Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

PENYAKIT JANTUNG TIROID


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan kepada :
dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP

Disusun oleh :
Bimantara Lesmana (20204010035)

KSM ILMU PENYAKIT DALAM PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI


DOKTER RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2020/2021
HALAMAN PENGESAHAN
PENYAKIT JANTUNG TIROID

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Panembahan Senopati
Bantul

Disusun Oleh:
Bimantara Lesmana (20204010035)

Telah disetujui dan dipresentasikan pada


Oleh:

Dokter Pembimbing

dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji penulis persembahkan kepada


Allah SWT atas segala nikmat, petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pesentasi kasus ini yang
diberi judul “Penyakit Jantung Tiroid” Shalawat serta salam untuk junjungan
alam Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Presentasi kasus ini selain disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mengikuti ujian akhir di bagian Ilmu Penyakit Dalam Stase Jantung,
dan juga untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyakit
menular dan tidak menular.

Penulis menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan


sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan. Dalam kesempatan yang sangat
baik ini, perkenankanlah penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih
kepada:

1. Allah SWT, telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga


sehingga mampu menyelesaikan Presentasi Kasus ini dengan baik.
2. dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP selaku dokter pembimbing dalam
menyelesaikan presentasi kasus ini.
3. Teman-teman ko-asistensi seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati
Bantul.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Bantul, 30 Maret 2021

Bimantara Lesmana
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Tiroid atau Thyroid Heart Disease adalah suatu kelainan
pada jantung yang disebabkan oleh hormon tiroid. Penyakit tiroid yang sering
beriringan dengan penyakit jantung adalah hipertiroidisme. Hal ini disebabkan karena
sirkulasi free thyroxine yang tinggi pada darah sehingga dapat menimbulkan resiko
kardioaritmia (Selmer et al, 2012).
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sebesar 70%
kematian yang terjadi di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM). Angka
70% ini mencakup 39,5 juta kematian dari total 56,4 juta kematian. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) ini mencakup 45%
kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Hal ini berarti ada 17,7 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dari total 39,5 juta kematian yang
ada di seluruh dunia. Sementara itu, pengidap penyakit jantung di Indonesia masih
tergolong banyak. Ada sekitar 1,5% prevalensi penyakit jantung di Indonesia dan
menjadikan penyakit jantung sebagai prevalensi penyakit tertinggi di Indonesia. Ada
pula provinsi yang memiliki tingkat prevalensi penyakit jantung tinggi di Indonesia,
diantaranya: Kalimantan Utara sebesar 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta 2%, dan
Gorontalo 2% (KEMENKES, 2019).
Penyakit kelenjar tiroid merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM)
yang sering ditemukan di masyarakat. Jenis penyakit tiroid yang sering ditemukan
pada masyarakat sendiri ialah hipertiroid. Hipertiroid merupakan penyakit hormonal
terbanyak kedua di Indonesia setelah diabetes mellitus (RISKESDAS, 2013).
Hubungan antara penyakit jantung dengan penyakit tiroid (hipertiroid) adalah
menurunnya kualitas hidup seseorang dan dapat menyebabkan kardioaritmia, yaitu
atrial fibrillation (Bahn et al., 2011).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

No.RM : 26-58-53
Nama : Ny. H
Tanggal Lahir : 4 Januari 1982
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Rendeng Wetan RT 001, Timbulharjo, Sewon, Bantul
No. HP : 0895 3905 22481
Gol. Darah :B
WNA : Indonesia

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Pasien datang ke RS mengeluhkan sesak nafas

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk Bangsal Cempaka pada tanggal 16 Maret 2021 pada pukul 11.25
WIB dengan DPJP dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP. Pasien mengeluhkan
kakinya membengkak dan sudah dirasakan sejak dua minggu sebelum masuk
rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik, jantung pasien didapatkan pembesaran
cor dan ekstremitas tampak edema. Tanda vital pasien didapatkan Tekanan
Darah 100/60 mmHg, Nadi 80 kali permenit, Pernafasan 20 kali permenit,
Suhu 36 derajat Celcius, dan SpO2 98%.

 Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien memiliki riwayat hipertiroid sejak satu tahun yang lalu dan
mengalami penurunan berat badan.
 Riwayat penyakit infeksi saluran kemih sekitar 7 tahun yang lalu
 Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat penyakit keganasan disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit diabetes mellitus pada ibu pasien dan nenek pasien
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat penyakit keganasan disangkal
 Riwayat penyakit metabolisme (tiroid) disangkal

 Riwayat Personal Sosial


 Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang bekerja dengan
berjualan di warung
 Pasien memiliki riwayat bekerja dengan intensitas berat (lembur)
sewaktu muda
 Pasien memiliki riwayat bekerja dengan paparan debu yang tinggi
 Pasien tidak merokok
 Pasien tidak mengonsumsi alkohol
 Pasien mengonsumsi kopi

 Riwayat Pengobatan
Pasien memiliki riwayat pengobatan tiroid, namun tidak menyebutkan
obat yang dikonsumsi.

C. ANAMNESIS SISTEM
 Sistem Neurologis
 GCS 15 (motorik 6, verbal 5, mata 4) compos mentis, reflek cahaya (+),
Tidak ada kejang, demam (-)
 Sistem Pernafasan
 Nafas spontan, pernafasan dada, nafas cuping hidung tidak ada, retraksi
tidak ada, perkusi sonor, ekspansi simetris, auskultasi vesikuler.
 Sistem Kardiovaskuler
 Bunyi jantung abnormal, S1/S2 tidak reguler, terdapat bising jantung (+)
 Sistem Muskuloskeletal
 Postur tubuh normal, berjalan normal, gerakan ekstremitas aktif, tidak ada
kontraktur, terdapat edema pada kedua kaki (+), edema bersifat pitting.
 Sistem Integumentum
 Warna normal, Lesi (-)
 Sistem Gastrointestinal
 Konsistensi lunak, warna kekuningan, kembung (-), distensi (-),
splenomegali (-), hepatomegali (-), tidak ada muntah.
 Sistem Perkemihan
 BAK dirasakan sakit, BAK menggunakan DC (+)

KESAN : Terdapat masalah pada sistem kardiovaskular, muskuloskeletal (ekstremitas),


dan perkemihan.

D. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum
Sedang, Compos Mentis
 Kepala
Mata : Konjungtiva Anemis(-), Sklera Ikterik(-)
Mulut : Mukosa Kering, Lidah Bersih
Hidung : Pernafasan Cuping Hidung (-)
Telinga : Daun Telinga Simetris, Nyeri (-)
 Leher
Tidak Ada Pembesaran KGB(-), Benjolan di Leher (+), Kaku Kuduk(-)
 Thorax
Simetris (+), Retraksi (-)
Paru
Inspeksi : Simetris, Ketinggalan gerak (-), Retraksi (-)
Palpasi : Simetris, fokal fremitus raba kanan = raba kiri, Nyeri (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh kedua lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tampak
Palpasi : Iktus kordis kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan membesar
Auskultasi : S1/S2 ireguler, Bising Jantung (+)

 Abdomen
Inspeksi : Sejajar dengan dada, tanda peradangan (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+), Normal
Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (-)
Palpasi : Supel (+), Nyeri Tekan (-), Turgor Kulit Baik

 Ekstremitas:
Superior : Akral Hangat +/+, edema -/-
Inferior : Akral Hangat+/+, edema +/+

 Tanda-Tanda Vital:
Suhu : 36 Derajat Celcius
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Sp.O2 : 98%

E. DIAGNOSIS BANDING
 Atrial Fibrillasi
 Atrial Flutter
 Atrial Takikardi
 Grave’s Disease

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (16/3/2021)

Pemeriksaan Darah Lengkap


Hemoglobin 8,60 14-18
Lekosit 3,90 4-11
Eritrosit 3,53 4,5-5,5
Trombosit 146 150-450
Hematokrit 26,40 42-52
Hitung jenis
Eosinofil 1 2-4
Basofil 1 0-1
Batang 0 2-5
Segmen 45 51-67
Limfosit 42 20-35
Monosit 11 4-8
Fungsi Hati
SGOT 53
SGPT 17
Fungsi Ginjal
Ureum 24
Kreatinin 1,70
Gula Darah Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 109
Elektrolit
Natrium 139,0
Kalium 4,10
Klorida 109,0
Fungsi Tiroid
FT4 91,82
TSH >0,005

 Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (17/3/2021)

Pemeriksaan Darah Lengkap


Hemoglobin 8,40 14-18
Lekosit 4,92 4-11
Eritrosit 3,55 4,5-5,5
Trombosit 105 150-450
Hematokrit 27,10 42-52
Hitung jenis
Eosinofil 0 2-4
Basofil 0 0-1
Batang 1 2-5
Segmen 50 51-67
Limfosit 37 20-35
Monosit 12 4-8
Fungsi Ginjal
Ureum 17
Kreatinin 0,31
 Pemeriksaan Rontgen Thorax
Kesan :
- Cardiomegali dengan oedem pulmo
- Effusi Pleura Dextra

 Pemeriksaan Elektrokardiografi

KESAN : ATRIAL FIBRILASI

 Pemeriksaan Ekokardiografi

Measurement Result Norma Measurement Result Normal


l
Aorta Root 21 20-39 Left LVIDd 58 35-52
Diameter Ventricle
Left Dimension 45 15-40 LVIDs 45 26-36
LA/Ao 2.14 1.1 IVSd 6 7-11
Atrium
ratio
Right Dimension <30 IVSs 12
Ventricle
Heart EF 43% 53-77 IVS fract >30
Function T
MS/PW <1,3 LVPWD 6 7-11
ratio
EPSS 15 <10 LVPWs 14
MVA >3 cm2 PW fract >30
T
KESAN:

LA dilatasi, LV dilatasi
Dimensi Ruang Jantung
RA dilatasi, RV dilatasi
IAS intak dan IVS intak
Dinding Jantung
IVS dan LVPW tak menebal
Global LV Function Menurun dengan EF 43%
Hipokinetik ringan
Wall Motion
TAPSE 24 mm
Aorta: 3 cuspid, anatomi, dan fungsi normal
Mitral: Regurgitasi mild
Katup Jantung
Tricuspid: Regurgitasi mild, TVG 20 mmHg
Pulmonal: Anatomi dan fungsi normal
AoV max 133 cm/s
Doppler Efusi pleura (-), Efusi pericard (-), IVC
kolaps
KESIMPULAN

 Dilatasi semua ruang jantung


 Fungsi sistolik LV menurun dengan EF 43%
 Fungsi sistolik RV normal
 TR mild, MR mild

TATALAKSANA
 Infus NaCl 0,9% 10 tpm
 Injeksi Furosemide 2A
 Injeksi Furosemide 20 mg/8 jam
 Ramipril 1 x 2,5 mg
 V-Block 1 x 3,125 mg
 Bisoprolol 1 x 5 mg
 Digoxin 1 x 0,25 mg
 Samsca 15 mg 1 x 1
 Tyrazol 2 x 1
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal Hasil Pemeriksaan Tatalaksana


