Disusun oleh :
NAMIROH DIMA ASH SHOLIHAT
1710221014
Pembimbing :
dr. Ingrid Widyawanti, Sp.PD
Disusun oleh :
NAMIROH DIMA ASH SHOLIHAT
1710221014
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Hipertiroid Dengan Penyakit Jantung Tiroid”. Laporan ini dibuat untuk memenuhi
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut
membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu , dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ingrid
Widyawanti, Sp.PD selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam atas kerjasamanya selama penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Nama : DH
Umur : 37 tahun
II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal perawatan umum lantai
4 ruang perawatan khusus RSPAD Gatot Subroto kepada pasien pada hari Rabu, 1
November 2017.
2
semakin memberat 1 hari terakhir ini. Sesak semakin memberat ketika beraktivitas.
Pasien mengaku menaiki tangga 2 lantai 4 hari sebelum masuk rumah sakit dan
langsung merasakan sesak. Sesak berkurang dengan istirahat. Sesak sering
mengganggu saat malam hari, sehingga pasien lebih nyaman tidur dengam 2 bantal.
Sesak disertai rasa berdebar-debar. Rasa berdebar tidak disertai rasa nyeri dada.
Berdebar juga dirasakan ketika banyak beraktivitas dan berkurang ketika istirahat.
Riwayat berdebar sebelumnya terjadi 2 tahun yang lalu. Riwayat sakit jantung
disangkal. Saat itu keluhan juga disertai matanya yang menonjol, sering berkeringat
dan rasa cepat lelah yang masih berlangsung sampai sekarang. Pasien berobat ke
dokter dan mendapatkan obat prophytiouracil, namun setelah 2 bulan pasien tidak
mengonsumsinya lagi karena merasa sudah membaik. Setelah tidak mengonsumsinya
lagi pasien mengaku lebih senang di dalam ruangan yang dingin, karena sering
berkeringat dan merasa kepanasan. Nafsu makan baik, peningkatan nafsu makan
disangkal, menurut pasien ia memang sering makan sejak dulu. Penurunan berat
badan diakui sekitar 3-4 kg sejak 2 tahun lalu. Pasien juga mengeluhkan perutnya
yang membesar 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mencurigai sesaknya
akibat perutnya yang membesar karena rasanya seperti tertekan. Riwayat gangguan
BAB disangkal. Biasanya pasien BAB 1-2 kali sehari, BAB kadang cair namun
masih ada sisa makanannya, riwayat konstipasi disangkal, riwayat BAB berdarah
disangkal, riwayat BAB dempul di sangkal, riwayat operasi saluran pencernaan
disangkal. Selain itu pasien juga mengeluhkan kakinya yang membesar disertai rasa
nyeri. Rasa nyeri sampai membuat pasien tidak bisa berjalan. Semakin digunakan,
kakinya semakin sakit. Awalnya 1 minggu yang lalu kaki tidak terlalu besar dan tidak
terlalu nyeri, 4 hari terakhir semakin berat. Besar kakinya tidak berkurang dengan
istirahat, tapi nyerinya berkurang bila kaki tidak dipergunakan. Gangguan BAK
disangkal. Pasien BAK sekitar 4-5 kali sehari, dengan banyaknya sekitar 1 gelas 220
ml, riwayat BAK berdarah disangkal, BAK berpasir disangkal, riwayat nyeri saat
BAK disangkal. Riwayat sakit ginjal. Riwayat sakit kuning di sangkal, riwayat
penyakit hati disangkal.
3
II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit yang sama sebelumnya : diakui 2 tahun yang lalu
Riwayat sakit paru : bronkitis sejak kecil
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
II.3 Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 30 Oktober 2017 jam 16.00 WIB)
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital
o Tekanan darah : 130/86 mmHg
o Denyut nadi : 86 x/menit
o Pernapasan : 24 x/menit
4
Antropometri:
o Berat Badan : 50 kg
o Habitus : Atletikus
Aspek Kejiwaan : Tingkah laku wajar, alam perasaan biasa, proses berpikir
wajar.
