Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Juni 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM NEFROTIK

Oleh :

Aulia Areta Rahma

K1A1 14 120

PEMBIMBING
dr. Adry Leonardy Tendean, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
SINDROM NEFROTIK

Aulia Areta Rahma, Adry Leonardy Tendean

A. Pendahuluan

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu menifestasi klinik


glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥
3,5 g/hari, hipoalbuminemia < 3,5 mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.1,2

Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,
tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum yang rendah ekskresi
protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkonstribusi terhadap
berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia
dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulobilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormone tiroid sering dijumpai pada
SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa
episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.1

B. Anatomi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas.Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi
cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu
tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan
ureter menuju dan meninggalkan ginjal.3
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi, hal ini tergantung pada jenis
kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsi klinis
didapatkan bahwa ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11,5 cm
(panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170
gram, atau kurang lebih 0,4% dari berat badan.3
1. Struktur Ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan
medulla ginjal.Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di
dalam medulla banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional
terkecil dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimalis, tubulus
kontortus distalis, dan duktus kolengentes.3

Gambar 3 :Nefron merupakan unit terkecil ginjal

Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di


dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat sisa hasil metabolisme
mengalami sekresi bersama air membentuk urin.3
Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus
dan menghasilkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter.3
Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks
major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa system pelvikalis terdiri atas
epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu
berkontraksi unuk mengalirkan urin sampai ke ureter.3
2. Vaskularisasi Ginjal
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan
cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialrkan
melalui vena renalis yang bermuarake dalam vena kava inferior. Sistem
arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai
anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat
kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis
pada daerah yang dilayaninya.3

Gambar 4 :Vaskularisasi Ginjal

C. Fisiologi ginjal

Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara


mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah,
mengatur asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan
garam dan memproduksi hormon yaitu3 :

1. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta


mempengaruhi tekanan vaskuler.
2. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
3. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium
dari usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
4. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan
tekanan vaskuler dan produksi aldosteron.
D. Definisi Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang
ditandai dengan hilangnya protein secara masif melalui urine (albuminuria),
diikuti dengan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya
mengakibatkan edema, dan hal ini berkaitan dengan timbulnya
hiperkolesterolemia.1

E. Epidemiologi
Sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua usia. Pada orang dewasa
sindrom nefrotik yang paling banyak ditemukan yaitu nefropati membranosa
sekitar 30% sampai 50%, dengan umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan
laki-laki dan wanita 2:1dengan angka kejadian 3/1.000.000 tahun. 4
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical
Practice Guideline tahun 2012. Didapatkan 1-3 kasus dari 100.000 dibawah 16
tahun menderita sindrom nefrotik. Prevalensi sindrom nefrotik di Indonesia
yaitu 6 dari 100.000 dibawah 14 tahun5

F. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective
tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sitemik.1Klasifikasi dan
penyebab sindrom nefrotik :
1. Sindrom nefrotik primer1,6
-
GN lesi minimal (GNLM)
-
Glomerulosklerosis fokal (GSF)
-
GN membranosa (GNMN)
-
GN membranoproliferatif (GNMP)
-
GN proliferative lain
Glomerulonefritis primer / idiopatik merupakan penyebab SN yang
paling sering. Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.6

2. Sindrom nefrotik sekunder 1


a). Infeksi : HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis,
malaria, skistosoma, tuberculosis, lepra.
b). Keganasan : karsinoma ginjal, limfoma Hodgkin
c). efek obat dan toksin : obat anti inflamasi non-steroid,
penisilinamin, probenesid, kaptopril,
heroin, air raksa.
d). lain-lain : diabetes mellitus, amiloidosis, pre-
eklamsia.

Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaaan urin termasuk pemeriksaan sedimen
perlu dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum,
kolesterol, dan trigliserida juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis
penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik
lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan
penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak
memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan
serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat. 6

G. Patofisiologi
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan
pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien sindrom
nefrotik.Komponen sindrom nefrotik memperlihatkan hubungan logis satu
sama lain. Proses awal adalah kerusakan dinding kapiler glomerulus yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap protein plasma.7
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glumerulus.Dalam keadaan normal MBG
(Membran Basalis Glomerulus) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein.Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(charge barrier).Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos
tidaknya protein melalui MBG.1
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non- selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin.Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan
non- selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan
struktur MBG.1
Secara keseluruhan, walau proteinuria menetap pada lebih dari 60%
pasien, hanya sekitar 40% pasien mengalami penyakit progresif yang
berakhir pada gagal ginjal setelah 2 sampai 20 tahun. Sebanyak 10% sampai
30% memperlihatkan perjalanan penyakit jinak dengan remisi proteinuria
yang parsial atau total.7
b. Edema
Edema, Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan
albuminuria dan akhirnya hipoalbuminemia. Pada gilirannya,
hipoalbuminemia menurunkan tekanan osmotik koloid plasma,
menyebabkan filtrasi transkapiler lebih besar dari air ke seluruh tubuh dan
akhirnya dapat menimbulkan edema.8Edema mula- mula nampak pada
kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka
sering disertai edema pada genitalia eksterna.Selain itu edema anasarka ini
dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa
usus.Akibat anoreksia dan proteinuria masif, pada anak dapat menderita
PEM (Protein Energi Malnutrisi). Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps
rectum dan sesak napas dapat pula terjadi akibat edema anasarka ini.4
c. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN,
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin.Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi
timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan
sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
melalui urin.1
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia dan lipiduria, Hiperlipidemia merupakan keadaan yang
sering menyertai SN.Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan
trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan
kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL. Mekanisme
hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.Semula
diduga hiperlipidemia hasil stimulasi non spesifikterhadap sintesis protein
oleh hati. Oleh karen sintesis protein tidak berkorelasi dengan
hiperlipidemia disimpulkan hiperlipdemia tidak langsung diakibatkan oleh
hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada sindrom nefrotik
dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien
hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.1

Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati


tanpa gangguan katabolisme. Penigkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL mennyebabkan kadar VLDL tinggi
pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) di duga
merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada
SN.Peningkatan sintesis lipoprotein pada hati terjadi akibat tekanan onkotik
plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini
juga berperan mengangkut kolesterol menuju hati untuk
katabolisme.Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria serinng ditemukan pada
SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel cast seperti badan
lemak berbentuk oval dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan
proteinuria dibangdingkan dengan hiperlipidemia.1

G. Gejala klinis
Gejala utama sindrom nefrotik adalah edema. Pada fase awal, edema
muncul di bagian lokal seperti kelopak mata; pada fase lanjut, edema umum
terjadi dengan efusi pleura dan asites. Sindrom nefrotik kadang-kadang
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas atau reaksi alergi yang dipicu
oleh gigitan serangga. Penting untuk mengevaluasi kemungkinan penyakit
glomerulus sekunder pada pasien usia lanjut dengan sindrom nefrotik.8
Edema merupakan keluhan utama pada sindrom nefrotik, tidak jarang
merupakan keluhan satu-satunya. Timbulnya muncul terutama pada pagi hari
dan hilang pada siang hari. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat
atau pun juga cepat hilang kemudian timbul kembali. Lokasi pada edema
biasanya mengenai mata. Kemudia juga edema dapat menjadi menyeluruh,
yaitu pada pinggang, perut, genitalia dan tungkai bawah. Sebelum mencapai
keadaan pasien biasa mengeluhkan berat badan tidak naik namun kemudian
tiba-tiba mendadak berat badan menjadi bertambah dan terjadinya pertambahan
ini tidak disertai nafsu makan yang meningkat.9
Hematuria dan hipertensi bermanifestasi pada sebagian kecil pasien.
Gejala tambahan akan bervariasi sesuai dengan penyebab dan sebagai akibat
dari apakah ada gangguan fungsi ginjal. Jadi, dalam kasus diabetes yang sudah
berlangsung lama, pasien mungkin menderita retinopati diabetik, yang
berkorelasi erat dengan nefropati diabetik. Jika fungsi ginjal berkurang, pasien
mungkin menderita hipertensi, anemia, atau keduanya9.

H. Langkah diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti
bengkak dikedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh,
peningkatan berat badan, dan rasa penuh diperut hingga dapat menyebabkan
sesak.Tanyakan juga mengenai riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah
keluar, adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin
berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah
kepenyebab penyakit ginjal seperti hipertensi.1,4,8,9
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi terdapat edema pada periorbita maupun ekstremitas,
palpasi ditemukan pitting edema, dan pada perkusi dapat timbul asites pada
abdomen (shifting dullness). 1,4,8,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah:
Kadar albumin serum secara klasik rendah pada sindrom nefrotik,
serum albumin sering <2,5 g / dL. Konsentrasi kreatinin bervariasi
berdasarkan tingkat kerusakan ginjal. Total kadar kolesterol dan
trigliserida biasanya meningkat.9

b. Urin :
Proteinuria pada kisaran nefrotik akan terlihat 3+ atau 4+ pada
dipstick, atau dengan pengujian semiquantitatif oleh asam sulfosalisilat.
Pembacaan 3+ mewakili 300 mg / dL protein urin atau lebih, yang
berkorelasi dengan kehilangan harian 3 g atau lebih dan dengan demikian
berada dalam kisaran nefrotik. Sampel urin lebih dari 24 jam (untuk
ukuran yang akurat), proteinuria (3 g protein) bersifat diagnostik.
Lipiduria, adanya lipid bebas atau lipid di dalam sel tubular, di dalam
gips, atau sebagai globula bebas, menunjukkan gangguan glomerulus.9

c. Ultrasonografi:

Pemindaian ultrasonografi menunjukkan apakah pasien memiliki dua


ginjal. Individu dengan satu ginjal mungkin rentan terhadap
perkembangan glomerulosklerosis fokal. Memiliki hanya satu ginjal juga
merupakan kontraindikasi relatif terhadap biopsi ginjal.

Ultrasonografi juga menunjukkan echogenicity ginjal. Peningkatan


echogenisitas ginjal konsisten dengan fibrosis intrarenal (yaitu, penyakit
kronis dengan penurunan fungsi ginjal.8

d. Biopsi ginjal:

Diindikasikan sebagai berikut: sindrom nefrotik kongenital, anak-


anak yang lebih dari 8 tahun saat onset terjadi, resistensi steroid, sering
kambuh atau ketergantungan steroid, manifestasi nefritik yang
signifikan.9

H. Diagnosa Banding
1. Glomerulonefritis akut
Pada penyakit ini terjadi inflamasi akut glomerulus.Pada stadium akut,
terjadi kerusakan mendadak pada membran glomerulus. Penyakit ini sering
dijumpai pada anak dan dewasa muda setelah mengalami infeksi kuman
Streptococcus grup A pada saluran napas bagian atas. Terjadi pengendapan
kompleks antigen-antibodi pada membrane glomerulus yang dapat merusak
integritas membrane glomerulus.2
Gambar 9 :subakut glomerulonefritis: Peningkatan echogenicity
kortikal dengan piramida sangat hypoechoic

2. Gagal jantung kongestif


Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang
kompleks yang disertai dengan keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik,
baik dalam keadaan istrahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.1

Gambar 10 :Gagal jantung kongestif


I. Penatalaksanaan
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah
garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral
dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasikan dengan tiazid,
metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan.
Pembatasan asupan protein 0,8 -1,0 g/kg BB/ hari dapat mengurangi
proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensi (angiotensi
converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II
(angiotensin II receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan
kolesterol HDL.1
Diperlukan evaluasi terperinci sebelum memulai pengobatan dengan
kortikosteroid. Tinggi, berat dan tekanan darah harus dicatat. Catatan berat
badan teratur membantu memantau penurunan atau peningkatan edema.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi infeksi dan gangguan sistemik
yang mendasarinya. 9
Terapi steroid diterapkan untuk semua anak apa pun histopatologinya.
Terapi prednison awal terdiri dari 60 mg / m2 diberikan setiap hari selama
empat minggu (dosis maksimum, 60 mg / hari), 40 mg / m2 / pada hari-hari
alternatif selama empat minggu, kurangi dosis 5 mg / m2 menjadi 10 mg / m2
setiap minggu selama empat minggu kemudian berhenti.9
Pada keadaan relaps prednisolon harus dimulai kembali setelah relaps
didiagnosis: 2 mg / kg setiap hari (maksimum 60 mg) sampai urin negatif atau
hilang selama tiga hari, kemudian 40 mg / m 2 / pada hari-hari alternatif selama
4 minggu kemudian berhenti atau mengurangi dosis lebih dari 4 hingga 8
minggu.
J. Komplikasi
1. Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis
dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemen berberat molekul rendah dalam urin. Peritonitis dapat
disebabkan oleh kuman S. Penumoniae yang dapat menyerang pasien SN.
Selain peritonitis dan selulitis, pasien SN juga bisa terinfeksi pneumonia
bahkan bisa menjadi sepsis.Perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral
dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak
dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin
varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan
dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena
(400mg/kgbb).Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena
(1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80
mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid
sebaiknya dihentikan sementara.10
2. Trombosis
Pada pasien SN bisa terjadi tromboemboli karena adanya
hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan atau
hilangnya kadar antirombin III, dan aktivitas antiplasmin melalui
glomerulus yang bocor. Trombosis dapat terjadi didalam vena maupun
arteri. Adanya dehidrasi meningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis.
Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin
selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian
aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.10
3. Hipokalsemia
Pada pasien SN bisa terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid
jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia dan
kebocoran metabolit vitamin D.Oleh karena itu pada pasien SN yang
mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250
IU).Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5 mL/kgbb intravena.10
4. Hipertensi
Hipertensi dapat terjadi dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas
steroid.Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel
blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah
persentil 90.10
5. Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan
atau pada keadaan SN relaps. Gejala yang dapat timbul seperti hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin, dan sering terjadi sakit perut.Pasien harus
segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb
dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20
mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi
dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.10
6. Efek Samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua
pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap
6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.11
I. PROGNOSIS

Untuk pasien dengan perubahan patologi minimal, prognosisnya sangat


baik, dengan sebagian besar pasien mengalami remisi setelah menjalani
pengobatan kortikosteroid. 85 hingga 90% pasien responsif terhadap steroid
dan mungkin kambuh menempatkan mereka pada risiko toksisitas steroid,
infeksi sistemik, dan komplikasi lainnya.

Untuk pasien dengan glomerulosklerosis fokal-segmental, prognosisnya


serius. Umumnya akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir yang
membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Suryono. A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Internal
Publishing:Jakarta.2009
2. Price S, Wilson L. Gagal Ginjal Kronik. In : Huriawati Hartanto. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta : EGC; 2006.
3. Purnomo Basuki B. Anatomi Sistem Urogenitalia. Dasar-Dasar Urologi. Edisi
ke-2. Malang : CV. Sagung Seto; 2009.
4. Prama, PD. Mayetti. Khadri, H. 2013. Hubungan antara Proteinuria dan
Hipoalbuminemia pada anak dengan Sindrom Nefrotik yang dirawa di
RSUP DR.M.Djamil Padang Periode 2009-2012. Jurnal Kesehatan
Andalas.2(2)
5. Purnami, NMA. Nikiwati, IGAP. Faktor Risiko Kekambuhan Pasien Sindrom
Nefrotik. Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. 2013 ; 2(1).39-48
6. Arista E. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. J.
Kedokt Meditek. 2017 ; 23 (64) 73-74
7. Kumar Vinay, Ramzi S, Stanley LR. Ginjal dan Sistem Penyalurnya. Buku
Ajar Patologi Robbins. 7 ed. Jakarta: EGC; 2007.
8. Cohen EP. Nephrotic Syndrome Treatment & Management. [Internet].
Medscape 2018. [cite on 30 Mei, 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/244631-treatment.
9. Tapia C dan Bashir K. Nephrotic syndrome. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 2019
10. Kodner, C.. Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrom in Adults.
American Family Physician. 2016 ; 93(6): 480-485
11. Purnami, NMA. Nikiwati, IGAP. Faktor Risiko Kekambuhan Pasien Sindrom
Nefrotik. Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. 2013 ; 2(1).39-48

Anda mungkin juga menyukai