16 Maret 2021 Pasien mengeluhkan bengkak pada kaki Infus NaCl 0,9% 10 tpm
dan sesak nafas. Bengkak sudah dirasakan Injeksi Furosemid 2A
sejak 2 minggu yang lalu. Injeksi Furosemid 1A/8 jam
Pasien terdiagnosis Congenital Heart V block 1 x 3,5
Failure (CHF). Ramipril 1 x 15
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin 8,6
Angka Leukosit 3,9
Eritrosit 3,53
Angka Trombosit 143
Hematokrit 26,4
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1
Basofil 1
Batang 0
Segmen 45
Limfosit 42
Monosit 11
Kimia Klinik
SGOT 53
SGPT 17
Fungsi Ginjal
Ureum 24
Creatinin 1,7
Gula Darah
GDS 109
Elektrolit
Natrium 139
Kalium 4,1
Klorida 109
Fungsi Tiroid
FT4 91,82
TSH <0,005
Kesan: Hipertiroid
17 Maret 2021 S: Pasien merasakan sakit ketika buang air Infus NaCl 0,9% 10 tpm
kecil karena dipasang DC, nyeri telinga Injeksi Furosemid 1A/8 jam
kiri, sesak nafas berkurang, batuk tidak V block 1 x 3,5
ada, tidak bisa tidur, keringat dan merasa Ramipril 1 x 15
panas (+), pasien mengeluh berdebar-
debar, BAK banyak, Makan dan Minum
(+), Mual dan Muntah (-), BAB (+).
O:
TD 110/70 mmHg
Suhu 37,3 derajat
Nadi 89 kali permenit
Respirasi 20 kali permenit
SpO2 98%
[Pemeriksaan Fisik]
Kepala : CA -/-, SI -/-, mata melotot
Leher : Nodul di leher, mobile
Thorax :
Paru-paru: SDV +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Jantung: S1/S2 reguler, Bising Jantung (+)
Abdomen : Supel (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+),
edema (-/-/+/+)
A: CHF, Hipertiroid
18 Maret 2021 S: Pasien mengatakan rasa berdebar-debar Infus NS 10 tpm
sudah berkurang, telinga berdengin sudah Inj. Furosemid 1A/8 jam
tidak dirasakan, tidak ada nyeri dada, tidak Digoxin 1 x 0,25 mg
ada sesak, tidak ada batuk, sudah bisa Bisoprolol 1 x 5 mg
tidur, makan dan minum baik, BAB dan Spironolakton 1 x 25 mg
BAK lancar, terpasang DC. Ramipril 1 x 2,5 mg
O: V-Block 1 x 3,125 mg
TD 110/70 mmHg Samsca 15 mg 1x1
Suhu 37,5 derajat Tyrazol 2 x 1
Nadi 89 kali permenit
Respirasi 20 kali permenit
SpO2 94%
[Pemeriksaan Fisik]
Kepala : CA -/-, SI -/-, mata melotot
Leher : Nodul di leher, mobile
Thorax :
Paru-paru: SDV +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Jantung: S1/S2 reguler, Bising Jantung (+)
Abdomen : Supel (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+),
edema (-/-/+/+)
A: Penyakit Jantung Tiroid
19 Maret 2021 S: Pasien mengatakan rasa berdebar-debar Infus NS 10 tpm
sudah berkurang, bengkak berkurang, Inj. Furosemid 1A/8 jam
tidak ada nyeri dada, tidak ada sesak, tidak Digoxin 1 x 0,25 mg
ada batuk, sudah bisa tidur, makan dan Bisoprolol 1 x 5 mg
minum baik, BAB dan BAK lancar, Spironolakton 1 x 25 mg
terpasang DC. Ramipril 1 x 2,5 mg
O: V-Block 1 x 3,125 mg
TD 90/60 mmHg Samsca 15 mg 1x1
Suhu 37,4 derajat Tyrazol 2 x 1
Nadi 109 kali permenit
Respirasi 20 kali permenit
SpO2 98%
[Pemeriksaan Fisik]
Kepala : CA -/-, SI -/-
Leher : Nodul di leher, mobile
Thorax :
Paru-paru: SDV +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Jantung: S1/S2 reguler, Bising Jantung (+)
Abdomen : Supel (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+),
edema (-/-/+/+)
[Hasil Ekokardiografi]
Dimension 45
LVIDd 58
LVIDs 45
Kesan: Dilatasi Ruang Jantung
A:
Penyakit Jantung Tiroid
CHF
Hipertiroid
AKI
20 Maret 2021 S: Pasien mengatakan rasa berdebar-debar Infus NS 10 tpm
sudah berkurang, bengkak berkurang, Inj. Furosemid 1A/8 jam
tidak ada nyeri dada, tidak ada sesak, tidak Digoxin 1 x 0,25 mg
ada batuk, sudah bisa tidur, makan dan Bisoprolol 1 x 5 mg
minum baik, BAB dan BAK lancar, Spironolakton 1 x 25 mg
terpasang DC. Ramipril 1 x 2,5 mg
O: V-Block 1 x 3,125 mg
TD 100/60 mmHg Samsca 15 mg 1x1
Suhu 35,7 derajat Tyrazol 2 x 1
Nadi 91 kali permenit
Respirasi 20 kali permenit PLAN: USG Abdomen
SpO2 93%
[Pemeriksaan Fisik]
Kepala : CA -/-, SI -/-
Leher : Nodul di leher, mobile
Thorax :
Paru-paru: SDV +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Jantung: S1/S2 reguler, Bising Jantung (+)
Abdomen : Supel (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+),
edema (-/-/+/+)
A:
Penyakit Jantung Tiroid
CHF
Hipertiroid
AKI
21 Maret 2021 S: Pasien mengatakan rasa berdebar-debar Infus NS 10 tpm
sudah berkurang, bengkak berkurang, Inj. Furosemid 1A/8 jam
tidak ada nyeri dada, tidak ada sesak, tidak Digoxin 1 x 0,25 mg
ada batuk, sudah bisa tidur, makan dan Bisoprolol 1 x 5 mg
minum baik, BAB dan BAK lancar, Spironolakton 1 x 25 mg
terpasang DC. Ramipril 1 x 2,5 mg
O: V-Block 1 x 3,125 mg
TD 100/60 mmHg Samsca 15 mg 1x1
Suhu 35,7 derajat Tyrazol 2 x 1
Nadi 91 kali permenit
Respirasi 22 kali permenit
SpO2 93%
[Pemeriksaan Fisik]
Kepala : CA -/-, SI -/-
Leher : Nodul di leher, mobile
Thorax :
Paru-paru: SDV +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Jantung: S1/S2 reguler, Bising Jantung (+)
Abdomen : Supel (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+),
edema (-/-/+/+)
A:
Penyakit Jantung Tiroid
CHF
Hipertiroid
AKI
22 Maret 2021 S: Pasien mengatakan rasa berdebar-debar Boleh Pulang
sudah tidak ada, bengkak berkurang, tidak
ada nyeri dada, tidak ada sesak, tidak ada
batuk, bisa tidur nyenyak, makan dan
minum baik, BAB dan BAK lancar.
O:
TD 100/50 mmHg
Suhu 36,7 derajat
Nadi 94 kali permenit
Respirasi 21 kali permenit
SpO2 98%
[Pemeriksaan Fisik]
Kepala : CA -/-, SI -/-
Leher : Nodul di leher, mobile
Thorax :
Paru-paru: SDV +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Jantung: S1/S2 reguler, Bising Jantung (+)
Abdomen : Supel (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+),
edema (-/-/+/+)
A:
Penyakit Jantung Tiroid
CHF
Hipertiroid
AKI
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit Jantung Tiroid atau Thyroid Heart Disease adalah suatu kelainan
pada jantung yang disebabkan oleh hormon tiroid. Penyakit tiroid yang sering
beriringan dengan penyakit jantung adalah hipertiroidisme. Hal ini disebabkan karena
sirkulasi free thyroxine yang tinggi pada darah sehingga dapat menimbulkan resiko
kardioaritmia (Selmer et al, 2012).
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid (TSH), triiodotironine (T3), dan
tiroksin (T4) yang terbentuk dari iodine sehingga memengaruhi laju metabolisme
pada tubuh dan sintesis protein. Regulasi dari hormon tersebut dikendalikan oleh
glandula hipotalamus anterior melalui pengeluaran TSH yang diregulasikan oleh
Thyrotropine Releasing Hormone (TRH). Hormon tiroid sendiri memengaruhi efek
yang beragam pada jantung dan pembuluh darah, yaitu: Hipertrofi dan disfungsi
miokardial yang ditimbulkan dari jalur genomic serta perubahan pada membran
plasma myocyte dan organel sitoplasmik pada jalur non-genomic. Kedua jalur ini
berjalan beriringan sehingga menjadi suatu mekanisme disfungsi kardiak. Hal ini
sudah diteliti dan terbukti pada 5-10% dari populasi dan menjadi prevalensi yang
lebih tinggi pada orang usia lanjut (Osuna PM, et al., 2017).

B. EPIDEMIOLOGI
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sebesar 70%
kematian yang terjadi di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM). Angka
70% ini mencakup 39,5 juta kematian dari total 56,4 juta kematian. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) ini mencakup 45%
kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Hal ini berarti ada 17,7 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dari total 39,5 juta kematian yang
ada di seluruh dunia. Sementara itu, pengidap penyakit jantung di Indonesia masih
tergolong banyak. Ada sekitar 1,5% prevalensi penyakit jantung di Indonesia dan
menjadikan penyakit jantung sebagai prevalensi penyakit tertinggi di Indonesia. Ada
pula provinsi yang memiliki tingkat prevalensi penyakit jantung tinggi di Indonesia,
diantaranya: Kalimantan Utara sebesar 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta 2%, dan
Gorontalo 2% (KEMENKES, 2019).
Penyakit kelenjar tiroid merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM)
yang sering ditemukan di masyarakat. Jenis penyakit tiroid yang sering ditemukan
pada masyarakat sendiri ialah hipertiroid. Hipertiroid merupakan penyakit hormonal
terbanyak kedua di Indonesia setelah diabetes mellitus (RISKESDAS, 2013).
Hubungan antara penyakit jantung dengan penyakit tiroid (hipertiroid) adalah
menurunnya kualitas hidup seseorang dan dapat menyebabkan kardioaritmia, yaitu
atrial fibrillation (Bahn et al., 2011).