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Rambut : Distribusi merata
Mata : Eksoftalmus, Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Normosepta, Sekret -/-
Telinga : Sekret -/-
Mulut : Bibir lembab, lidah tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, teraba pembesaran tiroid +/+,
difus, nyeri tekan (+)
Pemeriksaan Thoraks :
o Paru
o Jantung :
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
5
Palpasi : Iktus cordis teraba pulsasi
Perkusi : Batas jantung kanan dan kiri dalam batas
normal
Pemeriksaan Abdomen:
6
Pasien 13,7 9,3-11,8 detik
APTT
Kontrol 33,4 detik
Pasien 37,1 31-47 detik
INR 1,26 0,8 -1.30
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 33 <35 U/L
SGPT (ALT) 14 <40 U/l
Albumin 3,3* 3.5 – 5.0 g/dL
Kolesterol Total < 200 mg/dL
Trigliserida <160 mg/dL
Kolesterol HDL > 35 mg/dl
Kolesterol LDL < 100 mg/dL
Ureum 10* 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 0,4* 0,5-1,5 mg/dl
Asam Urat 2,4-5,7 mg/dl
Glukosa darah
109 < 140 mg/dL
(Sewaktu)
Kalsium (Ca) 8,6 8,6-10,3 mg/dl
Magnesium (Mg) 1,38 1,8-3,0 mg/dl
Natrium (Na) 135 135-147 mmol/L
Kalium (K) 2,9** 3.5–5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 100 95–105 mmol/L
II.4.2 Elektrokardiogram
30 Oktober 2017
Irama : Sinus
Heart Rate : 120x/menit
Aksis : normoaksis (antara -300 - +1000)
Regularitas : reguler
Gel. P : P normal, p pulmonal (-)
7
31 Oktober 2017
8
Irama : Sinus
Heart Rate : 100x/menit
Aksis : normoaksis (antara -300 - +1000)
Regularitas : reguler
Gel. P : P normal, p pulmonal (-)
9
II.5 Resume
Perempuan, 37 tahun, karyawan swasta, suku batak, mengeluh dyspneu
d’effort, asites, dan edema ekstremitas inferior. Keluhan terutama dirasakan sejak 4
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat hipertiroid 2 tahun yang
lalu, dan riwayat konsumsi propiltiourasil diakui. Namun pasien menghentikan
pengobatan setelah 2 bulan merasa lebih baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang dengan
kesadaran kompos mentis, takikardia, eksoftalmus, dan struma difusa pada bagian
tiroid, teraba kenyal, tidak nyeri tekan, struma sinistra lebih besar dibanding struma
dextra.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan, pansitopenia, hipoalbuminemia, dan
hipokalemia.
10
1. Penyakit Grave
2. Gagal Jantung ec Penyakit Jantung tiroid
3. Asites
4. Pansitopenia
5. Hipokalemia
11
o Pemeriksaan Penunjang: -
o Rencana Pemeriksaan: Free T4 dan TSH, EKG, Foto Thorax
o Rencana Terapi:
o Digoxin 1x 0,25 mg
o Ramipril 1 x 2,5 mg
o Aldacton 1 x 25 mg
o Rencana Monitoring:
o Keadaan dan kesadaran umum
o Tanda vital
o Pemasangan kateter untuk monitor output cairan
3. Asites
o Anamnesis: perut membesar 4 hari smrs
o Pemeriksaan Fisik: shiffting dullness (+), undulasi (+)
o Pemeriksaan Penunjang: hipoalbuminemia 3,3 g/dl
o Rencana Pemeriksaan: USG abdomen
o Rencana Terapeutik: Lasix 2x1 amp iv
o Rencana Monitoring: -
4. Pansitopenia
o Anamnesis: -
o Pemeriksaan Fisik: -
o Pemeriksaan Penunjang: Pansitopenia
o Rencana Pemeriksaan: Apusan darah tepi
o Rencana Terapeutik: -
o Rencana Monitoring: Darah perifer lengkap
5. Hipokalemia
o Anamnesis: -
o Pemeriksaan Fisik: -
12
o Pemeriksaan Penunjang:
Hipokalemia, K= 2,9 mmol/L
o Rencana Pemeriksaan: -
o Rencana Terapeutik: IVFD KCL 25 meq
o Rencana Monitoring:
Kesadaran dan keadaan umum
Tanda Vital
Kalium darah
II.9. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
II.10 Follow Up
Pemeriksaan Fisik:
Kepala : normocephal, rambut distribusi merata
Mata : eksoftalmus +, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Struma difusa (+/+)
Pulmo: Suara nafas vesikuler, rhonchi -/-, wheezing -/-
Cor: Suara jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas: edema (-), akral hangat berkeringat
13
Skor Wayne Index: 22
Skor Burch dan Wartofsky: 10
A:
Penyakit Grave dengan Penyakit Jantung Tiroid
Hipokalemia
Batuk
O:
Rencana Diagnostik:
Free T4 dan TSH
Rencana Terapi:
IVFD Ringer Laktat + KCL 25 meq 3 x 1 Kolf
Prophyltiouracil 3 x 100 mg
Propanolol 3 x 100 mg
OBH 3xCI
Rencana Edukasi:
Diet rendah garam
Konsumsi obat jangan putus
Rencana Monitoring:
Kesadaran dan keadaan umum
Tanda Vital
Darah Lengkap (terutama Kalium)
Kamis, 2 S : pasien mengeluhkan lemas, Sesak (-), berdebar (+) berkurang, Kaki
November 2017 bengkak (-), perut bengkak (-), batuk (+),
14
O:
Compos mentis
TD 110/80 mmHg
Nadi 84 x /menit
Laju pernafasan : 19 x/menit
Suhu: 36oC
Sat.O2 : 98 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala : normocephal, rambut distribusi merata
Mata : eksoftalmus +, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Struma difusa (+/+)
Pulmo: Suara nafas vesikuler, rhonchi -/-, wheezing -/-
