Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus 1

Tanggal

ACC Supervisor

dr. Muhammad Riswan, SpPD-KHOM

Manajemen Nyeri pada penderita Hepatocellular carcinoma


Muhammad Haris, Desi Salwani*, Muhammad Riswan*, Azzaki Abubakar**,
Fauzi Yusuf**
*Divisi Hemato Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
**Divisi Gastro Entero Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh

ABSTRAK
Hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan kanker paling sering keenam diseluruh dunia dan peringkat ketiga penyebab kematian karena
kanker. Kurang lebih tiga-petempat dari kasus di Asia karena tingginya
prevalensi infeksi kronis virus hepatitis B (HBV). Nyeri perut bagian kanan
atas adalah salah satu gejala yang paling umum dan utama pada penderita
HCC. Pengobatan nyeri pada pasien HCC diawali dengan penilaian yang
komprehensif dari karakteristik klinis nyeri
Dilaporkan kasus seorang laki laki 61 tahun telah didiagnosa dengan
Hepatocellular carcinoma sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit, sesuai
dengan Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) pasien menderita
Hepatocellular carcinoma stage D dengan penatalaksaan berupa tatalaksana
paliatif dan suportif.

Kata Kunci : BCLC, Hepatocellular carcinoma, Nyeri kanker, Paliatif, Tumor.

PENDAHULUAN
Hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan kanker paling sering keenam diseluruh dunia dan peringkat ketiga penyebab kematian karena
kanker. Kurang lebih tiga-petempat dari kasus di Asia karena tingginya
prevalensi infeksi kronis virus hepatitis B (HBV). HCC merupakan ancaman
besar bagi kesehatan di wilayah Asia. Prevalensi HCC diseluruh dunia sejalan
dengan distribusi dari virus hepatitis, dan mayoritas kasus berhubungan
dengan HBV dan virus hepatitis C (HCV). HCC mempunyai variasi luas pada
insidens penyakit berdasarkan lokasi geografis. Wilayah dengan insidens
tinggi meliputi Afika subsahara, Asia timur, dan Asia Tenggara (yaitu Cina,
Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang).1
Peran pemeriksaan penunjang dalam diagnosis HCC dapat dibagi
menjadi dua kategori utama, yang pertama yaitu pada surveilans pada
pasien dengan risiko tinggi terjadi HCC dan yang kedua adalah untuk
diagnosis HCC yang didasarkan pada hasil pemeriksaan skrining yang
abnormal. Peran yang lain adalah untuk evaluasi HCC setelah mendapatkan
terapi. 2
Nyeri perut bagian kanan atas adalah salah satu gejala yang paling
umum dan utama pada penderita HCC. Pengobatan nyeri pada pasien HCC
diawali dengan penilaian yang komprehensif dari karakteristik klinis nyeri.
Analgetik golongan opioid adalah gold standard, terdapat beberapa jenis
sediaan opioid (oral, parenteral, transdermal, transmukosal/sublingual,
rektal, spinal). Indikasi pemberian opioid harus ditentukan berdasarkan
kemampuan pasien untuk menggunakan sediaan tertentu, efikasi sediaan
analgesia yang memadai, kemudahan penggunaan bagi pasien dan keluarga,
komplikasi yang terkait, dan biaya. 3
KASUS
Seorang laki-laki 56 tahun datang ke Rumah Sakit Zainoel Abidin
Banda Aceh pada tangal 08 September 2014 dengan keluhan perut
2

