Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif,
hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per
tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan
perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak
yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Menurut Behrman dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kesehatan Anak (2001) bahwa
“pada anak karena mempunyai kelainan pembentukan glomerulus”.  Menurut tinjauan dari
Robson, dari 1400 kasus, beberapa jenis glomerulonefritis merupakan penyebab dari 78%
sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak (Price, 1995).
Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi
yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%. Menurut Raja Sheh angka
kejadian kasus sindrom nefrotik di asia tercatat sebanyak 2 kasus tiap 10.000 penduduk
(Republika, 2005). Sedangkan angka kejadian di Indonesia pada sindrom nefrotik mencapai
6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002).
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran
protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya
sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-
Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya
herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai lesi
minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan steroid (sensitif steroid).

1
2

Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak memberikan respons terhadap


pengobatan steroid (resisten steroid).1-4 International Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan laboratorium untuk memperkirakan jenis
lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia
saat serangan pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin,
komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik
memberikan gambaran terhadap respons pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis
mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini,
belum terdapat data gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan
gambaran klinis yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein
nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara berbagai gambaran
klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan steroid
(SNRS dan SNSS). (Behrman, 2000)
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindroma nefrotik bervariasi berdasarkan
etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan responnya
terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).

1.2 Rumusan masalah


Masalah yang kami angkat pada makalah ini mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan sindroma nefrotik

1.3 Tujuan penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan keperawatan
pada klien dengan penyakit sindroma nefrotik.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa keperawatan dapat :
A. Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik
B. Menjelaskan etiologi dari sindroma nefrotik
3

C. Menjelaskan patofisiologi dan pohon masalah (pathways) dari sindroma nefrotik


D. Menjelaskan manifestasi klinik dari sindroma nefrotik
E. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari sindroma nefrotik
F. Menjelaskan penatalaksanaan dari sindroma nefrotik
G. Menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik
H. Menjelaskan asuhan keperawatan dari sindroma nefrotik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Sindrom nefrotik merupakan sekolompok gejala seperti proteinuria, hipoabuminemia,


edema dan hyperlipidemia. Sindrom nefrotik dikaitkan denganr rekasi alergi, infeksi,
penyakit sistemik dan masalah sirkulasi. (Baradero,2009)

Sindrom nefrotik adalah sekelompok gejala klinis termasuk proteinuria massif,


hypoalbuminemia,hyperlipidemia dan edema. Penyakit ini dikarakteristikan dengan
terjadinya peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma, yang akhirnya
akan menyebabkan tubuh kehilangan protein dalam jumlah yang besar. (Wong,2008)

2.2. Etiologi

Menurut Ngastiyah, 2005, umumnya etiologi di bagi menjadi 3 (tiga), yaitu :


2.2.1. Sindroma Nefrotik bawaan.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reksi maternofetal, resisten terhadap semua
pengobatan.
Gejala : Edema pada masa neonatus.
2.2.2. Sindroma Nefrotik Idiopatik atau sindrom nefrotik primer
Sekitar 90% nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui, berdasarkan
histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron. Diduga ada hubungan dengan genetic imunologik dan alergi.
2.2.3. Sindroma Nefrotik Sekunder
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritemosus desiminata, purpura anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano proliferatif,
hipokomplementemik.

4
5

2.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari sindrom nefrotik adalah:
a. Edema
Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema
biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar
mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
b. Proteinuria berat
c. Ekskresi protein <40 mg/jam/m2
d. Hipoalbuminemia
e. Kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk memastikan
apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena hipoalbuminemia dapat
terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing enteropathy) dan edema dapat terjadi
tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung
kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan: proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya:
1) Pemeriksaan darah rutin
a) Red blood cell
b) Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan adanya
hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular.
c) Leukosit
d) Nilai platelet biasanya meningkat.
2) Urinalisis
a) Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus.
b) Hematuria makroskopik jarang ditemukan.
c) Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau
dengan  protein urin 24 jam.
6