Cor: Suara jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas: edema (-), akral hangat
Skor Wayne Index: 22
Skor Burch dan Wartofsky: 10
A:
Penyakit Grave’s dengan penyakit jantung tiroid
Hipokalemia
Batuk
P:
Rencana Terapi:
IVFD Ringer Laktat + KCL 25 meq 3 x 1 Kolf
Prophyltiouracil 3 x 100 mg
15
Propanolol 3 x 100 mg
OBH 3xCI
Jumat, 3 S : Sesak (-), berdebar (-) berkurang, Kaki bengkak (-), perut bengkak (-),
November 2017 batuk (+)
O:
compos mentis
TD 120/80 mmHg
Nadi 88 x /menit
Laju pernafasan : 20 x/menit
Suhu: 36oC
Sat. O2 97 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala : normocephal, rambut distribusi merata
Mata : eksoftalmus +, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Struma difusa (+/+)
Pulmo: Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: Suara jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas: edema (-), akral hangat
Skor Wayne Index: 20
Skor Burch dan Wartofsky: 10
A:
Penyakit Grave’s dengan penyakit jantung tiroid
Hipokalemia (perbaikan)
O:
Rencana Terapi:
16
IVFD Ringer Laktat 3 x 1 kolf
Prophyltiouracil 3 x 100 mg
Propanolol 3 x 100 mg
OBH 3xCI
Aspar K 3 x 300 mg
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Tiroid
Kelenjar tiroid atau kelenjar gondok terletak di leher depan bagian bawah,
terdiri atas dua bagian (lobus kanan dan lobus kiri). Kedua lobus tersebut
dihubungkan oleh jaringan yang disebut istmus, sehingga secara keseluruhan kelenjar
tiroid tampak menyerupai kupu-kupu. Pada orang dewasa ukuran satu lobus kira-kira
20 gram.4,
Fungsi kelenjar tiroid adalah menghasilkan hormone tiroid yaitu T4
(tetraiodothyronine atau tiroksin) dan T3 (triiodothyronine). Proses pembentukan
hormone tiroid diatur oleh TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh
hipofisis anterior berdasakan suatu mekanisme umpan balik. Hormone TSH
merangsang kelenjar tiroid untuk membentuk hormone tiroid, bila kadar hormone
dalam darah sudah cukup atau meningkat, produksi TSH akan meenurun, begitu juga
sebaliknya. Hormon TSH berada dbawah pengaruh hormone TRH (Thyrotropin
Releasing Hormone) yang dihasilkan oleh hipotalamus.
Pembentukan hormone tiroid membutuhkan iodium. Kebutuhan iodium
bervariasi, untuk usia 0-59 buan dibutuhkan sejumlah 90 mcg sehari, usia 6-12 tahun
sejulah 120 mcg sehari, dewasa sejumlah 150 mcg sehari, dan ibu hamil dan
menyusui dibutuhkan 200 mcg sehari.
18
Meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan tubuh dan produksi panas,
serta meningkatkan laju metabolism basal
2. Metabolisme protein.
Hormon T3 dan T4 merangsang sintesis protein dan enzim, juga kerjanya
bersifat anabolik, tetapi dalam keadaan hipertiroidisme bersifat katabolik.
3. Metabolisme karbohidrat.
Meningkatkan absorpsi glukosa intestinal, glikogenolisis, menimbulkan efek
peningkatan pada kadar gula darah dari glucagon, kortisol dan hormone
pertumbuhan. Meningkatnya penggunaan glukosa oleh jaringan perifer.
4. Metabolisme lipid.
Hormon T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidsm
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
5. Efek pada pertumbuhan dan pekembangan
Mempunyai peran penting terutama pada pertumbuhan dan perkembangan
tulang belakang, dan menstimulasi pembentukan denderit, axon, myelin, dan
neuroglia.
6. Efek pada sistem saraf
Meningkatkan eksitabilitas sistem saraf pusat. Stimulasi simpatis sistem saraf
yang terjadi pada penderita hipertiroidisme mengakibatkan gangguan
psikoneurotik seperti kecemasan, paranoid, dan tremor. Pada penderita
hipotiroidisme dapat mengalami kelelahan, mengantuk, dan daya ingat
menurun.
7. Efek pada kardiovaskular5
Dalam kondisi normal, hormon tiroid memberikan efek terhadap kekuatan
kontraktilitas jantung; sel otot jantung atau kardiomiosit mengalami
perubahan struktural dan fungsional akibat efek hormon tiroid. Pada penyakit
tiroid, baik hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, terjadi kelainan patologis
pada jantung yang disebut penyakit jantung tiroid. Gangguan irama jantung,
19
hipertrofi ventrikel kiri, dan gagal jantung merupakan efek patologis hormon
tiroid pada jantung.
20
pengaturan fungsi sistolik dan diastolik jantung. Gen Na+/K+- ATPase dan voltage-
gated potassium channels mengatur respons elektrik dan kimiawi kardiomiosit.1 T3
meningkatkan ekspresi protein pengatur transportasi ion tersebut yang berperan
dalam menghantarkan aktivitas elektrik kardiomiosit. Gen reseptor adrenergik beta-1
menyandi protein reseptor beta-1 pada membran plasma kardiomiosit, yang berfungsi
sebagai penghantar respons- respons jantung terhadap pacuan simpatis dan
adrenergik. Ekspresi reseptor beta-1 mengalami peningkatan akibat pengaruh T3.
