Anda di halaman 1dari 44

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman / RSJD Atma Husada Mahakam

Skizofrenia dan Dermatitis Seboroik

Oleh

Aditya Rahman Rosean Yudistira 1810029045


Amalia Aswin 1810029058
Bunga Ajrina Iraningsih 1810029054
Manalu, Sesilia Anita Tiodora 1810029055
Nuratifah Zahra 1810029056
Reka Aprianti 1810029060

Pembimbing :
dr. Yenny, Sp.KJ

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN JIWA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya


penyusun dapat menyelesaikan Laporan Kasus tentang “Gangguan Afektif
Bipolar”. Laporan ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada
Mahakam Samarinda.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Eka Yuni Nugrahayu,
Sp. KJ selaku Dosen Pembimbing Klinik yang telah memberikan bimbingan kepada
penyusun dalam penyelesaian Laporan Kasus ini. Penyusun menyadari terdapat
ketidaksempurnaan dalam laporan ini, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun
sendiri dan para pembaca.

Samarinda, November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3. Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4. Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
2.1. Identtas Pasien .......................................................................................... 3
2.2. Identitas Penanggung Jawab Pasien ......................................................... 3
2.3. Riwayat Psikiatri ...................................................................................... 4
2.4. Pemeriksaan Fisik..................................................................................... 5
2.5. Status Neurologis ..................................................................................... 6
2.6. Status Psikiatri (IGD, 16 November 2019) .............................................. 6
2.7. Genogram ................................................................................................. 7
2.8. Pemeriksaan Diagnosis Lebih Lanju ........................................................ 7
2.9. Diagnosis Multiaksial ............................................................................... 9
2.10. Prognosis............................................................................................... 9
2.11. Formulasi Diagnostik ............................................................................ 9
2.12. Rencana Terapi ................................................................................... 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11
3.1. Skizofrenia .............................................................................................. 11
3.1.1. Definisi................................................................................................ 11
3.1.2. Etiologi................................................................................................ 11
3.1.3. Tanda dan Gejala ................................................................................ 12
3.1.4. Kriteria Diagnosis ............................................................................... 13
3.1.5. Tatalaksana ......................................................................................... 17
3.1.6. Prognosis............................................................................................. 23
3.2. Dermatitis Seboroik ................................................................................ 25
3.2.1. Definisi................................................................................................ 25
3.2.2. Epidemiologi....................................................................................... 25
3.2.3. Patogenesis.......................................................................................... 26
3.2.4. Gejala Klinis ....................................................................................... 29

iii
3.2.5. Diagnosis ............................................................................................ 30
3.2.6. Diagnosis Banding .............................................................................. 30
3.2.7. Terapi .................................................................................................. 31
3.2.8. Prognosis............................................................................................. 32
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Skizofrenia dialami oleh banyak orang di dunia. Ada sekitar 24 juta orang
yang menderita skizofrenia di seluruh dunia (World Health Organization [WHO],
2011). Di Indonesia sendiri, ada sekitar 1-2 % pasien skizofrenia berdasarkan
Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 (Sidakaton, 2011).
Skizofrenia adalah penyakit kronis berupa gangguan mental yang serius
yang ditandai dengan gangguan dalam proses pemikiran yang mempengaruhi
perilaku (Thorson, Matson, Rojahn, dan Dixon, 2008). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Domininguez et al. (2009), pasien skizofrenia mengalami gejala
positif dan gejala negatif. Gejala positif meliputi halusinasi, delusi, dan bicara dan
perilaku yang tidak teratur. Mereka juga mengalami gejala negatif, misalnya, afek
datar, apatis dan penarikan sosial. Kondisi yang demikian menyebabkan gangguan
fungsi di berbagai segi.
Skizofrenia berdampak terhadap individu yang bersangkutan. Pasien
dengan skizofrenia memiliki beberapa gejala yang dapat menyebabkan disfungsi
sosial dan pekerjaan seperti gangguan dalam pekerjaan atau kegiatan, kurangnya
hubungan interpersonal, penurunan kemampuan perawatan diri dan juga kematian
atau kesakitan (Moller, 2009). Individu yang menderita penyakit ini juga memiliki
penyakit kedua dari reaksi lingkungan sosial dan stigma yang terkait dengan
beberapa gangguan. Dampak dari stigmatisasi akan menyebabkan pasien
skizofrenia mengalami isolasi sosial, kurangnya kesempatan hidup seperti
pekerjaan dan juga diskriminasi sosial (Horrison dan Gill, 2010). Kesemuanya
dapat mengurangi kualitas hidup dari pasien skizofrenia.

1.2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana cara mendiagnosis skizofrenia yang tepat?


2) Bagaimana penanganan skizofrenia yang tepat?

1
1.3. Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan dasar teori skizofrenia
yang terdiri atas definisi, etiologi, tanda dan gejala, diagnosis, penatalaksanaan, dan
prognosis.

1.4. Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
mahasiswa kedokteran dan praktisi kesehatan agar dapat menegakkan diagnosis dan
memberikan penanganan yang tepat pada kasus skizofrenia.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identtas Pasien


1) Nama : Tn. L
2) Jenis Kelamin : Laki-Laki
3) No. Rekam Medik : 2012 01 0042
4) Usia : 51 tahun
5) Agama : Islam
6) Suku : Bugis
7) Status Pernikahan : Bercerai
8) Pendidikan Terakhir : SD
9) Pekerjaan : Buruh
10) Alamat : Kutai Kartanegara
11) Tanggal Pemeriksaan : 15 November 2019 Pukul 13.30 WITA

2.2. Identitas Penanggung Jawab Pasien


1) Nama : Ny. R
2) Jenis Kelamin : Perempuan
3) Hubungan : Anak Kandung
4) Alamat : Kutai Kartanegara

3
2.3. Riwayat Psikiatri
Resume Medik (IGD)
Pasien datang ke IGD RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda
pada tanggal 21 Oktober 2019 diantar oleh anak kandung pasien.
Pemeriksa melakukan pemeriksaan pada tanggal 15 November 2019
pukul 13.30 WITA.
Keluhan Utama : Mengamuk
2) Riwayat Penyakit Sekarang
a. Autoanamnesis (Ruang Elang, 15 November 2019)
Pasien mengatakan dirinya bernama Laupe dan beurumur 51 tahun.
Pasien menyatakan bahwa dirinya mengalami gatal-gatal di
telinga, leher, punggung, kaki, dan tangan sejak 1 minggu yang lalu
dan tidak tahu mengapa dibawa ke rumah sakit. Kulit yang
mengalami gatal-gatal tersebut mengelupas dan perih seperti
terbakar ketika terkena air.
b. Heteroanamnesis
Pasien datang ke IGD RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda
dengan keluhan mengamuk sejak + 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit, membawa senjata tajam, tidak sadar, keluyuran,
bicara-bicara sendiri, merusak barang-barang orang. Pasien tidak
mau makan dan minum obat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Makan dan minum (+), merokok (+).
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah dirawat di RSJD Atma Husada Mahakam
Samarinda dan KRS pada tanggal 17 Maret 2019.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit jiwa pada keluarga pasien, baik yang
memiliki tanda-tanda atau gejala seperti pasien maupun kelainan medis
yang lain.
5) Riwayat Pengobatan
Pasien putus obat selama 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
6) Gambaran Premorbid
Pasien merupakan orang yang mudah bergaul dengan orang lain.

