Anda di halaman 1dari 43

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217036

**Pembimbing

PERITONITIS DIFFUSE ET CAUSA

APPENDISITIS PERFORASI

Alvin Pratama, S.Ked* dr. Dennison, Sp. B**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH

RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION

PERITONITIS DIFFUSE ET CAUSA

APPENDISTIS PERFORASI

Oleh:

ALVIN PRATAMA, S.Ked

G1A217036

Telah Disetujui dan Dipresentasikan sebagai Salah Satu Tugas

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Bedah

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

2018

Jambi, September 2018

Pembimbing,

dr. Dennison, Sp. B


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Case Report
Session ini dengan judul “Peritonistis Diffuse et causa Appendisitis Perforasi”. Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Bedah RSUD Raden
Mattaher Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.
Dennison, Sp. B, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan
Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan Case Report Session ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya
laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia
kesehatan pada umumnya.

Jambi, September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ................................................................................................................ i

Halaman Pengesahan ...................................................................................................... ii

Kata Pengantar ................................................................................................................ iii

Daftar Isi ......................................................................................................................... iv

BAB I Pendahuluan ........................................................................................................ 1

BAB II Laporan Kasus.................................................................................................... 3

2.1 Identitas Pasien ............................................................................................ 3

2.2 Anamnesis .................................................................................................... 3

2.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 4

2.4 Pemerikaaan Penunjang ............................................................................... 7

2.5 Diagnosis ..................................................................................................... 8

2.6 Diagnosa Banding ............................................................................................ 8

2.7 Tatalaksana .................................................................................................. 8

2.8 Prognosis ...................................................................................................... 8

2.9 Follow-up Keadaan Pasien .......................................................................... 9

BAB III Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 12

3.1 Akut Abdomen ........................................................................................... 12

3.2 Peritonitis ..................................................................................................... 12

3.3 Appendisitis ................................................................................................... 20

BAB IV Analisa Kasus ................................................................................................... 34


BAB V Kesimpulan ........................................................................................................ 36

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 37


BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang sering dikeluhkan
dan menjadi alasan utama pasien datang ke dokter. Tetapi, nyeri abdomen yang
dijadikan sebagai keluhan utama masih memberikan banyak kemungkinan
diagnosis karena nyeri dapat berasal baik dari organ dalam abdomen (nyeri viseral)
maupun dari lapisan dinding abdomennya (nyeri somatik). Nyeri akut abdomen
yang timbul bisa tiba-tiba atau sudah berlangsung lama. Namun, penentuan lokasi
dari nyeri abdomen mampu membantu dokter untuk mengarahkan lokasi pada
organ yang menyebabkan nyeri tersebut, walaupun nyeri yang dirasakan mungkin
akibat dari penjalaran organ lain. Salah satu lokasi nyeri abdomen yang paling
sering terjadi yaitu pada titik Mc Burney.1
Nyeri pada titik ini mengarah pada infeksi di apendiks (apendisitis). Apendisitis
adalah penyakit pada bedah mayor yang paling sering terjadi dan biasanya sebagian
besar dialami oleh para remaja dan dewasa muda. Dalam kasus ringan,
apendisitis dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka
kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika apendiks yang
terinfeksi mengalami perforasi.2
Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun
dengan angka kematian 9661 ribu orang meninggal. Di Indonesia sampai saat ini
peritonitis masih menjadi masalah yang besar dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi
pada selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis
bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan
oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang
biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.3
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan);
kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. K
Umur : 33 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Telanaipura
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Masuk RS : 11 Agustus 2018

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak 3 hari yang
lalu SMRS.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak 3 hari yang
lalu SMRS. Nyeri perut pada awalnya timbul di bagian perut kanan bawah dalam 2
minggu terakhir ini, dirasakan berulang sejak 6 bulan lalu. Saat ini nyeri dirasakan
di seluruh perut. Nyeri dirasakan semakin berat dan terus-menerus nyeri dirasakan
seperti tertusuk-tusuk, perut terlihat kembung dan keras. Demam (+), Mual (+),
muntah (-), lemas (+), nafsu makan menurun (+), flatus (+), sulit BAB (+), BAK
(+), sakit kepala (+). Pasien sedang tidak hamil

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat keluhan seperti ini : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat Hipertensi : Disangkal
- Riwayat DM : Disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat Hipertensi (+)
- Riwayat DM (+)

2.3 Pemeriksaan Fisik


TANDA VITAL
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 95 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 37,7 ºC

STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)

Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)

Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah

Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)

Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (2-5) cm H2O

Thorax
Bentuk : Simetris
 Paru-paru
 Inspeksi : Pernafasan simetris
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Cembung, distensi abdomen (+), sikatrik (-), massa
(-), bekas operasi (-)
 Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri
lepas (+), defans muscular (+), hepar dan lien tidak teraba, Rovsing
sign (+), Psoas sign (+), obturator sign (+).
 Perkusi : Timpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh lapangan
abdomen
 Auskultasi : Bising usus menurun
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal

Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (11-08-2018)
WBC : 14,16 109/L (4-10)
RBC : 3,51 1012/L (3,50- 5,50)
HGB : 9,5 g/dl (11,0-16,0)
HCT : 27,7 % (35-50)
PLT : 340 109/L (100-300)
MCV : 78,8 fL (88-99)
MCH : 27,1 pg (26-32)
MCHC : 343 g/dl (320-360)
GDS : 174 mg/dl (<200)
Kimia Darah (12-08-2018)
Ureum : 10 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0,5 mg/dl L (0,9-1,3), P (0,6-1,1)
Elektrolit (12-08-2018)
Na : 139,32 mmol/L (135-148)
K : 3,70 mmol/L (3,5-5,3)
Cl : 108,51 mmol/L (98-110)
Ca : 1,30 mmol/L (1,19-1,23)
2.5 Diagnosa Kerja
Peritonitis diffuse et causa apppendisitis perforasi

2.6 Diagnosis Banding


- Gastroenteritis
- Ruptur kolelitiasis
- Ulkus peptikum perforasi
- Kehamilan ektopik
- Pelvic inflammatory disease
2.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr
- Drip PCT 500mg
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Pasang kateter dan NGT

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
TGl S O A P
12/08/18 Pasien mengeluhkan KU : Tampak Abdomen Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
nyeri perut (+) mual kesakitan I: distensi (+) - Inj. Ceftriaxone 2x1 g
et causa
(+), muntah (-) GCS : E4V5M6 A: BU (+) ↓ - Inj. Ranitidine 2x1 amp
demam (-) TD : 110/70 P: NT(+) seluruh apppendisitis - Ajukan USG abdomen
N: 88 x/mnt lapang perut, mc
perforasi
RR : 24 x/mnt burney(+)
T : 36,9⁰C P: timpani

13/08/18 Nyeri seluruh lapang KU : tampak Abdomen Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
perut. Demam (-), kesakitan I : Distensi (+) - Inj. Ceftriaxone 1x2
et causa
mual (+), muntah (-), GCS : E4V5M6 A : BU (+) ↓ amp
BAB (-), BAK (+) TD : 120/70 P : NT (+) seluruh apppendisitis - Inj. Ranitidine 2x1 amp
normal RR : 23x /m lapang perut, mc - Pemeriksaan USG
perforasi
N : 89 /m burney (+) -
T : 36,5⁰C P : timpani

14/08/18 Nyeri seluruh KU : tampak Abdomen Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm


lapang perut. kesakitan I : Distensi (+) - Inj. Ceftriaxone 1x2
et causa
Demam (-), mual GCS : E4V5M6 A : BU (+) ↓ amp
(+), muntah (-), TD : 120/80 P : NT (+) seluruh apppendisitis - Inj. Ranitidine 2x1 amp
BAB (-), BAK (+) RR : 20x /m lapang perut, mc
perforasi
normal N : 90x /m burney (+) Pro Laparotomy tgl
T : 36,5⁰C P : timpani 15/08/18, hasil USG
menunjukkan adanya
appendisitis.
15/08/18 Nyeri seluruh KU : tampak Abdomen Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
lapang perut. kesakitan I : Distensi (+) - Inj. Ceftriaxone 1x2 amp
et causa
Demam (-), mual GCS : E4V5M6 A : BU (+) ↓ - Inj. Ranitidine 2x1 amp
(+), muntah (-), TD : 100/80 P : NT (+) seluruh apppendisitis - Pro Laparotomy
BAB (-), BAK (+) RR : 20x /m lapang perut, mc
perforasi
normal N : 104x /m burney (+)
T : 36,9⁰C P : timpani

16/08/18 Nyeri perut, post op KU : Tampak Produksi drain ± Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
hari pertama lemah, GCS 15 20cc - Inj. Ceftriaxone 1x2
et causa
TD : 120/70 amp
RR : 20x /m apppendisitis - Inj. Ranitidine 2x1 amp
N : 96x /m - Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
perforasi
T : 36,9⁰C