Jenis kedua adalah gen yang diatur secara negatif, yaitu gen-gen yang
mengalami penurunan aktivitas transkripsi akibat T3. Gen ini antara lain gen beta-
miosin rantai berat, fosfolamban, adenilil siklase tipe V dan VI, thyroid hormone
receptor-1, dan Na+/Ca exchanger. Gen beta-miosin rantai berat menyandi protein
2
miosin rantai berat tipe beta pada lamen tebal yang merupakan ATPase miosin tipe
lambat. T3 menurunkan ekspresi gen beta-miosin rantai berat sekaligus menaikkan
ekspresi alfa-miosin rantai berat, menghasilkan efek hipertro dan peningkatan
kontraktilitas kardiomiosit. Fosfolamban merupakan penghambat Ca2+-ATPase
retikulum endoplasma dalam memompa kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma.5
T3 menurunkan ekspresi gen fosfolamban dan sekaligus meningkatkan aktivitas
SERCa2. Pada hipotiroidisme, ekspresi fosfolamban pada kardiomiosit meningkat,
menyebabkan hambatan ambilan kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma sehingga
kalsium sitoplasma meningkat dan mengganggu fase diastolik.
Hormon tiroid juga bekerja secara non- genomik, yaitu melalui efek
ekstranuklear pada kardiomiosit. Aksi ini tidak melibatkan TRE maupun transkripsi
gen. Mekanisme efek non-genomik ini terjadi melalui ikatan T3 atau T4 pada
reseptor dalam membran plasma, retikulum sarkoplasma, sitoskeleton, mitokondria
atau elemen- elemen kontraktil kardiomiosit, dan ikatan T3 langsung pada protein
spesi k dalam sitoplasma kardiomiosit. Efek non-genomik ini muncul lebih cepat
dibandingkan efek genomik hormon tiroid. Efek-efek yang terjadi pada mekanisme
non-genomik ini adalah perubahan polarisasi dan permeabilitas saluran ion untuk
Na+, K+, dan Ca2+ pada membran plasma, pacuan aktivitas Ca2+-ATPase pada
sarkolema dan retikulum sarkoplasma, aktivasi reseptor beta adrenergik, polimerisasi
21
aktin, dan modulasi fungsi adenine nucleotide translocator-1 pada membran
mitokondria.1,7 Pada peningkatan T3 sirkulasi dalam jangka waktu pendek, efek non-
genomik lebih berperan dibanding efek genomik. Namun, pada hipotiroidisme atau
hipertiroidisme jangka lama, efek genomik lebih menonjol.
III.2 Hipertiroidisme
III.2.1 Definisi
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid
memproduksi hormone tiroid berlebihan. Tirotoksikosis adalah gejala yang
diakibatkan peningkatan kadar hormone tiroid di dalam darah.1,2,7
III.2.2 Epidemiologi
Di Indonesia sekitar 700.000 penduduk usia diatas 15 tahun terdiagnosis
hipertiroid pada tahun 2013, dengan jumlah tertinggi pada daerah Provinsi Jawa
Tengah 120.447 penduduk.1 Berdasarkan penyebabnya sekitar 60-80 %
hipertiroidisme disebakan oleh penyakit Grave. Hal ini juga lebih sering ditemukan
pada wanita dengan rasio wanita terhadap laki-laki 8:1 dan tampaknya bermanifestasi
pada dekade ketiga dan keempat kehidupan.1,2
22
Merokok dapat menyebabkan kekurangan oksigen di otak dan nikotin dalam
rokok dapat memacu peningkatan reaksi inflamasi
5. Stres
Stress juga berkorelasi dengan antibodi terhadap antibodi TSH-reseptor
6. Riwayat Keluarga yang berhubungan dengan autoimun
7. Zat kontras yang mengandung iodium
Hipertiroidisme terjadi setelah mengalami pencitraan menggunakan zat
kontras yang mengandung iodium
8. Obat-obatan
Amiodaron, Lithium karbonat, aminogluthethimide, interferon alfa,
thalidomide, betaroxine, stavudine
III.2.4 Etiologi2,4
a. Penyakit Grave
Grave’s disebabkan oleh antibodi dalam darah yang ada pada tiroid
menyebabkan banyak sekresi hormon tiroid, dipengaruhi oleh riwayat
keluarga dan sering terjadi pada wanita. Penyakit Grave pada umumnya
ditandai dengan eksoftalmus, tirotoksikosis dan struma difusa.
b. Tiroiditis
Kondisi ini disebabkan oleh masalah sistem hormon atau infeksi virus yang
menyebabkan kelenjar menghasilkan hormon tiroid.
23
III.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis berdasarkan organ dapat dilihat pada gambar dibawah :
III.2.6 Diagnosis
Pada anamnesis dapat ditanyakan gejala seperti pada gambar 1. Pada pasien
lanjut usia gejala yang timbul mungkin hanya berupa kelelahan dan penurunan berat
badan. Keadaan ini disebut tirotoksikosis apatetik.
Untuk membantu diagnosis Indeks klinis Wayne. Indeks ini sudah dikenal
sejak lama dan sangat membantu mendiagnosis hipertiroidisme dengan tingkat
akurasi sebesar 85%. Skor tersebut berkisar dari +45 sampai -25. Skor yang lebih
besar dari 19 menunjukkan hipertiroidisme sedangkan skor kurang dari 11
menunjukkan eutiroidisme dan skor antara 11 dan 19 masih ragu-ragu.
