Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KELOMPOK DASAR-DASAR KEPUTUSAN

MEDIK MENGENAI
KARSINOMA HEPATOSELULAR

Kelompok III

Dosen Pembimbing : KHM. Arsyad, Prof. dr. DABK. Sp.And

IndaDzilArsy (702016006)
IrvanWahyu Putra (702016015)
AisyahSawwalia (702016024)
Nabila PutriRahmadandi (702016033)
DizaHanni Pertiwi (702016042)
M. AlandanuBakara (702016051)
IkaNurrohmawati (702016060)
Usman Primawijaya (702016069)
AlifahDimarRamadhina (702016078)
SyarifahHayati (702016090)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2016/2017

1
Apakah Karsinoma Hepatoselular itu ?

Karsinoma Hepatoseluler (Hepatocelullar Carcinoma =HCC) merupakan


tumor ganas Hati primer yang berasal dari Hepatosit, demikian pula dengan
karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma. Tumor ganas Hati lainnya
Kolangiookarsinoma (Cholangiocarcinoma = CC) dan sistoadenokarsinoma
berasal dari sel epitel bilier, sedangkan angiosarkoma dan leiomiopsarkoma
berasal dari sel mesenkim. Dari seluruh tunor ganas hati yang pernah didiagnosis
85 % adalah HCC; 10 % CC dan 5 % jenis lainnya. Dalam dasawarsa terakhir
terjadi perkembangan yang cukup berarti menyangkut HCC, antara lain
perkembangan pada modalitas terapi yang memberikan harapan untuk sekurang-
kurangnya perbaikan pada kualitas hidup pasien.
(Setiati, dkk, 2014)

Faktor Pengebab Kasinoma Hepatoseluler

Banyak faktor memegang peranan dalam penanganan KHS. Pertama,


adanya sirosis hati dalam berbagai tingkatan yang mengikuti KHS sedikit banyak
mempengaruhi pilihan- pilihan pengobatan. Fungsi hati pada penderita-penderita
KHS dapat sangat bervariasi dari normal sampai dekompensasi. Sirosis dapat
dijumpai pada sekitar 90% dari semua kasus KHS.
Kedua, KHS menunjukkan perangai biologis yang sangat bervariasi dari
satu daerah dan daerah yang lain. Misalnya, di daerah pedesaan Afrika Selatan,
KHS mengenai penderita-penderita dalam usia yang lebih muda dan sering baru
terdiagnosis setelah tahap lanjut dan mempunyai durasi gejala-gejala yang lebih
singkat dibanding kasus-kasus di Amerika Utara.
Manifestasi klinis pada penderita- penderita ini didominasi oleh gejala-
gejala yang disebabkan oleh tumornya sedangkan di Amerika Utara gejala-gejala
sirosis tampil secara dominan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, protokol
pengobatan yang dikembangkan di suatu daerah atau negara mungkin tidak sesuai
dan tidak optimal untuk daerah lainnya. Secara umum, tatalaksana bedah (

2
surgical management ) seperti reseksi dan transplantasi dianggap pengobatan yang
ideal untuk KHS. Kemajuan teknik bedah dan perawatan perioperatif telah
mampu untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat operasi, bahkan pada
penderita-penderita sirosis. Dengan seleksi yang baik terhadap penderita-
penderita, 5 -year survival rate pasca-reseksi dilaporkan dapat mencapai
sedikitnya 35%. Namun demikian, 70% dari penderita-penderita ini mengalami
rekurensi setelah reseksi “kuratif” ini, biasanya antara 18-24 bulan. Meskipun
penanganan terhadap karsinoma hepatoseluler secara operatif dianggap ideal,
tetapi banyak kesulitan dijumpai karena penderita-penderita umumnya datang
pada stadium yang sudah lanjut sehingga tidak dapat dilakukan reseksi dan
transplantasi.
Selain itu, biaya operasi yang mahal, pemberian imunosupresi sepanjang
hidup serta sulitnya mendapatkan donor transplantasi merupakan suatu kendala
yang besar terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, yang paling
baik adalah melakukan usaha-usaha pencegahan, terutama pencegahan terhadap
penularan virus hepatitis dan bila telah terjadi infeksi, mencegah kemungkinan
terjadinya sirosis postnecrotik sehingga dapat dicegah terjadinya karsinoma hati.
Pengobatan non-bedah meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat
meningkatkan hasil reseksi dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan
penderita tidak memenuhi persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor
yang telah lanjut, derajat sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena itu, terapi
non-bedah merupakan pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternatif
pengobatan non-bedah karsinoma hati meliputi:
a) Percutaneous ethanol injection (PEI)
PEI pertama kali diperkenalkan padatahun 1986. Teknik terapi PEI
dilaporkan memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil.
Kerugian dari cara ini adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan
kebutuhan akan sesi terapi berulang kali (multipel) agar didapatkan ablasi
lengkap dari lesi. PEI dilakukan dengan cara menyuntikkan per kutan
etanol murni (95%). ke dalam tumor dengan panduan radiologis untuk
mendapatkan efek nekrosis dari tumor. Tindakan ini efektif untuk tumor

