Disusun oleh :
Khaziatun Nur
1807101030059
Dokter Pembimbing
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang
dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Steven Johnson Syndrome pada penderita Skizofrenia paranoid”.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik
senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSJ Aceh, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bantuan,
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu
memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya kepada kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
iii
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................... 33
BAB V KESIMPULAN.......................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 41
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Tabel 2.1 Klinis yang membedakan SJS, SJS-TEN dan TEN ...................... 8
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
vi
BAB I
PENDAHULUAN
bersama dengan lebih dari 30 persen area permukaan tubuh yang memiliki nekrosis
epidermis ketebalan penuh; sedangkan SJS memiliki kurang dari 10% luas permukaan
tubuh yang terkena nekrosis epidermal dengan ketebalan penuh dan dengan detasemen
terhadap keterlibatan membran mukosa di dua atau lebih daerah. Sebagian besar kasus
SJS yang dilaporkan terjadi selama dua bulan pertama penggunaan obat antiepilepsi.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan
gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan situasi umum yang
bervariasi dari ringan hingga berat. Penyakit ini merupakan penyakit akut yang
menyebabkan kematian, oleh karena penyakit ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan penyakit kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh imun
yang kompleks-termediasi hipersensitivitas, atau yang juga disebut reaksi
hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat diinduksi oleh obat-obatan,
infeksi, imunisasi, serta berbagai macam penelitian lainnya kepada pasien. Stevens
Johnson Syndrome berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan perawatan pasien
SJS sangat membutuhkan perawatan yang tepat dan cepat. 5,6
Adapun terapi yang bisa diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan
penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap luka, serta perawatan terhadap mata.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Sindrom Johnson berhasil pada tingkat
pengelupasan kulit, di mana disetujui pengelupasan kulit semakin meluas, maka
prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti halnya usia
penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar kalsium, kadar BUN
dan kadar bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.5,6
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) terdiri dari
kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga
tubuh yang memiliki selaput lendir dan mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari
Sindrom Stevens Johnson saat ini belum ditemukan namun ditemukan beberapa hal
yang terkait timbulnya Sindrom Stevens Johnson seperti obat-obatan atau infeksi
virus. Reaksi atas reaksi pada Sindrom Stevens Johnson adalah reaksi hipersensitif
terhadap zat yang memicunya.7
4
Stevens Johnson Syndrome muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik
atau diminum, dan menentukan kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak
berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh
pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling dikenal jika ada pelaporan
penyakit sebelumnya dan kadang-kadang tidak disadari pasien, jika tipe penelitian tipe
cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat, para pasien akan selamat dan tak
bergejala menerima, jika demikian Stevens Johnson Syndrome akan membutuhkan
tempat yang diinginkan lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok
anafilaktik.8
2.2 Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 hingga 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat terjadi
pada semua usia tetapi insidensi meningkat pada atas ke-4 dan sering terjadi pada
wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.25,26 Penyakit infeksius juga dapat
meningkat pada insidensi meningkat SEPULUH, pada pasien HIV dapat meningkat
100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus / seratus
orang / tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional pada obat, latar belakang
genetik dari pasien (HLA, metabolisme enzim), koeksistensi kanker, atau bersama
dengan radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit
tersebut 10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. SJS /
NET dengan angka mortalitas keseluruhan 23% pada enam minggu, 28% pada tiga
bulan dan 34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan,
yang luasnya permukaan yang terlibat dengan prognosis yang buruk. Di Amerika
Serikat, evaluasi dari pemilihan mengumumkan tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit
hitam dibandingkan dengan kulit putih.9
2.3 Etiologi
b. Bakteri
c. Jamur
d. Parasit
2. Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson
antara lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron dan
6
4. Pasca vaksinasi :
5. Penyakit-penyakit keganasan :
8. Radioterapi.
2.4 Klasifikasi3
1. Sindrom Steven Johnson
3. TEN
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis
3
iaitu sebanyak >30%.
enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai
reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T.
Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk
yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel
yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis. Oleh karena proses
hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti kegagalan
fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan
resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi,
kegagalan fungsi imun, dan infeksi.
wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan dan kaki.
Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa mata
terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan dalam beberapa kasus sistem pernapasan
dan pencernaan juga dipengaruhi.
Keterlibatan okular akibat timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat berkisar
dari akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, dan okular debit, ke
membran konjungtiva atau pseduomembrane pembentukan atau erosi kornea, dan,
pada kasus yang berat, untuk cicatrizing lesi, symblepharon, forniks foreshortening,
dan ulserasi kornea. Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang. Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit yang lebih
rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik tangensial pada beberapa
zona eritematosa (Nikolsky sign)
6
Tabel 2.1 klinis yang membedakan SJS, SJS-TEN, dan TEN.
merah Dusky
Target atipikal
datar
Lesi terisolasi
Terisolasi lesi Lesi terisolasi (jarang)
pertemuan (+) pertemuan (++) pertemuan (+++)
Distribusi
pada wajah dan pada wajah dan pada wajah,
bagasi. bagasi. batang, dan di
tempat lain.
Keterlibatan
ya ya Ya
Mukosa
Gejala sistemik Biasanya Selalu Selalu
Detasemen
(Permukaan
<10 10-30 >30
tubuh % luas
area)
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky
positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada
bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area
tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens
Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari
30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan,
ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir,
lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula
yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau
kerak kehitaman terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada
mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan
penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran
genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan SJS
ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS
ialag >30%.
12
5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar
matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum
yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat
pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi
fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas.
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari
selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan
peluruhan hanya lapisan atas epidermis.
2.8 Diagnosis12,13
Semua kasus dugaan SJS dan TEN harus dikonfirmasi oleh biopsi kulit untuk
histologis dan pemeriksaan imunofluoresensi. Awal menunjukkan lesi lapisan
suprabasal keratinosit apoptosis. kemudian lesi menunjukkan ketebalan penuh
epidermal nekrosis dan pemisahan dari epidermis dari dermis. Sejak 90% SJS
keterlibatan membran mukus tidak adanya tersebut harus meminta seseorang untuk
mempertimbangkan alternatif diagnosis.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik,
eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan
leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi bakteri yang lainnya. Kultur
darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi infeksi bakteri yang serius
dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah
pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan harus
diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri. Tingkat serum
bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya
disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus
serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET adalah
gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi
14
2.9 Penatalaksanaan
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang
harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim
pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk
menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang luas.
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada
luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan
luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen
suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.
dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika
bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu
paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan
tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh
yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat
ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak.
Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan
resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa
mulut.
C. Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain
perubahan status mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan
penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur
16
kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan.
Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya
sama dengan yang dikultur dari kulit.
D. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif
tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan
untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan
dengan sitokin peradangan Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi
kehilangan cairan, elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan
dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan
dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine,
chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan
topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat
mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita
17
F. Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus
dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini
untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi labial
serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks /
endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan
kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien dengan lesi ulseratif
sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid topical ini disertai
dengan krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis vagina.
A. Kortikosteroid Sistemik
5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab
SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti
inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-
apoptosis pada banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-
FasL.
Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG tidak
disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan
IVIG dengan penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut –
turut ) pada fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala.13,15
Efek samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko
komplikasi yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi
IVIG serta pada penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis
berat dan nefropati pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.
C. Siklosporin
19
D. Agen TNF-alpha
2.10 Komplikasi
20
2.11 Prognosis
Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-
Johnson sangat baik. Dalam ke pustaka angka kematian berkisar antara 5-15 %.
Dibagian kulit dan kelamin RS Cipto mangunkusumo angka kematian hanya sekitar
3,5%. Kematian biasanya terjadi akibat sekunder infeksi.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Keluhan Utama
Muncul Ruam merah pada tubuh
Alloanamnesis :
Alloanamnesis dengan Adik kandung pasien Ny. I usia 23 tahun pendidikan
terakhir SMP seorang IRT) Via telepon tanggal 11 maret 2020.
