Anda di halaman 1dari 36

CRS (Clinical Report Session)

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A217078/2018


** Pembimbing dr. Fenny Febrianty Sp.PD

Sirosis Hepatis Dekompensata et causa Hepatitis B, Anemia Ringan


Jeliya Safitri, S.Ked * G1A217078**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
2018
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL REPORT SESSION

Sirosis Hepatis Dekompensata et causa Hepatitis B

Disusun Oleh :
Jeliya Safitri, S.Ked

G1A217078

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Juni 2018

PEMBIMBING

dr. Fenny Febrianty Sp.PD


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Report Session yang berjudul “Sirosis Hepatis Dekompensata et causa
Hepatitis B ” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Fenny Febrianty Sp.PD yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Ilmu Penyakit Dalam
di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan guna kesempurnaan laporan CRS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca.

Jambi, Mei 2018

Jeliya Safitri, S. Ked


DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ...................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 15
BAB IV ANALISA KASUS ....................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN ............................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium


akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat adanya nekrosis hepatoselular.1
Sirosis hati mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya di
Amerika. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito
Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat
di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih
dari 40% pasien sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit
yang lain. Penyebab munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau
C.1
Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan
adanya peranan sel stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan matriks
ekstraselular dan proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu yang
berlangsung secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen.1
Terapi sirosis ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan
dan penanganan komplikasi. Walaupun sampai saat ini belum ada bukti bahwa
penyakit sirosis hati reversibel, tetapi dengan kontrol pasien yang teratur pada fase
dini diharapkan dapat memperpanjang status kompensasi dalam jangka panjang
dan mencegah timbulnya komplikasi.1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. L
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Pematang Sulur

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Perut semakin membesar sejak ± 5 hari SMRS.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


± 3 tahun SMRS pasien mengeluh badan dan mata berwarna kuning,
sebelumnya pasien merasa badannya menjadi mudah lelah, nafsu makan
menurun, ada mual namun tidak ada muntah. Pasien juga mengeluhkan
nyeri di perut bagian atas, BAB berwarna kuning pekat seperti teh, tidak ada
nyeri saat BAK, dan BAB pasien tidak ada keluhan. Akhirnya pasien
dibawa ke rumah sakit raden mattaher dan dirawat ± 2 minggu. Saat di
rawat pasien didiagnosa Hepatitis B, namun pasien lupa nama obat yang di
konsumsi saat di RS dan saat pulamg. Setelah pulang dari RS pasien tidak
pernah melakukan kontrol ulang kepoli.
± 1 bulan SMRS pasien mengeluh perut membesar, keluhan ini dirsakan
perlahan-lahan namun tidak disertai nyeri. ± 3 minggu yang lalu kedua mata
pasien dan seluruh tubuh pasien berwarna kuning. ± 5 hari SMRS pasien
juga mengeluh badan lemas, keluhan dirasakan terus menerus dan tidak
menghilang walaupun pasien telah beristirahat, sehingga pasien tidak bisa
melakukan aktivitas sehari-hari. Keluhan perut membesar membuat pasien
merasa sulit bernafas namun berkurang jika pasien duduk, sesak nafas
tanpa disertai adanya keluhan nyeri dada. ± 3 hari yang lalu pasien
mengeluhkan kedua kakinya yang bengkak, bengkak tidak berkurang saat
pasien duduk ataupun berdiri, bengkak tidak disertai nyeri dan kemerahan.
Pasien mengeluh tidak nafsu makan, frekuensi makan 1-2 kali setiap
harinya, kira-kira 3-5 sendok tiap kali makan sehingga pasien merasa berat
badan semakin turun selama sakit. Buang air kecil lancar dengan frekuensi
±3 kali dalam sehari, kira-kira sebanyak ½ gelas belimbing setiap kali buang
air kecil, berwarna kecoklatan seperti teh pekat tanpa disertai rasa nyeri, tidak
berpasir. Buang air besar lancar, dengan frekuensi 1 kali dalam sehari,
berwarna kuning-kecoklatan tidak terdapat lendir dan tidak terdapat darah
berwarna kehitaman ataupun darah berwarna merah. Keluhan mual (-).
muntah (-), muntah darah (-), gusi berdarah , (-) demam.

3. Riwayat penyakit dahulu


 Keluhan yang sama (-)
 Riwayat hepatitis B (+)

4. Riwayat penyakit dalam keluarga


 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
 Riwayat Hepatitis B (-).

5.Riwayat sosial dan ekonomi.