17/08/18 Nyeri perut KU : Tampak sakit Produksi drain ± Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
berkurang, post op sedang, GCS 15 30cc, - Inj. Ceftriaxone 1x2
et causa
hari kedua TD : 120/80 Bising usus (+) amp
RR : 20x /m nyeri tekan (-) apppendisitis - Inj. Ranitidine 2x1 amp
N : 94x /m - Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
perforasi
T : 36,6⁰C

18/08/18 Nyeri perut KU: Tampak sakit Bising usus (+) Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
berkurang, post op ringan, GCS 15 nyeri tekan (-) - Inj. Ceftriaxone 1x2
et causa
hari ketiga TD : 120/80 amp
RR : 20x /m apppendisitis - Inj. Ranitidine 2x1 amp
N : 92x /m - Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
perforasi
T : 36,9⁰C - Rawat jalan
18/08/18 Nyeri perut KU: Tampak sakit Bising usus (+) Peritonitis diffuse - IVFD RL 20 tpm
berkurang, post op ringan, GCS 15 nyeri tekan (-) - Inj. Ceftriaxone 1x2
et causa
hari keempat TD : 120/80 BAB (+) amp
RR : 20x /m apppendisitis - Inj. Ranitidine 2x1 amp
N : 90x /m - Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
perforasi
T : 36,8⁰C - Rawat jalan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Akut Abdomen


3.1.1. Definisi
Abdomen akut atau acute abdominal adalah suatu keadaan klinis akibat
kegawatan di rongga perut, timbul mendadak, dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera berupa tindakan bedah. Banyak
penyakit menimbulkan gejala nyeri , namun belum membutuhkan tindakan
pembedahan. Hal ini memerlukan evaluasi dengan methode dan pemeriksaan yang
sangat berhati-hati.1

3.2.Peritonitis
3.2.1. Anatomi Peritonitum
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di
bagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan sub kutis, lemak
sub kutan dan facies superfisial (facies skarpa), kemudian ketiga otot dinding perut
m.obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m.
Transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu
fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan
tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis
tengah dipisahkan oleh linea alba.5,6
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk
mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot
dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air
besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut
berasal dari beberapa arah, dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa.
Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dan dari kaudal terdapat a. iliaca
a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a.epigastrika inferior.
Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut di
persyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf
autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien.
Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang
berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang
seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri
dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan
dengan tepat lokasi nyeri.

3.2.2. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel–sel,
dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada peritoneum.6,7,8

3.2.3. Etiologi dan Epidemiologi


3.2.3.1.Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi
dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi
tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ
berongga karena trauma abdomen.7
Penyebabnya dapat tebagi 2, yaitu9
a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b. Kimiawi : Getah lambung, dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing
(talk, tepung).

3.1.3.2. Epidemiologi
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti
diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan
peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus
peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. Penyebab umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus
peptikum (gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus,
atau keganasan, dan strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi
peritonitis sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan
negara maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang
paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan
perforasi tifoid. Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap
merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon
akibat divertikulitis. Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara
1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.10,11

3.2.4. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.8
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan
curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.1
Peritonitis dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada
peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta
mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan
omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis
difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-
organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.5 Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikutidengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga
menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.

3.2.5. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut1,12
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik : misalnya Pneumonia non Tuberculosis dan Tonsilitis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (Supurative)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal
 Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus
 Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.

c. Peritonitis tersier
Peritonitis ini misalnya pada peritonitis yang disebabkan oleh jamur dan
peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis
yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu, getah lambung,
getah pankreas, dan urine.

3.2.6. Manifestasi Klinis


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda–
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan
dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara
usus.1
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan
ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

3.2.7. Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organismenya. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis
yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen,
demam, nyeri lepas, nyeri tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang.
Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri
abdominal yang akut, nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita apendisitis,
nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar
secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala
dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik),
demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus
atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran
klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.4

b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya
proses peradangan.

c. Pemeriksaan radiologis
Usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-
kasus perforasi.1,3
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP). Posisi tidur untuk melihat distribusi usus,
preperitonial fat, dan ada tidaknya penjalaran.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP. Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai
kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu
disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.3 Posisi untuk melihat
air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat
diduga gangguan pasase usus.