membesar dan disertai nyeri perut bagian kanan atas hingga ke epigastrium,
perut membesar dan nyeri dirasakan memberat dalam 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit (SMRS), 4 bulan SMRS perut sudah dirasakan membesar
dan nyeri tetapi tidak terlalu mengganggu, saat ini nyeri dirasakan terus
menerus. Pada bulan Juli 2013 pasien sudah didIagnosa dengan HCC dan
sudah dilakukan biopsi hati dengan kesimpulan mild Liver cell dysplasia,
pasien dalam 4 bulan ini kontrol rutin di RS Swasta Medan.
Status Present dijumpai kesadaran Compos Mentis, tekanan dara
130/80mmHg, frekuensi nadi 96 kali/menit irama regular, frekuensi nafas 22
kali/menit dan suhu 37 C. Pada pemeriksaan paru didapatkan peranjakan
paru-hati di sela iga IV. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan pembesaran
hati 6cm di bawah arcus costae 8cm di bawah processus xiphoideus, tepi
tumpul, permukaan berdungkul-dungkul, konsistensi keras, nyeri tekan, serta
didapati ascites. Collateral vein (+). Pada pemeriksaan ekstremitas didapati
edema pada ekstremitas inferior kediua kaki.
Pemeriksaan laboratorium pada saat masuk RSUZA didapatkan Hb
11,9 g/dl, leukosit 8.300/uL, trombosit 308.000/uL, Ht 36%, eritrosit
4.600.000/uL, Na/K/Cl 135/4,4/99 meq/dl, ureum 19, creatinin 0,7, Bilirubin
total/direct 2,10/1,57 SGOT/SGPT : 164/60, Albumin/Globulin : 3,1/4,4 g/dl.
PT/Kontrol 21,8/12,1Pemeriksaan urinalisis tidak ditemukan kelainan.
Pada penilaian Visual Analogue Scale dengan skala 6-7
Dilakukan pemeriksaan USG dengan kesimpulan Lesi Multinoduler di
lobus kanan dan kiri hepar dengan kesan Hepatocelluler carcinoma,
pemeriksaan Alfa Feto Protein dengan hasil 1157 uI/ml. Pada pemeriksaan
Echocardiorgrafi ditemukan massa di atrium kanan dengan kesan myxoma.
Pasien didiagnosa dengan Hepatocellular carcinoma dengan Cancer
Pain + Sirosis Hepatis stadium decompensate + Myxoma.
Pasien saat masuk pasien diberikan terapi IV Aminofusin Hepar
1fls/hari, IV Cefotaxime 1g/8jam, IV Tramadol 100mg/12jam, Spironolacton
1x100mg, Lactulose syrup 3xCI, Curcuma tablet 3x1.
3

2 hari dalam masa rawatan pasien masih mengeluhkan semakin nyeri


dengan penilaian VAS dengan skala 8-9, tramadol sebagai terapi anti nyeri
diganti dengan pemberian MST 3x10mg. 5 hari masa rawatan dosis MST
dinaikkan menjadi 3x15mg. 11 hari masa rawatan MST diganti dengan
Morphine continuous drip 10mg dalam 23ml NaCl 0,9% dengan kecepatan 1
cc/jam (0,41mg morphine/jam) disertai dengan pemberian 2mg morphine IV
jika nyeri kembali dirasakan. 14 hari masa rawatan dosis morphine IV
dinaikkan mejadi 1,25mg/jam disertai dengan pemberian 2mg morphine IV
jika nteri hebat dirasakan. Selama 3 hari pemberian morphin 1,25mg/jam
pasien mengalami pengurangan nyeri dengan VAS 4-5, Pemberian morphine
dikonversi dengan Fentanyl Patch 25g/jam. Pasien pulang atas permintaan
sendiri setelah 24 hari masa rawatan dengan VAS 5-6.
DISKUSI
Hampir semua tumor di hati berada dalam konteks kejadian cedera
kronik (chronic injury) dari sel hati, peradangan dan meningkatnya
kecepatan perubahan hepatosit. Respons regeneratif yang terjadi dan
adanya fibrosis menyebabkan timbulnya sirosis, yang kemudian diikuti oleh
mutasi pada hepatosit dan berkembang menjadi Hepatocellular carcinoma
(HCC). Hepatitis B Virus (HBV) atau Hepatitis C Virus (HCV) mungkin ikut
terlibat di dalam berbagai tahapan proses onkogenik ini. Misalnya, infeksi
persisten dengan virus menimbulkan inflamasi, meningkatkan perubahan sel
dan sirosis. Sirosis selalu didahului oleh beberapa perubahan patologis yang
reversibel, termasuk steatosis dan inflamasi; baru kemudian timbul suatu
fibrosis yang ireversibel dan regenerasi nodul. Lesi noduler diklasifikasikan
sebagai regeneratif dan displastik atau neoplastik. Nodul regenerative
merupakan parenkim hepatik yang membesar sebagai respons terhadap
nekrosis dan dikelilingi oleh septa fibrosis. 4
Selain proses di atas, pada waktu periode panjang yang tipikal dari
infeksi (10-40 tahun), genom virus hepatitis dapat berintegrasi ke dalam
kromosom

hepatosit.

