TINJAUAN TEORI
Balita sebagai Populasi Resiko
Kelompok resiko adalah kumpulan orang yang lebih
beresiko menderita suatu penyakit daripada yang lain (Stanhope & Lancaster, 2004).
Allender dan Spradley (2005) mendefinisikan populasi resiko sebagai kumpulan orang
yang berpeluang mengalami peningkatan masalah kesehatan karena beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan populasi resiko
merupakan kelompok yang memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami masalah
kesehatan dibandingkan dengan kelompok lain bila dipaparkan pada kondisi tertentu.
Stanhope dan Lancaster (2004) menjelaskan faktor biologi, sosial ekonomi, gaya hidup
dan peristiwa dalam kehidupan menempatkan balita sebagai kelompok beresiko.
a. Faktor Biologi
Faktor biologi merupakan faktor genetik atau fisik yang berkontribusi terhadap timbulnya
resiko tertentu yang mengancam kesehatan. Faktor genetik merupakan faktor gen yang
diturunkan orang tua pada anaknya. Beberapa masalah kesehatan yang diturunkan secara
genetik adalah diabetes mellitus, penyakit jantung, kejiwaan dan sebagainya. Anak tidak
dapat menghindari masalah kesehatan yang diturunkan secara genetik, namun resiko
masalah kesehatan akibat faktor genetik dapat diminimalisir dengan perilaku hidup sehat
(Stanhope & Lancaster, 2004).
Pada usia balita terjadi perkembangan yang dapat meningkatkan resiko terhadap
terjadinya masalah kesehatan. Menurut Potter dan Perry (2003), pertumbuhan dan
perkembangan pada balita dapat dilihat dari aspek fisik, kognitif, dan psikososial.
Ditinjau dari aspek fisik, perubahan pada balita ditandai dengan pertumbuhan dan
dibarengi dengan perkembangan motorik yang pesat. Perkembangan motorik tampak
pada peningkatan koordinasi otot besar dan halus sehingga keterampilan balita dalam
berjalan, berlari, dan melompat semakin baik. Kemampuan balita untuk melakukan
aktifitas sendiri antara lain berpakaian, eliminasi dan makan semakin meningkat. Selain
itu, secara fisik sistem kekebalan tubuh pada anak usia balita belum matang (Whaley &
Wong, 1995). Namun pada usia ini, anak senang memasukkan segala sesuatu kedalam
mulutnya sehingga terjadi peningkatan resiko keracunan dan masuknya mikroorganisme
seperti virus dan bakteri yang mengakibatkan anak memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami masalah kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor resiko terjadinya masalah kesehatan. Stanhope
dan Lancaster (2004), mendefinisikan lingkungan sebagai karakteristik orang-orang
disekitar tempat tinggal beserta sumber dan fasilitas yang tersedia. Lingkungan internal
keluarga yang sehat merupakan sistem pendukung tercapainya kesehatan secara fisik dan
psikologis bagi seluruh a nggota keluarga (Friedman, 2003). Kondisi lingkungan
eksternal yang tidak sehat seperti tingkat kriminalitas tinggi, polusi udara, kimia, suara
dan minimnya fasilitas kesehatan merupakan penyebab terjadinya masalah kesehatan
pada keluarga (Stanhope & Lancaster, 2004).
c. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor finansial yang memiliki keterkaitan secara langsung
terhadap kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan. Keluarga yang memiliki
sumber finansial adekuat dapat memenuhi seluruh kebutuhannya termasuk kebutuhan
dalam mempertahankan kondisi kesehatan. Anak usia balita memiliki ketergantungan
penuh pada keluarga dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Anak yang tumbuh dalam
keluarga yang menghadapi masalah ekonomi lebih beresiko mengalami masalah
kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
d. Faktor gaya hidup (Perilaku)
Gaya hidup/perilaku merupakan kebiasaan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Gaya hidup yang beresiko akan berdampak pada terjadinya ancaman terhadap kesehatan
((Stanhope & Lancaster). Gaya hidup yang beresiko antara lain konsumsi rokok dan
alkohol, junk food, dan tidak berolahraga.
Burgess, dkk dalam Friedman (2003) mendefinisikan keluarga terdiri dari orang- orang yang
disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi, dimana anggota keluarga berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain dalam peran- peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu,
anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari. Menurut Whall dalam Friedman (2002)
keluarga sebagai “kelompok yang mengidentifikasikan diri” dengan anggotanya terdiri dari dua
individu atau lebih. Dapat disimpulkan keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh
ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari
keluarga.
Tugas perkembangan keluarga dengan tahap anak usia pra sekolah yaitu: pemenuhan kebutuhan
anggota keluarga, membantu anak bersosialisasi, beradaptasi dengan kebutuhan anak pra sekolah,
merencanakan kelahiran/kehamilan berikutnya, mempertahankan hubungan di dalam maupun di luar
keluarga , pembagian waktu untuk individu, pasangan dan anak, pembagian tanggung jawab, dan
merencanakan kegiatan dan waktu stimulasi tumbuh kembang anak
Keluarga sebaiknya mengetahui pengertian gizi, kebutuhan gizi pada anak balita,gizi kurang, bentuk
perilaku sulit makan, penyebab, tanda dan gejala, komplikasi dan prognosis terkait masalah gizi
kurang pada anak. Stanhope dan Lancaster (2004) mengemukakan beberapa perilaku yang
menunjukkan masalah sulit makan pada anak adalah makan dalam waktu lama, memilih – milih
makanan, menyukai makanan tertentu saja. ondisi anak sulit untuk diberi makan yang ditandai dengan
memilih - milih makanan, menyukai makanan tertentu saja serta kurangnya minat anak dalam
mengkonsumsi makanan yang diberikan pada saat makan.
Perawat dapat membantu keluarga dalam mengenali akibat dan dampak masalah sulit makan.
Keluarga yang telah mengenal akibat dan dampak dari masalah kesehatan diharapkan dapat
mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan pada anggotanya. Masalah sulit
makan menimbulkan dampak negatif pada anak, keluarga dan masyarakat. Pada individu anak, sulit
,akan dapat berdampak pada keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, gangguan
kognitif serta prestasi akademik ketika anak memasuki usia sekolah (Hall, et al, 2001 dalam Allender
& Spradley, 2005)
Keluarga mengetahui cara penanganan sulit makan dengan mengetahui kebutuhan gizi anak, cara
pengolahan dan penyajian makan yang baik serta cara pemberian makan yang tepat untuk mengatasi
masalah sulit makan pada anak. Selain itu, keluarga perlu mengetahui cara pemberian makan yang
tepat bagi anak yang memiliki masalah sulit makan yaitu meningatkan anak untuk makan saat
menjelang waktu makan, tidak memberikan makanan selingan mendekati jam makan, memberikan
makanan secara bertahap (porsi sedikit dengan intensitas sering), memberikan kesempatan pada anak
untuk makan sendiri dan tidak memburu – buru anak untuk cepat menghabiskan makanannya.
Lingkungan yang saling mendukung antara anggota keluarga merupakan salah satu ciri lingkungan
yang dapat mempengaruhi status kesehatan anggota keluarga di dalamnya. Dukungan keluarga dalam
membentuk perilaku makan sehat pada anak dapat diwujudkan dengan memberi contoh konsumsi
makanan sehat dan menciptakan suasana makan yang menyenangkan bagi anak yaitu dengan
menggunakan kata - kata dengan nada lembut saat memberikan makan, menyajikan makanan yang
mudah digenggam dan dalam bentuk, tekstur, warna dan rasa yang menarik serta melibatkan anak
dalam membuat menu makanan (Wong, 2009).
Gizi termasuk faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita, seorang balita yang
mengalami gizi kurang akan mudah terserang penyakit dan akan menghambat proses pertumbuhan
dan perkembangannya (Santosa & Ranti, 2004). Kelompok keluarga dengan balita di perkotaan
menjadi faktor resiko terjadinya gizi kurang. Hal ini dapat disebabkan karena berbagai faktor
diantaranya yaitu paparan media elektronik khususnya televisi dapat memberikan pengaruh terhadap
perilaku anak.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa iklan makanan mempengaruhi perilaku makan pada anak yang
banyak menghabiskan waktunya menonton televisi (Worthington & Rodwell, 2000 dalam Almatsier ,
Soetadjo & Soekatri, 2011). Menurut The Ontario Trillium Foundation (2009), anak balita
menghabiskan waktu dua jam perhari untuk menonton televisi. Durasi iklan adalah 9-13 menit per
jam tayangan levisi. Sarwono (2011) menjelaskan bahwa 80% dari seluruh iklan untuk anak-anak
dapat dikategorikan dalam empat produk utama yaitu permen, sereal makanan cepat saji dan mainan.
Kebiasaan anak menonton televisi meningkatkan keterpaparan anak terhadap iklan makanan tinggi
gula dan garam serta rendah serat. Anak balita belum memiliki pemahaman terhadap tujuan komersial
dari iklan makanan tersebut. Pendampingan orang tua ketika menonton televisi diperlukan guna
meminimalkan pengaruh negatif dari iklan televisi (Sarwono,2011).
Selain itu pada usia balita terjadi peningkatan konsumsi makanan jajanan (snack food). Ketersediaan
warung yang memfasilitasi akses makanan jajanan akan semakin meningkatkan keinginan anak untuk
mengkonsumsi makanan tersebut. Dampaknya adalah anak akan mengalami penurunan nafsu makan
saat diberi
makanan pokok dalam keluarga (Rahayu dkk., 2011). Menurut Depkes (2011), makanan jajanan
rentan terkontaminasi bakteri, zat kimiawi, berbahaya yaitu boraks, formalin, rhodamin B dan
sebagainya. Konsumsi makanan jajanan yang mengandung zat berbahaya dalam jangka pendek dapat
mengakibatkan pusing, mual, muntah, konstipasi atau diare, sedangkan efek jangka panjangnya
adalah meningkatkan resiko kanker, tumor dan gangguan fungsi otak.
Perilaku makan anak dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan Scwartz (2011) yang menyatakan bahwa lingkungan keluarga berperan besar delam
membentuk perilaku makan anak. Kegiatan makan bersama dengan anggota keluarga lain merupakan
salah satu bentuk sosialisasi anak. Brooks (2011) menyampaikan bahwa kebiasaan makan bersama
anggota keluarga bermanfaat dalam meningkatkan selera makan anak dan memberi efek psikologis
yang positif.
Daftar Pustaka
Achjar, Komang Ayu Henny. 2012. Asuhan Keparawatan Keluarga: Strategi Mahasiswa
Keperawatan dan Praktisi Perawat Perkesmas. Jakarta: CV Sagung Seto
Depkes RI. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2012/05/BUKU-GIZIBURUK-I-2011.pdf
Friedman, Marilyn M. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan Praktik.
Jakarta : EGC
Gusti, Salvari. 2013. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: CV Trans Info
Media
Irianto, Djoko Pekik. 2009. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Ed. I.
Yogyakarta: ANDI Irianto, Koes. 2014. Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Alfabeta Kemenkes
RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2011/11/buku-skantropometri-2010.pdf
Padila. 2012. Buku Ajar : Keperawatan Keluarga Dilengkapi Aplikasi Kasus Askep Keluarga
Terapi Herbal dan Terapi Modalitas. Yogyakarta: Nuha Medika