Anda di halaman 1dari 50

Laporan Kasus

STEVEN JOHNSON SYNDROME PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN MENTAL DAN PRILAKU

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh :

Khaziatun Nur
1807101030059

Dokter Pembimbing

dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang
dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Steven Johnson Syndrome pada penderita Skizofrenia paranoid”.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik
senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSJ Aceh, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bantuan,
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu
memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 3


2.1 Definisi........................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................. 4
2.3 Etiologi........................................................................................... 5
2.4 Klasifikasi....................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi................................................................................... 7
2.6 Gejala Klinis................................................................................... 9
2.7 Diagnosis Banding......................................................................... 11
2.8 Diagnosis........................................................................................ 13
2.9 Penatalaksanaan............................................................................. 19
2.10 Komplikasi..................................................................................... 20
2.11 Prognosis........................................................................................ 20

BAB III LAPORAN KASUS................................................................... 21


3.1 Identitas pasien............................................................................... 21
3.2 Riwayat Psikiatri............................................................................ 21
3.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................... 23
3.4 Pemeriksaan Status Mental............................................................ 25
3.5 Resume........................................................................................... 27
3.6 Diagnosis Banding......................................................................... 27
3.7 Diagnosis Kerja.............................................................................. 28
3.8 Diagnosis Multiaksial..................................................................... 28
3.9 Tatalaksana..................................................................................... 28
3.11 Prognosis....................................................................................... 29
3.12 Follow up....................................................................................... 29
3.10 Foto klinis pasien.......................................................................... 32

iii
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................... 33
BAB V KESIMPULAN.......................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 41

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Tabel 2.1 Klinis yang membedakan SJS, SJS-TEN dan TEN ...................... 8

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Obat yang dapat menyebabkan SJS dan TEN............................. 6


Gambar 3.1 Steven Johnson Syndrome pada pasien...................................... 32

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sindrom Stevens-Johnson adalah salah satu dari sedikit keadaan darurat
dermatologis dalam praktik klinis. Sindrom ini seringnya sebagai penyebab sekunder
akibat penggunaan obat-obatan, di antaranya allopurinol, penisilin, sulfonamid,
ibuprofen, natrium valproat, fenitoin, lamotrigin, dan karbamazepin yang secara umum
terlibat. Agranulositosis adalah adanya penurunan jumlah neutrofil yang signifikan
secara klinis. Kondisi ini merupakan ancaman serius bagi pasien, karena ia berisiko
lebih besar tertular infeksi bakteri atau jamur, yang mungkin terbukti berakibat fatal.
Koeksistensi sindrom Stevens-Johnson dan agranulositosis pada pasien yang sama
semakin meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. 1,2
Insiden tahunan rata-rata diperkirakan terjadi sekitar 1,2 hingga 6 kasus per juta
di Amerika Serikat, dengan rasio pria dan wanita 1,5: 1. Namun, penelitian yang
dilakukan oleh Patel TK et al., Menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan berdasarkan usia dan jenis kelamin pada populasi India. Sebaliknya,
penelitian lain menunjukkan dominasi laki-laki yang jelas, dan dominasi kelompok
usia 46 hingga 60 tahun. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah penyakit reaksi kulit
yang sangat jarang, akut, serius, dan berpotensi fatal. Karbamazepin adalah salah satu
penyebab paling umum, yang lain adalah obat antiretroviral, obat anti-TB, sulfonamid,
fluoroquinolon, penisilin, obat antiinflamasi non-steroid dan multivitamin. 3,4
Kasus SJS sekunder terhadap carbamazepine pada pasien dengan riwayat ruam
kulit sebelumnya karena carbamazepine yang diberikan untuk pengobatan gangguan
schizoafektif. Carbamazepine dikaitkan dengan beberapa efek samping dermatologis
termasuk ruam, urtikaria, dan reaksi fotosensitifitas, sedangkan, reaksi obat kutaneous
akut dan berat yang mengancam jiwa seperti eritema multiforme, nekrolisis epidermal
toksik (TEN) dan sindrom Stevens-Johnson (SJS) jarang dilaporkan. TEN secara
klinis ditandai oleh makula eritematosa dan lesi yang ditargetkan di seluruh tubuh
2

bersama dengan lebih dari 30 persen area permukaan tubuh yang memiliki nekrosis
epidermis ketebalan penuh; sedangkan SJS memiliki kurang dari 10% luas permukaan
tubuh yang terkena nekrosis epidermal dengan ketebalan penuh dan dengan detasemen
terhadap keterlibatan membran mukosa di dua atau lebih daerah. Sebagian besar kasus
SJS yang dilaporkan terjadi selama dua bulan pertama penggunaan obat antiepilepsi.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan
gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan situasi umum yang
bervariasi dari ringan hingga berat. Penyakit ini merupakan penyakit akut yang
menyebabkan kematian, oleh karena penyakit ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan penyakit kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh imun
yang kompleks-termediasi hipersensitivitas, atau yang juga disebut reaksi
hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat diinduksi oleh obat-obatan,
infeksi, imunisasi, serta berbagai macam penelitian lainnya kepada pasien. Stevens
Johnson Syndrome berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan perawatan pasien
SJS sangat membutuhkan perawatan yang tepat dan cepat. 5,6
Adapun terapi yang bisa diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan
penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap luka, serta perawatan terhadap mata.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Sindrom Johnson berhasil pada tingkat
pengelupasan kulit, di mana disetujui pengelupasan kulit semakin meluas, maka
prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti halnya usia
penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar kalsium, kadar BUN
dan kadar bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.5,6
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) terdiri dari
kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga
tubuh yang memiliki selaput lendir dan mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari
Sindrom Stevens Johnson saat ini belum ditemukan namun ditemukan beberapa hal
yang terkait timbulnya Sindrom Stevens Johnson seperti obat-obatan atau infeksi
virus. Reaksi atas reaksi pada Sindrom Stevens Johnson adalah reaksi hipersensitif
terhadap zat yang memicunya.7
4

Stevens Johnson Syndrome muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik
atau diminum, dan menentukan kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak
berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh
pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling dikenal jika ada pelaporan
penyakit sebelumnya dan kadang-kadang tidak disadari pasien, jika tipe penelitian tipe
cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat, para pasien akan selamat dan tak
bergejala menerima, jika demikian Stevens Johnson Syndrome akan membutuhkan
tempat yang diinginkan lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok
anafilaktik.8

2.2 Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 hingga 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat terjadi
pada semua usia tetapi insidensi meningkat pada atas ke-4 dan sering terjadi pada
wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.25,26 Penyakit infeksius juga dapat
meningkat pada insidensi meningkat SEPULUH, pada pasien HIV dapat meningkat
100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus / seratus
orang / tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional pada obat, latar belakang
genetik dari pasien (HLA, metabolisme enzim), koeksistensi kanker, atau bersama
dengan radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit
tersebut 10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. SJS /
NET dengan angka mortalitas keseluruhan 23% pada enam minggu, 28% pada tiga
bulan dan 34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan,
yang luasnya permukaan yang terlibat dengan prognosis yang buruk. Di Amerika
Serikat, evaluasi dari pemilihan mengumumkan tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit
hitam dibandingkan dengan kulit putih.9

2.3 Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifaktorial. Ada yang


beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut
5

eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain:9,10
1. Infeksi
a. Virus

Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi


saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu, Lympho
Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smalpox virus. Virus-virus
Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson.

b. Bakteri

Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens-


Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia, Psitacosis,
Tuberculosis, Tularemia, Lepromatous Leprosy atau Typhoid Fever.

c. Jamur

Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema


Multiforme Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan sebagai Sindroma
Stevens-Johnson

d. Parasit

Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

2. Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson
antara lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron dan
6

paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin,


chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan.

Gambar 2.1 Obat yang dapat menyebabkan SJS dan TEN

3. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler

4. Pasca vaksinasi :

a. BCG, Smalpox dan Poliomyelits.

5. Penyakit-penyakit keganasan :

b. Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma, dan polisitemia.

6. Kehamilan dan Menstruasi.


7. Neoplasma.
7

8. Radioterapi.

2.4 Klasifikasi3
1. Sindrom Steven Johnson

Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis


3
yaitu sebanyak <10 %.

2. Sindron Steven Johnson dan TEN


Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis
3
yaitu sebanyak <10-30%.

3. TEN
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis
3
iaitu sebanyak >30%.

2.5 Patofisiologi 5,11


Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan. Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya.

Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan


terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
8

enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai
reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T.
Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk
yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel
yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).

Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis. Oleh karena proses
hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti kegagalan
fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan
resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi,
kegagalan fungsi imun, dan infeksi.

2.6 Gejala Klinis


Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam, mata
menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya, gejala-gejala ini
mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi awal keterlibatan kulit adalah
9

wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan dan kaki.
Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa mata
terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan dalam beberapa kasus sistem pernapasan
dan pencernaan juga dipengaruhi.

Keterlibatan okular akibat timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat berkisar
dari akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, dan okular debit, ke
membran konjungtiva atau pseduomembrane pembentukan atau erosi kornea, dan,
pada kasus yang berat, untuk cicatrizing lesi, symblepharon, forniks foreshortening,
dan ulserasi kornea. Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang. Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit yang lebih
rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik tangensial pada beberapa
zona eritematosa (Nikolsky sign)

6
Tabel 2.1 klinis yang membedakan SJS, SJS-TEN, dan TEN.

Entitas klinis SJS SJS-TEN TEN


Lesi primer Lesi merah Lesi merah Lesi merah Dusky
Dusky Target Dusky Target buruk
atipikal datar atipikal datar digambarkan plak
eriktematosa lesi
10

merah Dusky
Target atipikal
datar
Lesi terisolasi
Terisolasi lesi Lesi terisolasi (jarang)
pertemuan (+) pertemuan (++) pertemuan (+++)
Distribusi
pada wajah dan pada wajah dan pada wajah,
bagasi. bagasi. batang, dan di
tempat lain.
Keterlibatan
ya ya Ya
Mukosa
Gejala sistemik Biasanya Selalu Selalu
Detasemen
(Permukaan
<10 10-30 >30
tubuh % luas
area)

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:


a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara
lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.
Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid
lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna
dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga
ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.Lesi yang muncul
dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh
rentan terhadap infeksi sekunder.

Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky
positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada
bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area
tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens
Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari
30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).

b. Kelainan pada mukosa


11

Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan,
ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir,
lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula
yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau
kerak kehitaman terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada
mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan
penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran
genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.

c. Kelainan pada mata


Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak
mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek
epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia
atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi
peradangan atau keratitis pada kornea mata.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis diferensial utama dari SJS / TEN adalah penyakit autoimun blistering,
termasuk linear IgA dermatosis dan pemfigus paraneoplastic tetapi juga vulgaris
pemfigus dan pemfigoid bulosa, exanthematous umum akut pustulosis (AGEP),
disebarluaskan obat bulosa tetap erupsi dan scalded skin syndrome staphyloccocal
(SSSS). SSSS adalah salah diferensial yang paling penting diagnosa di masa lalu, tapi
kejadian yang saat ini sangat rendah dengan 0,09 dan 0,13 kasus per satu juta
penduduk per tahun.

1. Eritema multiformis (EM)

Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan SJS
ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS
ialag >30%.
12

2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET
terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan
keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.

3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa


Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru
awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang
tapi nyeri kulit pada TEN menonjol.

4. Erupsi Pustural Obat

Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis


(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP
merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules yang sering
dimulai di leher dan daerah intertriginosa.

5. Erupsi Fototoksik

Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar
matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum
yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat
pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi
fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas.

6. Toxic shock syndrome

Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus


aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai
13

elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah


dengan keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.

7. Staphylococcal scalded skin syndrome

SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari
selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan
peluruhan hanya lapisan atas epidermis.

2.8 Diagnosis12,13
Semua kasus dugaan SJS dan TEN harus dikonfirmasi oleh biopsi kulit untuk
histologis dan pemeriksaan imunofluoresensi. Awal menunjukkan lesi lapisan
suprabasal keratinosit apoptosis. kemudian lesi menunjukkan ketebalan penuh
epidermal nekrosis dan pemisahan dari epidermis dari dermis. Sejak 90% SJS
keterlibatan membran mukus tidak adanya tersebut harus meminta seseorang untuk
mempertimbangkan alternatif diagnosis.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik,
eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan
leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi bakteri yang lainnya. Kultur
darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi infeksi bakteri yang serius
dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah
pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan harus
diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri. Tingkat serum
bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya
disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus
serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET adalah
gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi
14

ginjal, azotemia. prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit


peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen >
10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit. Seluruh
kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi
kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal
menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan
memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari dermis.
Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan sedang pada papilla dermis dapat terlihat,
sebagian besar diwakili oleh limfosit dan makrofag.

2.9 Penatalaksanaan

Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang
harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim
pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk
menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang luas.

2.9.1 Penatalaksanaan Umum15,16

Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada
luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan
luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen
suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.

A. Penghentian Obat Penyebab


Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-
obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan
mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab terlambat dihentikan.
Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu
penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil
penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab
15

dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika
bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu
paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.

B. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi


SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi,
yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang
cairan harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus
biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial
edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena
bagian tempat masuk aliran sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah
terinfeksi. Hal lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya
dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang
berlebihan karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur
meningkatan rasa nyaman pasien.

Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan
tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh
yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat
ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak.
Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan
resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa
mulut.

C. Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain
perubahan status mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan
penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur
16

kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan.
Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya
sama dengan yang dikultur dari kulit.

D. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif
tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan
untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan
dengan sitokin peradangan Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi
kehilangan cairan, elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan
dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan
dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine,
chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.

E. Perawatan Mata dan Mulut


Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SSJ/NET.
Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama
pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis
terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva.
Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah fotosensitivitas
kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien penyakit ocular kronis
bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata, inflamasi episodik rekuren,
skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang menyerupai pemfigoid membran
mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas
setiap hari dengan obat tetes atau salep mata.

Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan
topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat
mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita
17

tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau


dingin, makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah
sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal
seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan
konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.

F. Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus
dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini
untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi labial
serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks /
endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan
kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien dengan lesi ulseratif
sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid topical ini disertai
dengan krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis vagina.

2.9.2 Penatalaksanaan Spesifik

A. Kortikosteroid Sistemik

Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi


menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila
diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan
perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek
samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang telah
diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi,
kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama
pengobatan SSJ/NET.

Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk


mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg
sehari. Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x
18

5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab
SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti
inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-
apoptosis pada banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-
FasL.

B. Immunoglobulin Intravena (IVIG)

Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada


demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh aktivitas
anti-Fas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah
ditegaskan oleh beberapa studi dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang
lainnya. IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang
diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian IVIG
pada awal (24-72 jam setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor
berikatan, walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan
defisiensi Ig A akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan
pemeriksaan tingkat IgA sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat
menyebabkan keterlambatan pengobatan.

Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG tidak
disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan
IVIG dengan penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut –
turut ) pada fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala.13,15
Efek samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko
komplikasi yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi
IVIG serta pada penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis
berat dan nefropati pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.

C. Siklosporin
19

Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan


dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan
SSJ/NET. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan
siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang
cepat dan angka mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid dan
kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan
dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan
memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi
pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami
reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin,
hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan tunggal telah digunakan meskipun
saat ini tidak digunakan di kebanyakan sentra.

D. Agen TNF-alpha

Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb


TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu
epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan dalam
sejumlah kecil pasien.

E. Plasmafaresis atau Hemodialisis

Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah


mendorong perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan
seperti sitokin. Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya
dalam penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak adanya
dasar dan adanya resiko yang dihubungkan dengan pemasangan kateter intravaskular,
penatalaksanaan ini tidak direkomendasikan.

2.10 Komplikasi
20

Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat


menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah,
gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock. Pada mata
dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi.

2.11 Prognosis

Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-
Johnson sangat baik. Dalam ke pustaka angka kematian berkisar antara 5-15 %.
Dibagian kulit dan kelamin RS Cipto mangunkusumo angka kematian hanya sekitar
3,5%. Kematian biasanya terjadi akibat sekunder infeksi.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tanggal Lahir : 01 Juli 1990
Umur : 30 tahun
uAlamat : Aceh Timur
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Tdak Bekerja
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar/ Sederajat
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 8 September 2019
Tanggal Pemeriksaan : 3 Maret 2020

3.2 RIWAYAT PSIKIATRI


Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 1511013178
2. Autoanamnesis : 4 Maret 2020
3. Alloanamnesis : 11 Maret 2020

A. Keluhan Utama
Muncul Ruam merah pada tubuh

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Autoanamnesis:
Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan mengamuk
sudah satu bulan, keluyuran dan suka merusak barang-barang. Pasien
meresahkan warga dan mengancam warga. Pasien merasakan adanya
22

bisikan-bisikan yang mempengaruhinya, pasien tidak bisa


mengendalikan diri.

Alloanamnesis :
Alloanamnesis dengan Adik kandung pasien Ny. I usia 23 tahun pendidikan
terakhir SMP seorang IRT) Via telepon tanggal 11 maret 2020.
Sumber : Ny. I
Hubungan dengan pasien : Adik kandung
Pasien awalnya dibawa ke RSJ Pidie karena mengamuk dan memukul seorang
warga di desanya. Pasien lalu dirujuk ke RSJ Aceh untuk dilakukan pemeriksaan,
kondisi pasien saat dibawa kerumah sakit dengan kaki dan tangan diikat. Keluarga
mengatakan pasien tampak sering marah, emosi dan berteriak sejak 2 minggu ini dan
mulai memukul orang lain. Pasien memukul warga desa siapa saja yang tidak
disukainya, apabila pasien marah dengan orang ketika pasien pulang kerumah pasien
sering memecahkan barang dan jendela.

Pasien juga menuduh ada orang yang membicarakan dirinya


dibelakangnya bersama orang lain sehingga memukul adiknya dan diri
sendiri sampai merusak barang-barang di rumah. Pasien sering
mengkonsumsi sabu/ ganja senjak usia ± 13 tahun pasien mulai
berubah prilaku, sering keluyuran dan terlanjang, saat malam hari
pasien sulit tidur. Pasien lebih suka sendiri dan menarik diri dari
lingkungan. Sebelumnya pasien diketahui bersikap biasa dan sehari-
hari bekerja sebagai pengrajin daun rumbia,prtani dan sholat 5 waktu
dalam sehari.

Pasien dikeluhkan muncul ruam merah disertai kulit terkelupas di tubuh,


wajah, dan bibir 2 hari smrs setelah pasien meminum obat carbamazepin. Awalnya
muncul rasa gatal dan disertai panas berlanjut ke kulit terkelupas. Riwayat alergi dan
asma disangkal sebelumnya. Keluhan sesak dan keluhan pada mata disangkal.
23

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat psikiatrik: Pasien pernah dirawat RSJ Pidie selama 10 hari,
sebelum dirawat di RSJ Aceh dan pasien pernah berobat jalan dipoli RSJ
Aceh 5 tahun yang lalu, pasien rutin mengambil obat dipukesmas daerah,
terakhir kali pasien ambil obat 3 bulan yang lalu. Pasien belum pernah
dirawat di RSJ Aceh.
2. Riwayat penyakit medis umum: Pasien memiliki riwayat mialgia sejak 5
tahun lalu sudah pernah berobat ke puskesmas, riwayat trauma disangkal,
riwayat demam disangkal.
3. Penggunaan NAPZA : Ada sejenis sabu dan ganja. Pasien mulai konsumsi
sejak pasien usia 13 tahun sampai sampai usia 29 tahun. Terakhir pasien
mengkomsumsi ganja 1 bulan yang lalu sebelum paien di rawat RSJ Aceh.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Saudara dari pihak ayah os memiliki riwayat gangguan jiwa.

E. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin mengambil obat-obatan dipukesmas daerah, terakhir berobat 3
bulan yang lalu sebelum pasien di rawat RSJ Aceh, Namun Keluarga pasien
tidak ingat jenis obat apa yang dikomsumsi.

F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Pasien merupakan anak kedua
dan belum menikah. Pasien tinggal bersama kakaknya dan sehari-hari hidup
sederhana, mau mengerjakan pekerjaan rumah sebelum keluhan timbul. Pasien
sebelumnya bekerja sebagai pengrajin daun rumbia dan bertani namun saat ini
sudah tidak bekerja lagi.

G. Riwayat Pendidikan
24

Pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar.

H. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat perinatal : Normal
2. Riwayat masa bayi : Normal
3. Riwayat masa anak : Normal
4. Riwayat masa remaja : Normal

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
4. Frekuensi Napas : 18 x/ menit
5. Temperatur : 37.0C

B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+),
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICSV Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
25

3. Peningatan TIK : (-)


4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan

D. Status Dermatologis
Tampak lesi berupa plak eritematous disertai pengelupasan kulit jumlah
multiple, tepi tegas dan rata distribusi regional a/r labialis, thoraks anterior, et facialis.
Nikolsky sign +

3.4 STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Rapi, bisa merawat diri, sesuai usia.
2. Kebersihan : Kurang
3. Kesadaran : Jernih
4. Perilaku & Psikomotor : Normoaktif, stereotipik
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif

B. Mood dan Afek


2. Mood : hipertimik
3. Afek : terbatas
4. Keserasian Afek : serasi

C. Pembicaraan
Spontan, nada bicara tinggi/keras.
D. Pikiran
1. Arus pikir
26

 Koheren : (+)
 Inkoheren : (-)
 Neologisme : (-)
 Sirkumstansial : (-)
 Tangensial : (-)
 Asosiasi longgar : (-)
 Flight of idea : (-)
 Blocking : (-)

2. Isi pikir
 Waham
1. Waham Bizzare :(-)
2. Waham Somatik :(-)
3. Waham Erotomania :(-)
4. Waham Paranoid
 Waham Curiga : (+)
 Waham Kebesaran : (-)
 Waham Referensi : (-)
 Waham Dikendalikan : (-)
 Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
 Visual : (-)
27

 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)

F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Diri : Baik
 Tempat : Baik
 Waktu : Baik
4 Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Panjang : Baik
5 Pikiran Abstrak : Baik

H. Daya nilai
 Normo sosial : Baik
 Uji Daya Nilai : Baik
I. Pengendalian Impuls : Baik
J. Tilikan : T2
K. Taraf Kepercayaan : Tidak Dapat dipercaya

3.5 RESUME

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis,


tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 80x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, temperatur 36,8 C, .Hasil pemeriksaan umum
didapatkan dalam batas normal.
28

Pada pemeriksaan status mental, tampak laki-laki berusia 30


tahun, rapi, perawakan sesuai usia, aktivitas psikomotor: normoaktif,
stereotipik, sikap terhadap pemeriksa: kooperatif, mood:hipertimik,
afek: terbatas, keserasian afek: serasi pembicaraan: spontan, arus pikir
: koheren, isi pikir :Waham kejar, halusinasi auditorik ditemukan pada
pasien. Pasien mengalami tilikan T2 karena pasien tidak tau bahwa
pasien sakit dan disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui dalam
dirinya, dengan taraf kepercayaan tidak dapat dipercaya.
Pada pemeriksaan status dermatologis tampak lesi berupa plak eritematous
disertai pengelupasan kulit jumlah multiple, tepi tegas dan rata distribusi regional a/r
labialis, thoraks anterior, et facialis. Nikolsky sign +

3.6 DIAGNOSIS BANDING


1. F01.00 Gangguan Mental dan prilaku
2. F30.39 Gangguan Kepribadian Paranoid
3. F20.o Skizofrenia Paranoid
4. F06.2 Gangguan waham organik + Drug Intolerance
dd/ 1. SJS, 2. TEN
5. F20.8 Gangguan skizofrenia lainnya

3.7 DIAGNOSIS KERJA


F01.00 Gangguan Mental dan prilaku + SJS

3.8 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Gangguan Mental dan prilaku
Axis II : Tidak ada data
Axis III : Steven Johnson Syndrome
Axis IV : Masalah Psikososial
Axis V : GAF 50-41
29

3.9 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Clozapin 3x10mg
Depakote ER 1x500mg
Carbamazepine 2x200mg
N THP 2x2mg
Pasien sudah dikonsulkan kepenyakit dalam pada tanggal 02 maret 2020
Terapinya:
IVFD Nacl 20 gtt/menit
Inj dipenhidramit 1gr/8jam
Methyprenisolon 3 x 8 mg

B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
pentingnya kepatuhan minum obat bagi kesembuhan penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengendalikan emosi
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan
kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
3.10 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

3.11 Follow Up

19/2/2020 24/2/2020
S/ Pasien relatif tenang, S/ Pasien relatif tenang,
pasien minum obat dan pasien minum obat dan
dapat tidur dapat tidur
O/ Mood afek : terbatas O/ Mood afek : terbatas
30

A/ Gangguan Mental dan A/ Gangguan Mental dan


prilaku prilaku
P/ P/
 Clozapin 3x100mg  Clozapin 3x100mg
 Depakote 1x500 mg  Depakote 1x500
mg

28/2/2020 29/2/2020
S/ Pasien masih banyak S/ Pasien kaku, banyak
bicara, bicara tidak berhenti, bicara, mondar-mandir,
bicara kacau, sering bicara kacau, bicara
menganggu pasien lainnya. sendiri, menganggu pasien
O/ Mood afek : hipertimik lain
A/ Gangguan Mental dan O/ Mood afek :
prilaku hipertikimk
P/ A/ Gangguan Mental dan
 Clozapin 3x100mg prilaku
 Depakote 1x500 mg P/
 Inj. Lodomer  Clozapin 3x100mg
5mg/IM/12 jam  Depakote 1x500
 Inj. Diazepam 1 mg
amp/IM/12 jam  Carbamazepin
 Carbamazepin 2x200 mg
2x200 mg dalam  THP 2x1
observasi tanda SJS

2/3/2020 2/3/2020
S/ Pasien kulitnya melepuh S/ Kulit terkelupas setelah
pada badan, wajah, dan minum carbamazepin
bibir. Pasien tampak gaduh O/
gelisah Kes : CM
O/ Mood afek : hipertimik Mood afek : hipertikimk
A/ Gangguan Mental dan A/ Gangguan Mental dan
prilaku +SJS prilaku
P/ P/
 Stop Carbamazepin  IVFD NacL 0,9%
2x200 250 cc dalam 1 jam,
 IVFD RL 30 gtt/1 lalu lanjutkan 20
 Clozapin 3x100mg gtt/i
31

 Depakote 1x500 mg  IV Difenhidrami 1


amp/8 jam
 Metilprednisolon
3x8mg
 Cek darah rutin

3/3/2020
S/ Kaki tangan terkelupas. Bibir terkelupas, terasa gatal dan os
bingung. Dapat tidur da mau minum obat, mandi diarahkan, bicara
kacau, dan bicara sendiri
O/ Mood afek : irritable, halusinasi audiotori (+), asosiasi longgar (+),
A/ Gangguan Mental dan prilaku + Drug intolerance ec Carbamaepin
P/
 IVFD NacL 0,9% 20 gtt/i
 IV Difenhidramin 1 amp/8 jam
 Metilprednisolon 3x8mg
 Clozapin 3x100mg
 Depakote 1x500 mg
 THP 2x1

3.12 Foto Klinis Pasien


32

Gambar 3.1 Steven Johnsen Syndrome pada pasien


BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis pasien dibawa dengan keluhan mengamuk,


keluyuran dan suka merusak barang-barang. Pasien meresahkan warga dan
mengancam warga. Pasien merasakan adanya bisikan-bisikan yang
mempengaruhinya, pasien tidak bisa mengendalikan diri.
Laki-laki berusia 30 tahun. Sesuai dengan literatur menyatakan bahwa Pasien
yang mengalami pengobatan skizofrenia hampir 90% berusia antara 15-55 tahun,
awitan skizofrenia dibawah 10 tahun dan diatas 60 tahun sangat jarang. Awitan yang
terjadi setelah usia 45 tahun memiliki istilah tersendiri yaitu skizofrenia awitan-
lambat. Insidensi antara wanita dan pria seimbang, walaupun pria cenderung
memiliki awitan yang lebih awal daripada wanita dan derajat penyakit yang lebih
parah (Semple & Smyth, 2013), namun ada sebuah systematic review menunjukkan
sebaliknya, yaitu bahwa insidensi pada pria lebih besar dibandingkan wanita dengan
rata-rata rasio pria dibandingkan wanita 1.4:1 (McGrath, et al., 2008).
Pada pemeriksaan status mental, tampak laki-laki berusia 30 tahun, rapi,
perawakan sesuai usia, aktivitas psikomotor: normoaktif, stereotipik, sikap
kooperatif, mood:hipertimik, afek: terbatas, serasi pembicaraan spontan, arus pikir
koheren, isi waham kejar (+), halusinasi auditorik ditemukan pada pasien. Pasien
mengalami tilikan T2 dengan taraf kepercayaan tidak dapat dipercaya.
Karena adanya gejala psikotik yang khas yaitu waham curiga,
serta gejala negatif lain seperti menrik diri dari sosial, sedangkan
pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya ruam kemerahan disertai
kulit melepuh pada bibir, wajah, dan tubuh, maka diagnosis pasien ini
adalah Gangguan Mental Prilaku (F01.00) dan diagnosis tambahan
berupa Steven Jhonson Syndrome.
Pasien ini mendapatkan terapi Clozapine 3x10mg, Depakote
ER 1x500mg, dan carbamazepine 2x200mg. Clozapine merupakan
34

salah satu obat golongan antagonis serotonin-dopamin (SDA) yang


juga disebut sabagai antipsikosis generasi kedua antipsikotik atipikal
atau baru. Obat ini memperbaiki dua jenis hendaya yang menjadi ciri
khas skizofrenia: (1) gejala positif seperti halusinasi, waham, pikiran
terganggu, dan agitasi serta (2) gejala negatif seperti menarik diri,
afek datar, anhedonia, miskin pembicaraan, katatonia, dan hendaya
kognitif. SDA mempunyai risiko gejala ekstrapiramidal yang lebih
kecil dibandingkan antagonis reseptor dopamin, yang membutuhkan
penggunaan antikolinergik dan efek simpangnya yang mengganggu.
Clozapine bekerja dengan cara memblokade reseptor dopamine,
serotonin 5HT2A, dan α-adrenergik. Blokade terhadap reseptor D1
lebih besar dibandingkan terhadap reseptor D2. Blokade terhadap
reseptor dopamine D2 bertanggung jawab terhadap kemampuan
clozapine untuk menurunkan gejala positif psikosis dan stabilisasi
gejala afektif. Clozapine bisa diabsorpsi dengan baik lewat
pemberian oral, namun akan mengalami first pass metabolism secara
ekstensif di hepar sehingga hanya 27-50% saja yang mencapai
plasma dalam kondisi seperti obat aslinya. Metabolisme obat ini
melalui enzim CYP450. Waktu paruh clozapine adalah antara 9,1-
17,4 jam. Kadar obat dalam plasma akan mencapai konsentrasi stabil
setelah 7-10 hari pemberian obat, di mana sebagian besar (kurang
lebih 95%) terikat protein plasma. Obat-obat yang bersifat inducer
atau inhibitor enzim CYP450 akan mempengaruhi konsentrasi
plasma clozapine. Konsentrasi plasma dari clozapine sangat
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok.
Metabolit clozapine sebagian besar bersifat inaktif dan diekskresikan
melalui urine dan feses.
Blokade reseptor serotonin 5HT2A akan menyebabkan
peningkatan pelepasan dopamine di beberapa area otak. Peningkatan
dopamine ini menyebabkan penurunan insidensi efek samping
35

ekstrapiramidal akibat clozapine dan juga memicu perbaikan gejala-


gejala afektif dan kognitif. Selain interaksinya dengan dopamine dan
serotonin, clozapine juga berinteraksi dengan beragam
neurotransmiter lainnya yang diperkirakan akan mempengaruhi
efektivitasnya sebagai antipsikosis. Hal ini jugalah yang mungkin
menjadi penyebab clozapine efektif digunakan pada pasien-pasien
yang tidak merespon antipsikosis lainnya.
Depakote mengandung divalproex yang efektif untuk bangkitan
absans, epilepsi, menyeluruh dan epilepsi parsial dengan atau tanpa
generalisasi sekunder untuk profilaksis terhadap sakit kepala migrain.
Disamping itu, valproat juga efektif untuk mengatasi gangguan
bipolar I. Valproat mengandalikan gejala manik dan mengurangi
keseluruhan gejala psikiatrik dan kebutuhan akan dosis tambahan
benzodiazepine atau antagonis reseptor dopamin. Efek antimanik
valproat dapat diperkuat degan penambahan lithium, carbamazepine,
atau antagonis reseptor dopamin. SDA dan gabapentin dapat
menguatkan efek valproat.
Carbamazepine efekktif untuk etrapi mania akut dan untuk
terapi profilaksis gangguan bipolar I. Obat ini merupakan lini
pertama bersama dengan lithium dan asam valproat. Carbamazepine
diabsorbsi perlahan dan tidak beraturan dari saluran gastrointestinal,
dan absorbsinya meningkatjika dikonsumsi bersamaan dengan
makanan. Konsesntrasi plasma puncak dicapai 2 hingga 8 jam setelah
dosis tunggal, dan kadar stabil dicapai setelah 2 hingga 4 hari dosis
tetap.
Pasien di sini mengalami erupsi pada kulit tubuhnya pasca
mengkonsumsi karbamazepine 3 hari sebelumnya. Carbamazepine
diketahui memiliki beberapa efek pada organ tubuh dan sistem
spesifik serta memiliki reaksi simpang.
36

Disamping efek pada SSP, carbamazepine memiliki efek yang


paling bermakna pada sistem hematopoietik, menyebabkan
penurunan ringan dan sering bersifat sementara pada hitung darah
putih. Meskipun efek hematologis obat tidak terkait dengan dosis,
sebagian besar efek simpang carbamazepine merupakan akibat
konsentrasi plasma di atas 9mg/mL. Efek simpang yang paling serius
namun jarang adalah diskrasia darah, hepatitis, dan dermatitis
eksfoliatif.
Ruam gatal ringan terjadi pada 10 sampai 15% orang yang
diterapi dengan carbamazepine, biasanya dalam beberapa minggu
pertama terapi. Kira-kira tiga per satu juta orang per minggu dapat
mengalami sindrom dermatologis yang mengancam nyawa, termasuk
dermatitis eksfoliatif, eritema multiforme, sindrom steven Johnson,
dan nekrolisis epidermal toksik. Kemungkinan timbulnya masalah
dermatologis yang serius ini menyebabkan sebagian besar klinisi
menghentikan penggunaan carbamazepine pada orang yang
mengalami ruam jenis apapun. Jika carbamazepin tampaknya jadi
obat satu-satunya yang efektif bagi orang yang mengalami ruam
ringan pada penggunaannya, percobaan kembali dengan obat tersebut
dapat dilakukan dengan melakukan praterapi dengan prednison
(40mg/hari) untuk menerapi ruam meskipun gejala lain reeaksi alergi
dapat timbul, bahkan dengan praterapi menggunakan steroid. Risiko
ruam akibat obat kira-kira sama antara asam valproat dan
carbamaazepine pada 2 bulan pertama penggunaan tetapi kemudian
jauh lebih besar carbamazepine.
Untuk mencegah kekambuhan, banyak hal yang dapat dilakukan diantaranya
menganjurkan pasien untuk konsisten dalam terapi farmakologi, memberikan
psikoedukasi yang baik kepada pasien terkait kondisinya. Selain itu perawatan
berbasis keluarga juga sangat diperlukan, keluarga diharapkan lebih memahami
kondisi sakit mental yang dialami pasien, memahami pula berbagai cara yang dapat
37

dianjurkan kepada pasien untuk menangani gejala yang timbul, serta keluarga dapat
menunjang perbaikan komunikasi pada pasien. Hal ini bisa membangkitkan
perbaikan fungsi sosial di dalam diri pasien sehingga pasien bisa semakin produktif
dari hari ke hari. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Terapi keluarga sangat
baik untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas serta
mengoreksi kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi
yang membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini.
Pasien mengalami kulit terkelupas setelah mengonsumsi Karbamazepin
2x200 mg. Sindrom Stevens-Johnson adalah salah satu dari sedikit keadaan darurat
dermatologis dalam praktik klinis. Sindrom ini seringnya sebagai penyebab sekunder
akibat penggunaan obat-obatan, di antaranya allopurinol, penisilin, sulfonamid,
ibuprofen, natrium valproat, fenitoin, lamotrigin, dan karbamazepin yang secara
umum terlibat. Kasus SJS sekunder terhadap carbamazepine pada pasien dengan
riwayat ruam kulit sebelumnya karena carbamazepine yang diberikan untuk
pengobatan gangguan schizoafektif. Carbamazepine dikaitkan dengan beberapa efek
samping dermatologis termasuk ruam, urtikaria, dan reaksi fotosensitifitas,
sedangkan, reaksi obat kutaneous akut dan berat yang mengancam jiwa seperti
eritema multiforme, nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan sindrom Stevens-Johnson
(SJS) jarang dilaporkan.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali


biopsi yang dapat menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan
darah lengkap dapat menunjukkan anemia, limfopenia dan jumlah
leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik, eosinophilia
jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan
leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi bakteri
yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena
adanya insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.
38

Pada pasien dilakukan tatalaksana awal guyur cairan NaCL


0,9% 250 cc per jam dan diberikan oksigenasi. Evaluasi terhadap
frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah pertama
untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala
perubahan harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran
level gas darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 µm
mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya
disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan
keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis
metabolik.

Pada pasien dilakukan planning pemeriksaan darah rutin.


Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada
SSJ/NET adalah gangguan keseimbangan elektrolit,
hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia.
prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit
peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia. Serum urea
nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda
keparahan penyakit. Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan
NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi kulit untuk
histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal
menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi
akhirnya akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan
pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan
kepadatan sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian
besar diwakili oleh limfosit dan makrofag.

Pemberhentian obat Carbamazepin oleh pasien. Diagnosis dini


dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-
obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil
akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang
39

menjadi penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk


melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu
penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau
SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih
rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang
pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi
muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu
paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.

Pada pasien diberikan antihistamin IV Difenhidramin 1


amp/8 jam dan Metilprednisolon 3x8 mg tapering off. Pemakaian
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi
menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah
perluasan penyakit bila diberikan pada fase awal. Studi lain
menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan
penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan
efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah
dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan
meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak
dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama pengobatan
SSJ/NET.

Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama


setelah onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat
diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap
(tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari.
Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat
dilakukan karena pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah
eksogen (alergi). Pada SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai
anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid
40

juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan


termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.
BAB V
KESIMPULAN

Gangguan psikotik akut (brief psychotic disorder) merupakan suatu sindrom


psikotik akut dan transien. Berdasarkan revisi teks edisi keempat Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR), gangguan berlangsung dari 1
hari sampai 1 bulan, dan gejala dapat mneyerupai skizofrenia (contoh: waham dan
halusinasi). Selain itu, gangguan dapat berkembang sebagai respons terhadap stresor
psikososial berat atau sekelompok stresor. Karena sifat gangguan yang berbeda-beda
dan tidak stabil, kadang kadang sulit menegakkan diagnosis dalam praktis klinis.
Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi
non-farmakologis. Dua golongan utama obat yang dipertimbangkan diberikan dalam
pengobatan gangguan psikotikn akut adalah obat-obat antipsikotik dan ansiolitik. Bila
obat antipsikotik yang dipilih, obat antipsikotik potensi tinggi atau atipikal seperti
haloperidol (Haldol, Lodomer) atau risperidone (Risperdal) dapat digunakan. Terapi
non-farmakologis yang dianjurkan untuk gangguan psikotik akut diantaranya
Cognitive-Behavioural Therapy, Psikoedukasi, Family-Based Service, dan lain
sebagainya. Prognosis bisa diperkirakan dengan melihat seberapa jauh menonjolnya
gejala psikotiknya. Semakin menonjol dan persisten gejalanya, maka prognosisnya
akan semakin buruk.
Reaksi hipersensitivitas obat adalah kondisi patologis yang sering terjadi pada
manusia dengan insidensi yang meningkat setiap tahunnya. Stevens Johnson
Syndrome (SSJ) adalah salah satu istilah penyakit yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tubuh terhadap obat, bakteri, virus, dan bahan kimia. Salah satu obat
yang secara luas dilaporkan memicu terjadinya SSJ adalah karbamazepin, obat
sintetis yang umumnya digunakan oleh pasien gangguan saraf dan kejiwaan. Dua
kasus SSJ karena penggunaan karbamazepin dilaporkan dengan manifestasi klinis
yang hampir sama, hanya berbeda dalam derajat keparahan dan patogenesis
munculnya manifestasi akibat reaksi hipersensitivitas obat yang dikonsumsi.
Perawatan komprehensif bersifat multi-disiplin melibatkan Bagian Kulit Kelamin,
41

Saraf, Penyakit Dalam, Penyakit Mulut dan Ahli Jiwa memberikan kemajuan
penyembuhan pada penderita. Menjaga kebersihan mulut, penggunaan obat kumur
prednison dan krim topikal acetonid floucinolon untuk bibir memberikan kemajuan
pesat penyembuhan intra-oral dari pasien, mendampingi obat sistemik dari disiplin
ilmu yang relevan. Sebagai kesimpulan, SSJ dapat disebabkan oleh penggunaan
karbamazepin dan menunjukkan manifestasi yang parah. SSJ perlu dikelola secara
akurat dengan pendekatan multidisiplin terapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1).


India.

2. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi


5. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:163-5.

6. Patel TK, Thakkar SH, Sharma DC. Cutaneous adverse drug reactions in
Indian population: A systematic review. Indian Dermatol Online
J. 2014;5(Suppl 2):S76–S86. [PMC free article][PubMed] [Google Scholar]

7. A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat.. Kapita


Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius; 2000.

8. Chang YS, Huang FC, Tseng SH, Hsu CK, Ho CL, Sheu HM: Erythema
multiforme,Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: acute
ocular manifestations, causes, and management. Cornea 2007, 26:123-129.

9. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome


and toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology.
2011;7(6):803-15.

10. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2013. Didapat dari:


http://emedicine.medscape.com/.

11. Milton H. Nirken. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal


Necrolysis : Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD
Employee of UpToDate Inc , Feb 2015

12. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven


Johnsos Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin
Immunol 7 (6), 803 – 815 ( 2011 )

13. Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson


Syndrome-A life threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm
Res 2010,2(2):618-26

14. Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study
of stevens Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of
43

treatment in Burn Intensive care unit. Dalam: J.Korean Surg Soc:


2010(78):133-39

15. Whitney A High. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal


Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae. MD
Employee of UpToDate Inc, March 2015

16. Michaels B, Q James. The role of systemic corticosteroid therapy in


erythema multiforme major and stevens Johnson syndrome. Dalam:
Clinical Aesthetic Dermatology;2009;2:51-55

Anda mungkin juga menyukai