Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Nefritis lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada lupus eritematosus
sistemik (LES). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau lebih dikenal dengan
nama Systemic Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif
autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam
serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh
adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis
beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. Keterlibatan ginjal cukup
sering ditemukan, yang dibuktikan secara histopatologis pada kebanyakan pasien
dengan LES dengan biopsy dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan
mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan
ginjal hanya didapatkan pada 25-50% kasus. Gejala nefritis lupus secara umum
adalah proteinuri, hipertensi, dan gangguan ginjal.
Mengevaluasi fungsi ginjal pada pasien-pasien dengan LES untuk
mendeteksi dini keterlibatan ginjal sangat penting, karena dengan deteksi dan
pengobatan dini, akan meningkatkan secara signifikan fungsi ginjal. Perjalanan
klinis NL sangat bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat
dari hasil biopsi ginjal, saat mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.

2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik
(LES). Lupus erimatosus sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Diagnosis nefritis
lupus ini ditegakkan bila pada lupus erimatosus sistemik (SLE) terdapat tanda-
tanda proteuniria dalam jumlah lebih atau sama dengan 1gram/24jam atau dengan
hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan penurunan fungsi ginjal sampai 30%.

2.2 Epidemiologi
Prevalensi LES di Amerika serikat adalah 1:2000 kasus pada populasi
umum. Karena sulitnya mendiagnosis dan kemungkinan kasus LES tidak
terdeteksi, para peneliti menduga prevalensinya kemungkinan 1 kasus per 500-
1000 populasi umum. Prevelansi penyakit LES di Indonesia belum dapat
dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan masih berupa laporan kasus
dengan jumlah terbatas. Penyakit LES dapat ditemukan pada semua umur, tetapi
paling sering pada usia 15-45 tahun dan 90% penderitanya adalah wanita. Rasio
insidensi penyakit LES pada wanita dibandingkan dengan pria meningkat sesuai
dengan pertambahan umur, dengan perbandingan 2:1 pada anak-anak dan 9:1
pada dewasa muda, namun pria dengan LES insidens terjadinya nefritis lupus
lebih tinggi walaupun tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Anak-anak
dengan LES mempunyai resiko lebih besar terkena penyakit ginjal dibandingkan
orang dewasa. Orang Asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis lupus
dibandingkan dengan ras lainnya.

2.3 Etiologi
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan
komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya peradangan. Hal
tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi protein
3

yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa
terlepas kedalam aliran darah, lupus erimatosus sistemik (SLE) menyerang
berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis intertitial dan
glomerulonefritis membranosa.

2.4 Patogenesis
Pathogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara faktor
predisposisi genetic (seperti HLA- haplotipe, antigen DRW2 dan DRW5,
defesiensi c2-inborn, HLA-DR2 dan HLA-DR3) dengan faktor lingkungan, faktor
hormone seks, dan faktor sistem neuroendrokin. Interaksi faktor-faktor ini akan
mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan
peningkatan auto-antibodi (DNA-antiDNA). Sebagian auto-antibodi akan
membentuk komplek imun bersama nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q,
laminin, Ro (SS-A), ubiquitin, dan ribosom, yang kemudian akan membentuk
deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil NL
tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau
mikroskop elektron.
Gambaran klinik kerusakan glomelurus berhubungan dengan lokasi
terbentuknya deposit komplek imun. Deposit pada mesangium dan subendotel
letaknya proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai
akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan
komplemen yang selanjutnya akan membentuk kemoatraktan C3a dan C3a, yang
menyebabkan terjadinya influx sel neutrofil dan sel mononuclear.
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis
memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferative difus, secara
klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit,
leukosit,silinder sel, dan granula), proteinuria, dan sering disertai penurunan
fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan
pembuluh darah karena dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus sehingga
tidak terjadi influx neutrofil dan sel mononuclear. Secara histopatologis
4

memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya
memberikan gejala proteinuri.
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik
antigen dan antibodi:
Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionik, yang tidak dapat
melewati sawar dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik,
akan diendapkan dalam mesangium dan subendotel. Banyaknya deposit
imun akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala
penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat
gejala yang lebih berat ( proliferatif fokal atau difus)
Hal ini yang menentukan tempat terbentuknya komplek imun
dihubungkan dengan muatan antibody dan daerah tempat berikatan
dengan antigen. Antibodi dan daerah tempat berikatan dengan antigen.
Antibodi dapat berikatan sehingga menimbulkan manifestasi histologis
dan klinis yang berbeda.