Sumber : Ny. I
Hubungan dengan pasien : Adik kandung
Pasien awalnya dibawa ke RSJ Pidie karena mengamuk dan memukul seorang
warga di desanya. Pasien lalu dirujuk ke RSJ Aceh untuk dilakukan pemeriksaan,
kondisi pasien saat dibawa kerumah sakit dengan kaki dan tangan diikat. Keluarga
mengatakan pasien tampak sering marah, emosi dan berteriak sejak 2 minggu ini dan
mulai memukul orang lain. Pasien memukul warga desa siapa saja yang tidak
disukainya, apabila pasien marah dengan orang ketika pasien pulang kerumah pasien
sering memecahkan barang dan jendela.
E. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin mengambil obat-obatan dipukesmas daerah, terakhir berobat 3
bulan yang lalu sebelum pasien di rawat RSJ Aceh, Namun Keluarga pasien
tidak ingat jenis obat apa yang dikomsumsi.
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Pasien merupakan anak kedua
dan belum menikah. Pasien tinggal bersama kakaknya dan sehari-hari hidup
sederhana, mau mengerjakan pekerjaan rumah sebelum keluhan timbul. Pasien
sebelumnya bekerja sebagai pengrajin daun rumbia dan bertani namun saat ini
sudah tidak bekerja lagi.
G. Riwayat Pendidikan
24
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+),
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICSV Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
25
D. Status Dermatologis
Tampak lesi berupa plak eritematous disertai pengelupasan kulit jumlah
multiple, tepi tegas dan rata distribusi regional a/r labialis, thoraks anterior, et facialis.
Nikolsky sign +
C. Pembicaraan
Spontan, nada bicara tinggi/keras.
D. Pikiran
1. Arus pikir
26
Koheren : (+)
Inkoheren : (-)
Neologisme : (-)
Sirkumstansial : (-)
Tangensial : (-)
Asosiasi longgar : (-)
Flight of idea : (-)
Blocking : (-)
2. Isi pikir
Waham
1. Waham Bizzare :(-)
2. Waham Somatik :(-)
3. Waham Erotomania :(-)
4. Waham Paranoid
Waham Curiga : (+)
Waham Kebesaran : (-)
Waham Referensi : (-)
Waham Dikendalikan : (-)
Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (+)
Visual : (-)
27
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
Diri : Baik
Tempat : Baik
Waktu : Baik
4 Daya ingat
Seketika : Baik
Jangka Pendek : Baik
Jangka Panjang : Baik
5 Pikiran Abstrak : Baik
H. Daya nilai
Normo sosial : Baik
Uji Daya Nilai : Baik
I. Pengendalian Impuls : Baik
J. Tilikan : T2
K. Taraf Kepercayaan : Tidak Dapat dipercaya
3.5 RESUME
3.9 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Clozapin 3x10mg
Depakote ER 1x500mg
Carbamazepine 2x200mg
N THP 2x2mg
Pasien sudah dikonsulkan kepenyakit dalam pada tanggal 02 maret 2020
Terapinya:
IVFD Nacl 20 gtt/menit
Inj dipenhidramit 1gr/8jam
Methyprenisolon 3 x 8 mg
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
pentingnya kepatuhan minum obat bagi kesembuhan penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengendalikan emosi
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan
kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
3.10 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
3.11 Follow Up
19/2/2020 24/2/2020
S/ Pasien relatif tenang, S/ Pasien relatif tenang,
pasien minum obat dan pasien minum obat dan
dapat tidur dapat tidur
O/ Mood afek : terbatas O/ Mood afek : terbatas
30
28/2/2020 29/2/2020
S/ Pasien masih banyak S/ Pasien kaku, banyak
bicara, bicara tidak berhenti, bicara, mondar-mandir,
bicara kacau, sering bicara kacau, bicara
menganggu pasien lainnya. sendiri, menganggu pasien
O/ Mood afek : hipertimik lain
A/ Gangguan Mental dan O/ Mood afek :
prilaku hipertikimk
P/ A/ Gangguan Mental dan
Clozapin 3x100mg prilaku