24
Gambar 2 Skoring menggunakan Indeks Wayne 5
25
III.2.7 Penatalaksanaan
Terdapat tiga modalitas terapi penyakit Grave, yaitu obat antitiroid, tindakan
bedah, dan terapi radioiodine.4,6
Obat anti tiroid (OAT) merupakan yang paling banyak digunakan. Tujuan
pemberian untuk menurunkan konsentrasi hormone tiroid di perifer. OAT terdiri dari
2 golongan yaitu Tionamid (propiltiourasil (PTU)) dan golongan Imidazol
(Metimazol, Tiamazol, Karbimazol). Obat golongan ini bekerja di intratiridal,
ekstratiroidal, dan mengenali proses imunologi pada penyakit grave. Pada
intratiroidal OAT menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, inhibisi couping
iodotirosin, serta mempengaruhi struktur dan biosintesis tiroglobulin. Pada jaringan
ekstratiroidal, OAT menghambat konversi T3 menjadi T3. Secara imunologi,
pengaruh OAT pada respon imun masih kontroversial. OAT diberikan dengan dosis
tinggi di awal sampai tercapai kondisi eutiroid, dosisi dikurangi hingga tercapai dosis
kecil yang efektif. Dosis awal PTU 100-300 mg/hari4. Dosis awal Metimazol dan
Tiamazol adalah 20-40 mg/hari. Pemberian OAT pada penyakit Grave sampai
tercapai klinis eutiroid dan dipertahankan selama 12-24 bulan sampai tercapa kondisi
remisi. Relaps bisa terjadi mulai 3-6 bulan obat dihentikan. Apabila terjadi, OAT
dapat diberikan kembali.
Radioiuodin menggunakan yodium radioaktif untuk menghancurkan sel-sel
tiroid secara progresif. Radioiodinasi dapat dipertimbangkan sebagai lini pertama
maupun sebagai lini kedua pada pasien yang mengalami relaps setelah pengobatan
OAT. Kontraindikasi pada ibu hamil dan menyusui.
Tindakan bedah dapat dipertimbangkan pada pasien yang sudah menjalani
pengobatan dengan OAT namun mengalami relaps. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah perdarahan, edema laring, hipoparatiroidisme, dan cedera laringeus rekurens.
Penatalaksanaan bertujuan mencapai remisi, yaitu keadaan dimana pasien
masih dalam keadaan eutiroid setelah OAT dihentikan selama 1 tahun.
26
III.2.8 Krisis Tiroid
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam nyawa dan
ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan
sistem saluran cerna.8,9
Krisis tiroid sering terjadi pada pasien dengan hipertiroid yang tidak diberikan
terapi atau mendapat terapi yang tidak adekuat, dan dipicu oleh adanya infeksi,
trauma, pembedahan tiroid atau diabetes melitus yang tidak terkontrol. Sindrom ini
paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit Graves, tiroiditis dan struma
multinodosa toksik.
Angka mortalitasnya cukup tinggi, sehingga diagnosis dini yang tepat dan
terapi agresif yang adekuat dapat menurunkan mortalitas.
Penegakan diagnosis krisis tiroid lebih didasarkan pada gambaran klinis
dibandingkan dengan hasil uji laboratorium yang hasilnya tidak segera didapat,
dengan demikian pengelolaan krisis tiroid tidak perlu menunggu hasil uji fungsi
tiroid.1,3 Gambaran klinis krisis tiroid yang khas meliputi demam dengan suhu >
38,5oC, gangguan kardiovaskular berupa hipertensi dengan tekanan nadi yang
melebar, yang pada fase berikutnya hipotensi disertai tanda-tanda gagal jantung
antara lain brilasi atrium atau takikardi ventrikular, dan gangguan neurologik berupa
agitasi hiperre eksia, tremor, kejang, dan koma.
Untuk memudahkan diagnosis, digunakan skor kriteria Burch dan Wartofsky;
skor lebih dari 45 berarti diagnosis krisis tiroid dapat ditegakan. Penggunaan skor
kriteria ini sebagai petunjuk diagnosis dilaporkan meningkatkan keberhasilan
resusitasi.
27
Gambar 4. Skor kriteria Burch dan Wartofsky8
Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan hasil pemeriksaan fungsi tiroid
yaitu kadar thyroid- stimulating hormone (TSH) tidak terdeteksi (<0,001 mU/L) dan
peningkatan kadar T3, free T4 dan total. Biasanya peningkatan kadar T3 lebih
menonjol dibandingkan T4 karena terjadi bersamaan dengan peningkatan konversi
hormon tiroid perifer T4 ke T3.1-4 Hasil pemeriksaan fungsi tiroid yang didapat 1
hari setelah diambil contoh darah mendukung diagnosis krisis tiroid pada pasien ini.
Pengelolaan krisis tiroid memerlukan pemantauan intensif sehingga pasien
harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Tujuan pengelolaan dapat dikelompokan
menjadi beberapa pendekatan yaitu usaha untuk menurunkan sintesis dan sekresi
hormon tiroid, strategi menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid, terapi mencegah
dekompensasi sistemik dan terapi penyakit pemicu. Selanjutnya terapi definitif
penyebab disfungsi tiroid berupa terapi obat anti tiroid, pemberian iodium radioaktif
atau pembedahan tiroidektomi bila kegawatan telah teratasi.
