Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

“SEORANG LAKI-LAKI 61 TAHUN DENGAN KELUHAN SESAK


NAPAS”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Stase Komprehensif di Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Yusuf Syahputra Siregar
Disusun Oleh :
Vian Aprilya H2A014023P

Kepaniteraan Klinik Stase Komprehensif


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal
2020
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
KOMPREHENSIF

LAPORAN KASUS
“SEORANG LAKI-LAKI 61 TAHUN DENGAN KELUHAN SESAK
NAFAS”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase


Komprehensif
Di Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal

Disusun Oleh:
Vian Aprilya
H2A014023P

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Tanggal : ........................................

Nama pembimbing Tanda Tangan

dr. Yusuf Syahputra Siregar ..............................


BAB 1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah Mycobacterium
tuberculosis. Selain itu terdapat juga Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium canetti, dan Mycobacterium microti. Biasanya
tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central Nervus System,
sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia, tapi sampai saat ini TB
masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993
WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai
masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia
terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosis. Pada tahun 1998 ada 3. 617.047 kasus
TB yang tercatat di seluruh dunia.

Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan


Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000
pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB
sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok
penyakit infeksi. (1)

Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat cukup
tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang bisa
ditimbulkan adalah pneumotoraks. Di mana pnumotoraks yang terjadi adalah
pneumotoraks spontan sekunder.
Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami
komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi
meningkat lebih dari 90%.Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas
dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya
paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pnumotoraks dapat terjadi
spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder.
Primer jika penyebab tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar belakang
penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks traumatik dibagi dua yaitu yang iatrogenik
dan bukan iatrogenik.
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak dan tidak
diketahui. Perbandingan pria dan wanita 5:1. Mekanisme terjadinya pneumotoraks
spontan sekunder adalah akibat peningkatan tekanan alveolar melebihi tekanan
interstisial paru dan menyebabkan udara dari alveolus berpindah ke rongga interstisial
kemudian menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Kemudian udara
akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura sehingga
menimbulkan pneumotoraks.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 61 tahun
Alamat : Weleri kendal
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 27 Januari 2020
No. RM : 00130103
Ruang : IGD

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 27 januari
2020 pukul 13.35 diruang IGD.
1. Keluhan Utama : Sesak Napas
2. Riwayat penyakit sekarang
Tn J datang ke IGD diantar oleh anaknya dengan keluhan sesak
napas. sesak napas sejak 5 hari SMRS, sesak napas dirasakan
semakin memberat. Sesak bertambah saat aktivitas, berkurang
dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan batuk (+) sejak 1
bulan yang lalu, berdahak (+) warna putih kental. Penurunan
berat badan (+), keringat malam (+), penurunan nafsu makan
(+), lemas (+). Nyeri dada (+) Batuk darah (-), demam (-),
BAK (+) lancer, BAB normal Sebelumnya pasien dirawat
selama 4 hari di RSI Muhammadiyah Kendal dengan keluhan
sama, kemudian pulang paksa.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui, ± 1 bulan ini pasien
sering merasakan sesak napas
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat batuk lama : diakui +

4. Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat batuk lama : disangkal

5. Riwayat sosial dan pribadi


a. Riwayat merokok : diakui ± 1 bungkus perhari
b. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
c. Riwayat olah raga : disangkal

6. Riwayat ekonomi
Pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien bekerja
sebagai petani. Pasien berobat dengan menggunakan BPJS. Kesan
ekonomi cukup.
C. ANAMNESIS SISTEM
1. Keluhan utama Sesak Napas
2. Kepala Pusing (-),Sakit kepala (-), jejas (-), leher kaku (-),
rambut rontok (-)
3. Mata penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-/-),
pandangan berputar (-/-), berkunang-kunang (-/-), pucat
pada kelopak mata (-/-), mata tampak kuning (-/-)
4. Hidung pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
5. Telinga pendengaran berkurang (-/-), berdenging (-/-), keluar
cairan (-/-), darah (-/-).
6. Mulut Bibir kering (-), sariawan (-), hiperemis (-), gusi
berdarah (-), mulut kering (-), lidah kotor (-).
7. Leher Pembesaran kelenjar limfe (-),
8. Tenggorokan sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
9. Respirasi sesak nafas (+), batuk (+), sesak nafas saat beraktivitas
ringan (+)
10. Kardiovaskuler nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-)
11. Gastrointestinal mual (-), muntah (-), muntah nyemprot (-),BAB tidak
teratur (+), BAB darah (-), BAB lendir (-), nyeri perut
ulu hati (-), kembung (-), diare (-), nafsu makan
menurun (+), BB turun (-).
12. Muskuloskeletal nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-)
13. Genitourinaria warna urin seperti teh (-), sering kencing malam (-),
BAK (+), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-)
berpasir (-), kencing nanah (-), sulit memulai kencing
(-), anyang-anyangan (-).
14. Ekstremitas atas luka (-/-), kesemutan (-/-), kaku digerakan (-/-) bengkak
(-/-), sakit sendi (-/-) panas (-/-).
15. Ekstremitas luka (-/-), kesemutan (-/-), kaku digerakan (-/-), oedem
bawah (-/-), sakit sendi (-/-), panas (-/-).
16. Neuropsikiatri kejang (-), gelisah (-), mengigau (-), emosi tidak stabil
(-).
17. Integumentum kulit kuning (-), pucat (+), gatal (-), bercak kemerahan
(-), bercak kehitaman (-).

D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 januari 2020 pukul 13.35
wib diruang IGD.
1. Keadaan umum : Tampak Sesak Napas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4M6V5
4. Tanda vital :
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 98x/menit
c. RR : 32x/menit
d. Suhu : 36,4ºC
e. Berat badan : 59 kg
f. Tinggi badan : 155 cm
g. IMT :24,5 (normoweight)
h. Skala nyeri :-
5. Kepala : Bentuk mesocephal
a. Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (±3mm), reflek
cahaya (+/+).
b. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
c. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
d. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
e. Leher
Simetris, trachea ditengah, KGB membesar (-), tiroid membesar
(-), nyeri tekan (-),
6. Thorax
a. Paru
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada AP<L AP<L
Hemithoraks Simetris Simetris
Retraksi ICS + +
Penggunaan otot + +
bantu pernafasan
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra > sinistra Dextra > sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -
3. Perkusi Sonor diseluruh lapang paru Hipersonor diseluruh lapang
paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler ↓
Suara tambahan Ronki (+) Ronki (+)

Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada AP<L AP<L
Hemithoraks Simetris Simetris
Retraksi ICS + +
Penggunaan otot + +
bantu pernafasan
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra > sinistra Dextra > sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -
3. Perkusi Sonor diseluruh lapang paru Hipersonor diseluruh
lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler ↓
Suara tambahan Ronki (+) Ronki (-)
b. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicula
sinistra. Pulsus Epigastrium (-) Pulsus Parasternal (-) Pulsus
Defisit (-) Sternal lift (-) Thrill (-)
3. Perkusi :
 Batas kanan bawah jantung : ICS 5 linea sternalis
dextra
 Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternalis
sinistra
 Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternal
sinistra
 Batas kiri bawah jantung : ICS 5 linea midclavicula
sinistra
4. Auskultasi
 Suara jantung I dan II, reguler
 Murmur (-)
7. Abdomen
a. Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar
b. Auskultasi : Bising usus (+), 24x/menit, succusion spalsh (-)
c. Perkusi : Timpani seluruh regio, pekak sisi (+), pekak alih (-)
Nyeri ketok ginjal (-)
d. Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, tes undulasi (-),

8. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
CRT <2 detik +/+ +/+

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap (27 januari 2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Normal
HEMATOLOGI
Lekosit H 16.050 /mm3 4000-
11000
Eritrosit 5.42 Juta/ul 4,4-6.0
Hemoglobin 15.4 g/dL 13,2-17.0
Hematokrit 43.53 % 40-54
MCV 85,20 fL 80-100
MCH 27,40 Pg 26-34
MCHC 32,20 g/dL 32-36
Trombosit 202 10^3 150-440
RDW 14,00 % 11,5-14,5
MPV 7.6 fl 7.0-11.0

2. Foto Thorax
Hasil pemeriksaan foto thorax PA 27 Januari 2020:

Trakea di tengah. Sistema tulang baik.

Cor : Besar dan bentuk normal


Pulmo : Tampak infiltrat di kedua lapang paru, tampak area hiperlusen
tanpa jaringan parenkim di hemithorax kiri. Sinus costophrenicus kiri
tumpul..
Tampak area lusen di subkutis infra axila kiri.

Kesan: - TB paru dengan pneumothorax kiri

F. RESUME
Tn J datang ke IGD diantar oleh anaknya dengan keluhan sesak napas.
sesak napas sejak 5 hari SMRS, sesak napas dirasakan semakin memberat.
Sesak bertambah saat aktivitas, berkurang dengan istirahat. Pasien juga
mengeluhkan batuk (+) sejak 1 bulan yang lalu, berdahak (+) warna putih
kental. Penurunan berat badan (+), keringat malam (+), penurunan nafsu
makan (+), lemas (+). Nyeri dada (+) Batuk darah (-), demam (-), BAK
(+) lancer, BAB normal Sebelumnya pasien dirawat selama 4 hari di RSI
Muhammadiyah Kendal dengan keluhan sama, kemudian pulang paksa.
Pasien menyangkal keluhan nyeri pinggang yang menjalar ke lipat paha,
dan demam. Pasien mempunyai riwayat penyakit batuk lama, riwayat
hipertensi, riwayat diabetes mellitus disangkal
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 110/70mmHg, nadi
74x/menit, respiration rate 20x/menit, suhu 36,80C per aksiler. Pada
pemeriksaan inspeksi didapatkan pengembangan dada kanan > kiri,
fremitus raba kanan > kiri, untuk perkusi didapatkan hipersonor pada paru
kiri, pada auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler paru kiri menurun,
terdapat suara napas tambahan ronki pada kedau lapang paru.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan foto


thorax PA dengan kesan pneumothorax sinistra et causa TB paru.

G. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
1. Sesak Napas 10. Konjungtiva 16. Leukositosis
2. Batuk 1 bulan anemis H 16.050
3. Berdahak 11. Gerakan asimetris 17. Foto thorax PA
4. Nyeri dada rongga dada kiri kesan Pnemothorax
5. Berat badan tertinggal sinistra et causa Tb
turun 12. Vocal fremitus
6. Napsu makan kiri menurun
menurun 13. Lapang paru kiri
7. Keringat hipersonor
dingin malam 14. Suara dasar
hari vesikuler
8. Riwayat menurun pada
merokok paru kiri
9. Riwayat batuk 15. Terdapat suara
lama tambahan ronki
pada kedua paru

H. DAFTAR MASALAH
1. DIAGNOSIS KLINIS
Pneumothorax spontan sekunder Sinistra ec TB paru.
2. DIAGNOSIS BANDING
a. PPOK
b. Bronkietasis
c. Kanker paru

I. TERAPI
1. Pemasangan WSD cito di IBS
2. O2 3 lpm
3. Posisi semiflower
4. Infus RL 20 tpm
5. Injeksi Ketorolac 30mg/12 jam
6. R/ H/ Z/ E 450/ 300/ 1000/ 1000
J. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

K. PROGRES NOTE
Tanggal Follow up
28 januari 2020 S Pasien mengatakan Sesak napas
berkurang
O KU: tampak sesak
Kesadaran compos mentis
TD: 120/80 mmHg
N: 84x/menit
RR: 25x/menit
Suhu: 36,4ºC
Tho : sim, ret +/-
P : ves/ves menurun, rh+/+(basal), wh-/-
C : S1S2 tunggal, murmur-, gallop-
Abd : distended, soepel, met-, BU+ N,
nyeri tekan -
Ext : a-/i-/e-, akral HKM, CRT < 2’’
A Pneumothorax spontan skunder sinistra
etcausa TB paru
P Monitoring KU, TTV
WSD
29 januari 2020 S Pasien mengatakan Sesak napas
berkurang
O KU: tampak sesak
Kesadaran compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 87x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36,5 ºC
Tho : sim, ret +/-
P : ves/ves menurun, rh+/+(basal), wh-/-
C : S1S2 tunggal, murmur-, gallop-
Abd : distended, soepel, met-, BU+ N,
nyeri tekan -
Ext : a-/i-/e-, akral HKM, CRT < 2’’
A Pneumothorax spontan skunder sinistra
etcausa TB paru
P Monitoring KU, TTV, WSD
29 januari 2020 S Pasien mengatakan sesak napas
berkurang
O KU: tampak sesak
Kesadaran compos mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 87x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36,5 ºC
Tho : sim, ret +/-
P : ves/ves menurun, rh+/+(basal), wh-/-
C : S1S2 tunggal, murmur-, gallop-
Abd : distended, soepel, met-, BU+ N,
nyeri tekan -
Ext : a-/i-/e-, akral HKM, CRT < 2’’
A Pneumothorax spontan skunder sinistra
etcausa TB paru
P Monitoring KU, TTV, kepatuhan minum
obat
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERKULOSIS
1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex 1.
2. Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
TB sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun
2009 adalah:
 Insidens kasus : 9,4 juta (8,9-9,9 juta)
 Prevalens kasus : 14 juta (12-16 juta)
 Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2-1,5 juta)
 Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32-0,45 juta) (PDPI, 2011).
Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%)
dan regio Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV
positif, dan 80% kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun 2009,
diperkirakan kasus TB multidrug-resistant (MDR) sebanyak 250.000 kasus
(230.000-270.000 kasus), tetapi hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah
terkonfirmasi. Dari hasil data WHO tahun 2009, lima negara dengan insidens
kasus terbanyak yaitu India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan
(0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37-0,55 juta) dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India
menyumbangkan kira-kira seperlima dari seluruh jumlah kasus didunia
(21%). 1

3. Etiologi
Proses terjadinya infeksi M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga
TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ
lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA. 2

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 μm dan tebal 0,3-0,6 μm.
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan,
dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap
asam (asam alkohol) sehinga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan dia juga
lebih tahan tehadap gangguan kimia dan fisis. Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi
dan menjadikan penyakit TB menjadi aktif lagi. 3

4. Patogenesis
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul
di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3) Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, adrenal, genitalia dan sebagainya. 1

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan


cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kavitas sklerotik). 1

5. Klasifikasi TB
a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
1) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak/BTA
Tuberkulosis paru dibagi atas:
a) Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
b) Tuberkulosis paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif.
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. tuberculosis positif.
2) Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan.
b) Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif.
c) Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d) Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan). Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan.
e) Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan
yang baik.
f) Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2011).

b. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak,
perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin dan lain-lain. 1
Tuberkulosis ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
1) TB ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin.4
6. Diagnosis TB
a) Gejala Klinis
1) Gejala respiratorik
Gejala respiratorik berupa batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas,
dan nyeri dada ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
2) Gejala sistemik
Gejala sistemik lain berupa demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun.
3) Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis TB akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB terdapat gejala
sesak napas dan terkadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan. 1

b) Pemeriksaan Fisik/Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat 1

c) Pemeriksaan Bakteriologik
 Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
 Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap
pagi 3 hari berturut-turut.
 Cara pemeriksaan dahak
Pemeriksaan mikroskopik:
 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
 Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
 lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif →
BTA positif
 bila 3 kali negatif → BTA negatif

d) Pemeriksaan biakan kuman:


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara:
1) Egg-based media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
2) Agar-based media : Middle brook
e) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah 5:
1) Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
2) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
3) Bayangan bercak milier
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif

1) Fibrotik
2) Kalsifikasi
3) Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung)

1) Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang


berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
2) Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit.1
7. Pengobatan TB
a) Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO,
melaksanakan suatu evaluasi bersama bernama WHO-Indonesia Joint
Evaluation yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan
perubahan mendasar pada strategi penanggulan TB di Indonesia yang
kemudian disebut “STRATEGI DOTS”.6
Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan
obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).6
Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus
berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah
resistensi.6 DOTS mengandung lima komponen, yaitu:
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana
2) Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3) Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO)
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB. 7
Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan dalam program pengobatan
TB jangka pendek adalah: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S) dan Ethambutol (E). Oleh karena itu penggunaan
Rifampisin dan Streptomisin untuk penyakit lain hendaknya dihindari
untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus
didahului oleh pemastian diagnosis melalui pemeriksaan radiologik, dan
laboratorium terhadap adanya BTA pada sampel sputum penderita. 8

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3


bulan) dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan (4-7 bulan) pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih
lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan. 8

b) Jenis, Sifat, dan Dosis OAT


Jenis OAT Sifat Dosis yang Dosis (mg)/ berat badan
direkomendasikan (kg)/ hari
(mg/kgBB)

Harian 3x <40 40-60 >60


seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12) 300 300 300

Rifampisin Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12) 300 450 600


(R)

Pyrazinamide Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40) 750 1000 1500


(Z)

Streptomycin Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18) Sesuai 750 1000


(S) BB

Ethambutol Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35) 750 1000 1500


(E)

Tabel 1.Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

8. Drug Induced Hepatitis (DIH)


DIH merupakan kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik. Tatalaksana hepatitis imbas obat tergantung pada:
 Fase pengobatan TB (tahap awal atau lanjutan)
 Beratnya gangguan hepar
 Beatnya penyakit TB
 Kemampuan atau kapasitas pelayanan kesehatan dalam tatalaksana efek
samping akibat OAT
 Penatalaksanaan
 Bila klinis (+) yaitu (ikterik [+], gejala mual, muntah [+])  OAT stop
 Bila gejala (+), dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali  OAT stop
 Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2  OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 5 kali  OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 kali  teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Pengobatan TB dihentikan menunggu sampai fungsi hepar kembali


normal dan gejala klinik (mual dan muntah) menghilang maka OAT dapat
diberikan kembali. Apabila tidak dimungkinkan untuk melakukan tes fungsi
hepar maka sebaiknya menunggu 2 minggu lagi setelah kuning atau jaundice
dan nyeri/tegang perut menghilang sebelum diberikan OAT kembali.

Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi maka OAT dapat dicoba satu
persatu. Pemberian obat sebaiknya dimuali dnegan rifampisin yang jarang
menyebabkan hepatotoksik dibandingkan isoniazid atau pirazinamid. Setelah
3-7 hari baru isoniazid diberikan. Pasien dengan riwayat jaundice tetapi dapat
menerima rifampisin dan isoniazid sebaiknya tidak lagi diberikan pirazinamid.

Jika terjadi hepatitis pada fase lanjutan dan hepatitis sudah teratasi maka
OAT dapat diberikan kembali (isoniazid dan rifampisin) untuk menyelesaikan
fase lanjutan selama 4 bulan.

9. International Standar For Tuberculosis Care (ISTC)


International standar for tuberculosis care (ISTC) merupakan standar
yang melengkapi guideline program penanggulangan TB nasional yang
konsisten dengan rekomendasi WHO. ISTC edisi pertama dikeluarkan pada
tahun 2006 dan pada 2009 direvisi. ISTC terdiri dari;
1. Standar diagnosis (standar 1-6)
2. Standar pengobatan (standar 7-13)
3. Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid
lain (standar 14-17)
4. Standar kesehatan masyarakat (standar 18-21)
Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap
menjadi hal utama. Selain itu juga tanggung jawab penyedia pelayanan
kesehatan untuk menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh. Seperti
halnya pada edisi sebelumnya, edisi 2009 ini tetap konsisten berdasarkan
rekomendasi internasional dan dimaksudkan untuk melengkapi bukan untuk
menggantikan rekomendasi lokal atau nasional. 1

B. PNEUMOTHORAX

Pneumothoraks merupakan suatu keadaan gawat darurat dalam dunia


kedokteran serta harus memperoleh pertolongan secepatnya. Pneumothoraks
merupakan suatu keadaan dimana terdapat udara bebas dalam rongga pleura. Adanya
udara bebas dalam rongga pleura dapat menyebabkan terjadinya kolaps paru Di
Amerika, jumlah kejadian kasus pneumothoraks spontan primer (PSP) pada laki-laki
yaitu sebesar 7,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya, sedangkan pada wanita
sebesar 1,2 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Jumlah kejadian kasus
pneumothoraks spontan sekunder (PSS) pada laki-laki yaitu sebesar 6,3 kasus per
100.000 penduduk tiap tahunnya, sedangkan pada wanita sebesar 2,0 kasus per
100.000 penduduk tiap tahunnya (Rebecca et al, 2009).