3.2.8. Tatalaksana
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan pemasangan nasogastriktube (NGT) dan intestinal, pembuangan
fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan nanah keluar dan pemberian analgetik untuk menghilangkan
nyeri.1,6,14
Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan
(laparotomi eksplorasi). Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengeliminasi sumber infeksi
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan

3.2.9. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi, yaitu :4
a. Komplikasi dini
 Septikemia dan syok septic
 Syok hipovolemik
 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system
 Abses residual intraperitoneal
 Abses hepar
b. Komplikasi lanjut
 Adhesi
 Obstruksi intestinal rekuren

3.3.Appendisitis
3.3.1. Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea koli.
Untuk mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya terdapat
valvula Bauhini. Apendiks juga dapat terbentang retrocaecal, retroileal, dan pelvic.
Apendiks menerima aliran darah dari cabang apendikuler dari a.ileocoelica. Arteri
ini berasal dari ileum terminalis superior memasuki mesoapendiks dekat dasar
apendiks. Cabang arteri kecil berjalan melalui a. caecal. Sistem limfe apendiks
berjalan menuju nodus limfatik yang terbentang sepanjang ileocoelica.
Persarafan apendiks berasal dari persarafan simpatis yang berasal dari plexus
mesenterikal superior (T10-L1), dan parasimpatis yang aferennya berasal dari
n.vagus. Meskipun fungsi apendiks sampai saat ini tidak jelas, tetapi mukosa
apendiks seperti mukosa lainnya mampu menghasilkan sekresi cairan, musin, dan
enzim proteolitik.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun karena
jumlah kelenjar limfe disini sedikit sekali jika dibandingkan jumlahnya di saluran
cerna atau di seluruh tubuh.15
Ujung appendiks vermivormis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada
tempat-tempat dibawah ini :
a. Posisi pelvika : Ujung appendiks terletak agak kekaudal kedalam pelvis
berhadapan dengan dinding pelvis dekstra, pada kedudukan ini appendiks
mungkin melekat pada tuba atau ovarium kanan.
b. Posisi retrosekal : Appendiks terletak retroperitoneal dibelakang caecum,
appendiks pada letak ini tidak menimbulkan keluhan atau tanda yang
disebabkan oleh rangsangan peritoneum setempat.
c. Posisi subsekal : Appendiks terletak dibawak caecum.
d. Posisi Preileal : Berada didepan pars terminalis ileum
e. Posisi Postileal : Berada dibelakang pars terminalis ileum
3.3.2. Etiologi dan Epidemiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi
pencetus apendisitis:
1. Obsruksi lumen apendiks : Obstruksi ini akan menyebabkan distensi pada
apendiks karena terkumpulnya cairan intraluminal. Obstruksi ini dapat
disebabkan oleh :
- Masuknya fekalit
- Kerusakan mukosa dan adanya tumor
- Terdapat bekuan darah
- Sumbatan oleh cacing ascaris
- Pengendapan barium di pemeriksaan x-ray sebelumnya.
2. Anatomi apendiks
- Apendiks merupakan bagian dari sekum secara embriologis. Karena
itu ada hubungan mikroorganisme antar keduanya.
- Sirkulasi dari cabang ileocoelica saja (satu arah) sehingga bila ada
bagian yang buntu maka begian yang terletak dibawahnya akan mati.
- Apendiks merupakan tabung yang ujungnya buntu pada satu tempat
dan satu tempat lagi ada valvula atau klep dan lumennya relatif kecil,
tapi memproduksi mucus. Kalau ada obstruksi → mucus tetap
diproduksi → Tekanan akan meningkat → pecah→ nekrosis.
- Ras dan makanan. Lebih banyak pada orang barat, makan daging →
kemungkinannya lebih besar.
3. Konstipasi dan pemakaian laksatif
Flora usus normal apatogen menjadi patogen.
4. Fokal infeksi dari tempat lain yang manjalar secara hematogen.

Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara


berkembang, namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria lebih banyak daripada wanita,
sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat 1% atau kurang.
3.3.3. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding appendiks).
Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat
berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks
supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.1
Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum
parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah. Pada
distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih menderita
sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular dan infark
dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut tidak selalu
terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.
Infeksi di mukosa

Infeksi ke seluruh lapisan apendiks

(24-48 jam pertama)

Pertahanan tubuh baik Pertahanan tubuh jelek

Omentum, usus halus, adneksa

bergerak menutupi appendiks

Apendisitis infiltrat Abses

Pertahanan tubuh baik Pertahanan tubuh jelek Nekrosis

Sembuh Perforasi

Peritonitis

3.3.4. Diagnosis
a. Anamnesis

Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.
b. Pemeriksaan Fisik

Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan suhu
jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari 1°C, nadi
normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok menunjukkan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan pergerakan
sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah terlihat waktu
penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan bawah. Penderita
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan peritoneum
parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai peritoneum. Palpasi
dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran
kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai appendisitis,
tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada semua kasus
karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
a. Mc. Burney’s Sign
Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbeg’s Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tiba-tiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c. Rovsing’s Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan penekanan
di daerah kuadran kiri bawah.
d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri
sebab testis ada hubungan dengan peritoneum.
e. Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal)
Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan
menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif.
f. Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan
dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas,
pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk meregangkan
M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti positif.