4
7) Faktor Pencetus
Keluarga mengatakan keluhan muncul kembali sejak pasien putus obat
1 bulan yang lalu.
8) Riwayat Pribadi
a. Masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
• Riwayat prenatal, kehamilan ibu, dan kelahiran
Pasien dilahirkan secara normal, ditolong oleh bidan
• Kesehatan ibu sewaktu hamil baik
• Hubungan antara ayah dan ibu selama hamil biasa-biasa saja
b. Masa kanak-kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pasien menghabiskan masa kanak-kanak bersama orang tua dan
saudaranya. Pasien tidak mengalami gangguan akademik di
sekolahnya (SD). Pasien juga mempunyai teman baik di
lingkungan sekolah maupun sekitar rumah. Pasien dalam hal
pelajaran tampak mengikuti dengan baik dan lulus sekolah dengan
tepat waktu.
c. Masa kanak-kanak akhir (pubertas sampai remaja)
Sesuai dengan perkembangan.
d. Masa dewasa
Pasien mengamuk sejak + 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
membawa senjata tajam, tidak sadar, keluyuran, bicara-bicara
sendiri, merusak barang-barang orang. Pasien tidak mau makan dan
minum obat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit

2.4. Pemeriksaan Fisik


1) Kesadaran : Komposmentis, GCS 15 E4V5M6
2) Tanda-Tanda Vital : TD = 120/60 mmHg, N = 50x/menit,
RR = 20x/menit, T = 36,2°C
3) Keadaan Gizi : Baik
4) Kepala : Normocephali, Anemis (-/-), Ikterik (-/-)
5) Leher : Pembesaran KGB (-)
6) Dada : Simetris (+)

5
7) Paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)
8) Jantung : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-),
gallop (-)
9) Abdomen : Soefl, BU (+) normal, nyeri tekan (-)
10) Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-),
CRT < 2 detik

2.5. Status Neurologis


1) GCS : E4V5M6
2) Refleks Fisologis : Tidak dievaluasi
3) Refleks Patologi : Tidak dievaluasi
4) Meningeal Sign : Tidak dievaluasi

2.6. Status Psikiatri (IGD, 16 November 2019)


1) Kesan Umum : Penampilan kurang rapi, kooperatif
2) Kontak : Visual (+), Verbal (+)
3) Kesadaran : Komposmentis
4) Orientasi : Waktu (+), tempat (+), orang (+)
5) Atensi/Konsentrasi : Atensi baik
6) Emosi/Afek : Emosi stabil, afek sempit
7) Proses Berpikir : Koheren, waham (-)
8) Intelegensia : Kesan cukup
9) Persepsi : Halusinasi disangkal
10) Psikomotor : Dalam batas normal
11) Kemauan/Volition : ADL (Activities of Daily Living) diarahkan
12) Tilikan : 1 (Penyangkalan total terhadap
penyakitnya)

6
2.7. Genogram

Keterangan :

: Laki – laki : Penunjuk pasien

: Perempuan : Meninggal

: Pasien

2.8. Pemeriksaan Diagnosis Lebih Lanju


1) Wawancara Diagnostik Psikiatri Tambahan
a. Pemeriksaan PANSS
Gejala Tanggal 15-11-2019
Pengendalian impuls yang buruk 3
Ketegangan 2
Permusuhan 2
Ketidakkooperatifan 2
Gaduh gelisah 2
Total 11

b. Skala Penilaian Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal Symptom


Rating Scale/ESRS)
Gejala Parkinson, Distonia, dan Diskinesia

7
Tidak Berat
No. Pertanyaan Ringan Sedang
ada
Perlambatan atau kelemahan
yang nyata, ada kesan
1. √
kesulitan dalam menjalankan
tugas rutin
Kesulitan dalam berjalan dan
2. √
menjaga keseimbangan
Kesulitan dalam menelan
3. √
atau berbicara
4. Kekakuan, postur tubuh kaku √
Kram atau nyeri pada
5. anggota gerak, tulang √
belakang dan atau leher
Gelisah, nervous, tidak bisa
6. √
diam
7. Tremor, gemetar √
Krisis okulogirik atau postur
8. tubuh yang abnormal yang √
dipertahankan
9. Banyak ludah √
Gerakan-gerakan involunter
yang abnormal (diskinesia)
10. √
dari anggota gerak tubuh dan
badan
Gerakan-gerakan involunter
yang abnormal (diskinesia)
11. √
dari lidah, rahang, bibir, atau
muka
Pusing pada saat berdiri
12. √
(khususnya pada pagi hari)

2) Wawancara dengan Anggota Keluarga


Menurut anak kandung pasien, pasien dulu pribadi yang mudah bergaul
dengan orang lain.
3) Pemeriksaan Psikologi, Neurologi, dan Laboratorium (Sebagai
Penunjang)
Hasil Laboratorium (14/11/2019)
Leukosit = 14.000/μL
Eritrosit = 4.670.000/μL

8
Hb = 11,3 g/dL
Hct = 40,4%
Trombosit = 274.000/μL
Ureum = 27 mg/dL
Creatinin = 0,85 mg/dL
SGOT = 15 U/L
SGPT = 20 U/L

2.9. Diagnosis Multiaksial


1) Axis I : Skizofrenia Tak Terinci/Undifferentiated (F20.3) +
Drug Induce Dermatitis
2) Axis II : Tidak ada diagnosis
3) Axis III : Tidak ada diagnosis
4) Axis IV : Tidak ada diagnosis
5) Axis V : GAF Scale 70-61

2.10. Prognosis
Prognosisnya pada pasien ini umumnya baik. Gambaran klinis pasien
mengarah ke prognosis yang baik, dengan adanya awitan terjadi setelah umur 44
tahun, fungsi pekerjaan dan sosial premorbid (sebelum sakit) baik. Performa
sebelumnya tetap merupakan prediktor terbaik untuk meramalkan performa di masa
datang. Tidak ada riwayat keluarga menderita skizofrenia.

2.11. Formulasi Diagnostik


1) Seorang laki-laki usia 51 tahun, anak ketiga dari 6 bersaudara,
beragama Islam, suku Bugis, bercerai, buruh, datang diantar oleh anak
kandungnya ke RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda pada tanggal
21 Oktober 2019 dengan keluhan mengamuk.
2) Onset awal usia 44 tahun
3) Pasien sering keluyuran, bicara-bicara sendiri, merusak barang-barang
orang. Pasien tidak mau makan dan minum obat sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit.