3
berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-penderita dengan asites,
koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI tidak dianjurkan.
Efek PEI adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan intrahepatik
dan perdarahan peritoneal.
b) Chemoembolism
Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi
lokal (targeted chemoembolism) atau regional (segmental, lobar
chemoembolism) tergantung dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi.
Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk KHS yang tidak dapat
dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi yang
kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara aktif
dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi
devaskularisasi terhadap tumor sehingga menghentikan suplai nutrisi dan
oksigen ke jaringan tumor dan mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor
akibat vasokonstriksi arteri hepatika. Dengan teknik ini didapatkan respon
yang lebih baik dibandingkan kemoterapi arterial atau sistemik. Selain
lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan kolagen. Efek samping yang
sering terjadi antara lain adalah demam, nausea, vomitus, sakit di daerah
abdominal. Kemoembolisasi pada penderita-penderita dengan karsinoma
hepatoseluler yang tidak dapat direseksi dilaporkan menunjukkanreduksi
dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan peningkatan surviva
Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada penderita KHS dengan
tumor yang besar dan tidak dapat direseksi dapat dijelaskan oleh adanya
sel-sel tumor yang tetap hidup setelah terapi, terutama dengan adanya
invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan adanya trombi tumor.
Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan
hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang
lebih tinggi diperoleh bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.
c) Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup
penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro

4
uracil (5-FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal
(intra-arteri). Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin
(doxorubicin HCl) atau adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70
mg/m2 luas badan yang diberikan secara intra-vena setiap 3 minggu sekali
atau dapat juga diberikan dengan dosis 20-25 mg/m2 luas badan selama 3
hari berturut-turut dan diberikan setiap 3 minggu sekali. Adriamisin
sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan survival rate
sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi. Penggunaan kombinasi
sisplatin, IFN- ∝ 2B, adriamisin dan 5-FU yang diberikan secara
sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat baik
untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata
18% penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi dan 50%
menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian,
kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.
d) Kemoterapi intra-arterial ( transcatheter arterial chemotherapy)
Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan
manfaat yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja.
Pemberian 5-FU 41 ternyata tidak memperpanjang usia penderita. Oleh
karenanya diberikan sitostatika secara intra-arterial dengan beberapa
keuntungan seperti misalnya, konsentrasi sitostatika lebih tinggi pada
target (tumor), mengurangi toksisitas sistemik dan kontak antara obat
dengan tumor berlangsung lebih lama. Pada teknik ini kateter dimasukkan
per kutaneus ke dalam arteri brachialis atau a. femoralis atau melalui
laparotomi ke arteri hepatika, kemudian obat sitostatika disuntikkan secara
perlahan-lahan selama 10-30 menit. Sitostatika yang disuntikkan adalah
mitomisin C 10-20 mg dikombinasikan dengan adriablastiina 10-20 mg
dicampur dengan 100- 200 ml larutan garam faal. Pemberian sitostatika
diulang satu bulan kemudian sambil mengevaluasi hasil pengobatan
sebelumnya. Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat
berupa demam, septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara.

5
Kontraindikasi dari kemoterapi intra-arterial adalah kaheksia, asites yang
intraktabel, dan gangguan faal hati berat.
e) Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak
perannya sebab karsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel
hati yang normal sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan
menggunakan 50 Gy untuk membunuh sel-sel kanker hati dapat
menyebabkan radiation induced hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya
berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan selama 3-4 minggu. Meskipun
demikian, penderita biasanya meninggal dalam kurun waktu 6 bulan.
karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton therapy
adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk
menghantar energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada
jaringan hati yang non- neoplastik. Dengan proton therapy dosis 70- 80
Gy sangat aman karena sel target adalah hanya sel tumor. Ukuran tumor
dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, dan efek samping yang
terjadi sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup yang lebih
baik.
f) Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderita- penderita KHS dengan sirosis
lanjut, tetapi tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat
dikombinasikan dengan etoposide dan menunjukkan perbaikan serta
memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat sebagai terapi paliatif.
Secara in vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek sitotoksik
doxorubisin pada KHS. Kombinasi antara tamofixen dengan doxorubisin
ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
tamofixen tunggal.
g) Injeksi asam asetat perkutaneus
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan,
hanya saja zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%.

6
Pemberian pada penderita KHS dengan tumor yang berdiameter < 3 cm
menunjukkan survival rate 1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%,
3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun sebesar 64%. Efek samping tidak
dijumpai
(Siregar, 2005).

Patogenesis

Hepatokarsinogenesis dikenal sebagai proses tahapan yang sangat rumit


dan hampir setiap jalur yang terlibat dalam proses karsinogenesis akan
mempengaruhi derajat pada karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu, tidak ada
mekanisme molekuler tunggal yang dominan atau patognomonik pada karsinoma
hepatoseluler.

Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang berasal dari sel-sel


induk hati (namun, peran sel induk hati sebagai sel yang berkembang menjadi
karsinoma hepatoseluler masih dalam perdebatan) atau berasal dari sel hepatosit
yang matang dan merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis yang
didorong oleh stress oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel yang kemudian
diikuti oleh proliferasi terbatas / dibatasi oleh regenerasi, dan kemudian
remodeling hati permanen.

Mekanisme hepatokarsinogenesis tidak sepenuhnya dipahami .Namun


,seperti kebanyakan tumor solid lainnya, pengembangan dan perkembangan
kanker hati yang di yakini disebabkan oleh akumulasi perubahan genetic yang
mengakibatkan perubahan ekspresi pada gen yang terkait kanker , seperti onkogen
atau gen supresor tumor, serta gen lainnya yang terlibat dalam jalur regulasi.

Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu tumor dengan faktor


etiologi yang paling dikenal. Karsinoma hepatoseluler umumnya merupakan
perkembangan dari hepatitis kronis atau sirosis di mana ada mekanisme
peradangan terus menerus dan regenerasi dari sel hepatosit. Cedera hati kronis
yang disebabkan oleh HBV, HCV, konsumsi alkohol yang kronis , steato hepatitis

7
alkohol , hemokromatosis genetic, sirosisbilaris primer dan adanya difisensi a-1
anti tripsin menyebabkan kerusakan hepatosit permanen yang di ikuti dengan
kompensasi besar-besaran oleh sel proliferasi dan regenerasi dalam menanggapi
stimulasi sitokin. Akhirnya, fibrosis dan sirosis berkembang dalam pengaturan
remodeling hati secara permanen, terutama didorong oleh sintesis komponen
matriks ekstra seluler dari sel-sel stellata hati.

Dalam lingkungan yang bersifat karsinogenik, perkembangan nodul


hiperplastik dan displastik akan segera menjadi kondisi pre-neoplastik. Namun, di
duga akumulasi dari berbagai persitiwa molekuler yang berurutan pada berbagai
tahap penyakit hati (Jaringan normal hati, hepatitis kronis, sirosis, nodul
hiperplastik dan displastik dan kanker) hanya dipahami secara parsial saja.
Patogenesis secara molekul dari karsinoma hepatoseluler melibatkan genetik atau
terjadi penyimpangan epigenetik yang berbeda dan terdapat perubahan dalam
beberapa jalur sinyal yang mengarah pada heterogenitas penyakit dalam hal
biologis dan perilaku klinis. Bukti saat ini menunjukkan bahwa dalam
hepatokarsinogenesis, terdapat dua mekanisme utama yang terlibat, yaitu sirosis
dan yang berhubungan dengan regenerasi hati setelah adanya kerusakan hati
kronis yang disebabkan oleh beberapa faktor ( infeksi hepatitis, toksin atau
gangguan metabolisme ), serta adanya sejumlah mutasi DNA yang meyebabkan
gangguan dari keseimbangan onkogenesis-onkosupresor dari sel yang mengarah
keperkembangan sel-sel neoplastik. Beberapa jalur penting dar isinya lseluler
telah diamati menjadi bagian dari ketelibatan onkogenetik pada karsinoma
hepatoseluler. Jalur sinyal utama pada karsinoma hepatoseluler adalah RAF /
MEK / ERK , PI3K/AKT/ m TOR , NTB / β - catenin , IGF, HGF / c- MET dan
faktor pertumbuhan yang mengatur sinyal angiogenik.

Hepatokarsinogenesis dimulai pada lesi pre-neoplastik seperti nodul


makro regeneratif ,nodul diplastik low-grade dan high grade. Percepatan
proliferasi hepatosit dan pengembangan populasi hepatosit monoklonal terjadi
pada semua kondisi pre-neoplastik. Akumulasi perubahan genetik dalam lesi pre-
neoplastik diyakin mengarah terjadinya karsinoma hepatoseluler. Perubahan

8
genom yang terjadi secara acak akan terakumulasi dalam hepatosit yang displastik
dan hepatosit pada karsinoma hepatoseluler. Meskipun perubahan genetic dapat
terjadi secara bebas dari kondisi etiologi, beberapa mekanisme molekuler lebih
sering berkaitan dengan etiologi spesifik.
(Ayuningtyas & Purnomo, 2014)

Diagnosis

1. Pemeriksaanlaboratorium
Temuan pada pemeriksaan laboratorium pada karsinoma
hepatoseluler sering tidak ditemukan adanya ke abnormalan. Enzim
aspartate aminotransferase (AST) dan alanine amino transferase (ALT)
biasanya masih dalam batas normal ataumeng alamihanya sedikit
peningkatan. Alkalin fosfatase (AP) danglutamil trans fera sesering
ditemukan abnormal, tetapi peningkatannya tidak melebihi 2 atau 3
kalinya. Enzim laktat dehydrogenase (LDH) dapat meningkat pada pasien
dengan metastatishati, khususnya yang berasaldari hematogen.
Teslaboratorium yang cukup spesifik pada kasus karsinoma
hepatoseluler adalah kadar α-fetoprotein (AFP) dalam serum yang
meningkat pada 70-90 % pasien karsinoma hepatoseluler. Kadar AFP
dapat dijadikan pendekatan diagnostic pada karsinoma hepatoseluler jika
kadarnya sangat tinggi (> 1000 mg/ml) atau ketika kadarnya meningkat.
Namun pada saat ini terbukti AFP memiliki spesifitas maupun sensitifitas
yang tidak cukup tinggi untuk mendukung diagnosis karena AFP juga
meningkat pada keganasan luar diluar karsino mahepatoseluler.
Selain α-fetoprotein, tumor marker lainnya yang berhubungan
dengan karsinoma hepatoseluler adalah carcinoembryonic antigen (CEA) .
CEA akan meningkat pada hamper seluruh bentuk penyakit hatikronis dan
memiliki kadar yang tinggi pada metastasis tumor pada hati. CEA ini
berguna dalam mendiagnosis karsinoma hepatoseluler meskipun kadarnya
menigkat hanya pada 60% kasus.

9
2. Pencitraan
Imaging study yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
karsinoma hepatoselular adalah pemeriksaan Multidetector CT scan atau
MRI yang di perkuat dengan kontras. Ultra sonografi konvensional tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis karsinoma hepatoselular
kecuali untuk mendeteksi dirinya adanya nodul ketika dilakukan
surveillance.
Demikian juga ultra sonografi dengan kontras tidak cukup akurat
untuk mengatakan diagnosis karsinoma hepatoselular.
Ciri khas pada karsinoma hepatoselular adalah enchanced pada
fasea terial dan washout pada fase vena. Dasar fisiologi dari fenomena ini
adalah bahwa karsinoma hepatoselular diberi pasokan nutrisi oleh darah
arteri. Dengan demikian, selama fase arteri, sel hati disuplai oleh arteri dan
vena portal, sedangkan sel tumornya mendapatkan pasokan nutrisi dari
darah arteri. Darah pada vena porta di hati akan mengencerkan agen
kontras. Namun hal tersebut tidak terjadi pada tumor, sehingga tumor akan
menunjukkan konsentrasi yang lebih terang dari pada hati di seitarnya.
Selama fase vena, selhatidiberimakanolehdarah portal yang
mengandungkontras, dandaraharteri yang tidak berisi kontras. Tumor
mendapat pasien nutrisi dari darah arteri yang juga tidak memiliki agen
kontras. Dengan demikian, sel hati akan menjadi lebih terang dari lesi,
dalam istilah lain pada lesi akan menunjukkan fenomena washout kontras.
Nodul dengan lesi < 1 cm pada ultra sonografi, khusunya pada
sirosis hati, memilki kemungkinan yang kecil untuk menjadi karsinoma
heparoselular. Bahkan kemungkinan adanya keganasan berkurang jika lesi
tertersebut tidak menunjukkan penyerapan kontras secara dinamis.
Meskipun jika CT atau MRI menunjukkan adanya vaskularisasi arteri,
daerah tervaskularisasi tersebut kemungkinan tidak sesuai dengan focus
karsinoma hepatoselular. Walaupun begitu, kemungkinan untuk menjadi
ganas kapan saja masih tinggi. Sehingga, nodul ini perlu ditindak lanjuti

10
secara teratur tiap beberapa bulan untuk dapat mendeteksi pertumbuhan
perubahan menjadi ganas dan diperiksa setiap 3-6 bulan. Jika setelah lebih
dari 1 atau 2 bulan tidak ada pertumbuhan maka dapat dikatakan bahwa
lesi tersebut bukan merupakan karsinoma hepatoselular. (Gambar 1)

Massa Ulangultrasonografi 3-
12 bulan

padaultrasonografi

<1

Alurpemeriksaanjika diameter
nodul< 1 cm
Ulangultrasonografi 3-12
bulan

Pembesaran Stabillebihdari 18-


24 bulan

CT-scan Screening selama 6


bulan

Jika nodul berdiam terlebih dari 1 cm, harus ditindak lajuti dengan
pemeriksaan MDCT 4 faseatau MRI yang diperkuat dengan kontras,
diagnosis dianggap tegak bila dijumpai gambaran nodul hipervaskuler
pada fase arterial diikuti dengan washout pada fase vena. Bila gambaran
tidak khas, misalnya nodul hipervaskular, sebaiknya diulang dengan
modalitas pencitraan yang ke-2.

3. Biopsy

11
Biopsy dapat dipertimbangkan sebagai pengganti pemeriksaan
imaging kedua dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan penyebaran
melalui jalan jarum biopsy. Walaupun beberapa pusat penelitian penyakit
hati, misalnya JSH masih menganjurkan kombinasi antara faktor risiko,
seromarker tumor dan MDCT/MRI, penegakkan diagnosis tetap
berdasarkan pada gambar imaging dengan MDCT/MRI biopsy nodul jika
diperlukan. Banyak pusat penelitian penyakit hati yang sangat
menghindari biopsy.
(AMC ButarButar, 2014)

Tata Laksana karsinoma hepatoseluler

Hepatoma fase subklis

Fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa gejala dan tanda
fisik hepatoma yang jelas ,biasanya ditemukan melalui permeriksaan AFP dan
teknik pencitraan. Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya
adalah : masyarakat diadaerah insiden tinggi hepatoma, pasien dengan riwayat
hepatitis atau HbsAG positif ,pasien dengan riwayat keluarga hepatoma , pasien
pasca reseksi hepatoma primer.

12
Hepatoma fase klinis :
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjutan ,manifestasi
utama yang sering ditemukan adalah :
Nyeri abdomen kanan atas : hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi utama
yang sering datang berobat karena kembung dan tidak nyaman atau nyeri samar di
abdomen kanan atas .nyeri seperti tertusuk ,sebagian merasa area hati terbebat
kencang,disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga menanmbah regangan
pada kapsul hati.
Perut kembung : timbul karena massa tumor sangat besar ,asites dan
gangguan fungsi hati

Anoreksia : timbul karena fungsi hati terganggu ,tumor mendesak


GIT,perut tidak tidak bisa masukan makanan pada
tubuh.

Lebih ,berat badan : dapat disebakan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan pada tubuh ,

Demam : timbul karena nekrosis tumor ,disertai infeksi ,metabolit


tumor,jika tanpa bukti infeksi disebut dengan demam
kanker ,umumnya tidak disertai menggigil

Ikterus : kuningnya selera dan kulit ,umumnya karena ganguan


fungsi hati ,biasanya sudah stadium lanjut ,dapat
menyumbat kanker disaluran empedu atau tumor
medesak dan saluran empedu hingga timbul ikterus
obstruktif

Asites : perut membucit dan pekak bergeser,sering disertai


udem atau cairan yang terletak di kedua tungkai

Lainnya selain itu terdapat kecenderungan perdarahan , diare, nyeri bahu belakang
kanan, udem kedua tungkai bawah , kulit gatal dan lainnya, juga manifestasi
sirosis hati seperti splenomegali,palmar eritema, lingua hepatik,spider nevi,

13
vinodilatalisi dinding abdomen.pada stadium akhir hepatoma sering timbul
metasis paru,tulang dan banyak organ lain.
(Siregar, 2005).

14
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas dan Purnomo, H.D. 2014. Karakteristik Pasien Karsinoma


Hepatoseluler: Studi Kasus di RSUP dr Kariadi Semarang Periode 2010-
2014. Semarang: Universitas Diponegoro

Butar-Butar, AMC. 2014. Profil Pasien Penderita Karsinoma Hepatoselular di


Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012.
Medan

Setiati, S., dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna Publishing

Siregar, G. A. 2011. Penatalaksanaan non Bedah dari Karsinoma Hati. Universa


Medicana

15

Anda mungkin juga menyukai