CASE REPORT
HALAMAN JUDUL
Disusun Oleh:
Rizky Hari Fernanda, S.Ked J510215307
Pembimbing:
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit Saraf Program
Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
pada.................................
Pembimbing:
Dipresentasikan dihadapan:
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.........................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN..............................................................................................vi
BAB I. STATUS PASIEN............................................................................................1
A.IDENTITAS PASIEN...............................................................................................1
B.RIWAYAT PENYAKIT...........................................................................................1
C.PEMERIKSAAN FISIK............................................................................................2
D.PEMERIKSAAN PENUNJANG..............................................................................9
E.RESUME MEDIS....................................................................................................11
F.DIAGNOSIS............................................................................................................12
G.PLANNING............................................................................................................12
H.PROGNOSIS...........................................................................................................12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................13
A.DEFINISI................................................................................................................13
B.ETIOLOGI .............................................................................................................13
C.EPIDEMIOLOGI.....................................................................................................14
D.KLASIFIKASI........................................................................................................14
E.PATOFISIOLOGI...................................................................................................16
F.DIAGNOSIS............................................................................................................18
G.DIAGNOSIS BANDING........................................................................................23
H.TATALAKSANA...................................................................................................24
I.PROGNOSIS............................................................................................................24
BAB III. PEMBAHASAN..........................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................31
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR SINGKATAN
MG : Myasthenia Gravis
ACh : Acetylcholine
vi
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. H
2. Umur : 34 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Ponorogo
5. Pekerjaan : Bertani
6. Nomor register : 444788
7. Tanggal pemeriksaan : 26 Juni 2023
B. RIWAYAT PENYAKIT
1. Keluhan Utama
Merasa mengganjal di tenggorokan akibat dahak susah dikeluarkan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Vital Sign
Nadi 84x/menit
Suhu 36,6oC
Nafas 18x/menit
SpO2 98%
2. Status Internus
2
a. Kepala : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
b. Leher : pembesaran getah bening (-/-)
c. Thoraks
i. Pulmo
Inspeksi : Simetris, massa (-)
Palpasi : Fremitus (+/+)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
ii. Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Redup, kesan pembesaran jantung (-)
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler
d. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dada
Auskultasi : Peristaltik (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba (-)
Perkusi : Timpani (+) pada 9 regio, ascites (-)
e. Ekstremitas
Atas : CRT <2 detik, edema (-/-), akral hangat (+/+)
Bawah : CRT <2 detik, edema (-/-), akral hangat (+/+)
Kesan status internus : dalam batas normal
3. Status Neurologis
a. Kesadaran : compos mentis
Glasgow Coma Scale : E4V5M6
b. Meningeal Sign
Kaku kuduk : -/-
Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-
Brudzinski III : -/-
Brudzinski IV : -/-
3
Kernig : -/-
Kesan : dalam batas normal
c. Nervus Cranialis
Motorik:
- Menggigit Normal Normal
- Membuka mulut Normal Normal
- Reflex kornea Normal Normal
- Jaw reflex Normal Normal
4
VII (Facialis) Motorik
- Saat diam Simetris Simetris
- Saat bergerak:
Mengangkat alis Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Meringis Normal Normal
Menggembungkan pipi Normal Normal
5
Gambar 1. Pemeriksaan motorik nervus III, IV, VI dan nervus VII
d. Motorik
6
f.Reflek Fisiologi
7
i. Fungsi Cerebelum
Finger to nose : normal
Heel to shin : normal
Rebound phenomenon : normal
Kesan fungsi cerebellum : Dalam batas normal
j. Fungsi Otonom
Miksi : BAK dalam batas normal, warna urin kuning jernih tidak
bercampur darah
Defekasi : BAB dalam batas normal, warna feses coklat kehijauan,
konsistensi feses padat, konstipasi (-), diare (-)
Kesan : Dalam batas normal
k. Pemeriksaan Khusus
Test wartenberg : (+) terjadi kelemahan pada kelopak mata (ptosis)
Tes Berhitung : (+) pasien suaranya semakin menurun
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap
Darah Lengkap
8
RDW-CV 12.9 % 10.0 - 16.5
NLR 2.96
NRBC 0.00
Kimia Klinik
9
Hasil pemeriksaan :
- Tak tampak lesi hypo/hyperdens pada brain parenchyma
- Diferensiasi gray matter dan white matter jelas
- System ventrikel dan cisterna normal
- Sulci/gyri normal
- Tak tampak deviasi midline structure \
- Tak tampak kalsifikasi abnormal.
