Anda di halaman 1dari 26

CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI DENGAN HEMOFILIA A

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Pendidikan Dokter Umum Stase Ilmu Penyakit Dalam

HALAMAN JUDUL
Disusun oleh:
Allain Tegar Ghazal M., S.Ked (J510215012)
Vivi Nur Fitriana, S.Ked (J510215024)

PEMBIMBING
dr. Asna Rosida, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. HARJONO KABUPATEN PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021

1
CASE REPORT
SEORANG LAKI-LAKI DENGAN HEMOFILIA A

HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh :

Allain Tegar Ghazal M., S.Ked (J510215012)


Vivi Nur Fitriana, S.Ked (J510215024)

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profeesi Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Kepaniteraan Klinik Stase
Ilmu Penyakit Dalam.

Pada hari , Tanggal Februari 2021.

Pembimbing

dr. Asna Rosida, Sp.PD (…………………….)

Dipresentasikan dihadapan

dr. Asna Rosida, Sp.PD (…………………….)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. HARJONO KABUPATEN PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I LAPORAN KASUS...............................................................................................4
A. IDENTITAS PASIEN............................................................................................4
B. ANAMNESIS........................................................................................................4
C. PEMERIKSAAN FISIK.........................................................................................6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................................8
E. RESUME/DAFTAR MASALAH..........................................................................8
F. ASSESSMENT/ DIAGNOSIS KERJA DAN DIAGNOSIS BANDING...............8
G. POMR (Problem Oriented Medical Record)..........................................................9
H. FOLLOW UP.......................................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................11
A. Definisi.................................................................................................................11
B. Epidemiologi........................................................................................................12
C. Etiologi.................................................................................................................12
D. Klasifikasi Hemofilia...........................................................................................13
E. Patogenesis...........................................................................................................14
F. Diagnosis..............................................................................................................15
G. Tatalaksana..........................................................................................................17
H. Komplikasi...........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25

3
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. E
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Umur : 20 tahun
 Alamat : Jl. Tlutur GG. 1 No. 10 D 03/02 Ponorogo
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Tanggal masuk RS : 9 Februari 2021 dan 14 februari 2021
 Tanggal pemeriksaan : 9 Februari 2021 dan 14 februari 2021

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri Sendi
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Laki-laki umur 20 tahun dating ke RSUD Dr. Harjono S.
Sukoharjo dengan keluhan nyeri sendi. Nyeri sendi dirasakan hilang
timbul. Nyeri sendi sendi dirasakan menetap sejak 3 hari yang lalu.
Pasien juga terkadang mengeluhkan bengkak di bagian siku nya.
Pasien mengakui melakukan pengobatan rutin Hemofila sejak usia 10.
Keluhan seperti pusing, mual, muntah disangkal.

4
3. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Konsumsi alkohol : disangkal
4. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit serupa : diakui
o Pada usia 3 tahun pasien mengalami perdarahan pada
bagian mulut dan sulit untuk di hentikan, perdarahan
berlangsung selama beberapa jam.
o Sejak kelas 5 SD pasien rutin melakuakn pengobatan
Hemofilia
o Pada tahun 2019 mengalami perdarahan di otak
 Riwayat Hipertensi : diakui
 Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa dalam keluarga : disangkal
 Riwayat Hipertensi dalam keluarga : diakui

5
 Riwayat DM dalam keluarga : disangkal
6. Anamnesis Sistem
Sistem cerebrospinal : pusing (-), demam (-)
Sistem respiratori : batuk (-), sesak (-)
Sistem cardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak (-)
Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), nyeri
telan (-), nafsu makan menurun (-)
Sistem musculoskeletal : nyeri sendi (+), bengkak pada sendi (+),
udem ekstremmitas atas (-) bawah (-).
Sistem urogenital : BAB dan BAK dalam batas normal
Sistem integument : akral hangat (+), gatal (-), ikterik (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sakit ringan , kesadaran compos mentis
2. Vital Sign
TD : 140/100 mmHg
Nadi : 113x/menit, regular
RR : 24x/menit
Suhu : 36,0 oC
SpO2 : 98%
3. Status Generalis
Kepala : Normochepal, simetris, rambut rontok (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : deformitas (-)
Mulut : sianosis (-), atrofi papil (-)
Telinga : bentuk normal, simetris antara kanan dan kiri
Leher : simetris , nodul thyroid (-), pembesaran limfe (-), JVP:
5+2
4. Pemeriksaan fisik thoraks