Pasien sehari-harinya bekerja sebagai Wiraswasta. Os mengkonsumsi rokok,
1 bungkus setiap harinya sejak 10 tahun yang lalu dan telah berhenti sejak
keluhan muncul. Os juga memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol sejak usia
± 17 tahun yang lalu. Os minum setiap hari, ± 3 gelas Aqua tiap kali minum,
os lupa jenis minuman alkohol yang diminum, sudah berhenti ± 30 tahun yang
lalu.
2.3 Pemeriksaan Fisik
VITAL SIGN (KEADAAN UMUM)

A. Suhu : 36,80C Nadi : 88 x/i Tekanan darah : 110/80 mmhg


B. Pernafasan : reguler frekuensi : 22 x/i Jenis : Thorako Abdominal
C. Tinggi Badan : 160 cm Berat badan : 50 kg IMT :19,53 (normal)
D. Keadaan umum : Baik Sedang Buruk
E. Keadaan Sakit : Tidak tampak sakit
Ringan Sedang Buruk

F. Sianosis : Tidak ada Dehidrasi : Tidak ada


G. Edema Umum : ekstremitas inferior Bentuk badan : Normal
H. Dugaan umur : 67 tahun
I. Cara berbaring : Membentuk sudut 45º
J. Cara berjalan : (Pasien berbaring)

KULIT Warna : Sawo Matang


Keringat : (+)
Efloresensi : Tidak ada
Pigmentasi : Normal
Turgor : Normal
Jaringan parut : Tidak ada
Ikterus :-
Edema : ekstremitas inferior
Lembab kering : Kering
KELENJAR Pembesaran Kel. Submandibula :(-)
Submental :(-)
Jugularis Superior :(-)
Jugularis inferior :(-)

KEPALA Ekspresi muka : lesu (+)


Deformitas : Tidak ada
Simetri muka : Simetris
Rambut : tidak mudah dicabut
Pembuluh darah temporal : teraba
Nyeri tekan syaraf : Tidak ada

MATA Exophtalmus/enophtal : Tidak ada Lensa : jernih


Tekanan bola mata : Normal Fundus : Tidak dilakukan
Kelopak : Normal Visus : koreksi sama dengan pemeriksa
Conjungtiva : Anemis(-/-)
Lapangan Penglihatan : Tidak ada penyempitan
Sklera : Ikterik (+/+)
Gerakan kedua belah mata : Normal tidak ada batasan
Kornea : Xeroftalmus (-), ulkus(-)
Pupil : isokor (+/+) , reflek cahaya (+/+)

TELINGA Tophi : Tidak ada Selaput lendir :Tidak dilakukan


Lubang : Serumen (+/+) minimal Pendengaran : Baik
Cairan : Tidak ada Lain-lain : (-)
Nyeri tekan di proc mastoideus : (-/-)

HIDUNG Bagian luar : Deformitas (-) Septum : deviasi(-)


Penyumbatan : (-) Ingus : Tidak ada
Pendarahan : (-)

MULUT Bibir : Pucat (+), kering (+) Sianosis (-), tebal (-), luka
pada sudut mulut (-), ulkus (-), bercak (-).
Bau pernafasan : Normal, Fetor hepatikum (-), alkohol (-).
Palatum : Menutup dan simetris.
Gusi : Hiperemis (-), bengkak (-).
Selaput Lendir : (-)
Lidah : Kotor (-)
Atrofi (-)
Basah (-), kering (+)
Stomatitis (-)

FARING Tonsil : hiperemis (-), nodul (-), granulasi (-) T1-T1


Lain-lain : (-)

LEHER
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran.
Tekanan vena jugularis : 5+2 cm H2O ( Normal )
Kaku kuduk : Tidak ada
Pembuluh darah : arteri karotis teraba normal.

DADA
Bentuk : diameter latero-lateral > anterior-posterior.

PARU – PARU
Inspeksi :
 Dalam pernafasan : Normal
 Jenis pernafasan : Thorako abdominal
 Kecepatan pernafasan : 22 x/ menit
Palpasi : ( Fremitus )
Kiri : Tactil vocal fremitus normal
Kanan : Tactil vocal fremitus normal
Perkusi
Kiri : Sonor, nyeri ketok (-)
Kanan : Sonor, nyeri ketok (-)
Auskultasi : (Bunyi pernafasan, rokhi)
Kiri :Vesikuler,Ronkhi(-),Wheezing (-)
Kanan : Vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)