2.5 Gejala Klinis
Seperti telah disebutkan sebelumnya, NL adalh komplikasi ginjal pada
LES dan ditemukan pada 25-50% dari semua pasien LES. Diagnosis LES
ditegakkan berdasarkan criteria American Rheumatism Association yang telah
dimodifikasi pada tahun 1997. Ditemukan 4 dari 11 kriteria mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sebesar 96% untuk LES, criteria tersebut meliputi:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence
dan lipat nasolabial
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
5

dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa
nyeri, bengkak dan efusi
Pleuritis atau
perikarditis
a. Pleuritis riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura
atau
b. Perikarditis bukti rekaman EKG atau pericardial friction
rubyang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi
perikardial
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau > +3, atau
b. Sedimen urin (bisa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular,
atau gabungan)
Gangguan
neurologi
Kejang atau psikosis tanpa sebab yang jelas
Gangguan
hematologi
Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000 /L) atau limfopenia
(<1500 /L) atau trombositopenia (<100.000 /L) tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan
imunologik
Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-fosfolipid
Antibodi
antinuklear
Titer abnormal imunoflouresensi ANA

Tabel 1. Kriteria ARA untuk diagnosis SLE

Tanda-tanda gangguan ginjal dapat berupa
Gejala %
Proteinuria 100
Sindrom nefrotik 45-65
6

Silinder granular 30
Silinder eritrosit 10
Hematuria mikroskopik 80
Hematuria makroskopik 1-2
Penurunan fungsi ginjal 40-80
Penurunan fungsi ginjal yang cepat 30
Gagal ginjal akut 1-2
Hipertensi 15-50
Hiperkalemi 15
Abnormalitas tubulas 60-80

Tabel 2. Gambaran Klinis Nefritis Lupus

Manifestasi klinis nefritis lupus sangat bervariasi. Keterlibatan ginjal
sering didapatkan bersamaan atau tidak lama setelah onset LES, dan akan
mengikuti periode remisi dan eksaserbasi sesuai LES-nya. Pada nefritis lupus klas
I WHO didapatkan adanya proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin.
Pada NL klas II WHO didapatkan kelainan ginjal yang ringan. Biasanya hanya
didapatkan anti-dsDNA yang positif dan kadar komplemen serum yang rendah.
Sedimen urin tidak aktif, tanpa hipertensi, proteinuria 1 gram/24jam, dan kadar
kreatinin serum serta laju filtrasi glomerulus (LFG) normal. Pada NL klas III
WHO biasanya didapatkan sedimen urin yang aktif. Proteinuria lebih dari 1 gr/24
jam, kira-kira 25-35% pasien dengan proteinuria >3 gr/24 jam. Peningkatan
kreatinin serum didapatkan pada 25% pasien. Pada sebagian pasien juga
didapatkan hipertensi.
Pada nefritis lupus klas IV WHO ditemukan sedimen urin yang aktif pada
seluruh pasien. Proteinuria >3gr/24 jam didapatkan pada 50% pasien, dan
hipertensi ditemukan pada hamper semua pasien, dan penurunan fungsi ginjal
sangat tipikal. Pada pasien nefritis lupus klas V WHO secara klinis ditemukan
sindrom nefrotik, sebagian dengan hematuria dan hipertensi, akan tetapi fungsi
7

ginjal masih normal sedangkan pada nefritis lupus klas VI WHO dijumpai
penurunan fungsi ginjal yang progresif lambat, dengan urin yang relatif normal.
Kelainan tubulointerstitial tidak jarang ditemukan pada nefritis lupus.
Berat ringannya kelainan ini menentukan prognosa pasien. Bila kelainannya berat,
pada prognosisnya lebih buruk. Secara skematis, hubungan antara gejala klinis
dan kelainan histopatologi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Hubungan gejala klinis dan kelainan histopatologi nefritis lupus

Gambaran klinis yang ringan dapat berubah bentuk menjadi berat dalam
perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan dengan perburukan
fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam,
hematokrit <26%, kreatinin serum >2.4 mg/dl, kadar C3<76 mg/dl, adanya
serebitis dan NL klas IV.

2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis NL ditegakkan bila pada pasien LES (minimal terdapat 4
dari 11 kriteria ARA) didapatkan proteinuria 1gr/24 jam dengan/atau hematuria
(>8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan
diagnosis pasti nefritis lupus ditegakkan dengan biopsy ginjal. Proteinuria
umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah secara kuantitatif dengan
8

mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang
mulai banyak dilakukan ialah dengan mengukur rasio protein dengan kreatinin
pada sampel urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal 1000 mg/24jam/1,75m
2
;
rasio protein-kreatinin normal <0,2). Pemeriksaan ini lebih mudah dikerjakan, dan
terutama diperiksa untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah dilakukan
pengobatan.
Pemeriksaan serologik yang biasa digunakan pada pasien NL:
1. Tes ANA. Tes ini sangat sensitif untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga
ditemukan pada pasien dengan arthritis rematoid, scleroderma, sindrom
syrogen, polimiositis dan infeksi HIV. Titer ANA tidak mempunyai
korelasi yang baik dengan berat kelainan ginjal pada LES dan tidak dapat
digunakan untuk memantau respon terapi dan prognosis.
2. Tes anti dsDNA (anti double-stranded DNA), lebih spesifik tapi kurang
sensitive untuk LES. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien LES aktif
yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik Radioimunoassay Farr
atau teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Anti dsDNA
mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
3. Pemeriksaan lain adalah antibody anti-ribonuklearseperti anti-Sm dan anti-
nRNP. Antibody anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk LES, tapi hanya
ditemukan pada 25% pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa antibody anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan
insidens yang buruk. Antibody anti-nRNP ditemukan pada 35% pasien
LES, juga pada penyakit-penyakit rematologik terutama jaringan ikat.
4. Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif LES, terutama pada
NL tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal
sebelum gejala lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen
dihubungkan dengan perbaikan NL. Defisiensi komplemen lain seperti
C1r, C1s, C2, C3q, C5a dan C8 juga didapatkan pada LES. Kadar
komplemen total kemungkinan tetap dibawah normal meskipun penyakit
dalam keadaan inaktif.
9

Pemeiksaan serologis penting untuk menentukan diagnosis nefritis lupus
karena menunjukkan adanya produksi auto-Ab yang abnormal tetapi kurang tepat
untuk menentukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut
terapi.
Pemeriksaan histopatologi ginjal menggambarkan secara pasti kelainan
ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi NL dalam 6 kelas. Skema ini
berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop elektron.
Tabel 4. Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO, 2003)
Sedangkan International Society Nephrology / Renal Pathology Society
(ISN/RPS) membuat klasifikasi baru nefritis lupus. Klasifikasi baru ini terutama
berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci
perubahan morfologinya. Dengan pemeriksaan imunofluorese dapat ditemukan
deposit imun pada semua kompartemen ginjal. Biasanya ditemukan lebih dari satu
kelas immunoglobulin, terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM
10

dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3 dan
C1q.
Tabel 5. Klasifikasi Nefritid Lupus (ISN/RPS, 2003)

2.7 Penatalaksanaan
Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk
pasien yang baru terdiagnosis nefritis lupus : (1) untuk mencapai remisi renal
segera, (2) untuk mencegah kerusakan renal, (3) untuk menghindari gangguan
ginjal kronik, (4) untuk mencapai tujuan-tujuan di atas dengan toksisitas minimal.
Walaupun dalam dekade terakhir angka survival meningkat, harus ditekankan
bahwa regimen imunosupresif hasilnya masih suboptimal. Pertama, angka remisi
renal setelah terapi lini pertama paling baik hanya 81% dalam studi-studi
prospektif terbaru. Kedua, relaps renal terjadi pada sepertiga dari pasien LN,
kebanyakan saat pasien masih dalam kondisi imunosupresi. Ketiga, antara 10-20%
pasien mengalami gagal ginjal terminal 5-10 tahun setelah onset penyakit,
walaupun angka ini menurun pada studi-studi berikutnya (5-10%). Akhirnya,
toksisitas terkait pengobatan masih merupakan kekuatiran utama, seperti efek
samping metabolik dan tulang pada kortikosteroid dosis tinggi, infeksi tulang atau
gagal ovarium prematur pada wanita yang menerima siklofosfamid dosis tinggi.
11

Prinsip pengobatan nefritis lupus:
1. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya
dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda
pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal
diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi
tambahan agresif diperlukan.
2. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama
sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen,
anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung
situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis
diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain
diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.
3. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien
dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat
antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan
angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama
untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja
atau dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh
pasien hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik
dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan
monitor elektrolit yang baik.
4. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko premature
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga
harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target
terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah
kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan
SLE masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus
dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak
seperti HMG Co-A reductase inhibitors
12

5. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien SLE
6. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis
lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3
bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-
obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali
terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
7. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter
berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium,
gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi
gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi
klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.
8. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat antiin lamasi non steroid,
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi
bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).
Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam
waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
9. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal
ginjal juga meningkat.
13


Tabel 6. Rekomendasi Terapi Nefritis Lupus
Perjalanan penyakit nefritis lupus bervariasi antar pasien LES, bahkan
pada mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif dapat
14

menginduksi remisi pada sebagian besar pasien dengan nefritis lupus proliferatif,
tetapi sebagian proporsi dari mereka berkisar antara 27-66% pada berbagai studi-
akan mengalami flare. Flare merupakan masalah karena bahaya kerusakan
kumulatif yang dapat menurunkan fungsi ginjal dan juga toksisitas akibat
imunosupresi tambahan. Terapi rumatan dengan azathioprine, mycophenolate
mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya direkomendasikan. Flare renal dapat
dikategorikan sebagai nefritik atau nefrotik dan bisa ringan atau berat. Mayoritas
pasien yang mengalami flare dapat pulih fungsi ginjalnya, bila didiagnosis dan
diobati segera. Mocca dkk mendefinisikan renal flare sebagai peningkatan 30%
dari kreatinin serum atau peningkatan 2,0 gram/hari dari proteinuria setelah terapi
induksi. Pasien dengan indeks aktivitas teinggi dan adanya karyorrhexis lebih
sering mengalami rekurensi penyakit. Ioannidis dkk mendefinisikan penyakit
rekuren sebagai sedimen urin aktif (8-10 RBC/lpb) atau lebih dari 500 mg
proteinuria/24 jam.

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa
berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif. Dialisis dapat dilakukan untuk
mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga direkomendasikan
(pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan transplantasi ginjal). Dosis
kumulatif rata-rata dan dosis per sesi IV, dan masa paparan terhadap
Siklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam pengobatan Nefritis Lupus dan
Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian observasional selama 7 tahun.

Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan terapi, beberapa
kriteria keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal remission, disease
remission, renal relaps.
Kriteria renal remission :
a. Berkurangnya proteinuria 50% dan proteinuria < 3gr/24jam.
b. Hilangnya hematuria ( RBC 5 )
c. Hilangnya piuria (WBC 5)
d. Hilangnya celluler cast (<1)
15

e. Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum
kreatinin awal < 2mg/dl atau peningkatan 30% jika serum kreatinin
awal 2mg/dl.
Kriteria renal relaps :
a. Peningkatan proteinuria 50% dan proteinuria >1gr/24jam
b. Hematuria (RBC >5)
c. Piuria (WBC > 5)
d. Celluler cast 1
e. Penurunan GFR 30% pada dua pengukuran
Complete renal remission :
a. Proteinuria 24jam 500mg
b. RBC 5
c. WBC 5
d. Celluler cast <1
e. GFR 80ml/menit/1,73. Semua kriteria tersebut paling sedikit pada
dua kali pengukuran selama satu bulan pengobatan
Diseases remission merupakan kombinasi antara complete renal remision
dan tidak adanya manifestasi ekstra renal. Pada penatalaksanaan penting
diperhatikan adalah fokus pada strategi terapi yang bertujuan untuk mengurangi
progresifitas penyakit ginjal, menghambat perkembangan penyakit vaskuler,
menghambat kambuhnya penyakit dan mengurangi efek samping pengobatan.
Pengobatan pada NL bertujuan untuk terjadinya induksi dan mencegah terjadinya
relaps. Namun disadari pula maintenance pengobatan jangka panjang dengan
steroid dan cytotoxic agent sering disertai dengan terjadinya efek samping dan
morbiditas. Rata-rata kejadian relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.

2.8 Prognosis
Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki
prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya akan
16

menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang
keterlibatan glomerolus 50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai
prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki
prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian
kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.
Prognosis bergantung kepada bentuk dari nefritis lupus. Pasien dapat
sembuh sementara dan kemudian timbul kembali gejala akut dari lupus. Beberapa
kasus berkembang menjadi gagal ginjal kronik.

17

BAB 3. KESIMPULAN

Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada SLE. Penyakit SLE dapat
ditemukan pada semua umur, tapi paling sering pada usia 20-40 tahun dan 90%
adalah wanita. Keterlibatan ginjal paling sering ditemukan sekitar 60% pada
pasien dewasa, walaupun pada awal SLE kelainan ginjal didapatkan 35-50 kasus.
Diagnosis klinis NL ditegakan bila pada pasien SLE (minimal terdapat 4
dari kriteria ARA) didapatkan protein urea 1gr/24 jam dengan atau hematuria
(>8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan
diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan biopsi ginjal.
Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah fokus pada strategi
terapi yang bertujuan untuk mengurang progresifitas penyakit ginjal, menghambat
perkembangan penyakit vaskuler, menghambat kambuhnya penyakit dan
mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada NL bertujuan untuk
terjadinya induksi dan mencegah terjadinya relaps. Namun disadari pula
maintenance pengobatan jangka panjang dengan steroid dan cytotoxic agent
sering disertai dengan terjadinya efek samping dan morbiditas. Rata-rata kejadian
relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.


18

DAFTAR PUSTAKA

1. Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS. Nefritis Lupus. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Dept. Ilmu Penyakit
Dalam FK-UI.
2. Bevra HH. Systemic Lupus Erythematosus. 2005. Harrison Principles Of
International Medicine ed 18th. Vol II. McGraw-Hill Medical Publishing
Division
3. Cameron JS. Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999; 10; 413-424
4. Lawrence H Brent, MD; Venchi Batuman, MD, FACP. Lupus Nefritis.
Update Jun 2011. Available at http://www,emedicine.medscape.com.
5. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. 2011.
6. Weening JJ, DAgati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE, Appel
GB. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus
erythematosus revisited. J Am Soc Nephrol. 2004;15(2):241-50

Anda mungkin juga menyukai