TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nefritis Lupus
Istilah Lupus (bahasa Latin: serigala) pertama kali dipakai oleh dokter
Rogerius pada abad ke 13, yang menggunakan untuk menggambarkan wajah
dengan ruam yang mengingatkan kepada muka serigala. Lupus adalah penyakit
autoimun dan kronis yang dapat merusak bagian tubuh (kulit, sendi, dan/atau
organ-organ di dalam tubuh). Dikatakan kronis karena tanda-tanda dan gejala
lupus cenderung bertahan lama dan sering kambuh. Salah satu jenisnya yang
sangat terkenal adalah lupus eritematosus sistemik (Wijaya, 2010).
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada LES berupa glomerulonefritis
dan gagal ginjal kronik. Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria.
Diagnosis klinis nefritis lupus di tegakkan bila pada LES terdapat tanda-tanda
proteinuria dalam jumlah lebih atau sama dengan 1 gram/24 jam atau dengan
hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan penurunan fungsi ginjal sampai 30%.
Sebanyak 60% pasien LES dewasa akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata,
walaupun pada fase awal LES, kelainan atau gangguan fungsi ginjal terdapat
25%-50% kasus (Crisan, et al, 2004). Selain ginjal, LES juga dapat merusak
kulit, sendi, sistem saraf dan hampir semua organ dalam tubuh (Schur, 2008).
Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai
glomerulonfritis membranoproliferatif difus. Keterlibatan renal pada LES
mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus
yang ringan semakin sering dideteksi ,insidens yang bermakna semakin menurun.
Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis
lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat dan sering
mengalami End Stage Renal Disease (ESRD) dalam waktu 10 tahun . Klinis
berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, dan penyakit ginjal kronik stadium
akhir (Sukmana, 2004).
dapat
mencetuskan
atau
memperberat
penyakit
autoimun.
100
Sindrom nefrotik
45-65
Silinder granular
30
Silinder eritrosit
10
Hematuri mikroskopik
80
Hematuri makroskopik
1-2
40-80
30
1-2
Hipertensi
15-50
Hiperkalemi
15
Abnormalitas tubuler
60-80
Profil lipid
Darah rutin (Hb, leukosit, LED ,trombosit)
Pemeriksaan serologis :
ANA Fluorescent
Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan
SLE.
Anti dsDNA
Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien
berhubungan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.
Antibodi SmNA (Nuclear Antigen)
Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis
Profil komplemen (C3, C4)
Circulating immune complexes (CICX)
Imunoglobin serum
2.5 Diagnosis Nefritis Lupus
Kriteria diagnosis nefritis lupus menurut Bawazier (2006), harus
memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria yang didasarkan pada kriteria klinis dan
laboratories American Rheumatology Association (ARA) antara lain :
1. Ruam malar
2. Ruam bercak-bercak (discoid)
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus oral (sariawan di rongga mulut dan tenggorokan)
5. Arthritis (Radang sendi non-erosif pada 2 sendi atau lebih)
6. Radang selaput dalaman, pleuritis dan / atau perikarditis
7.
10. Kelainan imunologis (anti ds-DNA positif, antibody sm positif, atau tes
sifilis palsu atau sel LE positif)
11. Kadar Antibodi antinuclear abnormal
Dan di tambah dengan 2 kriteria lagi, yaitu:
1. Proteinuria persisten, hematuri disertai kelainan sedimen aktif
2. Kenaikan titer anti nucleus dan DNA-binding antibody atau keduanya
2.6Penatalaksanaan Nefritis Lupus
Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk
pasien yang baru terdiagnosis nefritis lupus : (1) untuk mencapai remisi renal
segera, (2) untuk mencegah renal flare, (3) untuk menghindari gangguan ginjal
kronik, (4) untuk mencapai tujuan-tujuan di atas dengan toksisitas minimal.
Walaupun dalam dekade terakhir angka survival meningkat, harus ditekankan
bahwa regimen imunosupresif hasilnya masih suboptimal.
Pertama, angka remisi renal setelah terapi lini pertama paling baik hanya
81% dalam studi-studi prospektif terbaru. Kedua, relaps renal terjadi pada
sepertiga dari pasien LN, kebanyakan saat pasien masih dalam kondisi
imunosupresi. Ketiga, antara 10-20% pasien mengalami gagal ginjal terminal 5-10
tahun setelah onset penyakit, walaupun angka ini menurun pada studi-studi
berikutnya (5-10%). Akhirnya, toksisitas terkait pengobatan masih merupakan
kekuatiran utama, seperti efek samping metabolik dan tulang pada kortikosteroid
dosis tinggi, infeksi tulang atau gagal ovarium prematur pada wanita yang
menerima siklofosfamid dosis tinggi.
Terapi kortikosteroid harus diberikan bila pasian mengalami penyakit
ginjal yang signifikan secara klinis. Gunakan agen imunosupresif terutama
siklofosfamid, azathioprine, atau mycophenolate mofetil bila pasien mengalami
lesi proliferatif agresif. Agen-agen ini juga bisa digunakan bila pasien tidak respon
atau terlalu sensitif terhadap kortikosteroid.
Obati hipertensi secara agresif, pertimbangkan pemberian ACE inhibitor
atau ARB bila pasien mengalami proteinuria signifikan tanpa insufisiensi renal
signifikan.
sembuh sementara dan kemudian timbul kembali gejala akut dari lupus. Beberapa
kasus berkembang menjadi gagal ginjal kronik.
Daftar Pustaka
1. Dooley
MA. Clinical
nephritis. Dalam:
and
laboratory
features
of
lupus
http://www.infodokterku.com
7. Crisan, Viorica. Lupus Nephritis - Clinical and Therapeutical Aspects.
2004. Haemodialysis and Renal Transplantation Department of CHU
Amiens France.
8. Schur PH. General symptomatology and diagnosis of systemic lupus
erythematosus in adults. 2008:60: 125
9. Sukmana, Nanang. Penatalaksanaan LES dalam berbagai target organ.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004. Jakarta. 2004.
10
11