Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN


LUPUS NEFRITIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Diploma III


Keperawatan
Departemen Keperawatan Anak

Oleh:
Siska Dwi Saputri 201510300511004

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
A. DEFINISI

1
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik
(SLE). Lupus erimatosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan. Diagnosis nefritis lupus ini ditegakkan bila pada lupus erimatosus
sistemik (SLE) terdapat tanda-tanda proteuniria dalam jumlah lebih atau sama
dengan 1gram/24jam atau dengan hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 30%.
Nefritis lupus merupakan suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan
oleh sistemik lupus erimatosus, yaitu suatu penyakit autoimun, selain ginjal,
SLE juga dapat merusak kulit, sendi, system saraf dan hampir semua organ
dalam tubuh.

Gambar 1: Proses terjadinya Nefritis Lupus.

B. EPIDEMIOLOGI
DiAmerika, prevalensi lupus erimatosus sistemik adalah 1 kasus per 2000
penduduk pada populasi umum. Karena kesulitan diagnosis dan kemungkinan
banyak kasus tidak terdeteksi, sebagian besar peneliti menyarankan bahwa

2
prevalensi mungkin lebih dekat ke 1 kasus per 500-1000 populasi. Data
prevalensi lupus erimatosus sitemik di indonesia sampai saat ini belum ada,
jumlah penderita lupus erimatosus di indonesia menurut yayasan lupus
indonesia sampai dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang.8
Keterlibatan ginjal lupus erimatosus sistemik merupakan manifestasi penyakit
yang umum di jumpai dan merupakan prediktor kuat luaran yang buruk.
Prevalensi penyakit ginjal pada studi kohort besar yang terdiri atas 2649
pasien lupus erimatosus sitemik bervariasi antara 31-65%. Di dapatkan
insidensi penyakit ginjal akut sebesar 10%, bedasarkan data dari Asia,
keterlibatan renal berkisar antara 6-100% secara keseluruhan.

C. ETIOLOGI
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan
komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya peradangan.
Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi
protein yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk
nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah, lupus erimatosus sistemik (SLE)
menyerang berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis intertitial
dan glomerulonefritis membranosa.

D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Patogenesis timbulnya lupus erimatosus sitemik (SLE) diawali oleh,
estrogen memegang peranan kunci sebagai penyebab SLE. Faktor lain yang
berpengaruh pada kejadian SLE adalah genetik, lingkungan, kontrasepsi
hormonal, sosial dan pola antibodi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
adalah sinar matahari atau ultra violet yang dapat meningkatkan, eksaserbasi
SLE. interaksi faktor- faktor tersebut ini akan mempengaruhi dan
mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan sel T
dan sel B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibody (DNA-anti-DNA),
sebagian auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan
nukleosom (DNA-histon)kromatin, C1q, laminin Ro(SS-A), ubiquitin dan
ribosom, yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi

3
kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil nefritis lupus tidak ditemukan
deposit kompleks imun dengan sediaan imunofluoresens atau mikriskop
electron, sehingga disebut sebagai pauci-immune necrotizing
glomerulonefritis.
Patofisiologi terjadinya Lupus Nefritis, Gambaran klinis kerusakan
glomerolus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya deposit kompleks
imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak proksimal terhadap
membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh
darah. Deposit pada daerah tersebut ini akan mengaktifkan komplemen yang
kemudian membentuk kemoatraktan C3a dan C3a. Selanjutnya terjadi influx
sel neutrofil dan sel mononuclear. Deposit pada mesangium dan subendotel
secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferative fokal,
dan proliferative difus; secara klinis memberikan gambaran sedimen urin
yang aktif (ditemukan eritrosit, leukosit,silinder sel, dan granula), proteinuria,
dan sering disertai penurunan fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel
tidak mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh
membrane basalis glomerulus sehingga tidak terjadi influx neutrofil dan sel
mononuclear. Secara histopatologis memberikan gambaran nefropati
membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala proteinuri.
Autoantibodi ini akan bertambah banyak seiring waktu secara bertahap,
beberapa bulan sampai tahun sebelum onset LES klinis. Lupus nefritis terkait
dengan produksi autoantibodi nefritogenik dengan ciri-ciri sebagai berikut
1. Yang dianggap antigen secara spesifik adalah nukleosom atau dsDNA :
beberapa antibodi dsDNA bereaksi silang dengan membran basal
glomerulus.
2. Autoantibodi yang berafinitas tinggi dapat membentuk kompleks imun
intravaskular, yang menumpuk dalam glomerulus.
3. Autoantibodi kationik memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan membran
basal glomerulus yang bersifat anionik.
4. Autoantibodi isotop tertentu (IgG1 dan IgG3 ) dapat mengaktivasi
komplemen.