28
III.3 Penyakit Jantung Tiroid
III.3.1 Definisi
Penyakit jantung tiroid adalah suatu keadaan kelainan fungsi dan atau struktural
jantung menetap yang murni terjadi akibat gangguan fungsi tiroid, dan tidak
didapatkan penyebab atau etiologi lain dari kelainan jantung tersebut.6
III.3.2 Epidemiologi
Data penyakit jantung tiroid sampai saat ini belum diketahui. Sebagai dasar
penyakit tiroid cukup sering dijumpai, lebih banyak pada populasi wanita
dibandingkan pria dewasa. Prevalensi penyakit tiroid 9-15 %. Hipertiroidisme 4-8
kali lebih sering pada wanita, dengan insiden terbanyak pada dekade ke-3 atau ke 4.
Perbedaan ini diduga berkaitan dengan mekanisme autoimun yang mendasari
sebagian besar penyakit tiroid. Selama ini telah diketahui autoimun lebih banyak pada
wanita.6
III.3.3 Etiologi
Hipertiroid atau hipotiroid yang berlangsung cukup lama. Penyebab hipertiroid
adalah Grave’s disease, goiter multinodular, adenoma toksik dan proses keganasan
kelenjar tiroid. Penyebab hipotiroid tiroiditis Hashimoto, tiroidits sub-akut (de-
Quervain), defisiensi yodium.
29
Pasien dengan penyakit jantung tiroid sering mengeluhkan gejala-gejala yang
berkaitan dengan perubahan kronotropik. Pasien sering mengalami palpitasi, irama
jantung yang tidak teratur, dan dispnea saat beraktivitas. Pada pasien lanjut usia yang
memiliki dasar penyakit arteri koroner, angina pektoris dapat terjadi bersamaan
dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien dengan hipertiroidisme dapat
menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa kelainan jantung
sebelumnya.
30
III.3.5 Diagnosis
Penentuan gangguan fungsi tiroid yang sudah lama menetap. Penentuan
gangguan fungsi tiroid dengan pemeriksaan kadar FT3, FT4, TSH, antibody tiroid,
scan radioisotope, USG tiroid, biopsy jarum halus bila perlu. Penentuan adanya
gangguan struktur dan fungsi jantung dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto
ronsen toraks, EKG, dan ekokardiografi.
III.3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroidisme dengan komplikasi kardiovaskular
memerlukan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan mempertimbangkan faktor
kardiovaskular tersebut. Tujuan pengobatan ialah secepatnya menurunkan keadaan
hipermetabolik dan kadar hormon tiroid yang berada dalam sirkulasi. Keadaan
sirkulasi hiperdinamik dan aritma atrial akan memberikan respon baik dengan
pemberian obat penyekat beta. Dalam hal ini, propanolol merupakan obat pilihan
karena bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat besar dalam
menurunkan frekuensi denyut jantung. Selain itu, penghambat beta dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pada pasien dengan gagal jantung
berat, penggunaan obat penyekat beta harus dengan sangat hati-hati karena dapat
memperburuk fungsi miokard, meskipun beberapa sumber mendapat hasil baik pada
pengobatan pasien gagal jantung akibat tirotoksikosis. Bahaya lain dari obat penyekat
beta ialah dapat menimbulkan spasme bronkial, terutama pada pasien dengan asma
bronkial. Dosis yang diberikan berkisar antara 40-160 mg per hari dibagi 3-4 kali
pemberian.
Obat antitiroid yang banyak digunakan ialah PTU dan imidazol (metimazol,
tiamazol, dan karbimazol). Kedua obat ini termasuk dalam golongan tionamid yang
kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid, tetapi tidak memengaruhi sekresi
hormon tiroid yang sudah terbentuk. Propiltiourasil mempunyai keunggulan
mencegah konversi T4 menjadi T3 di perifer. Dosis awal PTU yang digunakan ialah
31
100-300 mg/hari atau metimazol 30-60 mg sehari. Perbaikan gejala hipertiroidisme
biasanya terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam 6-8 minggu.
Pada pasien dengan hipertiroidisme dan atrial fibrillation (AF), terapi awal
harus difokuskan pada kontrol irama jantung dengan menggunakan penyekat beta
(propanolol, atenolol, bisoprolol), tetapi konversi ke irama sinus sering terjadi secara
spontan bersamaan dengan pengobatan hipertiroidisme. Pemberian penyekat beta
pada kasus hipertiroidisme terkait dengan gagal jantung, harus diberikan sedini
mungkin. Golongan obat penyekat beta dapat mengontrol takikardia, palpitasi,
tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid. Tujuan terapi
dengan penyekat beta ialah menurunkan denyut jantung ke tingkat mendekati normal
dan kemudian meningkatkan perbaikan komponen disfungsi ventrikel kiri (LV).
Penggunaan bisoprolol memiliki efek menguntungkan pada kasus gagal jantung
dengan AF karena berhubungan dengan remodeling dari ventrikel kiri dan terdapat
peningkatan signifikan left ventricle ejection fraction (LVEF). Jika AF berlanjut,
pertimbangan harus diberikan untuk antikoagulasi, terutama pada pasien yang
berisiko tinggi terhadap emboli. Terapi antikoagulan pada pasien hipertiroidisme
dengan AF masih kontroversial. Frekuensi rata-rata insiden tromboemboli pada
pasien hipertiroidisme sekitar 19%. Beberapa peneliti tidak merekomendasikan
pemberian obat antikoagulan pada pasien usia muda dengan durasi AF yang pendek
(kurang dari 3 bulan) dan tanpa kelainan jantung oleh karena konversi ke irama sinus
akan terjadi setelah diterapi dengan obat antitiroid. Pasien dengan AF kronik dan
mempunyai kelainan jantung organik, berisiko tinggi terjadinya emboli sehingga
merupakan indikasi pemberian antikoagulan. Jika AF belum teratasi, perlu dilakukan
kardioversi setelah 16 minggu telah menjadi eutiroidisme. Perlindungan antikoagulan
terus diberikan sampai 4 minggu setelah konversi.
