Anda di halaman 1dari 14

PENGGUNAAN SKOR ART PADA PASIEN KARSINOMA

HEPATOSELULER DENGAN TERAPI TACE


Nadya Meilinar Samson

PENDAHULUAN
Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan keganasan primer pada hati
dan paling sering timbul pada pasien dengan penyakit hati kronis dan sirosis hati
(Cicalese, 2018). Karsinoma hepatoseluler ditemukan tiga kali lipat lebih banyak
pada pria daripada wanita. Angka kematian akibat karsinoma hepatoseluler di
Amerika Serikat meningkat sebanyak 28.920 kematian di tahun 2017 dan
merupakan penyebab kematian akibat kanker nomor empat di Amerika Serikat
(dikutip dari Husodo, 2009; American Cancer Society, 2017). KHS merupakan
penyebab kematian akibat kanker terbanyak ketiga di seluruh dunia.
Penatalaksanaan KHS saat ini adalah transplantasi hati, reseksi dan ablasi pada
KHS sangat dini (satu nodul, diameter <2cm) dan dini (satu nodul atau <3 nodul,
diameter <3cm) menggunakan kriteria staging berdasarkan Barcelona Clinic of
Liver Cancer (BCLC) (Lencioni, 2016).
Transartherial chemoembolization (TACE) digunakan pada KHS
intermediet multinodul, terapi sistemik dengan sorafenib pada KHS lanjut, serta
terapi suportif pada KHS stadium akhir (sangat lanjut) (Kudo, 2015). TACE
sendiri digunakan secara luas pada pasien KHS yang tidak memenuhi syarat untuk
terapi radikal. Teknik TACE yang paling popular adalah dengan memasukkan
agen anti kanker berbasis minyak yang diikuti oleh agen emboli (Lencioni, 2016).
Terapi TACE pada KHS dapat diulang kembali berdasarkan skor
assessment for re-treatment with TACE (ART). Skor ART berguna untuk menilai
apakah TACE ulang akan memiliki hasil yang baik bagi pasien KHS atau tidak.
Dengan skor ART 0-1,5 maka TACE ulang dapat dilakukan dengan perkiraan
hasil yang baik, sementara pada pasien dengan skor ART ≥2,5 maka TACE ulang
tidak disarankan (Hucke et al., 2014).

KARSINOMA HEPATOSELULER (KHS)


1. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Secara geografis, di dunia terdapat 3 tingkat kekerapan KHS, yaitu
tingkat kekerapan rendah (kurang dari 3 kasus/100.000 penduduk), menengah
(3-10 kasus/100.000 penduduk) dan tinggi (lebih dari 10 kasus/100.000
penduduk). Tingkat kekerapan tertinggi terdapat di Asia Timur dan Tenggara.
80% dari kasus KHS terdapat di Asia Timur, Tenggara dan Afrika Tengah.

1
KHS memiliki etiologi faktor resiko yang sangat beragam dengan beberapa
sudah terbukti memiliki hubungan kuat dengan KHS. Virus hepatotropik
seperti Hepatitis B dan C berperan kuat dalam menyebabkan KHS. KHS
jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah dimana Hepatitis B
merupakan endemik dan banyak terjadi transmisi HBV perinatal (dikutip dari
Husodo, 2009). Selain virus hepatotropik, faktor yang paling sering adalah
alkohol dan ekspos aflatoxin, sirosis hati (hepatitis virus kronis, alkoholik
sirosis, hemokromatosis atau defisiensi alfa-1-antritripsin, dan non-alcoholic
fatty hati disease) (EASL, 2012).
2. Diagnosis
Diagnosis KHS ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG), CT-Scan angiography,
MRI, dan biopsi. Dari anamnesis didapatkan penurunan berat badan, nyeri
perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas, jaundice dan
nausea. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali berbenjol-benjol dan
stigmata penyakit hati kronik. Pada pemeriksaan penunjang, laboratorium
dapat menunjukkan anemia, trombositopenia, peningkatan kreatinin,
pemanjangan prothrombin time (PT) dan partial thromboplastin time (PTT),
peningkatan fungsi hati (aspartat aminotransferase (AST) dan alanin
aminotransferase (ALT)) dimana AST > ALT, serta peningkatan bilirubin.
Peningkatan seromarker tumor didapatkan pada KHS seperti alfa fetoprotein
(AFP), AFP-L3, des-γ-carboxy prothrombin (DCP) atau disebut juga
prothrombin induced by Vitamin K Absence II (PIVKA II), alfa fukosidase
dan glypican 3 (EASL, 2012; Idrus et al., 2015).
Pada ultrasonografi, didapatkan lesi fokal atau difus di hati.
Ultrasonografi memberikan sensitivitas sebesar 45% dan spesifisitas 98%.
Maka setiap gambaran massa pada hati melalui USG harus disuspek
keganasan. Pada CT-Scan Angiography atau CT-Scan 3 fase didapatkan
nodul di hati yang menyangat kontras terutama di fase arteri dan “early wash
out” di fase vena (typical pattern). MRI sering dilakukan tetapi hanya 53%
pasien yang terdiagnosis KHS. Hal ini dikarenakan lesi-lesi yang tidak
terdeteksi tersebut kebanyakan mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3
cm. Biopsi tidak selalu digunakan dalam mendiagnosis KHS karena KHS
dapat didiagnosis dengan menggunakan pemeriksaan radiologis dan biopsi
memiliki resiko perdarahan. Biopsi diperlukan bila tidak ada kontraindikasi
(bila lesi berdiameter >2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk
menetapkan pilihan terapi. Bila gambaran histopatologis masih tidak akurat,

2
maka diperlukan pemeriksaan imunohistokimia termasuk CD34, CK7,
glypican 3, HSP-70, dan glutamine synthetase (EASL, 2012).
3. Terapi
Terapi pada KHS berdasarkan JSH-HCC Guidelines dilakukan dengan
menilai 3 faktor : (1) derajat kerusakan hati (berdasarkan skor Child-Pugh);
(2) jumlah tumor; (3) diameter tumor. Bila derajat kerusakan hati pada Child
Pugh grade A atau B, dan atau jumlah tumor 2 atau 3 dengan diameter <3 cm,
maka reseksi surgikal dan radiofrequency ablation (RFA) adalah
rekomendasi utama. Pada derajat kerusakan hati pada Child Pugh grade A
atau B, dan atau jumlah tumor ≥4, maka TACE merupakan rekomendasi
utama. Rekomendasi kedua setelah TACE adalah menggunakan kemoterapi
dengan molecular-targeted agent Sorafenib dan infuse kemoterapi ke arteri
hepatika (Kokudo et al., 2015).

Gambar 1. Strategi terapi pada KHS (EASL, 2012)

TRANSARTERIAL CHEMOEMBOLIZATION (TACE)


Transarterial chemoembolization (TACE) merupakan teknik gabungan antara
transarterial embolization (TAE) dan kemoterapi regional. Obstruksi arteri
selektif menginduksi terjadinya nekrosis tumor dengan meminimalisir kerusakan
jaringan hati, sementara suplai darah menuju jaringan hati dipertahankan oleh
vena porta. Sebagai tambahan, agen kemoterapi yang dimasukkan secara
bersamaan dengan embolisasi tetap berada di dalam jaringan tumor lebih lama
pada konsentrasi yang lebih tinggi. Terapi emboli menghambat aliran darah arteri
menuju tumor dan mencegah eliminasi agen kemoterapi yang dimasukkan
kedalam tumor. Sebagai hasil akhir, terapi emboli dan kemoterapi regional pada

3
TACE memiliki efek anti tumor sinergistik dengan tingkat respon yang tinggi
secara objektif dan keuntungannya adalah level obat yang rendah secara sistemik
sehingga efek toksisitas lebih rendah. Beberapa meta-analisis dan RCT
menunjukkan bahwa TACE dapat menurunkan mortalitas dalam 2 tahun secara
signifikan dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi konservatif
(Shin, 2009). TACE terbagi menjadi TACE konvensional dan belakangan
dikembangkan DEB-TACE atau drug eluting beads TACE yang lebih baik
daripada TACE konvensional karena menurunkan kemungkinan toksisitas akibat
prosedur TACE (Sieghart et al., 2015) .
1. Indikasi dan Kontraindikasi
TACE dilakukan pada grup pasien dengan HCC multinodul yang tidak
dapat menerima terapi kuratif. TACE tidak dilakukan pada grup pasien dengan
derajat kerusakan jaringan hati yang luas seperti Child-Pugh B akhir dan C.
TACE superselektif dapat dilakukan pada pasien dengan fungsi hati yang
buruk tetapi bila pasien memiliki KHS yang difus dan massif, dan atau sudah
sampai di vena porta, TACE tidak dilakukan karena tidak aman. Implementasi
TACE sangat disesuaikan dengan kondisi fungsi hati setiap pasien, juga
penyebaran tumor dan keterlibatan dari vena porta. TACE yang selektif dan
personal dapat memberikan hasil akhir yang baik dengan efek samping yang
lebih rendah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa TACE selektif dapat
memberi efek antitumoral yang lebih baik, dengan penggunaan dosis obat
yang lebih rendah dan jumlah sesi TACE yang dibutuhkan lebih rendah dalam
mencapai nekrosis tumor yang ekstensif (Shin, 2009).
Pasien KHS yang memenuhi syarat untuk dilakukan TACE adalah
pasien yang memenuhi kriteria AASLD berikut, yaitu 1) KHS yang tidak
memenuhi kriteria terapi bedah, 2) KHS unifokal dengan ukuran tumor >3cm
atau KHS multifokal, 3) tidak ada invasi vascular, 4) tidak ada penyakit
ekstrahepatik (White et al., 2017).

4
Tabel 1. Indikasi TACE (Basile et al., 2012)
Patients with confirmed diagnosis on the basis of EASL consensus
Diagnosis
diagnostic criteria for HCC
No extrahepatic localizations
No main PV thrombosis
Tumor involvement >50% of the liver parenchyma
Patients with HCC not suitable for curative treatments such as resection,
liver transplantation, or percutaneous ablation according to BCLC
staging classification and treatment schedule
Tumor status Ablation is the indicated treatment (early stage); however, if treatment
is unfeasible or if patient has declined
Patients who demonstrate recurrence after potentially curative treatment
(resection and percutaneous ablation) who have clearly measurable
disease according to modified RECIST criteria or even after
transplantation
In potential transplant recipients, to decrease drop-off rate from the
transplant list and limit recurrence
Patient
Eastern Cooperative Oncology Group performance status <3 or
performance
Karnofsky score >70
status
Patient with well-preserved liver function (Child-Pugh class A/B)
without encephalopathy and mild or severe ascites
Patient Serum creatinine <2 mg/dL (177 µmol/L)
metabolic status
Platelet count >50.000 cells/mm3
Phrothrombin activity >50%
Doxorubicin WBC >3.000 cells/mm3; neutrophils >1.500 cells/mm3; left ventricular
related ejection fraction >50%

Tabel 2. Kontraindikasi TACE (Sieghart et al., 2015).


Absolute Contraindication
Factors related to liver cirrhosis :
Decompensated cirrhosis (Child-Pugh B, score >8), including jaundice, clinical

hepatic encephalopathy, and refractory ascites and or hepatorenal syndrome
▪ Impaired portal vein blood flow (portal vein thrombus, hepatofugal blood flow)
Factors related to HCC :
▪ Extensive tumor involving the entirety of both lobes of the hati
▪ Malignant portal vein thrombosis
Technical contraindication to hepatic intra-arterial treatment :
▪ e.g., untreatable arteriovenous fistula
Impaired renal function
▪ Creatinine ≥2 mg/dl or creatinine clearance <30 ml/min
Relative Contraindication
Factors related to liver cirrhosis :
▪ Untreated oesophageal varices at high risk of bleeding
Factors related to HCC :
▪ Large tumor (>10 cm)
Others factors :
▪ Severe comorbidities
▪ Incompetent papila with aerobilia (owing to biliary stenting or surgery)
▪ Biliary dilatation

5
2. Agen Emboli
Agen emboli yang digunakan umumnya adalah spons gelatin, partikel
polyvinyl alcohol (PVA), dan microspheres. Agen lain yang pernah
dilaporkan penggunaannya antara lain steel coils, autologous blood clots dan
degradable starch microspheres. Agen emboli permanen diantaranya PVA,
microspheres, dan steel coils, sementara agen emboli lainnya bersifat
temporer. Pemilihan agen emboli dilakukan berdasarkan karakteristik
masing-masing agen dan ukuran dari tumor dan vaskularisasinya. Agen yang
paling umum digunakan karena mudah dibentuk dalam berbagai ukuran
adalah spons gelatin. Spons gelatin juga tidak menyebabkan kerusakan
jaringan ekstra hati. Kombinasi PVA dengan doxorubicin sebagai drug-
elating beads (DEB) saat ini sering digunakan karena DEB dipercaya dapat
memperbaiki farmakokinetik doxorubicin sehingga efek yang dicapai
maksimal dan mencegah efek samping dari doxorubicin. Drug eluting beads
adalah embolic microspheres yang diisi dengan agen kemoterapi (paling
sering Doxorubicin) yang hasil akhirnya adalah kemampuan pelepasan
lambat obat sehingga dosis lokal agen kemoterapi pada tumor tinggi dan
konsentrasi sistemik rendah (Shin, 2009; Sieghart et al., 2015).
3. Lipiodol
Lipiodol merupakan iodinated ethyl ester of poppy seed oil yaitu
medium kontras berbasis minyak yang banyak digunakan untuk studi
limfangiografi. Saat diinjeksikan ke arteri hepatika, Lipiodol secara selektif
tetap berada didalam nodul tumor selama beberapa minggu hingga beberapa
tahun karena memiliki siphoning effect akibat tidak adanya sel Kupffer dan
hipervaskularisasi dari tumor. Hasil akhirnya merupakan efek emboli pada
pembuluh darah yang lebih kecil. Apabila diinjeksikan pada arteri hepatika di
parenkim hati yang normal, Lipiodol terakumulasi di vena porta dan secara
gradual dilepaskan ke sirkulasi sistemik melalui sinusoid hepar dan difagosit
oleh sel Kupffer sehingga tereliminasi total dalam satu minggu (Basile et al.,
2012).
Lipiodol juga memiliki peran sebagai vehikulum untuk mengantarkan
dan melokalisir agen kemoterapi didalam tumor. Agen kemoterapi yang
dapat digunakan bersama Lipiodol seperti doxorubicin, epirubicin,
aclarubicin, 5-florouracil, mitomycin, cisplatin dan SMANCS (styrene maleic
acid neocarzinostatin). Saat dicampurkan dengan agen antikanker melalui
teknik pumping sampai menjadi emulsi, emulsi kemudian diinjeksikan ke
pembuluh darah yang menyuplai tumor, obat antikanker dilepaskan perlahan

6
dari Lipiodol dan bertahan dalam konsentrasi tinggi di dalam tumor dalam
waktu yang lama (Shin, 2009). Dosis Lipiodol yang digunakan adalah 2-3
kali diameter tumor. Pada KHS dengan tumor dengan vaskularisasi yang
tinggi menggunakan dosis 2-3ml/cm dan 1,l/cm pada lesi dengan
vaskularisasi yang minimal. Penggunaan lipiodol dalam dosis yang terlalu
besar dapat menimbulkan kerusakan parenkim hati dan iskemia pada duktus
bilier (Basile et al., 2012).
4. Agen Kemoterapi
Agen kemoterapi yang dapat digunakan dalam TACE beragam, seperti
doxorubicin, epirubicin, aclarubicin, 5-florouracil, mitomycin, cisplatin dan
SMANCS (styrene maleic acid neocarzinostatin). Tetapi yang paling umum
digunakan adalah doxorubicin dan cisplatin. Kriteria penggunaan dosis masih
belum disepakati, beberapa ahli menggunakan body surface area (BSA),
berat badan, kadar bilirubin, atau menggunakan dosis tetap. Beberapa RCT
tidak mampu menggambarkan perbedaan hasil penggunaan dosis berdasarkan
BSA dan lain-lain serta apakah outcome lebih baik menggunakan agen
kemoterapi tunggal atau kombinasi (Arizumi, 2015; Kudo, 2014).
Sampai saat ini, belum ada protokol terstandardisasi untuk terapi
TACE baik dari jadwal terapi, jenis dan dosis agen kemoterapi (Omata,
2017).
The European Study melaksanakan TACE dengan Doxorubicin yang
dosisnya disesuaikan dengan kadar bilirubin (bilirubin total <25.6 µmol/L: 75
mg/m2; 25.6–51.3 µmol/L: 50 mg/m2; 51.3–85.5 µmol/L: 25 mg/m2).
Jadwal TACE setiap 2 dan 6 bulan. Sementara the Asian Study menggunakan
Cisplatin dengan dosis hingga 30 mg/sesi dan diulang setiap 2-3 bulan
sampai terjadi progresifitas penyakit, efek samping yang serius atau
dekompensasi hat seperti yang terangkum pada tabel 3 (Sieghart et al., 2015).
Tabel 3. Jenis dan Dosis Agen Kemoterapi

Studi Jenis Dosis Jadwal TACE


The Doxorubicin Bilirubin total
European <25,6 µmol/L 75 mg/m2
Study <1,5 mg/dL
Setiap 2 dan 6
25,6–51,3 µmol/L
50 mg/m2 bulan
1,5-3,0 mg/dL
51,3–85,5 µmol/L
25 mg/m2
3,0-5 mg/dL
The Asian
Cisplatin 30 mg/sesi Setiap 2-3 bulan
Study

7
5. TACE refractoriness
TACE refractoriness atau kegagalan TACE berbasis JSH Consensus
Guidelines adalah respon yang tidak adekuat setelah 2 kali atau lebih
prosedur TACE berturut-turut yang dibuktikan dengan evaluasi CT-scan atau
MRI setelah 1-3 bulan setelah prosedur, bahkan setelah agen kemoterapi
diubah atau ditambah dan arteri penyuplai darah tumor sudah dianalisa ulang
serta didapatkan nodul hati yang bertambah setelah prosedur TACE
(dibandingkan dengan jumlah dan lokasi lesi sebelumnya). CT-scan
dilakukan 3 bulan setelah prosedur TACE untuk mengevaluasi respon tumor
secara radiologis. Follow-up dilakukan setiap 3-4 bulan. Kadar AFP diperiksa
setiap 2-3 bulan. (Kudo, 2014). Tetapi belum ada konsensus internasional
tentang kepastian definisi dari kegagalan TACE (Omata, 2017).
Tabel 4. Definisi kegagalan TACE/TACE Refractoriness (Kudo, 2014).
1) Intrahepatic lesion
(i) Two or more consecutive ineffective responses seen within the treated tumours
(viable lesion >50%), even after changing the chemotherapeutic agents and/or
reanalysis of feeding artert, on response to evaluation CT/MRI after 1-3 months
following adequately performed selective TACE
(ii)Two or more consecutive progressions in the liver (including an increase in the
number of tumors compared to that before the previous TACE procedure), even
after changing the chemotherapeutic agents and/or reanalysis of feeding artery,
on response evaluation CT/MRI after 1-3 months following adequately
performed selective TACE
2) Tumor marker
Continous elevation of tumor markers right after TACE even though transient minor
reduction is observed
3) Appearance of vascular invasion
4) Appearance of extrahepatic spread

Evaluasi respon dari TACE terhadap KHS dapat dilakukan dengan


menggunakan modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (m-
RECIST) guideline sejak tahun 2008. Hasil evaluasi respon tumor
berdasarkan m-RECIST didefinisikan sebagai (1) complete response (CR),
(2) partial response (PR), (3) progressive disease (PD), and (4) stable
disease (SD). Evaluasi ini dinilai menggunakan CT-Scan atau MRI 3 fase
dan dinilai dari lesi target, lesi non-target dan lesi baru (gambar 2) (Lencioni
& Llovet, 2010).

8
Gambar 2. Kategori respon tumor menggunakan m-RECIST (Lencioni & Llovet, 2010).

6. Komplikasi
Komplikasi terapi TACE dapat dibagi menjadi 4 kategori : 1)
immediate; 2) periprosedural; 3) efek samping jangka panjang berdasarkan
onset selama prosedur, segera setelah prosedur, < 30 hari setelah prosedur,
atau > 30 hari setelah prosedur; 4) mayor (mebutuhkan terapi dan
hospitalisasi 48 jam; gangguan permanen; kematian) dan minor (tidak
memerlukan terapi dan perhatian khusus; membutuhkan terapi minimal dan
tidak perlu perhatian khusus termasuk observasi di rumah sakit). Komplikasi
muncul pada sekitar 10% penderita. Komplikasi immediate yaitu
intraprocedural injury pada arteri hepatika akibat kateter atau guidewire yang
akibatnya bersifat reversible seperti spasme arteri hepatika dan konstriksi
arteri akibat inflamasi, tetapi pada kasus yang lebih serius dapat terhadi
thrombosis, diseksi dan pembentukan aneurisma. Kerusakan arteri hepatika
lebih sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati dan gangguan fungsi hati
dan pada pasien dengan agen kemoterapi dosis tinggi. Komplikasi
periprosedural dan komplikasi jangka panjang dikaitkan dengan gangguan
metabolik. Komplikasi mayor adalah gagal hati; abses dengan gangguan
Sfingter Oddi; sindroma pasca embolisasi; abses dengan biliary-enteric
anastomosis; kolesistitis; biloma yang membutuhkan drainase perkutaneus;
pulmonary arterial oil emboli; perdarahan saluran cerna atau ulserasi (dapat
terjadi karena regurgitasi dari agen emboli ke arteri gaster akibat varian
anatomi) dan kematian dalam 30 hari. Sindroma post embolisasi (nyeri
abdomen, demam, peningkatan serum transaminase) dapat merupakan akibat

9
kerusakan jaringan hati normal atau karena nekrosis sel tumor, masih belum
jelas). Sindroma ini terjadi pada 60-80% pasien yang menerima TACE.
Sindroma post embolisasi dapat sembuh sendiri (self-limiting) dalam 3-4 hari
walaupun pasien tetap memerlukan monitoring dan anti nyeri). Tes fungsi
hati sering memburuk post TACE, tetapi mayoritas menunjukkan perbaikan
dan kembali normal dalam 1 minggu. Gagal hati setelah TACE terjadi akibat
TACE-induced ischemic damage dari jaringan hati non-tumor dan adanya
faktor kausatif. Faktor kausatif antara lain fungsi hati yang tidak optimal,
obstruksi vena porta utama, obstruksi duktus bilier, overdosis lipiodol, oklusi
arteri hepatika akibat TACE berulang dan TACE non selektif. Faktor kausatif
dapat dicegah dengan memperbaiki pemilihan pasien yang dapat menerima
terapi TACE dan menggunakan teknik dengan baik dan hati-hati. Gagal hati
dilaporkan terjadi pada 0-49% pasien (Basile et al., 2012; Shin, 2009).

SKOR ASSESSMENT FOR RE-TREATMENT (ART)


Beberapa studi menunjukkan bahwa TACE berulang meningkatkan angka
survival pasien KHS. Untuk itu, skor Assessment for Re-treatment (ART)
dikembangkan. Skor ART adalah skor yang digunakan untuk menentukan apakah
TACE berguna bila dilakukan kembali pada pasien KHS setelah TACE pertama
dan untuk menilai prognosis apabila pasien dilakukan re-treatment dengan TACE.
Skor ini mengintegrasikan 1) respon tumor secara radiologis (ada atau tidak ada),
2) gangguan fungsi hati (peningkatan AST >25%) dan 3) peningkatan skor Child-
Pugh 1 atau ≥ 2 poin dari sebelum TACE (Hucke et al., 2014).
Tabel 5. Skor ART (Hucke et al., 2014)
Points
Radiologic Tumor Response
Absent 1
Present 0
AST Increase > 25%
Present 4
Absent 0
Child-Pugh Score Increase
1 point 1.5
≥ 2 points 3
Absent 0
Skor ART merupakan sistem skoring baru yang non-invasif, obyektif, dan
dapat diterima secara luas dalam menilai re-treatment TACE serta memiliki sisi
kepraktisan klinis yaitu skor ART mudah dan bisa dipraktekkan dimanapun,
termasuk di daerah dengan pelayanan medis yang kurang dan skor ART bisa
mencegah pasien dari bahaya re-treatment TACE dan menghindari TACE yang
tidak memadai (Yin et al., 2016).

10
Dalam penelitian dimana setiap pasien yang memenuhi syarat untuk
dilakukan TACE ulang dibagi menjadi 2 grup berdasarkan skor ART yaitu grup
pertama dengan skor ART ≤ 1,5 dan grup kedua dengan skor ART ≥ 2,5. Median
survival rate pasien meningkat pada grup dengan skor ART ≤ 1,5 dibandingkan
dengan grup dengan skor ART ≥ 2,5 (p=0,036) (Yin et al., 2016).

Gambar 3. Hubungan skor ART dan mean overall survival (OS) rate (Yin et al., 2016).

Gambar A diatas menunjukkan bahwa median overall survival (OS) rate


pasien yang akan dilakukan TACE kedua meningkat pada grup dengan skor ART
≤ 1,5 (n=79) sebanyak 25 (21,2—28,8) bulan dan 18 (14,5—21,5) bulan pada
grup dengan skor ART ≥ 2,5 (n=58) (p=0,036). Pada gambar B menunjukkan
bahwa median OS rate pasien yang akan dilakukan TACE ketiga meningkat pada
grup dengan skor ART ≤ 1,5 (n=43) sebanyak 29 (22-36) bulan dan 14 (6,4-21,6)
bulan pada grup dengan skor ART ≥ 2,5 (n=32) (p=0,011). Sedangkan gambar C
menunjukkan hubungan antara setiap penghitungan skor ART dan OS sebelum
TACE keempat dengan median OS pada grup dengan skor ART ≤ 1,5 (n=27)
24,3 (8,2-40,4 bulan) dan 22 (11,8-32,3) bulan. Gambar D merupakan hubungan
dari setiap skoring ART dan OS sebelum dilakukan TACE kedua pada pasien
(Yin et al., 2016).
Menurut skor ART, TACE dapat diulang apabila skor ≤ 1,5 tetapi
perpindahan modalitas dari TACE ke modalitas lain termasuk sorafenib dapat

11
dipertimbangkan apabila terjadi progresifitas penyakit setelah dua sesi TACE
(Omata, 2017).

Gambar 4. Strategi dalam mengulang TACE menggunakan skor ART (Hucke et al., 2014).

Skor ART dapat digunakan untuk memprediksi hasil sesi TACE ketiga
dan keempat. Setelah TACE pertama, dapat dilakukan monitoring dan selanjutnya
menilai skor ART. Apabila skor ART ≤1,5 maka dapat dilakukan pertimbangan
untuk TACE kedua dengan perkiraan hasil yang baik. Setelah TACE kedua, maka
skor ART akan dinilai kembali untuk melihat apakah TACE ketiga memperbaiki
prognosis, dan seterusnya (Hucke et al., 2014).
Setelah TACE kedua, faktor Child-Pugh dapat berdiri sendiri sebagai
faktor prediktor. Dari analisis data yang dilakukan, pasien dengan skor Child-
Pugh B >8 yang menerima TACE ketiga memiliki prognosis yang lebih buruk
walaupun penilaian skor ART sebelum dilakukan TACE ketiga baik (≤ 1,5).
Tetapi bila skor ART ≥ 2,5 setelah TACE maka harus dipertimbangkan terapi
lainnya seperti terapi sistemik dengan Sorafenib. Sampai saat ini belum ada
batasan pasti berapa kali TACE dapat dilakukan (Hucke et al., 2014).
Skor ART sendiri masih memiliki banyak kontroversi dan oleh karena itu.
Belakangan juga dikembangkan skor ABCR (α-fetoprotein (AFP), Barcelona
Clinic Liver Cancer (BCLC), Child-Pugh, and response) untuk menilai apakah
pasien KHS akan memiliki keuntungan dari terapi TACE berulang. Kedepannya
akan diperlukan banyak penelitian validasi eksternal untuk skor-skor tersebut
(Kloeckner, 2017).