E. MANIFESTASI

4
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi
atau hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien
dengan nefritis lupus difus proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi
renal ini terkait dengan proteinuria berat. Gejala lain yang terkait langsung
dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif difus termasuk sakit kepala,
pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung.6
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi
kelainan ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system
Sistem Saraf Pusat, system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi
ginjal berupa proteinuri didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik
pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan
tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan
fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal yang cepat
pada 30% pasien. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk
yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang
dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui
menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4 mg/dl, dan kadar C3
< 76 mg/dl.

F. GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi
mempunyai nilai yang sangat penting. Gambaran ini mempunyai hubungan
dengan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan dan juga menentukan
pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu biopsy ginjal harus
dilakukan bila tidak ada kontraindikasi. Pada tahun 1995 WHO memperbaiki
klasifikasi kelainan histopatologi NL seperti terlihat dibawah ini:
Klasifikasi Nefritis Lupus Menurut WHO 1995:9
I: Glumeruli normal
a. Normal dengan sesuai teknik pemeriksaan
b. Normal dengan mikroskop cahaya, akan tetapi di temukan deposit
dengan cara imunohistologi dan/atau dengan mikroskop elektron.
II: perubahan pada mesangial
a. Pelebaran mesangial dan atau dengan hiperselular ringan
b. Proliferasi sel mesangial

5
III: focal segmental glomerulonefritis (dengan perubahan ringa/sedang
mesangial, dan/atau deposit epimembran segmental)
a. Lesi nefrotik aktif
b. Lesi sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
IV :glomerulonefritis difus (deposit luas mesangial/mesangiokapiler dan
subendotel)

Klasifikasi lupus menurut International Society of Nephrology/ Renal


Pathology Society (ISN/RPS) 2003 :
Class I : Minimal mesangeal lupus nephritis
Class II : Mesangeal proliferative lupus nephritis
Class III : Focal lupus nephritis
Class IV : Diffuse segmental (IV-S) or global (IV-G) lupus nephritis
Class V : Membranous lupus nephritis
Class VI : Advance sclerosing lupus nephritis
G. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan
edem, hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru
yang menandakan overload cairan .9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan: 9
- Tes ANA tes ini sangat sensitif untuk SLE, tetapi tidak spesifik.
ANA juga dapat ditemukan pada pasien atritis rematoid, skleroderma,
sindroma syogren, poli miositis dan infeksi HIV. Titer ANA tidak
mempunyai kolerasi yang baik dengan berat kelainan ginjal.
- Tes anti ds DNA ( anti double stranded DNA) lebih spesifik tetapi
kurang sensitif. Tes ini untuk kira-kira 75% pasien SLE aktif yang
belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik Radiomunoassay Farr
atau teknik ELISA. Anti ds DNA mempunyai kolerasi yang baik
dengan adanya kelainan ginjal.
- Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear seperti anti Sm dan
anti-nRNP.
- Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama
pada nefritis lupus tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering

6
sudah dibawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi.
Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.
- Basal urea nitrogen dan kreatinin
- Urinalisis
- Urine immunoglobulin rantai pendek
- Biopsi ginjal
o Biopsi ginjal membantu menentukan tipe nefritis dan berguna
untuk terapi lebih tepat tetapi beberapa ahli tidak
merekomendasikan biopsi ginjal sebagai tindakan rutin pada
setiap nefritis, karena merupakan tindakna invasif ( Bertias
dkk, 2000).
o Indikasi biopsi ginjal menurut beberapa ahli adalah perburukan
protein uria respon pengobatan minimal, nefritis kambuh, dan
gagal ginjal akut.17
o Indikasi biopsi ginjal menurut ahli yang lain.3
 Hematuria dan silinder uria positif atau hematuria dan
protein uria > 0,5 gr sehari
 Hematuria dengan protein uria < 0,5 gr sehari tetapi
kadar C3 rendah atau dan ds DNA positif
 Protein uria > 1gr sehari terutama di tambah kadar
komplemen C3 rendah dan ds DNA positif

H. DIAGNOSIS
Diagnosis lupus eritematosus sistemik didasarkan pada kriteria klinis dan
laboratorium. Kriteria yang dikembangkan oleh American College of.
Rheumatology (ACR). Pada diagnosis klinis NL ditegakan bila pada pasien
SLE (minimal terdapat 4 dari kriteria ARA) didapatkan protein urea ≥ 1gr/24
jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi
ginjal sampai 30% sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan
biopsi ginjal. Protein uria umumnya di peruksa dengan cara mengukur jumlah
secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang
lebih praktis dan sekarang banyak mulai dilakukan ialah mengukur rasio
protein dengan kreatinin pada sample urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal
1000mg/24jam /1,75m2; rasio protein keatinin normal ,0,2). Pemeriksaan ini

7
lebih mudah dikerjakan terutama diperiksa menilai perubahan jumlah protein
setelah dilakukan pengobatan.
Kriteria ARA
1. Ruam Malar
2. Ruam Diskoid
3. Foto sensitif
4. Ulkus di mulut
5. Artritis/artralgia
6. Serositis
a. Efusi perikardial
b. Efusi paru
7. Kelainan ginjal
a. Proteinuria (>0.5 gr//24 jam)
b. Cellular cast
8. Kelainan neurologis
9. Kelainan darah
a. Anemia hemolitik
b. Leukopenia (< 4000)
c. Limfopenia (<1500)
d. Trombositopenia (<100.000)
10. Sero-imunologi
a. Anti ds DNA
b. Anti Sm
c. Sel LE
d. VDRL
11. ANA
Pada suatu studi yang menggunakan pasien berpenyakit jaringan ikat
sebagai grup kontrol, kriteria diagnostik ACR untuk LES ditemukan memiliki
sensitivitas96% dan spesifisitas 96%. Studi lain melaporkan sensitivitas mulai
70-96 persen dan spesifisitas mulai 89-100 persen. Bagaimanapun kriteria
ACR mungkin kurang akurat pada pasien dengan manifestasi ringan LES. 12

8
Peningkatan titer antibodi antinuklear (ANA) menjadi 1:40 atau lebih tinggi
adalah yang paling sensitif dari kriteria ACR. Lebih dari 99 persen pasien
dengan LES memiliki peningkatan ANA titer pada titik tertentu, walaupun
sejumlah besar pasien mungkin titernya negatif pada fase awal penyakit.
Bagaimanapun tes ANA tidak spesifik untuk LES. Penyakit lain yang sering
terkait dengan uji ANA positif termasuk sindrom Sjögren (68% dari pasien),
skleroderma (40-75% pasien), artritis rematoid (25-50%) dan artritis rematoid
juvenil (16%). Uji ANA juga bisa positif pada pasien dengan fibromialgia.
Pada pasien dengan penyakit selain LES, titer ANA umumnya lebih rendah
dan pola imunofluoresensinya berbeda. ACR merekomendasikan uji ANA
pada pasien yang mengalami dua atau lebih gejala dan tanda. Apabila titer
ANA normal pada kasus keterlibatan sistem organ yang nyata dengan
kecurigaan lupus eritematosus sistemik maka harus dilakukan penelusuran
diagnosis alternative. Bila tidakditemukan sebab lain, dapat dipertimbangkan
diagnosis LES ANA-negatif dan konsultasi ke ahli reumatologi. Bila pasien
dengan titer ANA normal mengalami gejala klinis baru yang sesuai dengan
LES maka ujui ANA harus diulangi .2

I. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk
pasien yang baru terdiagnosis nefritis lupus :
(1) untuk mencapai remisi renal segera,
(2) untuk mencegah renal flare,
(3) untuk menghindari gangguan ginjal kronik,
(4) untuk mencapai tujuan-tujuan di atas dengan toksisitas minimal.
Walaupun dalam dekade terakhir angka survival meningkat, harus ditekankan
bahwa regimen imunosupresif hasilnya masih suboptimal. Pertama, angka
remisi renal setelah terapi lini pertama paling baik hanya 81% dalam studi-
studi prospektif terbaru. Kedua, relaps renal terjadi pada sepertiga dari pasien
LN, kebanyakan saat pasien masih dalam kondisi imunosupresi. Ketiga,
antara 10-20% pasien mengalami gagal ginjal terminal 5-10 tahun setelah

9
onset penyakit, walaupun angka ini menurun pada studi-studi berikutnya (5-
10%). Akhirnya, toksisitas terkait pengobatan masih merupakan kekuatiran
utama, seperti efek samping metabolik dan tulang pada kortikosteroid dosis
tinggi, infeksi tulang atau gagal ovarium prematur pada wanita yang
menerima siklofosfamid dosis tinggi.
Prinsip pengobatan nefritis lupus:
1. Terapi kortikosteroid harus diberikan bila pasian mengalami penyakit
ginjal yang signifikan secara klinis. Gunakan agen imunosupresif
terutama siklofosfamid, azathioprine, atau mycophenolate mofetil bila
pasien mengalami lesi proliferatif agresif. Agen-agen ini juga bisa
digunakan bila pasien tidak respon atau terlalu sensitif terhadap
kortikosteroid.
2. Obati hipertensi secara agresif, pertimbangkan pemberian ACE
inhibitor atau ARB bila pasien mengalami proteinuria signifikan tanpa
insufisiensi renal signifikan.
3. Restriksi asupan lemak atau gunakan terapi lipid-lowering seperti
statin untuk hiperlipidemia sekunder terhadap sindrom nefrotik.
Restriksi asupan protein bila fungsi ginjal sangat terganggu. Berikan
suplementasi kalsium untuk mencegah osteoporosis bila pasien dalam
terapi steroid jangka panjang dan pertimbangkan penambahan
bifosfonat.
4. Hindari obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal, termasuk
OAINS terutama pada pasien dengan level kreatinin yang meningkat.
Salisilat non asetilasi dapat digunakan untuk mengobati gejala
inflamasi pada pasien dengan penyakit ginjal.
5. Pasien dengan nefritis lupus aktif harus menghindari kehamilan,
karena dapat memperburuk penyakit ginjalnya.
6. Pasien dengan ESRD, sklerosis dan indeks kronisitas tinggi
berdasarkan biopsi ginjal biasanya tidak berespon terhadap terapi
agresif. Pada kasus-kasus ini fokuskan terapi pada manifestasi
ekstrarenal dari LES dan kemungkinan transplantasi ginjal
7. Terapi untuk tipe spesifik nefritis lupus berdasarkan patologi renal :

10
- Kelas I : Nefritis lupus minimal mesangial tidak memerlukan terapi
spesifik
- Kelas II : Nefritis lupus mesangial proliferatif mungkin
memerlukan pengobatan bila proteinuria lebih dari 1000 mg/hari.
Pertimbangkan prednison dosis rendah sampai moderat (mis. 20-40
mg/hari selama 1-3 bulan diikuti tapering.
- Kelas III dan IV : Pasien dengan nefritis fokal atau difus berisiko
tinggi menjadi ESRD dan memerlukan terapi agresif.
 Berikan prednison 1 mg/kg/hari selama paling sedikit 4
minggu tergantung respons klinis. Kemudian dilakukan
tapering sampai dosis rumatan 5-10 mg/hari selama kurang
lebih 2 tahun. Pada pasien sakit akut, metilprednisolon
intravena dengan dosis hingga 1 gram/hari selama 3 hari
dapat digunakan untuk inisiasi terapi kortikosteroid.
 Gunakan obat imunosupresif sebagai tambahan
kortikosteroid pada pasien yang tidak berespon dengan
kortikosteroid sendiri, yang mengalami toksisitas terhadap
kortikosteroid, yang fungsi ginjalnya memburuk, yang
mengalami lesi proliferatif berat atau terdapat bukti
sklerosis pada spesimen biopsi ginjal. Baik siklofosfamid
dan azathioprine efektif untuk nefritis lupus proliferatif
walaupun siklofosfamid tampaknya lebih efektif dalam
mencegah progresi ke ESRD. Mycophenolate mofetil telah
ditunjukkan cukup efektif dalam mengobati pasien-pasien
ini dan dapat digunakan sendiri atau setelah 6 bulan
siklofosfamid intravena.
 Berikan siklofosfamid intravena secara bulanan selama 6
bulan dan setelahnya tiap 2-3 bulan tergantung respons
klinis. Durasi terapi yang umum adalah 2-2,5 tahun.
Turunkan dosis bila klirens kreatinin <30 mL/menit.
Sesuaikan dosis tergantung respon hematologis. Leuprolide

11
asetat, suatu analog gonadotropin-releasing hormone, dapat
melindungi terhadap gagal ovarium.
 Azathioprine dapat juga digunakan sebagai agen lini kedua,
dengan penyesuaian dosis tergantung respon hematologis.
 Mycophenolate mofetil berguna pada pasien dengan nefritis
lupus fokal atau difus dan telah terbukti setidaknya sama
efektif dengan siklofosfamid intravena dengan toksisitas
lebih rendah pada pasien dengan fungsi ginjal yang stabil.
- Kelas V : Pasien dengan nefritis lupus membranosa umumnya
diterapi dengan prednison selama 1-3 bulan, diikuti tapering
selama 1-2 tahun bila respon baik. Bila tidak ada respon, obat
dihentikan. Agen imunosupresif umumnya tidak digunakan kecuali
fungsi ginjal memburuk atau komponen proliferatif ditemukan
pada sampel biopsi renal. Beberapa bukti klinis mengindikasikan
bahwa azathioprine, siklofosfamid, siklosporin, dan klorambusil
efektif dalam mengurangi proteinuria. Mycophenolate mofetil juga
mungkin efektif.
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa
berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif . Dialisis dapat dilakukan untuk
mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga direkomendasikan
(pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan transplantasi ginjal).
Dosis kumulatif rata-rata dan dosis per sesi IV, dan masa paparan terhadap
Siklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam pengobatan Nefritis Lupus dan
Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian observasional selama 7
tahun.1
Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan terapi, beberapa
kriteria keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal remission,
diesease remission, renal relaps.
Kriteria renal remission :
a. Berkurangnya proteinuria ≥ 50% dan proteinuria < 3gr/24jam.
b. Hilangnya hematuria ( RBC ≤5 )
c. Hilangnya piuria (WBC ≤5)