C. ETIOPATOGENESIS
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang terletak pada leher berbentuk kupu-
kupu dan berperan dalam regulasi metabolisme tubuh manusia. Kelenjar tiroid bekerja
menghasilkan hormon tiroid (TSH), triiodotironine (T3), dan tiroksin (T4) yang
terbentuk dari iodine sehingga memengaruhi laju metabolisme pada tubuh dan sintesis
protein (Osuna PM, et al., 2017).
Hormon tiroid sangat memengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa
mekanisme, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hormon tiroid
bekerja dengan meningkatkan metabolisme pada tubuh manusia dan merangsang
penggunaan oksigen lebih sehingga dapat meningkatkan beban kerja jantung.
Mekanisme secara pasti belum diketahui, tetapi hormon tiroid dapat menyebabkan
efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mekanisme kerjanya mirip dengan
efek stimulasi adrenergik (Antono et al., 2009).
Hormon tiroid memberikan efek yang beragam pada jantung dan juga
pembuluh darah. Pada dasarnya, efek kardiak pada intraseluler dari hormon tiroid
terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur genomic (paling banyak digunakan) dan
jalur non-genomic. Pada jalur genomic, hormon T3 menghambat elemen responsif
tiroid pada segmen promotor dari gen target. Aktivasi dari ekspresi gen ini, terutama
via RNA messenger yang mengode protein dengan variabel responsif jaringan yang
spesifik. Melalui jalur ini, stimulasi sintesis protein kardiak terjadi dan mengarah ke
hipertrofi dan disfungsi miokard. Pada jalur non-genomic, terjadi perubahan pada
membran plasma miosit kardia dan organel sitoplasmik yang dapat menyebabkan
perubahan dalam jalur sinyal intraseluler pada jantung dan sel otot halus (Osuna PM,
et al., 2017).
Hormon tiroid dapat menyebabkan hipertrofi jantung dikarenakan sintesis
protein yang meningkat. Peningkatan protein sintesis ini berasal dari aktivasi ekspresi
gen dari jalur genomic. Pada penelitian didapatkan bahwa hipertiroid yang
meningkatkan hormon tiroid dapat menyebabkan penurunan resistensi pembuluh
darah perifer, meningkatkan kontraktilitas otot jantung, dan meningkatkan denyut
nadi yang kemudian meningkatkan cardiac output. Mekanisme penurunan resistensi
pembuluh darah perifer ini dapat menurunkan perfusi pada ginjal yang dapat
membangkitkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang dapat
meningkatkan volume darah total. Hal ini mengakibatkan peningkatkan preload,
penurunan afterload, dan meningkatkan stroke volume (Vargas-Uricoechea H, et al.,
2014).
Hipertiroid dapat menyebabkan gangguan pada irama jantung. Sinus takikardi
menjadi salah satu gangguan irama jantung yang terjadi pada 40% pasien dengan
hipertioridisme dan 10—15% pasien hipertiroidisme dapat terjadi atrial fibrillation
persisten (Fitzgerald PA, 2006).
Pada umumnya, penyakit jantung yang disebabkan oleh penyakit tiroid terjadi
pada dekade akhir kehidupan dengan penyakit penyerta lainnya, yaitu penyakit
jantung koroner. Hormon tiroid yang bekerja pada tubuh dapat meningkatkan
metabolisme yang juga meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dapat menurunkan
kontraktilitas jantung dan terjadi perburukan. Hal yang memberatkan pada pasien
dengan penyakit jantung tiroid adalah kontraktilitas jantung yang buruk, isi semenit
yang rendah, dan gejala gagal jantung (Wardhini S, et al., 2003).

Gambar 1. Pengaruh T3 terhadap kardiovaskular


D. MANIFESTASI KLINIS
Penelitian mengatakan bahwa hiperfungsi hormon tiroid didominasi oleh
gejala-gejala yang berhubungan dengan kardiovaskular. Kelebihan hormon tiroid
dapat meningkatkan kebutuhan oksigen, kerja inotropik, kerja kronotropik, dan pintas
arteri-vena perifer. Selain itu, hormon tiroid yang meningkat dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi denyut jantung, isi semenit, waktu curah rata-rata ventrikel kiri,
aliran darah koroner, dan meningkatnya kebutuhan oksigen (Antono D, et al., 2009).
Mekanisme hiperfungsi hormon tiroid yang berhubungan dengan
kardiovaskular dapat bermanifestasi pada perubahan kronotropik. Pasien dengan
penyakit jantung tiroid sering mengalami palpitasi, irama jantung yang tak teratur,
dan dispnea pada saat beraktivitas. Pada pasien lanjut usia yang memiliki penyakit
dasar penyakit arteri koroner, angina pektoris dapat ditemukan bersamaan dengan
onset hipertiroid. Selain itu, tanda-tanda gagal jantung kongestif dapat ditemukan
pada pasien dengan hipertiroidisme walaupun pasien tidak memiliki riwayat penyakit
jantung sebelumya (Dillmann W, et al., 2005).
Masalah irama jantung yang sering ditemukan pada penyakit jantung tiroid
adalah sinus takikardi yang terjadi pada sekitar 40% pasien. Peningkatan denyut nadi
lebih dari 90 kali permenit terjadi pada saat istirahat atau fase tidur serta respon
berlebihan jantung ditemukan apabila pasien sedang melakukan olahraga. Masalah
lainnya yang justru lebih berat dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung
tiroid adalah atrial fibrillation rapid ventricular response (AF-RVR) yang terjadi
pada sekitar 10—15% pasien. Penyakit atrial fibrillation (AF) ini dapat menyebabkan
kardiomiopati sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus segera dilakukan pada saat
onset baru atrial fibrillation (AF) (Kahaly G, et al., 2005).

E. DIAGNOSIS BANDING
a. Atrial Flutter
Atrial flutter yang merupakan supraventrikular aritmia adalah salah
satu gangguan irama jantung yang sering terjadi. Keadaan ini ditandai dengan
denyut atrial yang cepat (300 kali permenit) dengan denyut ventrikel yang
tetap atau variabel. Gejala yang ditimbulkan dari atrial flutter antara lain:
palpitasi, kelelahan, sinkop, dan fenomena emboli (Rodriguez, et al., 2021).
Gambar 2. Atrial Flutter

b. Atrial Takikardia
Atrium takikardi merupakan salah satu aritmia dengan impuls listrik
yang berasal dari atrium. Atrial takikardi (focal) secara khusus terjadi akibat
peningkatan metabolisme dan faktor stress seperti infeksi dan hipoksia. Pasien
dengan atrium takikardi biasanya mengeluhkan palpitasi atau sensasi denyut
nadi yang cepat (100—250 kali permenit), pusing, nyeri dada seperti tertekan,
dan sesak nafas. Gejala yang ditimbulkan dapat terjadi secara paroksismal
ataupun persisten tergantung dari aktivitas dan konsumsi produk kafein seperti
kopi, teh, minuman berenergi, atau coklat. Atrial takikardi (focal) persisten
dapat menyebabkan kardiomiopati yang dapat bermanifestasi sesak nafas,
meningkatkan edema pada ekstremitas inferior, dan nyeri dada (Liwanag, et
al., 2021).