Kesimpulan : CT Scan Kepala Normal
E. RESUME MEDIS
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan
tenggorokannya terasa dahak yang mengganjal dan tidak bisa dikeluarkan.
Satu hari sebelum datang ke poli pasien mengatakan sempat sesak napas,
sesak napas berdurasi kurang lebih 5 menit dan menghilang sendiri. Pasien
mengeluhkan bicara pelo dan sering tersedak kurang lebih sudah 4 tahun.
Pasien mengaku jika selesai beraktivitas baik ringan atau berat sering merasa
kelelahan dan sempoyongan, keluhan lain berupa kedua kelopak mata yang
tiba-tiba menutup sendiri, keluhan tersebut memberat di sore hari dan
membaik di pagi hari. Pasien juga mengaku jika sedang membaca buku atau
melihat HP pasien sering kelelahan hingga mengeluarkan air mata.
F. DIAGNOSIS
10
1. Diagnosis klinis : Diplopia, ptosis dextra
2. Diagnosis Topis : Neuromuscular Junction
3. Diagnosis Etiologi : Myasthenia Gravis
G. PLANNING
1. Diagnostik :
a. EMG
b. Ct scan mediastinum
c. Uji Tensilon
2. Terapi
a. Non farmakologi
Cegah aktivitas yang melelahkan, cukup tidur, dan hindari stress
b. Farmakologi
● Pyridostigmine bromide 4x1 selama 1 bulan,
● Mecobalamin 3x500mg selama 1 bulan,
● Metil Prednisolon 3x125mg
● Ranitidin 1x1 selama 10 hari,
● Diazepam 3x2mg
H. PROGNOSIS
1. Disease : dubia ad bonam
2. Dissability : dubia ad bonam
3. Discomfort : dubia ad bonam
4. Dissatisfication : dubia ad bonam
5. Death : dubia ad bonam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
C. EPIDEMIOLOGI
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis Myasthenia gravis menurut The Myasthenia Gravis
Foundation of America (MGFA) membagi myasthenia gravis menjadi 5
kelas utama gambaran klinis dan tingkat keparahan penyakit:
14
Tabel 1. Klasifikasi Myastenia Gravis
1. Ocular myasthenia
Hanya terkena pada otot-otot mata, dengan ptosis dan diplopia
sangat
ringan dan tidak beresiko menjadi mortalitas.
2. Generalized myasthenia
a. Mild generalized myasthenia
Perjalanan penyakitnya lambat dan sering terkena pada otot mata,
perlahan meluas ke otot-otot rangka dan bulbar, namun tidak sampai
mengenai ke sistem pernapasan
b. Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot rangka dan bulbar, respon terhadap
obat tidak adekuat.
3. Severe generalized myasthenia
15
a. Acute fulmating myasthenia
Perjalanan penyakit muncul dengan cepat, kelemahan hebat dari
otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan.
Respon terhadap obat kurang adekuat, aktivitas penderita terbatas dan
mortalitas tinggi.
E. PATOFISIOLOGI
16
Gambar 2. Patofisiologi antibodi anti-asetilkolin pada Miastenia Gravis
(Jacob, 2018).
Pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa antibodi mengikat AChR dan
mengaktifkan kaskade komplemen, menghasilkan pembentukan MAC dan
penghancuran lokal dari membran NMJ postsinaptik (A). Hal tersebut mengubah
morfologi membran postsinaptik NMJ sehingga menghasilkan permukaan yang
relatif datar (B). Antibodi kemudian mengikat molekul AChR pada membran
pascasinaps NMJ. Molekul AChR cross-linked ini diinternalisasi dan didegradasi,
sebuah proses yang dikenal sebagai modulasi antigenik, sehingga mengurangi
jumlah molekul AChR pada membran postsinaptik (C). Akhirnya, antibodi
mengikat situs pengikatan ACh dari AChR, menyebabkan blok fungsional AChR
dengan mengganggu pengikatan ACh yang dilepaskan di NMJ, (D). Hal ini
menyebabkan kegagalan transmisi neuromuskular dan oleh karena itu mengurangi
kontraksi otot (Jacob, 2018).
Pada miastenia gravis terkait MusK dan LRP4, antibodi yang terlibat adalah
subtipe IgG4 dan tidak menyebabkan pengaktifan komplemen. MG jenis ini
17
mengikat kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK di NMJ, yang fungsi utamanya
adalah pemeliharaan NMJ, termasuk distribusi dan pengelompokan reseptor n-
ACh. Penghambatan kompleks menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor n-
ACh. ACh yang dilepaskan di terminal saraf, pada gilirannya, tidak dapat
menghasilkan potensial postsinaptik yang diperlukan untuk menghasilkan
potensial aksi di otot karena berkurangnya jumlah reseptor n-ACh yang
menyebabkan gejala kelemahan otot. Kelemahan lebih terlihat dengan adanya
penggunaan otot yang berulang karena menyebabkan penipisan simpanan ACh di
NMJ (Dresser et al., 2021).
Miastenia Gravis juga berhubungan dengan adanya patologi timus. Pada pasien
berusia muda seringkali berkaitan dengan adanya hiperplasia folikular pada timus,
sedangkan pada pasien dewasa sering ditemukan adanya timoma. Timus adalah
tempat produksi sel T dan akan mengalami involusi karena penuaan. Meskipun
begitu, organ ini tetap ada pada orang dewasa dan dapat menjadi situs inflamasi,
perekrutan sel B, dan generasi pusat germinal/germinal center (GC). Tingginya
tingkat hiperplasia folikular pada pasien AchR-MG, seberapa lama apapun durasi
penyakitnya, mengasumsikan bahwa sel B bermigrasi secara terus-menerus ke
timus dan resolusi pusat germinal pada pasien MG tidak terkontrol dengan benar
(Truffault et al., 2017).
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Manifestasi klinis inti dari MG adalah kelelahan dan kelemahan pada otot.
Keluhan kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas
dan membaik dengan istirahat. Gejala yang paling sering muncul adalah
okular dengan penglihatan ganda dan ptosis (Kamarudin & Chairani, 2019).
Keluhan pasien yang umum termasuk berupa turunnya kelopak atas (ptosis),
penglihatan ganda (diplopia) atau keduanya menjadi gejala awal pada 15%
pasien. Kelemahan selanjutnya akan muncul mengenai otot wajah, otot
pengunyah, otot menelan, dan otot untuk bicara (Tugasworo, 2018). Gejala
yang muncul seperti kesulitan mengunyah atau sering tersedak, disfagia
18
(gangguan menelan) yang muncul setelah penderita memakan makanan
padat, penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat
mengunyah makanan, sehingga harus dibantu oleh tangan (tripod position),
suara serak, disonia serta disartria yang muncul setelah berbicara beberapa
lama. Keterlibatan otot-otot wajah menyebabkan wajah tanpa ekspresi atau
senyumnya tampak datar (myasthenic snarl), dan keterlibatan otot leher
menyebabkan leher terasa kaku, nyeri, dan sulit untuk menegakkan kepala
(dropped head) akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher (Dresser,
2021).
Pada anamnesis, akan ditemukan gejala dan tanda klinis seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Pasien harus ditanya tentang waktu
timbulnya gejala, pada jam berapa gejala biasanya muncul, serta
perbaikan gejala dengan istirahat. Kelemahan anggota gerak biasanya lebih
berat pada segmen proximal dibandingkan dengan segmen distal disertai
kelemahannya biasanya lebih baik pada pagi hari dan memburuk seiring
berjalannya hari (sore/malam hari) (Tugasworo, 2018). Menanyakan tentang
gejala seperti batuk setelah menelan, kebutuhan waktu yang lebih lama
untuk menyelesaikan makan, suara serak, mudah lelah saat menaiki
tangga, lambat dan sering terjadi kesalahan dalam menulis atau
mengetik, gejala ini paling menonjol pada sore atau malam hari setelah
bekerja (Salsabila, 2023).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien MG:
a. Pemeriksaan motoric dengan memeriksa kelemahan setelah kontraksi pada
ekstemitas atas
b. Pemeriksaan mata : diplopia dan ptosis
c. Disfagia, disartria.
d. Tes khusus
1) Tes Wartenberg merupakan suatu pemeriksaan untuk mengetahui
kelemahan pada musculus levator palpebra dengan meminta pasien
untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut kurang lebih 30
19
derajat selama 60 detik, positif bila terjadi ptosis. Kelemahan
ini akan membaik setelah pasien diminta untuk menutup mata secara
maksimal.
2) Tes hitung dilakukan dengan meminta pasien untuk menghitung 1-
100, positif bila suara menjadi sengau (suara nasal) atau suara
menghilang.
3) Ice pack eye test dilakukan dengan cara celah antara kedua kelopak
mata yang mengalami ptosis akan diukur terlebih dahulu kemudian
dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke kelopak mata
penderita. Celah antara kedua kelopak mata yang bertambah lebar
setelah penempelan es selama 2 menit dianggap positif (Salsabila,
2023). Suhu yang lebih dingin dikatakan menghambat kerja
aktivitas enzim acetylcholinesterase sehingga mengakibatkan
penurunan penghancuran asetilkolin yang dilepaskan di neuromuscular
junction, karena hal tersebut maka asetilkolin yang tidak dihancurkan
meningkatkan transmisi neuromuscular junction (Wiratman, 2021).
4) Uji edrophonium (tensilon), edrophonium adalah inhibitor
asetilkolinesterase kerja pendek yang meningkatkan ketersediaan ACh
di NMJ. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan reversibilitas dari
kelemahan otot. Sensitivitas dari pemeriksaan ini mencapai 88% pada
MG seluruh tubuh dan 92% pada MG okular dengan spesifitas sebesar
97% baik MG seluruh tubuh maupun okular. Diberikan secara
intravena, dan perbaikan gejala ptosis atau diplopia diamati pada
pasien. Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia, pemberian obat
penghambat AChE oral seperti piridostigmin dapat diberikan,
namun perbaikan gejala lebih lambat, baru terlihat setelah 1-2
jam. Efek samping dari edrophonium adalah salivasi, berkeringan,
mual, nyeri perut, hiptensi, bradikardi dan fasikulasi otot.
5) Uji prostigmin (Neostigmin), pada tes ini disuntikkan 1,5mg atau
3cc prostigmin metil sulfat secara intramuscular (diberikan pula
atropin 0,8mg bila perlu). Jika kelemahan itu benar disebabkan
20
oleh MG, maka gejala-gejala seperti ptosis, strabismus, atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan hilang (Salsabila,
2023).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Antibodi
Tes Serologi, tes antibody anti-AChR sangat spesifik, dan
mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan temuan klinis klasik.
temuan ini terdapat pada empat perlima pasien dengan MG tipe
generalisata dan hanya pada setengah dari pasien dengan MG okular
murni. Sisa pasien, sekitar 5%-10%, akan menunjukkan antibodi anti-
MuSK. Hanya dalam beberapa kasus sporadis, antibodi anti-AChR dan
anti-MuSK terdapat pada pasien yang sama. Adapun 3%-50% dari sisa
pasien yang seronegatif terhadap salah satu dari antibodi ini akan
menunjukkan antibodi anti-LRP4. Antibodi anti-striated muscle terdapat
pada 30% pasien MG, biasanya lebih berguna sebagai penanda
serologi untuk timoma, terutama pada pasien yang lebih muda (Wiratman,
2021).