Di dalam praktek sehari-hari, dokter sering menerimapenderita dengan


keluhan sakitdada, sesak nafas, dan batuk. Banyak penyakityang dapat menimbulkan
keluhan diatas, baik penyakit jantung maupun penyakit paru. Penyakitparuyang
mempunyai keluhan utama seperti itu antara lainpneumothoraks.Pneumothoraks,
terutama pneumotoraks ventil dapat menimbulkan darurat gawat, bahkan dapat
mengakibatkan penderita meninggal dunia. Oleh karena itu, bilamanadi dalampraktek
dokter menerima penderita dengan keluhan utamasakitdada, sesak nafas, dan batuk,
perlu memikirkan ke arahdiagnosis pneumotoraks ventil.Dengandiagnosis yang tepat
dan dengan tindakan yangsederhana tapi cepat, dokter dapat membantu
menyelamatkan nyawapenderita (Amirrullah, 2009).

1. Epidemiologi
Di Amerika, jumlah kejadian kasus pneumothoraks spontan primer (PSP) pada
laki-laki yaitu sebesar 7,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya, sedangkan
pada wanita sebesar 1,2 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Jumlah
kejadian kasus pneumothoraks spontan sekunder (PSS) pada laki-laki yaitu
sebesar 6,3 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya, sedangkan pada wanita
sebesar 2,0 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya (Rebecca et al, 2009).
Pneumothoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar
40 tahun. Laki-laki lebih sering dari pada wanita. Pneumotoraks sering dijumpai
pada musim penyakit batuk.
Gambar 1. Pneumothoraks

2. Klasifikasi
a. Berdasarkan terjadinya, pneumothoraks dibagi menjadi :
1) Pneumothoraks artifisial
Pneumotoraks artifisial adalah pneumothoraks yang disebabkan oleh
tindakan tertentu atau memang disengaja untuk tujuan tertentu.
Misalnya pada terapi kolaps, sering dilakukan untuk tuberkulosis paru
yang mengalami batuk darah dengan tujuan untuk menghentikan
perdarahan.
2) Pneumothoraks traumatik
Pneumothoraks yang disebabkan oleh trauma atau jejas yang
mengenai dada. Misalnya : peluru yang menembus dada, trauma
tumpul pada dada, atau ledakan yang menyebabkan peningkatan
tekanan udara pada dada yang mendadak dan menyebabkan tekanan
dalam paru meningkat.
3) Pneumothoraks spontan
Pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa atau dengan adanya
penyakit paru yang mendasarinya. Dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

a) Pneumothoraks Spontan Primer


Terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari. Keadaan
ini terjadi karena robeknya kantong udara dekat pleura viseralis,
kadang ditemukan blep atau bulla di lobus superior paru.
Umumnya terjadi pada dewasa muda, sering pada usia 20-40
tahun, pria > wanita, tidak ada riwayat menderita penyakit paru
sebelumnya, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik tetapi pada
saat istirahat dan penyebabnya tidak diketahui.

b) Pneumothoraks Spontan Sekunder


Pneumothoraks spontan sekunder merupakan bagian dari
pneumothoraks yang terjadi karena adanya penyakit parenkim paru
atau saluran pernafasan yang mendasari, misalnya :
(1) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
(2) Fokus TB Kaseosa
(3) Asma Bronkhial
(4) Blep emfisema
(5) Ca primer paru/ metastase
(6) Pneumonia
Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada
pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder terdapat
penyakit paru yang sebelumnya mendahuluinya.
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara dan cairan di
dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan paru. Cairan ini bisa
juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini di namakan dengan
piopneumotoraks1,2. Piopneumotoraks diakibatkan oleh infeksi, yang mana
infeksinya ini berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan
septik jaringan paru atau esofagus ke arah rongga pleura. Kebanyakan adalah dari
robekan abses subpleura dan sering membuat fistula bronkopleura. Jenis kuman yang
sering terdapat adalah Stafilokokus aureus, Klebsiela,mikobakterium tuberkulosis dan
lain-lain. Etiologi piopneumotoraks biasanya berasal dari paru seperti pneumonia,
abses paru, adanya fistula bronkopleura, bronkiektasis, tuberkulosis paru,
aktinomikosis paru, dan dari luar paru seperti trauma toraks, pembedahan toraks,
torakosentesis pada efusi pleura, abses sub phrenik dan abses hati amuba. Patofisologi
dari empiema itu sendiri yaitu akibat invasi kuman piogenik ke pleura. Hal ini
menyebabkan timbuk keradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat
seros. Dengan bertambahnya sel-sel PMN, baik yang hidup ataupun yang mati dan
peningkatan kadar protein didalam cairan pleura, maka cairan pleura menjadi keruh
dan kental. Endapan fibrin akan membentuk kantung-kantung yang akhirnya akan
melokalisasi nanah tersebut. Pencatatan tentang insiden dan prevalensi
hidropneumothorak belum ada dilkakukan, namun insiden dan prevalensi
pneumotoraks berkisar antara 2,4 - 17,8 per 100.000 penduduk per tahun. Menurut
Barrie dkk, seks ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan 5:1. Ada pula
peneliti yang mendapatkan 8:1

b. Berdasarkan lokalisasinya, pneumothoraks dibagi menjadi :


1) Pneumothoraks parietalis
2) Pneumothoraks medialis
3) Pneumothoraks basalis
c. Berdasarkan jenis fistelnya, pneumothoraks dibagi menjadi :
1) Pneumothoraks terbuka
Yaitu suatu pneumothoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar.
2) Pneumothoraks tertutup
Yaitu suatu pneumothoraks dimana rongga pleura tertutup sehingga
tidak ada hubungan dengan dunia luar. Udara yang berada dalam
rongga pleura tidak mempunyai hubungan dengan udara luar.
3) Pneumothoraks ventil
Yaitu pneumothoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi, udara masuk melalui
trakhea, bronkus dan percabangannya, dan selanjutnya terus menuju
rongga pleura melalui fistel yang terbuka. Pada waktu ekspirasi, udara
di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam
rongga pleura makin lama makin tinggi.
d. Berdasarkan derajat kolapsnya, pneumothoraks dibagi menjadi :
1) Pneumothoraks totalis
2) Pneumothoraks parsialis
3. Patogenesis
akibat :
a. Robeknya pleura viseralis, udara masuk, tekanan cavum pleura negatif
menyebabkan pneumothoraks tertutup.
b. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis, udara masuk kedalam
cavum pleura “sucking wound” menyebabkan pneumotoraks terbuka.
c. Bila kebocoran pleura bersifat ventil, udara masuk saat inspirasi dan tidak
dapat keluar saat ekspirasi disebut tension pneumothoraks yang akan
menyebabkan kolaps paru dan terdorongnya isis rongga dada ke sisi sehat,
mengganggu aliran darah, sehingga terjadi shock non hemoragik.
d. Udara bias masuk ke bawah kulit menyebabkan emfisema cutis.
e. Udara masuk ke mediastinum disebut emfisema mediastinal.
Konsep dasar terjadinya pneumothoraks dibagi atas :
a. Penyakit yang menghasilkan kenaikan tekanan intrapulmoner
b. Penyakit ynag menyebabkan menebal atau menipisnya dinding kista
c. Penyakit yang menyebabkan rusaknya parenkim paru

4. Diagnosis
a. Anamnesis
Untuk mencari tahu kejadian atau penyakit yang mendasari terjadinya
pneumothorax, seperti adakah trauma sebelumnya yang menyebabkan
luka pada dada, seperti pasca kecelakaan, bekas tusukan atau luka tembak,
patah tulang iga, ataupun apakah ada riwayat penyakit paru seperti PPOK
atau Tuberkulosis sebelumnya.

Selain itu, juga tanyakan tentang gejala klinis dan keluhan yang
muncul pada pasien yang diduga mengalami pneumothorax. Gejala klinis
yang dapat timbul antara lain :

1) Nyeri dada yang tajam pada sisi paru yang terkena, menjalar ke bahu
ipsilatral dan akan bertambah nyeri bila pasien bernafas dalam ataupun
batuk.
2) Sesak nafas, yang semakin berat bila semakin luas pneumothorax-nya.
3) Batuk kering
4) Nafas cepat dan pendek, dapat terjadi asidosis respiratorik
5) Detak jantung cepat
6) Mudah lelah
7) Kulit menjadi kebiruan (sianosis) karena penurunan kadar oksigen
dalam darah
8) Hipotensi
9) Penurunan kesadaran
10) Emfisema subkutan, bila terjadi pneumothorax terbuka. Ditandai
adanya suara seperti kaca pecah pada kulit yang ditekan.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
a) Bekeringat
b) Dinding dada ada yang tertinggal, untuk mengurangi sakit pada
pleura (splinting chest wall to relieve pleuritic pain)
c) Sianosis
2) Leher : pada tension pneumothorax, terjadi peningkatan JVP
3) Vital sign
a) Takipneu
b) Takikardi : sering ditemukan pada pasien pneumothorax, pada
tension pneumothorax biasanya lebih dari 135 kali per menit
c) Pulsus paradoksus
d) Hipotensi : karena penurunan preload jantung dan cardiac output,
dimana terjadi penekanan pada v.cava inferior pada pergeseran
mediastinum yang jauh dari lokasi cidera.
4) Pulmo
a) Inspeksi : Pengembangan dada yang asimetris, adanya pergeseran
mediastinum dan trakhea ke arah kontralateral dari peneumothorax
b) Palpasi : Penurunan fremitus
c) Perkusi : Hiperesonansi paru atau hipersonor
d) Auskultasi : Menurun sampai hilangnya suara dasar vesikuler paru
5) Neurologis : penurunan status mental, gelisah, cemas
6) Volume Paru : adanya penurunan volume tidal, karena ukuran paru
yang mengecil akibat kolaps.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Analisa Gas Darah : digunakan untuk mengukur kadar oksigen dalam
arteri. Pada pneumothorax dapat terjadi :

a) Hipoksemia, terjadi dengan peningkatan tekanan gradien oksigen


alveolar-arterial
b) Hipoksemia yang lebih berat yaitu pada pneumothorax spontan
sekunder
2) Pemeriksaan Foto Rontgen
a) Thoraks Postero-Anterior (PA)
Pemeriksaan foto rontgen thoraks merupakan penunjang diagnosis
yang utama selain pemeriksaan fisik. Selain itu pemeriksaan ini
mudah dilakukan, sederhana, cepat dan non invasif. Foto ontgen
thorax juga dapat mengetahui apakah ada udara diluar paru-paru,
misalnya emfisema subkutis.
Keterangan :

( ) : Tampak pleura visceralis sangat jelas, dengan daerah avaskuler


diluar garis pleura.
Gambar 2. Hasil foto rontgen pasien pneumothorax pada
hemithoraks kiri atas.

Gambaran foto rontgen pada pneumothoraks :

- Bayangan linier dari pleura visceralis


- Muncul gambaran lusent diantara ruang pleura, dimana tidak ada
tanda vaskularisasi paru
- Paru kolaps ke arah hilus
- Mungkin juga dapat terlihat pergeseran mediastinum ke paru
kontralateral
- Kadang terdapat efusi pleura minimal bila terjadi perluasan
pneumothorax
- Perlu diperhatikan, bila ada gambaran lipatan kulit dan scapula,
karena dapat menyerupai gambaran garis pleura viscelaris pada
pneumothoraks.
b) Left Lateral Decubitus (LLD)
Dapat digunakan bila pada foto thoraks AP kurang jelas
didapatkan gambaran pneumothoraks.

3) CT Scan

Keterangan :

( ) : Dapat dilihat adanya udara memenuhi ruang pleura

( ) : Terlihat gambaran selang

Gambar 3.CT scan menunjukkan adanya penumothorax pada

paru kiri.
Penggunaan CT scan dapat membantu untuk mengetahui :

a) Beda antara bulla yang besar dan pneumothorax


b) Adanya udara di luar paru secara lebih jelas
c) Ukuran tepat seberapa besar dari pneumothorax
d) Adanya penyakit paru lain karena CT scan dapat
memvisualisasikan detail parenkim paru dan pleura.
4) Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi memiliki sensitivitas tinggi (95,65%), spesifisitas
(100%), dan efektivitas diagnostik (98,91%) untuk pneumothoraks
bila menggunakan CT sebagai kriteria standar.

Baru-baru ini, USG telah ditunjukkan untuk menjadi lebih sensitif


daripada anteroposterior x-ray untuk deteksi pneumotoraks. Hal ini
penting dalam evaluasi awal pasien ini, ketika postero-anterior dan
lateral studi x-ray tidak dapat diperoleh karena kondisi klinis pasien.

Ultrasonografi tidak dapat digunakan untuk membedakan antara


PPOK yang juga terdapat bleb dengan pneumothoraks.

d. Diagnosis banding
1) Spasme esophagus
2) Iskemia miokardial
3) Perikarditis akut
4) Pleurodynia
5) Emboli pulmonal
e. Komplikasi
1) Pneumothoraks tension terjadi pada 3-5% pasien pneumothoraks, dapat
mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumothoraks, hidro-
pneumothoraks, hemo-pneumothoraks, henti jantung paru dan kematian.
2) Pneumothoraks spontan dapat mengakibatkan pneumo-mediastinum dan
emfisema subkutan, biasanya karena pecahnya esofagus atau bronkus,
insidensinya sekitar 1%.
3) Pneumothoraks simultan bilateral, insidensinya 2%.
4) Pneumothoraks kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan,
insidensinya 5%.
5) Piopneumothoraks
6) Hematopneumothoraks
7) Atelektasis
8) Acute Respiratory Disease (ARDs)
9) Infeksi
10) Edema pulmonum
11) Emboli paru
12) Efusi pleura
13) Empyema
14) Emfisema subcutis
15) Penebalan pleura

f. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Trauma Thoraks
Prinsip penatalaksanaan trauma thoraks mengikuti prinsip
penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary
survey). Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan
terapi secara konsekutif (berturutan).
Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila
pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination,
portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan
memindahkan pasien dari ruang emergency.
Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi
terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan
melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan
bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
(1) PrimarySurvey
Airway
Assessment :
- Perhatikan patensi airway
- Dengar suara napas
- Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding
dada
Management :
- Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift
dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
- Reposisi kepala, pasang collar-neck lakukan cricothyroidotomy
atau tracheostomi atau intubasi (oral / nasal)
Breathing
Assesment :
- Periksa frekuensi napas
- Perhatikan gerakan respirasi
- Palpasi toraks
- Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
- Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
- Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension
pneumotorax,open pneumothorax, hematothorax, flail chest
Circulation
Assesment
- Periksa frekuensi denyut jantung dan denyut nadi
- Periksa tekanan darah
- Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management
- Resusitasi cairan dengan memasang 2 jalur atau 2 i.v. lines
- Thorakotomi emergency bila diperlukan
- Operasi Eksplorasi vaskular emergency

2) Tindakan Bedah Emergency


a) Krikotiroidotomi
b) Trakheostomi
c) Tube Thorakostomi
d) Thorakotomi
e) Eksplorasi vaskular

3) Penatalaksanaan Pneumothoraks (Umum)


Tindakan dekompressi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan
udara luar, ada beberapa cara :
a) Menusukkan jarum melalui diding dada sampai masuk kerongga
pleura , sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum
tersebut.
b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu
dengan :
(1) Jarum infus set ditusukkan kedinding dada sampai masuk
kerongga pleura.
(2) Abbocath : jarum Abbocath no. 14 ditusukkan kerongga pleura dan
setelah mandrin dicabut, dihubungkan dengan infus set.
(3) Water Sealed Drainage (WSD)
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari
cavum pleura ( rongga pleura)
Tujuan WSD yaitu mengalirkan / drainage udara atau cairan dari
rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga
tersebut.
Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif
dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
 Indikasi Pemasangan WSD:
- Hemotoraks
- efusi pleura
- Pneumotoraks ( > 25 % )
- Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
- Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
 Kontra indikasi pemasangan WSD :
- Infeksi pada tempat pemasangan
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
 Cara pemasangan WSD
- Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV
dan V, di linea aksillaris anterior dan media.
- Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah
ditentukan.
- Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga,
perdalam sampai muskulus interkostalis.
- Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian
dilebarkan. Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk
memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru.
- Masukkan selang (chest tube) melalui lubang yang telah
dibuat dengan menggunakan Kelly forceps
- Selang (chest tube) yang telah terpasang, difiksasi dengan
jahitan ke dinding dada
- Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah
disiapkan.
- Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah
dimasukkan.
 Beberapa Macam WSD :
- WSD dengan satu botol
Merupakan sistem drainage yang sangat sederhana, Botol
berfungsi selain sebagai water seal juga berfungsi sebagai
botol penampung.Drainage berdasarkan adanya grafitasi.
Umumnya digunakan pada pneumothoraks.
- WSD dengan dua botol
Botol pertama sebagai penampung / drainase. Botol kedua
sebagai water seal. Keuntungannya adalah water seal tetap
pada satu level. Dapat dihubungkan sengan suction control
- WSD dengan 3 botol
Botol pertama sebagai penampung / drainase. Botol kedua
sebagai water seal. Botol ke tiga sebagai suction control,
tekanan dikontrol dengan manometer.
Gambar 4. water seal drainage (WSD)

4) Penatalaksanaan Pneumothoraks (Spesifik)


a) Pneumothoraks Simpel Adalah pneumothoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra thoraks yang progresif.
Ciri:
- Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
- Tidak ada mediastinal shift
- Pemeriksaan fisik : bunyi napas ↓ , hypersonor (perkusi),
pengembangan dada ↓
Penatalaksanaan: WSD
b) Pneumothoraks Tension Adalah pneumothoraks yang disertai
peningkatan tekanan intra thoraks yang semakin lama semakin
bertambah (progresif). Pada pneumothoraks tension ditemukan
mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar).
Ciri:
- Terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga terjadi :
kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke
kontralateral), deviasi trakhea , venous return ↓ → hipotensi &
respiratory distress berat.
- Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis
- Merupakan keadaan life-threatening tidak perlu foto rontgen

Penatalaksanaan:
- Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea
mid-klavikula)
- WSD
c) Pneumothoraks terbuka (open pneumothorax) Terjadi karena luka
terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan
masuk rongga intra thoraks dengan mudah. Tekanan intra thoraks akan
sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound
Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
- Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme
ventil)
- Pasang WSD dahulu baru tutup luka
- Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ
intra thoraks lain
- Umumnya disertai dengan perdarahan (hematothoraks)
g. Prognosis
1) Pneumothoraks spontan primer memiliki angka rekurensi sebanyak 30%,
yang paling banyak timbul pada 6 bulan sampai 2 tahun setelah episode
pertama.
2) Adanya kelainan pulmoner fibrosis yang ditemukan pada pemeriksaan
radiologis, habitus astenikus, riwayat merokok, dan usia muda dilaporkan
menjadi faktor resiko timbulnya kekambuhan pneumothoraks.
3) Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-
pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi.
Pasien pneumothoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang
mendasarinya, misalnya pada pasien pneumothoraks spontan sekunder dengan
PPOK harus lebih hati-hati karena sangat berbahaya
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. 2011. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta : PDPI.
2. Tim Kelompok Kerja Tuberkulosis. Tuberkulosis : pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011.
3. Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad Z,
Anwar J. Naskah Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan
IV Ilmu Penyakit Dalam, Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI, hlm: 95-119.
4. Alsagaff, H. (eds). 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Bagian Ilmu
Penyakit Paru FK Unair-RSU Dr. Soetomo, hlm: 18-19
5. Amin Z, Bahar S. 2007. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI .
hlm: 988-1000.
6. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit: Tuberkulosis Paru. EGC. hlm: 852-823.
7. Taha M, Deribew A, Tessema F, Assegid S, Duchateau L, Colebunders R. 2011.
Risk factors of active tuberculosis in people living with HIV/Aids in Southwest
Ethiopia : A case control study. Ethiop J Health Sci. 21(2): 131-138
8. Wilson, Lorraine M.2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernafasan
dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6.
eds. Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P., dan Mahanani D.A. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. pp: 773-776

Anda mungkin juga menyukai