Gambar 3. Focal Atrial Tachycardia

c. Grave’s Disease
Penyakit Grave merupakan penyakit autoimun dan penyebab paling
umum dari hipertiroidisme. Ini merupakan kelainan sistemik yang melibatkan
banyak sistem, diantaranya kardiovaskular, mata, otot, kulit, dan hati. Hal
yang memperburuk penyakit grave antara lain stres, merokok, infeksi, paparan
iodine, postpartum, dan terapi ARV karena immune reconstitution (Hussain, et
al., 2017).
Gejala yang timbul pada pasien dengan penyakit grave tergantung dari
usia pasien, keparahan, dan durasi hipertiroidisme. Pada populasi lansia, gejala
mungkin saja tak terlihat. Biasanya pada lansia, gejala yang terjadi merupakan
gejala non spesifik seperti kelelahan, penurunan berat badan, dan onset baru
dari atrial fibrilasi. Pada pasien yang lebih muda, gejala yang timbul berupa
intoleransi panas, berkeringat, kelelahan, penurunan berat badan, palpitasi,
buang air besar berlebihan, dan tremor. Gejala lain yang menyertai antara lain:
insomnia, ansietas, rasa gugup, hiperkinesia, dispnea, kelelahan otot, gatal
(pruritus), poliuri, oligomenorrhea atau amenorrhea pada perempuan,
kehilangan libido, dan rasa penuh pada leher (Wemeau, et al., 2018).
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan hipertiroidisme antara lain:
takikardia, hipertensi sistolik dengan peningkatan tekanan nadi, tanda-tanda
gagal jantung (edema, rales, distensi vena jugularis, dan takipnea), atrial
fibrilasi, kulit hangat dan lembap, rambut rontok, palmar eritema,
hiperefleksia, onikolisis, gondok teraba difus dengan bising tiroid, dan
perubahan status mental (Wemeau, et al., 2018).
Tanda-tanda manifestasi ekstratiroidal termasuk: gangguan pada mata
seperti retraksi kelopak mata, proptosis, edema periorbital, kemosis, injeksi
skleral. Dermopati tiroid dapat menyebabkan penebalan pada kulit yang nyata,
terutama pada atas tibia yang jarang terjadi. Kulit yang menebal memiliki
tampilan peau d’orange dan sulit untuk dicubit. Keterlibatan tulang meliputi
pembentukan tulang subperiosteal dan pembengkakan pada tulang metakarpal
yang disebut osteopati atau akropasi tiroid. Onycholysis (kuku Plummer) dan
clubbing sangat jarang (Wemeau, et al., 2018).

F. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dari penyakit jantung tiroid terdiri dari pemeriksaan dua
komponen, yaitu pemeriksaan fungsi tiroid dan pemeriksaan fungsi jantung.
Pemeriksaan fungsi tiroid yang dilakukan adalah memeriksa kadar TSH, kadar FT4,
dan FT3. Pemeriksaan kadar TSH serum merupakan penunjang diagnosis
hipertiroidisme yang umumnya dilakukan pada saat ini dimana kadar TSH serum
pada pasien dengan hipertiroid rendah atau tidak terdeteksi dan kadat FT4 yang
tinggi. Apabila kadar FT4 rendah, kadar FT3 harus diperiksa untuk menentukan
tirotoksikoksis T3. Bila kadar T3 normal, keadaan ini disebut sebagai hipertiroid
subklinis (Pantalone, et al., 2010).
Selain pemeriksaan laboratorium, diagnosis hipertiroid juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode skoring, yaitu Indeks Klinis Wayne. Sistem skoring ini
telah dikenal sejak lama dan sangat membantu untuk mendiagnosis hipertiroid dimana
akurasi skoring ini mencapai 85%. Skor indeks tersebut berkisar dari +45 sampai -25.
Interpretasi skor indeks meliputi lebih dari 19 dan kurang dari 11. Apabila skor di atas
19, hal ini menunjukan bahwa hipertiroidisme. Skor yang berjumlah kurang dari 11
maka menunjukan eutiroidisme. Apabila skor terletak di antara 11—19 maka
interpretasinya adalah ragu-ragu (Karla, et al., 2011).

Gambar 4. Skor Indeks Wayne untuk membantu diagnosis Hipertiorid

Penegakan diagnosis untuk penyakit jantung yang terjadi pada pasien


hipertiroid adalah dengan menggunakan foto toraks posterior-anterior,
elektrokardiografi, dan ekokardiografi. Pada pemeriksaan foto toraks, keadaan yang
ditunjukan biasanya normal. Pada pasien dengan keadaan yang berat dapat
menimbulkan pembesaran jantung (kardiomegali). Pada pemeriksaan
elektrokardiografi, keadaan yang sering ditemukan adalah gangguan irama dan
terkadang ditemukan gangguan hantaran. Kasus yang berat dapat menunjukan
pembesaran ventrikel kiri. Pada pemeriksaan ekokardiografi, keadaan yang ditemukan
adalah insufisiensi mitral dan trikuspid (Clutter, et al., 2004).

Sebagai kesimpulan, diagnosis pada pasien dengan hipertiroid dan penyakit


jantung dapat dilakukan dengan dua pemeriksaan, yaitu pemeriksaan fungsi tiroid dan
fungsi jantung. Gagal jantung yang disebabkan oleh hipertiroid dapat ditegakkan
dengan menggunakan Skor Framingham, yaitu bila gejala dan tanda gagal jantung
memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor
(Semiardji G, 2003).

