Anda di halaman 1dari 48

bdbdhjdBAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang

ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per

hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,

hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer

(idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab

tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini

gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN.

Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan

rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer

pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.

Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit yang sering ditemukan di

Indonesia. Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun

diperkirakan pada anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7

kasus per tahun pada setiap 1.000.000 anak. Sindroma nefrotik tanpa disertai

kelainan-kelainan sistemik disebut Sindrom Nefrotik Primer, ditemukan pada

90% kasus Sindrom Nefrotik anak. Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada

anak yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International

Study Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak

adalah kelainan minimal. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari

penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut

sindroma nefrotik sekunder. Insiden sindroma nefrotik primer ini 2 kasus per

tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi

kumulatif 16 tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan
perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua

pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari lima tahun.

Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi

minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental,

glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder sangat banyak,

di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan

jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial,

toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas

massif.

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).Pada

anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-

85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan

laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling

banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan

perbandingan laki-laki dan wanita 2:1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000

anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder

pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.

Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau

melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai

terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan

respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi

dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan

SN

Pasien SN primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Kongenital

2. Responsif steroid

3. Resisten steroid
Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya.

Umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang

diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsif steroid sebagian besar

terdiri atas anak-anak dengan SN kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di

Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan kelainan

minimal. Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri atas anak-

anak dengan kelainan glomerulus lain. Sindroma nefrotik dapat timbul dan

bersifat sementara pada tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam

jumlah yang banyak dan cukup lama.

Selain itu juga Sindrom nefrotik terdiri dari proteinuria masif, hipo-

albuminemia, edema anasarka, dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik infantil

(SNI) didefinisikan sebagai sindrom nefrotik yang terjadi setelah umur 3 bulan

sampai 12 bulan sedangkan sindrom nefrotik yang terjadi dalam 3 bulan pertama

kehidupan disebut sebagai sindrom nefrotik kongenital (SNK) yang didasari

kelainan genetik. Pembedaan sindrom ini sebenarnya lebih bermanfaat untuk

kepentingan statistik. Kejadian SNI tidak diketahui dengan pasti tetapi diperkira-

kan lebih rendah daripada kejadian sindrom nefrotik pada kejadian sindrom

nefrotik pada sekitar 1-2 per 100.000 anak. Umumnya pada SNI tidak terdapat

riwayat keluarga, namun dalam satu keluarga dapat ditemukan sindrom nefrotik

kelainan minimal dan glomerulosklerosis fokal segmental. SNI masih responsif

terhadap steroid atau imunosupresan dan dapat terjadi remisi spontan, sedangkan

SNK biasanya tidak responsif terhadap steroid dan imunosupresan dan remisi

spontan sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah terjadi. SNI ini akan

rentan terhadap infeksi dan dapat menyebabkan malnutrisi, hipovolemia, dan

tromboemboli. Umumnya prognosis SNI buruk, namun dengan terapi medis dan

nutrisi yang optimal dapat dicapai hasil yang baik.


1.2 Tujuan

Umum:

a. Memenuhi penugasan sebagai persyaratan dalam kegiatan perkuliahan anak

b. Mengetahui gambaran umum tentang penyakit Sindrom Nefrotik pada anak

c. Mengetahui rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit

Sindrom Nefrotik

Khusus:

Mengetahui secara lengkap tentang:

a. Definisi

b. Etiologi

c. Patofosiologi

d. Pathways

e. Manifestasi Klinis

f. Pemeriksaan Penunjang

g. Penatalaksaan Medis

h. Komplikasi

i. Prognosis penyakit Sindrom Nefrotik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan

permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan

kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004 : 550).

Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh

injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,

hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita

Yuliani, 2001: 217).

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari

proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang

dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan

hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002 : 21).

Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang mengenai glomerulus

(ginjal terdiri dari tubulus, glomerulus dll.) dan ditandai proteinuria (keluarnya

protein melalui air kencing) yang masif, hipoalbuminemia (kadar albumin di

dalam darah turun), edema (bengkak) disertai hiperlipid emia (kadar lipid atau

lemak dalam darah meningkat) dan hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah

meningkat) jadi untuk memastikannya perlu pemeriksaan laboratorium. Sindroma

nefrotik biasanya menyerang anak laki-laki lebih sering dari pada anak

perempuan dengan perbandigan 2 berbanding 1 dan paling banyak pada umur 2

sampai 6 tahun ( http://www.ikcc.or.id/print.php?id=134).

Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang

terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:

- proteinuria (protein di dalam air kemih)


- menurunnya kadar albumin dalam darah

- penimbunan garam dan air yang berlebihan

- meningkatnya kadar lemak dalam darah.

Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan

bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala yang terjadi

pada anak dengan karakteristik proteinuria massif hipoalbuminemia,

hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema dan hiperkolestrolemia.

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria masif,

edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia

2.2 Etiologi

Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu

penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para

ahli membagi etiologinya menjadi:

1. Sindrom nefrotik bawaan atau sindroma nefrotik primer yang 90% disebut

Sindroma nefrorik Idiopatik, diduga ada hubungan dengan genetik,

imunoligik dan alergi.

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.

Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa

neonatus. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-

bulan pertama kehidupannya.

2. Sindrom nefrotik sekunder

Sindroma nefrotik sekunder yang penyebabnya berasal dari ekstra renal

(diluar ginjal). Sindrom jenis ini timbul sebagai akibat penyakit sistemik:

a. Penyakit keturunan/metabolik

 Diabetes
 Amiloidosis, penyakit sel sabit, nefritis membranoproliferatif

hipokomplementemik.

 Miksedemia

b. Infeksi

 Virus hepatitis B

 Malaria kuartana atau parasit lainnya

 Skistosoma

 Lepra

 Sifilis

 Pasca streptococcus

c. Toksin/Alergi

 Air raksa (Hg)

 Serangga

 Bisa ular

d. Penyakit sistemik/immune mediated

 Lupus eritematosus sistemik

 Purpura Henoch-Schonlein

 Sarkoidosis

e. Keganasan

 Tumor paru

 Penyakit Hodgkin

 Tumor saluran pencernaan

3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)

Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan

pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop electron, Churg dan kawan-

kawan membagi dalam 4 golongan, yaitu :


a. Kelainan minimal

Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan

mikroskop electron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara

imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-

IC pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat

pada anak daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan

dengan golongan lain.

b. Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar

tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang

baik.

c. Glomerulonefritis proliferatif

Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus

Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltasi sel polimorfonukleus.

Pembengkakkan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi

dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom

nefrotik.prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat

penyembuhan setelah pengobatan yang lama.

d. Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering ditandai

dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.

Sindroma nefrotik bisa terjadi akibat berbagai glomerulopati atau

penyakit menahun yang luas. Sejumlah obat-obatan yang merupakan racun

bagi ginjal juga bisa menyebabkan sindroma nefrotik, demikian juga halnya

dengan pemakaian heroin intravena.


Sindroma nefrotik bisa berhubungan dengan kepekaan tertentu.

Beberapa jenis sindroma nefrotik sifatnya diturunkan. Sindroma nefrotik

yang berhubungan dengan infeksi HIV (human immunodeficiency virus,

penyebab AIDS) paling banyak terjadi pada orang kulit hitam yang menderita

infeksi ini. Sindroma nefrotik berkembang menjadi gagal ginjal total dalam

waktu 3-4 bulan.

Penyebab sindroma nefrotik:


Penyakit Obat-obatan alergi
-Amiloidosis -Obat pereda nyeri - Gigitan serangga
- Kanker yang menyerupai - Racun pohon ivy
- Diabetes aspirin - Racun pohon ek
- Glomerulopati - Senyawa emas - Cahaya matahari
- Infeksi HIV - Heroin intravena
- Leukemia - Penisilamin
- Limfoma
- Gamopati monoclonal
- Mieloma multipel
-Lupus eritematosus
sistemik

2.3 Patofisiologi

Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan

pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.