Peristiwa

ini

menyebabkan

(instability)

genomik

sebagai

akibat

dari

ketidak

mutasi,

seimbangan

translokasi,

dan
4

penyusunan kembali (rearrangements) pada berbagai tempat di mana


genom virus secara acak masuk ke dalam DNA hepatosit. Salah satu produk
gen, protein x HBV (Hbx), mengaktifkan transkripsi, dan pada periode infeksi
kronik, produk ini meningkatkan ekspresi gen pengatur pertumbuhan
(growthregulating genes) yang ikut terlibat di dalam transformasi malignan
dari hepatosit. 5
Gambaran klinis khas HCC dapat dikenali dengan mudah (termasuk
sakit perut dan penurunan berat badan pada pasien dengan sirosis), banyak
pasien yang didiagnosis HCC pada tahap awal, meskipun tidak memiliki
gejala atau tanda-tanda tertentu. Hal ini mungkin hasil dari program
pengawasan pada pasien dengan penyakit hati kronis. Pada tahap lanjut,
pasien dengan HCC biasanya hadir dengan gejala dan tanda-tanda khas, dan
diagnosis dapat ditegakkan dengan mudah. HCC juga sering ditemukan
berdampingan dengan sirosis, 6
Pasien dengan HCC sering tidak menyadari telah menderita penyakit
tersebut sampai tumor telah mencapai stadium lanjut. Gejala yang paling
sering dan umum adalah nyeri pada hipokondrium kanan atau pada
epigastrik. Gejala lainnya tercantum dalam table berikut :

Tabel 1 : Gejala dan tanda Hepatocellular Carcinoma. 7

Untuk
pemeriksaan

menegakkan
seperti

misalnya

diagnosis

HCC

pemeriksaan

diperlukan
radiologi,

beberapa

ultrasonografi,

computerized tomography (CT) scan, peritoneoskopi dan pemeriksaan


laboratorium. Deteksi lesi noduler hati dengan imaging tergantung pada
perbedaan yang kontras antara parenkim hati normal dan lesi noduler.
Adanya fibrosis dapat mempengaruhi sensitivitas dari modalitas imaging
sehingga dapat mengganggu deteksi dan karakterisasi tumor hati.8
Diagnosis yang akurat pada nodul hati adalah sangat penting.
Sampai tahun 2000, diagnosis HCC didasarkan pada biopsi, pendekatan ini
memiliki beberapa keterbatasan seperti penentuan lokasi nodul yang tepat
dan

risiko

komplikasi.9

Pada

tahun

2001,

sebuah

konvensi

HCC

diselenggarakan di Barcelona oleh European Association for the Study of


Liver (EASL) melaporkan untuk pertama kalinya kriteria non-invasif untuk
HCC didasarkan pada kombinasi dari imaging dan laboratorium.10
Temuan HCC pada dua imaging dianggap diagnostik, atau satu
teknik pencitraan disertai tingkat Alfa Feta Protein (AFP) di atas 400 ng/ml
dianggap sudah menegakkan diagnosis HCC. 10

Gambar 1 : Algoritma diagnostik Hepatocelullar Carcinoma. 10


Klasifikasi kanker ditujukan untuk menentukan prognosis dan
pemilihan terapi yang sesuai dengan keadaan kanker. Barcelona Clinic Liver
Cancer (BCLC) membagi klasifikasi pasien HCC menjadi 5 stage (0, A, B, C
6

dan D) yang ditujukan untuk menentukan prognostik, dan menentukan terapi


yang sesuai. Prediksi prognosis ditentukan oleh variabel yang terkait dengan
status tumor (ukuran, jumlah, invasi vaskular, N1, M1), fungsi hati (ChildPugh) dan status kesehatan (ECOG).10
Tabel 2 : ECOG Performance Status.11

