Diajukan kepada :
dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP
Disusun oleh :
Bimantara Lesmana (20204010035)
Disusun Oleh:
Bimantara Lesmana (20204010035)
Dokter Pembimbing
Presentasi kasus ini selain disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mengikuti ujian akhir di bagian Ilmu Penyakit Dalam Stase Jantung,
dan juga untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyakit
menular dan tidak menular.
Bimantara Lesmana
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Tiroid atau Thyroid Heart Disease adalah suatu kelainan
pada jantung yang disebabkan oleh hormon tiroid. Penyakit tiroid yang sering
beriringan dengan penyakit jantung adalah hipertiroidisme. Hal ini disebabkan karena
sirkulasi free thyroxine yang tinggi pada darah sehingga dapat menimbulkan resiko
kardioaritmia (Selmer et al, 2012).
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sebesar 70%
kematian yang terjadi di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM). Angka
70% ini mencakup 39,5 juta kematian dari total 56,4 juta kematian. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) ini mencakup 45%
kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Hal ini berarti ada 17,7 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dari total 39,5 juta kematian yang
ada di seluruh dunia. Sementara itu, pengidap penyakit jantung di Indonesia masih
tergolong banyak. Ada sekitar 1,5% prevalensi penyakit jantung di Indonesia dan
menjadikan penyakit jantung sebagai prevalensi penyakit tertinggi di Indonesia. Ada
pula provinsi yang memiliki tingkat prevalensi penyakit jantung tinggi di Indonesia,
diantaranya: Kalimantan Utara sebesar 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta 2%, dan
Gorontalo 2% (KEMENKES, 2019).
Penyakit kelenjar tiroid merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM)
yang sering ditemukan di masyarakat. Jenis penyakit tiroid yang sering ditemukan
pada masyarakat sendiri ialah hipertiroid. Hipertiroid merupakan penyakit hormonal
terbanyak kedua di Indonesia setelah diabetes mellitus (RISKESDAS, 2013).
Hubungan antara penyakit jantung dengan penyakit tiroid (hipertiroid) adalah
menurunnya kualitas hidup seseorang dan dapat menyebabkan kardioaritmia, yaitu
atrial fibrillation (Bahn et al., 2011).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
No.RM : 26-58-53
Nama : Ny. H
Tanggal Lahir : 4 Januari 1982
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Rendeng Wetan RT 001, Timbulharjo, Sewon, Bantul
No. HP : 0895 3905 22481
Gol. Darah :B
WNA : Indonesia
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke RS mengeluhkan sesak nafas
Riwayat Pengobatan
Pasien memiliki riwayat pengobatan tiroid, namun tidak menyebutkan
obat yang dikonsumsi.
C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Neurologis
GCS 15 (motorik 6, verbal 5, mata 4) compos mentis, reflek cahaya (+),
Tidak ada kejang, demam (-)
Sistem Pernafasan
Nafas spontan, pernafasan dada, nafas cuping hidung tidak ada, retraksi
tidak ada, perkusi sonor, ekspansi simetris, auskultasi vesikuler.
Sistem Kardiovaskuler
Bunyi jantung abnormal, S1/S2 tidak reguler, terdapat bising jantung (+)
Sistem Muskuloskeletal
Postur tubuh normal, berjalan normal, gerakan ekstremitas aktif, tidak ada
kontraktur, terdapat edema pada kedua kaki (+), edema bersifat pitting.
Sistem Integumentum
Warna normal, Lesi (-)
Sistem Gastrointestinal
Konsistensi lunak, warna kekuningan, kembung (-), distensi (-),
splenomegali (-), hepatomegali (-), tidak ada muntah.
Sistem Perkemihan
BAK dirasakan sakit, BAK menggunakan DC (+)
D. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sedang, Compos Mentis
Kepala
Mata : Konjungtiva Anemis(-), Sklera Ikterik(-)
Mulut : Mukosa Kering, Lidah Bersih
Hidung : Pernafasan Cuping Hidung (-)
Telinga : Daun Telinga Simetris, Nyeri (-)
Leher
Tidak Ada Pembesaran KGB(-), Benjolan di Leher (+), Kaku Kuduk(-)
Thorax
Simetris (+), Retraksi (-)
Paru
Inspeksi : Simetris, Ketinggalan gerak (-), Retraksi (-)
Palpasi : Simetris, fokal fremitus raba kanan = raba kiri, Nyeri (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh kedua lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tampak
Palpasi : Iktus kordis kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan membesar
Auskultasi : S1/S2 ireguler, Bising Jantung (+)
Abdomen
Inspeksi : Sejajar dengan dada, tanda peradangan (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+), Normal
Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (-)
Palpasi : Supel (+), Nyeri Tekan (-), Turgor Kulit Baik
Ekstremitas:
Superior : Akral Hangat +/+, edema -/-
Inferior : Akral Hangat+/+, edema +/+
Tanda-Tanda Vital:
Suhu : 36 Derajat Celcius
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Sp.O2 : 98%
E. DIAGNOSIS BANDING
Atrial Fibrillasi
Atrial Flutter
Atrial Takikardi
Grave’s Disease
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (16/3/2021)
Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pemeriksaan Ekokardiografi
LA dilatasi, LV dilatasi
Dimensi Ruang Jantung
RA dilatasi, RV dilatasi
IAS intak dan IVS intak
Dinding Jantung
IVS dan LVPW tak menebal
Global LV Function Menurun dengan EF 43%
Hipokinetik ringan
Wall Motion
TAPSE 24 mm
Aorta: 3 cuspid, anatomi, dan fungsi normal
Mitral: Regurgitasi mild
Katup Jantung
Tricuspid: Regurgitasi mild, TVG 20 mmHg
Pulmonal: Anatomi dan fungsi normal
AoV max 133 cm/s
Doppler Efusi pleura (-), Efusi pericard (-), IVC
kolaps
KESIMPULAN
TATALAKSANA
Infus NaCl 0,9% 10 tpm
Injeksi Furosemide 2A
Injeksi Furosemide 20 mg/8 jam
Ramipril 1 x 2,5 mg
V-Block 1 x 3,125 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Digoxin 1 x 0,25 mg
Samsca 15 mg 1 x 1
Tyrazol 2 x 1
FOLLOW UP PASIEN
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Penyakit Jantung Tiroid atau Thyroid Heart Disease adalah suatu kelainan
pada jantung yang disebabkan oleh hormon tiroid. Penyakit tiroid yang sering
beriringan dengan penyakit jantung adalah hipertiroidisme. Hal ini disebabkan karena
sirkulasi free thyroxine yang tinggi pada darah sehingga dapat menimbulkan resiko
kardioaritmia (Selmer et al, 2012).
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid (TSH), triiodotironine (T3), dan
tiroksin (T4) yang terbentuk dari iodine sehingga memengaruhi laju metabolisme
pada tubuh dan sintesis protein. Regulasi dari hormon tersebut dikendalikan oleh
glandula hipotalamus anterior melalui pengeluaran TSH yang diregulasikan oleh
Thyrotropine Releasing Hormone (TRH). Hormon tiroid sendiri memengaruhi efek
yang beragam pada jantung dan pembuluh darah, yaitu: Hipertrofi dan disfungsi
miokardial yang ditimbulkan dari jalur genomic serta perubahan pada membran
plasma myocyte dan organel sitoplasmik pada jalur non-genomic. Kedua jalur ini
berjalan beriringan sehingga menjadi suatu mekanisme disfungsi kardiak. Hal ini
sudah diteliti dan terbukti pada 5-10% dari populasi dan menjadi prevalensi yang
lebih tinggi pada orang usia lanjut (Osuna PM, et al., 2017).
B. EPIDEMIOLOGI
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sebesar 70%
kematian yang terjadi di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM). Angka
70% ini mencakup 39,5 juta kematian dari total 56,4 juta kematian. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) ini mencakup 45%
kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Hal ini berarti ada 17,7 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dari total 39,5 juta kematian yang
ada di seluruh dunia. Sementara itu, pengidap penyakit jantung di Indonesia masih
tergolong banyak. Ada sekitar 1,5% prevalensi penyakit jantung di Indonesia dan
menjadikan penyakit jantung sebagai prevalensi penyakit tertinggi di Indonesia. Ada
pula provinsi yang memiliki tingkat prevalensi penyakit jantung tinggi di Indonesia,
diantaranya: Kalimantan Utara sebesar 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta 2%, dan
Gorontalo 2% (KEMENKES, 2019).