Perkusi abdomen pada appendisitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada


peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang. Pada
appendisitis retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang kanan atau
angulus kostovertebralis punggung.
Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik
dapat tidak ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Sistem skoring digunakan untuk
meningkatkan akurasi dari diagnostik appendicitis akut. Sistem scoring yang
banyak dilakukan adalah sistem Alvarado score dan Ohman Score. Berikut ini
adalah beberapa kriteria dalam Alvarado score untuk menegakkan diagnosis
Appendicitis:
Yang dinilai Skor
Gejala Nyeri fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1

Tanda Nyeri tekan iliaca dextra 2


Nyeri lepas iliaca dextra 1
Kenaikan suhu 1

Laboratorium Leukositosis 2
Neutrofil bergeser ke kiri 1

Interpretasi:
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10 : Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan
tindakan bedah

Berikut ini adalah beberapa kriteria dalam Ohman score untuk menegakkan
diagnosis Appendicitis:
Variabel yang dinilai Skor yang dinilai

Nyeri tekan kuadran kanan bawah 4.5


Nyeri lepas 2.5
Tidak ada kesulitan berkemih 2.0
Nyeri menetap 2.0
Leukosit > 10.000/mm3 1.5
Usia < 50 tahun 1.5
Relokasi nyeri ke kuadran kanan bawah 1.0
Ketegangan dinding abdomen 1.0

Skor total 16
Interpretasi:
Skor < 6 : Jarang appendicitis
Skor 6-11.5 : Kemungkinan appendicitis (Monitoring)
Skor > 11.5 : Appendisitis sangat sering

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1. Pemeriksaan darah

Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut


terutama pada kasus dengan komplikasi. Leukositosis sedang (10000-
18000/mm3) dan disertai predominan polimorfonuklear sel yang terdapat
pada kasus apendisitis akut. Tetapi jika jumlah leukosit lebih dari 18000 /
mm, atau pergeseran ke kiri sangat mencolok, appendisitis perforasi atau
proses peradangan organ visceral yang lebih besar mungkin terjadi. Pada
appendikular infiltrat, LED akan meningkat.

2. Pemeriksaan urin

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.


Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis
yang hampir sama dengan appendisitis. Urinalisa ditemukan BJ tinggi
karena dehidrasi. Jika letak appendiks dekat vesika urinaria akan ditemukan
eritrosit dan leukosit dalam urinalisa.

b. Radiologis

1. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis.
Gambaran appendikolit pada foto polos abdomen, caecum yang distensi
merupakan kunci diagnosa appendisitis. Selain itu, dapat dilihat tanda-tanda
peritonitis. Kebanyakan kasus appendisitis akut didiagnosa tanpa
memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan
densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas kanan
abnormal, gas dalam lumen appendiks dan ileus lebih menonjol. Foto pada
keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-keadaan
patologi yang meniru appendisitis akut. Contohnya udara bebas
intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti
duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaque, benda asing serta batas
udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sebaiknya
dilakukan BNO dalam 3 posisi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada
anak-anak.

2. Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
Enema barium mungkin membantu dalam diagnosa appendisitis pada
beberapa pasien, terutama pada anak-anak dimana diagnosa berdasarkan
pemeriksaan fisik tidak jelas dan operasi bisa sangat merugikan. Pengisian
penuh pada appendiks dan tidak terdapat perubahan pada mukosa lumen
appendiks bisa menyingkirkan kemungkinan appendisitis. Tetapi jika
terdapat tanda patognomonik appendisitis pada barium enema seperti
appendiks yang tidak terisi, adanya massa di medial dan bawah lumen
caecum yang mempengaruhi irregularitas lumen appendiks maka diagnosa
bisa ditegakkan.

