prednison. 2) C(M)OPP yaitu siklofosfamid, vinkristin, prokarbazin, dan
prednison. 3) CHOP yaitu siklofosfamid doksorubisin, vinsikrin dan
prednison. 4) FND yaitu fludarabin, mitoksantron, dan dengan atau tidak
deksametason. NHL agresif merupakan NHL indolen yang bertransformasi
menjadi lebih ganas akan memiliki prognosis yang jelek dan dapat
melibatkan sistem saraf pusat. Biasanya memberikan respon terapi yang baik
dengan protokol pengobatan NHL keganasan derajat menengah atau tinggi
yaitu dengan terapi radiasi paliatif, kemoterapi, rituximab, dan transplantasi
sumsum tulang. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk
kasus ini harus dipertimbangkan.
7. Stadium
33
sisis diafragmadan 1 organ ekstra limfatik tidak
difus/ batas tegas.
Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma
III
Kelainan hematologi tidak jarang ditemukan pada pasien pasien dengan non
hodgkin limfoma. Kelainan yang paling sering yaitu pada jumlah atau kadar dari
hemoglobin, jumlah trombosit, dan jumlah leukosit.
a. Jumlah Hemoglobin pada NHL
Kriteria anemia klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) untuk
Indonesia pada umumnya adalah hemoglobin dibawah 10 g/dl, hematokrit
dibawah 30% dan eritrosit dibawah 2,8 juta/mm 3. Klasifikasi derajat anemia
ialah ringan sekali jika Hb 10 g/dl, ringan jika Hb 8 g/dl, sedang jika Hb 6
g/dl – Hb 7,9 g/dl, dan berat jika Hb dibawah 6 g/dl.
Umur leukosit ialah 13-20 hari. Vitamin, asam folat dan asam amino
dibutuhkan dalam pembentukan leukosit. Sistem endokrin mengatur
produksi, penyimpanan, serta pelepasan dari leukosit sesuai dengan
kebutuhan sistemik.perkembangan granulosit dimulai dengan myeloblast
kemudian berkembang menjadi promyelosi, myelosit, metamyelosit dan
35
bands dan akhirnya akan menjasi neurtrofil, eosinofil dan basofil.
Perkembangan limfosit dimulai dengan limfoblast kemudian berkembang
menjadi prolimfoblast dan pada akhirnya menjadi sel limfosit.
Tabel. Granulosit dan Agranulosit sel Darah Putih
Neutrofil Neutrof Eosinofil Basofil Limfosit Monosit
Segment il
Bands
Persentase
36-73 0-12 0-6 0-2 15-45 0-10
%
Jumlah
800-
Absolut 1.260-7300 0-1440 0-500 0-150 100-800
4000
(/mm3)
36
merah, trombosit maupun leukosit.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UI. hal. 415-6.
David C. Dale, Daniel D.Fedeman. 2007. AMP Medicine 2007 Edition, Washington D.C.
p.IX : 1-26
Douglas Eder. Histology. 2001. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology. 4 th
Edition. USA : McGraw-Hill Scienc. p.35
Faiz O, Moffat D. 2002. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a glance.
USA: Blackwell Publishing Company. p. 44-5.
Hall & Guyton. 2004. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. hal. 902-6.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2004. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H,
Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7 th Edition. Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.
Lindseth, Glenda N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam :
Sylvia A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal.472-5.
Marc S. Sabatine. 2004. Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The Massachusetts General
Hospital Handbook of Internal Medicine. p.106-10
Netter FH. Surface and bed of liver. 2006. In : Atlas of Human Anatomy. 4 th Edition.
USA : Saunders Elsevier. p. 287.
Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI. hal. 443-53.
Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. 2005. Cirrhosis and its complications. In : Kasper DL
et.al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw
Hill. p. 1858-62.
Cherian S, Umerah OM, Tufail M, Panchal RK. 2019. Chylothorax in a patient with HIV-
related Kaposi's sarcoma. BMJ Case Rep. 12(1)
37
Costa KM, Saxena AK. 2018. Surgical chylothorax in neonates: management and
outcomes. World J Pediatr. 14(2):110-115.
Furukawa M, Hara A, Miyazaki R, Yokoyama S, Hayashi M, Tao H, Okabe K. 2018.
Assessment of Fat-free Diet for Postoperative Chylothorax. Kyobu Geka. (13):1063-
1065.
Hayashi K, Hanaoka J, Ohshio Y, Igarashi T. 2019. Chylothorax secondary to a
pleuroperitoneal communication and chylous ascites after pancreatic resection. J
Surg Case Rep. (1):rjy364.
Iio K, Soneda K, Shimotakahara A, Hataya H, Kono T. 2019. Effective method of
evaluating infantile chylothorax. Pediatr Int. 61(2):203-205.
Papoulidis P, Vidanapathirana P, Dunning J. 2018. Chylothorax, new insights in treatment.
J Thorac Dis. (Suppl 33):S3976-S3977.
Pospiskova J, Smolej L, Belada D, Simkovic M, Motyckova M, Sykorova A, Stepankova
P, Zak P. 2019. Experiences in the treatment of refractory chylothorax associated
with lymphoproliferative disorders. Orphanet J Rare Dis. 14(1):9.
Schild HH, Pieper C. 2019. Chylothorax: Current Therapeutic Options. Zentralbl Chir.
144(S 01):S24-S30.
Yamagata Y, Saito K, Hirano K, Oya M. 2019. Laparoscopic Transhiatal Thoracic Duct
Ligation for Chylothorax after Esophagectomy. Thorac Cardiovasc Surg. 67(7):606-
609.
Yang RF, Liu TT, Wang P, Zhang RQ, Li C, Han B, Gao XX, Zhang L, Jiang ZM. 2018.
Ligation of thoracic duct during thoracoscopic esophagectomy can lead to decrease
of T lymphocyte. J Cancer Res Ther. (7):1535-1539.
Zhang C, Xi MY, Zeng J, Li Y, Yu C. 2019. Prognostic Impact of Postoperative
Complications on Overall Survival in 287 Patients With Oral Cancer: A
Retrospective Single-Institution Study. J. Oral Maxillofac. Surg. 77(7):1471-1479.
38