Dikatakan proteinuria jika adanya protein di dalam urine manusia yang melebihi
nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari
140 mg/m2
Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi
proteinuria orthostatic (dimana protein baru muncul di urin setelah penderita
berdiri cukup lama). - Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m 2/jam atau dengan
dipstick +2---+4, dapat pula nilai protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang
mencapai 1000mg/dL.
Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.
d) Albumin serum
Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5 g/dL.
Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
Jarang mencapai 0.5 g/dL
e) Pemeriksaan lipid
Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density lipoprotein).
Kadar serum kolesterol >400mg/dl
Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.
Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau menurun
f) Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor.
Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena deplesi
volume intravascular.
Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia.
Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.
g) Tes HIV, hepatitis B dan C
Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN.
h) Pemeriksaan C3
Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi, SN tipe
membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.
7

b. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia 1-8
tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil dari pemeriksaan
laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN primer selain tipe lesi
minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun, dimana SN kongenital lebih
sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular kronik memiliki
insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan,
dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN sekunder.

c. Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya trombosis
vena ginjal

d. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.

f. Komplikasi
a) Infeksi

SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis danperitonitis. Hal ini
disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemenfaktor B dan D di urin. Pemakaian obat
imuno supresif menambah risikoterjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan
pengobatan penisilin parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.

b) Tromboemboli

Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi, peningkatankadar fibrinogen,


faktor VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin III.Trombosis dapat terjadi di dalam vena
maupun arteri. Adanya dehidrasimeningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis. Pencegahan
tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirindosis rendah (80 mg) dan dipiridamol,
8

tetapi sampai saat ini belum ada studiterkontrol terhadap efektivitas pengobatan ini.9 Heparin
diberikan bila sudahterjadi trombosis.

c) Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDLdan VLDL,
trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat
tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-
zat tersebut bersifatsementara, cukup dengan pengurangan diet lemak. Pada SN resisten
steroiddapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivatfibrat dan
inhibitor HMgCoA reduktasia (statin), karena biasanya peningkatankadar lemak tersebut
berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebutmasih diperdebatkan.

d) Hipokalsemia

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis danosteopenia

2. Kebocoran metabolit vitamin D

Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid dianjurkanpemberian suplementasi
kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50
mg/kgBB intravena.

e) Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapatmengakibatkan


hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitasdingin, dan sering disertai sakit
perut. Pasien harus segera diberi infus NaClfisiologik dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau
plasma 20 ml/kgBB (tetesan lambat 10 per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetapoliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.

f) Malnutrisi

g) Gagal ginjal
9

2.5 Penatallaksanaan Nefrotik Syndrome


Penatalaksanaan Farmakologi :
1. Terapi Corticosteroid
Terapi kortikosteroid dinilai palinga efektifdalam penanganan nefrotik syndrome.
Kortikosteroid langsung diberikan ketika pertama kali diagnose ditegakkan. Kortikosteroid
biasanya jenis prednisone diberikan per oral dengan dosis 60 mg/m2/ hari selama 6 minggu di
term pertama lalu dosis 40 mg/m2/hari untuk 6 minggu kedua. Penilitian menganjurkan treatmen
kortikosteroid minimal dilakukan selama 3 bulan. Pada kebanyakan pasien dalam 7 hingga 21
hari akan berkurang beberapa gejala seperti penurunan proteinuria, tidak adanya
immunoglobulin G di urin, penurunan hipertensi, hematuria, biasanya akan lebih baik setelah
penggunaan prednisone. Pada anak dengan MCNS beberapa akan mengalami relaps atau
kekambuhan sehingga membutuhkan treatmen steroid dengan dosis yang lebih banyak. Dosis
atau penggunaan steroid yang berlebih akan mampu menimbulkan beberapa komplikasi seperti
cushingoid dan retardasi pertumbuhan. Dalam penggunaan kortikosteroid perlu disertai dengan
penggunaan diuretic karena efek samping korikosteroid diantaranya adalah mampu meretensi
cairan.

Berikut adalah klasifikasi dari nefrotik syndrome sesuai dengan respon terhadap steroid:

a) Steroid sensitive  respon terhadap steroid sangat baik, relaps mungkin terajadi
bergantung pada perjalanan penyakit
b) Frequent relaps  2 kali atau lebih relaps dalam 6 bulan, atau 4 kali atau lebih relaps
dalam 12 bulan
c) Steroid dependent  2 kali relaps berurutan ketika penggunaan steroid atau 2 minggu
saat penggunaan steroid mulai dikurangi
d) Steroid resistant  tidak menunjukkan perbaik setelah 4 minggu terapi prednisone

2. Terapi Immunosupresant

Jenis obat immunosupresant yang sering dipakai adalah cyclophosphamide (Cytoxan).


Immunosupresant dapat membuat berkurangnya frekuensi relaps dan mampu meningkatkan
immunitas klien yang rentan terkena infeksi. Efek samping dari terapi immunosupresant
10

diantaranya adalah leukopenia, azotemia, atau bahkan kemandulan yang lebih sering terjadi pada
klien laki-laki.

3. Terapi Diuretik

Jenis obat diuretik yang sering digunakan adalah furosemide dengan kombinasi
metolazone. Obat obat tersebut berguna untuk mengurangi beberapa gejala yang biasanya ada
pada klien nefrotik syndrome diantaranta adalah gangguan napas, hipertensi, hiponatrium, serta
kerusakan kulit

2.6 Penatalaksanaan Keperawatan/ Nursing Care Management

1. Pencegahan Infeksi

Perawat serta seluruh keluarga yang menemani klien harus memperhatikan standard
precaution seperti cuci tangan, hindari interaksi dengan klien lain yang mempunyai atau
sedang terinfeksi penyakit menular, pantau kadar leukosit/ sel darah putih, dan pantau
TTV juga perhatikan bila terjadi tanda-tanda infeksi pada kulit yang mengalami edema

2. Mencegah Kerusakan Kulit

Kaji keadaan kulit klien secara rutin, putar posis anak secara berkala supaya tidak
mengalami penekanan pada area edema, atau juga untuk mencegah dekubitus akibat
penekanan yang lama pada area kulit yang menonjol karena tulang seperti area tumit atau
scapula. pastikan area kulit selalu bersih serta kering untuk menghindari tempat untuk
tumbuhnya kuman/ mikroorganisme terutama di area edema yang biasanya lembab
akibat penguapan air dan keringat dari dalam kulit. anjurkan klien untuk meenggunakan
pakaian yang menyerap keringat misalnya yang berbahan katun dan tipis.

3. Nutrisi dan kebutuhan cairan

anak dengan nefrotik syndrome bisa jadi mengalami anorexia yang disebabkan oleh
penekanan edema area abdomen (ascites) ke area lambung sehungga menimbulkan
perasaan kenyang, oleh karena itu perawat harus mampu melakukan modifikasi bagi
klien anak yang mengalami kesulitan makan salah satunya dengan cara membuat
11

tampilan makanan semenarik mungkin untuk meningkatkan nafsu makan anak. Selain
itum anak juga dianjurkan makan sedikit tapi sering.

Untuk masalah cairan berikan retriksi cairan sesuai dengan derajat edema yang
dialami oleh klien karena bila klien mendapatkan asupan cairan berlebih dikhawatirkan
akan membuat cairan semakin menumpuk didalam tubuh. Selain itu pertahankan diet
rendah natrium/ sodium, tidak hanya mengurangi makanan yang asin namun juga orang
tua mampu memilah makanan yang mengandung MSG atau pengawet yang mengandung
banyak sodium. Diet tinggi protein juga mampu diberikan pada klien dengan kondisi
ketika klien sudah mengalami perbaikan fungsi ginjal dilihat dari keseimbangan intake
dan output.

