Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan pada Allah SWT karena dengan ridhonya kami dapat
menyusun serta dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam tak lupa pula kami
ucapkan kepada nabi besar Muhammad SAW beserta pengikut beliau dari dahulu,sekarang,dan
hingga hari akhir nanti. Ucapan terima kasih tak lupa juga kami ucapkan pada dosen mata kuliah
KEPERAWATAN ANAK II yang telah memberikan kami bimbingan serta pengajaran kapada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami ini.

Kami menyadari, meskipun kami telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam


menyelesaikan makalah ini tapi kami mengetahui makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Karena itu kami mohon kritik serta saran yang kiranya dapat membangun bagi kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini menjadi lebih baik. Kami berharap selain untuk
memenuhi nilai dalam mata kuliah KEPERAWATAN ANAK II, makalah ini juga bermanfaat
bagi teman-teman dan seluruh pembacanya.

Madiun,24 september 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif,
hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per
tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan
perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal
anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran
protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya
sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada
purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun
pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai
lesi minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan steroid (sensitif
steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak memberikan respons
terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-4 International Study of Kidney Disease
in Children (ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan laboratorium untuk
memperkirakan jenis lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan
laboratorium tersebut adalah usia saat serangan pertama, jenis kelamin, hipertensi,
hematuria, rerata kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah
diketahui, bentuk histopatologik memberikan gambaran terhadap respons pengobatan
steroid, seperti jenis glomerulonefritis mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85%
adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum terdapat data gambaran histopatologik di
Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik
sensitif steroid (SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin diikutsertakan pula
dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini bertujuan
untuk menilai hubungan antara berbagai gambaran klinis dan laboratorium secara
bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan steroid (SNRS dan SNSS).
(Behrman, 2000)

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah definisi dari syndrom nefrotik?
2. Apakah etiologi dari syndrom nefrotik?
3. Bagaimana patofisiologi dari syndrom nefrotik ?
4. Bagaimana pathway syndrom nefrotik ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari syndrom nefrotik ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari syndrom nefrotik ?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari syndrom nefrotik?
8. Apa saja komplikasi dari syndrom nefrotik?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari syndrom nefrotik?

1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH


1. Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan
keperawatan pada klien dengan penyakit sindroma nefrotik.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa keperawatan dapat :
A. Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik
B. Menjelaskan etiologi dari sindroma nefrotik
C. Menjelaskan patofisiologi dan pohon masalah (pathways) dari sindroma nefrotik
D. Menjelaskan manifestasi klinik dari sindroma nefrotik
E. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari sindroma nefrotik
F. Menjelaskan penatalaksanaan dari sindroma nefrotik
G. Menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik
H. Menjelaskan asuhan keperawatan dari sindroma nefrotik
BAB II

KONSEP DASAR MEDIS

2.1 DEFINISI
Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)
Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya
faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi, dan
penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 2005)
Berdasarkan pengertian diatas maka, dapat diambil kesimpulan bahwa sindroma
nefrotik adalah merupakan suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.

2.2 ETIOLOGI
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Menurut Ngastiyah
(2005), umumnya etiologi dibagi menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
Gejala : Edema pada masa neonatus
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan plasmodium malariae,
memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau
tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah
infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari) atau parasit
lainnya.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
c. Glumerulonefritis akut atau kronik,
d. Trombosis vena renalis.
e. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
f. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik. (Ngastiyah, 2005)
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa
dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan
cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat imunoglublin G (IgG) pada dinding
kapiler glomerulus.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferative
1. Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial
dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat.
2. Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
3. Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular
dan viseral. Prognosis buruk.
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran
basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis
buruk.
5. Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
6. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi
tubulus. Prognosis buruk.

2.3 PATOFISIOLOGI
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama albumin
ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini
tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui
ginjal sehingga terjadi hipoalbuminemia.
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat
cairan yang berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler.
Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin menyebabkan
retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis
lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam darah
(hiperlipidemia).
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang
mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang
anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia.
Penyebab sindrom nefrotik mencakup glomerulonefritis kronis, dibetes mellitus disertai
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus
sistemik, dan trombosis vena renal.
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan
memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus
progresif cepat. (Arif Muttaqin, 2011).
2.4 PATHWAY
2.5 MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari
bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila
ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut
ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
3. Pucat
4. Hematuri
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak
dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
5. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
6. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya
terjadi.
7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 )

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Urin
Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik.
Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan
pengujian semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3 + merupakan 300 mg /
dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan dengan demikian dalam
kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang
diuji.
a. Protein urin > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
b. Urinalisa cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin meningkat (normal : 285 mOsmol)
2. Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
a. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)
b. Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml).
Hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5
gram/100 ml). Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat
katabolisme protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme in
merupakan factor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria
(albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus
sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan
hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah
< 2 gram/100 ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 gram/100
ml. (Betz, 2002)
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.
b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.
c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau
pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002)

2.7 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau
menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan
mengatasi komplikasinya, yaitu:
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari,
dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat
diberi garam sedikit.
c. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan
intravaskuler berat.
d. Dengan antibiotik bila ada infeksi.
e. Diuretikum
f. Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan
cara pengobatan sebagai berikut :
1. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
2. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari.
Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama
4 minggu.
3. Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg,
10 mg sampai akhirnya dihentikan.
g. Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal
jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan
pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan
adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai
pengobatan atau gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan
orang tua mengenai penyakit pasien.
Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena
dengan keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya
untuk bergerak. Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong di atas
tempat tidur.
a) Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks
akan menyebabkan sesak nafas.
b) Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan
memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah
dan akan menyebabkan edema hebat).
c) Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk
mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan
skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai
kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan
pasien tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu
ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan
sindroma nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama
24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0
gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1
gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, bisa makanan biasa
atau lunak. (Ngastiyah, 2005)
Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang
mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus
dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan
alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada
infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang
tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita penyakit
sindroma nefrotik. Pasien sendiri perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu
dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih perlu diteruskan sampai pada saatnya
dokter mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa penyakit
ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur,
oleh karena itu orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
(biasanya 1 bulan sekali). (Ngastiyah, 2005)

2.8 KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma.
4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002)
BAB III

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. PENGKAJIAN ANAMNESA
a. Identitas
b. Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki.
c. Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal berikut :
1. Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.
2. Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya
keluhan pusing dan cepat lelah.
3. Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.
d. Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien
pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit
diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji
tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap
jenis obat dan dokumentasikan.
e. Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang
bengkak akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada
klien.
f. Riwayat kehamilan dan persalinan
1. Prenatal
Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama mengandung dan
asupan nutrisi selama kehamilan.
2. Natal
Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat dilahirkan.
3. Postnatal
Asupan nutrisi yang diperoleh saat dilahirkan hingga dewasa.
4. Imunisasi
BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali
g. Riwayat kesehatan lingkungan
Endemik malaria sering terjadi kasus sindroma nefrotik.
h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-
raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain
dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih
dekat dengan ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.
Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa
bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika
usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan
dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.
Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan
kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari
dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan
kecil, meniru aktivitas orang dewasa.
Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan,
keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua,
teman.
2. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran
biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.
2. B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
napas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut.
Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas
yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
3. B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume.
4. B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia
pada sistem saraf pusat.
5. B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada
abdomen
6. B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari
edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
3. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin.
Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membaran glomerulus.
4. PENGKAJIAN PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan
menurunkan risiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan
tersebut meliputi hal-hal berikut :
a. Tirah baring
Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahaya
trombosis, apabila relaps.
b. Diuretik
Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari.
c. Adenokortikosteroid, golongan prednisone
Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24
jam). Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam
sekali selama 4 minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2
minggu, selama 2-4 bulan.
d. Diet rendah natrium tinggi protein
Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama pemberian
kortikosteroid. Cairan dibatasi. Pemberian kalsium dan vitamin D.
e. Terapi cairan
Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat
dan dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan
harian.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi
cairan dan natrium.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trombosis vena diginjal
4. Resiko infeksi berhubungan dengan sistem imun menurun
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sesak nafas
3.3 ASUHAN KEPERAWATAN

NO. DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan NIC :
penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium. Fluid Management
NOC : - Timbang popok/pembalut jika ditemukan
 Electrolit and acid base balance - Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
 Fluid balance - Pasang urine kateter jika diperlukan
 Hydration - Monitor hasil hb yang sesuai dengan retensi cairan
Kriteria Hasil : - Monitor status hemodinamik termasuk CVP, PAP, dan
 Terbebas dari edema, efusi, anaskara PCWP
 Bunyi nafas bersih, tidak ada - Monitor vital sign
dyspneu/ortopneu - Monitor masukan makanan
 Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek - Monitor status nutrisi
hepatojugular (+) Fluid monitoring
 Memelihara tekanan vena sentral, tekanan - Tentukan riwayat jumlah tipe intake cairan dan
kapiler paru, output jantung vital sign dalam eliminasi
batas normal - Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan
 Terbebas dari irama jantung
kelelahan,kecemasan,kebingungan - Monitor tanda dan gejala odema
 Menjelaskan indikator kelebihan cairan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan NIC :
tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk Nutrition management
mengabsorpsi nutrien. - Kaji adanya alergi makanan
NOC : - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
 Nutritional status kalori
 Nutritional status : food and - Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake fe
 Fluid intake - Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan
 Nutritional status : nutrient vitamin C
 Intake - berikan substansi gula
 Weight control - Yakinkan diet yang dimakan mengandung serat tinggi
Kriteria hasil : untuk mencegah konstipasi
 Adanya peningkatan berat badan sesuai - Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
dengan tujuan Nutrition monitoring
 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan - BB pasien dalam batas normal
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi - Monitor adanya penurunan berat badan
tidak ada tanda tanda malnutrisi - Monitor tipe dan jumlah aktifitas yang biasa dilakukan
 Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan - Monitor lingkungan selama makan
dari menelan - Monitor mual dan muntah
 Tidak terjadi penurunan berat badan
3. Nyeri akut berhubungan dengan trombosis vena NIC :
diginjal Pain manajemen
NOC : - Lakukan pengkajian secara komprehensif
 Pain level - Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
 Pain control - Gunakan teknik komunikasi terapeutik
 Comfort level - Kaji kultir yang mempengaruhi respon nyeri
Kriteria hasil : - Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
 Mampu mengontrol nyeri menemukan dukungan
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan - Kurangi faktor presipitasi nyeri
menggunakan management nyeri - Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi non
 Mampu mengenali nyeri farmakologi dan interpersonal)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri Analgesic administration
berkurang - Tentukan letak, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
frekuensi
- Cek riwayat alergi
- Tentukan pilihan analgesik berdasarkan tipe dan
beratnya nyeri
4. Resiko infeksi berhubungan dengan sistem imun NIC
menurun Infection control
NOC: - Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
 Immune status - Pertahankan teknik sosial
 Knowledge : infection control - Batasi pengunjung bila perlu
 Risk control - Instruksikan saat pengunjung datang untuk cuci tangan
Kriteria hasil : - Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi - Gunakan apd untuk perlindungan
- Mendeskripsikan proses penularan penyakit, - Dorong masukan nutrisi yang cukup
faktor yang mempengaruhi penularan serta - Dorong istirahat
penatalaksanaannya - Ajarkan cara menghindari infeksi
- Menunjukkan kemampuan
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh


adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)

Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria,


hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya
faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya
etiologi dibagi menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan


2. Sindrom nefrotik sekunder
3. Sindrom nefrotik idiopatik
4. Glomerulosklerosis fokal segmental
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC

Betz, Cecily Lynn. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Rauf, Syarifuddin. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK
UH : Makassar

Suriadi .2006. Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: CV Sagung

Anda mungkin juga menyukai