KOLELITIASIS
Pembimbing
dr. Santyo Wibowo, Sp.B.
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
rahmat, karunia, dan kesehatan yang diberikan akhinya penulis dapat
menyelesaikan tugas laporan kasus tepat pada waktunya. Tugas ini dibuat untuk
memenuhi tugas dalam proses mengikuti kepaniteraan klinik madya di bagian
ilmu bedah Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram. Tugas ini juga merupakan salah satu
pembelajaran dan peningkatan pemahaman terhadap kasus pada bagian bedah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman
yang telah memberi dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga kepada dr.
Santyo Wibowo, Sp.B. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan
dan masukan sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi kepada
pembaca, terutama penulis. Penulis menyadari terdapat kelebihan dan kekurangan
dari tugas ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan.
Terima kasih.
2
DAFTAR ISI
3
3.3.1 Definisi .............................................................................. 17
3.3.2 Etiologi ............................................................................. 17
3.3.3 Epidemiologi .................................................................... 18
3.3.4 Faktor Resiko ................................................................... 18
3.3.5 Patofisiologi ...................................................................... 19
3.3.6 Manifestasi Klinis ............................................................. 20
3.3.7 Diagnosis .......................................................................... 24
3.3.8 Tatalaksana ........................................................................ 24
3.3.9 Komplikasi ........................................................................ 25
3.3.10 Prognosis ........................................................................... 27
BAB IV – Analisis Kasus ........................................................................... 28
4.1 Identifikasi Masalah ...................................................................... 28
4.2 Analisis Kasus ............................................................................... 28
BAB V – Penutup ....................................................................................... 30
Daftar Pustaka.............................................................................................. 31
4
BAB I
PENDAHULUAN
Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan
kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,
insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien
kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi
menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di
negara kita1,2,4.
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat
serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan,
nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti
kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula
kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup pasien2,3,4.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal
berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini serta
terapi yang sesuai.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri perut kanan Atas
6
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit serupa (-), diabetes mellitus (-), hipertensi (-), asma (-), kanker (-)
7
2.3.2 Fisik Umum
Kepala
Inspeksi: Normocephali, rambut normal
Palpasi: Massa (-), nyeri tekan (-), cepalhematome (-)
Thoraks
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris (+/+), Retraksi (-/-), massa (-),
pelebaran sela iga (-), fossa supraclavicula dan infraclavicula :
cekung, simetris kiri dan kanan,
Palpasi: Pengembangan dinding dada simetris (+/+), krepitasi (-), iktus kordis
teraba pada ICS5 linea midclavicula line sinistra, massa (-)
Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop(-)
:
8
Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki halus/kasar(-/-), wheezing (-/-),
stridor (-/-)
Abdomen
Inspeksi: Scopoid (+), distensi (-), ascites (-), massa (-), hernia umbilikalis (-),
jejas (-)
Palpasi: Nyeri tekan kanan atas dan epigastrium (+),turgor kulit normal,
massa (-), hepar lien dan ren tidak teraba
+ + -
- - -
- - -
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi Bising usus (+) 8x/menit
:
Ekstremitas
Atas: Akral hangat (+/+), edema (-/-), deformitas (-/-), sianosis (-/-),
CRT <2s,
Bawah: Akral hangat (+/+), edema (-/-), deformitas (-/-), sianosis (-/-),
CRT <2s,
9
MCV (fL) 79.5 79,0 – 99,0
MCH (pg) 24.9 27,0 – 31,0
MCHC (g/dL) 31.3 33,0 – 37,0
Elektrolit (11-11-2019)
Natrium (mmol/L) 143 135 – 145
Kalium (mmol/L) 3.8 3,4 – 5,4
Klorida (mmol/L) 104 95 – 108
Hemostasis (11-11-2019)
PT (detik) 14,4 11,5 – 15,5
Kontrol PT (detik) 14,8
APTT (detik) 29,7 28,0 – 38,0
Kontrol APTT (detik) 30.0
Fungsi Ginjal (11-11-2019)
Ureum (mg/dL) 19 10 – 50
Kreatinin (mg/dL) 0,7 0,6 – 1,1
Fungsi Hati (11-11-2019)
SGOT (U/l) 26 0 – 40
SGPT (U/l) 23 0 – 41
10
2.4.2 USG Abdomen
Foto USG Abdomen
11
Hasil Bacaan :
Kesan:
- Cholelitiasis ukuran 2-3 cm
12
2.4.3 Rontgen Thorax
Foto rontgen thorax
Hasil bacaan:
Cor besar dan bentuk normal, CTR ≤50%
Pulmo tak tampak infiltrate/nodul, corakan broncovascular normal, hilus
kanan dan kiri tak tampak menebal
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
Diafragma sisi kanan kiri normal
Tulang dan jaringan lunak dinding thorax normal
Kesan :
Saat ini cor dan pulmo tak tampak kelainan
13
2.5 ASSESSMENT
Kolelitiasis
2.6 PLANNING
Pro Laparatomi
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam IV
Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam IV
2.7 KOMPLIKASI
Ulserasi perforasi
Karsinoma
2.8 PROGNOSIS
Ad Functionam : Bonam
Ad Vitam : Dubia
Ad Sanationam : Bonam
2.9 KIE
Menjelaskan dengan detail terkait penyakit yang diderita pasien
Menjelaskan dengan detail rencana terapi dan komplikasi
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus
bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.4,8
16
Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel
hepar.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol,
lemak dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu
penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen
utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.4,10
a.3 KOLELITIASIS
a.3.1 Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar kolelitiasis, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu.1,2
Kolelitiasis bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu
mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Kolelitiasis di
dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh
dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa
menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
lainnya. Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung
empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian
menaikkan kolelitiasis. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari
makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong
empedu.1,2 Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini
menjalar tanpa terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong
empedu sehingga cairan yang berada di kantong empedu mengendap dan
menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus
apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan
lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam.
17
Namun, infeksi lebih sering timbul akibat dari terbentuknya batu
dibanding penyebab terbentuknya batu.3
a.3.2 Etiologi
Etiologi dari kolelitiasis dibagi berdasarkan jenis batu penyusun
penyakit ini yaitu sebagai berikut.
a. Batu kolesterol: terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara
kolesterol, garam empedu, dan fosfolipid yang menyebabkan
terbentuknya empedu litogenik.
b. Batu bilirubinat: dikaitkan dengan hemolisis kronik, infeksi bakteri
yang memproduksi beta glukuronidase.
c. Batu campuran : dikaitkan dengan abnormalitas anatomi, stasis,
riwayat operasi sebelumnya, dan riwayat infeksi terdahulu.13
a.3.3 Epidemiologi
Prevalensi kolelitiasis meningkat seiring dengan perjalanan usia,
terutama untuk pasien diatas 40 tahun. Perempuan berisiko dua kali lebih
tinggi mengalami kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Kejadian
kolelitiasis bervariasi di negara berbeda dan di etnis berbeda pada negara
yang sama. Perbedaan ini menunjukkan bahwa faktor genetik berperan
penting dalam pembentukan kolelitiasis. Prevalensi tinggi kolelitiasis
campuran di negara Barat, sedangkan di Asia umumnya dijumpai batu
pigmen.12
18
a. Usia
Prevalensi kolelitiasis meningkat seumur hidup. Di Amerika
Serikat, kurang dari 5% hingga 6% populasi yang berusia <40
tahun mengidap kolelitiasis sedangkan yang berusia > 80 tahun
sekitar 25% hingga 30%.
b. Jenis kelamin
Prevalensi pada perempuan berkulit putih sekitar dua kali
dibandingkan laki-laki. Ini dikarenakan oleh hormon estrogen yang
berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar estrogen
juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
c. Etnik dan geografik
Prevalensi batu empedu kolesterol mendekati 75% pada populasi
Amerika asli suku Pima, Hopi dan Navajo sedangkan batu pigmen
jarang. Hal tersebut berkaitan dengan hipersekresi kolesterol
empedu. Kolelitiasis lebih sering terjadi di masyarakat industri
Barat dan jarang pada masyarakat yang sedang atau belum
berkembang.
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko penting untuk penyakit batu
empedu. Ini menimbulkan risiko batu empedu kolesterol dengan
meningkatkan sekresi empedu kolesterol, sebagai akibat dari
peningkatan aktivitas reduktase koenzim A 3-hydroxy-3-
mthylglutaryl (HMGCoA).
e. Hereditas
19
Riwayat keluarga dapat menimbulkan risiko serta berbagai
kelainan herediter metabolisme misalnya yang berkaitan dengan
gangguan sintesis dan sekresi garam empedu.
f. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder
(seperti asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu
lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan
saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan
kolesterol empedu.
g. Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhungan dengan peningkatan risiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung
empedu lebih sedikit berkontraksi.
h. Obat-obatan
Semua turunan fibric acid meningkatkan saturasi kolesterol
empedu sambil menurunkan kolesterol serum. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatik
melalui sekresi bilier dan meningkatkan risiko batu empedu
kolesterol.
a.3.5 Patofisiologi
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 3
tahapan utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan yaitu
sebagai berikut.15
a. Supersaturasi kolesterol empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu
kolesterol. Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol
yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen
empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu
dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam
empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan
20
vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan
saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol dalam bentuk misel
yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk
komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran
dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol sekitar 10 kali
lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dilapisan
tanpa mengandung garam empedu. Umumnya, konformasi vesikel
berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih
cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk
konformasi kristal. Empedu yang tersupersaturasi dengan
kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat dalam
bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung
mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan
berkembang menjadi batu empedu.
b. Hipomotilitas kantung empedu
Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses
fisiologik yang mencegah litogenesis dengan memastikan aliran
empedu secara berterusan dari kantung empedu ke dalam usus
sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung
empedu memperlambat aliran empedu ke dalam usus melalui
duktus empedu secara optimal dan ini memfasilitasi pembentukan
kristal kolesterol halus yang cenderung bernukleasi dan
berkembang menjadi batu empedu. Perlambatan aliran empedu
menyebabkan absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa secara
berlebih hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu dan ini
memicu proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis
kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan
batu empedu. Stasis yang berlangsung lama menginduksi
pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada
21
penderita dengan cedera medula spinalis, pemberian TPN untuk
periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada
keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang
turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol
monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Kristal
kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi
berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan
lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
c. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi
oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang
merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu.
Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk
glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang
terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti
dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu
mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel
yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein
musin ini diduga memacu proses nukleasi.
Faktor pronukleasi lain termasuk imunoglobulin (IgG dan
M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam.
Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh
spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi
kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh
adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik.
Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A
(IgA), apoA-I dan apoA –II. Nukleasi yang berlangsung lama
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat.
22
Gambar 2. Patogenesis Pembentukan Batu Empedu Kolesterol 15
23
Hanya 20-25% pasien dengan batu empedu yang menunjukkan
gejala klinis. Batu empedu kebanyakan ditemukan ketika dilakukan
pemeriksaan USG dan asimtomatik pada 80% pasien. Adapun gejala
patognomomik dari kolelitiasis adalah sebagai berikut.13,16
a. Kolik bilier
Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu
empedu merupakan keluhan utama pada 70-80% pasien. Nyeri
kolik disebabkan oleh spasme fungsional di sekitar lokasi
obstruksi. Nyeri kolik mempunyai karakteristik spesifik; nyeri yang
dirasakan bersifat episodik dan berat, lokasi di daerah epigastrium,
dapat juga dirasakan di daerah kuadran kanan atas, kuadran kiri,
prekordium, dan abdomen bagian bawah. Onset nyeri tiba-tiba dan
semakin memberat pada 15 menit pertama dan berkurang hingga
tiga jam berikutnya. Resolusi nyeri lebih lambat. Nyeri dapat
menjalar hingga region interskapular, atau ke bahu kanan.
b. Kolesistitis kronik
Diagnosis yang tidak pasti yang ditandai dengan nyeri perut
atas kanan yang bersifat intermiten, distensi, flatulens, dan
intoleransi makanan berlemak, atau apabila mengalami kolesistitis
episode ringan yang berulang.
c. Kolesistitis obstruktif akut
Ditandai dengan nyeri konstan pada hipokondrium kanan,
pireksia, mual , dapat atau tidak disertai dengan jaundice, Murphy
sign positif (nyeri di kuadran atas kanan), leukositosis.
d. Kolangitis
Ditandai dengan nyeri abdominal, demam tinggi, obstruktif
jaundice (Charcot’s triad), nyeri hebat pada kuadran atas kanan.
e. Jaundice obstruktif
24
Ditandai nyeri abdominal atas, warna feses pucat, urin
berwarna gelap seperti teh pekat, dan adanya pruritus. Jaundice
obstruktif dapat berujung ke kolangitis bila saluran bersama tetap
terjadi obstruksi.
a.3.7 Diagnosis
Dalam anamnesis, perlu diketahui keluhan-keluhan atau gejala
yang bisa timbul pada kolelitiasis. Sebagian besar pasien, yaitu 75%,
dengan kolelitiasis tidak memperlihatkan gejala. Gejala biasanya timbul
bila batu menyumbat aliran empedu yang sering terjadi karena batu kecil
melewati ductus choledochus.Gejala yang mencolok yaitu nyeri saluran
empedu yang hebat baik menetap maupun seperti “kolik” (spasmodik)
akibat obstruksi kandung empedu atau saat batu empedu bergerak ke hilir
dan tersangkut di saluran empedu.4
Akibat keberadaan dari batu empedu tersebut, sehingga penderita
batu empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronik karena
peradangan kandung empedu yang terjadi. Gejala yang timbul seperti
nyeri hebat mendadak pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas
yang dapat berlangsung selama berjam-jam. Selain itu, nausea dan muntah
juga sering terjadi.4
25
a.3.7.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan
ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hepar AST (SGOT), ALT (SGPT),
LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran
empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
b. Pemeriksaan sinar-X abdomen 15
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala
yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami
cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
c. Foto polos abdomen 2
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan
akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan
atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura hepatika.
Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab
nilai diagnostiknya rendah.
d. Kolesistografi 2
26
Pada kolesistografi, batu yang radiolusen akan tampak sebagai bagian
yang tidak terisi oleh zat kontras (filling defect). Pada perubahan posisi
maka gambaran tersebut akan ikut bergerak.
e.
Gambar 3. Hasil Pemeriksaan Kolesistografi 9
f. Ultrasonografi 2
Gambaran batu empedu secara USG akan memperlihatkan suatu
massa gema padat berdensitas tinggi terletak di dalam kandung empedu
disertai bayangan bebas gema dibelakangnya atau bayangan akustik.
Timbulnya bayangan akustik ini karena gelombang suara dipantulkan
seluruhnya oleh batu yang merupakan benda padat. Karena batu memiliki
gaya berat, maka pada perubahan posisi maka batu akan ikut bergerak dan
tetap berada di dalam kandung empedu.
27
Gambar 4. Hasil Pemeriksaan USG
28
h. Endoskopic Ultrasonography (EUS) 17
EUS yaitu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop
dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar. Sensitivitas
EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu 97%, namun EUS dan ERCP
tidak memperlihatkan perbedaan bermakna.
i. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) 17
MRCP yaitu teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa
menggunakan zat kontras, instrumen dan radiasi ion. Pada MRCP, saluran
empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena memiliki
intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat
sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas
sinyal tinggi.
a.3.8 Tatalaksana
A. Farmakoterapi
Chenodeoxycholic acid (CDCA)15
Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami
kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan
bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian
CDCA adalah diare.
29
B. Non-Bedah
Disolusi Medis 18
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif
diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4
batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten.
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) 10
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu
dengan gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan
bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) 19
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP
terapeutik dengan melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini
mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang sebagai standar
baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu
di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon
ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen
duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran
empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu
yang terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa
prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti
pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser
C. Pembedahan
Open cholecystectomy14
Indikasi yang paling umum untuk cholecystectomy yaitu kolik biliaris
rekuren dan diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang
terjadi, meliputi perdarahan dan infeksi. Pasien yang melakukan open
cholecystectomy ini memerlukan tinggal di rumah sakit untuk beberapa
hari, dan memiliki angka kematian kurang dari 1%. Kelemahan terbesar
dari operasi ini adalah dapat menyebabkan nyeri dan kecacatan
30
Laparoscopic cholecystectomy 14,15
Laparoscopic cholecystectomy telah banyak digunakan sejak pertama
kali dilakukan pada tahun 1988. Dari beberapa penelitian yang
melibatkan lebih dari 4000 pasien yang menjalani Laparoscopic
cholecystectomy,didapatkan bahwa:
a. komplikasi berkembang pada sekitar 4% dari pasien,
b. konversi ke laparotomi terjadi pada 5%,
c. angka kematian adalah sangat rendah yaitu 0,1%,
d. trauma saluran empedu sekitar 0,2 sampai 0,5%.
Data ini menyebabkan laparoscopic cholecystectomy telah menjadi
"gold standard" untuk mengobati kolelitiasis bergejala. Tindakan ini
juga memiliki kelebihan yaitu nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
biaya yang lebih murah.
Cholecystostomy
Pada pasien yang sakit kritis dengan kandung empedu empiema dan
sepsis, kolesistektomi dapat berbahaya. Dalam hal ini, ahli bedah dapat
memilih untuk melakukan cholecystostomy, prosedur minimal
melibatkan penempatan tabung drainase di kantong empedu. Hal ini
biasanya menghasilkan perbaikan klinis. Setelah pasien stabil,
kolesistektomi definitif dapat dilakukan dalam keadaan elektif.
a.3.9 Komplikasi
Kolelitiasis tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu
tidak masuk ke dalam ductus cysticus atau ductus choledochus. Bila batu
itu masuk ke dalam ujung ductus cysticus, maka dapat menyebabkan
keluhan penderita dan menimbulkan kolesistitis akut. Hal ini disebabkan
oleh elemen empedu yang tidak dapat diserap dan kadarnya semakin lama
semakin bertambah dapat menimbulkan reaksi inflamasi.2 Kolesistitis akut
yang timbul akibat batu yang menutupi ductus cysticus kemudian
menyebabkan hidrops/pembesaran dari kandung empedu. Penambahan
31
volume kandung empedu menyebabkan iskemia dinding kandung empedu
yang dapat berkembang menjadi nekrosis dan mengalami perforasi.17
Selain itu kolelitiasis juga dapat menyebabkan kolangitis akut
akibat adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis
kolangitis akut yaitu trias Charcot yang meliputi: nyeri abdomen kuadran
kanan atas, ikterus dan demam yang didapatkan pada 50% kasus.17 Suatu
keadaan yang jarang terjadi yaitu terlepasnya batu empedu ke dalam
intestinal yang memungkinkan tertekannya valvula ileocaecal, sehingga
dapat menyebabkan obstruksi intestinal akut.2
Batu yang kecil memungkinkan dengan mudah dapat melewati
ductus choledochus dan masuk ke duodenum tanpa menyebabkan keluhan
penderita namun dapat juga terjadi penyumbatan pada sebagian ductus.
Jika terjadi penyumbatan, maka akan menyebabkan meningkatnya tekanan
intraductal sebelah proksimal dan terjadi kontraksi otot-otot polos pada
ductus untuk mengeluarkan batu tersebut dan akhirnya terjadilah kolik
empedu. Jika obstruksinya sempurna maka terjadi retensi empedu dan
timbul ikterus obstruktif.2
Selain dapat menyebabkan kolesistitis akut, dapat juga terjadi
kolesistitis kronis. Inflamasi yang kronis dari kandung empedu
kemungkinan besar merupakan keadaan prekarsinomatosa sehingga
kolesistitis kronik yang disertai batu empedu ditemukan karsinoma pada
kandung empedu.2
a.3.10 Prognosis
Kurang dari setengah pasien dengan batu empedu menjadi gejala.
Tingkat kematian untuk elective cholecystectomy adalah 0,5% dengan
morbiditas kurang dari 10%. Tingkat kematian untuk emergent
cholecystectomy adalah 3-5% dengan morbiditas 30-50%.
Setelah melakukan kolesistektomi, batu bisa kambuh dalam saluran
empedu. Selain itu sekitar 10-15% dari pasien mengalami
choledocholithiasis. Prognosis pada pasien dengan choledocholithiasis
tergantung pada keberadaan dan tingkat keparahan komplikasi. Dari semua
32
pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk menjalani operasi,
45% tetap asimtomatik dari choledocholithiasis, sementara 55%
mengalami berbagai komplikasi.
33
BAB IV
ANALISIS KASUS
Subjektif
Nyeri perut kanan atas dan epigastrium sejak 1 tahun yang lalu dan
memberat 1 bulan yang lalu.
Nyeri dirasakan bermula dari ulu hati, lalu berpidah ke perut kanan atas
BAB BAK normal
Objektif
Tanda vital, Kedaan umum: sedang, kesadaraan : compos mentis, GCS:
E4V5M6, Nadi : 86x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36,8C
Nyeri tekan mcBurney (-)
Rovsing Sign : (-)
Bloomberg Sign : (-)
34
duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik di tempat
penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrium, mungkin dapat
menyebar ke punggung serta muntah.
BAK lancar, warna kuning. BAB biasa, warna coklat, konsistensi lunak.
Riwayat pernah mengalami penyakit ini sebelumnya(-). Riwayat keluarga
memiliki penyakit seperti ini (-). Untuk memperdalam analisis kita dari
anamnesis, kita lanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
TD: 120/80 mmHg, P: 20x/menit, N: 72x/menit, S: 36,8 C. Pada pemeriksaan
kepala, leher, thorax dan jantung kesan normal. Pada pemeriksaan fisik Abdomen
didapatkan Nyeri Tekan (+) epigastrium, murphy sign (+), H/L tak teraba.
Murphy sign yang positive menandakan bahwa terdapatnya cholesistitis. Oleh
sebab, ada nya beberapa kemuungkinan yang kurang mendukung, untuk itu
dibutuhkan pemeriksaan penunjang yang lain berupa laboratorium dan usg
abdomen.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin masih dalam batas normal. Dari
pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan kolesistitis et causa kolelitiasis.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta
pemeriksaan penunjang lainnya, pasien didiagnosis sebagai kolesistitis et causa
kolelitiasis.
35
BAB V
PENUTUP
Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang
ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni
kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Patofisiologi kolesistitis
akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Penegakkan
diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada
wanita, usia > 40 tahun dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat
hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pasien – pasien
yang menerima nutrisi parenteral total (TPN) beresiko menderita kolesistitis akut
akalkulus, sama halnya pada pasien dengan riwayat DM & demam tyfoid.
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda
Murphy positif) pasien menyangkal mengelukan takikardia, mual, muntah,
anoreksia dan demam. Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan leukositosis,
peningkatan serum aminotransferasi, alkali fosfatase, serum bilirubin dan serum
amilase. Pemeriksaan USG dapat merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak
dilakukan karena kesensitifitasannya sampai 95%. Terapi dibagi menjadi dua
yakni terapi konvensional berupa perbaikan kondisi umum pasien, antibiotik
sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-emetik dan terapi pembedahan bila
terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering dilakukan laparaskopik
kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada pasien yakni rasa
nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa perawatan dan memperbaiki
kualitas hidup pasien lebih cepat.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
14. Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edition 16th. New York:
McGraw-Hill; 2005.
15. Paumgartner, G. dan Greenberger, N.J., 2009. Gallstone Disease. Dalam:
Current Diagnosis & Treatment: Gastroenterology, Hepatology, &
Endoscopy. USA: McGrawHill. 537-545
16. Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI Jilid II. Jakarta:
InternaPublishing; 2014.
17. Beckingham., 2001. ABC of Disease of Liver, Pancreas, and Biliary
System Gallstone Disease. Dalam BMJ (British Medical Journal) V. 322,
13 Januari 2001. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Akses 21 November 2019.
18. Farmacia., 2010. Cholangiolithiasis. http://www.majalah-farmacia.com.
Edisi Juni 2010 (Vol.9 No.11). Akses 21 November 2019.
19. Heuman DM. Gallstones (Cholelithiasis) [Internet]. Medscape. 2016 [cited
2019 November 26]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview #a6
38