Anda di halaman 1dari 28

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medis

1. Defenisi

Sindrom Nefrotik adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan

oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik;

proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema.

(Suriadi, 2006).

Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan

proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat

terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus.

(Hidayat, A.Aziz, 2006).

Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,

hipoalbuminemia, hiperlipidemia, kadang-kadang terdapat hematuria,

hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 2005).

Berdasarkan pengertian diatas maka, dapat diambil kesimpulan bahwa

sindroma nefrotik adalah merupakan suatu kumpulan gejala yang ditandai

dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.

Sindrom Nefrotik pada anak dibagi menjadi sindrom nefrotik yang masih

sensitif terhadap steroid dan yang sudah resisten terhadap steroid, Karena,

respon terhadap steroid memiliki korelasi yang besar, dengan subtipe

histologis dan prognosis penyakit. Penelitian besar sindrom nefrotik pada


9

anak-anak, International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)

menemukan, sebagian besar anak dengan INS sebelum memasuki usia

remaja mengalami MCNS, memberi respon terhadap kortikosteroid.

Sedangkan pada anak dengan FSGS, hanya 20% yang respon terhadap

steroid.

2. Anatomi Fisiologi (Brunner dan Suddarth, 2001).

a. Anatomi

Sistem perkemihan terdiri atas :

1) Ginjal (Renal)

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang

peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra

lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit

lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang

besar.

2) Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari

ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang

0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian

lagi terletak pada rongga pelvis.

3) Vesika Urinaria (Kandung Kemih).

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini

berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis


10

di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan

mengempis seperti balon karet.

4) Uretra

Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria

yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.

b. Fisiologi

1) Proses Filtrasi di glomerulus.

Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan

darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai

bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,

bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring

disebut filtrate gromerulus.

2) Proses Reabsorbsi.

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari

glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat.

Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus

proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan

sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi

secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla

renalis.

3) Proses sekresi.

Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal

dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.


11

3. Etiologi

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini

dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen –

antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi menjadi :

a. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi

maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan

biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Gejala : Edema pada masa neonates

b. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh :

1) Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan plasmodium

malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit

malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi

antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian

akan terulang lagi tiap tiga hari) atau parasit lainnya.

2) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura

anafilaktoid.

3) Glumerulonefritis akut atau kronik.

4) Trombosis vena renalis.

5) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,

air raksa.
12

6) Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis

membranoproliferatif hipokomplementemik. (Ngastiyah, 2005).

c. Sindrom nefrotik idiopatik

Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer.

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan

pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk

membaginya menjadi :

1) Kelainan minimal

Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel

berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat

imunoglublin G (IgG) pada dinding kapiler glomerulus.

2) Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang

tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.

3) Glomerulonefritis proliferatif

a) Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi

sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan

sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

b) Dengan penebalan batang lobular.

Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan

batang lobular.
13

c) Dengan bulan sabit (crescent)

Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel

sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.

d) Glomerulonefritis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai

membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-

IA rendah. Prognosis buruk.

e) Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

4) Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering

disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.

4. Insiden

Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit yang sering ditemukan di

Indonesia. Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun

diperkirakan pada anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7

kasus per tahun pada setiap 1.000.000 anak. Sindroma nefrotik tanpa disertai

kelainan kelainan sistemik disebut SN primer, ditemukan pada 90% kasus

SN anak. Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling

banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney

Disease in Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah

kelainan minimal. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari

penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut

sindroma nefrotik sekunder. Insiden sindroma nefrotik primer ini 2 kasus per
14

tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka

prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara

laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri

menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang

dari 5 tahun.

5. Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal (MCNS : minimal change nephrotic

syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia

sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat

hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

b. Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus

eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi

system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

c. Sindrom Nefrotik Kongenital

Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif

autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek

dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten

terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun

pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialisis.


15

6. Patofisiologi

Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama

albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi

albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika

albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga terjadi

hipoalbuminemia.

Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata

akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan

ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-

angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.

Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi

sintesis lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam

darah (hiperlipidemia).

Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik

atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum

penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga

terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab sindrom nefrotik

mencakup glomerulonefritis kronis, dibetes mellitus disertai

glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus

erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.

Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan

memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami

glomerulus progresif cepat. (Muttaqin, 2011).


16

7. Manifestasi Klinik

a. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya

bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya

lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan

disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia

dan ekstermitas bawah.

b. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa.

c. Pucat

d. Hematuri

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,

namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe

sindrom nefrotik.

e. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

f. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan

keletihan umumnya terjadi.

g. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).

h. Proteinuria > 3,5 g/hr pada dewasa atau 0,05 g/kgBB/hr pada anak-anak

(Betz, Cecily L.2002).

8. Test Diagnostik

a. Pemeriksaan Urin

Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom

nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick

bacaan, atau dengan pengujian semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic.


17

Sebuah 3 + merupakan 300 mg / dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g

/ L atau lebih dan dengan demikian dalam kisaran nefrotik. Pemeriksaan

dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang diuji.

1) Protein urin : > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari.

2) Urinalisa : cast hialin dan granular, hematuria.

3) Dipstick urin : positif untuk protein dan darah

4) Berat jenis urin : meningkat (normal : 285 mOsmol).

b. Darah

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

1) Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml).

2) Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml).

Hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar albumin

dalam darah < 2,5 gram/100 ml). Pada SN ternyata katabolisme

protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi di tubuh

ginjal. Peningkatan katabolisme in merupakan faktor tambahan

terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria).

Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus

sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan

hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar

albumin darah < 2 gram/100 ml, dan syok hipovolemia terjadi

biasanya pada kadar < 1 gram/100 ml (Betz, 2002).


18

3) Pemeriksaan Diagnostik

a) Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.

b) USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan

pengkisutan ginjal.

c) Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk

glomerulonefritis kronis atau pembentukkan jaringan parut yang

tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002).

9. Penatalaksanaan Medik

a. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk

mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan

hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:

1) Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai

kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam

secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein

2-3 gram/kgBB/hari.

2) Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4

gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila

edema berkurang dapat diberi garam sedikit.

3) Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat

digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung

pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter,

dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama


19

pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,

alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

4) Dengan antibiotik bila ada infeksi.

5) Diuretikum

6) Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children

(ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :

a) Selama 28 hari prednisolon diberikan per oral dengan dosis 60

mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80

mg/hari.

b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari

dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu

dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka

pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap

minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.

7) Lain-lain

Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.

Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis (Behrman, 2000).

b. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena

memerlukan pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien

yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko
20

komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman

dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit

pasien.

Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat

tidur, karena dengan keadaan edema yang berat menyebabkan pasien

kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat

semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.

1) Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga

thoraks akan menyebabkan sesak nafas.

2) Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal

diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung

kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).

3) Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum

untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah

terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab

kematian pasien).

Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan

kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh

keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk

mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di

ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindroma

nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan

selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet


21

rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35

kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan

disesuaikan dengan keadaan pasien, bisa makanan biasa atau lunak.

(Ngastiyah, 2005).

Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan

tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit

akibat infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi

tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau

pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada

infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan

pulang, orang tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat

anak yang menderita penyakit sindroma nefrotik. Pasien sendiri perlu

juga diterangkan aktivitas apa yang perlu dilakukan dan kepatuhan

tentang dietnya masih perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter

mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa

penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak

terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua atau pasien dianjurkan

kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali).

(Ngastiyah, 2005).
22

10. Komplikasi

a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah

akibat hipoalbuminemia.

b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml)

yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi

sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.

d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.

(Rauf, 2002).

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian (Smeltzer C, Suzanne, 2002)

a. Pengkajian Anamnesa

1) Identitas

2) Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki.

3) Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan

hal berikut:

a) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.

b) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai

dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah.

c) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.

4) Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji

apakah klien pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat

dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi


23

pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian

obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat

dan dokumentasikan.

5) Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik, wajah,

dan kaki yang bengkak akan memberikan dampak rasa cemas dan

koping yang maladaptif pada klien.

6) Riwayat kehamilan dan persalinan

a) Prenatal

Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama

mengandung dan asupan nutrisi selama kehamilan.

b) Natal

Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat

dilahirkan.

c) Postnatal

Asupan nutrisi yang diperoleh saat dilahirkan hingga dewasa.

d) Imunisasi

BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali.

7) Riwayat kesehatan lingkungan

Endemik malaria sering terjadi kasus sindroma nefrotik.

8) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

Berat badan = umur (tahun) x 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali tinggi

badan lahir.
24

Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik

dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa

daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin

beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu,

elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.

Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school

(inisiatif vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar

mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak

akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.

Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai

mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru,

menggunakan alat-alat sederhana.

Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar

orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga,

menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes bila

dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil,

meniru aktivitas orang dewasa.

Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur,

kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi,

perasaan berpisah dari orang tua, teman.


25

b. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat

kesadaran biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan

adanya perubahan.

1) B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas

dan jalan napas walau secara frekuensi mengalami peningkatan

terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya

gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons

terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.

2) B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons


sekunder dari peningkatan beban volume.
3) B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak
ikterik. Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat
parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
4) B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga
sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan
asites pada abdomen
5) B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek
sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
c. Pengkajian Diagnostik

Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria,

terutama albumin. Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya

permeabilitas membaran glomerulus.


26

d. Pengkajian Penatalaksanaan Medis

Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut

dan menurunkan risiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka

penatalaksanaan tersebut meliputi hal-hal berikut :

1) Tirah baring

Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada

bahaya trombosis, apabila relaps.

2) Diuretik

Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari.

3) Adenokortikosteroid, golongan prednison

Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu

(maksimal 80 mg/24 jam). Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam

dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam sekali selama 4 minggu. Tapering

off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2 minggu, selama 2-4 bulan.

4) Diet rendah natrium tinggi protein

Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama

pemberian kortikosteroid. Cairan dibatasi. Pemberian kalsium dan

vitamin D.

5) Terapi cairan

Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur

secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi

kehilangan cairan dan berat badan harian.


27

2. Dampak terhadap KDM


28

3. Diagnosa Keperawatan (Carpenito, Lynda juall. 2006)

a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine,

retensi cairan dan natrium.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien.

c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot,

kontrol dan atau massa.

d. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

4. Intervensi Keperawatan (Doenges, E Marlyn, 2000)

a. Diagnosa Keperawatan :

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine,

retensi cairan dan natrium

No Tujuan Intervensi Rasional

1. Setelah dilakukan 1. Pertahankan catatan 1. Mengetahui resiko


tindakan keperawatan intake dan output derajat edema yang
kelebihan cairan yang akurat lebih kronis.
teratasi. 2. Pasang urin kateter 2. Memberi
Dengan kriteria: jika diperlukan kemudahan
- Tidak ada informasi takaran
Edema urin.
- TTV Normal 3. Monitor hasil lab. 3. Mengetahui kondisi
- tidak ada yang sesuai dengan kimia darah untuk
dyspneu retensi cairan (BUN, pedoman intervensi
- Terbebas dari Hmt, osmolalitas yang tepat.
distensi vena urin)
29

jugularis
4. Monitor vital sign 4. Perubahan vital
sign indikator
terjadinya
hipovolemik dalam
plasma
5. Monitor indikasi
5. Mencegah
retensi/kelebihan
terjadinya
cairan (cracles, CVP,
komplikasi yang
edema, distensi vena
lebih parah.
leher, asites)
6. Kaji lokasi dan luas
6. Menentukan
edema
kualitas diuretik
yang diberikan.
7. Monitor masukan
7. Mencegah intake
makanan/cairan
cairan berlebih
8. Mengetahui derajat
8. Monitor berat badan
edema.
9. Mengetahui
9. Monitor elektrolit
konsentrasi natrium
10. Mengetahui
10. Monitor tanda dan
tingkat keparahan
gejala dari edema
edema.
30

b. Diagnosa Keperawatan :

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien.

No Tujuan Intervensi Rasional

2. Setelah dilakukan 1. Kaji adanya alergi 1. Pedoman


tindakan keperawatan makanan menentukan
nutrisi kurang teratasi intervensi diit
Dengan kriteria: makanan.
- Albumin serum dalam 2. Kolaborasi dengan 2. Terpenuhinya
interval normal ahli gizi untuk kebutuhan nutrisi
- Pre albumin serum menentukan jumlah tubuh secara tepat
- Hematrokit Normal kalori dan nutrisi
- BB Meningkat yang dibutuhkan
- Intake meningkat pasien
3. Monitor adanya 3. Indikator kondisi
penurunan BB, gula nutrisi tubuh dan
darah mencegah
terjadinya
komplikasi
4. Monitor turgor kulit 4. Indikator kondisi
nutrisi tubuh dan
mencegah
terjadinya
komplikasi
5. Monitor kekeringan, 5. Indikator kondisi
rambut kusam, total nutrisi tubuh dan
protein, Hb dan kadar mencegah
31

Ht. terjadinya
komplikasi.
6. Monitor mual dan 6. Mencegah
muntah terjadinya output
berlebih lewat
refluks dengan
penentuan
intervensi
7. Monitor pucat,
7. Mengetahui kondisi
kemerahan, dan
anemia
kekeringan
konjungtiva
8. Monitor intake nutrisi
8. Meningkatkan
nutrisi tubuh

9. Kolaborasi dengan
9. Meningkatkan
dokter tentang
nutrisi tubuh
kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/TPN sehingga
intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan
10. Informasikan 10. Memberi motivasi
kepada klien dan dalam
keluarga tentang meningkatkan
manfaat nutrisi suplai nutrisi
tubuh
32

c. Diagnosa Keperawatan :

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot,

kontrol dan atau massa.

No Tujuan Intervensi Rasional

3. Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan 1. Menentukan derajat


tindakan keperawatan pasien dalam ketidakmampuan
maka gangguan mobilisasi aktivitas untuk
mobilitas fisik teratasi. menentukan
Dengan kriteria : intervensi yang
- Klien meningkat dalam sesuai
aktivitas fisik 2. Latih pasien dalam 2. Melatih kekuatan
- Mengerti tujuan dari pemenuhan otot untuk bergerak
peningkatan mobilitas kebutuhan ADL serta kemandirian
- Memperagakan secara mandiri sesuai dalam memenuhi
penggunaan alat bantu kemampuan ADL.
untuk mobilisasi 3. Dampingi dan bantu 3. Terpenuhinya ADL
(walker) pasien saat mobilisasi klien secara
dan bantu penuhi komprehensif
kebutuhan ADL
pasien
4. Rencanakan dan 4. Meningkatkan
sediakan aktivitas kemampuan
secara bertahap aktivitas klien
secara sistematis
5. Anjurkan keluarga 5. Menambah
untuk membantu motivasi klien
aktivitas pasien dalan menjalani
33

terapi aktivitas
gerak.

d. Diagnosa Keperawatan :

Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan

No Tujuan Intervensi Rasional

4. Setelah dilakukan 1. Gunakan pendekatan 1. Membina


tindakan keperawatan yang menenangkan kepercayaan antara
maka kecemasan klien klien dan perawat
teratasi 2. Temani pasien untuk 2. Perasaan
Dengan kriteria: memberikan diperhatikan akan
- Klien mampu keamanan dan mengurangi
mengidentifikasi dan mengurangi takut kecemasan klien
mengungkapkan 3. Identifikasi tingkat 3. Menentukan
gejala cemas kecemasan intervensi yang
- Mengidentifikasi, sesuai dengan
mengungkapkan dan kondisi kecemasan
menunjukkan teknik klien
untuk mengontrol 4. Libatkan keluarga 4. Meningkatkan
cemas untuk mendampingi kooperatif klien
- Vital sign dalam batas klien dalam pemberian
normal intervensi
- Postur tubuh, ekspresi 5. Bantu pasien 5. Menjadi pedoman
wajah, bahasa tubuh mengenal situasi yang dalam membentuk
dan tingkat aktivitas menimbulkan pemikirann positif
menunjukkan kecemasan klien
berkurangnya
kecemasan
34

5. Evaluasi

a. Kelebihan volume cairan dapat teratasi

b. Meningkatnya asupan nutrisi

c. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari

d. Penurunan kecemasan.
35

Anda mungkin juga menyukai