12
d. Hilangnya celluler cast (<1)
e. Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum
kreatinin awal < 2mg/dl atau peningkatan ≥ 30% jika serum kreatinin
awal ≥ 2mg/dl.
Kriteria renal relaps :
a. Peningkatan proteinuria ≥ 50% dan proteinuria >1gr/24jam
b. Hematuria (RBC >5)
c. Piuria (WBC > 5)
d. Celluler cast ≥1
e. Penurunan GFR ≥ 30% pada dua pengukuran
Complete renal remission :
a. Proteinuria 24jam ≤ 500mg
b. RBC ≤5
c. WBC ≤5
d. Celluler cast <1
e. GFR ≥ 80ml/menit/1,73. Semua kriteria tersebut paling sedikit pada
dua kali pengukuran selama satu bulan pengobatan
Dieases remission merupakan kombinasi antara complete renal remision
dan tidak adanyan manifestasi ekstra renal.

J. PROGNOSIS
Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki
prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya akan
menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang
keterlibatan glomerolus 50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai
prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki
prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer,
sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.

13
K. ASUHAN KEPERAWATAN

Perencanaan
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kolaborasi 1. Menggunakan
berhubungan tindakkan pemberian agens farmakologi
dengan inflamasi keperawatan analgetik dan kajiuntuk meredakan
dan peningkatan selama ... x 24 jamskala nyeri atau
aktivitas diharapkan nyeri menghilangkan
penyakit, berkurang dengan nyeri
kerusakan kriteria hasil: 2. Mengetahui
jaringan, Skala nyeri
2. Ukur TTV pasien perubahan TTV
keterbatasan berkurang pasien
mobolitas atau TTV dalam batas 3. Observasi respon 3. Mengetahui respon
tingkat toleransi normal nonverbal daripasien terhadap
yang rendah. Kegelisahan ketidaknyamanan nyeri
berkurang
Keletihan Setelah dilakukan 1. Monitor nutrisi
1. Mengontrol
berhubungan tindakkan dan sumber energiasupan nutrisi
dengan keperawatan yang adekuat pasien untuk
peningkatan selama ... x 24 jam mengurangi
aktivitas diharapkan 2. Kaji tingkatkeletihan
penyakit, rasa keletihan teratasikecemasan pasien2. Mengetahui
nyeri, dengan kriteria apakah pasien
tidur/aktivitas hasil: cemas untuk
yang tidak Glukosa 3. Monitoring
darah polamengurangi
memadai, nutrisi adekuat tidur dan lamanyakeletihan
yang tidak Kecemasan tidur/ istirahat
3. Mengetahui
memadai dan menurun pasien apakah istirahat/
depresi/stres Istirahat cukup tidur pasien cukup
emosional.
Hambatan - Setelah dilakukan
1. Latih pasien
1. Melatih pasien
mobilitas fisik tindakkan berpindah dariuntuk berpindah
berhubungan keperawatan tempat tidur keuntuk menghindari
dengan selama ... x 24 jamkursi dissus atrofi.
penurunan diharapkanpasien 2. Mengetahui
rentang gerak, menunjukkan perubahan TTV
kelemahan otot, mobilitas fisik
2. Ukur TTV pasienpasien saat dan

14
rasa nyeri pada dengan kriteriasaat dan setelahsetelah pasien
saat bergerak, hasil: beraktivitas beraktivitas
keterbatasan - Mampu berpindah 3. Memandirikan
daya tahan fisik, dari tempat duduk pasien dalam
kurangnya atau ke kursi 3. Latih pasien dalammemenuhi
tidak tepatnya- TTV normal saatpemenuhan kebutuhan ADL
pemakaian alat- dan setelahkebutuhan ADL
alat ambulasi. beraktivitas secara mandiri
- Mampu
melakukan
kebutuhan ADL
secara mandiri
Gangguan citra Setelah dilakukan 1. Kaji secara verbal 1. Mengetahui
tubuh tindakkan dan nonverbalapakah body image
berhubungan keperawatan respon klienpasien positif atau
dengan selama ... x 24 jamterhadap tubuhnya tidak
perubahan dan diharapkanpasien2. Fasilitasi kontak
ketergantungan dapat menerimadengan individu
2. Membantu pasien
fisik serta keadaan tubuhnyalain dalamuntuk
psikologis yang dengan kriteriakelompok kecil mempertahankan
diakibatkan oleh hasil: 3. Dorong klieninteraksi sosialnya
penyakit kronik. - Body image positif mengungkapkan
- Mempertahankan perasaannya 3. Mendorong pasien
interaksi sosial untuk
- Mendeskripsikan mengungkapkan
secara faktual secara faktual
perubahan fungsi tentang
tubuh perasaannya
terhadap
perubahan fungsi
tubuh