Pada pasien hipertiroidisme dengan gagal jantung, terapi diuretik digunakan
untuk mengatasi kelebihan cairan, tetapi pengobatan awal harus mencakup pemberian
penyekat beta. Terapi rutin untuk gagal jantung, termasuk inhibitor ACE, harus
digunakan pada pasien yang sudah dideteksi adanya disfungsi LV atau pada pasien
gagal jantung yang tidak membaik ketika detak jantung menjadi normal. Terapi
32
tambahan yang dapat diberikan untuk memperbaiki metabolisme miosit jantung ialah
penggunaan Ko-enzim-10 dan Trimetazidin. Ko-enzim Q-10 (CoQ10) merupakan
suatu nutrien yang berperan vital dalam bioenergetik otot jantung yaitu sebagai
kofaktor produksi adenosin trifosfat (ATP) mitokondrial. Efek bioenergetik CoQ10
ini sangat penting dalam aplikasi klinik, terutama hubungannya dengan sel-sel yang
mempunyai kebutuhan metabolik sangat tinggi seperti miosit jantung. Nutrien ini
merupakan antioksidan poten yang memiliki implikasi penting dalam fungsi jantung
terutama pada kondisi cedera iskemia reperfusi pada miokard. Ko-enzim Q10 dapat
memengaruhi perjalanan penyakit kardiovaskular dengan mempertahankan fungsi
optimal dari miosit dan mitokondria. Trimetazidin telah diketahui sejak lama efektif
pada penatalaksanaan angina melalui efek penghambatan rantai panjang 3-ketoasil
koenzim A tiolase mitokondria yang menghambat metabolisme asam lemak sehingga
dapat mengubah metabolisme energi. Keadaan ini akan menstimulasi penggunaan
glukosa dan akan memroduksi ATP dengan konsumsi oksigen yang lebih rendah.
Untuk penanganan hipertiroidismenya, pada awal pengobatan, pasien dikontrol
setelah 4-6 minggu. Setelah tercapai eutiroidisme, pemantauan dilakukan setiap 3-6
bulan sekali terhadap gejala dan tanda klinis, serta laboratorium (FT4 dan TSHs).
Dosis obat antitiroid dikurangi dan dipertahankan dosis terkecil yang masih
memberikan keadaan eutiroidisme selama 12-24 bulan. Pengobatan kemudian
dihentikan dan dinilai apakah telah terjadi remisi, yaitu bila setelah 1 tahun obat
antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroidisme, walaupun kemudian
hari dapat tetap eutiroidisme atau terjadi relaps.
33
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
34
difus coli dextra dan sinistra, teraba kenyal dan tidak nyeri tekan, asites, ekstremitas
superior berkeringat, tremor tidak ditemukan, dan edema ektremitas inferior. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hipoalbuminemia dan hipokalemia.
Pemeriksaan fungsi tiroid didapatkan free T4 58,46 TSH <0,05.
Penatalaksanaan yang diberikan selanjutnya adalah PTU 4 x 100 mg, Lugol 5
tetes per 6 jam, propanol 4 x 10 mg, dexametason 3 x 10 mg, digoxin oral 1 x 0,25
mg, ramipril 1 x 2,5 mg, aldacton 1x 25 mg dan lasix 2 x 1 ampul. Pasien juga
dilakukan pemasangan kateter untuk memantau jumlah cairan dalam tubuh.
Berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
diatas ditemukan gejala yang sesuai dengan hipertiroidisme, yaitu suatu keadaan yang
disebabkan kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid berlebihan. Berdasarkan
Wayne Thyroid Score didapatkan skor 24 yang artinya klinis hipertiroid terdapat pada
pasien ini. Hipertiroidisme 60-80 % disebabkan oleh penyakit Grave. Penyakit Grave
ditandai dengan adanya tirotoksikosis (hiperaktivitas, iritabiitas, disforia, tidak tahan
terhadap udara panas, berkeringat berlebihan, palpitasi, lelah, penurunan berat badan
namun nafsu makan meningkat, diare, oligomenore, penurunan libido), disertai
struma difus dan oftalmopati. Penyakit Grave terjadi akibat autoimun yang
memproduksi auntoantibodi yang menganggap tirotropin receptor pada kelenjar
tiroid sebagai antigen, sehingga merangsang tiroid memproduksi T4 terus menerus.
Adanya T4 yang banyak dalam darah memberikan sinyal negatif pada hipofisis
anterior sehingga produksi Thyroid Stimulatinng Hormone (TSH) menurun. Hal
tersebut sesuai dengan yang didapatkan pada pasien ini. Manifestasi klinis didukung
dengan hasil fungsi tiroid yang menunjukkan adanya peningkatan kadar T4 bebas
dalam darah dan penurunan TSH.