b. Tes Elektrofisiologis
Tes elektrofisiologis, tes ini relevan pada pasien yang seronegatif
untuk tes antibodi. Tes yang umum digunakan untuk MG adalah tes
repetitive nerve stimulation (RNS) dan single-fiber electromyography
(SFEMG). Kedua tes menilai penundaan konduksi di NMJ. Tes RNS,
dilakukan dengan merangsang saraf pada 2-3 Hz. Stimulasi saraf berulang
menghabiskan ACh di NMJ, dan menghasilkan Excitatory Postsynaptic
Potential (EPSP) yang rendah. Penurunan 10% atau lebih pada EPSP
antara stimulus pertama dan kelima adalah diagnostik MG, sedangkan
SFEMG merekam potensial aksi dari serat otot individu, dan dengan
demikian memungkinkan untuk merekam AP secara bersamaan dari dua
serat otot yang dipersarafi oleh satu neuron motorik. Perbedaan antara
waktu timbulnya kedua potensial aksi ini disebut "jitter". Di MG, "jitter"
21
akan meningkat karena transmisi NMJ berkurang. Ini adalah yang paling
sensitif di antara tes diagnostik untuk MG (Salsabila, 2023).
Pemeriksaan elektrofisiologi SFEMG merupakan pemeriksaan
yang cukup sensitif dalam menilai adanya gangguan transmisi pada
neuromuscular junction. Pemeriksaan RNS memiliki spesifisitas yang
tinggi yaitu 91% untuk MG tipe okular dan 97% untuk MG tipe
general dan hasil pemeriksaan cepat diketahui, namun memiliki tingkat
sensitivitas yang bervariasi tergantung dari teknik pemeriksaan. Untuk
MG tipe general memiliki sensitivitas antara 50-100%, sedangkan tipe
okuler sekitar 10-20% (Wiratman, 2021).
c. Foto rontgen thorax
Pemeriksaan radiologi seperti CT scan atau MRI torak
dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya timoma. Dalam kasus
dengan MG okular murni, MRI orbita dan otak perlu dilakukan untuk
mengevaluasi setiap lesi massa lokal (Salsabila, 2023).
22
G. DIAGNOSIS BANDING
Tabel 3. Diagnosis banding myasthenia gravis (Kurniawan, 2014):
Gejala utama Diagnosis banding Gambaran klinis berbeda dari Uji tambahan berbeda
miastenia gravis autoimun dari miastenia
autoimun
23
syndrome jarang terjadi, otonom positif, fasilitasi pada
Kelemahan disfungsi (mulut kering, elektrofisiologis
otot proksimal disfungsi ereksi) pengujian
H. TATALAKSANA
Terapi Simptomatik
1. Anticholinesterase Inhibitors
Pengobatan utama pada MG adalah inhibitor enzim kolinesterase dan
agen imunosupresi. Pyridostigmine sejauh ini merupakan terapi simtomatik
yang paling umum digunakan. Ini adalah penghambat asetilkolinesterase
yang menghalangi degradasi asetilkolin pada sinapsis kolinergik perifer,
termasuk neuromuskular junction. Obat ini bekerja dengan memperpanjang
24
aksi asetilkolin yang dilepaskan ke celah sinaptik dan mengkompensasi
defisit struktural dan fungsional pada transmisi NMJ (Farrugia, 2020).
Apabila terjadi resisten terhadap pengobatan primer atau yang
memerlukan efek pengobatan cepat seperti pada krisis myasthenia dapat
menggunakan pengobatan plasmapheresis atau imunoglobulin intravena.
Strategi manajemen di MG didasarkan pada empat prinsip berikut, pertama
dengan pengobatan untuk gejala MG dapat menggunakan inhibitor
asetilkolinesterase yang meningkatkan jumlah ACh pada NMJ dengan
mencegah degradasi enzimatiknya. Piridostigmin bromida lebih sering
dipakai daripada neostigmin karena durasi kerjanya yang lebih lama. Dapat
diberikan pyridostigmine bromide (Mestinon®) 30-120 mg/3-4jam/oral. Pada
pasien dengan intoleransi bromida yang menyebabkan efek pada
gastrointestinal, ambenonium klorida dapat diberikan apabila pasien
mengeluhkan hal tersebut. Pasien dengan MuSK MG yang tidak bereaksi
terhadap obat ini memerlukan dosis yang lebih tinggi (Salsabila, 2023)
Neostigmine adalah penghambat asetilkolin esterase alternatif yang dapat
digunakan pada MG. Ini hanya boleh diberikan melalui rute subkutan pada
MG bukan secara intravena. Ini berguna pada pasien dengan MG yang tidak
dapat melalui rute oral (misalnya, pasien MG dengan obstruksi usus akut)
tetapi tidak boleh menjadi lini pertama jika pasien mengalami gangguan
menelan. Kesulitan menelan sangat umum pada pasien dengan MG dan jika
ada kekhawatiran tentang aspirasi dengan asupan oral, termasuk obat-obatan,
strategi pertama harus selalu memasang pipa nasogastrik dan memberikan
piridostigmin melalui ini. Hanya jika ini tidak dapat dilakukan, neostigmin
subkutan dapat digunakan. Ini memiliki profil efek samping yang sama
dengan pyridostigmine meskipun dengan efek cardioinhibitory yang lebih
nyata dan waktu paruh yang lebih pendek yang menyebabkan pemberian
dosis lebih sering. Namun, neostigmin harus selalu digunakan dengan hati-
hati karena dapat menyebabkan sekresi saliva yang berlebihan dan akibatnya
dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat dan memperparah
kesulitan menelan (Farrugia, 2020).