6
 Inspeksi : Gerakan pernafasan kanan dan kiri simetris,
retraksi intercosta (-), jejas (-)
 Palpasi : fremitus kedua lapang paru normal, ketinggalan
gerak (-)
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
5. Pemeriksaan fisik jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak nampak
 Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi :
o Batas jantung kanan atas : SIC II linea parasternal
dextra
o Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternal
dextra
o Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternal
sinistra
o Batas jantung kiri bawah : SIC V linea axilaris anterior
 Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung(-), gallop (-)
6. Pemeriksaan fisik abdomen
 Inpeksi : permukaan abdomen sejajar dengan dada, jejas (-)
 Auskultasi : peristaltik usus normal
 Perkusi : timpani (+) di semua regio, pekak beralih (-)
 Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), hepatomegaly (-),
splenomegaly (-)
7. Pemeriksaan ekstremitas
 Atas : edema (-/-), ruam (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2” (+/+),
bengkak pada siku kiri (+)
 Bawah : edema (-/-), ruam (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2” (+/+)

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. aPTT/activated Partial Tromboplastin Time
106,3 detik (nilai normal 28-40)
2. Faktor VIII
2,12 % (nilai normal 70-150)

E. RESUME/DAFTAR MASALAH
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan nyeri sendi di seluruh
badan. nyeri dirasakan hilang timbul. nyeri sendi yang dirasakan saat ini
muncul sejak 3 hari SMRS.terdapat pembengkakan di siku sebelah kiri
dan terasa nyeri.
Dari pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum sakit ringan.
kesadaran Compos mentis, gizi baik, Vital sign : tekanan darah 140/100
mmHg, nadi 113x/menit, Respiratory rate 24x/menit, suhu 36,0oC. siku
sebelah kiri tampak membengkak.
Hasil laboratorium menunjukkan pemanjangan nilai aPTT dan
penurunan jumlah factor VIII.

F. ASSESSMENT/ DIAGNOSIS KERJA DAN DIAGNOSIS BANDING


 Diagnosis kerja : Hemofilia A
 Diagnosis Banding :
a. Hemofilia B
b. Hemofilia C
c. Von Willebrand disease

8
G. POMR (Problem Oriented Medical Record)

Temuan Assesmen Planning Planning Planning


abnormal t Diagnosa Terapi Monitorin
g
Anamnesis : Hemofilia  Clotting  inj kuate Monitor
Nyeri sendi A time 1x1500 KU TTV
 aPTT unit
Pemeriksaan  Uji  meloxica
fisik: trombopla m
Bengkak pada stin 1x15mg
siku kiri generation
 Protrombi
Pemeriksaan n time
penunjang:
aPTT/activate
d Partial
Tromboplasti
n Time
106,3 detik
(nilai normal
28-40)
Faktor VIII
2,12 % (nilai
normal 70-150)

9
H. FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Asessement Planing


09/02/202  Nyeri KU : Lemah Hemofilia  inj kuate
TD :140/100
1 sendi A 1x1500 unit
mmHg
 Bengkak N :  meloxicam
113x/menit
pada siku RR : 1x15mg
kiri 24x/menit
Suhu: 36,0oC
SpO2 : 98%

16/01/202  Nyeri KU : Lemah Hemofilia  inj kuate


TD :140/100
1 sendi A 1x1500 unit
mmHg
 Bengkak N :  meloxicam
133x/menit
pada siku RR : 1x15mg
kiri 24x/menit
Suhu: 35,9oC
SpO2 : 99%