Pasien memiliki riwayat berhenti mengonsumi obat prophyltiouracil setelah 2
tahun lalu terdiagnosis penyakit Grave. Kondisi ini dapat memicu terjadi krisis tiroid.
Penegakan diagnosis krisis tiroid lebih didasarkan pada gambaran klinis
dibandingkan dengan hasil uji laboratorium yang hasilnya tidak segera didapat,
dengan demikian pengelolaan krisis tiroid tidak perlu menunggu hasil uji fungsi
tiroid. Gambaran klinis krisis tiroid yang khas meliputi demam dengan suhu >38,5oC,
35
gangguan kardiovaskular berupa hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar, yang
pada fase berikutnya hipotensi disertai tanda-tanda gagal jantung antara lain fibrilasi
atrium atau takikardi ventrikular, dan gangguan neurologik berupa agitasi,
hiperefleksia, tremor, kejang, dan koma. Untuk memudahkan diagnosis, digunakan
skor kriteria Burch dan Wartofsky, skor lebih dari 45 berarti diagnosis krisis tiroid
dapat ditegakan. Penggunaan skor kriteria ini sebagai petunjuk diagnosis dilaporkan
meningkatkan keberhasilan resusitasi. Pasien ini memperoleh skor 5 untuk disfungsi
pengaturan suhu, skor 10 untuk gangguan sistem saraf pusat, skor 0 untuk disfungsi
gastrointestinal, skor 5 untuk disfungsi kardiovaskular, skor 5 untuk gagal jantung
kongestif, skor 0 untuk fibrilasi atrium, dan skor 10 untuk riwayat adanya kondisi
pemicu (hipertiroid sebelumnya). Sehingga skor total yang didapatkan adalah 20
dengan interpretasi unlikely thyroid storm. Namun kadar T4 bebas yang tinggi dan
TSH yang rendah serta adanya riwayat hipertiroid sebelumnya, membuat pasien di
observasi untuk melihat gejala – gejala yang yang mungkin mengarah pada krisis
tiroid.
Pengelolaan krisis tiroid dilakukan dengan menurunkan sintesis dan sekresi
hormon tiroid, menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid dengan menghambat
konversi T4 ke T3, terapi mencegah dekompensasi sistemik, terapi penyakit pemicu
dan terapi suportif. Obat-obat yang dapat menghambat secara menyeluruh dan cepat
sintesis hormon tiroid adalah pemberian propiltiourasil (PTU) dan methimazole
(MMI). PTU merupakan tionamid pilihan pertama, karena dapat pula menghambat
konversi perifer T4 menjadi T3.
Sekresi hormon tiroid dapat juga dihambat dengan sediaan yang mengandung
iodium sangat tinggi, yang dapat menurunkan uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan
lugol atau cairan jenuh kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi
iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI,
oleh karena iodium yang digunakan secara tunggal ikut berperan dalam
meningkatkan cadangan hormon tiroid sehingga dapat memperburuk krisis tiroid.
Sediaan iodium dapat pula mencegah konversi T4 menjadi T3. Cairan lugol dapat
diberikan dengan dosis 4-8 tetes setiap 6 jam.
36
Obat-obat golongan glukokortikoid memegang peran yang penting pada terapi
krisis tiroid. Glukokortikoid dapat menurunkan uptake iodium dan titer antibodi yang
terstimulasi oleh hormon tiroid. Hidrokortison dan deksametason dapat menurunkan
konversi T4 menjadi T3, dan mempunyai efek langsung terhadap proses autoimun
pada penyakit Graves, dan telah terbukti memperbaiki prognosis.
Golongan beta-blocker seperti propanolol sering digunakan dengan tujuan
menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan menghambat pengaruh perifer hormon
tiroid. Selain itu dapat membantu mengurangi gejala palpitasi yang dirasakan pasien.
Gejala sesak saat beraktivitas sepeti menaiki tangga dan menghilang setelah
istirahat, sesak pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspnea) dan tidur dengan 2
bantal menunjukkan adanya gangguan kardiovaskular. Menurut kriteria Framingham
untuk gagal jantung, pasien ini memenuhi 1 kriteria mayor (Paroxysmal nocturnal
dyspneau) dan 2 minor (edema ekstremitas dan dispneu d’effort). Berat ringannya
gejala atau keterbatasan fisik di atas tergantung pada kemajuan penyakit. Untuk itu
The New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasikan pasien gagal jantung
berdasarkan keterbatasan fisik. Pasien ini tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat
dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan sehingga termasuk NYHA kelas II. Pasien
dengan klinis tiroid dengan gangguan kardiovaskular mengindikasikan adanya
penyakit jantung tiroid (PJT).
Tatalaksana PJT meliputi penanganan kelainan tiroid (hipertiroid/hipotiroid)
dan penanganan kelainan jantung yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya kongesti,
ada tidaknya gangguan irama da nada tidaknya komplikasi seperti syok atau
tamponade jantung.
Untuk gagal jantung kongestif dilakukan pembatasan aktivitas, restriksi garam
dan cairan dan pemberian diuretic, ACE-inhibitor dan penghambat beta bila sudah
tidak kongestif. Penghambat beta juga dapat mengurangi gangguan irama jantung dan
mengendalikan palpitasi, tremor, dan kecemasan.
37
BAB V
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39