JANTUNG :
Inspeksi : impuls Apeks ( Iktus kordis ) : tidak terlihat
Tempat :-
Luas :-
Lain —lain :-
Palpasi : impuls Apeks ( Iktus kordis )
Tempat : 1 jari medial linea midklavikula sinistra ICS V
Luas : ± 2 cm
Kuat angkat : kuat angkat
Lain —lain :(-)
Perkusi : batas-batas jantung :
 Kiri : Line midklavikula sinistra ICS V
 Kanan : Linea parasternalis dextra ICS IV
 Atas : Linea patasternalis sinistra ICS II
 Lain — lain :(-)
Auskultasi :
Bunyi jantung
 Irama jantung : BJ I dan BJ II irreguler, gallop(-),
murmur (-)
 Frekuensi : 88 x/i
 M1 M2 : M1 > M2 di apeks dan trikuspid.
 A2 P2 : A2 sama dengan P2
 Irama medua : Tidak ada
Bising :
Tempat : tidak ada
Arah menjalar : (-)
Terjelas pada : (-)
pengaruh letak : (-)
Saat : (-) Pengaruh pernafasan : ( - )
Derajat : (-)
Pembuluh darah
A. Temporalis : teraba A. Femoralis : teraba
A.Carotis : teraba A. Poplitea : teraba
A.Brachialis : teraba A. Tibialis Posterior : teraba
A.Radialis : teraba A. Dorsalis pedis : teraba

PERUT
Inspeksi : Striae (-), Venektasi (-), caput medusa(-),
peristaltik usus (-), distensi (+),
Perut membesar (+). Spider Nevi (+).
Palpasi : ascites dengan cara undulasi (+), nyeri tekan (-)
 Hati : Sulit dinilai
 Limpa : Sulit dinilai
 Ginjal : Sulit dinilai
Perkusi :
 Pada seluruh lapangan abdomen pekak
Auskultasi : BU (+) menurun (4x/menit)

PUNGGUNG
 Inspeksi : Simetris, jaringan parut ( - )
 Palpasi : Nyeri di sekitar vertebra (-), vertebra terletak
simetris, vocal fremitus kanan - kiri : Normal
 Perkusi : Sonor kanan/kiri - Nyeri ketok CVA : ( - )
 Gerakan : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal
 Lain-lain :-
ALAT KELAMIN :
Laki-laki : TIDAK DILAKUKAN

TANGAN :
Warna : Sianosis (-)
Tremor : Tidak ada
Kuku : pucat Lain –lain : palmar eritem (+)

TUNGKAI DAN KAKI :


Luka : (-) Varices : tidak ada
Otot : Normal
Sendi : nyeri (-)
Kekuatan : 5/5 Suhu raba : afebris
Edema : (+) pitting edema Lain-lain :(-)

REKLEKS
Fisiologik : Normal Kiri : Normal Kanan : Normal
Patologik : tidak ada kiri : tidak ada Kanan : tidak ada
SENSIBILITAS :
Pemeriksaan halus : Sensibilitas nyeri ( + )
Sensibilitas raba ( + )
Sensibilitas suhu : Tidak Dilakukan.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Penunjang di Rumah Sakit Raden Mattaher

1. Darah Rutin

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal


WBC 5,38 (4-10,0 103/mm3)
RBC 3,33 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 10,4 (11,0-16 g/dl)
HCT 30,2 (35,0-50,0 %)
PLT 107 (100-300 103/mm3)
MCV 90,8 (80-100 fl)
MCH 31,2 (27-34 pg)
MCHC 344 (320-360g/dl)

2. Elektrolit
Parameter Hasil Harga Normal

Natrium (Na) 140,80 (135-148)


Kalium (K) 3,94 (3.5-5.3)
Chlorida (Cl) 99,84 (98-110)
Calcium (Ca+) 1,32 (1.19-1.23)

3. Kimia Darah

Parameter Hasil Harga Normal


FAAL HATI
Bilirubin total 5,0 (<1,0 mg/dl)
Bilirubin direk 2,6 (<0,2 mg/dl)
Bilirubin indirek 2,4 (<0,8 mg/dl)
Protein total 4,8 (6,4-8,4 g/dl)
Albumin 2,3 (3,5-5,0 g/dl)
Globulin 2,5 (3,0-3,6 g/dl)
SGOT 107 (<40 U/L)
SGPT 72 (<41 U/L)
Alkalifosphatase (L<115 ; P<105 U/L)
GGT (L8-38; P5-25 U/L)
FAAL GINJAL
Ureum 21 (15-39 mg/dl)
Kreatinin 1,1 (L 0,9-1.3; P 0,6-1,1
mg/dl)
GULA DARAH
Glukosa sewaktu 84 mg/dl (<200 mg/dl)
4. Seromarker hepatitis