Depakote 1x500 mg P/
Inj. Lodomer Clozapin 3x100mg
5mg/IM/12 jam Depakote 1x500
Inj. Diazepam 1 mg
amp/IM/12 jam Carbamazepin
Carbamazepin 2x200 mg
2x200 mg dalam THP 2x1
observasi tanda SJS
2/3/2020 2/3/2020
S/ Pasien kulitnya melepuh S/ Kulit terkelupas setelah
pada badan, wajah, dan minum carbamazepin
bibir. Pasien tampak gaduh O/
gelisah Kes : CM
O/ Mood afek : hipertimik Mood afek : hipertikimk
A/ Gangguan Mental dan A/ Gangguan Mental dan
prilaku +SJS prilaku
P/ P/
Stop Carbamazepin IVFD NacL 0,9%
2x200 250 cc dalam 1 jam,
IVFD RL 30 gtt/1 lalu lanjutkan 20
Clozapin 3x100mg gtt/i
31
3/3/2020
S/ Kaki tangan terkelupas. Bibir terkelupas, terasa gatal dan os
bingung. Dapat tidur da mau minum obat, mandi diarahkan, bicara
kacau, dan bicara sendiri
O/ Mood afek : irritable, halusinasi audiotori (+), asosiasi longgar (+),
A/ Gangguan Mental dan prilaku + Drug intolerance ec Carbamaepin
P/
IVFD NacL 0,9% 20 gtt/i
IV Difenhidramin 1 amp/8 jam
Metilprednisolon 3x8mg
Clozapin 3x100mg
Depakote 1x500 mg
THP 2x1
PEMBAHASAN
dianjurkan kepada pasien untuk menangani gejala yang timbul, serta keluarga dapat
menunjang perbaikan komunikasi pada pasien. Hal ini bisa membangkitkan
perbaikan fungsi sosial di dalam diri pasien sehingga pasien bisa semakin produktif
dari hari ke hari. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Terapi keluarga sangat
baik untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas serta
mengoreksi kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi
yang membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini.
Pasien mengalami kulit terkelupas setelah mengonsumsi Karbamazepin
2x200 mg. Sindrom Stevens-Johnson adalah salah satu dari sedikit keadaan darurat
dermatologis dalam praktik klinis. Sindrom ini seringnya sebagai penyebab sekunder
akibat penggunaan obat-obatan, di antaranya allopurinol, penisilin, sulfonamid,
ibuprofen, natrium valproat, fenitoin, lamotrigin, dan karbamazepin yang secara
umum terlibat. Kasus SJS sekunder terhadap carbamazepine pada pasien dengan
riwayat ruam kulit sebelumnya karena carbamazepine yang diberikan untuk
pengobatan gangguan schizoafektif. Carbamazepine dikaitkan dengan beberapa efek
samping dermatologis termasuk ruam, urtikaria, dan reaksi fotosensitifitas,
sedangkan, reaksi obat kutaneous akut dan berat yang mengancam jiwa seperti
eritema multiforme, nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan sindrom Stevens-Johnson
(SJS) jarang dilaporkan.
Saraf, Penyakit Dalam, Penyakit Mulut dan Ahli Jiwa memberikan kemajuan
penyembuhan pada penderita. Menjaga kebersihan mulut, penggunaan obat kumur
prednison dan krim topikal acetonid floucinolon untuk bibir memberikan kemajuan
pesat penyembuhan intra-oral dari pasien, mendampingi obat sistemik dari disiplin
ilmu yang relevan. Sebagai kesimpulan, SSJ dapat disebabkan oleh penggunaan
karbamazepin dan menunjukkan manifestasi yang parah. SSJ perlu dikelola secara
akurat dengan pendekatan multidisiplin terapi.
DAFTAR PUSTAKA
6. Patel TK, Thakkar SH, Sharma DC. Cutaneous adverse drug reactions in
Indian population: A systematic review. Indian Dermatol Online
J. 2014;5(Suppl 2):S76–S86. [PMC free article][PubMed] [Google Scholar]
8. Chang YS, Huang FC, Tseng SH, Hsu CK, Ho CL, Sheu HM: Erythema
multiforme,Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: acute
ocular manifestations, causes, and management. Cornea 2007, 26:123-129.
14. Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study
of stevens Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of
43