Anda di halaman 1dari 20

Reading Assignment Supervisor

Divisi Endokrin Metabolik Diabetik

FK-UNSYIAH-RSUDZA

Diagnosis dan Tatalaksana Osteoporosis


Muhammad Haris
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Endokin Metabolik Diabeti
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Syiah Kuala/RSUD Zainoel Abidin
Banda Aceh

PENDAHULUAN
Di negara berkembang insidensi penyakit degeneratif terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan bertambah usia harapan
hidup ini, maka penyakit degeneratif dan metabolik juga meningkat, seperti
penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, dislipidemia, dan
termasuk osteoporosis. Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh
negara dan menjadi isu global di bidang kesehatan.1
Osteoporosis adalah sebuah penyakit tulang yang di tandai oleh penurunan
pembentukan matrik dan peningkatan resorpsi tulang sehingga terjadi penurunan
massa dan densitas tulang serta gangguan arsitektur tulang normal.2 Berkurangnya
kekuatan tulang, maka risiko terjadinya fraktur akan meningkat . World Health
Organization (WHO) memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit
degeneratif utama di dunia. Tercatat bahwa terdapat kurang lebih 200 juta pasien
di seluruh dunia yang menderita osteoporosis.1
Angka kejadian osteoporosis yang tinggi menjadi masalah bagi sistem
pelayanan kesehatan karena angka kejadiannya semakin meningkat dengan
bertambahnya usia, serta masyarakat mengadopsi pola hidup yang tidak sehat,
berkurangnya aktifitas fisik, dan diet yang tidak seimbang.1
Prevalensi osteoporosis di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Untuk
memberikan gambaran umum terjadinya osteoporosis di Indonesia, telah
dilakukan tes saring menggunakan ultrasound bone density yang diadakan pada

1
tahun 2002 di 5 kota besar. Hasilnya menunjukan bahwa dari keseluruhan
masyarakat yang dilakukan tes saring, 35% menunjukkan hasil yang normal, 36%
menunjukkan adanya osteopenia, sedangkan 29% telah terjadi osteoporosis.1
Di Indonesia hasil analisis data risiko Pusat Penelitian dan Pengembangan
Gizi Departemen Kesehatan menunjukkan saat ini 41,8% laki-laki dan 90%
perempuan Indonesia memiliki gejala osteoporosis. Sedangkan 28,8% laki-laki
dan 32,3% perempuan di Indonesia sudah terkena pengeroposan tulang.
Sedangkan 2 dari 5 orang di Indonesia berisiko terkena osteoporosis.3
Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap
memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis.Sama seperti pada wanita, penyakit
osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya, laki-laki tidak
mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat. Resiko fraktur
akibat osteoporosis meningkat secara eksponensial berkaitan dengan usia.3,4

DEFINISI
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang
menjadi rapuh dan mudah patah.2,5,6
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di
Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa
massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan
penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat
meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang.6

Gambar 1. Perbedaan tulang normal dan osteoporosis.7

2
Pada tahun 2001, National Institute Of Health (NIH) mengajukan definisi
baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik ditandai oleh Compromised
bone strength sehingga tulang mudah patah.6

EPIDEMIOLOGI
Di negara Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia diatas 50 tahun
menderita osteoporosis dan hampir 34 juta dengan penurunan massa tulang yang
selanjutnya berkembang menjadi osteoporosis. 4 dari 5 orang penderita
osteoporosis adalah wanita. Di Cina, osteoporosis mencapai proporsi epidemik,
terjadi peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun. Pada tahun 2002 angka
prevalensi osteoporosis adalah 16,1%. 7
Prevalensi osteoporosis di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Untuk
memberikan gambaran umum terjadinya osteoporosis di Indonesia, telah
dilakukan tes saring menggunakan ultrasound bone density yang diadakan pada
tahun 2002 di 5 kota besar. Hasilnya menunjukan bahwa dari keseluruhan
masyarakat yang dilakukan tes saring, 35% menunjukkan hasil yang normal, 36%
menunjukkan adanya osteopenia, sedangkan 29% telah terjadi osteoporosis.8
Di Indonesia hasil analisis data risiko Pusat Penelitian dan Pengembangan
Gizi Departemen Kesehatan menunjukkan saat ini 41,8% laki-laki dan 90%
perempuan Indonesia memiliki gejala osteoporosis. Sedangkan 28,8% laki-laki
dan 32,3% perempuan di Indonesia sudah terkena pengeroposan tulang.
Sedangkan 2 dari 5 orang di Indonesia berisiko terkena osteoporosis.9
Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap
memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis.Sama seperti pada wanita, penyakit
osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya, laki-laki tidak
mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat. Resiko fraktur
akibat osteoporosis meningkat secara eksponensial berkaitan dengan usia.9

ETIOLOGI
Osteoporosis terbagi dua kelompok, osteoporosis primer (involusional) dan
osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer tidak diketahui penyebabnya,
sedangkan pada osteoporosis sekunder yang diketahui penyebabnya. 6

3
Osteoprosis primer terbagi 2, yakni osteoporosis tipe 1 (osteoporosis pasca
menopause) yang disebabkan defisiensi estrogen dan osteoporosis tipe 2
(osteoporosis senelis) yang oleh gangguan absopsi kalsium di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya
osteoporosis.6
Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang
disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian
obat yang mempercepat pengeroposan tulang. Penyebab utama dari osteoporosis
sekunder adalah penggunaan obat glukokortikoid. Keadaan ini berhubungan
dengan pemakaian glukortikoid meluas sebagai obat antiinflamasi dan sebagai
obat imunosupresi. Risiko pemberian glukortikoid jangka lama sangat tergantung
dengan dosis perhari, lamanya pemberian, jenis kortikosteroid dan dosis kumulatif
total.6 Pasien yang mendapat glukortikoid jangka lama, 50% mengalami fraktur
traumatik selama periode 1 tahun pertama pemberian glukortikoid. Bone loss
lebih cepat timbul pada bulan pertama setelah pemberian.9

FAKTOR RESIKO
A. Dapat dikendalikan
1. Aktifitas fisik
Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi kalsium yang tinggi dan
pembentukan tulang tidak maksimum, dengan olah raga otot akan memacu
tulang untuk membentuk massa. Aktivitas fisik harus mempunyai unsur
pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang
untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen.10
2. Status Gizi
Perawakan kurus cenderung memiliki bobot tubuh ringan merupakan
faktor risiko terjadinya kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif
terjadi bila berat badan meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat.10
3. Konsumsi Kalsium
Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen
mineral utama pembentuk tulang. Penyimpanan dalam tulang akan mencapai
puncaknya (Peak Bone Mass/PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode
PBM ini jika massa tulang tercapai dengan kondisi maksimal akan dapat

4
menghindari terjadinya osteoporosis pada usia berikutnya. Pencapaian PBM
menjadi rendah jika individu kurang konsumsi Ca.11
4. Kebiasaan merokok
Nikotin mempercepat penyerapan tulang dan juga membuat kadar dan
aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan sel
tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pembentukan tulang.11
5. Penyakit tertentu
Pemakaian insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang
sehingga meningkatkan pembentukan kolagen, orang yang kekurangan
insulin atau resistensi insulin akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol yang
buruk pada penderita diabetes akan memperberat metabolisme vitamin D dan
osteoporosis. Beberapa penyakit lain yaitu gagal ginjal kronik, gagal jantung
kronik, lupus, rhematoid arthritis dan lain sebagainya.10
6. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka kecil pada dinding lambung.
Ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium dalam
darah yang dapat menurunkan massa tulang dan dapat menyebabkan
osteoporosis.11
7. Minuman soda dan berkafein
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein).
Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang,
sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin.10
8. Obat-obatan
Heparin, antikonvulsan, glukokortikoid, obat kemoterapi, lithium dan lain
ebagainya dapat menyebabkan osteoporosis.14,15 Obat yang paling sering
menyebabkan osteoporosis adalah glukokortikoid.6

B. Tidak dapat dikendalikan


1. Riwayat Keluarga
Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita
osteoporosis. Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan
densitas tulang.10

5
2. Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak
usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat
terjadi pada usia 45 tahun.10
3. Usia
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35
tahun. Patah tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada
laki-laki patah tulang baru meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa
tulang sampai 3 - 6% pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama
pascamenopause.10
4. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena
osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan
Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam.
Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih
Amerika.10

KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
1. Osteoporosis primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya.
Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer menjadi 2 tipe.
Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause yang disebabkan
oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga
osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya
osteoporosis. Namun pada sekitar tahun 1990, Riggs dan Melton memperbaiki
hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat
berperan pada osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.9
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya,
yaitu terjadi karena adanya penyakit lain yang mendasari, defisiensi atau
konsumsi obat yang dapat menyebabkan osteoporosis. 9

6
PATOGENESIS
Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas,
sedangkan osteoklas bertanggung jawab untuk penyerapan tulang. Pada
osteoporosis akan terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses
penyerapan tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan
tulang (bone formation).12
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan massa tulang vertebra
sebesar 42% dan kehilangan massa tulang femur sebesar 58%. Pada dekade ke-8
dan 9, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang
meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan
peningkatan resiko fraktur.6

Gambar 2. Patogenesis osteoporosis pasca menopause.6


Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada
dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur
vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan
produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel
mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja
osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan

7
meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas
meningkat. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause,
maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis
akan semakin berat. 6
Defisiensi calsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal
ini disebabkan oleh asupan calsium dan vitamin D yang kurang, anorexia,
malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga
akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein
tulang misalnya osteocalsin. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada
laki-laki akan menyebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah
mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka
kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi.
Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun
sedangkan kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat.
Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron
membentuk complex yang inaktif. 7
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada
orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
immobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko
terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda.
Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan
dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata. 7
Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan
menyebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause
(penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang
besar seperti pada wanita jarang terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar
testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar Sex Hormone Binding
Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan
pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif.6

DIAGNOSIS
Osteoporosis merupakan silent desease, kadang-kadang tidak memberikan
tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi.11 Biasanya massa tulang yang

8
sudah berkurang 30 - 40% baru dapat terdeteksi dengan pemeriksaan X-ray
konvensional. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, BMD, pencitraan dan penilaian risiko patah tulang
dalam 10 tahun kedepan.13

1. Menilai faktor risiko


Penggunaan BMD saja untuk menentukan risiko patah spesifitasnya tinggi
namun kurang sensitif. Kurang sensitifitas mengacu pada asumsi bahwa sebagian
besar fraktur pada osteoporosis akan terjadi pada individu dengan nilai BMD
diatas ambang osteoporosis.13 Terutama pada osteoporosis akibat glukokortikoid,
karena patah tulang pada pasien yang menerima glukokortikoid dapat terjadi tanpa
berhubungan dengan penurunan massa tulang.14
Saat ini banyak guideline merekomendasikan penggunaan FRAX® dalam
membantu menegakkan diagnosis untuk terapi dan pencegahan osteoporois.13
Beberapa faktor risiko telah dimasukkan dalam daftar WHO untuk menilai risiko
terjadinya fraktur kedepan. Penggunaan grafik faktor risiko tersebut dibuat
berdasarkan epidemiologi masing-masing negara. Grafik untuk penilaian risiko
tiap negara dapat dilihat di www.shef.ac.uk/FRAX®.15

Gambar 3. Frax® indonesia.15

9
FRAX® tidak hanya menyediakan informasi untuk pencegahan dan
pengobatan osteoporosis, tetapi juga membantu untuk menghindari fraktur
berikutnya atau sekuel yang didapat dari osteoporosis berat. Item terakhir dalam
kuesioner diisi bila ada BMD, Jika BMD tidak tersedia, kemungkinan risiko patah
tulang masih dapat dihitung tanpa BMD. National Osteoporosis Guideline Group
(UK) merekomendasikan penggunaan FRAX® pada keadaan:13
- Jika risiko patah tulang rendah, sarankan perubahan gaya hidup, diet dan
olahraga yang diberikan tanpa penggunaan obat-obatan.
- Jika risiko tinggi direkomendasikan pengobatan.
- Jika risikonya menengah, maka diindikasikan DXA (Dual Energy X-ray
Absorptiometry). Risiko FRAX® kemudian dihitung ulang dan dinilai
pilihan penggunaan obat-obatan.

2. Evaluasi klinis
Evaluasi klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.14
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan sehingga pada awalnya osteoporosis
tidak menimbulkan gejala.16 Pada tahap lanjut, jika kepadatan tulang sangat
berkurang sehingga tulang menjadi rusak, maka akan timbul nyeri kelainan
bentuk. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami patah secara spontan atau
cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah
tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau
berjalan. Tulang belakang yang rusak akan membentuk kelengkungan yang
abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan
otot dan nyeri.17 Patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul.
Tulang lain yang rentan terjadi fraktur adalah korpus vertebra, pelvis, femur, dan
tulang penyangga beban lainnya.18

3. Pemeriksaan Radiologis
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks
dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang
vertebra.6 Patah tulang belakang tanpa riwayat trauma sudah dapat menegakkan
diagnosa osteoporosis, bahkan tanpa BMD dan merupakan indikasi terapi
farmakologis. Adanya patah tulang belakang tunggal meningkatkan risiko patah

10
tulang belakang berikutnya sampai 5 kali lipat, sedangkan risiko patah tulang
pinggul kedepannya 2-3 kali lipat.19

4. Penentuan masa tulang


Pengukuran massa tulang merupakan salah satu alat diagnosis yang sangat
penting.,10 Diagnosis osteoporosis ditegakkan dengan pengukuran BMD atau
terjadinya patah tulang belakang maupun pinggul dengan tanpa trauma berat.6
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas maasa tulang
adalah single photon absorptiometry (SPA), single energy X-ray absorptiometry
(SPX), dual photon absorptiometry (DPA), dual energy X-ray absorptiometry
(DPX), quantitative computed tomography (QCT) dan quantitative ultrasound
(QUS).6. Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun
osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DXA (Dual Energy X-ray
Absorptiometry), yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur,
radius distal, atau seluruh tubuh.10
DXA akan memberi informasi densitas mineral tulang pada area tertentu
dalam gram/cm2. Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan
dengan kadar rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang
sama, yang disebut dengan T score dalam %, sedangkan perbandingan kadar
rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral
tulang orang dengan umur dan etnis yang sama, disebut Z Score dalam %.10
Ada empat kategori tingkat densitas tulang berdasarkan T-score.14
1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1
selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di
bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score ≥ -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral
tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi
tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rerata orang dewasa, atau 10 -
25% di bawah rata-rata (T-score -1 s/d - 2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah
nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-
score ≤ 2,5 SD).

11
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih
dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah
rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang
osteoporosis (T-score ≤-2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang
osteoporosis).
Indikasi untuk pemeriksaan BMD:14
- Wanita berusia lebih dari 65 thn dan laki-laki berusia lebih dari 70 thn
tanpa memperhatikan faktor risiko apapun.
- Wanita pasca menopause dini, wanita dalam masa transisi menuju
menopause, laki-laki berusia antara 50 – 69 thn faktor risiko klinis
terjadinya fraktur.
- Orang dewasa dengan keadaan tertentu (misalnya rhematoid arthritis) atau
sedang mengkonsumsi obat-obatan (misalnya glukokortikoid dengan dosis
perhari ≥ 5 mg prednisolon atau ekuivalennya ≥ 3 bln) yang
mengakibatkan penurunan massa tulang.

PENATALAKSANAAN
Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti
resorptif) dan/atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun
demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang
termasuk golongan obat anti resoprtif adalah esterogen, anti esterogen, bisfosfat
dan kalsitonin, sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Na-flurida,
paratiroid hormone (PTH) dan lain sebagainya, Kalsium dan vitamin D tidak
mempunyai anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk
optimalisasi mineralisasi osteosid setelah proses formasi oleh osteoblas.
Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat
menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.20
Tujuan utama terapi dan pencegahan osteoporosis adalah mencegah
berlanjutnya kehilangan massa tulang dan terjadinya fraktur serta nyeri. Terapi
umumnya bergantung pada derajat BMD. Umumnya semakin rendah BMD
seseorang maka semakin besar resiko menderita fraktur:21

12
a. Terapi Non farmakologis
Strategi nonfarmakologi mencakup gaya hidup, asupan vitamin D dan
kalsium, menghentikan rokok dan alkohol, penguatan otot dan olah raga,
menciptakan lingkungan yang aman adalah cara-cara untuk mencegah
osteoporosis.10, 14, 19

1. Kalsium
Asupan kalsium diperoleh dari makanan sehari hari maupun suplemen.
- Laki-laki dan wanita berusia 19 – 49 thn disarankan mengkonsumsi
kalsium 800-1200 mg/hari.
- Laki-laki dan wanita ≥ 50 thn disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.
- Hamil dan menyusui disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.

2. Vitamin D
Kombinasi kalsium dan vitamin D disarankan hampir disemua guideline
manajemen osteoporosis, dosis yang dianjurkan ≥ 600 IU/hari telah dibuktikan
mampu mencegah osteoporosis.17

3. Olah raga dan berat badan


Imobilisasi merupakan penyebab rapuh tulang. Jumlah latihan yang optimal
pasien dengan osteoporosis tidak diketahui, tetapi latihan beban secara teratur
merupakan komponen integral dari manajemen osteoporosis dan disesuaikan
dengan pasien. Latihan yang dianjurkan meliputi berjalan, jogging, Tai-Chi,
memanjat tangga, menari, tenis. yoga, pilates. Berat badan rendah dan diet yang
berlebihan berhubungan dengan status mineral tulang yang rendah dapat
meningkatkan risiko patah tulang. Indeks massa tubuh tidak kurang dari 19 kg/m 2
direkomendasikan untuk pencegahan osteoporosis.22

4. Mencegah jatuh
Sebagian besar patah tulang osteoporosis, terutama pada orang tua, karena
densitas tulang yang rendah dan jatuh.14

5. Menghentikan rokok, alkohol dan asupan kafein


Asupan kafein menyebabkan penyerapan kalsium usus menurun dan
meningkatkan ekskresi kalsium urin. Anjuran untuk membatasi kafein kurang dari

13
1 sampai 2 porsi (240-360 ml dalam setiap porsi) minuman berkafein per hari.
Asupan alkohol lebih dari dua gelas per hari untuk wanita atau tiga gelas sehari
untuk pria merugikan kesehatan tulang dan meningkatkan risiko jatuh.14 Merokok
ternyata juga dapat menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna.6 National
Osteoporosis Foundation sangat mendorong menghentikan rokok sebagai bagian
dari intervensi osteoporosis.23

b. Terapi Farmakologis
National Osteoporotic Foundation (NOF) merekomendasikan bahwa terapi
farmakologis hanya dilakukan untuk wanita menopause dan pria berusia 50 tahun
atau lebih yang memiliki keadaan berikut: 23
• Fraktur panggul atau vertebra
• T-score -2.5 atau kurang pada leher femoralis atau vertebra setelah
evaluasi yang tepat untuk menyingkirkan penyebab sekunder
• Massa tulang yang rendah (T-score -1.0 antara -2.5 dan di leher femoralis
atau tulang belakang) dan probabilitas 10 tahun patah tulang pinggul
sebesar 3% atau lebih.
American College of Physicians merekomendasikan obat-obat berikut, yang
dikonsumsi dengan memperhatikan adekuasi intake kalsium dan vitamin D: 24
• Bifosfonat
• Raloxifene
• Kalsitonin
• Denosumab
• Teriparatide (rekombinan hormon paratiroid manusia)

1. Bifosfonat
Bifosfonat adalah kelas obat yang dapat mencegah hilangnya massa tulang,
digunakan untuk mengobati osteoporosis dan penyakit serupa. Bifosfonat adalah
obat yang paling sering diresepkan untuk mengobati osteoporosis.25
Bifosfonat terbagi menjadi 2 kategori yaitu nitrogenous dan non-
nitrogenous. Bifosfonat bekerja dengan cara menghancurkan osteoklas. Bifosfonat
non-nitrogendimetabolisme dalam sel menjadi senyawa yang menggantikan
pirofosfat bagian terminal dari ATP, membentuk molekul non-fungsional yang

14
bersaing dengan adenosine triphosphate (ATP) dalam metabolisme energi sel.
Akibatnya, osteoklas mengalami apoptosis, yang menyebabkan penurunan secara
keseluruhan dalam resorpsi tulang.26

Gambar 4. Mekanisme kerja biphosphonate.28


Bifosfonat nitrogenus bekerja dengan cara mengikat dan menghalangi
enzim sintase farnesyl difosfat (FPPS) di jalur HMG-CoA reduktase . Gangguan
FPPS mencegah pembentukan dua metabolit yaitu farnesol dan geranylgeraniol
yang penting untuk menghubungkan beberapa protein kecil ke membran sel.
Fenomena ini dikenal sebagai prenilasi. Prenilasi atas protein spesifik bernama
Ras, Rho, dan Rac, mendasari mekanisme kerja bifosfonat nitrogenous yang
mempengaruhi sitoskeleton dari osteoklas menyebabkan kerapuhan ketahanan sel
osteoklas, dan juga proses pembentukan osteoklas. Contoh obat dari golongan ini
adalah Olpadronate, Neridronate Pamidronate, Alendronate, Risedronate, dan
Zoledronate.26
- Alendronate 10 mg/hari, diberikan selama 3 tahun dengan pemantauan tiap
tahunnya, dapat diberikan selama 10 thn bila ada indikasi. Alendronate
merupakan terapi lini pertama osteoporosis.27
- Risedronate 35 mg perminggu. Aman dan efektif diberikan pada pasien
dengan gangguan ginjal moderate.27
- Asam zoledronic 5 mg intravena pertahun diindikasikan untuk pencegahan
patah tulang pada pasien yang baru mengalami patah tulang pinggul
karena trauma ringan. Diindikasikan juga pada wanita pasca menopause

15
dan meningkatkan masa tulang pada pria, sebagai terapi dan pencegahan
pada penderita yang menggunakan glukokortikoid dalam 1 thn terakhir.14

2. Raloxifene
Raloxifene merupakan selective estrogen receptor modulator (SERM).
Raloxifene memiliki sifat estrogenik pada tulang dan anti-estrogenik pada rahim
dan payudara. Raloxifene digunakan dalam pencegahan osteoporosis pada wanita
pascamenopause dan untuk mengurangi risiko kanker payudara pada wanita
postmenopause dengan osteoporosis.29

3. Kalsitonin
Kalsitonin meruakan hormon yang diproduksi oleh sel paraffolikular dari
kelenjar tiroid. Dalam bentuk obat, sumber kalsitonin diambil dari kelenjar
ultimobrankial ikan Salmon. Kalsitonin berperan dalam metabolisme kalsium dan
metabolisme fosfor. Secara garis besar, kalsitonin merupakan antagonis PTH.
Secara spesifik, kalsitonin menurunkan kalsium darah dengan mekanisme: 30
- Menghambat penyerapan kalsium oleh usus
- Menghambat aktivitas osteoklas pada tulang
- Merangsang aktivitas osteoblastik pada tulang.
- Menghambat reabsorpsi kalsium pada sel tubulus ginjal yang
memungkinkan untuk diekskresikan dalam urin

4. Denosumab
Denosumab merupakan antibodi monoklonal untuk perawatan osteoporosis.
Denosumab menghambat pematangan osteoklas dengan mengikat dan
menghambat RANKL. Hal ini meniru mekanisme osteoprotegerin yang merupaka
inhibitor RANKL endogen, yang konsentrasi dan afinitasnya menurun pada
pasien yang menderita osteoporosis. Hal Ini melindungi tulang dari degradasi, dan
membantu untuk melawan perkembangan osteoporosis.31

5. Teriparatide
Teriparatide merupakan bentuk rekombinan dari PTH. Teriparatide efektif
sebagai agen anabolik tulang dan juga dapat digunakan untuk mempercepat
penyembuhan fraktur. 31

16
Teriparatide merupakan satu-satunya agen anabolik yang tersedia untuk
pengobatan osteoporosis. Hal ini diindikasikan untuk pengobatan wanita dengan
osteoporosis postmenopause yang berisiko tinggi fraktur, yang telah toleran terapi
osteoporosis sebelumnya, atau pengobatan osteoporosis telah gagal untuk
meningkatkan massa tulang. Hal ini ditunjukkan pada pria dengan osteoporosis
idiopatik atau hipogonadisme yang berisiko tinggi fraktur, yang telah toleran
terapi osteoporosis sebelumnya, atau di antaranya terapi osteoporosis telah gagal.
Teriparatide juga disetujui untuk pengobatan pasien dengan glucocorticoid-
induced osteoporosis. Sebelum pengobatan dengan teriparatide, kadar kalsium
serum, PTH, dan vit. D perlu dipantau. 31
Teriparatide tidak dapat diberikan selama lebih dari 2 tahun. Terapi ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia yang sudah ada
sebelumnya, gangguan ginjal berat, kehamilan, ibu menyusui, riwayat metastasis
tulang atau keganasan tulang, dan pasien yang berada pada risiko dasar meningkat
untuk osteosarcoma termasuk mereka dengan penyakit Paget, peningkatan alkali
fosfatase, anak-anak dan orang dewasa muda dengan epifisis terbuka atau riwayat
radioterapi sebelumnya. 31

EVALUASI TERAPI
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pengukuran densitometri
setelah 1 – 2 thn pengobatan. Pengobatan dianggap berhasil bila tidak terjadi
penurunan densitas masa tulang.6 Petanda biokimia tulang dapat menilai hasil
pengobatan lebih cepat, yaitu dalam waktu 3 - 4 bln setelah pengobatan.14
Gambaran radiologi pasca terapi pada patah tulang vertebra merupakan pilihan
monitoring untuk melihat ada tidaknya patah tulang yang baru.17

KESIMPULAN
Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai
oleh menurunnya massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan
mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan
tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi
kecendrungan tulang mudah patah. Osteoporosis lebih banyak diderrita oleh
wanita dari pada laki-laki.

17
Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas
(osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab untuk
penyerapan tulang. Pada osteoporosis akan terjadi abnormalitas bone turn
over, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption) lebih
banyak dari pada proses pembentukan tulang (bone formation), yang berperan
dalam terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah
dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas
(sel pembentuk tulang).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pasien secara rinci berkaitan
dengan faktor risiko klinis patah tulang karena osteoporosis dan jatuh.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan terkait diagnostik untuk mengevaluasi tanda
osteoporosis dan penyebab sekunder.
Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti
resorptif) dan/atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Tujuan
utama terapi dan pencegahan osteoporosis adalah mencegah berlanjutnya
kehilangan massa tulang dan terjadinya fraktur serta nyeri

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardhana, W. Faktor-faktor resiko osteoporosis pada pasien dengan usia


diatas 50 tahun. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012.
2. Sjamsuhidayat, R. Buku ajar ilmu bedah . Ed-3. Jakarta; EGC.2010.
Hal;1002-1004.
3. Hadji P, Klein S, Gothe H, Häussler B, Kless T, Schmidt T et al. The
Epidemiology of Osteoporosis—Bone Evaluation Study (BEST). An
Analysis of Routine Health Insurance Data. Dtsch Arztebl Int 2013; 110(4):
52−7.
4. Petty SJ, TJ O'Brien, Wark JD. Anti-epileptic medication and bone
health.Osteoporos Int. 2007 February; 18 (2): 129-42
5. Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Cetakan keenam. 2009.
Jakarta. Yarsif Watampone. Hal 6-11,
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF,
editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Interna publishing;
2014. Chapter 37, penyakit skeletal; p. 3423-522Lindsay R CFOIFA,
Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Osteoporosis.
In: Fauci AS Be, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al.,
editor. Harrison’s principle of internal medicine 17 ed: Mc Grow-Hill USA;
2008. p. 2397-408.
7. Broto, R. 2004. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis. Dexa
Media No. 2 Vol 17: 47 – 57
8. Djokomoeljanto R, 2003. Postmenopausal osteoporosis. Patofisiologi dan
dasar pengobatan. Simposium Osteoporosis Postmenopausal. Semarang:
p.1-12
9. Pereira RM, Carvalho JF, Paula AP, Zerbini C, Domiciano DS, Gonçalves H
et al. Guidelines for the prevention and treatment of glucocorticoid induced
osteoporosis. Rev Bras Reumatol. 2012 Aug;52(4):580-93.
10. Cosman F, Lindsay R, LeBoff MS, Jan de Beur S, Tanner B. National
Osteoporosis Foundation. Clinician’s Guide to Prevention and Treatment of
Osteoporosis; 2014.
11. Watts NB, Adler RA, Bilezikian JP, Drake MT, Eastell R, Orwoll ES et al.
Osteoporois in men: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline.. J
Clin Endocrinol Metab. 2012;97(6):1802-22.
12. Haussler BGH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D. Epidemiology,
treatment and costs of osteoporosis in Germany-the BoneEVA Study.
2007;77–84.
13. McCloskey E. Auth. FRAX® Identifying people at high risk of fracture in
WHO Fracture Risk Assessment Tool, a new clinical tool for informed
treatment decisions. International Osteoporosis Foundation; 2009.
14. Malaysian Osteoporosis Society. Clinical Guidance on Management of
Osteoporosis; 2012 june.
15. http://www.shef.ac.uk/FRAX.
16. Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson
SF et al. The diagnosis and treatment of postmenopausal osteoporosis;
AACE: Endoc Pract. 2010 nov; 16(3)3.

19
17. Ensrud EK, Schousboe JT. Vertebral fracture. N Engl J Med
2011;364:1634-42.
18. Miller PD. Bone Disease in CKD: A Focus on Osteoporosis Diagnosis and
Management. The national kidney fondation. Am J Kidney Dis; 2014.
19. The Taiwanese Osteoporosis Association. Guidelines for the Prevention and
Treatment of Osteoporosis; 2011 Sept.
20. Black DM, Bauer DC, Schwartz AV, Cummings SR, Rosen SJ. Continuing
Bisphosphonate Treatment for Osteoporosis — For Whom and for How
Long? N Engl J Med 2012; 366:22; 2051-57.
21. McIlwain HH. Glucocorticoid-induced osteoporosis: Pathogenesis,
diagnosis and management. Preventive Medicine 2003;36:243-9.
22. Compston JE, Cooper AL, Cooper C, Francis R, Kais JA, Marsh D et al.
Osteoporosis Clinical guideline for prevention and treatment. Executive
Summary; 2014 Nov.
23. National Osteoporosis Foundation. Clinician's Guide to Prevention and
Treatment of Osteoporosis: 2014 Issue, Version 1.
Available at http://nof.org/files/nof/public/content/file/2791/upload/919.pdf
24. Mulder JE, Kolatkar NS, LeBoff MS. Drug insight: Existing and emerging
therapies for osteoporosis. Nat Clin Pract Endocrinol Metab. Dec. 2006 2
(12): 670-80
25. National Osteoporosis Society. Osteoporosis.
Available at: https://www.nos.org.uk/page.aspx?pid=1400
26. van beek E, Löwik C, van der Pluijm G, Papadopoulos IS. The role of
geranylgeranylation in bone resorption and its suppression by
bisphosphonates in the fetal bone explants in vitro: A clue to the mechanism
of action of nitrogen-containing bisphosphonates. J Bone Miner Res. 1999
May; 14 (5): 722-9.
27. Black DM, Bauer DC, Schwartz AV, Cummings SR, Rosen SJ. Continuing
Bisphosphonate Treatment for Osteoporosis — For Whom and for How
Long? N Engl J Med 2012; 366:22; 2051-57.
28. Management of Bone Complications in Cancer [image on the Internet]. 2015
[cited 2017 Des 14].
Available at: http://www.medscape.org/viewarticle/520178_5.
29. Food and Drug Administration.
Available at: http://www.fda.gov/bbs/topics/NEWS/2007/NEW01698.html
30. Rhoades, Rodney (2009).Medical Physiology: Principles for Clinical
Medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
31. Quattrocchi E, Kourlas H. Teriparatide: a review. Clin Ther. 2004 Jun.
26(6):841-54.

20

Anda mungkin juga menyukai