Parameter Hasil Harga Normal


HBV
HBsAG + -
Anti HBsAg - -

2.1 Diagnosis Kerja


Primer
Sirosis Hepatis dekompensata et causa hepatitis B
Sekunder
- Anemia Ringan et causa Penyakit Kronis

2.2 Diagnosis Banding


- Anemia Defisiensi Besi
- Sirosis Hepatis dekompensata et causa hepatitis alkoholik

2.3 Pemeriksaan yang Dianjurkan


1. Alkalifosphatase
2. GGK
3. USG Abdomen
4. Biopsi Hati
5. CT Scan
6. Esofagugastroduodenoendoskopi

2.4 Tatalaksana
1. Non- medikamentosa
- Tirah baring
- Diet hati
- Diet rendah garam 5,2 gram atau 90 mmol/hari
- Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
- Observasi berat badan, lingkar perut, keseimbangan cairan (Input-
Output) perhari.
2. Medikamentosa
- Infus Nacl 0,9% 20 tts/menit
- Spironolakton Tablet 1x 100mg
- Tranfusi Albumin 25% 1x 100 mg
- Curcuma Tablet 2x200 mg
- Vitamin B kompleks tablet 1x 10 mg
2.5 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam` : Dubia ad malam
2.6 Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Keterangan


28 Mei 2018 S : Perut membesar (+), Mata Kuning (+), sesak - Perhatikan input dan
(-), nyeri perut (+), tidak BAB (+), kaki output cairan
bengkak (+), badan lemah (+) - LP 84
O : TD : 110/80 mmHg, N : 82 x/i, RR : 22x/i, T:
36,70
A : Ascites ec et causa Sirosis Hepatis
dekompensata et causa hepatitis B
P : - Diet hati
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/menit
- Cefixime 2x1 gr
- Omeprazole 2x40 mg
- Furosemid 40mg
- Siliphos 3x1
29 Mei 2018 S : Perut membesar (+), Mata Kuning - Perhatikan input dan
(+), sesak (-), nyeri perut (+), tidak BAB output cairan
(+), kaki bengkak (+), badan lemah (+) - LP : 86
O : TD : 120/80 mmHg, N : 82 x/i, RR :
22x/i, T: 36,70
A : Ascites ec et causa Sirosis Hepatis
dekompensata et causa hepatitis B
P : - Diet hati
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/menit
- Cefixime 2x1 gr
- Omeprazole 2x40 mg
- Furosemid 40mg
- Siliphos 3x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Sirosis Hati1,2
3.1.1 Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan
distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan
nodul-nodul regenerasi sel hati. Sirosis secara konvesional diklasifikasikan
sebagai makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm) atau mikronodular
(besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran mikro dan makronodular.
Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional namun hal
ini juga kurang memuaskan. Sebagian besar jenis sirosis dapat
diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi : 1). Alkoholik,
2). Kriptogenik, 3). Biliaris, 4). Kardiak dan 5). Metabolik, keturunan dan
terkait obat. Hasil di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B
menyebabkan sirosis hepatis 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%,
sedangkan penyebab 10-20% tidak diketahui dan termasuk kelompok virus
bukan B dan C. Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin
frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
3.1.2 Etiologi3
Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hepatis
Etiologi Sirosis Hepatis

Inflamasi Genetik/kongenital
 Virus
Hepatitis B (15 persen)  Sirosis bilier primer
Hepatitis C (47 persen)  Kekurangan antitripsin alpha
 Schistosomiasis  Hemokromatosis
 Autoimun  Penyakit perlemakan hati non
Toksik alkohol
Gagal jantung kongestif
 Alkohol (18 persen)
 Methotrexate Budd-Chairi syndrome

Tidak diketahui (14 persen)


