Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

SKIZOFRENIA

Nabila Putri Rahmadandi S.Ked


71 2019 055

Pembimbing:
dr. Meidian Sari, Sp.KJ.

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT DR. ERNALDI BAHAR
PROVINSI SUMATERA SELATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang berjudul

Skizofrenia

Oleh:
Nabila Putri Rahmadandi, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
DR.Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Univesitas Muhammadiyah
Palembang periode 3 Agustus – 9 Agustus 2020.

Palembang, Agustus 2020

dr. Meidian Sari, Sp,KJ.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis menghaturkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan
referat, dengan judul “Skizofrenia” ini kepada pembimbing dr.Meidian Sari,
Sp.KJ. dan bagi semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima
kasih atas bantuannya hingga referat ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang
telah diberikan mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam referat ini masih banyak kekurangan
baik itu dalam penulisan maupun isi referat. Karena itu, Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya referat ini. Penulis berharap
referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Agustus 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi........................................................................ 3
2.3 Etiologi................................................................................. 4
2.4 Patofisiologi ......................................................................... 5
2.5 Gambaran Klinis................................................................... 7
2.6 Penegakkan Diagnosis.......................................................... 9
2.7 Jenis-Jenis Skizofrenia......................................................... 11
2.8 Pemeriksaan Penunjang........................................................ 19
2.9 Differential Diagnosis.......................................................... 20
2.10 Penatalaksanaan.................................................................... 22
2.11 Komplikasi........................................................................... 26
2.12 Prognosis.............................................................................. 27
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik dengan karakteristik terjadinya


gangguan dalam proses berpikir, persepsi, emosi, bahasa dan perilaku. Pemikiran
penderita skizofrenia tidak memiliki realitas sehingga pemikiran dan perilakunya
cenderung tidak normal. Orang dengan Skizofrenia (ODS) mempunyai kesulitan
dalam menjalankan peran yang penting dalam hidup. Peran tersebut mencakup
kepuasan, stabilitas, hidup mandiri, memiliki hubungan dengan orang lain,
terutama hubungan yang dekat dengan teman dan keluarga. Gejala yang muncul
pada orang dengan skizofrenia berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses
pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh seperti agresivitas atau
katatonik.1,2,3
Skizofrenia merupakan kelainan otak yang berjalan kronis, parah, dan
melumpuhkan yang telah mempengaruhi banyak orang sejak dulu. Penyakit ini
telah menjadi masalah kesehatan yang penting, mempengaruhi hampir 1% dari
populasi, biasanya dengan keterlibatan masalah sosial dan ekonomi karena pasien
yang menderita skizofrenia biasanya tidak memiliki pekerjaan dan rumah.4
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. World
Health Organization (WHO) menyebutkan 7 dari 1000 populasi penduduk
dewasa yang sebagian besar berada dalam rentang usia 15 sampai 35 tahun
merupakan penderita skizofrenia. Hal ini menunjukkan bahwa 24 juta penduduk
dunia adalah penderita skizofrenia.4 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2018 menunjukkan prevalensi skizofrenia di Indonesia sebesar 6,7 per 1000
rumah tangga. Dari populasi umum dengan prevalensi paling tinggi di Bali
mencapai 11,1 per 1000 rumah tangga dan untuk Sumatera Selatan prevalensinya
mencapai 8 per 1000 rumah tangga.5
Berdasarkan manifestasi klinisnya skizofrenia dibagi menjadi beberapa
subtipe bergantung pada acuan, berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV, Text Revision (DSM-IV-TR) skizofrenia dibagi menjadi
skizofrenia paranoid, disorganize, katatonik, undifferentiated dan residual,

1
2

sementara berdasarkan International Statistical Classification of Disease and


Related Helath Problem ke-10 (ICD-10), membagi skizofrenia menjadi sembilan
subtipe yaitu skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, undiiferentiated, depresi
postskizofrenik, residual, simpleks, skizofrenia lainnya, dan unspecified. Di
Indonesia sendiri pembagian subtipe skizofrenia berdasarkan pada PPDGJ III juga
dibagi menjadi sembilan subtipe yaitu skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik,
tak terinci (undifferentiated), residual, simpleks, lainnya, depresi pasca-
skizofrenia dan skizofrenia YTT.
Pembahasan mengenai subtipe skizofrenia sangatlah diperlukan karena
beberapa subtipe erat kaitannya dengan perjalanan penyakit serta prognosis
pasien. Pembagian subtipe ini memungkinkan pendekatan psikiatrik yang berbeda
pada masing-masing jenisnya, sehingga memberikan terapi yang lebih efektif dan
efisien bagi pasien itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau
pecah dan phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian antara afek,
kognitif, dan perilaku. Dengan demikian, seseorang yang menderita skizofrenia
adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakkan kepribadian.6
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas
proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang
dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh,
gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau
sebenarnya, dan autisme.6

2.2 Epidemiologi

Survei telah dilakukan di berbagai negara memiliki laju insiden per tahun
skizofrenia antara 0,1-0,4 per 1000 populasi. Insiden yang tinggi terjadi pada
kelompok sosial terutama etnis minoritas di Eropa Barat seperti komunitas Afro-
Caribbean di Inggris dan imigran dari Suriname di Belanda.6

Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen,


yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia
selama masa hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) yang
disponsori National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi
seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR, insidensi
tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa
variasi geodrafik.7

3
4

Prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah sebanyak 6,7 per 1000 rumah


tangga. Dan penyebaran prevalensi skizofrenia tertinggi terdapat di Bali dan DI
Yogyakarta dengan masing-masing 11,1 dan 10,4 per 1000 rumah tangga. 5 Gejala
skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda, awitan
laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan 25-35 tahun.1

Ditinjau dari diagnosa atau jenis skizofrenia, prevalensi jenis skizofrenia


terbanyak terdapat pada skizofrenia paranoid sebanyak 40,8%, dan diikuti
skizofrenia katatonik sebanyak 3,5%.7

2.3 Etiologi

Skizofrenia didiskusikan sebagai suatu penyakit tunggal namun


dikategorikan diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa.
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti mengapa
seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal.

Penyebab skizofrenia pada umumnya sampai sekarang ini belum diketahui


secara pasti. Namun teori telah berkembang seperti model diastesis-stress dan
hipotesis dopamin. Model diastesis-stress merupakan satu model yang
mengintegrasikan faktor biologis, psikososial, dan lingkungan. Model ini
mendalilkan bawa seseorang yang mungkin memiliki kerentanan spesifik
(diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Komponen lingkungan
dapat biologis atau psikologis.8

1) Teori Genetik
Genetik menjadi faktor pengaruh yang memiliki angka kemungkinan yang
cukup tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa anak dengan orang tua
penderita skizofrenia memiliki resiko yang lebih tinggi dari pada anak
5

yang orang tuanya tidak memiliki skizofrenia. Semakin dekat hubungan


biologis maka semakin tinggi pula resiko mengalami skizofrenia.7
2) Teori Biokimia
Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui secara pasti. Dugaan paling
banyak adalah adanya gangguan neurotransmitter (zat kimia yang
membawa pesan antra sel saraf) dimana aktifitas dopamin sentral
berlebihan. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa orang dengan
skizofrenia mengalamiperubahan-perubahan pada reseptor di sel-sel saraf
otak (neuro), sistem transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter),
interaksi dopamin dan serotonin sehingga mempengaruhi fungsi kognitif
(alam pikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang dapat
terlihat dalam bentuk gejala positif dan negatif.9
3) Teori Perkembangan, teori belajar, teori keluarga.
Teori pengembangan menyebutkan seseorang akan beresiko untuk
mengalami skizofrenia disebabkan oleh kurangnya kasih sayang yang
menyebabkan kurangnya identitas diri, menarik diri dan salah interpretasi.
Teori belajar menunjukkan bahwa seseorang penderita skizofrenia
dimungkinkan disebabkan oleh proses pembelajaran yang irasional seperti
dari emosi kedua orang tua. Sedangkan berdasarkan teori keluarga ada
beberapa aspek yang dapat mempengaruhi diantaranya yaitu10 :
a) Faktor keluarga
Salah satu faktor keluarga yang berpengaruh adalah pola asuh.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pola asuh keluarga
memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian dan
tingkah laku seorang anak. Selain itu tekanan dan stress yang dialami
dalam keluarga juga dapat menyebabkan resiko skizofrenia
b) Faktor emosi yang diekspresikan
Pengekspresian emosi secara berlebih atau kuranglah yang menjadi
risiko dalam keluarga untuk mengalami skizofrenia.

2.4 Patofisologi
6

Teori tertua yang terkait dengan patofisiologi skizofrenia adalah hipotesis


dopamin, yang mengemukakan bahwa psikosis disebabkan oleh dopamin
berlebihan di otak. Hipotesis ini berasal dari akhir 1950-an setelah ditemukannya
bahwa chlorpromazine, antipsikotik pertama, bertindak sebagai dopaminantagonis
postsynaptic. Obat yang menyebabkan peningkatan dopamin (misalnya, kokain
dan amfetamin) meningkatkan gejala psikotik, dan obat-obatan yang menurunkan
dopamin (misalnya, semua pengobatan antipsikotik saat ini) mengurangi gejala
psikotik. Namun, data selama beberapa dekade terakhir mengungkapkan
gambaran yang lebih rumit dengan daerah otak hiperdopaminergik dan
hipodopaminergik pada skizofrenia. Aktivitas hipodopaminergik yang diamati
pada lobus prefrontal diperkirakan berhubungan dengan gejala negatif utama yang
terkait dengan skizofrenia. Ada juga spekulasi mengenai peran antagonisme
reseptor serotonin dalam khasiat antipsikotik karena banyak antipsikotik generasi
kedua (SGA) aktif pada reseptor serotonin. Pengikatan reseptor serotonin
mungkin penting untuk tindakan obat, boleh jadi dengan memodulasi aktivitas
dopamin di jalur mesokorteks.11

Aktivitas abnormal di situs reseptor dopamin (khusus D2) diperkirakan


terkait dengan gejala skizofrenia (Patel et al, 2014). Dopamin adalah modulator
neurotransmiter yang lama dipahami memainkan peran penting dalam skizofrenia.
Empat jalur dopamin utama telah terlibat dalam neurobiologi skizofrenia dan efek
samping obat antipsikotik: (1) mesolimbik, (2) mesokorteks, (3) nigrostriatal, dan
(4) tuberoinfundibular.7
7

Gambar 1. Patofisiologi skizofrenia

1. Jalur mesolimbic
Jalur mesolimbik, yang memanjang dari daerah tegmental ventral (VTA) ke
daerah limbik, dapat berperan dalam gejala positif skizofrenia dengan adanya
kelebihan dopamine (Patel et al, 2014). Jalur mesolimbik memproyeksikan
neuron penghasil dopamin di batang otak ke daerah limbik otak, terutama
pada nucleus accumbens yang memiliki peran sentral. Hiperaktif jalur
dopamin meslimbik dapat mendasari beberapa gejala positif skizofrenia, dan
konsekuensi patofisiologi ini bisa menjadi arti penting dari kejadian
skizofrenia.7
2. Jalur mesokorteks
Jalur mesokorteks memanjang dari VTA ke korteks. Gejala negatif dan defisit
kognitif pada skizofrenia diperkirakan disebabkan oleh kadar dopamin
mesokortikal yang rendah. Jalur mesokorteks juga muncul dari batang otak
namun diproyeksikan ke daerah korteks/ prefrontal korteks. Gejala negatif dan
kognitif skizofrenia mungkin terkait dengan penurunan aktivitas di jalur
mesokorteks, yang dapat menyebabkan penurunan neurotransmisi dopamin di
daerah korteks seperti korteks prefrontal.7
3. Jalur nigrostriatal
Jalur nigrostriatal berasal dari nigra substantia dan berakhir di inti kaudatus.
Tingkat dopamin rendah dalam jalur ini diperkirakan mempengaruhi sistem
ekstrapiramidal, yang menyebabkan gejala motoric. Jalur nigrostriatal
diproyeksikan dari substantia nigra ke ganglia basal, dengan efek samping yang
dapat mencakup kekakuan dan tardive dyskinesia.7
4. Jalur tuberoinfundibular
Jalur tuberoinfundibular memproyeksikan hipotalamus ke kelenjar pituitari.
Penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular menghasilkan tingkat
prolaktin yang meningkat dan, akibatnya, galaktorea, ammenore, dan libido
berkurang.7

2.5 Gambaran Klinis


8

Gambaran klinis skizofrenia terdiri atas 3 gejala, yaitu gejala positif,


gejala negatif, dan gejala kognitif.12
1. Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental
abnormal yang dapat berupa tambahan gejala atau penyimpangan dari
fungsi-fungsi normal. Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak
muncul pada individu sehat antara lain yang paling penting, halusinasi
(persepsi yang salah dari berbagai indra) dan delusi/waham (kepercayaan
yang diyakini dengan pasti, memenuhi pikiran pasien, yang tidak sesuai
sosiokultural).
2. Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental
normal. Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai hilang atau
berkurangnya beberapa fungsi yang ada pada individu sehat antara lain
penurunan ketertarikan sosial atau personal, anhedonia, penumpulan atau
ketidaksesuaian emosi, dan penurunan aktivitas. Orang dengan skizofrenia
sering memperlihatkan gejala negatif jauh sebelum gejala positif muncul.
3. Gejala kognitif merujuk kepada minat, perhatian, dan memori (memori,
perhatian, pemecahan maslaah, dan social).

2.6 Penegakan Diagnosis7,12

Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai


berikut:

- Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought
insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya; 
9

b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh


suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy” merupaka
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus), atau “delusional perception”yang merupakan
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
 Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
e. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
 Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan
terus menerus;
 Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
10

 Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi


tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
 Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup
tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial. 9

Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut yang harus ada


secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih.

Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah :


 Berlangsung minimal dalam enam bulan

 Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan,


hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri sendiri

 Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama


berlangsungnya sebagian dari periode tersebut

 Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif,


gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.10

2.7 Jenis-Jenis Skizofrenia


11

Kraepelin membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita


digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-gejala
dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke
dalam salah satu jenis. Pembagiannya sebagai berikut. Gejala klinis skizofrenia
secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ III
skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi
masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
2.7.1 Skizofrenia Paranoid9
Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara
manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham-waham yang secara
relative stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-
halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan gangguan persepsi.
Gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala
gejala katatonik tidak menonjol.
Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum:
a. waham-waham kejaran, rujukan, merasa dirinya tinggi atau istimewa,
waham waham kejaran, rujukan, merasa dirinya tinggi atau istimewa,
misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan.misi khusus, perubahan
tubuh atau kecemburuan.
b. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit
(whistling), mendenngung (humming), atau bunyi tawa (laughing).
c. halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain
lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang akut,
tetapi sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat diberikan deskripsi
secara jelas mengenai waham ada halusinasi yang bersifat khas. Keadaan
efektif biasanya kurang menumpul dibandingkan jenis jenis schizophrenia lain,
tetapi suatu derajat yang mengenai ketidakserasian (incongruity) umum
dijumpai seperti juga gangguan suasana perasaan (mood) seperti Iritabilitas,
12

kemarahan yang tiba-tiba, ketakutan dan kecurigaan. Gejala “negative” seperti


pendataran afektif, dan hendaya dalam dorongan benda sering dijumpai tetapi
tidak mendominasi gambar klinisnya.
Jalanan penyakit schizophrenia paranoid dapat terjadi secara episodik,
dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus kasus
yang kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk
membedakan episode-episode yang terpisah. Konsep cenderung terjadi pada
usia yang lebih tua daripada bentuk bentuk hebefrenik dan katatonik.

2.7.2 Skizofrenia Hebefrenik9


Itu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas, dan
secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang
serta terputus-putus, perilaku yang tak bertanggung jawab dan tak dapat di
ramalkan, serta umumnya mannerism. Suasana perasaan (mood) pasien
dangkal dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikan (giggling)
atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling),
atau oleh sikap yang angkuh/agung (lofty manner); ketawa menyeringai
(grimaces0), Mannerisme, mengibuli secara bersendagurau (pranks), keluhan
yang hipokondrik, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases).
Proses piker mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren. Ada kecenderungan untuk tetap menyendiri, dan
perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan.
Bentuk skizofrenia ini mulai antara umur 15 dan 25 tahun, cenderung
mempunyai prognosis yang buruk akibat berkembangnya secara cepat gejala
“negatif”, terutama mendatarnya afek dan semakin berkurangnya dorongan
kehendak. Sebagai tambahan gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta
gangguan proses berpikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin
ada tapi biasanya tidak menonjol. Dorongan gairah dan ketegasan hilang serta
tujuan ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas,
yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
13

filsafat dan tema abstrak lainnya makinmempersukar pemahaman mengenai


arus pikiran pasien.

2.7.3 Skizofrenia Katatonik7,12


Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang
esensial dan dominandan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti
hyperkinesis dan stupor, atau antara sifat penurut yang otomatis dan
negativism. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan untuk
jangka waktu yang lama. Episode kegelihasahan disertai kekerasan (violent)
mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang mencolok.
Karena alasana yang kurang dipahami, skizofrenia katatonik sekarang
jarang dijumpai dinegara-negara industry, walaupun dimana-mana tetap lazim
dijumpai. Fenomena katatonik ini dapat berkombinasi dengan suatu keadaan
seperti bermimpi (oneiroid) dengan halusinasi pemandangan yang jelas.
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik
atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu penderita tidak menunjukkan
perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling penting adalah
gejala psikomotor seperti:
1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama,
beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam mulut
dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini
dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat
hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan
tidak dipengaruhi rangsangan dari luar. Penderita terus berbicara atau bergerak
saja, menunjukan stereotipi, manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat
14

tidur, tidak makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps
dan kadang-kadang kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih bila
terdapat juga penyakit lain seperti jantung, paru, dan sebagainya)
Menurut PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa
III), berikut satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi
gambaran klinis skizofrenia katatonik:
a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah
yang berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tertentu tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya);
f) Fleksibilitas cerea/”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manisfestasi perihal


gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting untuk
diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat suatu petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala katatonik dapat juga
diprovokasi oleh penyakit otak, gangguan metabolic, atau alcohol dan obat-
obatan serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan (mood).
Termasuk; stupor katatonik, katalepsi skizofrenik, katatonia skizofrenik,
fleksibilitas serea skizofrenik.
15

Gambar 2. Pasien skizofrenik kronik berdiri dalam posisi


kataleptik selama berjam-jam.8

2.7.4. Skizofrenia Takterinci (Undifferentiated)

Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.

2.7.5. Depresi Pasca-skizofrenia9,10


Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul
sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus
tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gejala-gejala yang
menetap ini dapat “positif” atau “negatif”, walau biasanya yang terakhir itu
lebih sering adalah tidak pasti dan tidak penting untuk diagnosis, sejauh
manakah gejala-gejala depresif itu ditampilkan dengan menghilangnya gejala-
gejala psikotik sebelumnya (lebih mungkin daripada sebagai gejala yang baru
timbul), atau merupakan suatu bagian intrinsik penyakit skizofrenia, daripada
merupakan suatu reaksi psikologis terhadap skizofrenia.

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :


16

 Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis


umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
 Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
 Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.
2.7.6. Skizofrenia Residual
Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik
dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau
lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk
skizofrenia) ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-
gejala “negatif” jangka Panjang, walaupun belum tentu irevesibel.
Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan,
ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi
sosial.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
 Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
 Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
17

 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana


intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom
“negative” dari skizofrenia;
 Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.

Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus
menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala
aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia.Penumpulan
emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan
pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual.Jika
waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak
disertai afek yang kuat.

Jika informasi yang memadai mengenai riwayat pasien sebelumnya tidak


dapat diperoleh, dan karenanya tidak dapat ditegakan bahwa kriteria diagnostic
untuk skizofrenia dipenuhi pada masa yang lampau, maka mungkin perlu untuk
membuat diagnosis sementara skizofrenia residual termasuk ; skizofrenia tak
terinci kronis, “restzustand” keadaan residual skizofrenik.

2.7.7. Skizofrenia Simpleks


Suatu kelainan yang tidak lazim di mana ada perkembangan yang bersifat
perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku,
ketidakmampuanuntuk memenuhi tuntunan masyarakat dan penurunan kinerja
secara menyeluruh. Tidak terdapat waham dan halusinasi, serta gangguan ini
bersifat kurang nyata psikotik jika dibandingkan dengan skizofrenia subtype
hebefrenik, paranoid, dan katatonik.
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
18

proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Permulaan gejala mungkin penderita


mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut :
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi
yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan
diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.

2.7.8. Skizofrenia Lainnya 8


 Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan,
kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari pasien yang
didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan akhirnya
diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
 Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya
mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan pada
pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan
mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
 Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu dibedakan
dengan retardasi mental dan autisme
 Late onset schizophrenia
19

Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering terjadi
pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Selain wawancara psikiatri yang adekuat, diagnosis skizofrenia juga dapat
dilakukan beberapa pengujian, seperti: 8
1. Uji Neuropsikologis
Pasien skizofrenia biasnaya menunjukkan kinerja buruk pada serangkaian
luas uji neuropsikologis. Pengukuran uji neuropsikolofis, seperti rangkaian
Halsteas-Reitan dan rangkaian Luria-Nebraska, sering menunjukkan temuan
abnormal, seperti disfungsi lobus temporal dan frontal bilateral, serta
asimetri otak.
2. Uji Intelegensi
Pasien skizofrenia cenderung menghasilkan skor uji intelegensi yang lebih
rendah dibandingan pasien nonpsikotik lainnya. Intelegensi rendah sering
terdapat awitan dan intelegensi dapat terus memburuk seiring perjalanan
gangguan.
3. Uji Proyektif dan Kepribadian
Uji proyektif seperti Uji Rorschach dan Uji Apersepsi Tematik dapat
mengindikasi adanya ide bizzare. Untuk uji kepribadian seperti Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI) menunjukkan hasil abnormal
pada skizofrenia.

2.9 Differential Diagnosis 7


1. Gangguan psikotik sekunder
Serangkaian besar kondisi medis nonpsiaktrik kita berbagai zat
dapat menginduksi gejala psikosis dan catatonia. Diagnosis yang paling
tepat untuk psikosis atau katanya semacam itu adalah gangguan psikotik
akibat kondisi medis umum, gangguan katatonik akibat kondisi medis
umum atau gangguan psikotik terinduksi zat. Manifestasi pskiatrik
berbagai kondisi medis nonpskiatrik empat muncul pada awal perjalanan
penyakit, seringkali sebelum berkembang nya gejala ini. Oleh sebab itu,
20

klinis harus mempertimbangkan serangkaian luas kondisi medis non


pskiatrik diagnosis banding psikosis, bahkan pada keadaan tidak adanya
gejala fisik yang nyata. Pasien dengan gangguan neurologis umumnya
lebih memiliki tilikan terhadap penyakit nya dan lebih menderita akibat
gejala pskiatrikdari pada pasien skizofrenia. Ini dapat membantu klinis
membedakan kedua kelompok pasien tersebut.
Saat mengevaluasi pasien yang gejala psikotik, klinis seyogianya
mengikuti pedoman umum untuk mengkaji kondisi non pskiatrik. , Klinis
sebaiknya secara agresif mencari suatu kondisi medis nonpskiatrik yang
belum terdiagnosis ketika pasien menjukkan adanya gejala yang tak
lazim atau jarang maupun setiap variasi tingkat kesadaran. Kedua, klinisi
sebaiknya mencoba memperoleh riwayat keluarga yang lengkap,
termasuk riwayat gangguan medis, neuorlogis, dan pskiatrik. Ketiga,
klinisi sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan kondisi medis
nonpskiatrik, bahkan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis
skizofrenia. Pasien schizophrenia memiliki kemungkinan yang sama
seperti pasien non schizophrenic untuk mengalami tumorr otak yang
menimbulkan gejala psikotik.
2. Berpura-pura (Malingering) dan gangguan buatan
Pada pasien yang meniru gejala schizophrenia namun sebenarnya tidak
mengidap gangguan tersebut, berpura-pura atau gangguan buatan
mungkin merupakan diagnosis yang sesuai. Orang dapat memasukkan
gejala skizofrenik dan dimasukkan serta dirawat di rumah sakit pskiatrik.
Kondisi pasien yang sepenuhnya dapat mengendalikan produksi gejala
mereka mungkin memenuhi syarat untuk didiagnosis berpura-pura;
pasien semacam ini biasanya mempunyai suatu alasan hukum atau
finansial yang jelas untuk dapat dianggap menderita sakit jiwa. Kondisi
pasien yang tidak terlalu dapat mengendalikan pemalsuan mereka akan
gejala psikotiknya mungkin sesuai untuk didiagnosis gangguan buatan.
Meski demikian, sejumlah pasien schizophrenia dapat memasukkan
keluhan eksaserbasi gejala psikotik untuk memperoleh peningkatan
keuntungan pendampingan atau untuk dapat kembali dirawat inap.
21

3. Gangguan psikotik lain

Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan


skizofreniform gangguan psikotik singkat, gangguan schizoafektif, dan
gangguan waham. Gangguan skizofreniform berbeda dari schizophrenia
berupa gejala yang berdurasi setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6 bulan.
Gangguan psikotik singkat merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala
berlangsung setidaknya 1 hari tapi kurang dari 1 bulan dan bila pasien
tidak kembali keadaan fungsi pramorbidnya dalam waktu tersebut. Suatu
sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama
schizophrenia gangguan schizoafektif adalah diagnosis yang tepat.
Paham non bizzare yang timbul selama sekurangnya 1 bulan tanpa gejala
Vania lain atau gangguan mood patut didiagnosis sebagai gangguan
waham.