25
2. Kortikosteroid
Kedua, pengobatan imunosupresif, diindikasikan pada pasien yang tetap
bergejala bahkan setelah pengobatan piridostigmin. Glukokortikoid
(prednisone, prednisolon, dan metilprednisolon) dan azatioprin adalah agen
imunosupresif lini pertama yang digunakan dalam pengobatan MG. Agen
lini kedua termasuk siklosporin, metotreksat, mikofenolat, siklofosfamid, dan
tacrolimus. Ini digunakan apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan,
memiliki kontraindikasi terhadap pengobatan, atau intoleransi terhadap
penggunaan agen lini pertama. Baru-baru ini, berbagai antibodi monoklonal,
termasuk rituximab dan eculizumab, telah digunakan untuk mengobati MG
yang resistan terhadap obat, tetapi data dari uji klinis tentang kemanjurannya
belum didokumentasikan. Prednison dimulai dengan dosis awal 10-20mg,
dinaikkan bertahap (5-l0mg/minggu) lx sehari selang sehari, maksimal
120mg/6jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif.
Sedangkan azatioprin yang merupakan suatu obat imunosupresif, diberikan
dengan dosis 2-3mg/kgBB/hari/oral selama 8 minggu pertama (Salsabila,
2023)
3. Immunosupresan lain
Imunosupresan konvensional diberikan pada pasien MG untuk
membantu mengurangi efek samping penggunaan kortikosteroid jangka
panjang. Imunosupresan konvensional dapat dikombinasikan bersama dengan
glukokortikosteroid, hal ini memunginkan pengurangan dosis kortikosteroid
dan meminimalkan efek samping (Salsabila, 2023).
a. Azathioprine
Azathioprine telah digunakan pada pasien dengan MG umum pada
kortikosteroid yang masih bergejala; pada pasien dengan kontraindikasi
relatif terhadap pengobatan kortikosteroid seperti hipertensi, diabetes, dan
osteoporosis; dan pada mereka yang mengalami efek samping yang parah
terhadap kortikosteroid. Azathioprine juga telah digunakan pada pasien
dengan MG okular yang membutuhkan tetapi tidak mentoleransi terapi
kortikosteroid. Dosis awal untuk azathioprine adalah 50 mg/hari. Dosis
26
dapat ditingkatkan dengan penambahan 50 mg setiap 2 sampai 4 minggu
sampai dosis tujuan 2 sampai 3 mg/kg/hari.
b. Mycophenolate Mofetil
Mycophenolate mofetil adalah penghambat dehidrogenase monofosfat
yang kuat. Ini menghambat sintesis nukleotida guanosin yang penting
untuk limfosit B dan T. Beberapa studi retrospektif menunjukkan profil
tolerabilitas yang menguntungkan, potensi meminimalisir penggunaan
kortikosteroid dan tingkat keberhasilan pengobatan sekitar 70%. Selain itu,
dibandingkan dengan azathioprine, waktu respons klinis awal yang lebih
cepat (11 minggu) disarankan. Namun, kedua dari 2 uji coba multisenter
besar, acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo gagal menunjukkan bahwa
mikofenolat mofetil selain prednison lebih efektif dalam mengendalikan
MG. Rejimen yang paling umum digunakan adalah 1000 hingga 1500 mg
dua kali sehari. Efek samping utama adalah diare, mual, infeksi, dan
leukopenia. Jumlah darah harus dipantau secara ketat pada awal
pengobatan dan setelah itu setiap bulan. Mycophenolate mofetil
dikontraindikasikan pada kehamilan karena potensi teratogenik dan risiko
keguguran yang lebih tinggi dalam 3 bulan pertama. Ada kekhawatiran
mengenai potensi peningkatan risiko penyakit limfoproliferatif
berdasarkan laporan kasus yang terisolasi
c. Siklosporin
Siklosporin, agen yang pertama kali digunakan untuk menekan
penolakan allograft, mengganggu pensinyalan kalsineurin, menekan
sekresi sitokin termasuk interleukin-2 dan interferon-γ, dan mengganggu
aktivasi sel T-helper. Siklosporin adalah obat imunosupresan pertama yang
terbukti efektif dalam pengobatan MG umum. Dosis awal siklosporin
biasanya 3 mg/kg/hari (lihat Tabel 1) dan tersedia dalam kapsul 100 mg.
Jadi, orang dengan berat 70 kg biasanya mengonsumsi 200 mg terbagi
dalam 2 dosis. Mirip dengan kortikosteroid, tujuannya adalah untuk
mengurangi siklosporin ke dosis terendah yang mempertahankan efek
pengobatan. Tingkat palung harus dipantau (tetap di <300 ng/mL) serta tes
27
kreatinin serum, nitrogen urea darah, dan fungsi hati. Sediaan siklosporin
yang berbeda tidak boleh dicampur karena farmakokinetik yang berbeda,
dan daftar obat pasien harus disaring sebelum inisiasi obat ini karena
sejumlah obat berinteraksi dengan siklosporin dan membuat kadar obat
serum tidak stabil (Narayanaswami, 2020)
Terapi asimptomatik
Tatalaksana dengan timektomi. Pengangkatan kelenjar timus dapat
mengurangi gejala pada 70% penderita dengan timoma atau displasia kelenjar
timus. Indikasi timektomi apabila pasien dengan antibodi anti AChR untuk
meminimalisir dosis obat atau durasi imunoterapi, timoma, dan onset baru MG
general. Manfaat pembedahan pada MG seronegatif, MG non timoma yang
terbatas okular, MG seronegatif dengan antibodi MuSK positif sangat minimal
sehingga tidak direkomendasikan (Salsabila, 2023 & Estephan ,2022).
I. PROGNOSIS
Prognosis penyakit MG dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti adanya
usia onset penyakit, usia pasien, patologi timus, antibodi yang bertanggung jawab
atas penyakit tersebut, dan otot yang terkena (Kara, 2022). Sebagian besar pasien
dengan MG memiliki rentang hidup yang hampir normal dengan modalitas
pengobatan saat ini. Lima puluh tahun yang lalu, angka kematian sekitar 50%
sampai 80% dalam krisis myasthenic, dan sekarang telah berkurang secara
substansial menjadi 4,47% (Wang, 2017). Komplikasi yang dapat terjadi berupa
krisis myastenik ataupun krisis kolinergik. Komplikasi terkait kelemahan otot
pernapasan, seperti pneumonia aspirasi dan gagal napas juga dapat terjadi dan
merupakan salah satu penyebab mortalitas pada pasien MG. Dengan banyaknya
pilihan terapi saat ini dan ketersediaan perawatan suportif, mayoritas pasien
myasthenia gravis memiliki angka harapan hidup mendekati normal dan dapat
beraktivitas normal atau mendekati normal. Tingkat mortalitas sebesar 3-4%
dengan faktor risiko utama usia >40 tahun, riwayat penyakit progresif dalam waktu
singkat, dan timoma (Jowkar, 2022).
Risiko kekambuhan MG: Usia onset (<40 tahun), timektomi dini, dan
pemberian prednisolon ditemukan berhubungan dengan penurunan risiko
28
kekambuhan.[17] Namun, pasien dengan antibodi anti-Kv1.4 dan penyakit
autoimun bersamaan menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi (Wang, 2017).
29
BAB III
PEMBAHASAN
30
DAFTAR PUSTAKA
32