3.1.3 Patologi dan Patogenesis1,2,4
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai
oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang
uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut
sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh
cedera hati lainnya. Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah : 1).
Perlemakan hati alkoholik, 2). Hepatitis alkoholik, 3). Sirosis alkoholik.
Perlemakan Hati Alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak
dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit
ke membran sel.
Hepatitis Alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat
masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis
yang terjadi dapat berkontraksi ditempat cedera dan merangsang
pembentukan kolagen. Didaerah periportal dan perisentral timbul septa
jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal
dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa
kecil sel hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan
membnetuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi
perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil,
berbenjol-benjol menjadi keras terbentuk sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan
mekanismenya sebagai berikut : 1). Hipoksia sentrilobular, metabolisme
asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi
hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari aliran darah
yang teroksigenasi (misal daerah perisentral), 2). Infiltrasi/aktivasi
neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat
terjadi dari neutrofil dan hepatosit melepaskan intemediat oksigen reaktif,
proteasa dan sitokin, 3). Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan
sebagai neoantigen dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta
antibodi spesifik yang menyerang hepatosir pembawa antigen ini, 4).
Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol,
disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal. Patogenesis fibrosis
alkoholik meliputi banyak sitokin antara lain faktor nekrosis tumor,
interleukin-1, PDGF dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan
mengaktifasi sel stealata tetapi bukan suatu faktor patogenik utama pada
fibrosis alkoholik.
Sirosis Hati Pasca Nekrosis
Gambaran patologis hati baisanya mengkerut, berbentuk tidak teratur
dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang
padat dan lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran
makroskopik. Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar
jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya
tidak teratur. Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir.
Memperlihatkan adanya peranan sel stealata. Dalam keadaan normal sel
stealata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks
ekstraseluler dan proses degenerasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan
perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang
berlangsung secara terus menerus maka sel stealata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Jika proses terus berjalan maka fibrosis akan berjalan
terus di dalam sel stealata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh
jaringan ikat.
3.1.4 Manifestasi Klinis5,6
Tabel 2.2 Manifestasi Gejala Sirosis Hepatis
Gejala Gagal Hepatoseluler Gejala Hipertensi Portal
Ikterus Asites
Hipoalbumin Varises esofagus
Spider navi Caput medusa
Atrofi testis Splenomegali
Ginekomastia Pelebaran vena kolateral
Alopesia pada dada dan ketiak Hemoroid
Eritema palmaris
Gangguan hematologi
(trombositopenia, leukopenia, anemia
Fetor hepatikum
Ensefalopati hepatik
Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu,
spider naevi (suatu lesi vascular yang dikelilingi vena-vena kecil) tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka dan lengan atas. Mekanisme terjadiya tidak
diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosterone bebas. Tanda ini bisa juga ditemukan selama hamil,
malnutrisi berat, bahkan ditemukan pada orang sehat, walau umumnya ukuran
lesinya kecil. Eritema palmaris, warna merah pada thenar hypothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolism hormone
esterogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada
kehamilan, arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku murche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan
warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi
hypoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik. Jari gada lebih sering
ditemukan pada sirosis bilier. Osteoarthopati hipertropi suatu periostitis
proliferative kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara
spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien
diabetes mellitus, distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga
mengkonsumsi alcohol. Ginekomastia secara histologi berupa proliferasi
benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat
peningkatan androstenedione. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut
dada aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah
feminism. Kebalikannya pada perempuan mentruasi cepat berhenti sehingga
dikira fase menopause. Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi
dan infertile. Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya non
alkoholik. Pembesaran ini akbiat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta. Asites penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi
porta dan hypoalbuminemia. Caput medusa juga akibat hipertensi porta. Fetor
hepatikum, bau nnafas yang khas pada pasien sirosis hepatis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang
berat. Ikterus pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia. Bila
konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat
gelap, seperti air teh. Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan
mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.
3.1.5 Gambaran Laboratoris1
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium
pada waktu seseorang memeriksa kesehatan rutin, atau waktu skrining
untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase,
alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan
waktu protrombin. Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil
piruvat transmirase (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengenyampingkan adanya sirosis. Alkali fosfatase, meningkat kurang
dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa
ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
Gamma glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya tinggi pada
penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT
mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di
jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi imunoglobulin. Waktu protrombin mencerminkan
derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang.
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Kelainan hematologi anemia,
penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia normokrom, normositer,
hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia dengan
trombositopenia, leukopenia dan neutropenia akibat splenomegali
kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme. Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises
untuk konfirmasi adanya hipertensi portal. Ultrasonografi (USG) sudah
secara rutin digunakan karena pemeriksannya non invasif dan mudah
digunakan, namun sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa
dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran,
homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan
nodular, permukaan irreguler dan ada peningkatan eksogenitas parenkim
hati. Selain itu juga USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali,
trombosis vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien
sirosis. Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak
rutin digunakan karena biayanya relatif mahal. Magnetic resonance
imaging, perannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal
biayanya.
3.1.6 Diagnosis1
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit
menegakan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi
sempurna mungkin bisa ditegakan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan
klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri
atas pemeriksaan fisik, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu
diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dan sirosis hati dini. Pada
stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan
tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.
3.1.7 Komplikasi1,2
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya.
Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan
penanganan komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain
peritonitis bakterial spontan , yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Baiasanya pasien
ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. Pada
sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguria,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus. Salah satu manifestasi
hipertensi porta adalah varises esofagus. Dua puluh sampai 40% pasien
sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertiganya akan
meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk
menanggulangi varises ini dengan beberapa cara. Ensefalopati hepatik,
merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula ada
gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
3.1.8 Pengobatan1,2
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein
1g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-30000 kkal/hari. Tatalaksana pasien
sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di
antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai
hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen bisa diberikan
steroid atau imunosupresif. Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu
sampai konsenttasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati non alkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah
terjadinya sirosis. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog
nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini
pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun.
Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi
YMDD sehingga terjadi retensi obat. Interferon alfa diberikan secara
suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun
ternyata juga banyak yang kambuh. Pada hepatitis C kronik; kombinasi
interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan
secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan
dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan. Pada pengobatan
fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada
peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Kolkisin memiliki efek anti
peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti
dalam penelitian sebagai anti fibrosis atau sirosis. Metotreksat dan vitamin
A juga dicobakan sebagai anti fibrosis.
3.1.9 Pengobatan Sirosis Dekompensata
Asites; Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi
garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam
dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respon diuretik bisa
dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema
kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan
dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan
bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan
dilindungi dengan pemberian albumin.
Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan
amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus
penghasil amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB per hari,
terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.
Varises esofagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa
diberikan obat penyekat beta (propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa
diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim
intravena, amoksilin atau aminoglikosida. Sindrom hepatorenal; mengatasi
perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata.
3.1.9 Prognosis 1
Angka kematian pasien asites selama 2 tahun setelah terdiagnosis
dapat mencapai 50%. 50 % meninggal dalam waktu 6 bulan. Prognosis
sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.

Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan


Fungsi Hati
Derajat kerusakan Minimal Sedang Berat
Bilirubin Serum (mu.mol/dl) <35 35-50 >50
Albumin serum (gr/dl) >35 30-35 <30
Asites Nihil Mudah Sukar
PSE/Ensefalopati Nihil dikontrol Berat/koma
Nutrisi Sempurna Minimal Kurang/kurus
baik
3.2 Hepatitis B
3.2.1 Definisi1
Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang
disebabkan oleh Virus Hepatitis B. Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan
kronis :
 Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu.beberapa kasus berubah
menjadi hepatitis fulminan.
 Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan
3.2.2 Manifestasi Klinis7
Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar virus.
Awalnya gejala seperti flu biasa. Gejala-gejala yang muncul antara lain :
- Kehilangan nafsu makan
- Cepat lelah
- Mual dan muntah
- Gatal seluruh tubuh
- Nyeri abdomen kanan atas
- Kuning, kulit dan atau sklera
- Warna urin seperti teh atau cola dan Warna feses lebih pucat
Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk akut.
Gejalanya:
- Ketidakseimbangan mental seperti : bingung, lethargy, halusinasi
(hepatic encephalopati)
- Kolaps mendadak disertai keadaan sangat lemah
- Jaundice
- Pembengkakan abdomen
Gagal hati, gejalanya :
- Asites
- Jaundice yang persisten
- Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan
- Muntah disertai darah
- Perdarahan pada hidung, mulut, anus, atau keluar bersama feses
3.2.2 Patofisiologi 8
3.2.4 Diagnosis1,7
Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya 2
pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang
muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang terinfeksi; kenaikannya
sangat bertepatan dengan mulainya gejala. HBeAg sering muncul selama fase
akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius. Karena kadar HBsAg turun
sebelum akhir gejala, antibody IgM terhadap antigen core hepatitis B (IgM anti
HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan menetap selama
beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap selama
beberapa tahun. IgM anti-HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi HBV perinatal.
Anti-HBcAg adalah satu pertanda serologis infeksi HBV akut yang paling
berharga karena ia muncul hampir seawal HBsAg dan terus kemudian dalam
perjalanan penyakit bila HBsAg telah menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada
pada orang-orang yang diimunisasi dengan vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg
dan anti-HBcAg terdeteksi pada orang dengan infeksi yang sembuh.
3.2.5 Tatalaksana1,7
Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan
prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode
simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak efektif.
Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada hepatitis fulminan
akibat eksaserbasi akut HVB.
Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan
menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan
terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-
DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan terjadi pula serokonversi HBsAg
menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma hepatoseluler dapat dicegah.
Berdasarkan rekomendasi APASL (Asia Pacific Association for Study of the
Liver), anak dengan HBV dipertimbangkan untuk mendapat terapi antiviral bila
nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas normal selama lebih dari 6 bulan, terdapat
replikasi aktif (HBeAg dan/atau HBV-DNA positif). Sebaiknya biopsy hati
dilakukan sebelum memulai pengobatan untuk mengetahui derajat kerusakan hati.
Interferon dan lamivudin telah disetujui untuk digunakan pada terapi hepatitis B
kronis. Bila hanya memakai interferon (dosis 5-10 MU/m2, subkutan 3x/minggu)
dianjurkan diberikan selama 4-6 bulan, sedangkan bila hanya digunakan
lamivudin tersendiri diberikan paling sedikit selama 1 tahun atau paling sedikit 6
bulan bila telah terjadi konversi HBeAg menjadi anti HBe. Analog nukleos(t)ida
bekerja dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus, berkompetisi
dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.
Entecavir 0.5 mg/hari selama 12 bulan menunjukkan perbaikan dapat mensupresi
replikasi VHB, wild type maupun resisten lamivudin, lebih cepat dan lebih efektif
pada pasien sirosis dekompensata dibandingkan dengan adefovir dan lamivudin.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Keluhan perut pasien yang makin lama membesar dan terjadinya bengkak
pada kedua kaki dan tangan pasien merupakan manifestasi klinis yang dapat
terjadi pada penyakit jantung, ginjal dan hati. Pasien tidak mengeluk sesak nafas
pada saat aktivitas menyingkirkan asites dan edema perfier yang disebabkan oleh
penyakit jantung. Bengkak tidak dimulai pada bagian bawah kelopak mata dan
muncul pada pagi hari menyingkirkan asites dan edema perifer yang disebabkan
oleh penyakit ginjal. Asites dan edema perifer sering terjadi pada pasien yang
menderita sirosis hepatis dekompensata. Asites disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu (1) hipertensi porta, (2) hipoalbumnienmia, (3) meningkatnya pembentukan
dan aliran limfe hai, (4) retensi natrium dan (5) gangguan eksresi air.