Gambar 5. Kriteria Framingham untuk membantu penegakan diagnosis Gagal Jantung

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit jantung tiroid memerlukan pendekatan yang
berbeda. Tujuan pengobatan pada pasien dengan penyakit jantung tiroid adalah
menurunkan keadaan hipermetabolisme dan menurunkan kadar hormon tiroid yang
berada dalam sirkulasi. Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan aritmia atrial akan
berespon baik apabila diberikan obat penyekat beta (beta blocker). Pilihan obat
penyekat beta yang digunakan pada pasien dengan penyakit jantung tiroid adalah
propanolol karena memiliki mekanisme menurunkan frekuensi jantung secara cepat.
Hal lain yang membuat propanolol menjadi pilihan dalam tatalaksana penyakit
jantung tiroid adalah kemampuan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Meskipun obat penyekat beta (beta blocker) memiliki kemampuan yang
sangat ampuh dalam menurunkan frekuensi denyut jantung, pemilihan obat penyekat
beta harus dipertimbangkan secara hati-hati. Hal ini berkaitan dengan disfungsi
miokard yang dapat ditimbulkan dari obat ini. Selain itu, obat penyekat beta dapat
menimbulkan spasme bronkial terutama pada pasien dengan penyakit asma bronkial
(Radja et al., 2003).
Pada pengobatan penyakit tiroid (hipertiroidisime), obat yang sering
digunakan adalah Propiltiurasil (PTU) dan imidazol (metimazol, tiamizol, dan
karbimazol). Kedua obat tersebut memiliki mekanisme menghambat sintesis hormon
tiroid tanpa memengaruhi hormon tiroid yang sudah terbentuk. PTU memiliki
keunggulan dibandingkan imidazol, yaitu mencegah konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Dosis yang digunakan pada obat PTU adalah 300—600 mg/hari dengan dosis
maksimal 1.200—2.000 mg/hari atau metimazol 30—60 mg/hari. Perbaikan gejala
hipertiroidisme dapat dilihat secara klinis dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat
tercapai dalam 6—8 minggu (Antono et al., 2009).
Pasien dengan hipertiroidisme dan AF, terapi awal harus difokuskan pada
kontrol irama jantung. Pengontrol irama jantung yang dipakai adalah obat golongan
penyekat beta (beta blocker) seperti propanolol, atenolol, atau bisoprolol. Konversi
irama AF ke irama sinus sering terjadi bersamaan dengan pengobatan hipertiroidisme.
Pemberian obat penyekat beta harus diberikan sedini mungkin pada pasien dengan
hipertiroidisme yang berhubungan dengan gagal jantung. Obat penyekat beta dapat
mengatasi palpitasi, mengontrol takikardi, tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran
darah ke kelenjar tiroid. Tujuan terapi dengan menggunakan obat penyekat beta
adalah menurunkan denyut jantung ke tingkat yang normal kemudian meningkatkan
perbaikan komponen disfungsi ventrikel kiri. Obat penyekat beta memiliki efek
remodeling pada ventrikel kiri dan peningkatan signifikan left ventricle ejection
fraction (LVEF), sehingga obat penyekat beta menjadi sangat menguntungkan bagi
pasien gagal jantung dengan hipertiroidisme (Groote, et al., 2007).
Apabila kasus hipertiroidisme berlanjut, pemberian obat antikoagulan pada
pasien harus dipertimbangkan mengingat AF dapat menjadi resiko yang tinggi dalam
perkembangan emboli. Resiko kejadian tromboemboli dan stroke pada pasien dengan
AF tidak sama. Terdapat berbagai faktor klinis yang menjadikan faktor resiko.
Metode yang digunakan dalam menilai faktor resiko kejadian tromboemboli pada
pasien dengan AF adalah dengan menggunakan indeks resiko CHA2DS2-VASc atau
Congestive Heart Failure, Hypertensio, Age > 75 years, Diabetes Mellitus, and Prior
Stroke or Transient Ischaemic Attack (TIA), Vascular Disease, Age 65—74, Sex
Category (Camm J, 2012).

Gambar 6. Skor CHA2DS2-VAS untuk menilai resiko stroke pada pasien dengan AF

Indeks resiko CHA2DS2-VASc merupakan metode penilaian resiko stroke


pada pasien dengan AF sehingga skor ini dapat menjadi pertimbangan pemberian
antikoagulan pada pasien. Antikoagulan diberikan apabila skor CHA2DS2-VASc
lebih dari atau sama dengan 2 dengan mempertimbangkan resiko perdarahan. Resiko
perdarahan sendiri dipertimbangkan dengan menggunakan skoring HAS-BLED
(Camm J, 2012).
Gambar 7. Skor HAS BLED untuk mempertimbangkan resiko perdarahan pada
pemberian antikoagulan
Gambar 8. Algoritma pemberian antikoagulan pada pasien AF dengan resiko
tromboemboli
Recommendations for the prevention of thromboembolic
events in AF (1)

Recommendations Class Level


For stroke prevention in AF patients who are eligible for OAC, NOACs are
recommended in preference to VKAs (excluding patients with mechanical I A
heart valves or moderate-to-severe mitral stenosis).
For stroke risk assessment, a risk-factor−based approach is recommended,
using the CHA2DS2-VASc clinical stroke risk score to initially identify patients
I A
at ‘low stroke risk’ (CHA 2DS2-VASc score = 0 in men, or 1 in women) who
should not be offered antithrombotic therapy.
OAC is recommended for stroke prevention in AF patients with CHA 2DS2-
I A
VASc score ≥2 in men or ≥3 in women.

© ESC
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Recommendations for the prevention of thromboembolic
events in AF (2)

Recommendations Class Level


OAC should be considered for stroke prevention in AF patients with a CHA2DS2-VASc
score of 1 in men or 2 in women. Treatment should be individualized based on net IIa B
clinical benefit and consideration of patient values and preferences.
For bleeding risk assessment, a formal structured risk-score−based bleeding risk
assessment is recommended to help identify non-modifiable and address
modifiable bleeding risk factors in all AF patients, and to identify patients I B
potentially at high risk of bleeding who should be scheduled for early and more
frequent clinical review and follow-up.
For a formal risk-score−based assessment of bleeding risk, the HAS-BLED score
should be considered to help address modifiable bleeding risk factors, and to IIa B
identify patients at high risk of bleeding (HAS-BLED score ≥3) for early and more

© ESC
frequent clinical review and follow-up.

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Recommendations for the prevention of thromboembolic


events in AF (3)
Recommendations Class Level
Stroke and bleeding risk reassessment at periodic intervals is recommended
to inform treatment decisions (e.g. initiation of OAC in patients no longer at I B
low risk of stroke) and address potentially modifiable bleeding risk factors.a
In patients with AF initially at low risk of stroke, first reassessment of stroke
IIa B
risk should be made at 4−6 months after the index evaluation.
If a VKA is used, a target INR of 2.0−3.0 is recommended, with individual
I B
TTR ≥70%.
a Including
uncontrolled BP; labile INRs (in a patient taking VKA); alcohol excess; concomitant use of NSAIDs or aspirin in an anticoagulated patient; bleeding tendency or
predisposition (e.g. treat gastric ulcer, optimize renal or liver function etc.).
© ESC

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Recommendations for the prevention of thromboembolic
events in AF (4)
Recommendations Class Level
In patients on VKAs with low time in INR therapeutic range (e.g. TTR <70%),
recommended options are:
I B
• Switching to a NOAC but ensuring good adherence and persistence with
therapy; or
• Efforts to improve TTR (e.g. education/counselling and more frequent INR
IIa B
checks).
Antiplatelet therapy alone (monotherapy or aspirin in combination with
III A
clopidogrel) is not recommended for stroke prevention in AF.
Estimated bleeding risk, in the absence of absolute contraindications to OAC,
III A
should not in itself guide treatment decisions to use OAC for stroke prevention.
Clinical pattern of AF (i.e. first detected, paroxysmal, persistent, long-standing persistent,
III B

© ESC
permanent) should not condition the indication to thromboprophylaxis.