Penyakit kelenjar tiroid merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM)
yang sering ditemukan di masyarakat. Jenis penyakit tiroid yang sering ditemukan
pada masyarakat sendiri ialah hipertiroid. Hipertiroid merupakan penyakit hormonal
terbanyak kedua di Indonesia setelah diabetes mellitus (RISKESDAS, 2013).
Hubungan antara penyakit jantung dengan penyakit tiroid (hipertiroid) adalah
menurunnya kualitas hidup seseorang dan dapat menyebabkan kardioaritmia, yaitu
atrial fibrillation (Bahn et al., 2011).
C. ETIOPATOGENESIS
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang terletak pada leher berbentuk kupu-
kupu dan berperan dalam regulasi metabolisme tubuh manusia. Kelenjar tiroid bekerja
menghasilkan hormon tiroid (TSH), triiodotironine (T3), dan tiroksin (T4) yang
terbentuk dari iodine sehingga memengaruhi laju metabolisme pada tubuh dan sintesis
protein (Osuna PM, et al., 2017).
Hormon tiroid sangat memengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa
mekanisme, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hormon tiroid
bekerja dengan meningkatkan metabolisme pada tubuh manusia dan merangsang
penggunaan oksigen lebih sehingga dapat meningkatkan beban kerja jantung.
Mekanisme secara pasti belum diketahui, tetapi hormon tiroid dapat menyebabkan
efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mekanisme kerjanya mirip dengan
efek stimulasi adrenergik (Antono et al., 2009).
Hormon tiroid memberikan efek yang beragam pada jantung dan juga
pembuluh darah. Pada dasarnya, efek kardiak pada intraseluler dari hormon tiroid
terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur genomic (paling banyak digunakan) dan
jalur non-genomic. Pada jalur genomic, hormon T3 menghambat elemen responsif
tiroid pada segmen promotor dari gen target. Aktivasi dari ekspresi gen ini, terutama
via RNA messenger yang mengode protein dengan variabel responsif jaringan yang
spesifik. Melalui jalur ini, stimulasi sintesis protein kardiak terjadi dan mengarah ke
hipertrofi dan disfungsi miokard. Pada jalur non-genomic, terjadi perubahan pada
membran plasma miosit kardia dan organel sitoplasmik yang dapat menyebabkan
perubahan dalam jalur sinyal intraseluler pada jantung dan sel otot halus (Osuna PM,
et al., 2017).
Hormon tiroid dapat menyebabkan hipertrofi jantung dikarenakan sintesis
protein yang meningkat. Peningkatan protein sintesis ini berasal dari aktivasi ekspresi
gen dari jalur genomic. Pada penelitian didapatkan bahwa hipertiroid yang
meningkatkan hormon tiroid dapat menyebabkan penurunan resistensi pembuluh
darah perifer, meningkatkan kontraktilitas otot jantung, dan meningkatkan denyut
nadi yang kemudian meningkatkan cardiac output. Mekanisme penurunan resistensi
pembuluh darah perifer ini dapat menurunkan perfusi pada ginjal yang dapat
membangkitkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang dapat
meningkatkan volume darah total. Hal ini mengakibatkan peningkatkan preload,
penurunan afterload, dan meningkatkan stroke volume (Vargas-Uricoechea H, et al.,
2014).
Hipertiroid dapat menyebabkan gangguan pada irama jantung. Sinus takikardi
menjadi salah satu gangguan irama jantung yang terjadi pada 40% pasien dengan
hipertioridisme dan 10—15% pasien hipertiroidisme dapat terjadi atrial fibrillation
persisten (Fitzgerald PA, 2006).
Pada umumnya, penyakit jantung yang disebabkan oleh penyakit tiroid terjadi
pada dekade akhir kehidupan dengan penyakit penyerta lainnya, yaitu penyakit
jantung koroner. Hormon tiroid yang bekerja pada tubuh dapat meningkatkan
metabolisme yang juga meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dapat menurunkan
kontraktilitas jantung dan terjadi perburukan. Hal yang memberatkan pada pasien
dengan penyakit jantung tiroid adalah kontraktilitas jantung yang buruk, isi semenit
yang rendah, dan gejala gagal jantung (Wardhini S, et al., 2003).
E. DIAGNOSIS BANDING
a. Atrial Flutter
Atrial flutter yang merupakan supraventrikular aritmia adalah salah
satu gangguan irama jantung yang sering terjadi. Keadaan ini ditandai dengan
denyut atrial yang cepat (300 kali permenit) dengan denyut ventrikel yang
tetap atau variabel. Gejala yang ditimbulkan dari atrial flutter antara lain:
palpitasi, kelelahan, sinkop, dan fenomena emboli (Rodriguez, et al., 2021).
Gambar 2. Atrial Flutter
b. Atrial Takikardia
Atrium takikardi merupakan salah satu aritmia dengan impuls listrik
yang berasal dari atrium. Atrial takikardi (focal) secara khusus terjadi akibat
peningkatan metabolisme dan faktor stress seperti infeksi dan hipoksia. Pasien
dengan atrium takikardi biasanya mengeluhkan palpitasi atau sensasi denyut
nadi yang cepat (100—250 kali permenit), pusing, nyeri dada seperti tertekan,
dan sesak nafas. Gejala yang ditimbulkan dapat terjadi secara paroksismal
ataupun persisten tergantung dari aktivitas dan konsumsi produk kafein seperti
kopi, teh, minuman berenergi, atau coklat. Atrial takikardi (focal) persisten
dapat menyebabkan kardiomiopati yang dapat bermanifestasi sesak nafas,
meningkatkan edema pada ekstremitas inferior, dan nyeri dada (Liwanag, et
al., 2021).
c. Grave’s Disease
Penyakit Grave merupakan penyakit autoimun dan penyebab paling
umum dari hipertiroidisme. Ini merupakan kelainan sistemik yang melibatkan
banyak sistem, diantaranya kardiovaskular, mata, otot, kulit, dan hati. Hal
yang memperburuk penyakit grave antara lain stres, merokok, infeksi, paparan
iodine, postpartum, dan terapi ARV karena immune reconstitution (Hussain, et
al., 2017).
Gejala yang timbul pada pasien dengan penyakit grave tergantung dari
usia pasien, keparahan, dan durasi hipertiroidisme. Pada populasi lansia, gejala
mungkin saja tak terlihat. Biasanya pada lansia, gejala yang terjadi merupakan
gejala non spesifik seperti kelelahan, penurunan berat badan, dan onset baru
dari atrial fibrilasi. Pada pasien yang lebih muda, gejala yang timbul berupa
intoleransi panas, berkeringat, kelelahan, penurunan berat badan, palpitasi,
buang air besar berlebihan, dan tremor. Gejala lain yang menyertai antara lain:
insomnia, ansietas, rasa gugup, hiperkinesia, dispnea, kelelahan otot, gatal
(pruritus), poliuri, oligomenorrhea atau amenorrhea pada perempuan,
kehilangan libido, dan rasa penuh pada leher (Wemeau, et al., 2018).
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan hipertiroidisme antara lain:
takikardia, hipertensi sistolik dengan peningkatan tekanan nadi, tanda-tanda
gagal jantung (edema, rales, distensi vena jugularis, dan takipnea), atrial
fibrilasi, kulit hangat dan lembap, rambut rontok, palmar eritema,
hiperefleksia, onikolisis, gondok teraba difus dengan bising tiroid, dan
perubahan status mental (Wemeau, et al., 2018).
Tanda-tanda manifestasi ekstratiroidal termasuk: gangguan pada mata
seperti retraksi kelopak mata, proptosis, edema periorbital, kemosis, injeksi
skleral. Dermopati tiroid dapat menyebabkan penebalan pada kulit yang nyata,
terutama pada atas tibia yang jarang terjadi. Kulit yang menebal memiliki
tampilan peau d’orange dan sulit untuk dicubit. Keterlibatan tulang meliputi
pembentukan tulang subperiosteal dan pembengkakan pada tulang metakarpal
yang disebut osteopati atau akropasi tiroid. Onycholysis (kuku Plummer) dan
clubbing sangat jarang (Wemeau, et al., 2018).
F. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dari penyakit jantung tiroid terdiri dari pemeriksaan dua
komponen, yaitu pemeriksaan fungsi tiroid dan pemeriksaan fungsi jantung.
Pemeriksaan fungsi tiroid yang dilakukan adalah memeriksa kadar TSH, kadar FT4,
dan FT3. Pemeriksaan kadar TSH serum merupakan penunjang diagnosis
hipertiroidisme yang umumnya dilakukan pada saat ini dimana kadar TSH serum
pada pasien dengan hipertiroid rendah atau tidak terdeteksi dan kadat FT4 yang
tinggi. Apabila kadar FT4 rendah, kadar FT3 harus diperiksa untuk menentukan
tirotoksikoksis T3. Bila kadar T3 normal, keadaan ini disebut sebagai hipertiroid
subklinis (Pantalone, et al., 2010).
Selain pemeriksaan laboratorium, diagnosis hipertiroid juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode skoring, yaitu Indeks Klinis Wayne. Sistem skoring ini
telah dikenal sejak lama dan sangat membantu untuk mendiagnosis hipertiroid dimana
akurasi skoring ini mencapai 85%. Skor indeks tersebut berkisar dari +45 sampai -25.
Interpretasi skor indeks meliputi lebih dari 19 dan kurang dari 11. Apabila skor di atas
19, hal ini menunjukan bahwa hipertiroidisme. Skor yang berjumlah kurang dari 11
maka menunjukan eutiroidisme. Apabila skor terletak di antara 11—19 maka
interpretasinya adalah ragu-ragu (Karla, et al., 2011).
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit jantung tiroid memerlukan pendekatan yang
berbeda. Tujuan pengobatan pada pasien dengan penyakit jantung tiroid adalah
menurunkan keadaan hipermetabolisme dan menurunkan kadar hormon tiroid yang
berada dalam sirkulasi. Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan aritmia atrial akan
berespon baik apabila diberikan obat penyekat beta (beta blocker). Pilihan obat
penyekat beta yang digunakan pada pasien dengan penyakit jantung tiroid adalah
propanolol karena memiliki mekanisme menurunkan frekuensi jantung secara cepat.
Hal lain yang membuat propanolol menjadi pilihan dalam tatalaksana penyakit
jantung tiroid adalah kemampuan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Meskipun obat penyekat beta (beta blocker) memiliki kemampuan yang
sangat ampuh dalam menurunkan frekuensi denyut jantung, pemilihan obat penyekat
beta harus dipertimbangkan secara hati-hati. Hal ini berkaitan dengan disfungsi
miokard yang dapat ditimbulkan dari obat ini. Selain itu, obat penyekat beta dapat
menimbulkan spasme bronkial terutama pada pasien dengan penyakit asma bronkial
(Radja et al., 2003).
Pada pengobatan penyakit tiroid (hipertiroidisime), obat yang sering
digunakan adalah Propiltiurasil (PTU) dan imidazol (metimazol, tiamizol, dan
karbimazol). Kedua obat tersebut memiliki mekanisme menghambat sintesis hormon
tiroid tanpa memengaruhi hormon tiroid yang sudah terbentuk. PTU memiliki
keunggulan dibandingkan imidazol, yaitu mencegah konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Dosis yang digunakan pada obat PTU adalah 300—600 mg/hari dengan dosis
maksimal 1.200—2.000 mg/hari atau metimazol 30—60 mg/hari. Perbaikan gejala
hipertiroidisme dapat dilihat secara klinis dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat
tercapai dalam 6—8 minggu (Antono et al., 2009).
Pasien dengan hipertiroidisme dan AF, terapi awal harus difokuskan pada
kontrol irama jantung. Pengontrol irama jantung yang dipakai adalah obat golongan
penyekat beta (beta blocker) seperti propanolol, atenolol, atau bisoprolol. Konversi
irama AF ke irama sinus sering terjadi bersamaan dengan pengobatan hipertiroidisme.
Pemberian obat penyekat beta harus diberikan sedini mungkin pada pasien dengan
hipertiroidisme yang berhubungan dengan gagal jantung. Obat penyekat beta dapat
mengatasi palpitasi, mengontrol takikardi, tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran
darah ke kelenjar tiroid. Tujuan terapi dengan menggunakan obat penyekat beta
adalah menurunkan denyut jantung ke tingkat yang normal kemudian meningkatkan
perbaikan komponen disfungsi ventrikel kiri. Obat penyekat beta memiliki efek
remodeling pada ventrikel kiri dan peningkatan signifikan left ventricle ejection
fraction (LVEF), sehingga obat penyekat beta menjadi sangat menguntungkan bagi
pasien gagal jantung dengan hipertiroidisme (Groote, et al., 2007).
Apabila kasus hipertiroidisme berlanjut, pemberian obat antikoagulan pada
pasien harus dipertimbangkan mengingat AF dapat menjadi resiko yang tinggi dalam
perkembangan emboli. Resiko kejadian tromboemboli dan stroke pada pasien dengan
AF tidak sama. Terdapat berbagai faktor klinis yang menjadikan faktor resiko.
Metode yang digunakan dalam menilai faktor resiko kejadian tromboemboli pada
pasien dengan AF adalah dengan menggunakan indeks resiko CHA2DS2-VASc atau
Congestive Heart Failure, Hypertensio, Age > 75 years, Diabetes Mellitus, and Prior
Stroke or Transient Ischaemic Attack (TIA), Vascular Disease, Age 65—74, Sex
Category (Camm J, 2012).
Gambar 6. Skor CHA2DS2-VAS untuk menilai resiko stroke pada pasien dengan AF
© ESC
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Recommendations for the prevention of thromboembolic
events in AF (2)
© ESC
frequent clinical review and follow-up.
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Recommendations for the prevention of thromboembolic
events in AF (4)
Recommendations Class Level
In patients on VKAs with low time in INR therapeutic range (e.g. TTR <70%),
recommended options are:
I B
• Switching to a NOAC but ensuring good adherence and persistence with
therapy; or
• Efforts to improve TTR (e.g. education/counselling and more frequent INR
IIa B
checks).
Antiplatelet therapy alone (monotherapy or aspirin in combination with
III A
clopidogrel) is not recommended for stroke prevention in AF.
Estimated bleeding risk, in the absence of absolute contraindications to OAC,
III A
should not in itself guide treatment decisions to use OAC for stroke prevention.
Clinical pattern of AF (i.e. first detected, paroxysmal, persistent, long-standing persistent,
III B
© ESC
permanent) should not condition the indication to thromboprophylaxis.
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
© ESC
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
©E SC
NDCC, 24-hour Holter to check for
bradycardia.
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
© SCE
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020 -doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
©ESC
aAll rate control drugs are contraindicated in Wolff−Parkinson−White syndrome, also i.v. amiodarone. bOther beta-blockers are available but not recommended as
specific rate control therapy in AF and therefore not mentioned here (e.g. propranolol and labetalol). cNo data on atenolol; should not be used in HFrEF.
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
mortality
a All rate control drugs are contraindicated in Wolff−Parkinson−White syndrome, also i.v. amiodarone.
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Table 13 Drugs for rate control in AFa (3)
© ESC
www.escardio.org/guidelines 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation
(European Heart Journal 2020-doi/10.1093/eurheartj/ehaa612)
Gambar 11. Obat-obatan yang digunakan untuk kontrol ritme pada pasien AF
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Antono D, Kisyanto Y. Penyakit Jantung Tiroid. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (Edisi
Kelima). Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009; p. 1798-1800.
2. Bahn, R. S., Burch, H.B., Cooper, D. S., Garber, J. R., Greenlee, M. C., Klein, I., ... &
Ross, D. S. (2011). Hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis: Management
Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of
Clinical Endocrinologists. Thyroid, 21(6), 593-646.
3. Camm J. Guidelines for the management of atrial fibrillation. The Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
France, 2012.
4. Clutter WE. Hyperthyroidism. In: Green GB, Harris IS, Lin GA, Moylan KC, editors.
The Washington Manual of Medical Therapeutics (Thirty-first Edition). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2004; p.492-6.
5. Dillmann W. Cardiac function in thyroid disease: clinical features and management
considerations. Annals Thoracic Surgery. 2000;56:S9-15.
6. Fitzgerald PA. Endocrinology. In: Tierney LM. McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: McGraw Hill, 2006; p. 1135-
43.
7. Gillis AM, Verma A, Talajic M, Nattel S, Dorian P, Committee CCSAFG. Canadian
Cardiovascular Society atrial fibrillation guidelines 2010: rate and rhythm
management. The Canadian journal of cardiology 2011;27:47-59.
8. Groote P, Ennezat P, Mouquet F. Bisoprolol in the treatment of chronic heart failure.
Vascular Health and Risk Management. 2007;3(4):431-9.
9. Hussain YS, Hookham JC, Allahabadia A, Balasubramanian SP. Epidemiology,
management and outcomes of Graves' disease-real life data. Endocrine. 2017
Jun;56(3):568-578.
10. Kahaly G, Dillmann W. Thyroid hormone action in the heart. Endocrine Reviews.
2005;26(5):704-28.
11. Kalra S, Khandelwal S, Goyal A. Clinical scoring scales in thyroidology: a
compendium. Indian Journal Endocrinology Metabolic. 2011;15(2);89-94.
12. KEMENKES. (2019, September 26). Hari Jantung SEDUNIA (HJS) TAHUN 2019 :
Jantung Sehat, SDM UNGGUL. Retrieved March 31, 2021, from
http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/hari-jantung-sedunia-hjs-tahun-
2019-jantung-sehat-sdm-unggul
13. Liwanag M, Willoughby C. Atrial Tachycardia. [Updated 2020 Nov 20]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
14. Makani M, Setyaningrum N. 2017. Patterns of Furosemide Use and Electrolyte
Imbalance in Heart Failure Patients at Hospital X Yogyakarta. Yogyakarta. Program
Studi Farmasi FMIPA Universitas Islam Indonesia.
15. Osuna PM, Udovcic M, Sharma MD. Hyperthyroidism and the Heart. Methodist
Debakey Cardiovasc J. 2017;13(2):60-63.
16. Pantalone KM, Nasr C. Approach to a low TSH level: Patience is a virtue. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2010;77:803-11.
17. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDA). Prevalensi Penyakit Hipertiroid. Jakarta;
2013.p.122-13.
18. Rodriguez Ziccardi M, Goyal A, Maani CV. Atrial Flutter. [Updated 2020 Aug 10].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
19. Selmer C, Olesen JB, Hansen ML, Lindhardsen J, Olsen AM, Madsen JC, Faber J,
Hansen PR, Pedersen OD, Torp-Pedersen C, Gislason GH. The spectrum of thyroid
disease and risk of new onset atrial fibrillation: a large population cohort study. BMJ
2012;345:e7895.
20. Semiardji G. Penyakit kelenjar tiroid. Gejala diagnosis dan pengobatan. Jakarta: Balai
penerbit FKUI, 2003; p. 4-12.
21. Vargas-Uricoechea H, Bonelo-Perdomo A, Sierra-Torres CH. Effects of thyroid
hormones on the heart. Clin Investig Arterioscler. 2014;26(6):296-309.
22. Wardhini S, Suharto B. Hormon tiroid dan antitiroid. In: Ganiswara SG, Setiabudy,
Suryatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, editors. Farmakologi dan Terapi (Edisi
Keempat). Jakarta: Gaya Baru, 2003; p.420-31.
23. Wémeau JL, Klein M, Sadoul JL, Briet C, Vélayoudom-Céphise FL. Graves' disease:
Introduction, epidemiology, endogenous and environmental pathogenic factors. Ann
Endocrinol (Paris). 2018 Dec;79(6):599-607.