Gambar 1.Pathophysiology ascites5


Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah, nadi, dan suhu dalam
batas normal. Pada pemeriksaan kepala dan leher ditemukan wajah pasien tampak
lesu, mata yang conjunctiva anemis dan sklera ikterik. Hal ini menunjukan pasien
dapat mengalami anemia akibat penyakit kronis sebelumnya. Tidak ditemukan
adanya epistaksis ataupun perdarahan gusi. Didapatkan ikterus pada sklera akibat
bilirubinemia, karena terjadi obtruksi sehingga eksresi empedu terganggu, terjadi
retensi bilirubin yang juga menyebabkan warna urin terlihat gelap, seperti air teh.
Pada pemeriksaan thoraks tidak ditemukan angioma laba-laba dan ginekomastia.
Paru dan jantung juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan
asites, shifting dullness (+), undulasi (+), venektasi (-), caput medusa (-).
Pemeriksaan hepar dan lien sulit dilakukan karena perut pasien sangat membesar.
Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan adanya edema pada kedua kaki dan
eritem palmar pada kedua telapak tangan Eritema palmaris, warna merah pada
thenar hypothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan
metabolism hormone esterogen. Edema perifer umumnya terjadi setelah
timbulnya asites dan dapat dijelaskan sebagai akibat hipoalbuminemia dan retensi
garam dan air. Kegagalan sel hati untuk menginaktifkan aldosterone dan hormone
antidiuretic merupakan penyebab retensi natrium dan air.
Dari pemeriksaan penunjang yang didapatkan penurunan dari kadar
hemoglobin dalam darah, peningkatan dari SGOT dan SGP (+), peningkatan
bilirubin dalam darah, dan peningkatan kadar kalsium. Anemia dapat terjadi
karena adanya splenomegali. Peningkatan dari SGOT dan SGPT menunjukkan
adanya fungsi hati yang terganggu. Rasio albumnin dan globulin sering terjadi
pada sirosis hepatis. HbsAg reaktif, sebagai indikator terhadap faktor penyebab
terjadinya sirosis, pada pasien ini HBV HbsAG (+), yaitu sirosis hepatis
disebabkan oleh adanya infeksi oleh virus hepatitis B. Hasil pemeriksaan USG
didapatkan kesan sirosis hepatis, dengan ascites dan efusi pleura bilateral
splenomegali ringan.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah mengurangi asites
dan edema perifer dengan cara diberikan spironolakton tablet 1x 100mg.
Spironolakton berkompetisi dengan aldosteron pada reseptor di tubulus ginjal
distal, meningkatkan natrium klorida dan ekskresi air selama konversi ion kalium
dan hidrogen, juga dapat memblok efek aldosteron pada otot polos arteriolar.