4. Evaluasi
Diagnosa keperawatan Evaluasi
Nyeri akut berhubungan1. Pasien mengatakan skala nyeri
denganinflamasi dan peningkatan berkurang
aktivitas penyakit, kerusakan
2. TTV dalam batas normal
jaringan, keterbatasan mobolitas 3. Kegelisahan berkurang
atau tingkat toleransi yang rendah.
Keletihan berhubungan dengan 1. Glukosa darah adekuat

15
peningkatan aktivitas penyakit, rasa2. Kecemasan menurun
nyeri, tidur/aktivitas yang tidak 3. Istirahat cukup
memadai, nutrisi yang tidak
memadai dan depresi/stres
emosional.
Hambatan mobilitas fisik
1. Mampu berpindah dari tempat duduk
berhubungan dengan penurunan ke kursi
rentang gerak, kelemahan otot, rasa 2. TTV normal saat dan setelah
nyeri pada saat bergerak, beraktivitas
keterbatasan daya tahan fisik, 3. Mampu melakukan kebutuhan ADL
kurangnya atau tidak tepatnya secara mandiri
pemakaian alat-alat ambulasi.
Gangguan citra tubuh berhubungan 1. Body image pasien terlihat positif
dengan perubahan dan
2. Pasien mampu mempertahankan
ketergantungan fisik serta psikologis interaksi sosial
yang diakibatkan oleh penyakit 3. Pasien mampu mendeskripsikan
kronik. secara faktual perubahan fungsi tubuh

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardoin SP, Pisetsky DS. Development in the scientific understanding of


lupus.Arthritis Research & Therapy 2008, 10:218
2. Belmont MH. Lupus Clinical Overview. In: James K, Blaire M, eds.
Nephritis Lupus. 5th ed. New York, PA: McShane; 2006: 123-58.
3. Bertias G, Sidiropoulos P, Boumpas DT. 2000. Systemic Lupus
Erythematosus: Treatment – Renal Invelotment. Rheumatology.
Philadelphia: Mosby Elsevier.
4. Bevra HH. Systemic Lupus Erythematosus. 2005. Harrison Principles Of
International Medicine ed 16th. Vil II. McGraw-Hill Medical Publishing
Division
5. Boletis JN, Marnaki S, Skalioti C. Rituximab and Mycophenolate Mofeil
For Relapsing Moliferative Lupus Nephritis : A Long Term Prospective
Study. Nephrol Dial Transplant; 2009 24: 2157-2160
6. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds. Lupus
Erythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincott Williams and
Wilkins; 2008: 849-67.
7. Brunner HI, Gladman DD, Ibañez D, Urowitz MD, Silverman ED.
Difference in disease features between childhood-onset and adult-onset
systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Feb 2008;58(2):556-62..
8. Gill JM et al. Diagnosis of systemic lupus erythematosus. Am Fam
Physician. (Journal).2003;68:2179-86.
9. Hugh RB, Yvonne M, O’Meara, Barry MB. Glomerular Disease. 2005.
Harrison Principles Of International Medicine ed 16th. Vil II. McGraw-
Hill Medical Publishing Division.
10. Laskari K. Mavragani P. 2010. Tziofag Moustopoulys M. Mycephenolat
Mofeil as Maintenance therapy for Proliferative Lupus Nephritis: a Long
term obervasitional prospective study arthritis reasearch & therapy.

17

Anda mungkin juga menyukai