4. Gangguan Mood

Diagnosis banding antara skizofrenia dan gangguan mood mungkin


sudah dilakukan namun harus dibuat karena tersedianya pengobatan
spesifik dan efektif untuk mania dan depresi. Dibandingkan durasi gejala
primer, gejala efektif atau mood pada schizophrenia semestinya singkat.
Sebelum membuat diagnosis skizofrenia yang terlalu dini, dan tanpa
informasi tambahan selain yang diperoleh dari satu pemeriksaan status
mental saja, tulisi Seyogianya menunda dia menulis akhir atau sebaiknya
mengasumsikan adanya gangguan mood. Setelah remisi dari suatu
episode skizofrenik, beberapa pasien mengalami depresi sekunder atau
pascapsikotik. Pengobatan dengan inhibitor selektif ambilan kembali
serotonin (selective serotonin reuptake inhibitor, SSRI) atau
Antidepresan trisiklik diindikasikan pada situasi tersebut.

5. Gangguan kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian


gambaran sama dengan skizofrenia. Dengan kepribadian skizotipal,
22

skizoid, dan ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang


paling mirip. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang parah dapat
menyamarkan suatu proses skizoprenik yang mendasari.

Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian memiliki gejala


ringan dan riwayat terjadi sumur hidup pasien; gangguan ini juga tidak
memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi

2.10 Penatalaksanaan

Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia.
Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka
waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian
obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada
skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga,
rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus. 14

WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah


gangguan jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan
seperti puskesmas dan rumah sakit.

1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga


2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di
masyarakat
3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas
4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas

1. Terapi Farmakologi
a. Antipsikotik Generasi I (APG-1)
Biasa disebut dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik ini
merupakan antipsikotik yang bekerja memblok reseptor dopamin
D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65% hingga 80% reseptor D2
23

di striatum dan saluran dopamin lain di otak. 12 Antipsikotik generasi


pertama efektif dalam menangani gejala positif dan mengurangi
kejadian relaps. Namun antipsikotik ini memiliki efek yang rendah
terhadap gejala negatif. 13
Jenis-jenis obat APG-1 dan rentang dosisnya: 14

Antipsikotik generasi pertama menimbulkan berbagai efek


samping, termasuk ekstrapiramidal akut, hiperprolaktinemia, serta
tardive dyskinesia. Efek samping tersebut disebabkan oleh blokade
pada jalur nigrostrial dopamine dalam jangka waktu lama. 15
Antipsikotik ini memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor
muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan norepinefrin a1 yang
memicu timbulnya efek samping berupa penurunan fungsi kognitif
dan sedasi secara bersamaan. 16

b. Antipsikotik Generasi II (APG-2)


Biasa disebut dengan antipsikotik atipikal. Antipsikotik generasi
II ini bermanfaat untuk mengontrol gejala positif dan negatif, karena
memiliki afinitas terhadap reseptor serotonin dan reseptor dopamin. 12
Sebagian besar efek samping antipsikotik generasi kedua ini berupa
kenaikan berat badan dan metabolisme lemak .12
24

Jenis-jenis obat APG-2 dan rentang dosisnya: 14

c. LAI (Long-acting Injectable)


Selain antipsikotik oral, LAI merupakan treatment utama dalam
terapi skizofrenia. LAI disarankan untuk pasien yang memiliki
tingkat kepatuhan rendah dan menawarkan efek terapeutik jangka
panjang dengan memaksimalkan penghantaran obat, kontak obat dan
jadwal pengobatan.17 LAI menyebabkan kejadian relaps yang lebih
lambat dibandingkan dengan kombinasi antipsikotik dan kejadian
relaps yang lebih cepat jika dibandingkan dengan psikotik oral. 18
2. Terapi Psikososial
- Pelatihan keterampilan sosial
Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala
yang biasa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling
jelas terlihat melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain,
termasuk kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak
lazim, ekspresi wajah yang aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi
sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi
pada orang lain. Pelatihan keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku
ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain dan si pasien,
bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk
keterampilan khusus yang dipraktekkan.
25

- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya
berfokus pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan
nyata. Kelompok dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau
berorientasi tilikan, atau suportif.
- Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia
untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas,
serta mengoreksi kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya
waham dan halusinasi yang membaik pada sejumlah pasien yang
menggunakan metode ini. Pasien yang mungkin memperoleh
manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki tilikan
terhadap penyakitnya.
- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman.
Reliabilitas terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien,
serta ketulusan terapis sebagaimana yang diartikan oleh pasien,
semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk
pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan
dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan,
atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan
bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi
terapeutik dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien
skizofrenia yang mampu membentuk aliansi terapeutik yang baik
cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan,
serta memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2
tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal
merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia
yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan
penyesuaian personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps.
Terapi ini merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan
26

sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran


diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap stress. 8,19

2.11 Komplikasi

Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan


mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami
penderita yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi
sosial, dimana penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga
menjadi korban kekerasan dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi,
penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri. Disamping bunuh diri karena
depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya tidak merokok, banyak
menjadi perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang memblok satu
reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa senang,
pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia
mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko
dari perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan,
kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon
estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga
dapat terjadi osteoporosis.2

2.12 Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun
setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-
20% persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari
50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat
inap berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan
bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang
memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka
pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal
adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien
27

tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup
mereka.8
BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas


proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang
dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh,
gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau
sebenarnya, dan autisme.
Pada Skizofrenia terdapat gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif
mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek mendatar atu
menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri,
kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.
Di Indonesia sendiri pembagian subtipe skizofrenia berdasarkan pada
PPDGJ III juga dibagi menjadi sembilan subtipe yaitu skizofrenia paranoid,
hebefrenik, katatonik, tak terinci (undifferentiated), residual, simpleks, lainnya,
depresi pasca-skizofrenia dan skizofrenia YTT.
Terapi yang digunakan adalah pemberian obat antipsikotik generasi 1 dan
2, LAI (Long Acting Injectable), dan psikososial; pelatihan keterampian sosial ,
terapi kelompok, terapi perilaku kognitif, dan psikoterapi induvidual.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013
2. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009.h.195-277.
3. Fiona K. Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kualitas Penderita
Skizofrenia. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Universitas
Airlangga 2(3); 2013. p. 106-113
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis
RI. Jakarta; 2004
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. Tersedia di
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-
riskesdas-2018.pdf
6. World Health Organization. Schizophrenia and Public Health. Geneva:
Division of Mental Health and Prevention of Subtance Abuse World
Health Organization; 2003.
7. Jarut YM, Fatimawali, Wiyono WI. Tinjauan Penggunaan Antipsikotik
pada Pengobatan Skizofrenia di Rumah Sakit Prof.dr.V.I.Ratumbuysang
Manado Periode Januari 2013-Maret 2013. J Ilmiah Farm 2(3); 2013. p.
54-7.
8. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. Kaplan & Sadock’s Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi II. Jakarta: EGC; 2016.h.147-168.
9. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III),
Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1993.
10. Tomb, David A. Buku Saku Psikiatri. Ed 6. Alih Bahasa : dr Martina
Wiwie N, Jakarta : EGC. 2003
11. Hawari, Dadang. (2009). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa
Skizofrenia. FKUI: Jakarta.

29
30

12. Chisholms-Burns, M.A. et al. Pharmacotherapy Principles&Practice.


Fourth Edition. New York:McGraw-Hill Education; 2016
13. Fleischhacker WW. New Drugs for The Treatment of Shizophrenic
Patients. Acta Psychiatr Scans (Suppl);1995. p. 24-30
14. Wells, et al. Pharmacotherapy Handbook. 9th Edition. New
York:McGraw-Hill; 2015
15. Miyamoto S, Merril DB, Lieberman JA, et al. Antipshychotic Drugs. In:
Tasman A, Kay J, Lieberman JA, et al. Psychiatry. 3rd Edition.
Shichester: John Wiley&Sons;2008. p. 2161-2201
16. Hill SK, Bishop JR, Palumbo D, et al. Effect of Second-Generation
Antipsychotics on Cognition: Current Issues and Future Challenges.
Expert Rev Neurother; 2010. p. 43-57
17. Hafifah, A., Irma M, Rano K. Farmakoterapi dan Rehabilitasi Psikososial
pada Skizofrenia. Suplemen Journal Pharmacy of Padjajaran University
16(2);2018. p. 210-232
18. Foster et al. Combination Antypsychotic Therapies an Analysis From a
Longitudinal Pragmatic Trial. Journal of Clinical Psychopharmacology
37(5);2017. p. 595-599
19. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-
40.
20. Kelly, dkk. . Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC. 2013
21. Stahl, S. M,. Stahl's Essential Psycopharmacology. 4th ed. New York:
Cambrige University Press. 2013.
31

Anda mungkin juga menyukai