Gambar 2. Penatalaksanaan Asites pada Sirosis5


Untuk diagnosa hepatitis B dapat diberikan analog nukleotida, yaitu
entecavir, 1x0,5 mg, diminum secara oral dengan selama 12 bulan sekaligus untuk
pasien-pasien sirosis memperbaiki fungsi hati dengan hilangnya gejala-gejala
sirosis misalnya: udem, asites, dan hypoalbuminemia. Analog nukleosida bekerja
dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus, berkompetisi dengan
nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.
Entecavir 0.5 mg/hari selama 12 bulan menunjukkan perbaikan dapat mensupresi
replikasi VHB, wild type maupun resisten lamivudin, lebih cepat dan lebih efektif
pada pasien sirosis dekompensata dibandingkan dengan adefovir dan lamivudin.

Gambar 3. Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien Sirosis4


Pada pasien ini mengalami keadaan hipoalbuminemia diberikan tranfusi Albumin
25% 1x 25 gr. Penggunaan albumin untuk pasien dengan sirosis hati dilandasi
oleh pemahaman bahwa pada sirosis hati akan terjadi hipovolemia, yang akan
menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. Aktivasi sistem ini
mengakibatkan tertahannya cairan di tubuh sebagai kompensasi kondisi
hipovolemia. Kondisi abnormal tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya asites
dan beberapa komplikasi sirosis lainnya
D = Desire Albumin Level ( kadar Albumin yang dikehendaki )
A = Actual Albumin Level ( kadar Albumin sekarang )
B W = Body Wieight ( Berat badan )
Rumus : ( D – A ) X ( B W X 40 ) X 2
Pada pasien:
=( 3-2,3) x (55x40) x 2
= 3,080
= 30 gr albumin
Curcuma sebagai hepatoprotektor diberikan tablet 1x200 mg. Efek
kurkumin sebagai antioksidan yang mampu menangkap ion superoksida dan
memutus rantai antar ion superoksida (O2-) sehingga mencegah kerusakan sel
hepar. Curcumin juga mampu meningkatkan gluthation S-transferase (GST) dan
mampu menghambat beberapa faktor proinflamasi , ekspresi gen dan replikasi
virus hepatitis B melalui downregulation dari PGC-1α, sehingga dapat
disimpulkan bahwa curcumin dapat dijadikan alternatif hepatoprotektor pada
pasien hepatitis kronis. Untuk anemia derajat ringan yang terjadi dapat diberikan
vitamin B kompleks 1x 10 mg. Adapun pada pasien ini juga dilakukan diet hati.
BAB V
KESIMPULAN

Sirosis hepatis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan


fibrosis jaringan parenkim hati tahap akhir, yang ditandai dengan pembentukan
nodul regeneratif yang dapat mengganggu fungsi hati dan aliran darah hati. Sirosis
adalah konsekuensi dari respon penyembuhan luka yang terjadi terus-menerus
dari penyakit hati kronis yang diakibatkan oleh berbagai sebab.
Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental
yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda-
tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan
fundamental tersebut. Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan
terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati.
Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular intra
hepatik dan peningkatan aliran darah melaluisistem porta. Pemeriksaan penunjang
yang dapat mendukung kecurigaan diagnosis sirosis hepatis terdiri dari
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Untuk penanganan pada
pasien ini prinsipnya adalah mengurangi progesifitas penyakit, menghindarkan
dari bahan-bahan yang dapat merusak hati, pencegahan, serta penanganan
komplikasi. Pengobatan pada sirosis hati dekompensata diberikan sesuai dengan
komplikasi yang terjadi.
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah
faktor,diantaranya etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit
yang menyertai.
Beberapa tahun terakhir, metode prognostik yang paling umum dipakai
pada pasien dengan sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, yang
dapat dipakai memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap
lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah, Siti. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi V. Jakarta: FK UI. 2010;668-673
2. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis.
Edisi keenam, Volume I. EGC, Jakarta: 2005;1:493-501.
3. Raines Daniel, Starr Paul. Cirrhosis : Diagnosis, Management and
Prevention. Volume 84, Number 12 December 15, 2011. Page 1354
4. 4. Hepatitis C Online. PDF created June 24, 2015, 6:29 am. Evaluation and
Prognosis of Patients with Cirrhosis, page. 4-5
5. Aithal P, Moore P.Guideline on the management of ascites ini cirrhosis.
gut.bmjjournals.com on 25 September 2006. Page 6
6. Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, longo Jameson. Cirrhosis Hepatitis,
Harrison’s Manual Of Medicine, 16 th edition. 2005.
7. Dona Mesina. Patogenesis Virus Hepatitis B. Bagian Mikrobiologi FK
Ukrida. 2015.
8. Kowalak, Jenifer. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2011

Anda mungkin juga menyukai