1. Proteinuria

Ekskresi protein yang berlebihan akibat terjadi peningkatan filtrasi protein

glomerulus karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus

terhadap serum protein, umumnya protein plasma dengan BM rendah seperti

albumin, transferin diekskresi lebih mudah dibanding protein dengan BM

yang lebih besar seperti lipoprotein. Clearance relative plasma protein yang
berbanding terbalik dengan ukuran atau berat molekulnya mencerminkan

selektivitas proteinuria. Faktor-faktor yang menentukan derajat proteinuria:

a. Besar dan bentuk molekul protein

b. Konsentrasi plasma protein

c. Struktur dan faal integritas dinding kapiler glomerulus

d. Muatan ion membrane basalis dan lapisan epitel

e. Tekanan dan aliran intra glomerulus

2. Hipoalbuminemi

Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan

peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya

meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin

dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

3. Hiperlipidemi

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density

lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein

(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan

peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer

(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate

density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid

distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

4. Lipiduri

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber

lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus

yang permeabel.

5. Edema

Walaupun edema hampir selalu ditemukan untuk beberapa waktu dalam

perjalanan penyakit dan merupakan tanda yang mendominasi pola klinis,


namun merupakan tanda yang paling variabel diantara gambaran terpenting

sindrom nefrotik.

a. Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi

albumin serum yang bertanggungjawab terhadap peergeseran cairan

ekstraselular dari compartment intravaskuler ke dalam intertisial dengan

timbulnya edema dan penurunan volume intravaskuler.

b. Penurunan nyata ekskresi natrium kemih akibat peningkatan reabsorbsi

tubular.mekanisme meningkatnya reabsorbsi natrium tidak dimengerti

secara lengkap tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume

intravascular dan tekanan koloid osmotic. Terdapat peningkatan ekresi

renin dan sekresi aldosteron.

c. Penurunan tekanan koloid osmotic plasma dan retensi seluruh natrium

yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema pada

sindrom nefotik, agar timbul edema harus ada retensi air. Tonisitas normal

ini dipertahankan melalui sekresi hormon antidiuretik yang menyebabkan

reabsorbsi air dalam tubuli distal dan duktus koligens serta pembentukan

kemih hipertonik atau pekat. Hal ini mungkin merupakan penjelasan

mendasar retensi air pada sebagian besar nefrotik anak, seperti yang

ditunjukkan dari pengamatan pengurangan nyata masukan natrium

ternyata tidak memerlukan pembatasan masukan air sebab kemampuan

ekskresi air tidak biasanya mengalami gangguan yang berarti. Retensi

garam dan air pada pasien nefrotik dapat dianggap sebagai suatu respons

fisiologis terhadap penurunan tekanan onkotik plasma dan hipertonisitas,

tidak dapat mengkoreksi penyusutan volume intravascular, sebab cairan

yang diretensi akan keluar keruang

6. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan

plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII,

VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan

fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).

7. Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat

ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan

peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti

Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi

gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni

dan peritonitis.
Pathways
Sindrom Nefrotik Bawaan,
Sindrom Nefrotik Sekunder,
Sindrom Nefrotik Idiopatik

Dinding kapiler glomerulus


kehilangan muatan negatif
glikoprotein

Permeabilitas glomerolus ↑

Kenaikan filtrasi plasma protein

Kenaikan reabsorbsi plasma protein Albuminuria/proteinuria

Katabolisme Beban kerja Hipoalbuminemia


albumin ginjal ↑

Tubuh ke- Kerusakan sel ↓ Tekanan onkotik Kenaikan sintesis protein


kurangan protein tubulus plasma intravaskuler dalam sel hepar

Malnutrisi Gagal ginjal Transudasi Cairan Hipokolestrolemia


melalui dinding
pembuluh darah
Kwashiokor keruang interstitial ↑ Lipiduria

Gangguan nutrisi kurang


Volume intravaskuler ↓ Kelebihan volume
dari kebutuhan tubuh
Intersisial

Kerusakan ginjal Perfusi ginjal ↓


Resiko kekurangan
volume cairan

Pelepasan ADH Pengaktifan system renin-


angiotensi-aldosteron

Reabsorbsi dalam
ductus kolektivus
Reabsorbsi natrium
ditubulus ginjal

Edema
Edema

Permiabilitas Pinggang Perut Tungkai bawah Paru

Acites Efusi pleura

Resiko infeksi Ekspansi paru tidak


maksimal

Peritonitis
Suplai O2 ↓
Nyeri akut

Intolerasnsi aktivitas Hipoksia

Resiko tinggi kerusakan


integritas kulit
2.4 Manifestasi Klinis

Gejala awalnya bisa berupa:

- berkurangnya nafsu makan

- pembengkakan kelopak mata

- nyeri perut

- pengkisutan otot

- pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air

- air kemih berbusa.

Perut bisa membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak nafas

bisa timbul akibat adanya cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi pleura).

Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria).

Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari cairan

tertimbun di kelopak mata dan setalah berjalan cairan akan tertimbun di

pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan.

Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat penderita

berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan syok). Tekanan

darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun tinggi.

Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena

rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. Kadang gagal

ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi secara tiba-tiba.

Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya

glukosa) ke dalam air kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium

akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi

kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih

yang penyebabnya tidak diketahui.


Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi

infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak

berbahaya). Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya

antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.

Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko

terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di dalam

vena ginjal yang utama. Di lain fihak, darah bisa tidak membeku dan

menyebabkan perdarahan hebat. Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada

jantung dan otak paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes

dan penyakit jaringan ikat.

Bengkak di badan sebabnya bisa bermacam-macam, antara lain:

a. penyakit jantung

b. penyakit liver

c. penyakit ginjal

d. alergi

e. busung lapar

Untuk memastikannya perlu ditelusuri:

a. Anamnesa (= riwayat penyakit)

b. Pemeriksaan fisik diagnostic

c. Pemeriksaan penunjang (laboratorium, rontgen, biospsi dll)

Jadi perlu pemeriksaan yang teliti dan lengkap.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

1. Urinalisa, bila perlu biakan urin

a. Protein urin kuantitatif (dapat berupa urin 24 jam) – meningkat

(> 50-80 mg/hari)


b. Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria

c. Dipstick urin – positif untuk protein dan darah

d. Berat jenis urin – meningkat

Acak (> 1,002-1,030)

24 jam (> 1,015-1,025)

2. Pemeriksaan darah:

a. Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsentrasi)

Darah lengkap:

Umur Hasil pemeriksaan

1-3 Hari (> 14,5-22,5 g/dl)

2 Bulan (> 9,0-14,0 g/dl)

6-12 Tahun (> 11,5-15,5 g/dl)

12-18 Tahun; Pria (> 13-16 g/dl), Wanita (> 12-16 g/dl)

Hematokrit:

Umur Hasil pemeriksaan

>2 bulan (> 28-42 %)

6-12 tahun (> 35-45 %)

12-18 tahun; pria (> 37-49 %), perempuan (> 36-46 %)

b. Laju Endap Darah (LED) – meningkat

(> 0-13 mm/jam)

c. Kadar albumin serum - menurun

Umur Hasil pemeriksaan

1-7 tahun (< 6,1-7,9 g/dl)

8-12 tahun (< 6,4-8,1 g/dl)

13-19 tahun (< 6,6-8,2 g/dl)

d. Kolesterol plasma – meningkat

12-19 tahun (> 230 mg/dl)


e. Kadar ureum, kreatinin serta kliren kreatinin.

Kreatinin serum:

Bayi (0,2-0,4 mg/dl)

Anak-anak (0,3-0,7 mg/dl)

Kliren kreatinin:

Bayi baru lahir (40-65 ml/menit/1,73 m2)

f. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik

pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear

antibody).