9
4) Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD = 120/60 mmHg, N = 50x/menit,
RR = 20x/menit, T = 36,2 °C, keadaan gizi baik. Pemeriksaan fisik
kepala, leher, dada (paru dan jantung), abdomen, ekstremitas dalam
batas normal.
5) Pada pemeriksaan psikiatri awal didapatkan kesadaran composmentis,
penampilan kurang rapi, kooperatif, kontak visual (+) dan kontak verbal
(+), orientasi waktu (+), tempat (+), dan orang (+), atensi baik, emosi
stabil, afek sempit, proses berpikir koheren, waham (-), intelegensi
kesan cukup, halusinasi disangkal, kemauan ADL diarahkan,
psikomotor dalam batas normal, Tilikan = 1 (Penyangkalan total
terhadap penyakitnya).

2.12. Rencana Terapi


Farmakoterapi
1) Risperidon 2 mg (2 x 1 ½ tab)
2) Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam
3) Injeksi Dexamethasone 1 ampul/12 jam
4) IVFD RL 20 tpm
5) Genta Zalf (telinga dan tangan) 2 x 1
6) Desoximethasone Zalf (punggung) 2 x 1
7) Asam Folat 2 x 1 tablet
8) Cetrizine 1 x 1 tablet (0 - 0 - 10 mg)

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Skizofrenia
3.1.1. Definisi
Skizofrenia adalah satu istilah untuk beberapa gangguan yang ditandai
dengan kekacauan kepribadian, distorsi terhadap realitas, ketidakmampuan untuk
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, perasaan dikendalikan oleh kekuatan dari
luar dirinya, waham/delusi, gangguan persepsi.
Gangguan skizofrenia ini terdapat pada semua kebudayaan dan
mengganggu di sepanjang sejarah, bahkan pada kebudayaan-kebudayaan yang jauh
dari tekanan modern sekalipun. Umunya gangguan ini muncul pada usia yang
sangat muda, dan memuncak pada usia antara 25-35 tahun. Gangguan yang muncul
dapat terjadi secara lambat atau datang secara tiba-tiba pada penderita yang
cenderung suka menyendiri yang mengalami stress.

3.1.2. Etiologi
Etiologi Skizofreni Tak terinci pada umumnya sama seperti etiologi
skizofrenia lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang sering ditemukan:
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti pada harga diri rendah antara lain :
a. Faktor Genetis; Telah diketahui bahwa secara genetis skizofrenia
diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu. Tetapi kromosom
yang ke berapa menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang
masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia ada
dikromosom no. 6 dengan kontribusi genetik tambahan no. 4, 8, 15
dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami
skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia,
sementara jika dizigot peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang
salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia, sementara bila kedua
orang tuanya skizofreia maka peluangnya menjadi 35%.

11
b. Faktor Neurologis; Ditemukan bahwa korteks prefrotal dan korteks
limbik pada klien skizofrenia tidak pernah berkembang penuh.
Ditemukan juga pada klien skizofrenia terjadi penurunan volume dan
fungsi otak yang abnormal. Neurotransmiter yang ditemukan tidak
normal khususnya dopamine, serotonine, dan glutamat.
c. Studi Neurotransmiter; Skizofrenia diduga juga disebkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmiter dopamine yang berlebihan.
d. Teori Virus; Paparan virus influenza pada trimester 3 kehamilan dapat
menjadi factor predispossisi skizofrenia.
e. Psikologis; Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor
predisposisi skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu
pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Prespitasi
Faktor-faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
2.1 Berlebihannya proses inflamasi pada sistem saraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2.2 Mekanisme penghantaran listrik di saraf terganggu
2.3 Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap
dan perilaku.

3.1.3. Tanda dan Gejala


Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
prodromal, fase aktif dan fase residual.Pada fase prodromal biasanya timbul
gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih
dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi
: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan
fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan ini akan mengganggu individu
serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang
ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya.
Pada fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah
laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek.

12
Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat
pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami
eksaserbasi atau terus bertahan.
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dimana gejala gejalanya
sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah
berkurang. Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas,
penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif
(atensi, konsentrasi, hubungan sosial).

3.1.4. Kriteria Diagnosis


Menurut PPDGJ III yang merupakan pedoman diagnostik untuk
Skizofrenia :
• Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
(a) - Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun
isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
(b) - Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar.

13
- Delusional perception : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
(c) Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara).
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagi tubuh.
(d) Waham - waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dam kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
komunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

• Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
(a) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus berulang.
(b) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
(c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
(d) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya

14
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
• Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih.
• Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku
pribadi (personal behaviour),bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan,tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendir
(self absorbed atitude), dan penarikan diri secara sosial.

Menurut DSM-V, kriteria diagnosis skizofrenia sebagai berikut


• Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi dalam
kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil
diobati). Paling tidak salah satu harus ada (delusi), (halusinasi), atau (bicara
kacau) :
- Delusi/waham
- Halusinasi
- Bicara kacau (sering melantur atau inkoherensi)
- Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
- Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)
• Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau
lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh dibawah tingkat yang
dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada
kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat pencapaian hubungan
interpersonal, akademik, atau pekerjaanyang diharapkan)
• Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6
bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah
berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (seperti Gejala fase aktif) dan dapat
mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala
prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala
negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul

15
dalam bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang
tidak lazim)
• Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri psikotik
telah disingkirkan baik karena :
• Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang terjadi bersamaan
dengan gejala fase aktif
• Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif singkat
dibandingkan durasi periode aktif residual
• Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (obat
yang disalahgunaan, obat medis) atau kondisi medis umum.
• Jika terdapat riwayat gangguan autis atau keterlambatan perkembangan global
lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau
halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau
kurang bila telah berhasil diobati).

16
3.1.5. Tatalaksana

1. Farmakoterapi

Penggunaan Antipsikotik sebagai farmakoterapi digunakan untuk


mengatasi gejala psikotik dengan berbaagai etiologi, salah satunya
skizofrenia. Antipsikotik diklasifikasikan menjadi antipsikotik generasi
pertama dan antipsikotik generasi kedua

o Antipsikotik Generasi Pertama


Antipsikotik generasi pertama merupakan antipsikotik yang bekerja
dengan cara memblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik ini memblokir

17
sekitar 65% hingga 80% reseptor D2 di striatum dan saluran dopamin lain
di otak. Jika dibandingkan dengan antipsikotik generasi kedua,
antipsikotik ini memiliki tingkat afinitas, risiko efek samping
ekstrapiramidal dan hiperprolaktinemia yang lebih besar Antipsikotik
generasi pertama efektif dalam menangani gejala positif dan mengurangi
kejadian relaps. Sebanyak 30% pasien skizofrenia dengan gejala akut
menghasilkan sedikit atau tanpa respon terhadap pengobatan antipsikotik
generasi pertama. Antipsikotik generasi pertama memiliki efek yang
rendah terhadap gejala negatif. Antipsikotik generasi pertama
menimbulkan berbagai efek samping, termasuk ekstrapiramidal akut,
hiperprolaktinemia serta tardive dyskinesia. Efek samping
tersebutdisebabkan oleh blokade pada jalurnigrostriatal dopamine dalam
jangka waktulama. Antipsikotikgenerasi pertama memiliki afinitas yang
rendah terhadap reseptor muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan
norepinefrin yang memicu timbulnya efek samping berupa penurunan
fungsi kognitif dan sedasi secara bersamaan.
o Antipsikotik Generasi Kedua
Antipsikotik generasi kedua, seperti risperidone, olanzapine, quetiapine,
ziprasidon aripriprazol, paliperidone,iloperidone, asenapine, lurasidone
danklozapin memiliki afinitas yang lebih besar terhadap reseptor serotonin
daripada reseptor dopamin. Sebagian besar antipsikotik generasi kedua
menyebabkanefek samping berupa kenaikan berat badan dan metabolisme.
Klozapin merupakan antipsikotik generasi kedua yang efektif dan tidak
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Oleh karenanya,
klozapindigunakan sebagai agen pengobatan lini pertama pada penderita
skizofrenia. Namun, klozapin dikaitkan dengan peningkatan risiko
hematotoksis yang dapat menyebabkan kematian (agranulositosis). Oleh
karena itu, beberapa antipsikotik generasi kedua (risperidone, olanzapine,
quetiapine dan ziprasidone) digunakan sebagai terapi tambahan untuk
meningkatkan khasiat klozapin tanpa diskrasia darah. Antipsikotik
generasi kedua, seperti paliperidone, asenapine, iloperidone dan
lurasidone telah mendapatkan persetujuan FDA (Food and Drug

18
Administration) Amerika Serikat . Aktivitas farmakologi obat tersebut
mirip dengan antipsikotik generasi kedua lainnya, kecuali lurasidone yang
diketahui memiliki afinitas yang lebih tinggi pada reseptor 5-HT7.
Aripiprazole merupakan jenis antipsikotik generasi kedua yang lain.
Aripiprazole merupakan satu-satunya antipsikotik dengan aktivitas agonis
parsial terhadap dopamin D2. Perbedaan ini menjadi penentu profil
farmakologi dan efek samping aripripazole. Aripiprazole diketahui
memiliki risiko efek samping ekstrapiramidal yang rendah.

19
20
2. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau
hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak
istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi
perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang,
berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan.
b. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, dimana pasien skizofrenia
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang
singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan
segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah
proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali,
anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak
saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas
teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal
dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari penyangkalan
tentang keparahan penyakitnya.-Ahli terapi harus membantu keluarga
dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan
hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga
adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian
terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps
tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan
terapi keluarga.
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok

21
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang
memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif,
tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.
d. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual
dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi
akan membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu
konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah
perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien.
Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi,
jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli
terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang
ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan, pasien skizofrenia seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia,
perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap
kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur
dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan
atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan
kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau
eksploitasi.

22
3.1.6. Prognosis
Prognosisnya pada umumnya kurang begitu menggembirakan.
Sekitar 25% pasien dapat kembali pulih dari episode awal dan fungsinya
dapat kembali pada tingkat prodromal (sebelum munculnya gangguan
tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya
cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai dengan
kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali
untuk waktu yang singkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
skizofrenia :
1. Keluarga; Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama
dari keluarganya. jangan membeda-bedakan antara orang yang
mengalami Skizofrenia dengan orang yang normal, karena orang yang
mengalami gangguan Skizofrenia mudah tersinggung.
2. Inteligensi; Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai
Inteligensi yang tinggi akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan
orang yang inteligensinya rendah.
3. Pengobatan; Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya
sebagian kecil pasien (kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk
mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal. Kedua
antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang
mengganggu dan serius. Namun pasien skkizofrenia perlu di beri obat
Risperidone serta Clozapine.
4. Reaksi Pengobatan; Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang
yang bereaksi terhadap obat lebih bagus perkembangan kesembuhan
daripada orang yang tidak bereaksi terhadap pemberian obat.
5. Stressor Psikososial; Apabila stressor dari skizofrenia ini berasal dari
luar, maka akan mempunayi dampak yang positif, karena tekanan dari
luar diri individu dapat diminimalisir atau dihilangkan. Begitu pula
sebaliknya apabila stressor datangnya dari luar individu dan bertubi-tubi
atau tidak dapat diminimalisir maka prosgnosisnya adalah negatif atau
akan bertambah parah.
6. Kekambuhan; penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya
lebih buruk.

23
7. Gangguan Kepribadian; Prognosis untuk orang yang mempunyai
gangguan kepribadian akan sulit disembuhkan. Besar kecilnya
pengalaman akan memiliki peran yang sangat besar terhadap
kesembuhan.
8. Onset; Jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa onset
yang lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki
prognosis yang lebih baik.
9. Proporsi; Orang yang mempunyai bentuk tubuh normal (proporsional)
mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang bentuk
tubuhnya tidak proporsional.
10. Perjalanan penyakit; Pada penderita skizofrenia yang masih dalam fase
prodromal prognosisnya lebih baik dari pada orang yang sudah pada
fase aktif dan fase residual.
11. Kesadaran; Kesadaran orang yang mengalami gangguan skizofrenia
adalah jernih. Hal inilah yang menunjukkan prognosisnya baik nantinya.

Prognosis Baik Prognosis Buruk


• Onset lambat • Onset muda
• Faktor pencetus yang jelas • Tidak ada factor pencetus
• Onset akut • Onset tidak jelas
• Riwayat sosial, seksual • Riwayat social dan pekerjaan
dan pekerjaan premorbid premorbid yang buruk
yang baik • Prilaku menarik diri atau autistic
• Gejala gangguan mood • Tidak menikah, bercerai atau
(terutama gangguan janda/ duda
depresif) • ·Sistem pendukung yang buruk
• Menikah • Gejala negatif
• Riwayat keluarga • Tanda dan gejala neurologist
gangguan mood • Riwayat trauma perinatal
• Sistem pendukung yang • Tidak ada remisi dalam 3 tahun
baik • Banyak relaps
• Gejala positif • Riwayat penyerangan

24
3.2. Dermatitis Seboroik
3.2.1. Definisi
Dermatitis seboroik adalah penyakit papuloskuamosa kronis yang
menyerang bayi dan orang dewasa sering ditemukan pada bagian tubuh dengan
konsentrasi folikel sebaseus yang tinggi dan aktif termasuk wajah, kulit kepala,
telinga, badan bagian atas dan fleksura (inguinal, inframma dan aksila).

3.2.2. Epidemiologi
Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronis yang umum
menyerang sekitar 1-3% populasi umum di Amerika Serikat, di mana 3-5% pasien
terdiri dari orang dewasa muda. Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun
2000 sampai 2002 menunjukkan insidensi rata – rata dermatitis seboroik sebesar
8,3% dari jumlah kunjungan dan rasio pria dibandingkan wanita 1,5.
Kejadian penyakit menunjukkan dua puncak, satu pada bayi baru lahir
hingga usia tiga bulan, dan yang lainnya pada orang dewasa berusia sekitar 30-60
tahun. Pria lebih sering terserang daripada wanita pada semua kelompok umur dan
dapat mengenai semua ras.
Taksiran prevalensi dermatitis seborik dibatasi oleh ketiadaan kriteria
diagnostik yang sah dan juga skala penentuan grade keparahan. Dermatitis seboroik
merupakan salah satu penyakit kulit paling umum, kondisi ini mempengaruhi
sekitar 11,6% populasi umum dan sampai 70% bayi pada tiga bulan pertama
kehidupan.
Pada orang dewasa, kejadian puncak pada dekade ketiga dan keempat
kehidupan.Prevalensi dermatitis seboroik pada individu positip-HIV berkisar dari
20- 83%. Selain infeksi HIV, sejumlah penyakit neurologik seperti penyakit
Parkinson juga menyebabkan kejadian dermatitis seboroik yang lebih tinggi, dan
pasien Parkinson yang diobati dengan levodopa mengalami perbaikan dalam
dermatitis seboroik.
Prevalensi dermatitis seboroik yang lebih tinggi juga ditemukan dalamm
kasus kraniosinostosi, pada polineuropati amiloidotik familial, pada cedera otak
traumatik, cedera spinal cord traumatik, cerebrovascular accidents (CVA), epilepsi
dan pada paralisis saraf wajah.

25
Pada tahun 1996, Ercis et al. melaporkan bahwa 30,9% pasien penderita
sindrom Down mengalami dermatitis seboroik, akan tetapi, Daneshpazhooh et al.
melaporkan prevalensinya hanya 3%. Penyakit sistemik lainnya di mana kejadian
dermatitis seboroik lebih tinggi meliputi infark otot jantung akut, pankreatitis
alkoholik dan kecanduan alkohol.

3.2.3. Patogenesis
Patogenesis yang pasti dari dermatitis seboroik belum dimengerti
sepenuhnya, tetapi dermatitis ini umumnya terkait dengan jamur Malassezia,
kelainan immunologi, aktivitas sebaseus yang meningkat dan kerentanan pasien.
Spesies Malassezia dan Propionibacterium acne juga memiliki aktivitas lipase yang
menghasilkan transformasi trigliserida ke dalam asam lemak bebas. Ketujuh spesies
Malassezia adalah lipofilik kecuali spesies zoofilik, Malassezia pachydermatis.
Asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif yang dihasilkan memiliki aktivitas
antibakteri yang merubah flora kulit normal. Sebagian penulis meyakini bahwa
gangguan dalam flora, aktivitas lipase dan radikal oksigen bebas akan berhubungan
erat dengan dermatitis seboroik dibandingkan dengan perubahan respon kekebalan.
Hormon dan lipid kulit, pasien dengan dermatitis seboroik memeperlihatkan
kadar lipid permukaan kulit yang tinggi trigliserida dan kolesterol, tetapi level yang
rendah dari asam lemak bebas dan squalene. Penderita dermatitis seboroik biasanya
mempunyai kulit kaya sebum dan berminyak. Seperti yang telah disebutkan di atas,
lipid sebum penting untuk proliferasi Malassezia dan sintesa faktor-faktor
proinflamasi sehingga menciptakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan
dermatitis seboroik. Lesi dermatitis seboroik sering dijumpai pada bagian-bagian
kulit yang kaya kelenjar sebum.
Dermatitis seboroik paling umum terjadi pada masa pubertas dan remaja,
selama periode ini produksi sebum paling tinggi, hal ini berhubungan dengan
hormonal yang meningkat pada masa pubertas, oleh karena itu dermatitis seboroik
lebih umum pada laki-laki daripada perempuan, yang menunjukkan pengaruh
androgen pada unit pilosebum.
Dermatitis seboroik merupakan kondisi inflamasi, yang sebagian besar
disertai dengan keberadaan jamur Malassezia dan diduga bahwa reaksi kekebalan
yang tidak tepat bisa memberi kontribusi kepada patogenesis dermatitis seboroik.

26
Walaupun mekanisme imunopatogenik yang terlibat dalam perkembangan
dermatitis seboroik belum diketahui dengan jelas.
Studi yang dilaksanakan Bergbrant et al. menunjukkan secara langsung
gangguan fungsi sel-sel T dan peningkatan sel-sel NK (natural killer) dalam darah
perifer pasien dermatitis seboroik dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Studi yang sama menunjukkan peningkatan konsentrasi total antibodi IgA
dan IgG serum pada pasien penderita dermatitis seboroik, yang juga ditegaskan oleh
beberapa studi lainnya, peningkatan produksi imunoglobulin terjadi sebagai reaksi
terhadap toksin jamur dan aktivitas lipase.
Faergemann et al. menemukan infiltrasi sel-sel NK (natural killer) dan
makrofag pada bagian-bagian kulit yang terpengaruh , dengan aktivasi lokal yang
bersamaan dari komplemen dan pemicuan sitokin proinflamasi, yang semuanya
bisa menyebabkan kerusakan pada epidermal.
Berdasarkan hasil penelitian Gupta AK pada tahun 2004 menunjukkan
adanya imunodefisiensi sebagai faktor penyebab prevalensi dermatitis seboroik
lebih tinggi secara signifikan (34%-83%). Valia RG menyatakan pasien positip-
HIV, dermatitis seboroik yang terjadi gambaran klinisnya lebih berat (bahkan
sering mempengaruhi anggota gerak).
Faktor-faktor neurogenik, kejadian dermatitis seboroik pada pasien
penderita penyakit parkinson sudah lama diamati secara klinik, terutama pada
pasien penderita dermatitis seboroik yang sudah lama dan berat, menciptakan
kondisi yang sesuai terhadap proliferasi Malassezia.
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada pasien dengan parkinson, tampak
perubahan dalam konsentrasi sebum yang dipicu secara endokrinologik bukan
secara neurologik. Hal ini didukung oleh temuan-temuan tentang peningkatan
konsentrasi hormon α Melanocyte Stimulating Hormon (α-MSH) plasma pada
pasien penderita penyakit parkinson, mungkin disebabkan ketiadaan faktor
penghambat-MSH sebagai akibat dari aktivitas neuronal dopaminergik yang tidak
cukup.
Berdasarkan penelitian Mokos ZB dkk pada tahun 2012 dijumpai
pengobatan dengan L-dopa berhasil memulihkan sintesa faktor penghambat-MSH
dan mengurangi sekresi sebum pada pasien penderita penyakit parkinson. Efek