Gambar

Barcelona

Clinic

Liver

Cancer

(BCLC)

staging

classification of HCC.10
7

Pasien pada tahap terminal dengan status fisik yang sangat


terganggu dan/atau beban tumor yang besar dengan gangguan fungsi hati
yang

harus

menerima

pengobatan

simptomatik

untuk

mengurangi

penderitaan pasien. Penatalaksanaan nyeri yang merupakan gejala yang


sangat

mengganggu

perlu

mendapat

perhatian

khusus

pada

pasien

penderita kanker.12
Pasien yang didiagnosis dengan kanker yang melaporkan rasa sakit
harus menjalani penilaian yang komprehensif dan penilaian ulang nyeri .
Sebisa mungkin, pasien harus terlibat dalam penilaian dan penilaian ulang
penderitaan mereka. Dalam pengaturan perawatan akut, penilaian nyeri
awal harus dilakukan pada saat masuk . Penilaian ulang nyeri harus
dilakukan pada setiap kunjungan ke pasien, pasien yang menjaga harus
diajarkan untuk menggunakan buku harian untuk memantau tingkat nyeri,
penggunaan obat, efektivitas analgesia, dan efek samping obat. Bukti
penilaian nyeri awal, penilaian ulang, dan efektivitas analgesia harus
didokumentasikan dalam buku harian penilaian nyeri pada pasien.13
Ada beberapa skala penilaian yang tersedia untuk menilai nyeri.
Peringkat nyeri dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) adalah
bagian penting dari penilaian nyeri yang telah digunakan hamper di seluruh
dunia. Cara umum lainnya penilaian nyeri adalah dengan menggunakan
Numeric Ratings Scale (NRS) dan Wong-Baker Faces Scales yang pada
umumnya digunakan pada anak-anak.14

Gambar 3 : VAS, NRS, Wong-Baker Faces Scales.14


Untuk memudahkan pengobatan nyeri, pada tahun 1986 WHO telah
mengeluarkan suatu pedoman penilaian nyeri yang sangat dikenal dan
digunakan hampir di seluruh dunia. Berdasarkan pedoman ini akan lebih
mudah untuk menatalaksana nyeri kanker. Tangga nyeri (step ladder) yang
merupakan pedoman umum untuk pengobatan nyeri kanker, sangat
membantu pengobatan nyeri dan mudah untuk dimengerti, sehingga sangat
dianjurkan untuk digunakan.15

Gambar 3 : WHO Pain Step Ladder.16


Tingkat keparahan nyeri menentukan kekuatan analgesic diperlukan
dan jenis dan penyebab rasa sakit akan mempengaruhi pilihan analgesik.
Efektifitas penggunaan tangga nyeri WHO tergantung pada keakuratan
penilaian nyeri dan penilaian ulang nyeri berdasarkan follow up regular.16

Tabel 3 : Pemilihan analgesic berdasarkan VAS dan WHO step


ladder.16

Tangga nyeri WHO menyatakan bahwa non-opioid (parasetamol dan


NSAID) harus diberikan terlebih dahulu, selanjutnya diikuti dengan opioid
lemah (kodein, tramadol) sesuai dengan hasil penilaian ulang nyeri, dan
kemudian ditingkatkan dengan menggunakan opioid kuat. WHO juga
merekomendasikan

penggunaan

obat

adjuvant

untuk

menenangkan

kekhawatiran dan kecemasan. Tiga langkah pendekatan administrasi obat


yang tepat dan dengan dosis yang tepat pada waktu yang tepat telah
terbukti efektif dalam mengatasi 45 % dari 100 % dari kasus nyeri kanker di
seluruh dunia. WHO juga menyarankan pemberian analgesik berdasarkan
waktu-waktu yang telah ditentukan, bukan berdasarkan kebutuhan pada saat
nyeri datang.13
Opioid lemah yang digunakan sebagai analgesik pada langkah 2
dari

tangga

WHO

adalah

tramadol,

kodein

dan

dihydrocodeine.

Menambahkan opioid dengan parasetamol dan/atau Non Steroid Anti


Inflamation Drug (NSAID) dapat mengurangi dosis opioid yang diperlukan
dan dapat mengurangi efek samping.

Terdapat bukti bahwa kombinasi

kodein 60mg dan parasetamol 600 - 1,000mg lebih efektif daripada


parasetamol saja pada dosis 500-1,500mg. Meningkatkan dosis obat harian
tidak

akan

meningkatkan

efek

analgesik

tetapi

akan

menghasilkan

kemungkinan terjadinya efek samping yang lebih besar.16


10

Opioid kuat yang digunakan dalam terapi paliatif di dunia adalah


morphine, alfentanyl, buprenorphine, diamorphine, fentanyl, hidromorphone,
metadone dan oxycodone. Banyaknya opioid kuat yang dipasarkan dengan
berbagai formulasi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. 16 Efek
samping yang sering timbul pada penggunaan opioid adalah konstipasi,
sedasi dan juga depresi pernafasan. Penggunaan anti emetik dan laksatif
sebagai obat pendamping sangat dianjurkan pada pasien yang telah
diberikan opioid.13
Terapi utama penggunaan opioid kuat yang digunakan adalah
morphine. Kurangnya penelitian mengenai perbandingan kualitas, efikasi dan
efek samping antara opioid yang satu dengan yang lainnya, kemudahan
mendapatkan morphine, dan familiarity penggunaan morphine membuat
penggunan morphine menjadi first line dalam terapi paliatif pada pasien
dengan nyeri pada kanker.17
Penggunaan

awal

untuk

penanganan

nyeri

dimulai

dengan

morphine kerja cepat dosis kecil, morphine sulfat (4-8mg), hydromorphone


(1-2mg), atau oxycodon (5-10mg) melalui oral setiap 4 jam. Pemberian dosis
tambahan dapat diberikan jika pasien mendadak mengeluhkan nyeri akut
(breakthrough pain) yaitu dengan pemberian opioid dengan jumlah seperti
pada dosis inisial, hal ini dapat diulangi setiap 30 menit.18
Penyesuaian

dosis

opioid

dilakukan

setiap

24

jam

seteleh

pemberian inisial opioid, yaitu dengan menjumlahkan seluruh total opioid


yang diberikan pada 24 jam, lalu total dosis tersebut dibagikan 6 (pemberian
setiap 4 jam). Dosis baru ini menjadi dosis inisial pada hari berikutnya.18
Tabel 4 : Beberapa jenis opioid kerja cepat, dosis dan sediannya. 19

11

Penggunaan opioid transdermal dianjurkan pada pasien dengan


nyeri yang stabil, transdermal fentanyl digunakan untuk pasien yang sudah
toleran terhadap opioid lain dengan dosis setara dengan 60 mg/hari
morphine oral dan tidak dibenarkan sebagai terapi awal penanganan nyeri,
fentanyl transdermal membutuhkan 12-24 jam hingga fentanyl mencapi
kerja maksimal, setiap pasien yang menggunakan fentanyl transdermal jika
mendapatkan beakthrough pain dianjurkan untuk segera diberikan opioid
kerja cepat. Transdermal fentanyl mempunyai masa kerja 72 jam, sedangkan
buprenorphine transdermal mempunyai masa kerja hingga 7 hari.18
Tabel 5 : Buprenorphine dan Fentanyl, dosis dan sediaannya. 19

12

Mengubah dari satu opioid ke opioid yang berbeda dalam upaya


untuk meningkatkan keseimbangan antara efikasi dan efek samping
penggunaan opioid untuk mencapai kontrol nyeri. Semua golongan opioid
memiliki efek samping dengan spektrum yang sama tetapi intensitas efek
samping ini dapat bervariasi di setiap individu yang menggunakan opioid
yang berbeda, dasar pemikiran untuk penggantian opioid pada pasien
hingga saat ini masih belum jelas. Efek samping, efikasi, sediaan, biaya,
keadaan penyakit, kemampuan pasien menggunakan opioid, dan kebiasaan
praktisi menggunakan opioid tertentu dibandingkan opioid lain, merupakan
pemikiran-pemikiran dasar dalam pengubahan penggunaa opioid.16,17,18
Tabel 6 : Dosis ekuivalen pengubahan opioid.19

13

KESIMPULAN
Dilaporkan kasus seorang laki-laki 61 tahun yang menderita
Hepatocellular carcinoma dengan sirosis hepatis dan myxoma, mengeluhkan
nyeri hebat di perut bagian kanan atas, sesuai BCLC pasien didiagnosa
dengan

hepatocellular

carcinoma

stage

D,

penatalaksanaan

berupa

tatalaksana paliatif dan suportif dengan prognosis yang jelek. Dilakukan


penatalaksanaan nyeri sebagai bentuk tatalaksana paliatif untuk mengurangi
penderitaan pasien

DAFTAR PUSTAKA
1. Omata M et al. Asian Pacific Association for the Study of the Liver
Consensus: Recommendations on Hepatocellular Carcinoma. 2010.
2. Moschouris H et al. Hepatocellular Carcinoma Treated with Transarterial
Chemoembolization : Evaluation with Parametric Contrast - Enhanced
Ultrasonography. World J Radiology. 2012; 4 : 379-386.
3. Mercadante S, Ripamonti C, Bruera E. Gastrointestinal Symptoms in
Advanced Cancer Patients. New York : Oxford University Press, Inc 2002;
223-234.
4. Kamel IR, Bluemke DA. Imaging Evaluation of Hepatocellular Carcinoma.
Vascular Intervention Radiologi 2002; 13 : 73-83.
5. Wu CG, Salvay DM, Forgues M, Valerie K, Farnsworth J, Markin RS, et al.
Distinctive Gene Expression Profiles Associated with Hepatitis B Virus X
Protein. Oncogene 2001; 20 : 3674-3682.
14

6. Nguyen MH, Garcia RT, Simpson PW, et al. Racial Differences in


Effectiveness of Alpha-Fetoprotein for Diagnosis of Hepatocellular
Carcinoma in Hepatitis C Virus Cirrhosis. Hepatology 2002; 36 : 410-417.
7. Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, et al. Sleisenger and Fordtrans
Gastrointestinal and Liver Disease 9th ed, Saunders Elsevier 2010; 94 :
1569-1584
8. Kim TK, Kim AY, Choi BI. Hepatocellular Carcinoma : Harmonic Ultrasound
and Contrast Agent. Abdominal Imaging 2002; 27 : 129-138.
9. Stigliano R, Marelli L, Yu D, Davies N, Patch D, Burroughs AK. Seeding
Following Percutaneous Diagnostic and Therapeutic Approaches for
Hepatocellular Carcinoma. What is the risk and the outcome?. Cancer
Treat Rev 2007; 33 : 437-447.
10. Llovet JM, Ducreux M. EASLEORTC Clinical Practice Guidelines :
Management of Hepatocellular Carcinoma, Journal of Hepatology. Elsevier
2012; 56 : 908-943.
11. Oken MM, Creech RH, Tormey DC, Horton J, Davis TE, McFadden ET,
Carbone PP. Toxicity And Response Criteria Of The Eastern Cooperative
Oncology Group. Am J Clin Oncol 1982; 5 : 649-655.
12. Bruix J, Sherman M. AASLD Practice Guideline : Management of
Hepatocellular
Carcinoma.
Wiley
InterScience
(www.interscience.wiley.com) DOI 10.1002/hep.20933 2005; 46 : 12081236.
13. Raphael J et al. Pain medicine, Palliative Care Section, Cancer Pain Part
1 : Pathophysiology, Oncological, Pharmacological, and Psychological
Treatments : A Perspective from the British Pain Society Endorsed by the
UK Association of Palliative Medicine and the Royal College of General
Practitioners; Willeys Periodicals Inc 2010; 11 : 742-764.
14. Borda AP, Charnay-Sonneck F, Fonteine V, Pappaioanou EG. Guidelines
on Pain Management & Palliative Care; European Association of Urology
2013; 3 : 10-26
15. Harsal A et al. Penanggulangan Nyeri Pada Kanker. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V; PB PAPDI 2011; 236 : 1512-15
16. Control Pain in adults with cancer : National Clinical Guidelines;
Scottish Intercollegiate Guidelines Network 2008. Available at :
http://www.sign.ac.uk/pdf/SIGN106.pdf
17. Hanks G, Conno F, Cherny N, Hanna M, Kalso E, McQuay, et al. Expert
Working Group of the Research Network of the European Association for
Palliative Care. Morphine and Alternative Opioids in Cancer Pain;
European Association for Palliative Care Recommendations 2001; 84 :
587-593.
18. Palliative Care. Care Management Guidelines : Pain Managemment;
Australia Departement of Health and Human Services 2010; available
at :
http://www.dhhs.tas.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/36951/Pain_Mana
gement_Final211209_PCSSubComm.pdf
15

19. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current Medical Diagnosis &
Tratment; McGraw-Hill 2013; 5 : 74-85

16

Anda mungkin juga menyukai