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Recommendations for the prevention of thromboembolic


events in AF (5)
Recommendations for occlusion or exclusion of the LAA Class Level
LAA occlusion may be considered for stroke prevention in patients with AF
and contraindications for long-term anticoagulant treatment (e.g. intracranial IIb B
bleeding without a reversible cause).
Surgical occlusion or exclusion of the LAA may be considered for stroke
IIb C
prevention in patients with AF undergoing cardiac surgery.

© ESC
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Gambar 9. Rekomendasi pencegahan kejadian tromboemboli pada pasien AF


a Clinical reassessment should be
focused on evaluation of resting
heart rate, AF/AFL-related
symptoms & quality of life. In case
suboptimal rate control (resting
heart rate >110 bpm), worsening of
symptoms or quality of life
consider 2nd line &, if necessary,
3rd line treatment options. bCareful
institution of beta-blocker and

©E SC
NDCC, 24-hour Holter to check for
bradycardia.

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Recommendations for rhythm control

Recommendations Class Level


Rhythm control therapy is recommended for symptom and QoL
I A
improvement in symptomatic patients with AF.

© SCE

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020 -doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Gambar 10. Algoritma kontrol ritme pada pasien dengan AF


Table 13 Drugs for rate control in AFa (1)
Intravenous administration Usual oral maintenance dose Contraindicated
Beta-blockersb
Metoprolol tartrate 2.5−5 mg i.v. bolus; up to 4 doses 25−100 mg b.i.d. In case of asthma use
Metoprolol XL N/A 50−400 mg o.d. beta-1-blockers
(succinate) Contraindicated in acute
HF and history of severe
Bisoprolol N/A 1.25−20 mg o.d. bronchospasm
Atenololc N/A 25−100 mg o.d.

Esmolol 500 µg/kg i.v. bolus over 1 min, N/A


followed by 50−300 µg/kg/min
Landiolol 100 µg/kg i.v. bolus over 1 min, N/A
followed by 10−40 µg/kg/min; in
patients with cardiac dysfunction:
1-10 µg/kg/min
Nebivolol N/A 2.5−10 mg o.d.

Carvedilol N/A 3.125−50 mg b.i.d.

©ESC
aAll rate control drugs are contraindicated in Wolff−Parkinson−White syndrome, also i.v. amiodarone. bOther beta-blockers are available but not recommended as
specific rate control therapy in AF and therefore not mentioned here (e.g. propranolol and labetalol). cNo data on atenolol; should not be used in HFrEF.

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Table 13 Drugs for rate control in AFa (2)


Intravenous administration Usual oral maintenance dose Contraindicated
Non-dihydropyridine calcium channel antagonists
Verapamil 2.5−10 mg i.v. bolus 40 mg b.i.d. to 480 mg Contraindicated in HFrEF
over 5 min (extended release) o.d. Adapt doses in hepatic and
Diltiazem 0.25 mg/kg i.v. bolus over 5 min, then 60 mg t.i.d. to 360 mg renal impairment
5−15 mg/h (extended release) o.d.
Digitalis glycosides
Digoxin 0.5 mg i.v. bolus (0.75−1.5 mg over 0.0625−0.25 mg o.d. High plasma levels
24 hours in divided doses) associated with increased
mortality
Check renal function
before starting and adapt
dose in CKD patients
Digitoxin 0.4−0.6 mg 0.05−0.1 mg o.d. High plasma levels
associated with increased
©ESC

mortality
a All rate control drugs are contraindicated in Wolff−Parkinson−White syndrome, also i.v. amiodarone.

www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Table 13 Drugs for rate control in AFa (3)

Intravenous administration Usual oral maintenance dose Contraindicated


Other
Amiodarone 300 mg i.v. diluted in 250 mL 200 mg o.d. after loading In case of thyroid disease,
5% dextrose over 30−60 min 3200 mg daily over 4 weeks, only if no other options
(preferably via central venous then 200 mg dailyd(reduce
cannula), followed by 900−1200 mg other rate controlling drugs
i.v. over 24 hours diluted in 500−1000 according to heart rate)
mL via a central venous cannula
a All rat e cont rol drugs are contraindicate d in Wolff−Parkinson−Whit e syndrome , also i.v. amiodarone .
d Loading regimen may vary; i.v. dosage should be considere d when calculating tot al load.

© ESC
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)

Gambar 11. Obat-obatan yang digunakan untuk kontrol ritme pada pasien AF
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien ini terdiagnosis penyakit jantung tiroid. Pasien mengeluhkan kaki