3. Uji diagnostic

Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin

(Betz, Cecily L, 2002 : 335).

2.7 Penatalaksanaan Medis

1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit.

2. Dietetik

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap

kontra indikasi karena kana menambah beban glomerulus untuk

mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan

terjadinya skerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal

sesuai dengan RDA (Recommended Dailiy Allowances) yaitu 2-3

gram/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan mallnutrisi energi

protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2

gram/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema

3. Diuretikum

Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop

diuretik seperti furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan

dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hamat kalium) 2-3


mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu

dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).

Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter),

biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar

albumin ≤1gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% denagn dosis 1

gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan

diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien

tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20

ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah

terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin dan

plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberrikan kesempatan

pergeseran dan mencegah overload cairan

4. Antibiotika profilaksis

Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik

profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema

berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis,

tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi

segera diberikan antibiotik

5. Pengobatan dengan Kortikosteroid

a. Pengobatan inisial

Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseasein

Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison

dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari (maksimal

80mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison

dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi

badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah

pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus,
dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila

terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid

dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m 2LPB/hari (2/3

dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan

pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi

remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

b. Pengobatan relaps

Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)

dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN

yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum

dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya

infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,

dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang

tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan

proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps.

Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,

sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.

Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan

steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:

 Tidak ada relaps sama sekali (30%)

 Dependen steroid.

 Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)

 Relaps jarang : jumlah relaps

c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen

steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,


diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan

perlahan / bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak

menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini

disebut dosis threshold dan dapat diterukan selama 6-12 bulan, kemudian

dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat >0,5

mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.

Bila ditemukan keadaan dibawah ini:

 Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau

 Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis,

sepsis.

Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama

8-12 minggu.

d. Pengobatan SN resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan

biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena

gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis.

Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil

biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan

Siklosporin (CyA), metil prednisolon puls, dan obat imunosupresif lain

6. Lain-lain

fungsi asites, funsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada

gagal jantung diberikan digitalis.


2.8 Komplikasi

Ada beberapa komplikasi pada penderita Sindrom Nefrotik, yaitu:

1. Kelainan Koagulasi dan Tendensi Trombosis

Beberapa kelainan koagulasi dan sistem fibrinolitik banyak ditemukan pada

pasien SN. Angka kejadian terjadinya komplikasi tromboemboli pada anak

tidak diketahui namun lebih jarang daripada orang dewasa. Diduga angka

kejadian komplikasi ini sebesar 1,8 % pada anak. Pada orang dewasa umunya

kelainannya adalah glomerulopathi membranosa (GM) suatu kelainan yang

sering menimbulkan trombosis. Secara ringkas kelainan hemostasis SN dapat

timbul dari dua mekanisme yang berbeda:

a. Peningkatan permeabilitas glomerulosa mengakibatkan :

 meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin

seperti anti thrombin III, protein S bebas, plasminogen dan anti

plasmin.

 Hipoalbunemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan

A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan

tertekannya fibrinolisis.

b. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan

monosit dan oleh paparan matrik subendotel pada kapiler glomerulus

yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi

trombosit.

2. Kelainan Hormonal dan Mineral

Gangguan timbul karena terbuangnya hormone-hormon yang terikat pada

protein. Thyroid binding globulin umumnya berkaitan dengan proteinuria.

Hipokalsemia bukan hanya disebabkan karena hipoalbuminemia saja, namun

juga terdapat penurunan kadar ionisasi bebas, yang berarti terjadi

hiperkalsiuria yang akan membaik bila proteinuria menghilang. Juga terjadi


penurunan absorpsi kalsium dalam saluran cerna yang terlihat dengan adanya

ekskresi kalsium dalam feses yang sama atau lebih besar dari intake. Adanya

hipokalsemia, hipokalsiuria dan penurunan absorpsi kalsium dalam saluran

cerna diduga karena adanya kelainan metabolismevitamin D. Namun

demikian, karena gejala-gejala klinik berupa gangguan tulang jarang dijumpai

pada anak, maka pemberian vitamin D rutin tidak dianjurkan.

3. Ganggguan Pertumbuhan dan Nutrisi

Sejak lama diketahui bahwa anak-anak dengan sindrom nefrotik mengalami

gangguan pertumbuhan. Ganguan pertumbuhan pada anak dengan sindrom

nefrotik adalah disebabkan karena malnutrisi protein kalori, sebagai akibat

nafsu makan yang berkurang, terbuangnya protein dalam urin, malabsorbsi

akibat sembab mukosa saluran cerna serta terutama akibat terapi steroid.

Terapi steroid dosis tinggi dalam waktu lama menghambat maturasi tulang,

terhentinya pertumbuhan tulang linear dan menghambat absorbsi kalsium

dalam intestinum, terutama bila dosis lebih besar dari 5 mg/m/hari.

Kortikosteroid mempunyai efek antagonis terhadap hormone pertumbuhan

endogen dan eksogen dalam jaringan perifer melalui efek somatomedin. Cara

pencegahan terbaik adalah dengan menghindari pemberian steroid dosis

tinggi dalam waktu lama serta mencukupi intake kalori dan protein serta tidak

kalah pentingnya adalah juga menghindari stress psikologik.

4. Infeksi

Kerentanan terhadap infeksi meningkat karena rendahnya kadar

immunoglobulin, defisiensi protein, defek opsonisasi bakteri, hipofungsi

limpa dan terapi imunosupresan. Kadar Ig G menurun tajam sampai 18 %

normal. Kadar Ig M meningkat yang diduga karena adanya defek pada

konversi yang diperantarai sel T pada sintesis Ig M menjadi Ig G. defek

opsonisasi kuman disebabkan karena menurunnya faktor B ( C3 proactivator)


yang merupakan bagian dari jalur komplemen alternatif yang penting dalam

opsonisasi terhadap kuman berkapsul, seperti misalnya pneumococcus dan

Escherichia coli. Penurunan kadar faktor B ( BM 80.000 daltons ) terjadi

karena terbuang melalui urine. Anak-anak dengan sindrom nefrotik berisiko

menderita peritonitis dengan angka kejadian 5 %. Kuman penyebabnya

terutama Streptococcus pneumoniae dan kuman gram negatif. Infeksi kulit

juga sering dikeluhkan. Tidak dianjurkan pemberian antimikroba profilaksis.

5. Anemia

Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer, anemia yang khas defisiensi

besi, tetapi resisten terhadap terapi besi. Sebabnya adalah meningkatnya

volume vaskuler, hemodilusi dan menurunnya kadar transferin serum karena

terbuang bersama protein dalam urine.

6. Gangguan Tubulus Renal

Hiponatremia terutama disebabkan oleh retensi air dan bukan karena defisit

natrium, karena meningkatnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan

berkurangnya hantaran Na dan H2O ke pars asenden Ansa Henle. Pada anak

dengan sindrom nefrotik terjadi penurunan volume vaskuler dan peningkatan

sekresi renin dan aldosteron sehingga sekresi hormone antidiuretik

meningkat. Angiotensin II meningkat akan menimbulkan rasa haus sehingga

anak akan banyak minum meskipun dalam keadaan hipoosmolar dan adanya

defek ekskresi air bebas. Gangguan pengasaman urine ditandai oleh

ketidakmampuan manurunkan pH urine setelah pemberian beban asam.

Diduga defek distal ini disebabkan oleh menurunnya hantaran natrium ke

arah asidifikasi distal. Keadaan tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian

furosemide yang meningkatkan hantaran ke tubulus distal dan menimbulkan

lingkaran intraluminal yang negatif yang diperlukan agar sekresi ion

hydrogen menjadi maksimal. Disfungsi tubulus proksimal ditandai dengan


adanya bikarbonaturia dan glukosuria. Disfungsi tubulus proksimal agak

jarang ditemukan.

7. Gagal Ginjal Akut

Dapat terjadi pada sindrom nefrotik kelainan minimal atau glomerulosklerosis

fokal segmental dengan gejala-gejala oliguria yang resisten terhadap diuretik.

Dapat sembuh spontan atau dialysis. Penyebabnya bukan karena hipovolemia,

iskemi renal ataupakibat perubahan membran basal glomerulus, tetapi adalah

karena sembab interstitial renal sehingga terjadi peningkatan tekanan tubulus

proksimal yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Adanya

gagal ginjal akut pada sindrom nefrotik harus dicari penyebabnya. Apakah

bukan karena nefritis interstitial karena diuretic, nefrotoksik bahan kontras

radiologi, nefrotoksik antibiotik atau nefritis interstitial alergi karena

antibiotik atau bahan lain.

2.9 Prognosis

Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan

jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada

biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang

dapat diobati (misalnya infeksi atau kanker) atau obat-obatan. Prognosis biasanya

baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid.

Anak-anak yang lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup

sampai usia 1 tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa

atau pencangkokan ginjal.

Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat

glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak dan dewasa memberikan

respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal
ginjal, meskipun cenderung bersifat kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas

gejala, jarang terjadi kekambuhan.

Sindroma nefrotik familial dan glomerulonefritis membranoproliferatif

memberikan respon yang buruk terhadap pengobatan dan prognosisnya tidak

terlalu baik. Lebih dari separuh penderita sindroma nefrotik familial meninggal

dalam waktu 10 tahun. Pada 20% pendeita prognosisnya lebih buruk, yaitu terjadi

gagal ginjal yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50% penderita,

glomerulonefritis membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam

waktu 10 tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan

perbaikan.

Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis proliferatif mesangial sama

sekali tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Pengobatan pada

sindroma nefrotik akibat lupus eritematosus sistemik, amiloidosis atau kencing

manis, terutama ditujukan untuk mengurangi gejalanya. Pengobatan terbaru

untuk lupus bisa mengurangi gejala dan memperbaiki hasil pemeriksaan yang

abnormal, tetapi pada sebagian besar penderita terjadi gagal ginjal yang progresif.

Pada penderita kencing manis, penyakit ginjal yang berat biasanya akan timbul

dalam waktu 3-5 tahun.


BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Secara umum pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan

sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :

a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema

b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan

penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.

c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :

1) Penambahan berat badan

2) Edema

3) Wajah sembab :

a) Khususnya di sekitar mata

b) Timbul pada saat bangun pagi

c) Berkurang di siang hari

4) Pembengkakan abdomen (asites)

5) Kesulitan pernafasan (efusi pleura)

6) Pembengkakan labial (scrotal)

7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :

a) Diare

b) Anoreksia

c) Absorbsi usus buruk Pucat kulit ekstrim (sering)

9) Peka rangsang

10) Mudah lelah

11) Letargi

12) Tekanan darah normal atau sedikit menurun


13) Kerentanan terhadap infeksi

14) Perubahan urin :

a) Penurunan volume

b) Gelap

c) Berbau buah

d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urine akan

adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk protein serum

(total, perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah darah merah, natrium

serum.

3.1.1 Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Berupa hal- hal yang dirasakan oleh klien dan menjadi penyebab utama klien

berinisiatif melakukan pemeriksaan, pengobatan hingga masuk Rumah sakit.

Keluhan tersebut dapat berupa bengkaknya tubuh dan juga nyeri.

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada neonates antara lain pemberian makan yang buruk, gagal tumbuh

kembang, menangis saat berkemih, dehidrasi, kejang, dan demam. Pada bayi

antara lain semua yang terlihat pada neonates, ditambah dengan ruam popok

yang menetap, urin berbau busuk, dan mengejan saat berkemih. Pada anak-

anak yang lebih besar antara lain nafsu makan yang buruk, muntah rasa haus

berlebihan urgensi, disuria, keletihan, demam, nyeri pinggang, abdomen, atau

panggul.

c. Riwayat Kesehatan dahulu

Riwayat prenatal antara lain usia ibu yang masih muda, usia ibu yang terlalu

tua, dan multiparitas. Riwayat pascanatal antara lain infeksi saluran urine

afebril(tanpa demam) yang berulang, penggunaan kateter yang menetap toilet


training yang belum sempurna, retensi urine, dibetes, konstipasi,

imunokompresi, infeksi streptococcus berulang

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Faktor resiko keluarga antara lain penyakit ginjal congenital atau didapat,

hipertensi, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan disfungsi ginjal.

3.1.2 Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Head to toe

a. Tanda-tanda vital

 Mengukur tinggi dan berat badan: tanda- tanda retardasi pertumbuhan

 Memantau suhu: Hipertermia

 Mengukur tekanan darah: penurunan tekanan darah ringan atau normal

 Memantau frakuensi pernapasan: anak mungkin terlihat pucat dan

mengalami gawat nafas

b. Inspeksi

 Mengamati tanda-tanda kongesti sirkulasi: sianosis perifer, waktu

pengisian kapiler memanjang, pucat, edema perifer, kulit mengkilat, dan

vena menonjol

 Mengamati adanya distensi abdomen

 Mengamati adanya tanda-tanda awal enselopati uremik, mencakup letargi,

konsentrasi yang buruk, bingung

 Mengamati adanya tanda-tanda anomali kongenital: hipospodia, epispodia,

abnormalitas telinga(telinga dan ginjal terbentuk pada saat yang bersamaan

di dalam uterus), hidung seperti berparuh, dan dagu kecil

c. Palpasi

 Palpasi ginjal untuk adanya nyeri tekan dan pembesaran

 Palpasi kandung kemih untuk adanya distensi


 Palpasi untuk mengetahui adanya nyeri pinggang, abdomen, atau panggul.

2. Uji Diasnogtik/Pemeriksaan Laboratorium

 Urinalisis menunjukkan proteinuria yang khas, kast hialin, sedikit sel darah

merah, dan berat jenis urine tinggi.

 Kadar serum protein yang menurun, terutama kadar albumin.

 Kolestrol serum dapat mencapai 450 – 1500 mg/dl

 Hemoglobin dan hematokrit normal atau meningkat

 Hitung trombosit tinggi (500.000-1.000.000)

 Konsentrasi natrium serum rendah (130-135 mEq/ L)

 Biopsi ginjal dapat dilakukan untukmemberikan informasi status

glomerolus dan jenis sindrom nefrotik, demikian juga respon terhadap

pengobatan dan perjalanan penyakit.

3.1.3 Diagnosa dan Rencana Keperawatan

a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder

terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.

Tujuan volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil penurunan

edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine adekuat 600 –

700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.

Intervensi Rasional
1. Catat intake dan output secara akurat
Evaluasi harian keberhasilan terapi
dan dasar penentuan tindakan
Tekanan darah dan BJ urine dapat
2. Kaji dan catat tekanan darah,
menjadi indikator regimen terapi
pembesaran abdomen, BJ urine Estimasi penurunan edema tubuh
3. Timbang berat badan tiap hari dalam
Mencegah edema bertambah berat
skala yang sama
Pembatasan protein bertujuan untuk
4. Berikan cairan secara hati-hati dan
meringankan beban kerja hepar dan
diet rendah garam. mencegah bertamabah rusaknya
hemdinamik ginjal.
5. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari.
b) Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi

sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.

Tujuan kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil napsu makan

baik, tidak terjadi hipoprtoeinemia, porsi makan yang dihidangkan

dihabiskan, edema dan ascites tidak ada.

Intervensi Rasional
1. Catat intake dan output makanan secara Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh
akurat
Gangguan nuirisi dapat terjadi secara
2. Kaji adanya anoreksia, perlahan. Diare sebagai reaksi edema
intestinal
hipoproteinemia, diare.
Mencegah status nutrisi menjadi
lebih buruk
3. Pastikan anak mendapat makanan
dengan diet yang cukup

c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.

Tujuan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak ada,

tanda vital dalam batas normal, ada perubahan perilaku keluarga dalam

melakukan perawatan.

Intervensi Rasional
1. Lindungi anak dari orang-orang yang Meminimalkan masuknya organisme
terkena infeksi melalui pembatasan
pengunjung. Mencegah terjadinya infeksi
nosokomial
2. Tempatkan anak di ruangan non infeksi
Mencegah terjadinya infeksi
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah nosokomial
Membatasi masuknya bakteri ke
tindakan.
dalam tubuh. Deteksi dini adanya
4. Lakukan tindakan invasif secara infeksi dapat mencegah sepsis.
aseptik
d) Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing

(dampak hospitalisasi).

Tujuan kecemasan anak menurun atau hilang dengan kriteria hasil kooperatif

pada tindakan keperawatan, komunikatif pada perawat, secara verbal

mengatakan tidak takur.

Intervensi Rasional
1. Validasi perasaan takut atau cemas Perasaan adalah nyata dan membantu
pasien untuk tebuka sehingga dapat
menghadapinya.
Memantapkan hubungan,
2. Pertahankan kontak dengan klien
meningkatan ekspresi perasaan
Dukungan yang terus menerus
3. Upayakan ada keluarga yang mengurangi ketakutan atau
kecemasan yang dihadapi.
menunggu
Meminimalkan dampak hospitalisasi
terpisah dari anggota keluarga.

4. Anjurkan orang tua untuk


membawakan mainan atau foto
keluarga.
BAB 4
TINJAUAN KASUS

4.1 Pengkajian

Pengkajian diambil pada tanggal 16 April 2012 di Ruangan Anak RSUD Dr.

Soetomo Surabaya dengan diagnosa medik Nefrotic Syndrome. Anak masuk rumah

sakit tanggal 16 April 2012 dengan nomor register 10153559.

1. Identitas.

Nama : An. Lia Nama ayah : Tn. Yakiyah (34 tahun).


Umur : 5 Pendidikan : SMP tidak lulus
Jenis kelamin : perempuan Pekerjaan : petani
Agama : Islam Nama ibu : Ny. Tumini (33 tahun).
Pendidikan : SD tidak lulus
Pekerjaan : petani
Alamat : Desa Karangpilang, Kec. Modo,
Lamongan
Agama : Islam
Suku : Jawa

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama.

Mengeluh muka dan badan bengkak, perut tambah besar, kencing jarang dan

sedikit.

b. Riwayat penyakit dahulu.

Agustus 2001, klien mengalami bengkak pada muka, kaki dan perut tambah

besar. Oleh keluarga diperiksakan ke dokter di Lamongan dan dapat pil hijau

3 X ½ selama satu minggu. Setelah bengkak turun, pasien tidak kontrol lagi.

c. Riwayat penyakit sekarang.

Tanggal 16 April 2002 pagi, pasien tidak mau makan karena sakit perut,

tegang, muka tangan dan kaki mulai bengkak. Sesak, klien dibawa ke dokter

dan kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya.


d. Riwayat kehamilan dan persalinan.

Antenatal : saat hamil ibu pernah sakit jantung/paru-paru. Dan minum obat

dari dokter di rumah sakit, Kontrol kehamilan di bidan satu bulan sekali

secara teratur.

Natal : klien lahir dibantu dukun (bidan tidak ada). Berat 3 kg, usia kehamilan

9 bulan, lahir spontan, langsung menangis.

Neonatal : warna kulit merah, pucat, kejang dan lumpuh tidak ada, menangis

kuat.

e. Imunisasi

BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali dan TT satu kali.

f. Riwayat tumbuh kembang

Berat badan 16 kg, panjang badan 102 cm, perkembangan fisik dan mental

meliputi dapat menghitung jari 1 – 10, menyebut warna merah, hijau, kuning

dan biru, menurut ibu klien kalau sehat anak bermain dengan teman

seusianya.

g. Status nutrisi

Status gii 16/18 X 100 % = 88,9 %.

Sejak sakit tahun 2001, klien tidak makan ikan laut dan telur. Dari dokter

dianjurkan juga tidak makan asinan dan makanan snack yang mengandung

banyak penyedap rasa. Tetapi anak tidak mau karena kesukaan seperti mie

remes, chiki dan snack lainnya. Klien akan mengamuk jika tidak diberikan.

Dua hari sebelum MRS minum air putih bisa sampai 1 liter/hari, tidak mau

minum susu dan makan, mual dan sakit perut.


3. Pengkajian per sistem.

a. Sistem pernapasan.

RR 40 X/menit (takipnea), ronki positif dan whezeeng negatif, terpasang

oksigen nasal 2 L/menit.

b. Sistem kardiovaskuler.

Nadi 148 x/menit, reguler, Tekanan darah 90/60 mmHg, berbaring, tangan

kanan, suara jantung S1S2 tunggal di midklafikula 5 sinestra.

c. Sistem persarafan

Kesadaran komposmentis, rewel, gelisah, reaksi pupil baik.

d. Sistem Perkemihan

Menurut ibunya sejak pagi klien jarang kencing walaupun minumnya tetap,

kalau kencing klien ngompol, blass kosong.

e. Sistem pencernaan.

Abdomen tegang, kembung, bising usus normal suara lemah. Klien tidak mau

makan karena sakit, nyeri abdomen, saat diraba dan diperkusi klien menangis

dan menjerit. Vena abdomen menonjol, ascites, BAB positif, mencret sedikit-

sedikit, berlendir, minum air putih + 300 cc.

f. Sistem muskuloskeletal.

Kekuatan otot 5 – 5 pada ekstremitas atas dan 3 – 3 ekstremitas bawah.

g. Sistem integumen.

Edem ekstremitas atas dan bawah, akral hangat, suhu/aksila 392 0C, muka

sembab, nampak pucat.

h. Sistem reproduksi

Dalam batas normal.

i. Sistem endokrin

Tidak ada riwayat alergi.


4. Respon keluarga.

Kelaurga atau ibu cemas akan keadaan anaknya karena biaya sudah banyak yang

dikeluarkan tetapi klien tidak sembuh. Terlebih saat ini biaya menipis dan

keluarga sudah mengurus JPS. Keluarga berharap klien cepat sembuh agar cepat

pulang.

5. Pemeriksaan penunjang.

Tanggal 16-4-2002

Laboratorium : WBC 8,2 K/uL ; Hb 13,1 g/dl ; Hct 38 % ; albumin 0,87

gr % (3,6-5 gr %), BUN 16 mg % (5-10 mg %) dan creatinin serum

0,51 mg % (0,75-1,25 mg %), kalium 3,0 meq/L, natrium 128 meq/L,

kalsium 6,29 meq/L, kolesterol 373 mg/dl.

Urine lengkap : pH 5,0 ; leukosit negatif ; nitrogen negatif, protein 75

mg/dl (positif) ; eritrosit 25/uL (positif)

Radiologi : foto thoraks : cor besar dan bentuk normal, pulmo tidak

tampak infiltrat, kedua sinus phrenicol costalis tajam, dengan

kesimpulan tidak tampak tanda lung edema.

6. Pengobatan/therapi.

Lasiks 3 X 18 mg

Diit TKTPRL

Transfusi plasma 200 cc, prelasiks 1 ampul

Analisa data
Data Etiologi Masalah
Subyektif : Kelainan-kelainan glomerulus Kelebihan
- menurut ibu klien ;pernah volume cairan
tubuh
mengalami sakit yang
Albuminuria
sama bulan Agustus 2001
- sejak 16 April 2002 pagi
Hipoalbuminemia
muka, tangan dan kaki
mulai bengkak. Tekanan onkotik koloid plasma
menurun
Obyekif :
- edema ekstremitas atas
dan bawah, muka Volume plasma meningkat
sembab,
Retensi natrium renal meningkat
ascites,venaabdomen
menonjol, albumin 0,87
Edema
g/dl, protein urine 75
Kelebihan volume cairan
mg/dl (positif) dan roncii
pada paru kiri dan kanan.
Subyektif : Hipoalbuminemia Perubahan nutrisi
- menurut ibu 2 haris kurang dari
kebutuhan tubuh
SMRS klien tidak mau
Sisntesa pritein hepar meningkat
makan, mual dan
mengeluh perut sakit
Hiperlipidemia
Obyektif :
- status gizi 88,9% (gizi
Malnutrisi
kurang), edema, ascites,
albumin 0,87 g/dl, klien
hanya mau makan
satusendok makan.

Subyektif : Penyakti autoimun Resiko tinggi


- ibu mengatakan klien infeksi
pernah menderita sakit
Kelainan glomerulus
yang sama pada bulan
agustus 2001
Imunitas menurun
Obyektif :
- nadi 148 X/menit, suhu
Infeksi meningkat
392 0C, WBC 8,2 X 109/L,
akral hangat, dilakukan
venflow, status gizi
kurang dan edema
Subyektif : Hipoalbuminemia Resiko tinggi
- ibu mengatakan bengkak kerusakan
Edema integritas kulit
sejak pagi
Obyektif :
- kekuatan otot 5-5 Tekanan, robekan, friksi, maserasi
ekstremitas atas, 3-3
ekstremitas bawah dan
Kerusakan integritas kulit
klien tirah baring

Subyektif : Albuminuria Nyero (akut)


- mengatakan perut
bertambah besar, tidak
Hipoalbuminemia
mau makan karean perut
sakit, tegang.
Akumulasi cairan dalam rongga
Obyektif : abdomen
- kembung, tegang,
meteorismus, bising usus
ascites
normal lemah,
ascites,vvena abdomen
menonjol,
Syubyektif : Hospitalisasi Kecemasan anak
- ibu mengatakan pasien
rewel, tidak mau
Tindakan invasif Pisah dengan
dibaringkan orang tua
Obyektif :
- menangis saat didekati
perawat, jika dibaringkan Rewel, berontak
klien berontak.

4.2 Diagnosa

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hipoalbuminemia.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen

3.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubugan dengan malnutrisi

sekunder dari katabolisme protein

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas yang menurun

5. Kecemasan anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi

6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema.


4.3 Perencanaan dan Rasional

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hipoalbuminemia.

Tujuan kelebihan volume cairan dapat teratsi setelah 3 hari perawatan dengan

kriteria edema, ascites, ronki tidak ada, sembab hilang, peningkatan albumin dan

tanda vital dalam batas normal

Intervensi Rasional
1. Timbang berat badan setiap Mengawasi status cairan yang baik.
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5
haridengan alat yang sama
kg/hari diduga ada retensi cairan
Perlu waktu menentukan fungsi ginjal.
2. Catat pemasukan dan Kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan.
pengeluaran carian
Takikardi dan hipertermi dapat terjadi
karena kegagalan ginjal untuk
3. Monitor nadi dan tekanan darah mengeluarkana urine.
Edem dapat bertambah terutama pada
jaringan yang tergantung. Edema periorbita
4. Observasi adanya perubahan
menunjukkan adanya perpindahan cairan.
edema Dapat menunjukkan adanya perpindahan
cairan, akumulasi toksin, ketidak
seimbangan elektrolit.
Melebarkan lumen tubular, mengurangi
5. Observasi tingkat kesadaran,
hiperkalemia dan meningkatkan volume
bunyi paru dan jantung urine adekuat.
6. Kolaboratif : diuretik

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen

Tujuan nyeri (akut) teratasi setelah 3 hari perawatan dengan kriteria secara verbal

dan non verbal nyeri berkurang atau hilang, skala 0 – 3, nadi dan tekanana darah

dalam batas normal, ascites menurun atau hilang.

Intervensi Rasional
1. Observasi lingkar abdomen setiap Penambahan lingkar abdomen dapaat
memberikan gambaran penambahan
hari
akumulasi cairan.
Perubahan dalam intensitas tidak umum
2. Observasi nyeri (perubahan/ tetapi dapat menunjukkan adanya
komplikasi
penambahan), kualitas, lama
Penurunan bising usus dapat memperberat
3. Kaji bising usus keluhan nyeri dan indikasi adanya ileus
Nyeri yang hebat dapat meningkatkan nadi
dan tensi
4. Observasi nadi dan tensi
Meningkatkan pengeluaran urine yang
adekuat.
5. Kolaboratif : diuretik

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubugan dengan malnutrisi sekunder


dari katabolisme protein
Nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan klien setelah mendapat perawatan 3 hari

dengan kriteria edema berkurang atau hilang, albumin dalam batass normal,

status gizi baik dna mual tidak ada, porsi makan dihabiskan.

Intervensi Rasional
1. Berikan diet rendah garam dan Mencegah retensi natrium berlebihan dan
rusaknya hepar dan hemodinamik ginjal
batasi pemberiana protein 1-2
Sebagai reaksi adanya edema intstinal.
gr/kg BB/hari Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh
2. Kaji adanya anoreksia, muntah,
Memantau fungi peristaltik usus.
diare
3. Catat intake dan output makanan
secara adekuat.
4. Observasi lingkar perut, bising
usus

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas yang menurun

Tujuan setelah mendapat perawatan selama 1 minggu tidak terjadi infeksi dengan

kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi, tanda vital dalam batas normal, tidak terjadi

phlebitis.

Intervensi Rasional
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah Mengurangi resiko terjadi infeksi
nosokomial
perawatan
2. Lakukan tindakan invasif dengan Mengurangi resiko terjadi infeksi
nosokomial
teknik aseptik
3. Batasi pengunjung dan tempatkan Meminimalkan kemungkinan terjadi
infeksi antar pasien dan dari luar
klien pada ruang non infeksi
Nadi dan suhu yang meningkat indikator
4. Observasi tanda vital : nadi dan adanya infeksi
Venflon merupaka port de entri kuman
suhu tidap 3 jam
pathogen
5. Observasi tempat pemasangan
venflon.
5. Kecemasan anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi

Tujuan setelah mendapat perawatan 3 hari kecemasan anak berkurang atau hilang

dengan kriteria secara verbal mengatakana tidak takur, tidak menangis saat

didekati, kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan mau diajak komunikasi.

Intervensi Rasional
1. Perkenalkan diri kepada klen dan Membina hubungan saling percaya dengan
klien dan keluarga.
keluarga
Menciptakan hubungan kerjasama
2. Libatkan keluarga dalam Memberikan rasa nyaman kepada klien
perawatan klien
Agar anak kooperatif pada setiap tindakan
3. Anjurkan agar orang terdekat keperawatan
Merupakan pedoman dalam menentukan
klien menjaganya.
perlu tidaknya perbaikan intervensi.
4. Jelaskan kepada anak setiap
tindakan yang akan dilakukan
5. Observasi adanya perubahan
perilaku pada respon hospitalisasi

6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema.

Tujuan setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu kerusakan integritas kulit

tidak terjadi dengan kriteria edema berkurang atau hilang, kulit merah, tidak

terjadi lecet dan dekubitus.

Intervensi Rasional
1. Pertahankan sprei dalam keadaan Kelembaban yang berlebihan
menimbulkan rusaknya integritas kulit
kering, bersih dan rapih.
Deteksi dini adanya kerusakan integritas
2. Observasi lokasi yang mengalami kulit
penekanan dalam jangka waktu
yang lama Urine bersifat asama dapat mengiritasi
kulit jika kontak dalam jangka waktu yang
3. anjurkan kepada ibu untuk setiap
lama
kali ngompol kain pengalas Deteksi kemungkinan bertambah
paarahnya integritas kulit.
diganti
4. Observasi edema

4.4 Implementasi dan Evaluasi


Tanggal 17 April 2002
1. Diagnosa keperawatan 1.
Jam Implementasi Evaluasi
07.15 Mengukur berat badan : 16 kg Pukuil 14.00
Mengobservasi edem : tungkai kanan dan S : ibu mengatakan bengkak
kiri edema, ascites dan edema pada belum menurun
kelopak mata O : edema periorbital, tungkai
07.30 Produksi urine 24 jam 150 cc, kuning kanan dan kiri serta ascites,
8.10 pekat tanda vital N 115 X/mnt, T
Memberikan injeksi lasiks 18 mg/iv 115/75 mmHg, RR 35 X/mnt,
Ngompol 25 cc ada balans cairan, ronki pada
Tanda vital : N 100X/mnt, T 110/60 kedua paru.
mmHg, RR 36 X/mnt A : masalah belum teratasi
08.30 Ibu mengatakan kalau bengkaknya belum P : intervensi no 1 – 6 masih
11.15 berkurang diteruskan.
Minum 50 cc
11.45 Ngompol 50 cc
14.00 Tanda vital : N 115 X/mnt, T 115/75
mmHg, RR 35 X/mnt
Minum 25 cc
Bunyi napas ronki
Minum 50 cc
Balans cairan + 25 cc

2. Diagnosa keperawatan 2.
Jam Implementasi Evaluasi
11.50 Mengobservasi bising usus : meningkat, Pukuil 14.00
asvites, linkgarp erut 57 cm S : ibu menanyakan mengapa
Klien menangis terus kesakitan pada perut bertambah sakit
perut, P : saatmakan, dipegang, Q : nyeri O : bising usus 40 x/mnt,
sekali saat dipegang, R : seluruh daerah distensi, meteorismus, vena
pereut, S : skala 8-9, T : terus menerus abdomen menonjol, tanda
Tanda vital : N 100X/mnt, T 100/60 vital N 120 X/mnt, T 110/70
13.10 mmHg, RR 36 X/mnt mmHg, RR 40 X/mnt, klien
Kolaboratif : sementara puasa, pasang masih menangis terus
13.30 NGT untuk dekompresi, pasang lingkar A : masalah belum teratasi
abdomen P : intervensi no 1 – 4 masih
Foto thoraks : kesimpulan ileus paralitik diteruskan, mrmasang NGT,
Hasil lab : kalium 3,7 (3,8 – 5,5). lingkar perut dan pasien
dipuasakan.

3. Diagnosa keperawatan 3.
Jam Implementasi Evaluasi
08.30 Klien muntah, mengatakan tidak mau Pukuil 14.00
makan, perut terasa sakit, ascites dan S : ibu mengatakan sakit perut
11.00 meteorismus. dan tidak mau makan
Hasil lab : kalium 3,7 (3,8-5,5) ; natirum O : bising usus meningkat,
128 (136-144), kalsium 6,66 (8,1-10,4) puasa, infus D5 ½ S 1150
12.10 Memasang infus D5 ½ saline 1150 cc/24 cc/24 jam, NGT ada keluar
13.10 jam cairan hijau kecoklatan 25 cc.
BAB mencret 3 kali, sedikit-sedikit arnaa A : masalah belum teratasi
kehijauan P : intervensi no 2 –4 masih
Klien dipuasakan, pasang NGT : keluar diteruskan.
cairan warna hijau kecoklatan 25 cc,
bising usus meningkat, lingkar perut 57
cm.

4. Diagnosa keperawatan 4.
Jam Implementasi Evaluasi
08.00 Memperkenalkan diri kepada pasien Pukuil 14.00
,emnanyakan kondisinya hari ini, klien S : pasein mengatakan tidak mau
masih menangis, ibu mengatakan pada saat akandisuntik
semalam menangis terus, rewel dan tidak O : sering menangis, rewel dan
08.30 mau tidur. berontak
Saat disuntik klien berontak, mengatakan A : masalah kecemasan anank
tidak mau, menanyakan kepada ibu siapa belum teratasi
12.00 lagi yang terdekat dengan klien (menurut P : intervensi no 2, 4 dan 5
ibu bude-nya). diteruskan.
Melibatkan ibu untuk memasang
termometer : pasien tenang
Menjelaskan kepada ibu agar selalu ada
yang menunggu klien agar ia tidak
bertambah takut

Tanggal 18 April 2002


1. Diagnosa keperawatan 1.
Jam Implementasi Evaluasi
08.25 BAK 24 jam 250 cc Pukuil 14.00
Memberikan injeksi lasiks 18 mg/iv S : ---
Tanda vital : N 120X/mnt, T 100/60 O : BB 15,5 kg, edema palpebra,
mmHg, RR 32 X/mnt. tungkai kanan dan kiri serta
Mengobservasi : ronki pada kedua paru, ascites, lingkar perut 55 cm,
oksigen nasal 2 L/menit, edem palpebra, hasil BOF kesimpulan
kedua tungkai, ada ascitees, bising usus meteorismus
37 x/menit, meteorismus, lingkar perut A : masalah kelebiahn volume
11.15 55 cm dan vena abdomen menonjol. cairan belum teratasi
11.45 Foto BOF ulang P : intervensi no 1 – 6 masih
Mengukur tanda vital : N 110 X/mnt, T diteruskan.
13.30 115/75 mmHg, RR 35 X/mnt
Jumlah urine 100 cc, input 250 cc, balans
: : kelebihan 150 cc

2. Diagnosa keperawatan 2.
Jam Implementasi Evaluasi
08.00 Ibu mengatakan anak sudah tidak terlalu Pukuil 14.00
sakit pada pe perutnya, saat dipegang S : anak kadang masih mengeluh
perutnya anak lebih tenang dari hari sakit jika perut agak ditekan
kemarin, skala 7-8 O : skala 7 – 8, bising usus 37
Lingkar perut 55 cm, masih ascites, x/mnt, meteorismus, tanda
meteorismus, bising usus 37 x/menit, vital N 110 X/mnt, T 115/75
cairan keluar dari NGT warna kehijauan mmHg
(25 cc/24 jam), flastus ada. A : masalah belum teratasi
P : intervensi diteruskan,

3. Diagnosa keperawatan 3.
Jam Implementasi Evaluasi
10.15 Infus D5 ½ saline 1500 cc/24 jam, Pukuil 14.00
dicoba minum sedikit-sedikit, NGT S : ibu mengatakan sudah
ditutup, tidak mual. memberi minum 5 sendok
Menjelaskan kepada ibu bahwa anak O : bising usus dan flastus ada,
boleh dicoba minum sedikit-sedikit, bila mencret dua kali, masih
muntah dihentikan minum sedikit – sedikit, infus
12.30 Ibu mengatakan tadi pagi klienmencret D5 ½ S 1500 cc/24 jam,.
dua kali warna hijau kecoklatan, ada A : masalah nutrisi kurang belum
flastus. teratasi
Mengobservasi bising usus 37 x/menit, P : intervensi diteruskan.
lingkar perut 55 cm.

4. Diagnosa keperawatan 4.
Jam Implementasi Evaluasi
09.45 Anak rewel, minta jalan-jalan, Pukuil 14.00
menjelaskan kepada ibu agar anak S : ibu mengatakan anak minta jalan-
digendong sebentar, mungkin anak jalan dan kalau tidak dituruti akan
rewel karena bosan harus berbaring mengamuk
terus O : saat akan diperiksa anak
11.00 Saat didekati perawaat anak tidak menangis dan tidak mau, mulai
lagi berontak. bermain dengan bonekanya, saat
11.30 Keluarga berkunjung, ada yang didekati perawat anak tidak
membawakan boneka : anak mulai berontak
bermaian dengan bonekanya. A : masalah kecemasan anak mulai
Saat akan dilakukan pengukuran teratasi sebagian
suhu dan tekanan darah klien P : intervensi no 2, 4 dan 5
mengatakan tidak mau dan menangis diteruskan. Tingkatkan kunjungan
dan komunikasi pada klien
Tanggal 19 April 2002
1. Diagnosa keperawatan 1.
Jam Implementasi Evaluasi
08.30 BAK 24 jam 500 cc Pukuil 14.00
Tanda vital : N 110X/mnt, T 100/60 S : ibu mengatakan anak mulai
mmHg, RR 24 X/mnt. tampak membaik
Mengobservasi : ronki tidak ada, edema O : edema palpebra, lengan dan
pada palpebra, kedua tungkai, kedua ascites, lingkar perut 53 cm,
lengan dan ada ascitees, lingkar perut 53 BB 15,5 kg, tidak ada ronki,
09.00 cm dan BB 15,5 kg. tanda vital N 105 x/mnt, T
10.15 Memberikan injeksi lasix 18 mg/iv 100/70 mmHG, RR 25
Melaksanakan advis dokter infus X/menit
12.15 aminofusin 200 cc/hari, D5 ½ saline A : masalah kelebihan volume
1200 cc/24jam. cairan teratasi sebagian
Mengukur tanda vital : N 105 X/mnt, T P : intervensi diteruskan.
110/70 mmHg, RR 25 X/mnt, ibu
mengatakan anak mulai membaik dan
ingn cepat pulang, menjelaskan kepada
13.30 ibu bahwa perawatan klien dengan kasus
seperti ini memerlukan kesabaran,
sehingga perawatan dapat diberikan
secara tuntas.
Balans cairan kelebihan 75 cc

2. Diagnosa keperawatan 2.
Jam Implementasi Evaluasi
09.00 Ibu mengungkapkan keluhan sakit perut Pukuil 14.00
anaknya sudah berkurang S : ibu mengungkapkan keluhan
Mengobservasi : Lingkar perut 53 cm, sakit perut pada anaknya
masih ascites, bising usus 35 x/menit, sudah berkurang
meteorismus, saat dipalpasi anak tidak O : bising usus 35 x/mnt,
menunjukan wajah kesakitan, skala 1 – meteorismus, dan masih
3. ascites
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan,

3. Diagnosa keperawatan 3.
Jam Implementasi Evaluasi
08.45 Iibu mengatakan pagi ini anak BAB Pukuil 14.00
mencret 1 kali dan tidak muntah, tidak S : ibu mengatakan pagi ini BAB
09.10 mual. 1 x mencret, itdak muntah
Mengobservasi bising usus 35 x/menit, O : bising usus dan flastus ada,
lingkar perut 53 cm, masih ascites, infus BB 15,5 kg, lingkar perut 53
12.30 aminofusin 200 cc/hari dan D5 ½ saline cm, infus jalan lancar.
1200 cc/hari A : masalah nutrisi kurang belum
Tidak ada muntah teratasi
P : intervensi diteruskan.

4. Diagnosa keperawatan 4.
Jam Implementasi Evaluasi
09.00 Anak tampak tenang, jiak ditanaya Pukuil 14.00
dapat mengatakan yan dan tidak, saat S : ---
akan diberikan injeksi dan dikatakan O : anak menjawab saat ditanaya,
kalau suntikan lewat slang, klien mulai kooperatif dengan tindakan
tidak mengatakan takut dan tidak keperawatan, tampak bermain
berontak. Klien bermain dengan dengan bonekanya
boneka. A : masalah kecemasan anak teratasi
P : intervensi dihentikan

Tanggal 20 April 2002 (Sabtu)


Catatan dari status
S : tidak ada nyeri peut, muntah dan BAB juga tidak ada, BAK dan flastus
positif.
O : kompos mentis, edem periorbital kiri dan kanan, edem tungkai menurun,
lengan, tidak ada ronki dan whezeeng, BB 16 kg, masih ascites, bising
usus postif dan normal, distensi menurun, masih meteorismus, tidak ada
nyeri tekan.
Terapi : infus D 5 % 50 cc/hari, Cefotaxim 3 X 1 gram iv, lasix 3 X 18 mg iv,
diet TKTPRG 1200 cc + 32 gram protein, diet sonde tiap 2 jam 20 cc,
susu tiap 1 jam 10 cc.

Tanggal 21 April 2002 (Minggu)


Catatan dari status
S : BAB positif, tidak ada nyeri peut, muntah, tidak rewel dan flastus positif.
O : edem periorbital kiri dan kanan, edem tungkai menurun, lengan, tidak ada
ronki dan whezeeng, BB 15 kg, masih ascites, bising usus postif dan
normal, N 109 x/mwnit, T 105/70 mmHg, RR 27 X/menit, abdomen
supel.
Terapi : infus habis lepas, Cefotaxim 3 X 1 gram iv, lasix 3 X 16 mg iv, kalk 3
X 1 (po), prednison 3-2-2 (po), diet sonde 1250 kkal + 30 gram protein
tiap 2 jam 20 cc, susu tiap 1 jam 20 cc.

Tanggal 22 April 2002


1. Diagnosa keperawatan 1.
Jam Implementasi Evaluasi
08.45 BAK 24 jam 550 cc, BB 15 kg. Pukuil 14.00
Mengobservasi : ronki tidak ada, edema S : ---
pada palpebra, lingkar perut 50 cm dan O : edema periorbita, asicites
supel. menurun, supel, lingkar perut
Menjelaskan kepada ibu minum per oral 50 cm, balans cairan (-) 50 cc,
09.15 susu # X 200 cc, air putih maksimal 1 hasil lab : urine ginjal
L/hari. mikroskopis albumin (=) 4,
Memberikan injeksi Lasix 16 mg iv urin e profil : protein 150
11.50 Mengukur tanda vital : N 100 X/mnt, T mg/dl (++), pH 8,0 dan Sg
115/70 mmHg, RR 22 X/mnt 1,010
12.30 Mengukur tanda vital : N 110 X/mnt, T A : masalah kelebihan volume
110/75 mmHg, RR 22 X/mnt cairan teratasi sebagian
Bak 250 CC P : intervensi 1 – 6 diteruskan.
Balans cairan
Cm = 250 CC
Ck = 300 cc selisih 50 cc

2. Diagnosa keperawatan 3.
Jam Implementasi Evaluasi
08.40 Perut supel, flastus positif, bising usus 27 Pukuil 14.00
x/menit, BAB 1 kali agak lembek, S : ibu mengatakan kien tidak
Klien makan bubur kasar/nasi lunak muntah, mencret dan setiap
habis 1 porsi kali makan selalu habis
Terapi : diet nasi lunak 1300 kkal, 32 O : bising usus 20 x/mnt, flastus
12.30 gram protein, bubur kasar 3 x/hari, susu positif, ascites menurun, perut
3 X 200 cc supel, hasil lab. Total protein
Klien makan nasi, lauk dan sayur habis 1 5,4 g% (6,20-8) ; albumin 3,2
porsi, ibu mengatakan sejak kecil tidak gr% (3,6-5) dan globulin 2,2
begitu suka dengan susu sehingga saat gr% (2,6-3)
ini sulit minum susu. Ibu juga A : masalah nutrisi teratasi
mengatakan klien makan sudah habis 1 sebagian
porsi, tidak ada muntah dan menceret. P : intervensi 1 – 4 diteruskan
DAFTAR PUSTAKA

Berhman & Kliegman (1987), Essentials of Pediatrics, W. B Saunders, Philadelphia.

Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made Kariasa, EGC,
Jakarta

Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto, Jakarta

Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica, Jakarta

Tjokronegoro & Hendra Utama, (1993), Buku Ajar Nefrologi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

-------, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo-Lab/UPF IKA, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai