Anda di halaman 1dari 70

Laporan Kasus

SEORANG LAKI-LAKI 41 TAHUN DENGAN MULTIPLE TOFUS


TERINFEKSI DI CALCANEUS DEXTRA ET SINISTRA, GOUT
ARTHIRTIS, VSD, HIPERBILIRUBINEMIA, HIPOALBUMINEMIA
RINGAN, HIPOKALEMIA SEDANG DAN HIPOKALSEMIA RINGAN

Oleh:

Dina Ayu Apriyani G991902015

Pembimbing Residen

dr. Kunti Dewi Saraswati, M. Kes, Sp. PK dr. Anne Marrya

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:


SEORANG LAKI-LAKI 41 TAHUN DENGAN MULTIPLE TOFUS
KOMPLEKS DI CALCANEUS DEXTRA ET SINISTRA, VSD DAN
PULMONARY HYPERTENSION, DAN GOUT ARTRITIS

Dina Ayu Apriyani G991902015

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Kunti Dewi Saraswati, M. Kes, Sp. PK

1
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ...............................................................................................1

Daftar Isi...................................................................................................................2

Bab I Status Pasien ...................................................................................................3


Identitas Pasien.............................................................................................3
Data Dasar ....................................................................................................3
Pemeriksaan Fisik ........................................................................................5
Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................8
Resume .......................................................................................................12
Diagnosis atau problem ..............................................................................13
Rencana Awal ............................................................................................14
Follow Up ..................................................................................................16

Bab II Analisis Kasus .............................................................................................26


Bab III Tinjauan Pustaka ........................................................................................31
Gout Arthirtis ..............................................................................................31
Ventricular Septal Defect ............................................................................46
Hiperbilirubinemia ......................................................................................53
Hipoalbumin ................................................................................................59
Hipokalemia ................................................................................................61
Hipokalsemia...............................................................................................62

Daftar Pustaka ........................................................................................................63

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. ES
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Solo Baru, Surakarta
No. RM : 01375xxx
Pekerjaan : Driver
Suku : Jawa
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 20 Januari 2020
Tanggal pemeriksaan : 23 Januari 2020

B. Data Dasar
Autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Flamboyan 8
Kamar 806C RSUD DR. Moewardi, Surakarta.
1. Keluhan Utama
Nyeri persendian di mata kaki kanan kiri, lutut kanan, jari tangan
kanan kiri sejak 1 minggu SMRS, yang memberat 1 hari SMRS.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri di persendian
yang membengkak terutama di benjolan mata kaki kanan dan kiri, lutut
kanan, jari tangan kanan dan kiri yang memberat sejak 1 minggu yang
lalu, memberat sejak 1 hari SMRS.
Keluhan disertai adanya warna kemerahan, teraba panas dan
penurunan fungsi pada sendi yang terkena serangan. Keluhan dirasakan
terus menerus, lama kelamaan nyeri bertambah hebat. Nyeri tidak
berkurang dengan istirahat dan makin memberat jika melakukan aktivitas.

3
Saat ini pasien mengeluh ada luka di bagian mata kaki kanan dan kiri,
dimana terdapat nanah disekitar luka.
Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya demam sejak 1 hari
SMRS. Demam dirasakan terus menerus, tidak memberat dengan aktivitas,
dan membaik dengan pemberian parasetamol.
BAB pasien normal, berwarna coklat, 2-3x/hari, tidak ada lendir
maupun darah. BAK pasien normal, berwarna kuning, 3-4x/hari, darah (-).
Pasien memiliki riwayat asam urat sejak 3 tahun yang lalu, DM (-), HT (+)
sejak 10 tahun yang lalu terkontrol obat, riwayat VSD (+) sejak usia 3
tahun, dengan konsumsi obat rutin candesartan 1x16 mg, concor 1x12,5
mg, furosemide 3x20 mg, sildenafil 1x2 ½ tab (100gr). Pasien mempunyai
riwayat minum minuman berenergi (+), minum jamu (+), riwayat minum
obat china untuk pegal linu (+).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : (+) sejak 3 tahun yang lalu
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma dan alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) sejak 5 tahun yang lalu,
terkontrol obat.
Riwayat sakit jantung : (+) VSD sejak berumur 3 tahun,
konsumsi obat rutin candesartan
1x16 mg, concor 1x12,5 mg,
furosemide 3x20 mg, sildenafil 1x2
½ tab (100gr).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : (+) Ayah pasien
Riwayat asma dan alergi : disangkal

4
Riwayat hipertensi : (+) Ayah pasien
Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai seorang driver. Pasien berobat
menggunakan fasilitas umum. Pasien makan 3-4 kali sehari dengan
porsi sedang, dan minum kurang lebih 4 gelas belimbing. Saat ini
pasien tinggal bersama istri dan 3 orang anaknya.
Kebiasaan merokok diakui sejak 15 tahun yang lalu. Pasien
mempunyai riwayat minum minuman berenergi (+), minum jamu
(+), riwayat minum obat china untuk pegal linu (+) serta riwayat
mengonsumsi alkohol (+) sejak pasien berusia 20 tahun dengan
frekuensi kurang lebih 3x/bulan, sebanyak kurang lebih 3-4 gelas
belimbing.

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 23 Januari 2020 dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, GCS E4V5M6 composmentis.
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 120/70 mmHg lengan kanan, posisi supine
b. Nadi : 78 kali/menit regular, isi dan tekanan lemah
c. Frekuensi nafas : 22 kali/menit pernapasan thorax
d. Suhu : 36.4 oC per axilla
e. VAS : 5 pada persendian yang terkena serangan
3. Status Gizi
a. Berat Badan : 60 kg
b. Tinggi Badan : 160 cm
c. IMT : 23,43 kg/m2
d. Kesan : Normoweight
4. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi bekas garukan gatal (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)

5
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah rontok (-),luka (-),
atrofi m. temporalis (+).
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(+/+), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-), pandangan
kabur (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-), chvostek sign (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi berdarah
(-), papil lidah atrofi (-)
10. Leher : JVP R+ 2cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-),
distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal,
sela iga melebar(-), pembesaran limfonodi axilla (-/-)
12 Jantung :
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kiri : SIC IV linea axilaris anterior sinistra
Kanan : SIC V linea sternalis dextra
Pinggang : SIC III linea parasternalis sinistra
Ictus cordis : SIC V linea axilaris anterior sinistra
Kesan : Batas jantung kesan melebar ke kaudolateral
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, gallop (-), murmur holosistolik (+).
13. Pulmo :
Inspeksi

6
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : Simetris
2. Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
1. Kanan : Sonor
2. Kiri : Sonor
Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar: vesikuler, wheezing (-), ronkhi basah
halus (-), krepitasi (-)
2. Kiri : Suara dasar: vesikuler, wheezing (-), ronkhi basah
halus (-), krepitasi (-)
14. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding perut sama tinggi dengan dinding thorax,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput
medusae (-), ikterik (-), papul (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 16x / menit, bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Supel, hepar dan lien sulit dievaluasi, nyeri tekan
epigastrium (-), undulasi (-)
15. Ekstremitas : Akral Dingin Oedem
- - - -
- - - -
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-),ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-
), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-
), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-
), kesemutan (-/-), tofus digiti (1,2,3/3,4)

7
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-
), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/)
Nyeri (-/-), deformitas (-/-), kesemutan (-/-), nyeri
tekan (-), tofus calcaneus pedis (+/+) disertai
pus, tofus genu (+/-)

D. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil Laboratorium Darah (20 Januari 2020) di RSDM

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.7 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 45 % 33 – 45
Leukosit 8.9 ribu/µl 4,5 – 11.0
Trombosit 126 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.57 juta/µl 4.50 – 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 97.4 /um 80.0 – 96.0
MCH 32.1 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.0 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 16.2 % 11.6 – 14.6
MPV 9.7 Fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Netrofil 71.60 % 55.00 – 80.00
Limfosit 18.00 % 22.00 – 44.00
Mono, Eos, Bas 10.40 % 00.0 – 12. 00
Golongan Darah A %
KIMIA KLINIK
GDS 74 mg/dl 60 – 140
SGOT 13 u/l <35

8
SGPT 11 u/l <45
Bilirubin Total 6.10 mg/dl 0.00 – 1.00
Albumin 3.0 g/dl 3.5-5.2
Creatinine 1.0 mg/dl 0.9 – 1.3
Ureum 10 mg/dl <50

ELEKTROLIT
Natrium darah 136 mmol/L 136 –146
Kalium darah 2.7 mmol/L 3.7 – 5.4
Calsium Ion 1.06 mmol/L 1.12 – 1.60
HBsAg Non reactive Non reactive
Kesimpulan: Trombositopenia, hyperbilirubinemia, hypoalbuminemia
ringan, hypokalemia sedang, hipokalsemia ringan, limfositopenia

Osmolaritas = 277.07 mmol


2 x (Na + K) + (GDS/18) + (Ur/6.4)
2 x (136 + 2.7) + (74/18) +(10/6.4)
2 x 135.7 + 4.11 + 1.56
= 283.07 mmol/kg  osmolaritas normal
Kadar Osmolaritas tubuh: 275-295 mmol/kg

9
b) EKG (20 Januari 2020) di RSDM

Kesimpulan: Sinus Rhytm, HR 62x/mnt, extreme axis, RBBB inkomplit,


PVC di lead II, III, AVR, AVL, AVF

10
c) Rontgen Thorax PA (20 Januari 2020) di RSDM

Kesimpulan: Pneumonia, kardiomegali

d) Rontgen Pedis AP/Oblique (20 Januari 2020) di RSDM

Kesimpulan: Menyokong gambaran gout arthritis pedis bilateral dengan


tofus terinfeksi

11
e) Rontgen Genu AP/Lat (20 Januari 2020) di RSDM

Kesimpulan: Menyokong gambaran gout arthritis genu kanan

E. Resume
1. Keluhan utama:
Nyeri persendian di mata kaki kanan kiri, lutut kanan, jari
tangan kanan kiri sejak 1 minggu SMRS, yang memberat 1 hari
SMRS.
2. Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
 Nyeri di persendian yang membengkak di benjolan mata kaki kanan
dan kiri, lutut kanan, jari tangan kanan dan kiri sejak 1 minggu
SMRS dan memberat 1 hari SMRS.
 Luka bernanah di bagian calcaneus kanan dan kiri.
 Demam 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwaayat HT (+) sejak 5 tahun yang lalu, terkontrol obat
Riwayat VSD sejak umur 3 tahun terkontrol obat candesartan 1x16 mg,
concor 1x12,5 mg, furosemide 3x20 mg, sildenafil 1x2 ½ tab (100gr)

12
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien bekerja sebagai supir tinggal bersama keluarga, berobat
menggunakan fasilitas umum. Riwayat merokok dan minum alcohol diakui
sejak usia 20 tahun.
3. Pemeriksaan fisik:
● KU : Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
● Vital sign : Tekanan darah 120/70 mmHg, RR 22x/ menit, HR
78x/menit, suhu 36.4 0C
● Kepala : Atrofi M. Temporalis (+)
● Mata : Sklera ikterik (+/+)
● Perkusi jantung : Melebar ke kaudolateral, murmur holosistolik (+)
● Extremitas atas : tofus digiti (1,2,3/3,4)
● Extremitas bawah: tofus calcaneus pedis (+/+) disertai pus, tofus genu
(+/-)
4. Pemeriksaan penunjang:
● Laboratorium darah (20/01/20): Trombositopenia, hiperbilirubinemia,
hipoalbuminemia ringan, hipokalemia sedang, hipokalsemia ringan.
● EKG (20/01/20): Sinus Rhytm, HR 62x/mnt, RBBB anterior, ST Elevasi
(-), ST Depresi (+)
● Rontgent thorax PA (20/01/20): Pneumonia, Cardiomegaly
● Rontgen pedis AP/Oblique (20/01/20): Gout arthritis pedis bilateral
dengan tofus terinfeksi
● Rotngen genu AP/Lat (20/01/20): Gout arthritis genu kanan

F. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Multiple tofus terinfeksi di calcaneus dextra et sinistra
2. Gout arthritis
3. Ventricular Septal Defect (VSD)
4. Hiperbilirubinemia (6.10 mg/dl)
5. Hipoalbuminemia ringan (3.0 g/dl)
6. Hipokalemia sedang (2.7 mmol/L)
7. Hipokalsemia ringan (1.06 mmol/L)

13
G. TATALAKSANA
1. Bed rest tidak total 8. Idium 0,5 – 1 mg / 24 jam
2. Diet lunak 1500 kkal 9. Candesartan 16 mg/24 jam
3. Inf. RL 10 tpm 10. Concor 12,5 mg/24 jam
4. Inj. Santagesic 1 amp/8 jam 11. Sildenafil 100 mg 2 dd ½ tab
5. Kolkisin 0,5mg/24jam 12. Inj. Furosemid 20mg/8jam
6. Allupurinol 300mg/24 jam 13. VIP Albumin 1 cap / 8 jam
7. Inj. Cefoperazone sulbactam 14. KSR 1 tab / 8 jam
1,5 gram/24 jam 15. CaCO3 1 tab / 8 jam

H. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Urinalisis
2. Evaluasi elektrolit
3. Pemeriksaan asam urat
4. Cek Bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin indirek
5. Pemeriksaan cairan sendi synovial
6. Kultur pus

I. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia et bonam

14
J. TIMELINE
Radiologi
• Rontgen thorax PA: Pneumonia,
• Nyeri bertambah Cardiomegaly
hebat • Rontgen pedis AP/Oblique: Gout
• demam (+) arthritis pedis bilateral dengan
• luka di mata kaki tofus terinfeksi
kanan dan kiri • Rotngen genu AP/Lat: Gout
Riwayat Riwayat sakit disertai pus (+) arthritis genu kanan
VSD(+) asam urat (+)

Masuk
1 minggu 1 hari
38 th yll 5 th yll 3 th yll RSDM BLPL
SMRS SMRS 20/01/20 23/01/20
20 20
Nyeri dan bengkak di • Nyeri bertambah • Nyeri
Riwayat hebat
persendian mata kaki persendian
HT (+) • demam (+)
kanan, lutut kanan, jari berkurang (+)
tangan kanan dan kiri • luka di mata kaki • Lemas (-)
kanan dan kiri disertai
pus (+)
Lab IGD:
• Trombositopenia (126.000/µl)
• Limfositosis (18.00%)
• Hiperbilirubinemia (6.10 mg/dl)
• Hipoalbuminemia ringan (3.0 mg/dl)
• Hipokalemia sedang (2.7 mmol/L)
• Hipokalsemia ringan (1.06 mmol/L) 14
K. RENCANA AWAL

No Pengkajian Rencana Awal Rencana Rencana


Diagnosis Rencana Terapi
(Assesment) diagnosis Edukasi Monitoring

1. Multiple tofus Anamnesis: - Cek asam - Bed rest tidak total Penjelasan -
terinfeksi di Nyeri dan bengkak pada urat, ureum, - Diet lunak 1500 kepada pasien
calcaneus persendian mata kaki kanan dan kreatinin kkal mengenai kondisi
dextra et kiri - Inf. RL 10 tpm pasien, terapi
sinistra - Inj. Santagesic 1 yang diberikan
Pemeriksaan Fisik amp/8 jam serta komplikasi
Ekstremitas atas: tofus digiti - Kolkisin 0,5- yang mungkin
(1,2,3/3,4) 1mg/24 jam terjadi dari
Ekstremitas bawah: tofus - Allupurinol kelainan yang
calcaneus pedis (+/+), tofus 300mg/24 jam diderita pasien
genu (+/-) - Inj. Cefoperazone
sulbactam 1,5
gram/24 jam
2. Gout arthritis Anamnesis: Cek asam urat, - Allupurinol 300 mg / Penjelasan KUVS 22
Nyeri dan bengkak pada mata elektrolit, 24 jam kepada pasien
kaki kanan dan kiri, persendian rontgen pedis mengenai
lutut kanan, jari-jari tangan - Idium 0,5 – 1 mg / kondisi,

15
kanan dan kiri 24 jam tatalaksana dan
komplikasi yang
Pemeriksaan Fisik: mungkin terjadi.
Ekstremitas atas: tofus digiti
(1,2,3/3,4)
Ekstremitas bawah: tofus
calcaneus pedis (+/+), tofus
genu (+/-)
3. Ventricular Anamnesis: - EKG - Candesartan 16 Penjelasan Monitoring
Septal Defect Riwayat VSD sejak umur 3 mg/24 jam kepada pasien keadaan umum,
tahun - Concor 12,5 mengenai tanda vital, dan
mg/24 jam kondisi, prosedur perdarahan
- Sildenafil 100 mg diagnosis, dan
Pemeriksaan fisik: 2 dd ½ tab tatalaksana
Murmur holosistolik (+) - inj. Furosemid beserta
20mg/8jam komplikasi yang
dapat terjadi.
Pemeriksaan Penunjang:
Echocardiography (pasien tidak
membawa)
4. Hiperbilirubin Anamnesis: - Cek elektrolit - Penjelasan Cek bilirubin
emia Riwayat konsumsi alcohol sejak kepada pasien total, bilirubin
usia 20 tahun. mengenai direk dan
kondisi, prosedur bilirubin indirek
diagnosis, dan

16
Pemeriksaan fisik: tatalaksana
Sklera ikterik (+/+) beserta
Pemeriksaan Penunjang: komplikasi yang
Bilirubin total: 6.10 mg/dl dapat terjadi.

5. Hipoalbumine Anamnesis: - Cek elektrolit - VIP albumin 1 Penjelasan Evaluasi hasil


mia ringan - cap / 8jam kepada pasien lab elektrolit
mengenai
Pemeriksaan Penunjang: kondisi, prosedur
Albumin 3.0 g/dl diagnosis, dan
tatalaksana
beserta
komplikasi yang
dapat terjadi.

6. Hipokalemia Anamnesis: - Cek elektrolit - KSR Penjelasan Evaluasi hasil


sedang Riwayat penggunaan diuretic 1tab/8jam kepada pasien lab elektrolit
jangka panjang. mengenai
kondisi, prosedur
Pemeriksaan Penunjang: diagnosis, dan
Kalium: 2.7 mmol/L tatalaksana
beserta
komplikasi yang
dapat terjadi.

17
7. Hipokalsemia Anamnesis: - Cek elektrolit - CaCo3 Penjelasan Evaluasi hasil
ringan - 1tab/8jam kepada pasien lab elektrolit
mengenai
Pemeriksaan Penunjang: kondisi, prosedur
Kalsium: 1.06 mmol/L diagnosis, dan
tatalaksana
beserta
komplikasi yang
dapat terjadi.

18
L. FOLLOW UP
Tanggal 21 Januari 2020 (DPH 1)
Subjektif Nyeri persendian berkurang (+) lemas (+)
Objektif KU : tampak sakit sedang, lemas, composmentis,
E4V5M6
Tensi : 120/80mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 94 kali/menit
Suhu : 36.4° C
VAS : 2-3 pada lutut dan persendian regio pedis
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik(+/+), pupil
bulat isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-),
murmur holosistolik (+)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)

16
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 14 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

Akral dingin - -
- -

- -
Oedem
- -

CRT > 2 detik


Extremitas superior: tofus digiti (1,2,3/3,4)
Extremitas inferior : tofus calcaneus pedis (+/+) disertai pus,
tofus genu (+/-)

Pemeriksaan -
Penunjang
Assesment 1. Multiple tofus terinfeksi di calcaneus dextra et sinistra
2. Gout arthritis
3. Riwayat Ventricular Septal Defect (VSD) dalam pengobatan
4. Hiperbilirubinemia
5. Hipoalbuminemia ringan
6. Hipokalemia sedang
7. Hipokalsemia ringan
Terapi 1. Bedrest tidak total
2. Diet lunak 1700 kkal
3. Infus RL 16 tpm
4. Inj. Santagesic 1 ampul/8jam
5. Inj. Ranitidin 50mg/8jam
6. Inj. Furosemide 20mg/8jam

17
7. Concor 1 tab/24jam
8. Candesartan 16mg/24jam
9. Sildenafil 100mg2 dd ½ tab
10. Allopurinool 300mg/24jam
11. Kolkisin 0,5mg/24jam
12. KSR 1tab/8jam
13. CaCo3 1tab/8jam
14. VIP albumin 1cap/8jam
Planning - Perbaikan KU
- Lacak hasil lab
- Urinalisis
- Pemeriksaan bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin
indirek

18
Tanggal 22 Januari 2020 (DPH 2)
Subjektif Nyeri persendian berkurang (+) Lemas (-)
Objektif KU : tampak sakit sedang, lemas, composmentis,
E4V5M6
Tensi : 120/70mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 85 kali/menit
Suhu : 36.7° C
VAS : 2-3 pada lutut dan persendian regio pedis
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik(+/+), pupil
bulat isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
murmur holosistolik (+)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)

19
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 14 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

Akral dingin - -
- -

- -
Oedem
- -

CRT > 2 detik


Extremitas superior: tofus digiti (1,2,3/3,4)
Extremitas inferior : tofus calcaneus pedis (+/+),
tofus genu (+/-)

Pemeriksaan Laboratorium (22/01/20)


Penunjang Bilirubin Total 5.16
Bilirubin Direct 3.32
Bilirubin Indirect 1.84

Urinalisis (22/01/20)

Makroskopis
Warna Dark yellow Keton Negatif
Kejernihan Cloudy Urobilinogen ++
Berat Jenis 1.018 Bilirubin ++
pH 6.0 Eritrosit +
Leukosit Negatif Protein +++
Nitrit Negatif Glukoa Normal

20
Mikroskopis
Eritrosit 32.2 Leukosit 2.4
Epitel Epitel
2-3 0-1
squamous transisional
Epitel bulat Silinder
- 0
Hyaline
Silinder 1-2 Silinder
Granulated Leukosit -
Yeast like 0.0 Small round 2.0
cell cell
Sperma 0.0 Konduktivitas 13.2
Lain-lain Eritrosit 5-6/LPB, leukosit 2-4/LPB,
bakteri (+), kristal amorf (+)
Assesment 1. Multiple tofus terinfeksi di calcaneus dextra et sinistra
2. Gout arthritis
3. Riwayat Ventricular Septal Defect (VSD) dalam pengobatan
4. Hiperbilirubinemia
5. Hipoalbuminemia ringan
6. Hipokalemia sedang
7. Hipokalsemia ringan
Terapi 1. Bedrest tidak total
2. Diet lunak 1700 kkal
3. Infus RL 16 tpm
4. Inj. Santagesic 1 ampul/8jam
5. Inj. Ranitidin 50mg/8jam
6. Inj. Furosemide 20mg/8jam
7. Concor 1 tab/24jam
8. Candesartan 16mg/24jam
9. Sildenafil 100mg2 dd ½ tab
10. Allopurinool 300mg/24jam
11. Kolkisin 0,5mg/24jam

21
12. Inj. Ampicillin 1gr/6jam
13. KSR 1tab/8jam
14. CaCo3 1tab/8jam
15. VIP albumin 1cap/8jam
Planning - Perbaikan KU
- Bila KU baik BLPL
- Urin rutin

22
Tanggal 23 Januari 2020 (DPH 3)
Subjektif Nyeri persendian berkurang (+), lemas (-)
Objektif KU : tampak sakit sedang, lemas, composmentis,
E4V5M6
Tensi : 110/70mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 89 kali/menit
Suhu : 36.4° C
VAS : 2-3 pada lutut dan persendian regio pedis
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik(+/+), pupil
bulat isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-),
murmur holosistolik (+)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)

23
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 14 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

Akral dingin - -
- -

- -
Oedem
- -

CRT > 2 detik


Extremitas superior: tofus digiti(1,2,3/3,4)
Extremitas inferior : tofus calcaneus pedis (+/+),
tofus genu (+/-)

Pemeriksaan -
Penunjang
Assesment 1. Multiple tofus terinfeksi di calcaneus dextra et sinistra
2. Gout arthritis
3. Riwayat Ventricular Septal Defect (VSD) dalam pengobatan
4. Ikterik ec post hepatal dd hepatal
5. Hipoalbuminemia ringan
6. Hipokalemia sedang
7. Hipokalsemia ringan
8. Hiperbilirubinemia
Terapi 1. Bedrest tidak total
2. Diet lunak 1700 kkal
3. Infus RL 16 tpm
4. Inj. Santagesic 1 ampul/8jam
5. Inj. Ranitidin 50mg/8jam

24
6. Inj. Furosemide 20mg/8jam
7. Concor 1 tab/24jam
8. Candesartan 16mg/24jam
9. Sildenafil 100mg2 dd ½ tab
10. Allopurinool 300mg/24jam
11. Kolkisin 0,5mg/24jam
Planning Bila KU baik BLPL

25
BAB II
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis pasien diketahui pasien datang ke IGD RSUD Dr.


Moewardi dengan keluhan nyeri di persendian yang membengkak pada mata kaki
kanan kiri, lutut kanan, jari tangan kanan dan kiri sejak 1 minggu SMRS, yang
memberat 1 hari SMRS. Keluhan disertai adanya warna kemerahan, teraba panas
dan penurunan fungsi pada sendi yang terkena serangan. Keluhan nyeri sendi
dirasakan terus menerus, lama kelamaan nyeri bertambah hebat. Nyeri makin
memberat jika melakukan aktivitas dan ketika cuaca dingin. Nyeri tidak berkurang
dengan istirahat. Pasien mengeluhkan adanya luka pada mata kaki kanan dan kiri
yang disertai dengan nanah. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 1 hari SMRS
dan membaik dengan parasetamol. Pasien memiliki riwayat sakit asam urat sejak
3 tahun yang lalu, dan riwayat VSD sejak usia 3 tahun saat ini sedang dalam
pengobatan.

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan:


- Laboratorium darah:
1. Trombositopenia (126.000/µl)
2. Hiperbilirubinemia (6.10 mg/dl)
3. Hipoalbuminemia ringan (3.0 mg/dl)
4. Hipokalemia sedang (2.7 mmol/L)
5. Hipokalsemia ringan (1.06 mmol/L)
6. Limfositopenia (18.00 %)
- EKG: Extreme axis, RBBB inkomplit, PVC di lead II, III, AVR, AVL,
AVF
- Ro thorax: Pneumonia, kardiomegali
- Ro pedis AP/Oblique: gout artritis pedis bilateral dengan tofus terinfeksi
- Ro genu AP/Lat: Gout artritis genu (D)

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan multiple tofus terinfeksi di


calcanes dextra et sinistra karena dari anamnesis didapatkan nyeri di persendian
yang membengkak di mata kaki kanan dan kiri yang disertai luka bernanah. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tofus di calcaneus dextra et sinistra yang disertai

26
pus. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil rontgen pedis AP/Oblique:
gout artritis pedis bilateral dengan tofus terinfeksi.

Pasien juga di diagnosis dengan gout artritis karena Diagnosis gout


arthirtis karenadari anamnesis didapatkan nyeri di persendian yang membengkak
multiple di mata kaki kanan dan kiri, lutut kanan, jari-jari tangan kanan kiri, dan
riwayat gout arthiris 3 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
multiple tofus di calcaneus dextra et sinistra, genu dextra, jari tangan kanan dan
kiri. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil rontgen genu yaitu gout
arthirtis di genu dextra.

Terdapat tambahan faktor resiko terkenanya gout pada pasien ini yaitu
riwayat penggunaan obat diuretik dan konsumsi alkohol sejak usia 20 th.
Penggunaan obat diuretik meningkatkan reabsorbsi asam urat di ginjal, sehingga
menyebabkan hiperurisemia. Sedangkan konsumsi alcohol yang memiliki
kandungan purin yang tinggi mengakibatkan over produksi asam urat,
mempercepat proses pemecahan adenosine trifosfat serta meningkatkan asam
laktat pada darah yang menghambat eksresi asam urat (Doherty, 2009; Zhang,
2006). Penggunaan obat diuretic yang rutin dikonsumsi pasien sejak 10 tahun
yang lalu dapat meningkatkan reabsorbsi asam urat di ginjal, sehingga
menyebabkan hiperurisemia (Weaver, 2008).

Diagnosis gout arthritis dapat ditentukan melalui kriteria The American


College of Rheumatology (ACR) tahun 2015. sebagai berikut:

Kriteria Kategori Skor Skor


pada
pasien
Klinis
Pola keterlibatan sendi/bursa Pergelangan kaki atau telapak 1 1
selama episode simptomatik kaki (monoartikular atau
oligoartikular tanpa keterlibatan
sendi MTP-1)
Sendi MTP-1 terlibat dalam 1
episode simptomatik, dapat
monoartikular maupun
oligoartikular

27
Karakteristik episode 1 karakteristik 1 3
simptomatik 2 karakteristik 2
 Eritema 3 karakteristik 3
 Tidak dapat menahan nyeri
akibat sentuhan atau
penekanan pada sendi yang
terlibat
 Kesulitan berjalan atau
tidak dapat
mempergunakan sendi yang
terlibat
Terdapat ≥ 2 tanda episode 1 episode tipikal 1 2
simptomatik tipikal dengan atau Episode tipikal rekuren 2
tanpa terapi
Nyeri < 24 jam
Resolusi gejala ≤ 14 hari
Resolusi komplit di antara
episode simptomatik
Bukti klinis adanya tofus Ditemukan tofus 4 4
Nodul subkutan yang tampak
seperti kapur di bawah kulit
yang transparan, seringkali
dilapisi jaringan vaskuler, lokasi
tipikal: sendi, telinga, bursa
olekranon, bantalan jari, tendon
(contohnya achilles)
Laboratoris
Asam urat serum dinilai dengan <4mg/dl (<0.24mmol/L) -4
metode urikase, idealnya 6-8 mg/dl (<0.36-0.48 mmol/L) 2
dilakukan saat pasien tidak 8-<10 mg/dl ().48 - < 0.60 3
sedang menerima terapi penurun mmol/L) 4 4
asam urat dan sudah > 4 minggu ≥10 mg/dl (≥ 0.60 mmol/L)
sejak timbul episode
simptomatik (atau selama fase
interkritikal)
Analisis cairan sinovial pada MSU negative -2 0
sendi atau bursa yang terlibat
Pencitraan
Bukti pencitraan deposisi urat Terdapat tanda deposisi urat 4 4
pada sendi atau bursa
simptomatik: ditemukan double-
contour sign positif pada
ultrasound atau DECT
menunjukkan adanya deposisi
urat

28
Bukti pencitraan kerusakan Terdapat bukti kerusakan sendi 4 0
sendi akibat gout: radiografi
konvensional pada tangan
dan/atau kaki menunjukkan
minimal 1 erosi
TOTAL 18

Skor yang didapatkan dari kriteria ACR/EULAR 2015 adalah 18.


Seseorang dikatakan terkena gout jika jumlah skor dari kriteria pada tabel ≥ 8.
Dari hal ini, pasien dapat ditegakkan diagnosis gout arthritis.

Pasien di diagnosis Ventricular Septal Defect (VSD) karena berdasarkan


anamnesis pasien sudah memiliki riwayat VSD sejak umur 3 tahun, sudah dalam
pengobatan VSD yaitu candesartan 1x16 mg, concor 1x12,5 mg, furosemide 3x20
mg, sildenafil 1x2 ½ tab (100gr). Dari pemeriksaan fisik didapatkan murmur
histolik (+) saat auskultasi jantung. Dari pemeriksaan penunjang, pasien sudah
pernah melakukan pemeriksaan echocardiography namun pasien tidak membawa
berkas tersebut.

Pada pasien juga ditemukan adanya hyperbilirubinemia. Hal ini didapatkan


dari pemeriksaan fisik yaitu adanya sklera ikterik pada kedua mata pasien dan dari
pemeriksaan lab pada tanggal 20 Januari 2020 yaitu adanya peningkatan bilirubin
total sebanyak 6.10 mg/dl. Dilakukan pemeriksaan kadar bilirubin ulang pada
tanggal 22 Januari 2020 dan didapatkan hasil bilirubin total 5.16 mg/dl dengan
bilirubin direk 3.32 mg/dl dan bilirubin indirek 1.84 mg/dl. Adanya
hiperbilirubinemia pada pasien dapat terjadi karena riwayat minum alcohol sejak
pasien berumur 20 tahun (Spicer et al., 2014). Namun, perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut seperti CT-scan, MRI, cholangiopancreatography
maupun USG untuk menegakkan penyebab dari hyperbilirubinemia pasien
(Minnete & Shan, 2006; Spicer et al., 2014).

Selain itu juga didapatkan hipoalbuminemia ringan. Penyebab


hipoalbumin pada pasien ini kemungkinan disebabkan inflamasi kronis atau akut.
Klasifikasi hipoalbumin menurut Zhang, et al., 2018 yaitu dikatakan hipoalbumin
ringan jika kadar albumin 3,0 - 3,5 g/dl, hipoalbumin sedang jika albumin 2,5 –

29
2,9 g/dl dan hipoalbumin berat jika < 2,5 g/dl. Pada pemeriksaan lab didapatkan
hasil albumin 3.0 g/dl, sehingga pasien dikatakan mengalami hipoalbumin ringan
Pada pasien dapat dilakukan koreksi albumin dengan cara:

0,8 × 𝐵𝐵 × (3,5 − 𝐴) = ⋯ 𝑔𝑟𝑎𝑚

0,8 × 60 × (3,5 − 3) = 24 𝑔𝑟𝑎𝑚

Koreksi albumin untuk pasien ini dapat diberikan koreksi secara oral yaitu
VIP albumin 1 kapsul setiap 8 jam.

Pasien juga mengalami gangguan elektolit, diantaranya yaitu hypokalemia


dan hipokalsemia. Klasifikasi hipokalemia menurut Nathania, 2019 adalah
sebagai berikut, dikatakan hipokalemia ringan jika 3-3,5 mEq/L, hipokalemia
sedang 2,5-2.9 mEq/L dan hipokalemia berat < 2,5 mEq/L. Pada pemeriksaan lab
didapatkan penurunan kalium darah 2.7 mmol/L sehingga pasien mengalami
hypokalemia sedang. Hipokalemia pada pasien dapat disebabkan karena adanya
konsumsi obat diuretic jangka panjang karena pengobatan VSD yaitu furosemide
3x20mg (Spicer et al, 2014).

Koreksi hipokalemia pada pasien dapat dihitung berdasarkan rumus:

0,4 × 𝐵𝐵 × (4 − 𝐾 ) = ⋯ 𝑔𝑟𝑎𝑚

0,4 × 60 × (4 − 2,7) = 31,2 𝑔𝑟𝑎𝑚

Pada pasien ini, terapi hipokalemia dapat berupa pemberian KSR 3x1.

Selain itu juga didapatkan hipokalsemia pada pasien. Kalsium dikatakan


normal jika 1,17 – 1,29 mmol/L. Hipokalsemi digolongkan menjadi berat (<1,00
mmol/L) dan ringan (1,00 – 1,17 mmol/L). Karena hasil pemeriksaan lab
didapatkan penurunan kalsium ion menjadi 1.06 mmol/L, maka asien pada kasus
ini termasuk pada hipokalsemi ringan, sehingga untuk koreksi diberikan CaCo3
3x1 tablet (Butterworth et al, 2013; Stoelting et al, 2015)

30
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. GOUT ARTHRITIS
1. Definisi
Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan dan
tersebar di seluruh dunia. Artritis gout atau dikenal juga sebagai
artritis pirai, merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler. Gangguan
metabolisme yang mendasarkan artritis gout adalah hiperurisemia
yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0
ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl untuk wanita (Tehupeiory,2006).
Sedangkan definisi lain, artritis gout merupakan penyakit
metabolik yang sering menyerang pria dewasa dan wanita
posmenopause. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kadar asam urat
dalam darah (hiperurisemia) dan mempunyai ciri khas berupa episode
artritis gout akut dan kronis (Schumacher dan Chen, 2008).
2. Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia.
Prevalensi bervariasi antar negara yang kemungkinan disebabkan
oleh adanya perbedaan lingkungan, diet, dangenetik (Rothschild,
2013). Di Inggris dari tahun 2000 sampai 2007 kejadian artritis gout
2,68 per 1000 penduduk, dengan perbandingan 4,42 penderita pria dan
1,32 penderitawanita dan meningkat seiring bertambahnya usia
(Sorianoet al, 2011). Di Italia kejadian artritis gout meningkat
dari 6,7 per 1000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 9,1
per1000 penduduk pada tahun 2009 (Rothschild, 2013).
Sedangkan jumlah kejadian artritis gout di Indonesia masih
belum jelas karena data yang masih sedikit. Hal ini disebabkan
karena Indonesia memiliki berbagai macam jenis etnis dan
kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika Indonesia memiliki

31
lebih banyak variasi jumlah kejadian artritis gout (Talarima et al,
2012). Pada tahun 2009 di Maluku Tengah ditemukan 132 kasus,
dan terbanyak ada di Kota Masohi berjumlah 54 kasus (Talarima et
al, 2012). Prevalensi artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar
18,9%, sedangkan di Kota Denpasar sekitar 18,2%. Tingginya
prevalensi artritis gout di masyarakat Bali berkaitan dengan kebiasaan
makan makanan tinggi purin seperti lawar babi yang diolah dari
daging babi, betutu ayam/itik, pepes ayam/babi, sate babi, dan babi
guling (Hensen, 2007).
3. Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin,riwayat
medikasi, obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki
tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang
meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout. Perkembangan
artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis gout menjadi
sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi
artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan
mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008).
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah
menopause, kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun
dengan penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek
urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada wanita muda
(Roddy dan Doherty, 2010). Pertambahan usia merupakan faktor
resiko penting pada pria dan wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan
banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam urat serum
(penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan
fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain
yang dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009).

32
Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang
signifikan untuk perkembangan artritis gout. Obat diuretic dapat
menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga
menyebabkan hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya
diresepkan untuk kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat
sedikit pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia juga terdeteksi pada
pasien yang memakai pirazinamid, etambutol, dan niasin (Weaver,
2008). Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara
signifikan dengan resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat
rendah untuk pria dengan indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi
meningkat tiga kali lipat untuk pria yang indeks massa tubuh 35 atau
lebih besar (Weaver, 2008).
Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin
diduga meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui
urate anion exchanger transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium
dependent anion cotransporter pada brush border yang terletak pada
membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan adanya resistensi
insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi oksidatif
sehingga kadar adenosine tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi
adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan
air oleh ginjal (Choi et al, 2005).
Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta
makanan laut (terutama kerang dan beberapa ikan laut lain)
meningkatkan resiko artritis gout. Sayuran yang banyak
mengandung purin, yang sebelumnya dieliminasi dalam diet rendah
purin, tidak ditemukan memiliki hubungan terjadinya hiperurisemia
dan tidak meningkatkan resiko artritis gout (Weaver, 2008).
Mekanisme biologi yang menjelaskan hubungan antara
konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya serangan gout yakni,
alkohol dapat mempercepat proses pemecahan adenosine trifosfat dan
produksi asam urat (Zhang, 2006). Metabolisme etanol menjadi acetyl
CoA menjadi adenine nukleotida meningkatkan terbentuknya adenosin

33
monofosfat yang merupakan prekursor pembentuk asam urat. Alkohol
juga dapat meningkatkan asam laktat pada darah yang menghambat
eksresi asam urat (Doherty, 2009).
Alasan lain yang menjelaskan hubungan alcohol dengan artritis
gout adalah alcohol memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga
mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh (Zhang, 2006).
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolism purin. Dalam
keadaan normalnya, 90% dari hasil metabolit nukleotida adenine,
guanine, dan hipoxantin akan digunakan kembali sehingga akan
terbentuk kembali masing-masing menjadi adenosine monophosphate
(AMP), inosine monophosphate (IMP), dan guanine monophosphate
(GMP) oleh adenine phosphoribosyl transferase (APRT) dan
hipoxantin guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT). Hanya
sisanya yang akan diubah menjadi xantin dan selanjutnya akan diubah
menjadi asam urat oleh enzim xantin oksidase (Silbernagl, 2006)
4. Patogenesis
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi
oleh butir kristal monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di
sekeliling kristal terutama terdiri dari sel mononuklir dan sel giant.
Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul
fibrosa biasanya prominen disekeliling tofus. Kristal dalam tofus
berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil
secara radier (Tehupeiory, 2006).
Komponen lain yang penting dalam tofus adalah
lipidglikosaminoglikan dan plasma protein. Pada artritis gout akut
cairan sendi juga mengandung Kristal monosodium urat monohidrat
pada 95% kasus. Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera
pada saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di dalam
lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis
(Tehupeiory, 2006).

34
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika
konsentrasinya dalam plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kadar
monosodium urat pada plasma bukanlah satu-satunya faktor yang
mendorong terjadinya pembentukan kristal. Hal ini terbukti pada
beberapa penderita hiperurisemia tidak menunjukkan gejala untuk
waktu yang lama sebelum serangan artritis gout yang pertama kali.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya serangan artritis gout pada
penderita hiperurisemia belum diketahui pasti. Diduga kelarutan asam
urat dipengaruhi pH, suhu, dan ikatan antara asam urat dan protein
plasma (Busso dan So, 2010).
Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi
dengan fagosit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah
dengan cara mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni
opsonisasi dan fagositosis serta mengeluarkan mediator inflamasi.
Mekanisme kedua adalah kristal monosodium urat berinteraksi
langsung dengan membrane lipid dan protein melalui membrane sel
dan glikoprotein pada fagosit. Interaksi ini mengaktivasi beberapa jalur
transduksi seperti protein G, fosfolipase C dan D,Srctyrosine-kinase,
ERK1/ERK2, c-Jun N-terminal kinase, dan p38 mitogen-activated
protein kinase. Proses diatas akan menginduksi pengeluaran
interleukin (IL) pada sel monosit yang merupakan faktor penentu
terjadinya akumulasi neutrofil (Choi et al, 2005).
Pengenalan kristal monosodium urat diperantarai oleh Toll-like
receptor (TLR) 2 dan TLR 4, kedua reseptor tersebut beserta TLR
protein penyadur MyD88 mendorong terjadinya fagositosis.
Selanjutnya proses pengenalan TLR 2 dan 4 akan mengaktifkan faktor
transkripsi nuclear factor-kB dan menghasilkan berbagai macam
faktor inflamasi (Cronsteindan Terkeltaub, 2006). Proses fagositosis
kristal monosodium urat menghasilkan reactive oxygen species (ROS)
melalui NADPH oksidase. Keadaan ini mengaktifkan NLRP3, Kristal
monosodium urat juga menginduksi pelepasan ATP yang nantinya
akan mengaktifkan P2X7R. Ketika P2X7R diaktifkan akan terjadi

35
proses pengeluaran cepat kalium dari dalam sel yang merangsang
NLRP3. Kompleks makro melekular yang disebut dengan inflamasom
terdiri dari NLRP3, ASC dan pro-caspase-1 dan CARDINAL.
Semua proses diatasnantinya akan menghasilkan IL-1α (Busso dan
So, 2010).

Over produksi Ekskresi yang menurun


Makanan dengan kandungan purin Penyakit ginjal
tinggi (misalnya, kerang, tiram,
daging merah, hati, ikan teri)
Alkohol Intoksikasi
Kekurangan enzim (misalnya, Obat-obatan (misalnya diuretik,
fosforibosiltransferase hipoksantin- siklosporin, aspirin dosis rendah,
guanin, phosphoribosyl pirofosfat) pirazinamid, niasin, etambutol)
Obesitas Asidosis metabolik (misalnya,
ketoasidosis, asidosis laktat)
Peningkatan pergantian sel Alkohol
Keganasan
Psoriasis
Tabel 1. Penyebab Umum Overproduksi dan Ekskresi yang Menurun
dari Asam Urat pada Artritis Gout (Sunkureddi et al, 2006)

Penurunan konsentrasi asam urat serum dapat mencetuskan


pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofus
(crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan
hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi
metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat
serangan akut. Dengan demikian gout dapat timbul pada keadaan
asimptomatik (Tehupeiory, 2006). Peradangan atau inflamasi
merupakan reaksi penting pada artritis gout. Reaksi ini merupakan
reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan
jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi itu adalah
untuk menetralisir dan menghancurkan agen penyebab serta mencegah

36
perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas (Tehupeiory,
2006). Reaksi inflamasi yang berperan dalam proses melibatkan
makrofag, neutrofil, yang nantinya menghasilkan berbagai mediator
kimiawi antara lain, TNF-α, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8,
alarmin, dan leukotrien (Neogi, 2011).

5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis artritis gout terdiri dari artritis gout
asimptomatik, artritis gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun
dengan tofus. Nilai normal asam urat serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0
mg/dl, dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-nilai ini
meningkat sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan artritis gout
(Carter, 2006). Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat
asimptomatik, kondisi ini dapat terjadi untuk beberapa lama dan
ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan yang
sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya
serangan artritis gout pada tahap kedua (Sunkureddi et al, 2006).
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang
timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala
apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat
berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama
berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006).
Serangan artritis gout akut terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi
yang berat dan biasanya bersifat monoartikular. Pada 50% serangan
pertama terjadi pada metatarsophalangeal-1 (MTP-1) yang biasa
disebut dengan podagra. Semakin lama serangan mungkin bersifat
poliartikular dan menyerang ankles, knee, wrist, dan sendi-sendi pada
tangan (Sunkureddi et all, 2006).
Serangan akut ini dilukiskan sebagai sembuh beberapa hari
sampai beberapa minggu, bila tidak terobati, rekuren yang multipel,
interval antara serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi
(Tehupeiory, 2006). Ketika serangan artritis gout terjadi eritema yang

37
luas di sekitar area sendi yang terkena dapat terjadi. Meskipun
serangan bersifat sangat nyeri biasanya dapat sembuh sendiri dan
hanya beberapa hari. Setelah serangan terdapat interval waktu
yang sifatnya asimptomatik dan disebut juga stadium interkritikal
(Sunkureddi et al, 2006). Faktor pencetus serangan akut antara lain
berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan
operasi, pemakaian obat diuretic atau penurunan dan peningkatan
asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan
alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan
(Tehupeiory, 2006).
Stadium interkritikal merupakan kelanjutan stadium akut
dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara
klinis tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi
sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses
peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat
terjadi satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10
tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik
dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul
serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi
dan biasanya lebih berat (Tehupeiory, 2006). Kebanyakan orang
mengalami serangan artritis gout berulang dalam waktu kurang dari
1 tahun jika tidak diobati (Carter, 2006).
Segera setelah serangan akut terjadi penderita mungkin
mengalami proses yang terus berlanjut, meskipun bersifat
asimptomatik apabila terapi antiinflamasi tidak diberikan pada waktu
yang cukup, yaitu beberapa hari setelah serangan akut berhenti.
Setelah itu terdapat jeda waktu yang lama sebelum serangan
berikutnya. Selama waktu ini deposit asam urat kemungkinan
meningkat secara silent (Mandell, 2008).
Stadium gout menahun ini umumnya pada pasien yang
mengobati sendiri sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara
teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofus

38
yang banyak dan terdapat poliartikuler (Tehupeiory, 2006). Tofus
terbentuk pada masa artritis gout kronis akibat insolubilitas relatif
asam urat. Awitan dan ukuran tofus secara proporsional mungkin
berkaitan dengan kadar asam urat serum. Bursa olekranon, tendon
achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan
heliks telinga adalah tempat-tempat yang sering dihinggapi tofus.
Secara klinis tofus ini mungkin sulit dibedakan dengan nodul rematik.
Pada masa kini tofus jarang terlihat dan akan menghilang dengan
terapi yang tepat (Carter, 2006).
Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun
hasilnya kurang memuaskan. Lokasi tofus yang paling sering pada
cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon achilles dan jari tangan.
Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai
penyakit ginjal menahun (Tehupeiory,2006). Pada artritis gout kronis
yang menyerang banyak sendi dapat menyerupai artritis reumatoid.
Penderita dapat timbul tofus subkutaneus pada area yang mengalami
gesekan atau trauma. Tofus tersebut dapat sering diduga sebagai
nodul reumatoid (Mandell, 2008).
6. Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari
The American College of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat
kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan/atau bila ditemukan 6
dari 12 kriteria yaitu, inflamasi maksimum pada hari pertama, serangan
akut lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang terkena
berwarna kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada sendi
metatarsofalangeal, serangan pada sendi metatarsofalangeal unilateral,
adanya tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak pembengkakan
sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri
cairan sendi negatif.
Sedangkan menurut Fauci et al (2008), diagnosis artritis
gout meliputi kriteria analisis cairan sinovial, terdapat kristal-kristal
asam urat berbentuk jarum baik di cairan eksraseluler maupun

39
intraseluler, asam urat serum, asam urat urin, ekskresi >800 mg/dl
dalam diet normal tanpa pengaruh obat, yang menunjukkan
overproduksi, skrining untuk menemukan faktor resiko, seperti
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa dan
lemak, dan hitung darah lengkap, jika terbukti karena overproduksi,
konsentrasi eritrosithypoxantine guanine phosporibosyl transferase
(HGPRT) dan 5-phosphoribosyl-1-pyrophosphate (PRPP) terbukti
meningkat, fotosinar-X, menunjukkan perubahan kistik, erosi
dengan garis tepi bersklerosi pada artritis gout kronis.
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik,
psoriasis, calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan
artritis rematik. Untuk diagnosis definitif artritis gout
dikonfirmasikan dengan analisis cairan sendi dimana pada penderita
artritis gout mengandung monosodium urat yang negatif birefringent
(refraktif ganda) yang juga ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan
mikroskop sinar terpolarisasi) (Setter dan Sonnet, 2005). Analisis
cairan sinovial dan kultur sangat penting untuk membedakan
artritis septik dengan artritis gout. Artritis gout cenderung tidak
simetris dan faktor reumatoid negatif, sedangkan pada artritis rematik
cenderung terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor
reumatoid positif. Hiperurisemia juga sering terjadipada penderita
psoriasis dan adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan artritis
gout (Depkes, 2006).
7. Tatalaksana
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk
mengurangi rasa nyeri, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah
terjadinya kelumpuhan. Terapi yang diberikan harus dipertimbangkan
sesuai dengan berat ringannya artrtitis gout (Neogi, 2011).
Penatalaksanaan utama pada penderita artritis gout meliputi
edukasi pasien tentang diet, lifestyle, medikamentosa berdasarkan
kondisi obyektif penderita, dan perawatan komorbiditas (Khanna et
al, 2012).

40
Pengobatan artritis gout bergantung pada tahap
penyakitnya. Hiperurisemia asiptomatik biasanya tidak membutuhkan
pengobatan. Serangan akut artritis gout diobati dengan obat-obatan
antiinflamasi nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini diberikan
dalam dosis tinggi atau dosis penuh untuk mengurangi peradangan
akut sendi (Carter, 2006).
Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain menurunkan
berat badan, mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, menghindari
merokok, dan konsumsi air yang cukup. Modifikasi diet pada
penderita obesitas diusahakan untuk mencapai indeks masa tubuh yang
ideal, namun diet yang terlalu ketat dan diet tinggi protein atau
rendah karbohidrat (diet atkins) sebaiknya dihindari. Pada penderita
artritis gout dengan riwayat batu saluran kemih disarankan untuk
mengkonsumsi 2 liter air tiap harinya dan menghindari kondisi
kekurangan cairan. Untuk latihan fisik penderita artritis gout
sebaiknya berupa latihan fisik yang ringan, karena dikhawatirkan
akan menimbulkan trauma pada sendi (Jordan et al, 2007).
Penanganan diet pada penderita artritis gout
dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu avoid, limit, dan
encourage. Pada penderita yang dietnya diatur dengan baik
mengalami penurunan kadar urat serum yang bermakna (Khanna
et all, 2012). Tujuan terapi serangan artritis gout akut adalah
menghilangkan gejala, sendi yang sakit harus diistirahatkan dan terapi
obat dilaksanakan secepat mungkin untuk menjamin respon yang cepat
dan sempurna. Ada tiga pilihan obat untuk artritis gout akut, yaitu
NSAID, kolkisin, kortikosteroid, dan memiliki keuntungan dan
kerugian. Pemilihan untuk penderita tetentu tergantung pada beberapa
faktor, termasuk waktu onset dari serangan yang berhubungan dengan
terapi awal, kontraindikasi terhadap obat karena adanya penyakit
lain, efikasi serta resiko potensial. NSAID biasanya lebih dapat
ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang dapat
diprediksi (Depkes, 2006).

41
Untuk penderita artritis gout yang mengalami peptic ulcers,
perdarahan atau perforasi sebaiknya mengikuti standar atau guideline
penggunaan NSAID. Kolkisin dapat menjadi alternatif namun
memiliki efek kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan
NSAID. Kortikosteroid baik secara oral, intraartikular, intramuskular,
ataupun intravena lebih efektif diberikan pada gout monoartritis,
penderita yang tidak toleran terhadap NSAID dan penderita yang
mengalami refrakter terhadap pengobatan lainnya (Jordan et al, 2007).
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya
pengobatan serangan artritis gout diobati dalam 24 jam pertama
serangan, salah satu pertimbangan pemilihan obat adalah berdasarkan
tingkatan nyeri dan sendi yang terkena. Terapi kombinasi dapat
dilakukan pada kondisi akut yang berat dan serangan artritis gout
terjadi pada banyak sendi besar. Terapi kombinasi yang dilakukan
adalah kolkisin dengan NSAID, kolkisin dan kortikosteroid oral,
steroid intraartikular dan obat lainnya. Untuk kombinasi NSAID
dengan kortikosteroid sistemik tidak disarankan karena dikawatirkan
menimbulkan toksik pada saluran cerna (Khannaet al, 2012).
Obat golongan NSAID yang di-rekomendasikan sebagai lini
pertama pada kondisi artritis gout akut adalah indometasin,
naproxen, dan sulindak. Ketiga obat tersebut dapat menimbulkan efek
samping serius pada saluran cerna, ginjal, dan perdarahan saluran
cerna. Obat golongan cyclooxigenase 2 inhibitor (COX 2 inhibitor)
seperti celecoxib merupakan pilihan pada penderita artritis gout
dengan masalah pada saluran cerna (Cronstein dan Terkeltaub, 2006).
Kolkisin oral merupakan salah satu obat pilihan utama ketika
terjadi serangan gout artritis akut, akan tetapi pemberian obat ini
tidak dianjurkan pada penderita yang onset serangannya telah lebih
dari 36 jam. Pemberian kolkisin dimulai dengan loading dosis
sebesar 1,2 mg dan diikuti dengan 0,6 mg satu jam kemudian
sebagai profilaksis diberikan 12 jam kemudian dan dilanjutkan sampai

42
serangan artritis gout akut berhenti dan dosis maksimal kolkisin
2mg per hari (Khanna et al, 2012).
Pemilihan kortikosteroid sebagai terapi inisial serangan gout
artritis akut direkomendasikan untuk mempertimbangkan jumlah sendi
yang terserang. Satu atau dua sendi kecil yang terserang sebaiknya
menggunakan kortikosteroid oral, namun jika sendi yang terserang
adalah sendi besar, disarankan pemberian kortikosteroid intraartikular.
Kortikosteroid oral dapat diberikan seperti prednison 0,5 mg/kg/hari
dengan lama pemberian 5 sampai 10 hari atau 2 sampai 5 hari dengan
dosis penuh kemudian ditappering off selama 7 sampai 10 hari
(Khanna et al,2012).
Didapatkannya peran NLRP3 inflamasom yang mana
menghasilkan IL-1â diasumsikan sitokin ini dapat menjadi target
terapi untuk keadaan inflamasi artritis gout. IL-1 inhibitor,
rilonacept juga menunjukkan keefektifan dalam menekan artritis
gout akut dan kadar C reactive protein (Baker dan Schumacher,
2010).
Indikasi terapi hiperurisemia adalah tofus, gambaran
radiografik adanya erosi akibat gout, nefrolitiasis karena asam urat,
nefropati urat, profilaksis untuk kemoterapi yang menginduksi artritis
gout, dan penderita kambuhan yang mengganggu kualitas hidup
(Wesselman, 2005). Target terapi pada artritis gout adalah untuk
mengurangi keluhan dan gejala dimana kadar asam urat yang dituju
adalah sekurang-kurangnya <6 mg/dl atau <5 mg/dl. Obat golongan
xantin oksidase inhibitor seperti alopurinol dan febuxostat
direkomendasikan sebagai lini pertama untuk pengobatan atau urate
lowering therapy (ULT) pada penderita artritis gout (Terkeltaub,
2009).
Dosis awal alopurinol yang diberikan sebaiknya tidak lebih
dari 100 mg perhari dan dosis ini dikurangi apabila didapatkan
CKD, namun dosis pemeliharaan dapat mencapai 300 mg perhari
walaupun menderita CKD. Direkomendasikan untuk meningkatkan

43
dosis pemeliharaan alopurinol tiap 2 sampai 5 minggu untuk
mendapatkan dosis yang efektif bagi penderita artritis gout, untuk
itu perlu dilakukan monitor kadar asam urat tiap 2 sampai 5
minggu selama titrasi alopurinol (Khanna et al, 2012).
Febuxostat merupakan obat golongan xantin oksidase inhibitor
yang direkomendasikan sebagai terapi hiperurisemia pada penderita
artritis gout yang memiliki kontraindikasi ataupun intoleransi
terhadap alopurinol (NICE, 2008). Febuxostat memiliki struktur
yang berbeda dengan alopurinol, bersifat lebih poten terhadap
xantin oksidase dan tidak memiliki efek terhadap enzim lain pada
metabolisme purin dan pirimidin. Dosis yang disarankan adalah 80
mg perhari, dan dapat ditingkatkan 120 mg perhari bila target
kadar asam urat tidak tercapai setelah 2 sampai 4 minggu
(Edwards, 2009).
Obat lain yang diberikan pada artritis gout adalah
probenesid, obat golongan urikosurik ini diberikan sebagai alternative
lini pertama pengobatan apabila didapatkan kontraindikasi terhadap
obat golongan xantin oksidase inhibitor. Dosis yang diberikan
pada orang dewasa yakni 500 mg, diberikan 2 kali perhari dan dosis
maksimal 2 gram perhari. Namun obat ini tidak dapat diberikan pada
penderita yang mengalami penurunan fungsi ginjal dan riwayat
batu saluran kemih (Khanna et al, 2012).
8. Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout
meliputi severe degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal
dan fraktur pada sendi. Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang
berperan dalam proses inflamasi akut juga berperan pada proses
inflamasi kronis sehingga menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi
kartilago, dan erosi tulang. Kristal monosodium urat dapat
mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang
sintesis nitric oxide danmatriks metaloproteinase yang nantinya
menyebabkan dekstruksi kartilago. Kristal monosodium urat

44
mengaktivasi osteoblast sehingga mengeluarkan sitokin dan
menurunkan fungsi anabolic yang nantinya berkontribusi terhadap
kerusakan juxta artikular tulang (Choi et al, 2005).
Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan
resiko terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout
membentuk batu ginjal karena urin memilki pH rendah yang
mendukung terjadinya asam urat yang tidak terlarut (Liebman et al,
2007). Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan pada urin yang
digambarkan pada penderita dengan uric acid nephrolithiasis yaitu
hiperurikosuria (disebabkan karena peningkatan kandungan asam urat
dalam urin), rendahnya pH (yang mana menurunkan kelarutan
asam urat), dan rendahnya volume urin (menyebabkan peningkatan
konsentrasi asam urat pada urin) (Sakhaee dan Maalouf, 2008)
9. Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah system bukan
penyakit sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout
merupakan prognosis penyakit yang menyertainya (Tehupeiroy,
2003). Artritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas yang
cukup besar, dengan episode serangan akut yang sering menyebabkan
penderita cacat. Namun, artritis gout yang diterapi lebih dini dan
benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuhan
penderita terhadap pengobatan juga baik (Rothschild, 2013).
Jarang artritis gout sendiri yang menyebabkan kematian atau
fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya, artritis gout sering terkait
dengan beberapa penyakit yang berbahaya dengan angka mortalitas
yang cukup tinggi seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit ginjal, dan
obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa muncul sebagai komplikasi
maupun komorbid dengan kejadian artritis gout (Tehupeiroy, 2003).
Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan
baik. Jika serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar
asam urat (membutuhkan urate lowering therapy dalam jangka
panjang) dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan penderita.

45
Selama 6 sampai 24 bulan pertama terapi artritis gout, serangan
akut akan sering terjadi (Schumacher et al, 2007). Luka kronis
pada kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi lebih
mudah terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat menjadi
infeksi karena penumpukan bakteri. Tofus artritis gout kronis yang
tidak diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi. Deposit
dari kristal monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi
dan fibrosis, dan menurunkan fungsi ginjal (Rothschild, 2013).
Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan sebagai
penyebab utama kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Analisis
1383 kematian dari 61527 penduduk Taiwan menunjukkan bahwa
individu dengan artritis gout dibandingkan dengan individu yang
memiliki kadar asam urat normal, hazard ratio (HR) dari semua
penyebab kematian adalah 1,46 dan HR dari kematian karena
penyakit kardiovaskuler adalah 1,97. Sedangkan individu dengan
artritis gout, HR dari semua penyebab kematian adalah 1,07, dan
HR dari kematian karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,08 (Kuo et
al, 2010).
B. VENTRICULAR SEPTAL DEFECT
1. Definisi
Ventricular Septal Defect (VSD) atau defek septum ventrikel
adalah defek yang terjadi pada septum ventricularis, dinding yang
memisahkan ventriculus dextra dengan sinistra. Defek ini muncul
secara kongenital akibat septum interventriculare tidak menutup
dengan sempurna selama perkembangan embrio. Defek ini
menyebabkan aliran darah dari ventriculus sinistra akan masuk ke
dalam ventriculus dextra. Darah yang kaya akan oksigen akan dipompa
ke paruparu yang menyebabkan jantung bekerja lebih berat (Sadler,
2012)

46
2. Klasifikasi
Meskipun klasifikasi dari VSD ditemukan sangat banyak, yang
dipakai adalah klasifikasi dari Jacobs et al., 2000. Klasifikasi ini
berdasarkan lokasi VSD di septum interventricularis pada permukaan
ventriculus dextra.
a. Tipe 1: disebut juga subarterial, supracristal, conal septal defect
dan infundibular. Tipe ini banyak ditemukan pada orang Asia
berkisari 5-7% berkaitan dengan valvula aorta.
b. Tipe 2: disebut juga perimembranosus, paramembranosus,
conoventricularis, defek septal membranosus, dan sub aortic.
Paling sering ditemukan berkisar 70%.
c. Tipe 3: disebut juga tipe inlet dan tipe AV canal. Ditemukan
berkisar 5%, umumnya berkaitan dengan kejadian defek septum
atrioventricularis.
d. Tipe 4: dikenal juga dengan nama tipe muskular. Lokasi defek
terletak di pars muscularis. Ditemukan berkisar 20% dan dibagi
lagi berdasarkan lokasinya menjadi anterior, apical, posterior dan
mid
e. Tipe gerbode: dikenal dengan nama adanya shunting dari
venticulus dextra menuju ke atrium dextra karena tidak adanya
septum atrioventricularis

Gambar 1. Klasifikasi Defek Septum Ventrikel (Soto et al., 1980).

47
3. Patofisiologi
Perubahan fisiologis yang terjadi akibat adanya defek di
septum ventriculare adalah tergantung ukuran defek dan tahanan
vaskular paru. Aliran darah ke paru-paru akan meningkat setelah
kelahiran sebagai respon menurunnya tahanan vaskular paru akibat
mengembangnya paru-paru dan terpaparnya alveoli oleh oksigen. Jika
defeknya berukuran besar, aliran darah ke paru-paru akan meningkat
dibandingkan aliran darah sistemik diikuti regresi sel otot polos arteri
intrapulmonalis. Perubahan ini berhubungan dengan munculnya gejala
setelah kelahiran bayi aterm berumur 4-6 minggu atau awal dua
minggu pertama pada kelahiran bayi prematur (Spicer et al., 2014).
Darah di ventriculus dextra didorong ke arteria pulmonalis, resistensi
relatif antara dua sirkulasi bersifat dinamis dan berubah dengan waktu
(Minette and Shan, 2006):
Jika defek berukuran kecil, akan terjadi perubahan
hemodinamik yang terbatas, yang juga membatasi terjadinya shunting
dari kiri ke kanan. Defek yang besar akan menyebabkan terjadinya
shunting dari kiri ke kanan. Tekanan pada arteri pumonalis akan
meningkat yang menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.
Meningkatnya tekanan dan volume darah pada arteri pulmonalis akan
menyebabkan kerusakan pada sel endotel dan perubahan permanen
pada tahanan vaskular paru. Jika tahanan vaskular paru melebihi tahan
vaskular sistemik maka akan terjadi perubahan aliran darah dari
ventriculus sinistra menuju dextra melalui defek tersebut (left to right
shunt) (Spicer et al., 2014).
1. Periode neonatus:
a. Tahanan vaskular paru tinggi
b. Tahanan ventriculus sinistra sama dengan ventriculus dextra
c. Minimal atau tidak ada shunt

48
2. Bayi (3-4 minggu):
a. Tahanan vaskular paru menurun
b. Tahanan ventriculus sinistra lebih besar dibandingkan tahan
ventriculus dextra
c. Adanya shunt dari kiri ke kanan
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi gejala klinis VSD tergantung pada ukuran defek
dan hubungan antara tahanan vascular paru dan sistemik. Gejala klinis
biasanya muncul saat bayi berumur 4-8 minggu, seiring dengan
menurunnya tahanan vaskular paru akibat adanya remodelling arteriol
paru (Spicer et al., 2014).
1. VSD kecil
Biasanya pasien tidak ada keluhan. Bayi biasanya dibawa ke
cardiologist karena ditemukan adanya murmur selama pemeriksaan
rutin. Keluhan berupa gangguan makan dan pertumbuhan tidak
ditemukan.
2. VSD sedang
Bayi terlihat berkeringat akibat rangsangan saraf simpatis, terlihat
saat diberi makanan. Terlihat lelah selama makan oleh karena
aktifitas makan memerlukan cardiac output yang tinggi. Adanya
tachypnea saat istirahat ataupun saat makan. Gangguan
pertumbuhan bisa juga dijumpai karena meningkatnya kebutuhan
kalori dan kurangnya kemampuan bayi untuk makan secara
adekuat. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan juga bisa
ditemukan
3. VSD besar
Ditemukan gejalan yang sama dengan VSD sedang, tetapi lebih
berat. Pertumbuhan terhambat dan seringnya mengalami infeksi
saluran nafas
4. Sindrom Eisenmenger
Saat beraktivitas pasien mengeluh sesak nafas, sianosis, nyeri dada,
sinkop, dan hemoptysis

49
5. Diagnosis
Diagnosis VSD ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaa penunjang berupa pemeriksaan radiologi thorax
dan electrokardiogram. Namun ekokardiografi sekarang berperan
sangat penting dalam membantu menegakkan diagnosis. Apa yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung dari ukuran defek dan
perubahan pada tahan vaskular paru. Pada VSD dengan defek yang
besar precordium hiperaktif karena overloadnya volume dan tekanan
pada ventriculus dextra (Spicer et al., 2014).
Suara jantung dua terdengar keras akibat penutupan katup aorta
dan pulmonal. Murmur holosistolik yang keras terdengar pada VSD
besar. Pada area mitral ditemukan suara bergemuruh saat diastolik
akibat stenosis mitral yang fungsional. Saat tahanan vaskular paru
meiningkat suara jantung kedua terdengar tunggal dan keras, dan tidak
mungkin murmur terdengar. Saat tekanan ventriculus sinistra lebih
besar dibandingkan dextra, suara murmur tergantung dari besarnya
defek. Murmur biasanya terdengar keras dan bergemuruh (thrill)
(Minnete & Shan, 2006).
Pemeriksaan X-Ray sangat membantu mengestimasi aliran
darah ke paru-paru. Jika ditemukan adanya tanda-tanda meningkatnya
vaskular paru maka terjadi left to right shunt. Begitu juga dengan
adanya hiperinflasi paru menunjukkan adanya udara yang terperangkap
di saluran nafas bawah juga menunjukkan adanya left to right shunt
yang memerlukan tindakan operasi segera. Pada pemeriksaan
ekokardiogram ditemukan adanya hipertropi pada ventriculus dextra
ataupun sinistra, namun biasanya hipertropi biventricular. Pemeriksaan
ekokoardiografi inilah yang menjadi dasar dalam melakukan tindakan
terapi terhadap pasien-pasien VSD (Minnete & Shan, 2006; Spicer et
al., 2014).

50
6. Tatalaksana
Pemberian ACE inhibitor berguna untuk menurunkan afterload
jantung yang berguna menurunkan left to right shunt (Momma, 2006).
Digoxin juga dapat diberikan pada defek yang besar karena memiliki
efek inotropik (Kimbal et al., 1991). Obat seperti milrinon secara
intravenus memiliki khasiat inotropik dan menurunkan afterload
jantung. Jika terapi medikamentosa tidak memberikan banyak
perubahan dapat dipertimbangkan terpi dengan teknik pembedahan
(Spicer et al., 2014).
a. VSD Kecil
Jika defek berukuran kecil dan shunting yang terjadi tidak
menimbulkan gangguan hemodinamik disertai gejala apa pun,
maka tidak memerlukan terapi khusus. Anak dengan VSD kecil
mempunyai prognosis baik dan dapat hidup normal, kecuali
observasi kemungkinan infeksi paru dan mencegah/ mengobati
endokarditis bila terjadi. Penderita harus diobservasi sampai
defeknya menutup. Saat defek tersebut sudah menyebabkan
gangguan pada pertumbuhan bayi, kesulitan pada waktu makan,
berkeringat, tachipnea maka pemberian diuretik menjadi pilihan
pertama dengan terus mengawasi terjadinya hipokalemia. atau
untuk mencegah terjadinya hipokalemia bisa diberikan diuretik
hemat kalium (Spicer et al., 2014).
b. VSD sedang
1) Terapi medis
Apabila gagal jantung telah dapat diatasi, diperlukan digitalis
dosis rumat (digoxin dan diuretik misalnya Lasix). Sebagian
kecil tidak dapat diatasi dengan digitalis saja, anak tetap dalam
keadaan gagal jantung kronik atau failure to thrive dan
penderitanya ini memerlukan koreksi bedah segera.
2) Terapi bedah
Pendrita VSD sedang dengan tahanan vaskuler paru normal
dengan tekanan arteri pulmonal kurang dari setengah tekanan

51
sistemik, kecil kemungkinannya untuk menderita obstruksi
paru. Mereka hanya memerlukan terapi medis dan sebagian
akan menjadi simptomatik. Terapi bedah dipertimbangkan bila
setelah umur 4-5 tahun defek kelihatannya mengecil.
c. VSD besar
VSD besar dengan hipertensi pulmonal hiperkinetik terapi
medis yang diberikan sama seperti VSD sedang dengan tahanan
vaskuler paru normal. Bila dengan terapi medis dapat memperbaiki
keadaan, yang dilihat dengan membaiknya pernapasan dan
pertambahan berat badan maka operasi dapat ditunda sampai usia
2-3 tahun. Bila gagal jantung dapat diatasi penderita harus diawasi
ketat untuk menilai terjadinya perburukan/ penyakit vaskuler paru.
Bila terjadi perburukan maka diperlukan koreksi bedah.
VSD besar dengan hipertensi pulmonal dapat dilakukan uji
oksigen dan tolazolin pada saat kateterisasi jantung. Bila tahanan
vaskuler paru masih dapat menurun dengan bermakna (ditandai
dengan kenaikan saturasi dan penurunan tekanan arteri
pulmonalis), maka diperlukan operasi dengan segera. Bila uji
tersebut tidak menurunkan tahanan vaskuler paru atau telah terjadi
sindrom Eissenmenger, maka penderita tidak dapat dioperasi dan
terapi yang diberikan hanya bersifat suportif simptomatik.
7. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada VSD diantaranya adalah
(PAPDI, 2009; Webb et al., 2011):
a. Gagal jantung
b. Endokarditis infektif
c. Insufisiensi aorta atau stenosis pulmoner
d. Penyakit vaskular paru progresif
e. Kerusakan sistem konduksi ventrikel

52
8. Prognosis
Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar
kecilnya defek. Pada defek yang kecil seringkali asimptomatis dan
anak masih dapat tumbuh kembang secara normal. Sedangkan pada
defek baik sedang maupun besar pasien dapat mengalami gejala sesak
napas pada waktu minum, memerlukan waktu lama untuk
menghabiskan makanannya, seringkali menderita infeksi paru dan
bahkan dapat terjadi gagal jantung (PAPDI, 2009).

C. HIPERBILIRUBINEMIA
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan
(Mansjoer,2008). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila
serum bilirubin >2 mg/dl (>17µmol/L) (Mishra et al., 2007).
2. Klasifikasi
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau
jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena
pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam
darah, sehingga kulit dan atau sklera tampak kekuningan. Ikterus pada
orang dewasa akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL ( >17
μmol/L ), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin > 5 mg/dL ( >86 μmol/L ). Hiperbilirubinemia adalah istilah
yang dipakai untuk ikterus setelah ada hasil laboratorium yang
menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Ikterus dapat
dibedakan menjadi beberapa bentuk (Winger & michelfelder, 2011):
a. Ikterus hepatik: Terjadi akibat peningkatan pembentukan bilirubin,
misalnya pada hemolisis (anemia hemolitik dan toksin) eritropoisis
yang tidak adekuat (misalnya anemia megalosblastik), tranfusi
masif (eritrosit) yang ditransfusikan mempunyai masa hidup

53
singkat atau penyerapan hematoma yang besar. Bilirubin tidak
terkonjugasi didalam plasma akan meningkat pada semua kondisi
ini.
b. Ikterus intrahepatik disebabkan oleh defek spesifik pada ambilan
bilirubin disel hati ( sindrom Gilbert Meulengracht ), konjugasi (
ikterus neonatorum dan sindrom Crigler-Najar ) atau sekresi
bilirubin dikanalikuli bilaris. Kedua jenis kelainan yang pertama,
terutama terjadi peningkatan pada bilirubin plasma yang tidak
terkonjugasi, sedangkan pada tipe sekresi, bilirubin terkonjugasi
yang akan meningkat. Ketiga langkah tersebut dapat dipengaruhi
pada penyakit dan gangguan hati, misalnya hepatitis virus,
penyalahgunaan alkohol efek samping obat, kongesti hati, sepsis,
atau keracunan jamur Amanita.
c. Ikterus paska hepatik, duktus bilaris ekstrahepatik tersumbat,
terutama oleh batu empedu, tumor, atau kolangitis dan pankreatitis.
Bilirubin terkonjugasi terutama meningkat pada kondisi ini
3. Patofisiologi
Kira-kira 250 mg bilirubin per hari diproduksi oleh orang
dewasa rata-rata melalui katabolisme molekul heme (Levitt, Levitt,
2014). Heme dilepaskan selama penghancuran sel darah merah.
Kemudian diubah menjadi biliverdin dan kemudian menjadi bilirubin
tak terkonjugasi dalam makrofag di sistem endotel retikuler. Bilirubin
tak terkonjugasi larut dalam lemak dan lewat dengan mudah melalui
membran sel untuk sebagian diikat albumin dalam serum, sebagian
lainnya diambil oleh hepatosit hati dan diubah menjadi bilirubin
terkonjugasi (Levitt, Levitt, 2014; Erlinger et al, 2014).
Bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan diangkut dari
hepatosit hati ke bilier sistem saluran di mana ia lolos ke usus dan
dikeluarkan ke dalam tinja. Beberapa bilirubin terkonjugasi diserap
kembali di usus dan diekskresikan oleh ginjal sebagai urobilinogen.
Penyakit kuning terjadi bila ada gangguan di sepanjang jalur
metabolisme ini, menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi

54
(misalnya, dari peningkatan kerusakan sel darah merah atau gangguan
konjugasi bilirubin) atau bilirubin terkonjugasi (misalnya, dari
hepatoseluler kerusakan atau obstruksi saluran empedu) (Levitt,
Levitt, 2014; Erlinger et al, 2014).
4. Diagnosis
Pemeriksaan awal penyakit kuning harus fokus tentang riwayat
dan pemeriksaan fisik ke membantu memperjelas diagnosis. Alkohol
yang detail dan riwayat penggunaan narkoba dapat membantu
mengidentifikasi gangguan intrahepatik seperti penyakit hati
alkoholik, hepatitis virus, penyakit hati kronis, atau cedera hati akibat
obat. Ulasan terfokus sistem penting. Misalnya demam dan gejala
virus prodromal bisa mendahului hepatitis virus akut, demam dapat
dikaitkan dengan sepsis yang mendasari, dan penurunan berat badan
bisa dikaitkan dengan keganasan yang mendasari. Pemeriksaan fisik
harus mencakup evaluasi yang mendasari ensefalopati dengan
menguji asterixis dan perubahan status mental; evaluasi tanda-tanda
penyakit hati kronis termasuk memar, spider angiomas, palmar
erythema, dan ginekomastia; dan pemeriksaan abdomen lengkap
untuk mengevaluasi hepatomegali, splenomegali, kanan nyeri tekan
kuadran atas, dan asites. (Roche & Kobos, 2004; Winger &
Michelfelder, 2011)
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium untuk mengetahui etiologi penyakit
kuning harus mencakup bilirubin fraksionasi, lengkap hitung
darah, alanine transaminase, aspartate transaminase, γ-
glutamyltransferase, alkaline phosphatase, waktu protrombin dan /
atau rasio normalisasi internasional, albumin, dan protein (Winger
& Michelfelder, 2011).
Bilirubinemia yang terpecah diperlukan untuk membedakan
antara hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi.
Hitung darah lengkap dengan apusan darah tepi dapat membantu

55
mengidentifikasi hemolisis dan evaluasi anemia penyakit kronis
dan trombositopenia, yang umum terjadi pada sirosis
dekompensasi. Peningkatan transaminase alanin dan transaminase
aspartate tingkat dapat menunjukkan kerusakan hepatoseluler.
Namun, level mungkin normal pada penyakit hati kronis (misalnya
sirosis). Di kasus seperti itu, mungkin tidak ada cukup jaringan
parenkim hati normal untuk melepaskan peningkatan kadar enzim
ini (Winger & Michelfelder, 2011).
Kadar fosfatase alkali yang meningkat dapat dikaitkan
dengan obstruksi bilier dan penyakit parenkim hati, tetapi juga
berhubungan dengan beberapa penyakit lainnya proses patologis
fisiologis dan non bilier di tulang, ginjal, usus, dan plasenta.
Tingkat γ-glutamyltransferase dapat dikaitkan dengan bilier
obstruksi dan kerusakan hepatoseluler, serta gangguan pankreas,
infark miokard, penyakit ginjal, dan diabetes mellitus, albumin,
dan waktu protrombin atau rasio normalisasi internasional
berhubungan dengan fungsi sintetis hati. Tingkat protein rendah
dan albumin, atau peningkatan waktu protrombin atau
internasional rasio dinormalisasi, menunjukkan penurunan fungsi
sintetis dan dekompensasi hati (Winger & Michelfelder, 2011).
Jika etiologi penyakit kuning tidak diketahui setelah inisial
evaluasi laboratorium, perlu dilakukan tes tambahan termasuk
panel hepatitis dan autoimun panel, seperti antinuklear, otot polos,
dan antibodi mikrosomal ginjal hati (Winger & Michelfelder,
2011).
b. Radiografi
Modalitas pencitraan noninvasif pada orang dengan
penyakit kuning termasuk ultrasonografi, computed tomography,
dan magnetic resonance cholangiopancreatography. Ultrasonografi
atau computed tomography biasanya adalah pilihan lini pertama
untuk mengevaluasi obstruksi, sirosis. Jika pasien tampak sakit
kuning lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, skrining

56
laboratorium (bilirubin fraksionasi, hitung darah lengkap,
transaminase alanin, aspartat transaminase, alkali fosfatase, γ-
glutamyltransferase, waktu protrombin dan / atau rasio normalisasi
internasional, albumin, protein), juga akan dilihat apakah ada
peningkatan total dan tidak langsung (peningkatan unconjugated
bilirubin) dan langsung (peningkatan conjugated bilirubin).
Pertimbangkan penyebab lainnya untuk perubahan kulit
pewarnaan: spray-tanning produk, karotenemia, kondisi medis
lainnya seperti penyakit Addison atau anoreksia nervosa. (Roche
& Kobos, 2004)
Apabila hasil masih rancu, mempertimbangkan studi
tambahan berdasarkan kecurigaan klinis: tambahan pengujian
kanker, pencitraan bilier, tes antibodi autoimun, dan patensi kapal,
dengan ultrasonografi menjadi tindakan yang paling tidak invasif
dan paling murah. (Roche & Kobos, 2004; Winger &
michelfelder, 2011)
Visualisasi pada system bilier ekstrahepatik dapat
dievaluasi lebih lanjut dengan menggunakan resonansi magnetik
cholangiopancreatography atau retrograde endoskopik.
Cholangiopancreatography, dengan yang terakhir memungkinkan
untuk opsi terapeutik, seperti pemasangan stent bilier untuk
meredakan obstruksi. Bisa jadi ultrasonografi endoskopi
digunakan selain retrograde endoskopik cholangiopancreatography
untuk evaluasi obstruksi saluran empedu umum dan dapat
membantu tentukan apakah obstruksi berasal dari massa atau batu
(Roche & Kobos, 2004; Winger & michelfelder, 2011).
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia bertujuan untuk
menurunkan kadar bilirubin dalam darah dan tata laksana penyakit
yang mendasari.Contohnya adalah fototerapi pada ikterus
neonatorum, operasi untuk obstruksi, dan antivirus pada kasus
yang disebabkan virus. Tujuan tata laksana lainnya adalah

57
perbaikan status nutrisi, keluhan subjektif, kualitas hidup, dan
mencegah atau mengobati komplikasi terkait sirosis.
a. Medikamentosa
Salah satu terapi medikamentosa yang digunakan pada
hiperbilirubinemia adalah Ursodeoxycholic acid (UDCA). UDCA
adalah asam empedu yang ditemukan pada beruang kutub. UDCA
memiliki efek terapeutik seperti proteksi kolangiosit dari efek
toksik asam empedu, proteksi hepatosit dari apoptosis yang
disebabkan asam empedu, stimulasi sekresi bilier, dan sifat
imunomodulator yang menurunkan kerusakan hepar akibat sistem
imun (Fekaj, Gjata & Maxhuni, 2013)
Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan keluhan pruritus.
Pruritus ditemukan pada 80-100% pasien dengan kolestasis dan
ikterus. Keluhan gatal menyebabkan penurunan kualitas hidup
akibat kelelahan, kurang tidur, dan depresi. Tata laksana utama
pada pruritus adalah drainase bilier pada kasus obstruksi.
Penatalaksanaan pada kulit juga dapat diberikan, seperti
penggunaan krim dan lotion yang didinginkan. Penggunaan
cholestyramine sebanyak 4 gram, 1 jam sebelum makan pagi
hingga 4 kali per hari dapat mengurangi pruritus dengan mengikat
asam empedu sehingga mencegah absorpsi pada ileum terminalis.
Antihistamin juga dapat digunakan untuk mengurangi pruritus
(Bassari & Koea, 2015)
b. Transplantasi Hepar
Transplantasi hepar diindikasikan pada penyakit hepar
kronik yang tidak mengalami perbaikan setelah tata laksana
medikamentosa yang maksimal. Sebagai contoh, pasien dengan
hepatitis B yang mengalami perbaikan dengan antiviral belum
membutuhkan transplantasi hepar. Adanya komplikasi sirosis,
acute liver failure, ensefalopati, kanker hepar, perdarahan varises
refrakter, dan gangguan fungsi sintesis merupakan indikasi
transplantasi hepar.

58
Sistem skoring yang dapat dipakai untuk menilai prognosis
penyakit hepar adalah skor Child-Pugh dan Model for End Stage
Liver Disease (MELD). Evaluasi transplantasi hepar perlu
dipertimbangkan terutama pada pasien dengan skor MELD ≥15
(Martin, 2013).

D. HIPOALBUMINEMIA
1. Definisi
Hipoalbumin merupakan kondisi di mana kadar albumin yang
beredar di dalam serum lebih rendah dari nilai normal. Nilai rujukan
normal kadar albumin dalam serum orang dewasa berkisar antara 3.5 –
5 mg/dL. Keadaan hipoalbumin dikatakan ringan jika kadar albumin
3,0 - 3,5 g/dl, sedang 2,5 – 3,0 g/dl dan berat < 2,5 g/dl (Zhang, et al.,
2018). Keadaan hipoalbumin sering ditemukan pada pasien
praoperatif. Sebagai contoh, hipoalbumin ditemukan pada 21% pasien
usia di atas 40 tahun yang dirawat di rumah sakit (Ganong, 2003).
Hipoalbumin diakibatkan dari kombinasi efek antara inflamasi
baik akut maupun kronis dengan rendahnya asupan kalori dan protein,
umumnya karena penyakit kronik. Keadaan tersebut dapat menurunkan
laju sintesis albumin dan meningkatkan laju katabolik. Penyakit renal
kronis merupakan kondisi paling sering penyebab hipoalbumin.
Hipoalbumin juga diakibatkan oleh rendahnya pembentukan albumin
akibat penyakit hepar dan peningkatan kehilangan albumin melalui
renal akibat sindrom nefrotik (Ganong, 2003).
2. Fungsi Albumin
Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di
dalam tubuh mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan
albumin terhadap tekanan onkotik plasma rnencapai 80% yaitu 25
mmHg. Albumin mempunyai konsentrasi yang tinggi dibandingkan
dengan protein plasma lainnya, dengan berat molekul 66,4 kDa lebih
rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi rnasih mempunyai
tekanan osmotik yang bermakna. Efek osmotik ini memberikan 60%

59
tekanan onkotik albumin. Sisanya 40% berperan dalam usaha untuk
mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang bermuatan
positif (Rivai, 2009).
Secara detil fungsi dan peran albumin dalam tubuh adalah
seperti yang akan dipaparkan berikut:
a. Albumin sebagai pengikat dan pengangkut
Albumin akan mengikat secara lemah dan reversibel
partikel yang bermuatan negatif dan positif, dan berfungsi sebagai
pembawa dan pengangkut molekul metabolit dan obat. Meskipun
banyak teori tentang pentingnya albumin sebagai pengangkut dan
pengikat protein, namun masih sedikit mengenai perubahan yang
terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia.
b. Efek antikoagulan albumin
Albumin mempunyai efek terhadap pembekuan darah.
Kerjanya seperti heparin, karena mempunyai persamaan struktur
molekul. Heparin bermuatan negatif pada gugus sulfat yang
berikatan antitrombin III yang bermuatan positif, yang
menimbulkan efek antikoagulan. Albumin serum juga bermuatan
negatif.
c. Albumin sebagai buffer
Albumin berperan sebagai buffer dengan adanya muatan
sisa dan molekul albumin dan jumlahnya relatif banyak dalam
plasma. Pada keadaan pH normal albumin bermuatan negatif dan
berperan dalam pembentukan gugus anion yang dapat
mempengaruhi status asam basa. Penurunan kadar albumin akan
menyebabkan alkalosis metabolik, karena penurunan albumin 1
g/dl akan meningkatkan kadar bikarbonat 3,4 mmol/L dan
produksi basa >3,7 mmol/L serta penurunan anion 3 mmol/L.
d. Efek antioksidan albumin
Albumin dalam serum bertindak memblok suatu keadaan
neurotoxic oxidant stress yang diinduksi oleh hidrogen peroksida

60
atau copper, asam askorbat yang apabila teroksidasi akan
menghasilkan radikal bebas.
e. Selain yang disebut di atas albumin juga berperan
mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga mencegah
masuknya kuman-kuman usus ke dalam pembuluh darah, sehingga
terhindar dari peritonitis bakterialis spontan (Rivai, 2009)
3. Koreksi Hipoablumin
Penyebab hipoalbumin pada pasien ini kemungkinan
disebabkan inflamasi kronis atau akut (Peralta et al., 2018). Pada
pasien ini, angka albuminnya adalah 3 mmol/L/ Koreksi albumin pada
kasus ini dapat dihitung dengan cara:

0,8 × 𝐵𝐵 × (3,5 − 𝐴) = ⋯ 𝑔𝑟𝑎𝑚

0,8 × 60 × (3,5 − 3) = 24 𝑔𝑟𝑎𝑚

Koreksi albumin untuk pasien ini dapat diberikan koreksi secara


oral yaitu VIP albumin 1 kapsul setiap 8 jam.

E. HIPOKALEMIA
1. Definisi
Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di
bawah 3,5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium
total tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke dalam sel
(Bartel & Gau, 2015). Disebut hipokalemia ringan jika kadar serum 3-
3,5 mEq/L., hipokalemia sedang jika kadar serum 2,5-3 mEq/L, dan
hipokalemia berat jika kadar serum < 2,5 mEq/L (Nathania, 2019).
2. Tatalaksana
Pada pasien ini, kadar kaliumnya adalah 2,7 mmol/L. sehingga
tergolong hipokalemia sedang. Koreksi hipokalemia dapat dihitung
berdasarkan rumus:

61
0,4 × 𝐵𝐵 × (4 − 𝐾 ) = ⋯ 𝑔𝑟𝑎𝑚

0,4 × 60 × (4 − 2,7) = 31,2 𝑔𝑟𝑎𝑚

Pada pasien ini, terapi hipokalemia dapat berupa pemberian KSR 3x1.

F. HIPOKALSEMIA

Kalsium dikatakan normal jika 1,17 – 1,29 mmol/L. Hipokalsemi


digolongkan menjadi ringan (1,00 – 1,17 mmol/L) dan berat (<1,00
mmol/L). Pasien pada kasus ini termasuk pada hipokalsemi ringan, sehingga
untuk koreksi diberikan CaCo3 3x1 tablet (Butterworth et al, 2013;
Stoelting et al, 2015)

62
DAFTAR PUSTAKA
Bassari R, Koea JB. Jaundice associated pruritis: A review of pathophysiology
and treatment. World J Gastroenterol. 2015 Feb 7;21(5):1404–13.
Bartel B, Gau E. Fluid and electrolyte management. In: Johnson TJ. Critical care
pharmacotherapeutics. 1st ed. Burlington (MA): Jones & Bartlett Learning,
LLC; 2015. p. 11 – 13.
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40
Doherty, M 2009, New Insights Into The Epidemiology of Gout, Oxford Journals,
pp. ii2-ii8
Erlinger S, Arias IM, Dhumeaux D. Inherited disorders of bilirubin transport and
conjugation: new insights into molecular mechanisms and consequences.
Gastroenterology. 2014;146(7):1625-1638
Fekaj E, Gjata A, Maxhuni M. The effect of ursodeoxycholic acid in liver
functional restoration of patients with obstructive jaundice after endoscopic
treatment: a prospective, randomized, and controlled study. BMC Surg.
2013 Sep 22;13:38.
Ganong, WF. Review of Medical Physiology, 21st Ed. McGraw-Hill Companies;
2003
Khanna et al. 2012, Guidelines for Management of Gout. Part 1: Systematic
Nonpharmacologic and Pharmacologic Therapeutic Approaches to
Hyperuricemia, American College of Rheumatology, Vol. 64, No. 10, pp.
1431-1446
Levitt DG, Levitt MD. Quantitative assessment of the multiple processes
responsible for bilirubin homeostasis in health and disease. Clin Exp
Gastroenterol. 2014;7:307-328.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran
Martin P. Evaluation for Liver Transplantation in Adults: 2013 Practice Guideline
by the AASLD and the American Society of Transplantation. 2013;98
Margarson,MP dan Soni,N. Serum albumin: touchstone or totem?. Anesthesia.
1998;53:789-803
Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK (2008). Jaundice in the newborn.
Indian Journal of Pediatrics, 75: 157-163
Nathania, Maggie. 2019. Hipokalemia – diagnosis dan tatalaksana. CDK-273/ vol.
46:(2) pp 103 – 108.

63
Neogi, T 2011, Clinical Practice of Gout, The New England Journal of Medicine,
pp. 443-447
Peralta et al. (2018). Hypoalbuminemia.
https://emedicine.medscape.com/article/166724-overview. Diakses 24
November 2020
Persons PE, Wiener-Kronish JP. Critical care secrets. s. 5th ed. Cambridge, MA:
Elsevier Health Science; 2012. p 316-24.
Richette P, Doherty M, Pascual E, Barskova V, Becce F, Castaneda-S J, et al.
2016 updated EULAR evidence-based recommendations for the
management of gout. Ann Rheum Dis. 2016; 0:1–14
Rivai, Allan Taufiq. 2009. Status Albumin Serum Pasien Penyakit Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada
Bulan Februari 2009 dan Hubungannya dengan Lama Hemodialisis.
[Skripsi]. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia.
Roche SP, Kobos R. Jaundice in the adult patient. Am Fam Physician.
2004;69(2):299-304.
Sadler, T.W. 2012. Langman’s Medical Embryology. 12th ed. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins.
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17 :
h. 341 – 49
Spicer, D.E, Hsu, H.H, Co-Vu, J, Anderson, R.H, and Fricker, F.D. 2014.
Ventricular Septal Defect. Journal of Rare Diseases. 9: 144
Sunkureddi P, Nguyen-Oghalai TU, Karnath BM, 2006, Clinical Signs of Gout,
Review of Clinical Signs, pp. 39-42
Tehupeiory ES. 2006.Artritis Pirai (Artritis Gout) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.Hal.1218-1220
Weaver, AL 2008, Epidemiology of Gout, Cleveland Clinic Journal of Medicine,
Vol. 75, No. 5, pp. S9-S10
Winger J, Michelfelder A. 2011. Diagnostic approach to the patient with jaundice.
Prim Care;38(3):469-482, viii.
Zhang et al. 2006, Alcohol Consumption as a Trigger of Recurrent Gout Attacks,
The American Journal of Medicine, pp. 800.e13-800.e18
Zhang et al, 2019. The level od serum albumin is associated with renal prognosis
in patients with diabetic nephropaty. J Diabetes Research, 2019:1-9.
https://doi.org/10.1155/2019/7825804

64
65

Anda mungkin juga menyukai