RINGKASAN
Skor ART Assessment for Re-treatment (ART) merupakan sistem skoring
baru yang non-invasif, obyektif, diterima secara luas dalam menilai re-treatment
TACE. Skor ini dapat digunakan untuk menentukan apakah TACE berguna bila

12
dilakukan kembali pada pasien KHS setelah TACE pertama dan untuk menilai
prognosis apabila pasien dilakukan re-treatment dengan TACE. Hasil penelitian
menyatakan penggunaan skor ART pada proses terapi TACE ulang berpengaruh
terhadap median overall survival rate.

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society, 2017. Cancer Facts & Figures 2017. American Cancer
Society, p. 5.
Anon, 2015. Hepatoma. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing, pp. 244-249.
Arizumi T, 2015. Effectiveness of Sorafenib in Patients with Transcatheter
Arterial Chemoembolization (TACE) Refractory and Intermediate-Stage
Hepatocellular Carcinoma. Liver Cancer , p. 253–262.
Basile A, Carrafiello G, Ierardi AM, Tsesis D & Brountzos E, 2012. Quality-
improvement guidelines for hepatic transarterial chemoembolization.
Springer Science Business Media, LLC and the Cardiovascular and
Interventional Radiological Society of Europe (CIRSE).
Cicalese L, 2018. Hepatocellular Carcinoma. [Online] Available at
https://emedicine.medscape.com/article/197319 [Accessed February
2018].
European Association for the Study of the Liver, 2011. EASL–EORTC Clinical
Practice Guidelines: Management of hepatocellular carcinoma. EASL
Journal of Hepatology.
European Association for the Study of the Liver, 2012. EASL–EORTC Clinical
Practice Guidelines: Management of hepatocellular carcinoma. EASL
Journal of Hepatology 2012 vol. 56, p. 908–943.
Hucke F, Sieghart W & Pinter M, 2014. The ART-strategy: Sequential assessment
of the ART score. Journal of Hepatology 2014 vol. 60, p. 118–126.
Husodo B, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI. Jakarta: Interna
Publishing.
Kloeckner R, Pitton MB, Dueber C, Schmidtmann I, Galle PR, Koch S, Worns
MA, Weinmann A, 2017. Validation of Clinical Scoring Systems ART and
ABCR after Transarterial Chemoembolization of Hepatocellular
Carcinoma. Journal of Vascular and Interventional Radiology 2017
vol.28, p. 94-102.
Kokudo N, Hasegawa K & Masaaki A, 2015. Evidence-based Clinical Practice
Guidelines for. Hepatology Research vol.45, p. 123–127.
Kudo M, 2014. JSH Consensus-Based Clinical Practice Guidelines for the
Management of Hepatocellular Carcinoma: 2014 Update by the Liver
Cancer Study Group of Japan. Liver Cancer, p. 458–468.
Kudo M, 2014. Transarterial chemoembolization failure/refractoriness: JSH-
LCSGJ criteria 2014 update. Oncology, pp. 22-31.
Kudo M, 2015. Locoregional Therapy for Hepatocellular Carcinoma. Hati
Cancer, pp. 163-164.
Lencioni R, 2016. Lipiodol Transarterial Chemoembolization. Hepatology.

13
Omata M, 2017. Asia-Pacific clinical practice guidelines on the management of
hepatocellular carcinoma: a 2017 update. Hepatol Int, p. 317–370.
Shin SW, 2009. The Current Practice of Transarterial Chemoembolization for The
Treatment of Hepatocellular Carcinoma. Korean J Radiol 2009 vol.10, pp.
425-434.
Sieghart W, Hucke F & Peck-Radosavljevic M, 2015. Transarterial
chemoembolization : Modalities, indication, and patient selection. EASL
Journal of Hepatology.
White JA, Grey SA, Li P, Simpson HN & McGuire BM, 2017. Current Guidelines
for Chemoembolization for Hepatocellular Carcinoma: Room for
Improvement?. Hepatology Communications Vol.1 no.4 2017.
Yin W, Ye Q, Wang F, Liang J & Xu B, 2016. ART score and hepatocellular
carcinoma: An appraisal of its applicability. Clinics and Research in
Hepatology and Gastroenterology.

14

Anda mungkin juga menyukai