Kelas C
Kelompok 9
Puji Syukur atas kehadiran Allah SWT yang maha kuasa, karena dengan kehendaknya
kami bisa menyelesaikan makalah “Sosial Budaya dalam Keperawatan Paliatif”.
Kami ingin ber-terima kasih kepada teman-teman atas kerja sama nya, kepada Orang
tua kami yang telah mengizinkan kami mnegerjakan tugas, dan terutama kepada ibu
dosen kami tercinta yaitu Ibu Desmawati atas Bimbingan dan pembelajarannya
selama pelajaran Keperawatan paliatif ini.
Kelompok 9
BAB I
PENDAHULUAN
Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap,
tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang sakit
merasa ada yang memperhatikan (Friedman, 2010). Dukungan ini merupakan sikap, tindakan
dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Susilawati (2015) mengatakan anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi
pertolongan dan bantuan yang diperlukan (Susilawati, 2015). Adanya dukungan keluarga
mempermudah penderita dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan
yang dihadapinya juga merasa dicintai dan bisa berbagi beban, mengekspresikan perasaan
secara terbuka dapat membantu dalam menghadapi permasalahan yang sedang terjadi serta
adanya dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percayadiri pada penderita
dalam menghadapi proses penyakitnya (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Morris dkk (2015)
menyatakan lebih dari 200.000 orang setiap tahun tidak mati di tempat yang mereka inginkan.
Selain itu terdapat 63% pasien paliatif menyatakan ingin di rawat oleh keluarganya. Aoundkk
(2015) mengatakan jika dukungan yang diberikan keluarga terhadap pasien paliatif tidak
terpenuhi pasien akan merasa kesepian, tidak berharga dan merasa tidak dicintai maka dari itu
peran dari keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien sehingga pasien merasa diperhatikan,
nyaman dan damai. Harrop dkk (2014) mengatakan pasien paliatif lebih nyaman mendapatkan
perawatan ataupun bantuan dari keluarganya. Dimana bantuan ataupun dukungan yang
didapatkan dari keluarga dapat mengurangi beban psikososial dan spiritual pada pasien dengan
perawatan paliatif (Hudson dkk, 2014).
Bagaimana dukungan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan social dan budaya pada
pasien palitif?
I.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui karakterisitik keluarga pada pasien paliatif
b. Diketahui dukungan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan social budaya pasien
paliatif
BAB II
PEMBAHASAN
Sosiologi sering diidentikkan dengan disiplin ilmu social. Namun sosiologi juga sering
dikategorikan bagian dari berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, kebijakan social,
antropologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi. Namun secara sederhana, sosiologi dapat
dibedakan dengan disiplin ilmu lainnya dimana ilmu social berfokus pada bagaimana aspek
keduniaan manusia atau dunia buatan manusia sebagai bagian eksternal yang dapat
memengaruhi manusia secara kolektif. Sosiologi juga sebagai disiplin yang selalu focus pada
berbagai isu social utama seperti isu pengangguran, kemiskinan, dan rasisme, yang mana hal
tersebut dapat mempengaruhi proses kehidupan manusia.
Sehat, sakit dan penyakit bukan hanya kondisi terkait biologis dan psikologis namun
juga terkait biologis dan psikologis namun juga terkait dengan status social (Clarke, 2010).
Dimensi social tersebut merupakan inti dari studi social mengenai sehat dan sakit. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sekalipun para psikologis memahami bahwa factor biologis memiliki peran
penting sebagai penyebab kejadian penyakit, namun peran psikologis menyakini bahwa factor
social memberikan efek terhadap kondisi sehat dan sakitnya terhadap seseorang, termasuk
disaat kondisi saat factor social dapat menjadi salah satu factor yang dapat memperburuk
kondisi pasien. Sehingga timbul suatu persepsi umum bahwa sehat dan sakit merupakan produk
social. Dengan kata lain bahwa pengalaman seseorang terhadap kesehatan maupun kejadian
sakit dipengaruhi olrh social, ekonomi, dan karakteristik budaya dari suatu masyarakat dimana
mereka tinggal. Parson (1951 dalam Clarke, 2010) mengembangkan sebuah konsep tentang
peran sakit yang menarik perhatian sehingga hal tersebut menjadi sebuah fakta bahwa sakit
bukanlah murni sebagai status biologis namun sakit juga memiliki dimensi social.
Seiring dengan meningkatnya kasus penyakit kronis yang disertai dengan penurunan
kualitas hidup dalam berbagai kasus penyakit terutama pada stadium lanjut atau terminal maka
kebutuhan akan pelayanan dalam tatanan sosial pun turut meningkat. Bila melihat catatan
sejarah bawa perawatan paliatif dan hospis hadir sebagai bentuk respon terhadap
ketidakmampuan tatanan layanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan pasien menjelang
akhir kehidupan beserta keluarganya dengan baik (Lloyd-Williams,2003). Mengingat akan
kebutuhan tersebut maka perawatan paliatif di nyatakan sebagai salah satu hak asasi manusia
(Bottorff,2012). Lebih lanjut, perawatan paliatif juga telah menjadi sebuah isu keadilan sosial
dan semua anggota masyarakat harus dapat mengakses jenis perawatan tersebut.
Budaya idefinisikam sebagai jalan hidup, yang mana memberikan padangan dunia,
dasar dalam memahami dan mencipta realitas hidup seseorang, mengarahkan makna dan tujuan
hidup dan sekaligus memberikan dan menjadikan acuan hidup (Matzo& Sherman,2010).
Sedangkan sobo & Loustaunau (2010) Mendefinisikan budaya sebagai bentuk berbagi yang di
dasarkan pada pengetahuan yang telah dipelajari dan pola perilaku pada suatu kelompok,
dimana kelompok tersebut terdiri beberapa orang yang saling berinteraksi.
Latar belakang budaya yang dimiliki oleh pasien sangat mempengaruhi pasien terhadap
bagaimana ia memiliki atau merujuk sesuatu menginginkan hal terkait mendiskusikan berita
buruk,dan membuat keputusan, serta bagimana pengalamannya terkait kematian (Lum &
Arnold, 2012) maupun penanganan dan perawatan menjelang kematian (Clark & Philips,
2010).
Olehnya itu, memahami latar belakang budaya pasien merupakan hal yang sangat dasar
untuk membangun rasa percaya dan hubungan yang bersifat supportif antara pasien, keluarga
dan profesional kesehatan. Selain itu memahami budsys juga sebagai dasar untuk
mengembangkan rencana perawatan kesehatan yang mencakup harapan yang terkait budaya
pasien, dan kepercayaan yang terkait kesehatan. Andrews and Boyle (1995, dalam Matzo &
Sherman, 2010) menjelaskan bahwa kepercayaan yang terkait dengan kesehatan dikelompokan
dalam 3 kategori yaitu:
Perawatan pasien dengan model holistic lebih mendasarkan pada pengalaman subyektif
trhadap kondisi sakit dibandingakan dengan deksripsi penyakit secara fisiologis. Jadi, jika
perawatan yang di lakukan berpusat pada pasien, maka memasuki dunia pasien merupakan hal
yang penting untuk dapat melihat penyakit dan kondisi sakit menurut pandangan dan persepsi
pasien (Sleman, Speck, Barfield, Gysels, Higginson & Harding, 2014). Lebih lanjut,
berdasarkan fenomena tersebut maka di adopsi 3 prinsip yang berkenan dengan pengalaman
sakit yaitu:
Dua orang yang berbeda dengan penyakit yang sama boleh jadi memiliki pengalaman yang
berbeda tentang sakitnya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh seberapa mengganggunya atau
perhatiannya seseorang tersebut terhadap sakit dan penyakitnya. Seberapa ragamnya
pengalaman seseorang dengan orang lain terhadap kondisi sakit yang dialami tersebut, dimana
kondisi sakit tersebut sebagai suatu fenomena dan bagaimana fenomena tersebut
dikomunikasikan dan dijelaskan. Kedua hal yang berkaitan dengan fenomena sakit tersebut
mempengaruhi budaya yang nampak pada seseorang. Begitu pula pengaruh bagaimana kita
menginterpretasikan dan memberi makna terhadap pengalaman kita, maka budaya akan
mempengaruhi bagaimana kita mengekspresikan pengalaman kita terhadap dunia.
Prinsip ini menekankan bahwa peran suatu makna merupakan hal yang sangat dasar terhadap
pengalaman hidup seseorang, terutama pada kondisi sakit serius. Sekalipun kebutuhan akan
makna secara universal datangnya lebih dahulu daripada kondisi sakit, makna memiliki peran
penting terhadap peran manusia atau seseorang itu sendiri dan peran suatu kumpulan secara
umum. Makna juga dapat menjadi sebagai sebuah konsekuensi dari suatu kejadian yang tidak
dapat dihindari dan dielakkan seperti kematian. Kematian memiliki peran penting dalam
pengalaman seseorang, dimana kematian selalu terjadi dan hadir dalam kehidupan, dan
eksistensi manusia adalah menjadi dan menuju kematian. Kedua hal tersebut menjadikan
sesuatu yang dapat membatasi seseorang berdasarkan pengalaman yang menjadi bagian dari
kehidupan seseorang. Keterbatasan tersebut dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu temporal
finitude yang menyangkut tentang kematian dan the finitude of possibility yang mana sesuatu
yang membatasi dalam hidup seperti sakit. Menelusuri makna sakit dapat dipahami sebagai
suatu kejadian yang terjadi dalam dua dimensi yaitu; makna global, dimana berupa sistem
orientasi umum seseorang, mencakup kepercayaan, tujuan dan perasaan. Makna situasional,
dimana tergantung pada lingkungan dimana konteks itu terjadi. Budaya dapat mempengaruhi
kedua dimensi tersebut.
Sakit yang dinarasikan menjadi sebuah jalan atau cara dimana manusia atau seseorang
menemukan sesuatu yang dapat diterima secara logika dan sekaligus menemukan makna terkait
dengan pengalamannya. Budaya mempengaruhi bagaimana pasien menemukan sebuah makna
dimana narasi kondisi sakit secara budaya tergantung pada beberapa hal seperti sumber
mengenai asal, proses dan perkembangan serta hasil akhir dari suatu penyakit dan pengobatan
itu sendiri dan makna tentang kematian.
Hasil dari proses integrasi dari ketiga prinsip diatas menjadikan sebuah model yang
melibatkan dan menjadikan budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman
seseorang tentang sakit. Fenomena sakit menjadikan sebuah konsepsi holistik hal tersebut
menjadi sebuah justifikasi bahwa sensitifitas terhadap budaya dan pengkajian holistik pada
pasien menjadi sebuah kebutuhan dalam praktik klinik.
Schim dan Miller mengembangkan model kompetensi budaya, dimana model tersebut
mencakup empat komponen, yaitu :
Model kompetensi budaya yang dijelaskan di atas serupa dengan yang dikemukakan oleh
McGee & Johnson ( 2014 ) di mana mereks memperkenalkan bahwa kompetensi budaya
merupakan proses untuk mengembangkan sesuatu yang mana hal tersebut tergantung pada
kesadaran diri, pengetahuan dan keterampilan. Ketiga poin tersebut dapat diaplikasikan dalam
suatu organisasi secara menyeluruh maupun secara individu.
Selain model kompetensi budaya yang dikemukan oleh Schim dan Miller, berikut beberapa
model kompetensi budaya yang juga sering digunakan untuk pengajaran kompetensi budaya
bagi para profesional kesehatan, dan untuk mengkaji latar belakang budaya pasien yaitu :
Sunshine model dari Leininger ( Evans, Menaca, koffman, Harding, Higginson, Pool & Gysels,
2012 ) .
Peran budaya sangatlah penting dalam perawatan paliatifdan hospis, dan bagaimana
budaya tersebut di konseptualkan dan di aplikasi dala kehidupan sehari – hari telah memberikan
dampak yang sangat besar pada pasien, keluarga, dan penyedia layanan kesehatan ( Bosma,
Apland & Kazanjian, 2010 ). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa kompetensi budaya dalam pelayanan kesehatan dan perawatan dapat meningkatkan
layanan perawatan, hasil akhir terhadap pasien, dan tingkat kepuasan pasien beserta petugas
kesehatan itu sendiri termasuk perawat ( Bhat, McFarland, Keiser, Wehbe-Alamah & Filter,
2015). Namun berbagai faktor juga memiliki kontribusi terhadap kompleksitas budaya seperti
sosial, ekonomi, dan politik, dimana faktor faktor tersebut melekat dan menjadi hal permanen
dalam suatu masyarakat yang dengannya pula akan merubah cara pandang masyarakat terhadap
sesuatu ( Yapp, 2012 ).
1. Fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu
dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut.
2. Tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku
orang lain.
3. Khayalan sosiologis sebagai cara untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun
yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita
mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara
keduanya. Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah persmasalahan (troubles) dan
isu (issues). Permasalahan pribadi individu merupakan ancaman terhadap nilai-nilai
pribadi.Isu merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu.
4. Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh
sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah
dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta
menghindari penilaian normati.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai , norma-norma,
peraturan dsb. Merupakan wujud dari ide kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba
atau difoto. Letaknya ada di dalm pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersan
gkutan itu hidup. Dikenal den gan adat istiadat atau sering berada dalam karangan dan buku-
bukuu hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Saat ini kebudayaan ideal
lebih banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer,
silinder dan pita komputer.
Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola dari manusia dari
masyarakat, disebut juga sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia-manusia yanbg berinteraksi, berhub ungan, bergaul yang berdasarkan adat tata
kelaku an. Sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa
diobserv asi, difoto dan didokumentasi.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik,
dan tak memerlukan banyak penjelasan. Merupakan seluruh total dari hasil fisik dari
aktivitas, perbuatan d an karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret,
atau berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Hasil karya
manusia seperti candi, komputer, dapat diraba, dilihat, dan difoto. Hasil karya manusia
seperti candi, komputer, pabrik baja, kapal, batik sampai kancing baju dsb.
2) Sub Kebudayaan
Pasien: tidak enak menjadi pasien, harus bayar, tidak gratis sama sekali
Etiologi penyakit
Karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Budaya adalah pengalaman
yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis, (2) budaya yang
bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi
berikutnya sehingga mengalami perubahan, (3) budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan
manusianya sendiri tanpa disadari.
Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.
Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian
asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang
dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu,
kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang
dan individu yang mungkin kembali lagi.
II.6 Teori Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan
keperawatan ditujukan memnadirikan individu sesuai dengan budaya klien.Strategi yang
digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya,
mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status
kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok
menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih Model konseptual
yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks
budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Model ini menyatakan
bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan
memberikan solusi terhadap masalah klien. Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari
mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
II.6.1 Pengkajian
Cara pengkajian transkultural ini diterjemahkan dari Leininger (2000) oleh mahasiswa
magister komunitas Universitas Indonesia dan dimodifikasi oleh penulis dari
pengkajian Andrews dan Boyle (2003)
1. Data Demografi
Data Demografi meliputi :
1) Nama lengkap :
2) Nama panggilan :
(Pada suku yang berbeda, masing-masing memiliki nama panggilan
yang berbeda pula dengan nama aslinya. Contoh : ujang, tole, dan
sebagainya).
(Pada suku tertentu apabila sudah menikah wanita dipanggil dengan
nama suaminya)
3) Nama keluarga :
(Pada suku di Indonesia maupun di luar negeri ada yang mencantumkan
nama keluarga)
4) Alamat :
5) Lama tinggal di tempat ini :
(lama tinggal ini perlu dikaji sebab akan mempengaruhi klien dan
perilaku berbudaya. Menurut Andrew dan Boyle (2003) Budaya akan
berubah dari waktu ke waktu)
6) Jenis kelamin (laki-laki/perempuan) :
7) Tempat lahir :
8) Diagnosis medis :
9) No. register :
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat
dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar,
1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan
keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosio kultural dan
ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengansistem nilai yang diyakini.
II.6.3 Intervensi dan Implementasi
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi
yangtepatdan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belaka-
ng budaya klien. Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transcultural
yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan
dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan
kesehatan.
1. Cultural care preservation/maintenance
Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
melahirkan dan perawatan bayi
Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
2. Cultural care accomodation/negotiation
Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimanakesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan kliendan standar etik
3. Cultual care repartening/reconstruction
Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yangdiberikan dan
melaksanakannya
Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
Gunakan pihak ketiga bila perlu
Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatanyang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua.
Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatanPerawat dan
klien harus mencoba untuk memahami budaya masing masing melalui proses
akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan
danperbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya merek
a. Bila perawat tidak memahami budaya klienmaka akan timbul rasa tidak
percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
II.6.4 Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadapkeberhasilan klien
tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengankesehatan, mengurangi budaya klien
yang tidak sesuai dengan kesehatanatau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin
sangat bertentangandengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat
diketahuiasuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
BAB II
KESIMPULAN
Teori sosial budaya adalah sebuah teori yang muncul dalam psikologi yang terlihat pada
kontribusi penting bahwa masyarakat membuat untuk perkembangan individu. Teori ini
menekankan interaksi antara orang - orang mengembangkan
dan budaya di mana mereka tinggal. Kebudayaan : suatu sistem gagasan, tindakan, hasil karya
manusia yang diperoleh dengan cara belajar dalam rangka kehidupan masyarakat
(Koentjaraningrat, 1986). Dari contoh kasus diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
masalah yang sangat berkaitan dengan sosial budaya adalah diagnosa nomor 2 dan nomor 3.
Diagnosa nomor 2 menyatakan bahwa pasien mengalami ketidak patuhan terhadap pengobatan
berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. Diagnosa tersebut didukung oleh data-data
yang diperoleh. Ibu pasien mengatakan bahwa sakit anaknya dikarenakan kemasukan roh
halus.Pasienmengalami pembesaran perut. Terkait dengan diagnosa tersebut, Ibu pasien mem
bawaanaknya berobat ke dukun terlebih dahulu sebelum dibawa ke petugas kesehatan. Pasien
juga diberi ramuan jamu-jamuan seadanya tanpa segera dibawa ke petugas kesehatan.
Daftar Pustaka
Pesut, B., Beswick, F., Robinson, C, A., &Bottorff, J. L. (2012). Philosophizing social justice
Sobo, E, J., &Loustaunau, M. O. (2010). The cultural context of health, illness, and medicine
Walsh, M. (2004). Foundation in nursing and health care; introduction to sociology for health