Hal lain yang perlu diperhatikan perawat adalah pemantauan berat badan (BB)
secara rutin, memeriksa secara rutin lingkar perut klien, memantau dan menghitung
jumlah intake dan output klien diharapkan sudah mampu seimbang sesuai ketentuan, dan
pemantauan tanda-tanda vital setiap 4 jam untuk memantau bila terjadi syok hipovolemik
akibat kurangya cairan intravaskuker

4. Anjurkan klien untuk istirahat

Klien dengan nefrotik syndrome biasanya adalah anak-anak usia 3 hingga 7 tahun yang
sedang dalam fase senang bermain, namun klien dengan nefrotik syndrome harus
mengurangi aktifitasnya guna mengefektifkan treatmen yang telah dilaksanakan. Klien
dianjurkan bedrest untuk mengurangi edema dengan lebih cepat serta mencegah adanya
peningkatan tekanan darah. Perawat harus mampu mengkaji adanya tanda fatigue,
kelemahan, atau iritable pada klien.

5. Tingkatkan support emosional

Kecemasan mungkin timbul pada orang tua dengan anak yang mengalami nefrotik
syndrome apalagi melihat kondisi anak yang anasarka/ edema di sekujur tubuh, oleh
karena itu perawat harus mampu memberikan pengetahuan kepada orang tua mengenai
penyakit serta mengkaji mekanisme koping keluarga adaptif atau tidak dengan adanya
anak dengan nefrotik syndrome iini.
12

6. Discharge Planning

Sebelum pulang klien harus diberi tahu beberapa hal mengenai penyakit ini seperti tanda
tanda relaps atau kekambuhan, tanda tanda eksaserbasi atau penyakit bertambah parah,
cara melakukan perawatan kulit klien terutana area yang edema, mengenai medikasi obat-
obatan serta efek samping dan cara penanggulangannya, serta tanda kegawatan yang
mengaharuskan keluarga untuk segera mencari pertolongan tim medis
13

PATOFISIOLOGI
14

PATHWAY
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1. Trigger case

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa ke unit kesehatan anak dalam keadaan edema
anasarka. Menurut penuturan ibunya, sekitar 1 bulan yang lalu klien mengalami bengkak pada
periorbita terutama pada saat bangun tidur muka sembab, dan mengeluh pusing. Hasil anamnesa
riwayat kesehatan: sejak 1 tahun yang lalu klien mengeluh bengkak bengkak diseluruh tubuh
sampai dengan kelopak mata. Karena keluhannya ini klien dibawa ke RS Majalaya dan
dinyatakan bocor ginjal. Klien control 3 bulan terakhir namun tidak ada perbaikan, kemudian
klien dibawa ke RS Al-Ihsan sejak 2012 dan diberi tablet berwarna hijau yang diminum 3 x 2
selama 2 bulan. Selanjutnya 4 tablet/hari selang sehari, keluhan tidak berubah, klien lalu dibawa
ke RSHS. Pola BAK sebelum sakit 3-5 x sehari. Saat ini berkemih mulai berkurang baik dari
segi frekuensi dan jumlah urin yang dikeluarkan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan asites (+),
TD 130/90 mmHg, HR 112 x//menit, RR 30 x/menit, rasio insp:eksp 1:1, antropometri: BB: 32,5
kg, TB: 121,5 cm, lingkar perut 68 cm, suhu 360C.

Hasil Laboratorium

Hb 13 gr%

Ht 44 %

Protein total 6,0

Albumin 2,1

Kolesterol total 345

Trigliserida 172

BUN 30 mg%

Serum kreatinin 0,9 mg%

URIN

Albumin urin ++++

Warna urin Kuning

Kejernihan Keruh

15
16

pH urin 6,5

BJ urin 1,010

Glukosa urin Negative

Keton urin +

Nitrit urin -

Urobilinogen 0,1

3.2. Analisis kasus

Berdasarkan kasus diatas didapatkan data :

A. Data subjektif :
a) Pasien mengeluh bengkak bengkak di seluruh tubuh sampai dengan kelopak mata
b) Pasien mengeluh pusing
c) Pancaran mengeluh berkemih kurang baik dari segi frekuensi maupun jumlah
B. Data Objektif :
a) pasien edema anasarka, asites (+)
b) RR 30/X menit,adanya penekanan pada paru paru karena asites yang menyebabkan
ekspansi paru menjadi berkurang sehingga co2 dalam paru meningkat yang akhirnya
meningkatkan frekuensi nafas
c) TD 130/90, HR 112/menit, mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi karena retensi
urin yang dapat merangsang pengaktifan saraf simpatis, terjadi peningkatan Heart rate,
stroke volume meningkat, sehingga HR dan TD meningkat.
d) klien datang dengan keluhan edema anasarka hal ini di sebabkan karena adanya retensi
cairan akibat hipoalbumin, ketika hipoalbumin, tekanan onkotik menurun sehingga
adanya perpindahan cairan dari intravaskuler ke intestitial.
e) BB 32,5, BB mengalami peningkatan dimana untuk usia 4 tahun BB normal adalah 16,4,
hal ini mungkin di sebabkan karena edema anasarka yang akibatnya pada penambahan
berat badan yang ekstrim

Dari pemaparan analisa di atas maka dapat di simpulkan bahwa pasien mengalami sindrom
nefrotik, hal ini di tunjang dengan beberapa manifestasi yang di tunjukan pasien diantaranya,
17

adanya protein dalam urin, pasien mengalami edema di seluruh tubuh


(anasarka),hiperlipidemia,urin berkurang dari frekuensi maupun jumlah.untuk penanganan kasus
ini di berikan pengobatan kortikosteroid jenis prednison 60 gr dosis penuh selama 4 minggu di
lanjtkan dengan 40 gr (AD/ID) selama 4 minggu.pemberian kortikosteroid ini harus di
kombinasikan dengan diuretik.
BAB IV
PRINSIP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
4.1. Pengkajian.
a. Identitas pasin
b. keluhan utama: bengkak seluruh tubuh sampai dengan kelopak mata
c. Riwayat Kesehatan Sekarang : Sejak 1 tahun yang lalu klien mengeluh bengkak
bengkak seluruh tubuh sampai dengan kelopak mata. Keluhan bertambah parah
saat bangun tidur disertai pusing. Bengkak terdapat di periorbita.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien pernah didiagnosa bocor ginjal dan menjalani
terapi pengobatan selama 2 bulan
e. Pola Kehidupan sehari-hari : BAK Sebelum sakit 3-5 x sehari → setelah sakit :
berkurang (frekuensi, jumlah)
f. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : compos mentis

Inspeksi : muka sembab, edema anasarka

Palpasi : asites (+)

Perkusi :-

Auskultasi :-

TTV :

Nilai Normal Interpretasi

TD 130/90 mmHg 120/80 mmHg Naik

HR 112 x/menit 80-100 x/menit Tinggi

RR 30 x/menit 12-24 x/menit Tinggi

rasio insp:eksp 1:1 4:5 cepat

suhu 360C 36,5 – 37,5 Rendah

18
19

Antropometri :

Nilai Normal Interpretasi

BB: 32,5 kg 16,4 Overwight (penumpukan


cairan)