27
sebostatik dari L-dopa ini terbatas hanya pada pasien penderita penyakit parkinson,
sementara pada kondisi seborea lainnya seperti jerawat, L-dopa tidak mempunyai
efek pada produksi sebum. Lebih jauh lagi, immobilitas wajah pasien penderita
penyakit parkinson (wajah seperti-masker) bisa secara sekunder menyebabkan
peningkatan akumulasi sebum, yang dengan demikian memberi kontribusi
tambahan kepada kecenderungan perkembangan dermatitis seboroik.
Beberapa laporan menyatakan faktor fisik seperti perawatan PUVA
(Psoralen Ultraviolet A) pada wajah juga dapat memicu dermatitis seboroik. Efek
mikrobial, patogenesis dermatitis seboroik masih kontroversial sejak dahulu,
kehadiran atau ketidakseimbangan flora berperan dalam penyakit ini, meskipun
beberapa pasien memiliki kultur yang menunjukkan Candida albicans,
Staphylococcus aureus, Propionobacterium acnes dan bakteri aerob lainnya, tetapi
tidak berhubungan dengan patogenesis dermatitis seboroik.
Beberapa obat yang dikenal dapat memicu dermatitis seboroik dari laporan
beberapa penelitian seperti laporan dari Picardo M dan Cameli N pada tahun 2008
seperti griseofulvin, simetidin, lithium, metildopa, arsenik, emas, auranofin,
aurothioglukose, buspiron, klorpromazin, etionamid, baklofen, interferon
fenotiasin, stanozolol, thiothixene, psoralen, methoxsalen, dan trioxsalen.
Gangguan proliferasi epidermis, pasien dengan dermatitis seboroik
menunjukkan hiperproliferasi epidermis atau diskeratinisasi yang terkait dengan
peningkatan aktivitas kalmodulin, yang juga terlihat pada psoriasis. Ini menjelaskan
mengapa pasien dengan dermatitis seboroik yang diterapi dengan sejumlah obat
sitostatik menunjukkan perbaikan.
Faktor genetik, riwayat keluarga dari dermatitis seboroik seringkali telah
dilaporkan, tetapi hanya beberapa tahun terakhir yang memiliki mutasi (ZNF750)
yang menguraikan protein finger zinc (C2H2) yang telah dijelaskan dan
mengakibatkan terjadinya dermatosis menyerupai dermatitis seboroik.
Beberapa laporan juga menyatakan stres oksidatif yang muncul sebagai
akibat dari over produksi oksigen radikal atau mekanisme pertahanan antioksidan
tidak memadai dapat memicu dermatitis seboroik.
Berdasarkan penelitian Mokos ZB dkk Faktor-faktor lainnya yang dapat
mencetuskan dermatitis seboroik yaitu aspek musiman; kekambuhan penyakit lebih

28
umum pada musim gugur dan musim dingin.1 Kondisi ini dipicu oleh stres
emosional dan dahulu dijumpai angka kejadian dermatitis seboroik yang tinggi
dilaporkan pada pasukan perang di masa perang.
Dari beberapa penelitian kejadian dermatitis seboroik juga sering diamati
pada penyakit depresi dan down syndrome, tetapi ini bisa terkait dengan
kecenderungan pasien penderita depresi tetap berada di ruangan tertutup, dan
higiene yang buruk.

3.2.4. Gejala Klinis


Lesi dermatitis seboroik tipikal adalah bercak-bercak eritema, dengan sisik-
sisik yang berminyak. Penyakit ini suka muncul di bagian-bagian yang kaya
kelenjar sebum, seperti kulit kepala, garis batas rambut, alis mata, glabela, lipatan
nasolabial, telinga, dada atas, punggung, ketiak, pusar dan sela paha.
Pasien sering mengeluhkan rasa gatal, terutama pada kulit kepala dan pada
liang telinga. Lesi pada kulit kepala dapat menyebar ke kulit dahi dan membentuk
batas eritema bersisik yang disebut “corona seborrheica”.
Dua bentuk dermatitis seboroik bisa terjadi pada dada, tipe petaloid dan tipe
pitiriasiform. Tipe petaloid diawali dengan papul-papul folikuler dan perifolikuler
merah hingga coklat, yang berkembang menjadi bercak-bercak yang mirip bentuk
mahkota bunga.
Tipe pitiriasiform mungkin merupakan bentuk berat dari dermatitis seboroik
petaloid. Tipe ini mempunyai bercak-bercak yang mengikuti garis- garis kulit yang
mirip pityriasis rosea.
Dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga yang gambarannya
seperti dermatitis kronis.
Gejala yang umum lainnya dari dermatitis seboroik adalah blefaritis dengan
kerak-kerak berwarna kekuningan sepanjang pinggir kelopak mata. Bila hanya
manifestasi ini yang ada, maka diagnosis tidaklah sulit. Varian serius dari penyakit
kulit ini adalah exfoliative erythroderma (seborrheic erythroderma).
Komplikasi yang utama pada lesi adalah infeksi sekunder, tampak eritema,
eksudat, gangguan kenyamanan dan limfadenopati pada daerah yang terkena

29
3.2.5. Diagnosis
Dermatitis seboroik mempunyai ciri-ciri unik tergantung pada kelompok
usia yang terpengaruh, bentuk anak sifatnya dapat sembuh sendiri, sementara pada
orang dewasa penyakit ini sifatnya kronis. Lesi terdiri dari plak eritema, bersisik
dengan tingkat keparahan dan intensitas yang bervariasi.
Pada masa bayi, dermatitis seboroik sering dijumpai dalam tiga bulan
pertama kehidupan berupa sisik pada kulit kepala. Gambaran khas yang berupa
sisik-sisik kekuningan yang muncul segera setelah lahir. Kondisi ini juga bisa
berkembang pada wajah dan pada lipatan-lipatan tubuh seperti pada daerah
retroaurikular, leher, ketiak dan daerah paha.
Pada orang dewasa, dermatitis seboroik adalah dermatosis kronis berulang
yang dimulai dari eritema ringan sampai moderat hingga lesi papular, eksudatif dan
bersisik, semakin memburuk jika disertai stres atau kurang tidur. Dengan tingkat
puritus bervariasi. Lesi terutama berkembang pada daerah yang produksi sebumnya
tinggi seperti kulit kepala, wajah, telinga eksternal, daerah retroaurikular dan daerah
pra-sternal, kelopak mata dan lipatan-lipatan tubuh.
Lesi pada kulit kepala dimulai dari pengelupasan ringan hingga kerak- kerak
berwarna kekuningan yang melekat pada kulit kepala dan rambut, yang bisa
memicu atau tidak terjadinya daerah alopesia (pseudo tinea amiantacea).
Pada wajah, keterlibatan daerah glabela dan malar, lipatan nasolabial dan
alis mata merupakan ciri khas. Keterlibatan kelopak mata menyebabkan blefaritis,
pada pria daerah kumis juga bisa terpengaruh dengan lesi dermatitis seboroik.
Dalam lipatan-lipatan kulit (ketiak, pusar, inguinal, daerah anogenital), bentuk lesi
berupa maserasi, lembab dengan dasar eritema pada sekitar lesi.

3.2.6. Diagnosis Banding


Dijumpai sejumlah penyakit yang serupa dengan dermatitis seboroik.
Psoriasis pada kulit kepala (scalp psoriasis) muncul sebagai plak bersisik pada kulit
kepala dengan batas yang tegas mungkin sulit dibedakan dari dermatitis seboroik.
Dermatitis seboroik pada kepala juga bisa mirip dengan tinea kapitis untuk
membedakannya dilakukan pemeriksaan kerokan KOH 20% dan kultur jamur.
Rosasea dan sistemik lupus eritematosus bisa menimbulkan eritema pada wajah
yang mirip dengan dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik pada lipatan nasolabial

30
mirip dengan dermatitis perioral, dermatitis seboroik pada daerah dada dan
punggung yang mirip dengan ptiriasis rosea dan ptiriasis versikolor, dermatitis
seboroik pada daerah paha bisa mirip dengan dermatofitosis, psoriasis inversa,
kandidiasis dan kadang-kadang histiositosis sel langerhans.