bengkak dan sesak nafas, pasien memiliki riwayat penyakit tiroid yaitu
hipertiroidisme sejak satu tahun silam. Keadaan ini cocok dengan teori yang ada,
yaitu penyakit tiroid, yaitu hipertiroid dapat menyebabkan tanda-tanda gagal jantung.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi, gambaran yang terekam pada jantung pasien
adalah gambaran atrial fibrilasi, yaitu gangguan irama jantung dimana gelombang P
tidak tampak pada elektrokardiografi. Hal ini sangat berhubungan dengan
hipertiroidisme, yaitu pada keadaan yang berat dapat menyebabkan atrial fibrilasi
sebagaimana pasien dengan penyakit jantung tiroid dapat terjadi atrial fibrillation
rapid ventricular response (AF-RVR) yang terjadi pada sekitar 10—15% pasien
(Kahaly G, et al., 2005).
Oleh karena itu, penatalaksanaan berfokus pada dua hal yaitu penatalaksanaan
untuk fungsi tiroid dan fungsi jantung. Pada penyakit jantung tiroid, penatalaksanaan
berfokus untuk menangani kontrol irama jantung. Pengontrol irama jantung yang
dipakai adalah obat golongan penyekat beta (beta blocker) seperti propanolol,
atenolol, atau bisoprolol. Konversi irama AF ke irama sinus sering terjadi bersamaan
dengan pengobatan hipertiroidisme. Pemberian obat penyekat beta harus diberikan
sedini mungkin pada pasien dengan hipertiroidisme yang berhubungan dengan gagal
jantung. Obat penyekat beta dapat mengatasi palpitasi, mengontrol takikardi, tremor,
kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid. Tujuan terapi dengan
menggunakan obat penyekat beta adalah menurunkan denyut jantung ke tingkat yang
normal kemudian meningkatkan perbaikan komponen disfungsi ventrikel kiri. Obat
penyekat beta memiliki efek remodeling pada ventrikel kiri dan peningkatan
signifikan left ventricle ejection fraction (LVEF), sehingga obat penyekat beta
menjadi sangat menguntungkan bagi pasien gagal jantung dengan hipertiroidisme
(Groote, et al., 2007). Pada pasien ini, pengobatan diberikan sesuai dengan teori, yaitu
diberikan obat penyekat beta (beta blocker), yaitu V Block dengan pemberian 1 x
3,125 mg.
Pasien ini diberikan obat tyrazol yaitu sebagai pengobatan pada
hipertiroidisme. Tyrazol merupakan tiamizol yang juga golongan dari imidazol
sebagai pengobatan hipertiroidisme. Pada pengobatan penyakit tiroid
(hipertiroidisime), obat yang sering digunakan adalah Propiltiurasil (PTU) dan
imidazol (metimazol, tiamizol, dan karbimazol). Kedua obat tersebut memiliki
mekanisme menghambat sintesis hormon tiroid tanpa memengaruhi hormon tiroid
yang sudah terbentuk. PTU memiliki keunggulan dibandingkan imidazol, yaitu
mencegah konversi T4 menjadi T3 di perifer. Dosis yang digunakan pada obat PTU
adalah 300—600 mg/hari dengan dosis maksimal 1.200—2.000 mg/hari atau
metimazol 30—60 mg/hari. Perbaikan gejala hipertiroidisme dapat dilihat secara
klinis dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam 6—8 minggu (Antono
et al., 2009). Sehingga, pada pasien ini sudah tepat diberikan pengobatan tyrazol
sesuai teori untuk pengobatan hipertiroid.
Digoksin diberikan pada pasien sebagai rate controller. Pada PERKI,
Digoksin direkomendasikan sebagai tatalaksana untuk mengontrol laju ventrikel pada
pasien dengan atrial fibrilasi dan gagal jantung atau adanya hipotensi. Akan tetapi,
digoksin bukanlah primer yang digunakan sebagai tatalaksana kontrol ritme. Digoksin
merupakan obat tambahan atau obat sekunder apabila obat monoterapi tidak berfungsi
secara baik pada tatalaksana atrial fibrilasi. Kesimpulannya, digoksin tidak bisa
menjadi pilihan monoterapi pada pasien atrial fibrilasi (Gillis, et al., 2011). Pada
pasien ini diberikan digoksin tetapi tetap ada obat pilihan pertama, yaitu penyekat
beta (V-Block, Bisoprolol) dan digoksin diberikan sebagai obat suportif untuk laju
kontrol irama jantung pada atrial fibrilasi pada pasien ini.
Furosemid juga diberikan pada pasien ini karena pasien ini mengalami gagal
jantung. Furosemid sendiri memiliki mekanisme peningkatakan ekskresi natrium pada
urin dan mengurangi tanda fisik retensi cairan pada pasien dengan gagal jantung.
Untuk dosis awal penggunaan furosemid adalah 20 mg – 80 mg per dosis, sedangkan
dosis pemeliharaan furosemid dilakukan secara bertahap dari 20 mg sampai dengan
40 mg setiap 6 jam sampai 8 jam (Makani, et al., 2017). Pasien ini diberikan 1 ampul
furosemid per 8 jam, 1 ampul berisi 2 mL dengan rincian 1 mL setara dengan 10 mg,
sehingga pasien ini diberikan dosis 20 mg per 8 jam.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Antono D, Kisyanto Y. Penyakit Jantung Tiroid. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (Edisi
Kelima). Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009; p. 1798-1800.
2. Bahn, R. S., Burch, H.B., Cooper, D. S., Garber, J. R., Greenlee, M. C., Klein, I., ... &
Ross, D. S. (2011). Hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis: Management
Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of
Clinical Endocrinologists. Thyroid, 21(6), 593-646.
3. Camm J. Guidelines for the management of atrial fibrillation. The Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
France, 2012.
4. Clutter WE. Hyperthyroidism. In: Green GB, Harris IS, Lin GA, Moylan KC, editors.
The Washington Manual of Medical Therapeutics (Thirty-first Edition). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2004; p.492-6.
5. Dillmann W. Cardiac function in thyroid disease: clinical features and management
considerations. Annals Thoracic Surgery. 2000;56:S9-15.
6. Fitzgerald PA. Endocrinology. In: Tierney LM. McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: McGraw Hill, 2006; p. 1135-
43.
7. Gillis AM, Verma A, Talajic M, Nattel S, Dorian P, Committee CCSAFG. Canadian
Cardiovascular Society atrial fibrillation guidelines 2010: rate and rhythm
management. The Canadian journal of cardiology 2011;27:47-59.
8. Groote P, Ennezat P, Mouquet F. Bisoprolol in the treatment of chronic heart failure.
Vascular Health and Risk Management. 2007;3(4):431-9.
9. Hussain YS, Hookham JC, Allahabadia A, Balasubramanian SP. Epidemiology,
management and outcomes of Graves' disease-real life data. Endocrine. 2017
Jun;56(3):568-578.
10. Kahaly G, Dillmann W. Thyroid hormone action in the heart. Endocrine Reviews.
2005;26(5):704-28.
11. Kalra S, Khandelwal S, Goyal A. Clinical scoring scales in thyroidology: a
compendium. Indian Journal Endocrinology Metabolic. 2011;15(2);89-94.
12. KEMENKES. (2019, September 26). Hari Jantung SEDUNIA (HJS) TAHUN 2019 :
Jantung Sehat, SDM UNGGUL. Retrieved March 31, 2021, from
http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/hari-jantung-sedunia-hjs-tahun-
2019-jantung-sehat-sdm-unggul
13. Liwanag M, Willoughby C. Atrial Tachycardia. [Updated 2020 Nov 20]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
14. Makani M, Setyaningrum N. 2017. Patterns of Furosemide Use and Electrolyte
Imbalance in Heart Failure Patients at Hospital X Yogyakarta. Yogyakarta. Program
Studi Farmasi FMIPA Universitas Islam Indonesia.
15. Osuna PM, Udovcic M, Sharma MD. Hyperthyroidism and the Heart. Methodist
Debakey Cardiovasc J. 2017;13(2):60-63.
16. Pantalone KM, Nasr C. Approach to a low TSH level: Patience is a virtue. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2010;77:803-11.
17. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDA). Prevalensi Penyakit Hipertiroid. Jakarta;
2013.p.122-13.
18. Rodriguez Ziccardi M, Goyal A, Maani CV. Atrial Flutter. [Updated 2020 Aug 10].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
19. Selmer C, Olesen JB, Hansen ML, Lindhardsen J, Olsen AM, Madsen JC, Faber J,
Hansen PR, Pedersen OD, Torp-Pedersen C, Gislason GH. The spectrum of thyroid
disease and risk of new onset atrial fibrillation: a large population cohort study. BMJ
2012;345:e7895.
20. Semiardji G. Penyakit kelenjar tiroid. Gejala diagnosis dan pengobatan. Jakarta: Balai
penerbit FKUI, 2003; p. 4-12.
21. Vargas-Uricoechea H, Bonelo-Perdomo A, Sierra-Torres CH. Effects of thyroid
hormones on the heart. Clin Investig Arterioscler. 2014;26(6):296-309.
22. Wardhini S, Suharto B. Hormon tiroid dan antitiroid. In: Ganiswara SG, Setiabudy,
Suryatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, editors. Farmakologi dan Terapi (Edisi
Keempat). Jakarta: Gaya Baru, 2003; p.420-31.
23. Wémeau JL, Klein M, Sadoul JL, Briet C, Vélayoudom-Céphise FL. Graves' disease:
Introduction, epidemiology, endogenous and environmental pathogenic factors. Ann
Endocrinol (Paris). 2018 Dec;79(6):599-607.

Anda mungkin juga menyukai