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor
pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive
pada kromosom X dengan anak laki-laki menjadi penderita hemofilia dan
anak perempuan menjadi karier asimtomatik (Kaban et al, 2020).
Hemofilia merupakan defek koagulasi yang disebabkan oleh
fungsional atau kekkurangan factor pembekuan absolut (Nurshanty et al,
2016). Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah, sekitar abad
kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19, hemofilia
dikenal sebagai kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara X-linke
recesive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mendel diperkenalkan.
Selanjutnya Leg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari
penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan gejala klinis
yaitu berupa kelainan yang diturunkan dengan kecenderungan perdarahan
otot serta sendi yang berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20,
hemofilia masih didiagnosis berdasarkan Riwayat keluarga dan gangguan
pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950 para ahli baru berhasil
mengidentifikasi F VIII dan F IX pada hemofilia A dan Hemofilia B. pada
tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di plasma,
yaitu factor von Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan
antara kelainan perdarahan akibat hemofilia S dengan von Willebrand.
Memasuki abad 21, pendekatan diagnostic dengan teknologi yang maju
serta pemberian factor koagulasi yang diperlukan mampu membawa
pasien hemofilia melakukan aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa
hambatan (Setiati et al, 2015).
Hemofilia dapat terjadi dalam bentuk ringan, sedang, dan berat
berkaitan dengan kadar faktor plasma. Hemofilia ringan memiliki kadar
faktor plasma 6-40%, sedang 1-5% dan berat kurang dari 1%.4 Secara

11
umum, semakin sedikit kadar faktor koagulasi dalam darah, maka semakin
besar risiko terjadi perdarahan (Prasetyawaty et al, 2016)

B. Epidemiologi
Hemofilia A adalah penyakit X-linked resesif yang paling sering di
dunia dan penyakit perdarahan defisiensi faktor yang kedua tesering
setelah penyakit von Willebrand. Insiden dunia untuk hemofilia A adalah
sekitar 1 per 5000 laki-laki dan 1/3 dari individu tidak memiliki sejarah
penyakit pada keluarga.Prevalensi hemofilia B lebih sedikit daripada
hemofilia A yaitu kira-kira 1 per 25 000 – 30 000 laki-laki. Dari semua
kasus hemofilia, 80-85% kasus adalah hemofilia A, 14% adalah hemofilia
B, dan sisanya adalah penyakit pembekuan darah lainnya. Hemofilia C dan
didapat mengenai laki-laki dan perempuan secara merata dan masing-
masing memiliki prevalensi sebanyak sekitar 1 kasus per 100 000
penduduk dan 0.2-1 individu per 1.000.000 penduduk per tahun terutama
pada usia tua (Susanto et al, 2016).

C. Etiologi
Kekurangan factor VIII (antihemophilic factor) menyebabkan
hemophilia A (classic hemophilia); kekurangan factor IX (komponen
protombin plasma) menyebabkan hemophlilia B (Chrismas disease),
terdapat juga hemofilia C yang diturunkan dengan cara autosomal resesif
dan merupakan defek atau kekurangan pada faktor XI, dan hemofilia
didapat yang terjadi disebabkan oleh sebuah proses autoimun (Susanto et
al, 2016).
Bila seseorang mampunyai hemofilia yang diwariskan, mereka
lahir dengan kelainan yang disebabkan oleh defek salah satu gen yang
menentukan bagaimana tubuh membuat faktor pembekuan darah VIII atau
IX. Gen ini berlokasi di kromosom X. Wanita mempunyai 2 kromosom X,
sedangkan laki-laki mempunyau satu X dan satu Y kromosom. Hanya
kromoson X membawa gen yang berhubungan dengan faktor pembekuan.

12
Seorang laki-laki yang mempunyai hemofilia pada kromosom X nya akan
mempunyai hemofilia. Seorang wanita harus mempunyai gen cacat pada
kedua kromosom X-nya, dia disebut karier hemofilia (Setiati et al, 2015).
Karier tidak mempunyai hemofilia namun mereka dapat
menurunkan gen cacat pada anak-anak mereka, dibawah ini adalah dua
contoh bagaimana hemofilia diturunkan. Wanita dengan karier hemofila
biasanya mempunyai cukup pembekuan dari saru kromosom X yang
normal untuk mencegah masalah perdarahan serius. Namun sampai 50%
karier mempunyai peningkatan risiko perdarahan. Sangat jarang, seorang
anak perempuan lahir drngan hemofilia. Ini dapat terjadi bila ayah mereka
dan ibu mereka adalah carier. Beberapa anak laki-laki yang mempunyai
kelainan ini lahir dari ibu yang bukan karier. Dalam kasus ini, mutase
(perubahan acak) terjadi didalam gen dan diturunkan ke anak (Setiati et al,
2015).

D. Klasifikasi Hemofilia
Berdasarkan defisiensi faktor pembekuan, hemofilia dibagi atas:
1. Hemofilia A (hemofilia klasik) akibat defisiensi atau disfungsi faktor
VIII (FVIIIc)
2. Hemofilia B (chrismas disease) akibat defisiensi atau disfungsi faktor
IX (faktor Chrismas)
3. Hemofilia C akibat kekurangan faktor XI

Hemofilia A dan B diturunkan secara sex-linked recessive sedangkan


hemofilia C diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom
4q32q35.

13
Pada hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan atau akibat
trauma ringan (trauma yang tidak berarti). Pada hemofiia sedang,
perdarahan terjadi akibat trauma yang cukup kuat; sedangkan hemofilia
ringan jarang sekali terdeteksi kecuali pasien menjalani trauma cukup
berat seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris dan jatuh terbentur (nyeri
sendi, siku dll).

E. Patogenesis
Hemofilia A adalah sebuah penyakit heterogen dimana faktor VIII
yang berfungsi pada darah terdapat dengan jumlah yang menurun. Jumlah
faktor VIII yang menurun ini dapat disebabkan karena memang jumlah
faktor VIII yang diproduksi menurun, terdapatnya protein yang abnormal
dan tidak fungsional, atau keduanya. Faktor VIIIa dan faktor IXa berperan
keduanya dalam mengaktifasi faktor X pada jalur campuran di proses
koagulasi. Oleh sebab itu, hemofilia A dan B memiliki gambaran klinis
yang sangat mirip. Thrombin yang dibentuk pada pasien hemofilia sangat
berkurang. Bekuan darah yang terbentuk menjadi lemah, mudah tergerak,
dan sangat rentan terhadap fibrinolysis (Susanto et al, 2016).
Hemofilia C sangatlah jarang dan informasi mengenainya masih
cukup sedikit. Ditemukan bahwa walaupun terdapat defisiensi faktor XI
yang besar, kecenderungan untuk berdarah dapat masihlah cukup sedikit,
kekurangan jumlah faktor tidaklah berbanding lurus dengan derajat
keparahan penyakit. Hemofilia didapat adalah suatu penyakit autoimun.

14
Antibodi terhadap faktor VIII atau IX terbentuk pada pasien terutama pada
saat usia tua. Pada 50% kasus individu dengan hemofilia didapat tidak
memiliki penyakit lainnya atau suatu kejadian yang dapat ditunjuk sebagai
trigger penyakit (Susanto et al, 2016).

F. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis meliputi perdarahan jaringan lunak , otot, dan
sendi, terutama sendi-sendi yang menopang berat badan, disebut
hemartrosis (perdarahan sendi). Perdarahan berulang ke dalam sendi
menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai gejala-gejala
artritis. Derajat perdarahan berkaitan dengan banyaknya aktivitas
factor dan beratnya cedera.perdarahan dapat terjadi segera atau berjam-
jam setelah cedera (Price et al, 2015).
Bayi mungkin mengalami perdarahan pasca-sirkumsisi yang parah
atau perdarahan sendi atau jaringan lunak serta memar luas Ketika
mereka mulai aktif. Hematrosis berulang yang nyeri dan hematoma
otot mendominasi perjalanan penyakit pada pasien yang sakit berat dan
jika tidak diatasi secara adekuat hal ini dapat menyebabkan deformitas
dan disabilitas sendi progresif. Tekanan lokal dapat menyebabkan
neuropati jepitan atau nekrosis iskemik. Ekstraksi gigi menyebabkan
perdarahan berkepanjangan. Juga dapat menjadi hematuri spontan dan
perdarahan saluran cerna, kadang disertai obstruksi akibat perdarahan
intramukosa. Perdarahan operasi atau pasca trauma dapat mengancam
nyawa baik pasien sakit ringan atau berat. Perdarahan intraserebrum
spontan lebih sering terjadi dibandingkan pada populasi umum dan
merupakan penyebab penting kematian pada pasien dengan penyakit
yang parah (Hoffbrand et al, 2017).
Pseudotumor hemofilia adalah hematoma besar berkapsul disertai
pembengkakan kistik progresif akibat perdarahan berulang. Lesi ini
paling jelas dilihat dengan magnetic resonance imagining (MRI).

15
Hematom ini dapat terbentuk di bidang fasia dan otot, kelompok otot
besar, serta di tulang panjang, pelvis, dan cranium. Yang terakhir
terjadi akibat perdarahan subperiosteum berulang disertai destruksi dan
pembentukan tulang baru (Hoffbrand et al, 2017).
2. Temuan Laboratorium
Tes-tes berikut memberi hasil abnormal :

1. Activated partial thromboplastin time (APTT)


2. Pemeriksaan bekuan factor VIII
3. Pemeriksaan bekuan factor IX
4. Pemeriksaan bekuan factor XI (Hoffbrand et al, 2017).

Waktu prothrombin (PT) tetap normal karena tidak melalui jalur


intrinsik. Analisis fungsi trombosit -100 (PFA-100) dan waktu
perdarahan biasanya normal, tetapi dapat terjadi perdarahan yang lama
karena stabilisasi fibrin yang tidak adekuat. Jumlah trombosit normal
(Price et al, 2015).
3. Deteksi pembawa dan diagnosis antenatal
Pembawa (carrier) dideteksi dengan pelacak (probe) DNA. Mutasi
fragment length polymorphismus di dalam atau dekat dengan gen
factor VIII memungkinkan alel mutan dilacak. Biopsy korion pada
gestasi 8-10 minggu memberi DNA janin dalam jumlah memadai
untuk dianalisis. Diagnosis antenatal juga dapat dilakukan dengan
membuktikan rendahnya factor VIII dalam darah janin yang diambil
pada usia gestasi 16-20 minggu dari vena umbilikalis dengan aspirasi
jarum yang dipandu oleh USG. Metode ini kini digunakan hanya jika
analisis DNA tidak memberi informasi yang meyakinkan (1%
pembawa) (Hoffbrand et al, 2017).

16
G. Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan kadar
faktor anti hemofilia yang kurang. Namun ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu:
 Melakukan pencegahan baik menghindari Iuka/benturan.
 Merencanakan suatu tindakan operasi serta
mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-
50%.
 Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka
dilakukan tindakan pertama seperti rest, ice, compressio,
elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
 Pemberian kortikosteroid sangat membantu untuk
menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut yang
terjadi setelah serangan akut hemartrosis. Pemberian
prednisone 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari dapat
mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi
(artrosis)yang mengganggu aktivitas harian serta menurunkan
kualitas hidup pasien hemofilia.
 Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis
dengan nyeri hebat, dan sebaiknya dipilih analgetika yang
tidak mengganggu agegasi trombosit (harus dihindari
pemakaian aspirin dan antikoagulan).
 Sebaiknya dilakukan rehabilitasi medik sedini mungkin
secara komprehensif dan holistik dalam sebuah tim, karena
keterlambatan pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan
ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan
ecukasi. Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi : latihan
pasif/aktif, terapi dingin dan panas (hati-hati), penggunaan
ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi
(Susanto et al, 2016).

17
2. Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk
menghindari kecacatan fisik (terutama sendi) sehingga pasien
hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun untuk
mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti hemofilia
(AHF)yang cukup banyak dengan biaya yang tinggi (Susanto et al,
2016).
Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus hemofilia
dilakukan dengan memberikan F VIII atau FIX, baik rekombinan,
konsentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup
banyakfaktor-faktor pembekuan tersebut. Pemberian biasanya
dilakukan dalam beberapa hari sampai Iuka atau pembengkakan
membaik: serta khususnya selama fisioterapi (Susanto et al, 2016).
 Konsentrat F VIII/F IX
Hemofiilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang
dengan episode perdarahan yang serius membutuhkan koreksi
faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang harus
diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan
virusnya.
Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk yaitu prothrombin complex
concentrates (PCC) yang berisi FII, VII, IX dan X, dan purified
IX concentrates yang berisi sejumlah FIX tanpa faktor yang
lain. PCC dapat menyebabkan trombosis paradoksikal dan
koagulasi intravena tersebar yang disebabkan oleh sejumlah
konsentrat faktor pembekuan lain. Risiko ini dapat meningkat
pada pemberiaan FIX berulang, sehingga purified konsentrat
FIX lebih diinginkan. Waktu paruh FVIII adalah 8-12 jam
sedangkan FIX 24 jam dan volume distribusi dari FIX kira-
kira 2 kali dari FVIII (Susanto et al, 2016).

18
Metode penghitungan alternatif lain adalah satu unit F VIII
mampu meningkatkan aktifitasnya di dalam plasma 0,02 U/ml
(2%) selama 12jam; sedangkan 1 unit FIX dapat meningkatkan
aktivitasnya di dalam plasma sampai 0,01 U/m (1 %) selama 24
jam.

 Kriopresipitat AHF
Kriopresipitat AHF adalah salah satu komponen darah non
selular yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang
mengandung FVIII, fibrinogen, faktor von Willebrand. Dapat
diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan. Satu

19
kantong kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu kantong
kriopresipitat yang mengandung 100 U FVIII dapat
meningkatkan F VIII 35%. Efek samping dapat terjadi reaksi
alergi dan demam (Susanto et al, 2016).
 1-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP) atau
Desmopresin
Hormone sintetik anti diuretic (DDAVP) merangsang
peningkatan kadar aktivitas FVIII di dalam plasma sampai 4
kali, namun bersifat sementara. Mekanisme kerja DDAVP ini
belum diketahui secara pasti, namun dianjurkan untuk
diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang dan juga pada
perempuan yang simptomatik. Pemberian dapat secara
intravena dengan dosis 0,3mg/kgBB dalam 30-50 NaCl 0,9%
selama 15-20 menit dengan lama kerja 8 jam. Efek puncak
pemberian ini dicapai dalam waktu 30-60 menit. Untuk
pencegahan perdarahan, DDAVP diberikan setiap 12-24 jam.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa takikardi, flushing,
thrombosis, dan hiponatremi serta angina pada pasien PJK
(Susanto et al, 2016).
3. Antifibrinolitik
Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien hemofilia B
untuk menstabilkan bekuan/fibrin dengan cara menghambat proses
fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat membantu dalam pengelolaan
pasien hemofilia dengan perdarahan; terutama pada kasus perdarahan
mukosa mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak
mengandung enzim fibrinolitik. Epsilon aminocaproic acid (EACA)
dapat diberikan secara oral maupun intravena dengan dosis awal
200mg/kg BB, diikuti lOOmg/kg BB setiap 6 jam (maksimum 5
g setiap pemberian). Asam traneksamat diberikan dengan dosis 25
mg/kgBB (maksimum 1,5 g) secara oral atau 10mg/kgBB (maksimum
1 g) secara intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga dilarutkan

20
10% bagian dengan cairan parenteral, terutama salin normal (Susanto
et al, 2016).
4. Terapi Gen
Penelitian terapi gen dengan menggunakan vektor retrovirus,
adenovirus dan adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi
pasien hemofilia. Saat ini sedang intensif delakukan penelitian invivo
denngan memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen
antihemofilia ke dalam sel hati. Gen FVIII realtif lebih sulit
dibandingkan dengan gen FIX, karena ukuran (9kb) lebih besar;
namun akhirnya pada tahun 1998 para ahli berhasil melakukan
pemindahan plasmid-based factor VIII secara ex vivo ke fibroblast
(Susanto et al, 2016).
5. Terapi dalam situasi khusus
 Terapi pada kehamilan
Penatalaksanaan pada pembawa hemofilia selama kehamilan
membutuhkan diagnosis prenatal hemofilia dengan korionik
pengambilan sampel vili atau amniosentesis atau kordosentesis
dan waspadai perdarahan post partum (PPH). Menurut studi
oleh Kadir dkk, 48% pembawa hemofilia mengalami PPP
primer. Kehamilan pada karier harus dikelola dengan
pendekatan multidisiplin di pusat perawatan tersier. Dalam
kasus PPH, suplementasi fibrinogen masuk dalam bentuk
plasma beku segar, kriopresipitat atau konsentrat fibrinogen
atau agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat atau faktor
VII yang diaktifkan rekombinan dapat diberikan.
Pada neonatus yang lahir dari karier, terjadi peningkatan risiko
perdarahan intrakranial atau ekstrakranial selama persalinan.
Hal ini dapat dicegah dengan diagnosis prenatal yang terkena
janin dan carrier dan mengambil tindakan pencegahan yang
tepat. Itu cara pengiriman terbaik masih diperdebatkan.
Menurut James et al, mode pengiriman yang optimal

21
direncanakan persalinan caesar sebelum persalinan dan ini akan
mengurangi 85% risiko perdarahan intrakranial. Menurut Ljung
et al, persalinan pervaginam yang direncanakan tanpa
menggunakan instrumen seperti vakum atau forsep adalah cara
persalinan optimal pada pembawa hemofilia. Cara persalinan
harus diputuskan berdasarkan faktor ibu dan janin serta
berdasarkan individu (G.N, Nikisha et al, 2014).
 Terapi pada neonates
Jika dicurigai hemofilia pada neonatus, sebaiknya didiagnosis
dan dikonfirmasi dengan analisis darah tali pusat. Konsentrat
faktor VIII atau faktor IX rekombinan atau plasma beku segar
diberikan kepada anak-anak yang terkena. Jika diduga
perdarahan intrakranial, faktor harus diberikan segera sebelum
memastikan diagnosis dengan kranial USG atau CT atau MRI
scan (G.N, Nikisha et al, 2014).

 Terapi pada hemarthrosis akut


Pada hemartrosis akut, terjadi perdarahan pada sendi yang
mengakibatkan persendian cepat bengkak, nyeri dan berkurang
gerakan. Konfirmasi radiologis tidak diindikasikan secara rutin.
Terapi dengan faktor VIII atau IX rekombinan pengobatan lini
pertama. Ini diikuti dengan istirahat sendi, mengaplikasikan es,
perban kompresi, peninggian kaki dan fisioterapi. Pada
hemarthrosis yang banyak, arthrocentesis dilakukan setelah
faktor koreksi lengkap defisit. Jika terjadi hemarthrosis
berulang, sinovektomi atau embolisasi angiografik dilakukan
(G.N, Nikisha et al, 2014).
H. Pencegahan
Tindakan pencegahan pada hemofilia adalah yang berhubungan
dengan komplikasi masalah perdarahan. Dengan kemajuan pengobatan,
pasien hemofilia sekarang mungkin bisa hidup dengan normal. Langkah-

22
langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari komplikasi,
contohnya:
 Ikuti rencana terapi dengan tepat seperti yang telah diresepkan dokter.
 Memeriksakan secararutin dan vaksinasiseperti yang
direkomendasikan
 Beritahukan pada semua penyedia pelayanan kesehatan seperti
dokter, dokter gigi, farmasi, pelatih senam dan instruktur olah raga
tentang kondisi anda.
 Melakukan perawatan gigi secara teratur. Dokter gigi dapat
memberikan obat yang akan menurunkan perdarahan selama tindakan
prosedur gigi.
 Kenali tanda dan gejala perdarahan di sendi dan bagian lain dari
tubuh. Harus tahu kapan menelpon dokter anda atau pergi ke UGD.
Contohnya, anda akan memerlukan perawatan bila anda mempunyai::
 Perdarahan berat yang tidak dapat dihentikan atau Iuka yang
terus mengeluarkan darah. Setiap tanda atau gejala pedarahan
di otak.
 Pedarahan seperti ini mengancam jiwa dan membutuhkan
perawatan segera.
 Gerakan yang berbatas, nyeri atau pembengkakan di sendi
manapun.

I. Komplikasi
1. Inhibitor
Komplikasi utama untuk terapi pemberian faktor pembekuan pada
pasien hemofilia adalah terjadinya neutralizing alloantibody atau
inhibitor antibody spesifik yang dapat menetralisir faktor VIII atau IX
yang telah diberikan. Inhibitor adalah suatu poliklonal antibodi
imunoglobulin (Ig)G dengan afinitas tinggi, yang berfungsi
menghancurkan substansi yang tidak dikenali. Data mengenai
terjadinya proses ini bervariasi hingga 3.6-27%. Faktor resiko untuk

23
terjadinya inihibitor terhadap faktor pembekuan adalah: (1) keparahan
penyakit, (2) pemberian faktor VIII konsentrat pada usia dini, (3) Ras
kulit hitam, dan (4) metode purifikasi faktor VIII yang kurang baik
(Susanto et al, 2016).
Pada penderita hemofilia A, B, atau C, inhibitor langsung melawan
faktor VIII, IX, atau XI selama diberikan terapi pengganti. Pada
kebanyakan kasus, inhibitor ini dapat muncul setelah infus konsentrat
faktor IX pertama ataupun pada pasien yang diberikan konsentrat
dalam dosis yang sesuai. Sayangnya, inhibitor pada hemofilia B dapat
menjadi sangat berat karena dapat disertai reaksi alergi. Rerata insiden
terbentuknya factor inhibitor adalah usia 12 tahun, namun sebagian
besar inhibitor timbul ketika anak masih sangat muda yaitu setelah ±
10 kali menerima infus rekombinan factor VIII, dengan rerata usia 1-2
tahun. Inhibitor dapat timbul antara 10-20 hari pengobatan terhadap
factor VIII, dan menghilang sendiri dalam rerata kurun waktu 9 bulan
pada sekitar 60% penderita, sedangkan sisanya (40%) menetap (Yantie
et al, 2012).
Penanganan penderita hemofilia dengan inhibitor bertujuan untuk
menghilangkan inhibitor, terdiri dari 2 komponen yaitu penanganan
perdarahan akut dan immune tolerance induction. Terapi pengganti
yang bisa diberikan pada perdarahan yang sedang berlangsung antar
lain high purity factor VIII concentrates, konsentrat porcine faktor
VIII, prothrombin complex concentrates (PCCs) dan activated
prothrombin complex concentrates (aPCCs), recombinant human
factor VIIa, terapi immune tolerance induction, dan terapi gen (Yantie
et al, 2012).

2. Pseudomotor
Hemofilia berat menyebabkan pseudotumor, yang bisa berasal dari
jaringan lunak atau pada subperiosteal atau area intraosseus .
Pseudotumor adalah kista berisi darah yang terjadi pada jaringan lunak

24
atau tulang. Terbagi menjadi 3 tipe, yaitu simple cyst, yang berupa
perlekatan tendon dalam fascia otot. Tipe kedua yaitu kista dalam
jaringan lunak tetapi melibatkan pasokan vaskular pada perbatasan
tulang dan periosteum, membentuk formasi kista dan resorpsi tulang.
Tipe ketiga merupakan hasil perdarahan subperiosteal yang membagi
periosteum dengan kortex tulang . Pseudotumor jarang terjadi namun
merupakan komplikasi hemofilia yang berbahaya (Nurshanty et al,
2016).

25
DAFTAR PUSTAKA

G.N, Nikisha., Menezes G.A. 2014. Hemophilia and Its Treatment. International
Journal of Pharmaceutical Science Review and Research, 26 (1) : 277-
283.

Hoffbrand, A V., P A H Moss. 2017. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC,


p322-328.

Kaban, Irfan Kurnia., Muhammad Hamdan, Achmad Firdaus Sani, Hanuk


Badriyah Hidayati, Mohammad Saiful Ardhi.2020. Perdarahan Subdural
Spontan Berulang Akibat Hemofilia A: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal
Aksona, 1(5) : 164-168.

Nurshanty, Ade., Djoko Heri H. 2016. Pseudomotor Hemofilia, Suatu Komplikasi


Hemofilia yang jarang. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29 (2) : 175-178.

Prasetyawaty, Findy., Lugyanti Sukrisman, Bambang Setyohadi, Siti Setiati,


Marcel Prasetyo. 2016. Prediktor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan pada
Pasien Hemofilia Dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 3(3) : 116-124.

Price, Sylvia A ., M, Lorraine. 2015. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1 Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2015. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing, p 2742-2749.

Susanto, Michael., Andree Kurniawan. 2016. Hemofilia. Medicinus, 6(1) : 25-29.

Yantie, Veny K., Ariawati K. 2012. Inhibitor pada Hemofilia. MEDICINA, 43:
31-36.

26

Anda mungkin juga menyukai