3.2.7. Terapi
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik meliputi obat anti-
inflamasi,immunomodulator, obat keratolitik, antijamur dan tea tree oil .
A. Anti Inflamasi
Pengobatan konvensional untuk dermatitis seboroik pada kulit kepala
dewasa diawali dengan steroid topikal. Terapi ini bisa diberikan sebagai sampo,
seperti flusinolon (Synalar), larutan steroid topikal, losion yang digunakan pada
kulit kepala, atau krim yang digunakan pada kulit.
Orang dewasa penderita dermatitis seboroik biasanya menggunakan steroid topikal
satu atau dua kali sehari dan menggunakan sampo sebagai tambahan.
Steroid topikal potensi rendah efektif mengobati dermatitis seboroik pada
bayi atau dewasa di daerah fleksural atau dermatitis seboroik yang rekalsitran pada
dewasa.
B. Immunomodulator
Inhibitor kalsineurin topikal (misalnya, salep takrolimus atau ®Protopic),
pimekrolimus krim atau ®Elidel) memiliki sifat-sifat fungisidal dan anti-inflamasi
tanpa risiko atrofi kulit, yang disebabkan oleh steroid topikal, inhibitor kalsineurin
juga merupakan terapi yang baik padawajah dan telinga akan tetapi penggunaan
setiap hari selama satu minggu baru terlihat manfaatnya.
C. Keratolitik
Modalitas lama untuk pengobatan dermatitis seboroik memiliki sifat-sifat
keratolitik tetapi tidak memiliki sifat-sifat antijamur. Keratolitik yang digunakan
secara luas untuk mengobati dermatitis seboroik meliputi tar, asam salisilat dan
sampo zinc pyrithione. Zinc pyrithione memiliki sifat-sifat keratolitik dan antijamur
nonspesifik dan bisa digunakan dua atau tiga kali per minggu.
Pasien harus membiarkan sampo di rambut setidaknya selama lima menit
untuk menjamin agar bahan mencapai kulit kepala. Pasien juga bisa
menggunakannya di tempat yang lainnya, seperti wajah. Dermatitis seboroik pada

31
kulit kepala bayi mengharuskan penanganan yang hati-hati dan lembut (misalnya,
sampo ringan tanpa-obat).
D. Antijamur
Sebagian obat antijamur menyerang Malassezia yang terkait dengan
dermatitis seboroik. Penggunaan gel ketokonazol sekali sehari yang
dikombinasikan dengan desonide sekali-sehari selama dua minggu, dapat berguna
untuk dermatitis seboroik pada wajah.
Sampo yang mengandung selenium sulfide atau azole sering digunakan
digunakan dua atau tiga kali per minggu.
Ketokonazole (krim atau gel foam) dan terbinafine oral juga bisa
bermanfaat.Obat antijamur topikal lainnya seperti siklopiroks dan flukonazole juga
dapat bermanfaat untuk penderita dermatitis seboroik.
E. Tea tree oil ( pengobatan alami/alternatif)
Terapi alami semakin popular seperti Tea tree oil (Melaleuca oil) adalah
minyak esensial dari tumbuhan semak asli Australia. Terapi ini ternyata efektif dan
ditoleransi dengan baik bila digunakan setiap hari sebagai sampo 5%.

3.2.8. Prognosis
Dapat sembuh dengan sendirinya disertai prognosis yang baik pada bayi
dibandingkan dengan kondisi kronis dan relaps pada orang dewasa. Tidak ada bukti
yang menyatakan bayi dengan dermatitis seboroik juga akan mengalami penyakit
ini pada saat dewasa. Pasien dermatitis seboroik dewasa dengan bentuk berat
kemungkinan dapat persisten.

32
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Status Mental


Fakta Teori
Autoanamnesis Diagnosis Dermatitis Seboroik
- Pasien menyatakan bahwa dirinya Pada orang dewasa, dermatitis
mengalami gatal-gatal di telinga, seboroik adalah dermatosis kronis
berulang yang dimulai dari eritema
leher, punggung, kaki, dan
ringan sampai moderat hingga lesi
tangan sejak 1 minggu yang lalu papular, eksudatif dan bersisik,
dan tidak tahu mengapa dibawa ke semakin memburuk jika disertai stres
rumah sakit. atau kurang tidur.
- Kulit pasien yang mengalami gatal- Pasien sering mengeluhkan rasa
gatal tersebut mengelupas dan gatal, terutama pada kulit kepala dan
perih seperti terbakar ketika pada liang telinga. Lesi pada kulit
kepala dapat menyebar ke kulit dahi
terkena air
dan membentuk batas eritema bersisik
yang disebut “corona seborrheica”.
Heteroanamnesis Lesi terutama berkembang pada
- Pasien mengamuk sejak + 1 daerah yang produksi sebumnya tinggi
minggu sebelum masuk rumah seperti kulit kepala, wajah, telinga
sakit, membawa senjata tajam, eksternal, daerah retroaurikular dan
tidak sadar, keluyuran, bicara- daerah pra-sternal, kelopak mata dan
lipatan-lipatan tubuh.
bicara sendiri, merusak barang-
barang orang. Diagnosis Skizofrenia
- Pasien tidak mau makan dan Menurut DSM-V, kriteria diagnosis
minum obat sejak 1 bulan skizofrenia sebagai berikut
sebelum masuk rumah sakit. • Terdapat 2 atau lebih dari kriteria
- Makan dan minum (+), merokok (+) dibawah ini, masing-masing terjadi
Sebelumnya pasien pernah dirawat di dalam kurun waktu yang signifikan
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma selama 1 bulan (atau kurang bila
Husada Mahakam Samarinda dan KRD
telah berhasil diobati). Paling tidak
pada tanggal 17 Maret 2019.
salah satu harus ada (delusi),
(halusinasi), atau (bicara kacau) :
Pemeriksaan Status Mental
- Delusi/waham
• Kesan umum
Penampilan Kurang rapi, - Halusinasi
kooperatif

33
• Kontak - Bicara kacau (sering melantur
Verbal (+) Visual (+) atau inkoherensi)
• Kesadaran
- Perilaku yang sangat kacau atau
Komposmentis
• Atensi/Konsentrasi katatonik
Atensi Baik - Gejala negatif (ekspresi emosi
• Mood dan afek yang berkurang atau kehilangan
Mood stabil, afek sempit
minat)
• Proses Berpikir
Bentuk : Realistik • Selama kurun waktu yang
Arus : Koheren signifikan sejak awitan gangguan,
Isi : Waham (-)
terdapat satu atau lebih disfungsi
• Persepsi
Halusinasi disangkal pada area fungsi utama; seperti
• Intelegensia pekerjaan, hubungan interpersonal,
Cukup atau perawatan diri, yang berada
• Kemauan
jauh dibawah tingkat yang dicapai
ADL diarahkan
• Psikomotor sebelum awitan (atau jika awitan
Dalam batas Normal pada masa anak-anak atau remaja,
• Tilikan ada kegagalan untuk mencapai
1 (penyyangkalan total terhadap
penyakitnya) beberapa tingkat pencapaian
hubungan interpersonal, akademik,
Diagnosis Multiaksial
atau pekerjaanyang diharapkan)
6) Axis I : Skizofrenia Tak
• Tanda kontinu gangguan
berlangsung selama setidaknya 6
Terinci/Undifferentiated
bulan. Periode 6 bulan ini harus
(F20.3) + Drug Induce \
mencakup setidaknya 1 bulan
Dermatitis
gejala (atau kurang bila telah
7) Axis II : Tidak ada diagnosis
berhasil diobati) yang memenuhi
8) Axis III : Tidak ada diagnosis
kriteria A (seperti Gejala fase aktif)
9) Axis IV : Tidak ada diagnosis
dan dapat mencakup periode gejala
10) Axis V : GAF Scale 70-61
prodromal atau residual. Selama
periode gejala prodromal atau
residual ini, tanda gangguan dapat
bermanifestasi sebagai gejala

34
negatif saja atau 2 atau lebih gejala
yang terdaftar dalam kriteria A
yang muncul dalam bentuk yang
lebih lemah (keyakinan aneh,
pengalaman perseptual yang tidak
lazim)
• Gangguan skizoafektif dan
gangguan depresif atau bipolar
dengan ciri psikotik telah
disingkirkan baik karena :
• Tidak ada episode depresif manik,
atau campuran mayor yang terjadi
bersamaan dengan gejala fase aktif
• Jika episode mood terjadi selama
gejala fase aktif durasi totalnya
relatif singkat dibandingkan durasi
periode aktif residual
• Gangguan tersebut tidak
disebabkan efek fisiologis
langsung suatu zat (obat yang
disalahgunaan, obat medis) atau
kondisi medis umum.
• Jika terdapat riwayat gangguan
autis atau keterlambatan
perkembangan global lainnya,
diagnosis tambahan skizofrenia
hanya dibuat bila waham atau
halusinasi yang prominen juga
terdapat selama setidaknya satu
bulan (atau kurang bila telah
berhasil diobati).

35
Skizofrenia Tak Terinci
(Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk
diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
c. Tidak memenuhi kriteria untuk
skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia.

B. Terapi
Fakta Teori
Farmakoterapi Farmakologi Skizofrenia
Farmakoterapi Skizofrenia diobati dengan
9) Risperidon 2 mg (2 x 1 ½ tab) antipsikotika (AP). Obat ini dibagi
10) Injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam dalam dua kelompok, berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu domanine
11) Injeksi Dexamethasone 1
receptor antagonist (DRA) atau
ampul/12 jam antipsikotika generassi I (dan
12) IVFD RL 20 tpm serotonin-dopamine receptor
antagonists (SDA) atau antipsikotika
13) Genta Zalf (telinga dan tangan) 2
generasi II (APG-II).
x1 Obat APG-I berguna terutama untuk
14) Desoximethasone Zalf mengontrol gejala-gejala positif
(punggung) 2 x 1 sedangkan untuk gejala-gejala negatif
hampir tidak bermanfaat dan
15) Asam Folat 2 x 1 tablet
mengurangi kejadian relaps. Obat
16) Cetrizine 1 x 1 tablet (0 - 0 - 10 APG-II bermanfaat baik untuk gejala
mg) positif atau negatif.
Standar baku emas baru adalah APG-II.
Meskipun harganya mahal tetapi
manfaatnya besar. Pilihlah APG-II
yang efektif dan efek samping yang
lebih ringan dan dapat digunakan
secara aman tanpa memerlukan
pemantauan sel darah putih setiap

36
minggu. Gunakalanlah APG-II yang
aman tidak harus dipantau secara ketat.

Farmakologi Dermatitis Seboroik


1) Anti Inflamasi
Dermatitis seboroik pada kulit
kepala dewasa diawali dengan
steroid topikal. Terapi ini bisa
diberikan sebagai sampo, seperti
flusinolon (Synalar), larutan
steroid topikal, losion yang
digunakan pada kulit kepala, atau
krim yang digunakan pada kulit.
2) Immunomodulator
nhibitor kalsineurin topikal
(misalnya, salep takrolimus atau
®Protopic), pimekrolimus krim
atau ®Elidel) memiliki sifat-sifat
fungisidal dan anti-inflamasi
tanpa risiko atrofi kulit, yang
disebabkan oleh steroid topikal,
inhibitor kalsineurin juga
merupakan terapi yang baik
padawajah dan telinga
3) Keratolitik
Keratolitik yang digunakan secara
luas untuk mengobati dermatitis
seboroik meliputi tar, asam
salisilat dan sampo zinc
pyrithione
4) Anti Jamur
Sebagian obat antijamur
menyerang Malassezia yang
terkait dengan dermatitis
seboroik. Penggunaan gel
ketokonazol sekali sehari yang
dikombinasikan dengan desonide
sekali-sehari selama dua minggu,

37
dapat berguna untuk dermatitis
seboroik pada wajah.
5) Tea tree oil

Terapi alami semakin popular


seperti Tea tree oil (Melaleuca oil)
adalah minyak esensial dari
tumbuhan semak asli Australia.
Terapi ini ternyata efektif dan
ditoleransi dengan baik bila
digunakan setiap hari sebagai
sampo 5%.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, HI, Sadock BJ, Skizofrenia, In: Synopsis of Psychiatri: Behavioral


Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 2007
2. Domininguez, M. et al., 2009. Are psychotic psychopathology and
neurocognition orthogonal? A systematic review of their association.
Psychology Bulletin. 135, 157-171
3. Harrison, J., dan Gill, A., 2010. The experience and consequences of people
with mental health problems, the impact of stigma upon people with
schizophrenia: A way forward. Journal of Psychiatric and Mental Health
Nursing, 17, 242–250.
4. Maslim, Rusdi dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan
dari PPDGJ III Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta,
2001.
5. Sinaga Banhard Rudyanto, 2007, Skizofrenia dan Diagnosis Banding, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta
6. Hafifah, A., Puspitasari, I. M., & Sinuraya, R. K. (2018). Farmakoterapi dan
Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia. Farmaka, Suplemen Vol. 16
Nomor 2, 210-232.
7. Moller, M. D., 2009. Neurobiological responses and schizophrenia and
psychotic disorders. In G. W. Stuart, & M. T. Laraia (Eds.), Principles and
practice of psychiatric nursing (8th ed., pp. 386-422). Philadelphia, PA:
Mosby.
8. Sidakaton, S., 2011. KPSI, untuk kita yang peduli schizophrenia (Online),
(http://www.tnol.co.id/id/community/club/8469-kpsi-untuk-kita-yang
peduliskizofrenia.html, diakses tanggal 25 November 2019, jam 19.30
WITA).
9. Thorson, R., T, Matson, J., L., Rojahn, J., & Dixon, D., R., 2008. Behavior
problems in institutionalized people with intellectual disability and
schizophrenia spectrum disorders. Journal of Intellectual & Developmental
Disability, 33, 316-322.

39
10. World Health Organization., 2011. Mental health: Schizophrenia, (Online),
(http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/., diakses
tanggal 25 November 2019, jam 19.00 WITA).

40

Anda mungkin juga menyukai