3. Appendikogram
Untuk lihat apendisitis kronis

4. USG abdomen
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG
dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan
ektopik, adnecitis dan sebagainya

(Tampak atas) ultrasound pada bagian kanan bawah perut (tampak kiri, noncompress/tidak
ada kepadatan; tampak kanan, compresses/adanya kepadatan) menunjukan dinding yang
tebal, struktur noncompresibel tubular (inflamasi apendiks) dengan bayangan apendikolith
(tanda panah)
(Tampak bawah) gambar longitudinal ultrasound yang menunjukan dinding yang tebal dari
inflamasi apendiks dan apendikolith (tanda panah) serta pengumpulan cairan
periappendiceal.

5. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. CT-
Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan
96-97%, serta akurasi 94-100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi
apendiks dengan abses atau flegmon.

Computed tomographic scan showing cross-section of inflamed appendix (A) with


appendicolith (a)6

3.3.5. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis
gangrenosa atau appendisitis perforata.
Apendektomi bisa dilakukan seacra terbuka atau laparoskopi. Bila apendektomi
terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita
yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi
masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik
pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.1

3.3.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum,
dan lekuk usus halus.2
Komplikasi apendisitis akut diantaranya :
- Apendisitis abses
- Apendisitis perforata
- Apendisitis kronis

3.3.7. Prognosis
Prognosis untuk appendisitis adalah bonam. Angka kematian akibat
appendisitis di Amerika Serikat telah menurun dari 9,9 per 100.000 pada tahun
1939 menjadi 0,2 per 100.000 pada tahun 1986. Hal ini disebabkan oleh karena
diagnosis dini dan penatalaksanaan yang baik, adanya antibiotik yang baik, cairan
intravena, tersedianya darah dan terapi yang tepat sebelum terjadinya perforasi.
Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian akibat
appendisitis adalah umur pasien dan terjadinya perforasi. Pada orang tua dengan
komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi jauh lebih tinggi
dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi.4
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh bagian perut. Setelah
dilakukan anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka pasien ini di diagnosis peritonitis et causa appendisitis
perforasi.
Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang
didapat pada anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik serta hasil lain yang mendukung dari pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis gejala yang didapatkan pada pasien ini adalah nyeri
pada seluruh lapang perut, nyeri terasa tertusuk-tusuk, terus-menerus dan pasien
mengeluhkan sulit BAB, sedangkan BAK (+), nafsu makan menurun, mual (+),
muntah (-).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di regio abdomen terlihat distensi
abdomen, ketika di palpasi terdapat nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada
seluruh bagian perut, defans muscular (+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+),
obturator sign (+), pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi
terdapat suara timpani di bagian perut, nyeri ketuk (+).
Pemeriksaan Penunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 14.160, pada pemeriksaan USG
memberikan kesan appendisitis akut.
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa appendisitis perforasi
Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi atau rontgen appendicogram dan
CT Scan abdomen dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat
keraguan. Penangan pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT,
kateter, rehidrasi dengan Ringer Lactat dan pemberian antibiotik.

Pre Op
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x 1 gr
- Drip PCT 500mg (k/p)
- Inj. Ranitidine 2x1 ampul
- Pasang kateter dan NGT
- Ajukan USG Abdomen
Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Appendektomi
Post Op
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x 1 gr
- Inj. Ranitidine 2x1 ampul
- Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
- Rawat jalan
BAB V

KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis


dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal
yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang
khas, yang merupakan gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul)
di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda peritonitis lokal pada titik McBurney, dan rangsangan
kontralateral; blumberg dan rovsing sign. Pemeriksaan lain yang dapat mendukung
diagnosis yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri tekan pada rectal toucher.
Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan
menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP),
foto polos abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG, Rontgen Appendicogram
dan CT Scan abdomen. Diagnosis juga dapat dibantu dengan skoring Alvarado,
Ohmann, dan skoring appendisitis pada anak.
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendektomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic
appendectomy.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.
Jakarta: EGC: 2012.
2. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of
modern surgical practice. Edisi ke 18; 2007.
3. Saunders, An Imprint of Elsevier Price, S. A. dan Wilson, L. M.
Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 6, Volume 1.
Jakarta: EGC; 2006.
4. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014
5. Sulton, David. Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk
Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta; 1995.
6. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI,
Jakarta; 2000.
7. Kumpulan catatan kuliah. Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta; 2012
8. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition; 1997.
9. Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS. England.
10. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine
MedscapeAccessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
11. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg
Surg 2010;5:9
12. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, Jakarta; 1999.
13. Boer, A. Ultrasonografi. Dalam: Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik
Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2005.
14. Doherty, Gerard. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2006.
15. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
9. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai