Divisi Reumatologi
FK-UNSYIAH-RSUDZA
Muhammad Haris
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Reumatologi Ilmu Penyakit Dalam Universitas Syiah Kuala
RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
Saat ini tidak ada pemeriksaan gold standard yang diterima secara
universal untuk mengukur aktivitas penyakit, pengukuran dari kadar serum anti-
double stranded DNA antibodi (anti-DsDNA) telah banyak digunakan karena
telah terbukti menjadi prediktor yang baik sebagai kontrol hasil pengobatan pada
penderita lupus nephritis (LN), namun pada penderita dengan anti-DsDNA
negative pemeriksaan ini tidak dapat dijadikan control. Terdapat beberapa marker
lain yang sering digunakan sebagai kontrol hasil pengobatan pada penderita LES,
antara lain Complemen C3 dan C4, Laju Endap Darah (LED), C-Reaktiv Protein
(CRP) dan Sitokin (misalnya, interleukin-10, Interleukin-2 dan Interleukin-6) juga
telah digunakan sebagai marker tidak langsung pada penderita LES, tetapi marker-
marker tersebut memiliki berbagai tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang
berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara lagsung dengan aktivitas penyakit.2
Serum albumin secara rutin sering diukur pada penderita LES sebagai
bagian dari standart pemeriksaan biokimia darah. Pada beberapa penelitian,
ditemukan bahwa penderita LES memiliki nilai albumin yang lebih rendah
dibandingkan dengan non-LES. Tingkat albumin serum yang rendah sebagai
akibat dari peningkatan katabolisme albumin oleh karena peradangan kronis,
protein-losing enteropathy dan/atau karena asupan protein dan kalori yang tidak
memadai. Sebagai tambahan, lupus nefritis yang merupakan manifestasi yang
sering dijumpai pada SLE, dapat menyebabkan proteinuria, yang akan
menurunkan kadar albumin serum.4
Nefritis lupus merupakan efek dari inflamasi akut dan respon imunologis
terhadap deposisi kompleks imun pada ginjal. Respon akut sering ditandai dengan
aktivasi leukosit dan sel-sel parenkim ginjal. Hal ini memicu produksi molekul
pro-inflamasi (sitokin) dan transforming growth factor (TGF). Respon akut diikuti
dengan respon kronis yang ditandai dengan deposisi berlebihan kolagen dan
makromolekul matriks ekstraselular yang mengarah pada gagal ginjal stadium
akhir.6
Studi yang dilakukan oleh Yip et al, yang menghubungkan antara kadar
serum albumin dengan aktivitas penyakit LES, memperlihatkan bahwa terdapat
korelasi antara rendahnya kadar albumin dengan aktivitas LES dengan skoring
Systemic Lupus Erithematosus Disease Activity Index (SLEDAI), dan
menyatakan bahwa kadar albumin yang rendah secara tidak langsung dapat
dijadikan pertimbangan untuk menentukan prognosa pada penderita LES,
terutama pada penderita LES dengan manifestasi lupus nefritis.11
Sebuah sistematik review pada tahun 2010, yang meneliti total 112 kasus
LUPLE pada 54 studi, didapatkan rerata albumin serum 1.8g/dL, dan seluruh
subyek penelitian telah dinyatakan non-proteinuria dan telah dieksklusikan
menderita penyakit hati kronis, yang patut digarisbawahi adalah, pada studi
tersebut penderita LES dengan anti-DsDNA positive hanya pada 59% subyek,
dari hasil penelitian tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa Anti-
DsDNA kurang dapat dijadikan sebagai pedoman respon terapi pada penderita
LES.15
Referensi
10. Sule SD, Fadrowski JJ, Fivush BA, Gorman G, Furth SL. Reduced albumin
levels and utilization of arteriovenous access in pediatric patients with
systemic lupus erythematosus (SLE). Pediatr Nephrol. 2007;22:2041-2046.
doi:10.1007/s00467-007-0591-2.
14. Mok CC, Ying KY, Mak A, To CH, Szeto ML. Outcome of protein-losing
gastroenteropathy in systemic lupus erythematosus treated with
prednisolone and azathioprine. Br Soc Rheumatol. 2006;45:425-429.
doi:10.1093/rheumatology/kei164.