TB: 121,5 cm 103,3 Diatas rata-rata

lingkar perut 68 cm

g. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi

Hb 13 gr% 13.5-18.0 Rendah


gram/dL

Ht 44 % 40-54% Normal

Protein total 6,0 6.6 – 8.7 Rendah

Albumin 2,1 3.4 – 4.8 Rendah

Kolesterol total 345 <200 Tinggi

Trigliserida 172 50- 150 Tinggi

BUN 30 mg% 15 – 40 Normal

Serum kreatinin 0,9 mg% 0.5 – 1.5 Normal

URIN

Albumin urin ++++ <++ Kerusakan glomerulus

Warna urin Kuning kuning Normal

Kejernihan Keruh Tidak keruh Ada protein

pH urin 6,5 4,8 – 7,4 Normal

BJ urin 1,010 1,0015 – tinggi


1,0025

Glukosa urin Negative Negative Normal


20

Keton urin + Sampah Metabolism lemak


metabolism
lemak

Nitrit urin - Nitrat (+ Normal


menandakan
infeksi)

Urobilinogen 0,1 0,1 – 1,0 Tidak ada kerusakan hati

4.2. Analisa data

5. Data Etiologi
DS : klien mengalami bengkak Kerusakan glomerulus
periorbital 1 bulan lalu saat
bangun tidur dan muka sembab. Permeabilitas kapiler
1 tahun lalu mengalami bengkak
diseluruh tubuh. Filtrasi glomerulus

DO : edema anasrka, BB >, Proteinuria


ascites, lingkar perut 68 cm, HR
112x/mnt, TD 130/90 mmHg, Hypoalbuminemia
RR 30x/mnt
Tekanan onkotik

Tekanan hidrostatik

Shift cairan dari intrasel ke


intertistial

Edema

Kelebihan volume cairan


21

4.3. Diagnosa keperawatan


Diagnosa utama : kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal di tandai
dengan edema anasarka.
4.4. Intervensi keperawatan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kelebihan volume
cairan dapat tertasi dengan kriteria hasil : adanya keseimbangan cairan,berkurangnya
edema dan berat badan klien stabil

No Intervensi Rasional
1. Pertahankan catatan intake & output yang Karena dapat membantu pengetahuan adanya
akurat penurunan kelebihan cairan
2. Pasang urine kateter bila diperlukan
3. Monitor hasil laboratotium yang sesuai Karena dengan mengkaji luas edema juga
dengan retensi cairan dapat menunjukkan kelebihan cairan
4. Monitor indikasi retensi atau kelebihan
cairan (edema, asites)
5. Kaji luas & lokasi edema Karena dengan memonitori asupan makan
dapat mencegah asupan makanan dan cairan
berlebih
6. Monitor masukan makanan atau cairan
(dibatasi)
7. Kolaborasi pemberian diuretic Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan
proteinuria dan diuretik dapat menurunkan
keparahan edema
8. Kolaborasi pemberian kortikosteroid
9. Pantau berat badan klien ( timbang bb) Karena dengan mengetahui BB dan dapat
mengkaji retensi Na+airnya
KESIMPULAN DAN SARAN

4.5. Kesimpulan
Ginjal merupakam salah satu organ penting dalam system urinia. Sedangkan sindroma
nefrotik merupakan salah satu penyakit kelainan pada ginjal. Sindroma nefrotik merupakan
kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak
dengan karakteristik proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbunemia, hyperlipedemia dan
edema. Penyebab sindroma nefrotik belum diketahui secara pasti. Namun para ahli telah
membagi dalam beberapa etiologi.

4.6. Saran
Apabila terdapat gejala-gejala klinis pada anak, anak segera diperiksakan ke petugas-
petugas kesehatan terdekat untuk mengetahui apakah anak menderita sindrom nefrotik dan
dapat mendapat pertolongan secara dini.

22
DAFTAR PUSTAKA
 Smeltzer. 2002. Buku Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 2.
Jakarta : EGC
 Hockenberry,Marilyn and David Wilson. 2008. Wong’s Nursing care of infants and
children. Canada : Elsvier
 Wilson, David, dkk. 2009. Buku ajar keperawatan Pediatrik. Jakarta : Buku
Kdokteran : EGC
 Panduan penulisan Dx Keperawatan. NOC, NIC-UAP-2011

23

Anda mungkin juga menyukai