Anda di halaman 1dari 36

KASUS 2

“KEJANG”
Seorang anak laki laki berusia 12 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan keluhan kejang
saat tidur dengan posisi kepala menengadah keatas, mata melenting keatas dan kejang
kelonjotan pada keempat anggota gerak. Saat anak kejang tidak sadarkan diri dan
mengompol, mulut berbusa, dan terjadi selama 1-2 menit, keluhan ini terjadi kedua
kalinya. Keluhan pertama dialami sekitar dua minggu yang lalu. Ada riwayat keluhan
yang sama dikeluarga. Hasil pemeriksaan tanda -tanda vital saat ini tekanan darah 100/60
mmHg, HR 88x/menit, RR 34x/menit, suhu tubuh 37,5 0C.

1. Klasifikasi Istilah Penting


a) Kejang
Kejang adalah merupakan gejala neurologis yang timbul mendadak dan
sementara sebagai akibat dari pelepasan muatan listrik yang abnormal
pada bagian otak tertentu. (Samsul, 2014)
b) Kelojotan
Kelojotan adalah kejang yang sifatnya bergantian kaku dan lemas secara
cepat
c) Mengompol
Mengompol adalah mengeluarkan air kencing pada waktu tidur
d) Tekanan Darah
TD (Tekanan Darah) : adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut
tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi
saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai
rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai normalnya
berkisar dari 100/60 sampai 140/90. (Smeltzer & Bare, 2014).
e) Heart Rate
Heart rate adalah jumlah detak jantung per satuan waktu, biasanya
dinyatakan dalam denyut per menit atau beats per minute (bpm). Detak
jantung bervariasi,tergantung pada kebutuhan tubuh untuk menyerap
Oksigen dan mengeluarkan CO2 dalam berbagai keadaan, misalnya saat
olah raga atau tidur.
f) Respirasi Rate
Respirasi rate adalah jumlah seseorang mengambil napas per menit.
Tingkat respirasi biasanya diukur ketika seseorang dalam posisi diam dan
hanya melibatkan menghitung jumlah napas selama satu menit dengan
menghitung berapa kali dada meningkat.
g) Suhu Tubuh
Suhu tubuh Dalam keadaan sehari-hari kita mengenal panas dan
dinginSuhu tubuh manusia secara kasar dibagi menjadi 2 yaitu : suhu inti
(core temperature) dan suhu perifer/suhu kulit. Suhu inti adalah suhu pada
jaringan / organ vital yang baik perfusinya (otak dan organ bagian dalam
tubuh). Suhu ini relatif sama. Dengan kata lain, distribusi panas pada
bagian-bagian tubuh ini cepat, sehingga suhu pada beberapa tempat yang
berbeda hampir sama. Bagian tubuh di mana suhunya tidak homgen dan
bervariasi sepanjang waktu merupakan bagian dari suhu perifer. Suhu
kulit/ perifer berbeda dengan suhu inti, naik dan turun sesuai dengan suhu
lingkungan.Pada gambar di bawah terlihat topografi temperatur kulit pada
manusia. daerah tubuh maupun kepala mempunyai temperatur kulit lebih
tinggi daripada anggota badan
2. Kata Kunci
a) Laki-laki
b) 12 tahun
c) Kejang saat tidur dengan posisi kepala mengedah ke atas,
d) mata melenting ke atas
e) kejang kelojotan pada ke empat anggota gerak
f) tidak sadarkan diri
g) Mengompol
h) Mulut berbusa
i) Keluhan terjadi kedua kalinya
j) Ada riwayat keluhan yang sama di keluarga
k) RR : 34x/menit
3. Main Map

Penyakit
Tumor Cedera
No. Epilepsi Meningitis
Tanda Otak Kepala
Dan Gejala
1 Kejang Saat tidur    
2 Kepala menengadah ke atas 
3 Mata melenting ke atas
Kejang kelonjotan pada
4 
keempat anggota gerak
5 Kehilangan kesadaran    
6 Inkontinensia 
7 Mulut berbusa 
8 Kejang 1-2 menit 
9 Kejang berulang  
10 Riwayat keluarga 
11 Takipnea  
12 Terjadi di usia 12 tahun 
Kesimpulan

Dari keempat jenis penyakit di atas seperti epilepsi, meningitis, tumor


otak, dan cedera kepala kami kelompok meilih epilepsi yang sedang di derita
klien. Dari gejala kasus kejang terjadi saat klien sedang tidur dan mengalami
kejang. Hal ini berkaitan dengan penyebab kejang pada epilepsi adalah karena
pelepasan muatan listrik yang berlebihan di otak maka terjadi kejang, berbeda
dengan ke tiga penyakit pembanding di atas bahwa penyebab kejang pada
meningitis , tumor otak, dan cedara kepala disebakan karena adanya infeksi bakter
atau virus yang di tandai dengan mual dan sakit kepala, dan juga karena adanya
edema yang mengakibatkan meningkatnya tekanan pada kepala yang bisa
berakibat kejang, tetapi klien tidak memiliki riwayat kecelakaan atau adanya
edema diotak.
Gejala ke dua pada kasus kami menumukan inkontinensia hanya terjadi
pada saat kejang epilepsi yang mana klien tidak mampu mengontrol urine yang
keluar. Kemudian gejala berikutnya di kasus tertulis bahwa klien mengalami
kejang yang ke 2 kalinya dan kami menemukan pada artikel “Resiko Kejang
Berulang. Dian Tri Wahyuni, Fakultas Ilmu kesehatan UMP,2014” bahwa
dikatakan kejang epilepsi jika kejang yang di alami klien lebih dari 1 kali. Pada
artikel itu juga mengtakan gejala kejang epilepsi mengeluarkan busa pada mulut,
terjadi 1-2 menit, dan memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang.
4. Pertanyaan- Pertanyaan Penting
1) Apa yang menyebabkan anak mengeluarkan busa pada dari mulut pada saat
kejang?
2) Apakah usia dapat mempengaruhi terjadinya epilepsi?
3) Apakah riwayat keluarga dapat mempengaruhi terjadinya epilepsi pada
anak?
5. Jawaban Pertanyaan Penting
1) Kejang merupakan gangguan neurologis ketika saraf di otak
berkomunikasi secara tidak normal satu sama lain. Akibatt yang sering
ditimbulkan dari kejang adalah gearakan sebagian ata u seluruh tubuh yang
tidak terkendali. Kejang yang terjadi begitu hebat dapat menjadi penyebab
mulut berbusa. Hal ini terjadi karena saat kejang, mulut akan menjadi lebih
kaku dan tertutup. Selain itu terdapat aktivitas berlebih pada kelenjar ludah.
sehingga ini menghasilkan ludah lebih banyak. Tetapi kita tidak mampu
menelanya. Akibatnya, saat mulu terbuka air liur yang telah berubah
menjadi busa keluar dari mulut.
2)Usia bisa jadi ikut jadi faktor penyebab epilepsi. Ada lebih banyak kasus
epilepsi pada anak dan lansia dari pada orang dewasa usia produktif. Meski
begitu, kondisi ini juga dapat dialami leh semua kalangan usia yang
memamngg berisiko tinggi memiliki ayan.Distribusi penyakit epilepsi
berbeda-beda pada usia tertentu. Hal ini terbukti dari berbagai
peelitian.penelitian EF sperber (2015) menunjukan adanya perubahan
maturasi fungsi substansi nigra tikus dalam penghambat kejang yang
muncul pada usia tertetu. Selain itu terdapat penelitian fogarasi A dkk pada
155 pasien yang juga menunjukkan adanya pern maturasi otak terhadap
pembentukan kejang lobus temporal.kedua penelitian ini menunjukan
bahwa ada kerentanan usia tertentu terhadap kejang.
Epilepsi yang terjadi pada anak-anak adalah tinggi dan memang merupakan
penyakit neurologis utama pada kelompok usia tertentu. Bahkan dari tahun
ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung
meningkat.pada orang dewasa, kejadian epilepsi menurun. Epiepsi pda
kelompok usia ini biasanya dikarenakan cedera otak akut ( kejang akut
simptomatik ). Tipe kejang yn sering terjadi pada awal masa usia dewasa
adalah kejang umum idiopatik, terutama myoklonik dan tokik klonik setelah
itu kejang parsial lebih banyak ditemukan. Pada usia orang tua menunjukan
bahwa resiko terkena dan mengalami kembali epilepsi pada kelompok usia
ini tinggi. Resiko tersebut meningkat seiring bertambahnya usia.
3) Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan
darah dan perkawinan dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu
dengan yang lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan
suatu budaya. Genetik diyakini ikut terlibat dalam sebagian besar kasus,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penyakit epilepsi
disebabkan oleh kerusakan gen tunggal (1-2 %), sebagian besar adalah
akibat interaksi beberapa gen dan faktor lingkungan. Beberapa gen yang
terlibat mempengaruhi saluran ion, enzim GABA, dan reseptor terkait
protein G. Pada kembar identik, jika salah satu menderita epilepsi, ada
kemungkinan 50-69% kembar lainnya juga ikut menderita epilepsi. Pada
kembar non identik, resikonya 15 %. Resiko ini lebih kembar itu menderita
epilepsi, kebanyakan (70-90 %) memiliki sidrom epilepsi yang sama.
Kerabat dekat lainnya dari penderita epilepsi memiliki resiko lima kali
lebih besar dibandingkan mereka yang tidak. Antara 1 dan 10% penderita
sindrom down dan 90% penderita sindrom Angelman menderita epilepsi.
6. Tujuan Pembelajaran Selanjutnya
1) Mengetahui apakah aktivitas fisik dapat memperburuk epilepsi ?
7. Informasi Tambahan
Mengecilkan aktivitas fisik di PWE telah menjadi norma sampai
pertengahan tahun tujuh puluhan. American Medical Association (AMA),
padatahun 1968, merekomendasikan membatasi aktivitas PWE karena takut
cedera atau menginduksi aktivitas kejang. Karena menimbulkan kontroversi,
AMA, pada tahun 1974, mengizinkan partisipasi dalam olahraga kontak jika ''
untuk melakukannya dianggap sebagai faktor pembenahan utama dalam
penyesuaian pasien kesekolah, rekan, dan gangguan kejang''.
Kemungkinan, banyak faktor pemicu kejang ada dalam kaitannya dengan
latihan fisik, kelelahan, stres, cedera kepala berulang selama olahraga kontak,
latihan aerobik berlebihan, hiperventilasi, perubahan dalam metabolisme obat
anti epilepsi (AED), dan gangguan ionik / metabolik. Secara umum, kejang
tampaknya jarang dipicu oleh aktivitas fisik.Dalam sebuah penelitian yang
mencakup 400 PWE, hanya dua yang mampu mengidentifikasi aktivitas fisik
sebagai presipitan.Tidak ada hubungan antara kelelahan latihan pasca dan
peningkatan frekuensi kejang. Stress telah diidentifikasi sebagai pemicu kejang
pada sejumlah besar pasien, menunjukkan bahwa aktivitas atletik yang intens
dapat meningkatkan kejut jantung. Selain itu, stres fisik dan neuro steroid
tampaknya terkait dengan epilepsi. Menanggapi stres yang disebabkan oleh
latihan fisik, telahdi tunjukkan, baik dalam model manusia dan hewan, bahwa
aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal mempengaruhi steroid adrenal dan
neuro steroid dan meningkatkan kerentanan kejang. Namun, stres yang sama
dapat terjadi juga mengaktifkan hormon pelepas kortikotropin hipotalamus,
yang pada gilirannya merangsang produksi deoxycortico sterone di kelenjar
adrenal.
Telah diketahui bahwa hiperventilasi saat istirahat memicu kejang absen;
oleh karena itu orang mungkin berasumsi bahwa hal yang sama akan berlaku
selama latihan. Namun selama latihan, hiperventilasi adalah respons fisiologis
terhadap peningkatan permintaan metabolik, respons kompensasi untuk
mencegah hiperkapnia. Di sisi lain, hiperventilasi istirahat mengarah ke
hipokapnia dan vasokonstriksi. Selanjutnya, hiperventilasi yang diinduksi oleh
olahraga, sebagai reaksi adaptif terhadap asidosis, bahkan dapat menghasilkan
supresi abnormalitasi nteriktal. Oleh karena itu, hiperventilasi selama latihan
tampaknya untuk mencegah onset kejang.
8. Klarifikasi Informasi
JURNAL: Epilepsi dan latihan fisik (Laboratorium Neuropatologi, Epilepsi,
Klinik, Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Lisbon,
Rumah Sakit Santa Maria, Lisbon, Portugal 2014)
Epilepsi adalah salah satu penyakit neurologi yang paling umum dan
selalu dikaitkan dengan stigma. Untuk kepentingan keselamatan, kegiatan
orang dengan epilepsi (PWE) sering dibatasi. Sesuai dengan ini, latihan fisik
sering kali tidak disarankan. Sifat yang tepat dari kejang seseorang (atau
apakah kejang diprovokasi atau tidak dicurigai) mungkin tidak
dipertimbangkan. Meskipun ada perubahan sikap selama beberapa dekade
terakhir, peran yang tepat dari latihan dalam menginduksi kejang atau epilepsi
yang memperparah masih tetap menjadi bahan diskusi di antara para ahli di
lapangan.
Berdasarkan pada retrospektif, tetapi juga pada penelitian prospektif,
populasi dan hewan, hipotesis bahwa latihan fisik adalah prasangka telah
secara perlahan digantikan oleh kesadaran bahwa latihan fisik mungkin
sebenarnya bermanfaat untuk PWE. Manfaatnya terkait dengan peningkatan
parameter kesehatan fisik dan mental dan integrasi sosial dan pengurangan
penanda stres, aktivitas epileptiform dan jumlah kejang. Saat ini, konsensus
umum adalah bahwa tidak boleh ada pembatasan untuk latihan latihan fisik
pada orang-orang dengan epilepsi terkontrol, kecuali untuk scuba diving, terjun
payung dan olahraga lainnya di ketinggian. Sementara pembatasan yang lebih
luas berlaku untuk pasien dengan epilepsi yang tidak terkontrol, penilaian
risiko individu dengan mempertimbangkan jenis kejang, frekuensi, pola atau
pemicu dapat memungkinkan PWE untuk menikmati berbagai kegiatan fisik.
9. Analisa dan Sintesa
Dari hasil diskusi kami, kasus di atas memperlihatkan gejala-gejala yang
biasa terjadi pada kasus epilepsi tonik klonk dengan gejala, adanya kejang saat
tidur dengan posisi kepala menengadah ke atas, mata melenting ke atas dan
kejang kelojotan pada ke empat gerak Saat anak kejang tidak sadarkan diri dan
dan mengompol, mulut berbusa, dan terjadi selama 1-2 menit.

Epilepsi atau yang sering disebut ayam atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang disebabkan karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf
secara berulang-ulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik,
sensorik dan mental, dengan atau tanpa kejang-kejang. Tonik – Klonik (Grand
Mal) adalah jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh,
tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Selain itu dari kasus
terjadi inkontensia. Inkontensia hanya terjadi pada saat kejang epilepsi yang mana
klien tidak mampu mengontrol urine yang keluar, dan di katakan kejang epilepsi
jika kejang yang di alami klien lebih dari 1 kali dan mengeluarkan busa pada
mulut, terjadi 1-2 menit, serta memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami
kejang.
10. Laporan Diskusi
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyaki totak yang sering ditemukan di


dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang
70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi dapat terjadi pada siapa
saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian
epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang mencapai 114 per
100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan
dengan negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53
per 100.000 penduduk per tahun (Benerjeedan Sander, 2008). Angka prevalensi
penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penderita epilepsi
(Beghidan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta,
maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari
berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata
prevalensiepilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-
anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI, 2011). Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik
klinis yang sering dijumpai. Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi
PERDOSSI 2011 adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang
akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara
paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh
penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah merupakan suatu
penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah
adanya kejang, karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit kejang.
Data epilepsi yang dihimpun dari 108 negara mencakup 85,4% dari populasi
dunia terdapat 43.704.000 orang menderita epilepsi. Rata-rata jumlah orang
penderita epilepsi per 1000 penduduk 8,93 dari 108 negara responden.
Jumlah orang penderita epilepsi per 1000 penduduk berbeda-beda di setiap
regional. Sementara itu data di regional Amerika dan Afrika di dapatkan 12,59
dan 11,29. Data di regional Asia Tenggara di dapatkan sebesar 9,97. Sedangkan
data sebesar 8,23 didapatkan di regional Eropa. Jumlah rata-rata orang epilepsi
per 1000 penduduk berkisar dari 7,99 di negara-negara berpendapatan tinggi dan
9,50 di negara-negara berpendapatan rendah (WHO, 2010). Epilepsi dijumpai
pada semua ras didunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama,
walaupun beberapa penelitian menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Insidensi epilepsi di berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7%,
prevalensinya bervariasi antara 4-7%, sedangkan di Indonesia diperkirakan ada
900.000-1.800.000 penderita (Harsono, 2009). Epilepsi merupakan salah satu
penyakit syaraf kronik kejang berulang muncul tanpa provokasi. Penyebabnya
adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik
sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai
disfungsi otak. Insidensi epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000
sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000. Pendataan secara
global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-
anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut
(Purba, 2008). Insidensi epilepsi di negara-negara maju ditemukan 24-53 setiap
100.000 populasi, sementara insidensi epilepsi di negara-negara berkembang
49.3-190 setiap 100.000 populasi. Tingginya insidensi epilepsi di negara negara
berkembang dikarenakan infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala dan
morbiditas perinatal (WHO, 2010). Tingkat insidensi epilepsi menunjukkan laki-
laki lebih sering terjangkit dari pada wanita penelitian, yang berkisar antara
41,9 setiap 100.000 populasi laki-laki dan 20,7 setiap 100.000 populasi wanita
(Theodore et al., 2006). Tingkat insidensi pada laki-laki lebih tinggi merupakan
kontribusi faktor resiko dari trauma kepala (Calisir et al., 2006).
Epilepsi merupakan suatu gangguan serius pada otak dan mengenai hampir
50.000.000 orang di seluruh dunia (Shorvon, 2001). Angka insidensinya berkisar
antara 30-50 per 100.000 orang pertahun, dengan puncaknya pada umur kuran
gdari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun (Epilepsy Foundation of America, 2010).
Epilepsi menghimpun sekitar 1% dari total beban semua penyakit dari seluruh
dunia. Data penelitian menunjukkan 80% beban dari beban ini terdapat pada
negara berkembang salah satunya Indonesia (Wieser, 2000). Di Indonesia angka
prevalensi epilepsi tidak jauh berbeda dari negara-negara asia lainnya, yaitu
antara 3,9-5,6/1000 orang. Prevalensi 0,5% dan penduduk 220 juta orang, terdapat
lebih 1,1 juta (ODE) orang dengan epilepsi di Indonesia (Hui, 2004). Kualitas
hidup yang berhubungan dengan kesehatan merupakan keseluruhan kondisi
status kesehatan seorang pasien, termasuk kesehatan fisik pasien, sosial,
psikologis, dan ekonomi pasien. Penilaian kualitas hidup dipengaruhi oleh
keadaan fisik, mental, sosial, dan emosional. Seorang penderita dengan epilepsi
dapat dinilai kualitas hidupnya berdasarkan salah satu faktor yaitu lama menderita
epilepsi (Duration of epilepsy). Dalam melakukan penilaian kualitas hidup pada
penderita epilepsi dapat menggunakan suatu instrumen yaitu, Quality of Life in
Epilepsy (Qolie) (Edefonti et al., 2011). Lama menderita epilepsi mempengaruhi
kualitas hidup penderita epilepsi secara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan
adanya pengurangan jumlah skor kualitas hidup pada penderita epilepsi (Shetty et
al., 2011). Penelitian lain menunjukkan lama menderita epilepsi tidak memiliki
hubungan yang berarti dengan jumlah skor kualitas hidup (Dourado et al., 2007).
Para penderita epilepsi cenderung sulit dalam penyembuhannya dan
membutuhkan terapi jangka panjang. Kualitas hidup menjadi penting sebagai
indikator keberhasilan perawatan kesehatan pada penderita epilepsi. Peran dalam
meningkatkan kualitas hidup penderita tidak hanya fokus pada parahnya epilepsi
yang diderita, namun juga efek sosial dan psikologis dari epilepsi itu sendiri
(Primardi dan Hardjan, 2010).
Penelitian kualitas hidup di Indonesia berdasarkan pada lama menderita
epilepsi masih sangat sedikit, apabila dari penelitian ini terbukti bahwa adanya
hubungan antara lama menderita epilepsi dengan kualitas hidup penderita epilepsi
maka dapat memberikan informasi bagi seluruh tenaga medis dalam mengobati
penderita epilepsi tidak hanya dari bidang farmakoterapi tetapi juga pada bidang
psikososial. Data epidemiologis mengenai distribusi maupun perbedaan usia dan
jenis kelamin pada jenis epilepsi sangat berguna dalam pengelolaan epilepsi baik
di klinik maupun di masyarakat terutama dalam kegiatan edukatif dan preventif,
serta merupakan bahan pertimbangan bagi kegiatan-kegiatan kuratif dan
rehabilitatif. Penelitian mengenai hal tersebut masih sedikit dilakukan baik di
Indonesia maupun di dunia.
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.
Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan
dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar
belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsy berasal hal tersebut.
Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya
penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal. Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang
berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap
orang di seluruh dunia. (Adrian, 2014)
Epilepsi adalah gangguan kejang kronik dengan kejang berulang yang
terjadi dengan sendirinya. Yang memerlukan pengobatan jangka panjang.
(Ruliputri, 2013)
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan yang bersifat spontan dan berkala, Epilepsi adalah kejang
berulang dengan atau tanpa penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih
dari 24 jam,akibat lepas muatan listrik berlebihan di neuron otak. Epilepsi
merupakan suatu penyakit yang serangannya datang secara tiba-tiba atau
mendadak,dan berpotensi untuk terjadinya trauma pada anak. Epilepsi juga
berpotensi mengakibatkan cidera fisik,kelemahan pada fisik dan penurunan
kesadaran. (Alib, 2016)
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak
secara periodik yang di sebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara
berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba, sehingga
penerimaan dan pengiriman implus antara bagian otak dan dari otak kebagian lain
tubuh terganggu.
Epilepsi atau yang sering disebut ayam atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang disebabkan karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf
secara berulang-ulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik,
sensorik dan mental, dengan atau tanpa kejang-kejang.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa epilepsi adalah
suatu manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan abnormal dari sil-
sel saraf otak yang bersifat spontan dan berkala ditandai dengan kejang kronik
dengan serangan yang berulang (Dian, 2014)
Tonik – Klonik (Grand Mal) adalah jenis kejang yang paling dikenal.
Diawali dengan hilangnya kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika
berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot
(klonik). (Andre, 2017)

B. Etiologi
Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat
mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Apabila
faktor-faktor tersebut tidak diketahui, maka epilepsi yang ada disebut epilepsi
idioptik. Sekitar 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak ketahui faktor
penyababnya.
Sementara epilepsi yang faktor-faktor penyababnya diketahui disebut
dengan epilepsi simtomatik. Pada epilepsy simtomatok yang disebut juga dengan
epilepsi sekunder ini, gejala yang yang timbul ialah sekunder atau akibat dari
adanya kelaianan pada jaringan otak. Penyabab yang spesifik dari epilepsi
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilah ibu, seperti ibu
yang suka minum obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cedera dan mendapat terapi radiasi.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia, kerusakan karena
tindakan forsep, dan trauma lain pada otak bayi.
3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak.
5. Penyumbatan pembuluh otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi, seperti meningitis atau radang otak.
7. Penyakit keturunan, seperti fenilketonuria, sklerosis tuberose, dan
neurofibromatosis.
8. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.
Selain itu, terdapat juga epilepsy yang penyebabnya belum diketahui, yaitu
epilepsi kriptogenik, yang termasuk dalam epilepsi ini adalah sindrom west.

C. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis
epilepsi cukup ,menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah. Dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan denga terjadinya
remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psiko sosial, dan status
neurologis penderita.batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 bulan
babas serangan (kejang) dengan terapi, pada pasien yang telah mengalami remisi
2 tahun harus di pertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat
secara berkala. Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan resimi adalah
beba serangan ( remisi termina) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah
tercapai bebasserangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu
dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian
obatdihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah
penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya
relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan
adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa
penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi di bandingkan
populasi normal.risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi
yang di seratai defisit neurolgi akibat penyakit kongenital. Kematian pada
penderita epiepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit sususnan
saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
D. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari
epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti
oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,
tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

E. Klasifikasi
a. Bangkitan parsial / lokal
1. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik
b) Dengan gejala sensorik
c) Dengan gejala atonomik
d) Dengan gejala psikis
2. Bangkitan parsial kompleks ( dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana,kemudian di ikuti ggangguan kesadaran
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
3. Bangkitan umum sekuder ( tokik klonik, tokik atau klonik )
a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjdadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan umum
1. Bangkitan lena
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat,onset dan terminasi
mendadak,frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik
pada mata, dagu dan bibir
2. Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi medadak, sebentar yang dapat
umum atauterbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas,
atau satu grup otot, dapat berulang atau tunggal
3. Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi, biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubh. Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas.
Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi.
4. Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus, dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau meyeluruh
sehingga pasien terjatuh
5. Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot, di jumpai terutama sekali pada anaak
6. Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang di awali dengan tonik, sesaat
kemudian di ikuti oleh gerakan klonik.

F. Patofisiologi
Epilepsy atau kejang merupakan pelepasan elektrik yang mendadak dan
abnormal dari otak yang menyebabkan perubahan sensasi, perilaku, gerakan,
persepsi, atau kesadaran. Jika integritas membrane sel saraf terganggu, sel-sel
mulai melepaskan impuls dengan frekuensi dan amplitude yang meningkat.
Ketika intensitas pelepasan impuls melebihi ambang batas impuls akan menyebar
ke sel saraf disekitarnya, sehingga menyebabkan suatu kejang (Joyce M, Black &
Jane Hokanson Hawks:2014).
Pada epilepsy, semburan aktivitas listrik dari korteks ini tidak dimodulasi.
Akhirnya, neuron inhibitor dikorteks, thalamus anterior, dan ganglia basalis akan
memperlambat pelepasan impuls saraf. Setelah proses penghambatan ini muncul
atau neuron epileptogenic sudah kelelahan, kejang akan berhenti. Kejadian bagian
akhir ini akan menekan aktivitas CNS dan mengganggu kesadaran. Periode
gangguan kesadaran setelah kejang ini disebut kondisi postictal, yang dapat
muncul sebagai tidur, kebingungan, atau rasa lelah (Joyce M, Black & Jane
Hokanson Hawks:2014).
Aktivitas kejang meningkatkan konsumsi oksigen otak dan kebutuhan akan
adenosine tripospat (ATP). Suplai oksigen dan glukosa akan dikonsumsi dengan
cepat. Umtuk memenuhi kebutuhan ini, maka aliran darah serebral akan
meningkat selama kejang. Jika kejang berlangsung terus-menerus dapat terjadi
hipoksia yang parah dan asidosis laktat yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
(Joyce M, Black & Jane Hokanson Hawks:2014).
G. Komplikasi
Epilepsi adalah suatu penyakit yang di tandai dengan serangan kejang
spontan berulang.bentuk-bentuk serangan kejang yang dapat terjadi.
Komplikasi pada kejang demam yaitu:
1. Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang di cirikan oleh
terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan kejang yang
terjadi pada epilepsi kejang akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
sel neuron saraf pusat.
2. Kerusakan jaringan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu
kejang melepaskan glutamat yang mengikat respor m mety d asparate
(MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang
merusak sel neuron secara irreversible.
3. Retardasi mental
Dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.
4. Aspirasi
Lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi jalan napas.
5. Asfiksia
Keadaan dimana bayi lahir tidak dapat bernapas secara spontan atau teratur.
( nugraha, 2018)

H. Pemeriksaan Lab
1. Elektro Ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila:
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi
petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
2. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang
kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Non farmakologi
1) Amati faktor pemicu
2) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, konsumsi kopi
atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
b. Farmakologi
Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :
1) Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+: Inaktivasi kanal
Na, menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan
listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin,
valproat.
2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:Agonis
reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori mengaktifkan
kerja reseptor GABA, contoh: benzodiazepin, barbiturat. Menghambat
GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh:
Vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama aksi
GABA, contoh: Tiagabin. Meningkatkan konsentrasi GABA pada
cairan cerebrospinal pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan
GABA dari non-vesikularpool contoh: Gabapentin.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Fokus pengkajian
Menurut Riyadi (2009), fokus pengkajian yang di kaji yaitu:
1) Keluhan utama, timbulnya serangan kejang umum yang sering dan
mengganggu aktifitas penderita atau keluhan akibat dari kejang.
2) Riwayat kesehatan, kondisi yang lalu terkait dengan fungsi neuron
juga ikut menjadi pemicu timbulnya epilepsi seperti peradangan
pada selaput otak (meningitis), penderita yang mengalami tumor
otak, defek kongenital, atau penyakit sistemik seperti AIDS dan
Sifilis.
3) Pola kebutuhan, fungsi pernafasan, fungsi kardiovaskuler, fungsi
belajar, fungsi pertumbuhan dan perkembangan.
4) Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat kesadaran, pada epilepsi tipe umum akan terjadi
penurunan kesadaran yang mendadak, akan tetapi nilai GCS
justru sulit terkaji karena terjadi peningkatan motorik.
b) Mata, saat timbul serangan mata penderita ada yang terbelalak
dan bola mata berputar ke atas (pada jenis absence). Sedangkan
pada jenis parsial pandangan mata pasien tampak sayu seperti
orang kebingungan. Jika penyinaran dengan senter pupil akan
tampak melebar.
c) Mulut, pada tipe absence mulut pasien tampak komat-kamit
seperti membaca do’a.
d) Ekstremitas, pada ekstremitas atas dan bawah serta otot luar saat
serangan tampak kaku dan ngececeng. Akan tetapi setelah
serangan hilangkan normal lagi.
b. Fokus diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera berhubungan dengan disfungsi afektor
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
spasme jalan nafas
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
hipoksia jaringan
4) Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan
dengan gangguan neurologi
5) Ansiatas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
6) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan
kognitif
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Biodata
1. Identitas klien
Nama : An. B
Umur : 12 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Tidak terdapat dalam kasus
Suku/Bangsa : Tidak terdapat dalam kasus
Status Perkawinan : Tidak terdapat dalam kasus
Pendidikan : Tidak terdapat dalam kasus
Pekerjaan : Tidak terdapat dalam kasus
Penghasilan : Tidak terdapat dalam kasus
Alamat : Tidak terdapat dalam kasus
TanggalMasuk RS : Tidak terdapat dalam kasus
DiagnosaMedis : Epilepsi
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tidak terdapat dalam kasus
Umur : Tidak terdapat dalam kasus
Jeniskelamin : Tidak terdapat dalam kasus
Agama : Tidak terdapat dalam kasus
Suku/Bangsa : Tidak terdapat dalam kasus
Kawin/Belum : Tidak terdapat dalam kasus
Pendidikan : Tidak terdapat dalam kasus
Pekerjaan : Tidak terdapat dalam kasus
Penghasilan : Tidak terdapat dalam kasus
Hubungan : Tidak terdapat dalam kasus
b. Riwayat Kesehatan/Keperawatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Alasan Masuk:
Klien masuk rumah sakit karena kejang saat tidur dengan
posisi kepala menengadah keatas, mata melenting ke atas dan
kejang kelojotan pada keempat anggota gerak
b) Keluhan utama : kejang saat tidur
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu: pernah mengalami keluhan yang
sama (saat kejang tidak sadarkan diri, mengompol, mulut berbusa,
dan terjadi selama 1-2 menit) sekitar 2 minggu yang lalu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga : ada riwayat keluhan yang sama di
keluarga.
4) Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)
a) Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan : Tidak dikaji
b) Pola Nutrisi
Sebelum Sakit : Tidak dikaji
Saat Sakit : Tidak dikaji
c) Pola Eliminasi
BAB
Sebelum Sakit : Tidak dikaji
Saat Sakit : Tidak dikaji
BAK
Sebelum Sakit :Tidak dikaji
Saat Sakit :Mengompol saat kejang
d) Pola Aktivitas Dan Latihan
Aktivitas : Terganggu
Latihan : Tidak dikaji
e) Pola Kognitif Dan Persepsi :Tidak dikaji
f) Pola Konsep Diri :Tidak dikaji
g) Pola Tidur dan Istirahat :Tidak dikaji
h) Pola Peran-Hubungan : Tidak dikaji
i) Pola Seksual-Reproduksi :Tidak dikaji
j) Pola Toleransi Stress-Koping : Tidak dikaji
5) Pemeriksaan Penunjang
a) Data Laboratorium yang berhubungan :Tidak dikaji
b) Pemeriksaan Radiologi :Tidak dikaji
c) Hasil Konsultasi :Tidak dikaji
d) Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Lain :Tidak dikaji
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Tidak dikaji
2) Tingkat Kesadaran : Tidak sadarkan diri
3) GCS : Tidak dikaji
4) Verbal : Tidak dikaji
5) Psikomotor : Tidak dikaji
6) Mata : Mata melenting keatas
7) Tanda-Tanda Vital
a) TD : 100/60 mmHg
b) HR : 88x/menit
c) RR : 34x/menit
d) SB : 37.50C
8) KeadaanFisik
a) Kepala : Menengadah keatas
b) Kulit : Tidak dikaji
c) Penglihatan : Tidak dikaji
d) Penciuman/Penghidung : Tidak dikaji
e) Pendengaran : Tidak Dikaji
f) Mulut : Mulut berbusa
g) Leher : Tidak dikaji
h) Dada/Pernapasan : Tidak dikaji
i) Abdomen : Tidak dikaji
j) Ekstremitasatas/bawah : Tidak dikaji
B. Analisa Data Dan Diagnosa Keperawatan
1. Analisa Data

NO DATA ETIOLOGI MASALAH

Kejang epileptic

Epileptic (tonik konik)

DS : Keluarga mengeluhkan
bahwa pada saat kejang anak Kesadaran menurun
tidak sadarkan diri dan
1. mengompol, mulut berbusa, Resiko Aspirasi
yang terjadi selama 1-2 Koordinasi menghirup bernapas
menit. menurun

Mudah terceduk

Resiko Aspirasi

Kejang epileptic

Epileptic (tonik konik)

Kesadaran menurun
DS : Klien mengeluh kejang
saat tidur dengan posisi
2. Resiko Cedera
kepala menengadah ke atas.
Tidak dapat mengatur
keseimbangan tubuh

Mudah jatuh

Resiko Cedera
2. Dignosa Keperawatan
1. Resiko Cedera (D.0136)
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan Proteksi
2. Risiko Aspirasi (D.0149)
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Respirasi
C. Rencana Asuhan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional
Resiko Aspirasi (D.0006) NOC : Manajemen Kejang Management kejang
Kategori : Fisiologis 1. Status Pernapasan Observasi Observasi
Subkategori : Respirasi 2. Status Neurologi : 1. Monitor arah mata dan kepala 1. Untuk mengetahui adanya
Kesadaran selama kejang kelainan selama kejang
Definisi : Berisiko mengalami 3. Kontrol Kejang Sendiri 2. Monitor tanda-tanda vital 2. Untuk mengetahui tanda
masuknya sekresi vital klien
gastrointestinal, sekresi Setelah dilakukan tindakan 3. Monitor status neurologi 3. Untuk mengetahui adanya
orofaring, benda cair atau padat keperawatan selama … x 24 jam, kelainan saraf
1 ke dalam saluran trakeobronkhial diharapkan resiko terjadinya
akibat disfungsi mekanisme aspirasi dapat teratasi dengan Mandiri Mandiri :
protektif saluran napas. kriteria hasil : 4. Pertahankan jalan napas 4. Agar nafas klien dapat
1. Frekuensi pernapasan normal terkontrol
Data Objektif : 2. Irama napas normal 5. Balikkan badan klien ke satu sisi 5. Untuk mempermudah
1. Hasil pemeriksaan tanda-tanda 3. Aktivitas kejang tidak terjadi pernafasan
fital saat ini tekanan darah 4. Dapat mencegah faktor 6. Tetap disisi klien selama (klien 6. Untuk menghindari hal
100/60 mmHg, HR 34xmenit, risiko/pemicu kejang mengalami) kejang yang tidak diinginkan
suhu tubuh 37,50C 5. Menggunakan teknik 7. Catat lama kejang 7. Untuk mengetahui
mengurangi stress yang efektif frekuensi kejang
Data Subjektif : untuk mengurangi aktivitas 8. Catat karakteristik kejang 8. Untuk mengetahui
1. Keluarga mengeluh bahwa kejang (misalnya keterlibatan anggota karakteristik kejang
pada saat kejang anak tidak tubuh, aktivitas motorik, dan apakah ada keterlibatan
sadarkan diri dan mengompol, kejang progresif) anngota tubuh
mulut berbusa. Terjadi selama
1-2 menit 9. Dokumentasikan informasi 9. Agar dapat mengetahui
2. Keluarga mengeluhkan bahwa mengenai kejang status kejang pasien
pada saat tenang anak tidak
sadarkan diri dan mengompol, Health education
Helath Education
mulut berbusa yang terjadi 10. –
10. –
selama 1-2 menit. Resiko
Aspirasi (D.0006) Kolaborasi :
Kolaborasi
11. Untuk mencegah
11. Berikan obat-obatan dengan benar
terjadinya kesalahan
12. Berikan obat anti kejang dengan
pemberian obat
benar
12. Untuk mengurangi tingkat
13. Berikan oksigen dengan benar
kejang yang dialami
13. Untuk mempermudah
pernafasan klien

Resiko Cedera ( D.0136) Observasi: Observasi


Kategori :Lingkungan 1. Kaji ulang riwayat kesehatan masa 1. Untuk mengetahui
1. Keparahan Cedera Fisik
Subkategori:Keamanan dan lalu dan dokumentasikan bukti perkembangan pada pasien.
2. Kejadian Jatuh
Proteksi yang menujukan adanya penyakit
Tujuan :
medis, diagnosa keperawatan serta
Setelah dilakukan tindakan
Definisi : berisiko mengalami perawatnya. 2. Untuk mengetahui pengkajian
keperawatan selama ….x 24 jam,
bahaya atau kerusakan fisik yang 2. kaji ulang data yang didapatkan secara rutin.
diharapkan klien mampu mengatasi
menyebabkan seseorang tidak dari pengkajian risiko secara rutin.
resiko cedera dengan kriteria hasil:
2 lagi sepenuhnya sehat atau dalam Mandiri
1. Penurunan tingkat kesadaran
kondisi baik. Mandiri: 1. Untuk mengetahui
tidak terganggu
1. pertimbangkan status pemenuhan pertimbangan kebutuhan
2. Demam dapat ditangani
Faktor Risiko: kebutuhan sehari-hari. sehari-sehari
3. Tidak jatuh saat berdiri
Eksternal
4. Jatuh saat berjalan dapat
1. Terpapar pathogen 2. Instrusikan faktor resiko dan 2. Dapat mengurangi faktor
ditangani
2. Terpapar zat kimia toksik rencana untuk mengurangi faktor resiko.
3. Terpapar agen resiko
nosokomial
4. Ketidaknyamanan Health Education: Health Education
transportasi 1. Ajarkan pasien dan keluarga 1. Agar klien dan keluarga
Internal bagaimana cara menghindari mengetahui bagaimana cara
1. Ketidak normalan profil infeksi. menghindari cara infeksi.
darah
2. Perubahan orientasi Kolaborasi:
efektif 1. Kolaborasikan dengan dokter untuk
3. Perubahan sensasi memberi obat antibiotik. Kolaborasi
4. Difusi autoimun 1. Untuk mencegah infeksi dan
5. Difusi biokimia membantu proses
6. Hipoksia jaringan penyembuhan.
7. Kegagalan metabolism
pertahanan tubuh
8. Malnutrisi
9. Perubahan fungsi
psikomotor
10. Perubahan fungsi
kognitif
Kondisi Klinis :
1. Kejang
2. Sinkop
3. Vertigo
4. Gangguan penglihatan
5. Gangguan pendengaran
6. Penyakit Parkinson
7. Hipotensi
8. Kelainan nerfus
festibularis
9. Retardasi mental
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epilepsi merupakan suatu penyakit yang serangannya datang secara tiba-
tiba atau mendadak, dan berpotensi untuk terjadinya trauma pada anak. Epilepsi
juga berpotensi mengakibatkan cidera fisik, kelemahan pada fisik dan penurunan
kesadaran, epilepsi juga merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang
sering dijumpai. Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya
adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit
metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 %
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis
kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki– laki lebih tinggi
daripada anak perempuan. Gejala khas dari epilepsi adalah kejang kambuhan yang
seringnya muncul tanpa pencetus dan terjadi dua kali kejang atau lebih dalam
waktu 24 jam kejang tanpa alasan jelas. Durasi kejang juga tidak sama pada tiap
penderita. Ada yang mengalaminya selama beberapa detik atau beberapa menit.
Hampir semua penderita kejang akan sembuh dengan sendirinya tanpa
penanganan khusus. Tetapi selama mengalami reaksi otot yang tidak terkendali,
penderita mungkin saja dapat terluka. Tujuan utama penanganan kejang adalah
untuk mencegah cidera pada penderitanya. Setelah kejang berhenti, pastikan
baringkan penderita dengan posisi miring ke sisi kiri, memeriksa pernapasan
penderita, memberikan napas buatan jika dibutuhkan, serta memantau tanda-tanda
vital penderita (misalnya detak jantung)

B. Saran
Agar dapat memberikan asuhan keperawatan terutama saat mengkaji klien
haruslah dengan kenyataan atau tanda dan gejala yang klien rasakan agar tidak
salah dalam melakukan diagnosa dan rencana keperawatannya.
DAFTAR PUSTAKA

SDKI DPP PNI, Tim Pokja. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia.Jakarta:Dewan Pengurus Pusat PPNI
Moorhead, Sue. Dkk. 2016.Nursing Outcomes Classification.Singapure: Elsevier
Global Rights
Joyce M, Black & Jane Hokanson Hawks2014. Keperawatan medical bedah,
Singapure: Elsevier Global Rights
Elizabeth J. Corwin.2008, Buku saku patofisiologi. (242-245)
Bulechek, Gloria M. Dkk. 2016.Nursing Intervention Classification.Singapure:
Elsevier Global Rights
Joyce M, Black & Jane Hokanson Hawks2014. Keperawatan medical bedah,
Singapure: Elsevier Global Rights
Elizabeth J. Corwin.2008, Buku saku patofisiologi. (242-245)
Andre Kristanto 2017, Intisari Sains, Medis Epilepsi bangkitan umum tonik-
klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-Bali, 8(1): 69-73.
Dian Tri Wahyuni 2014, Fakultas ilmu kesehatan UMP, Resiko kejang berulang
pada pasien epilepsy
Adrian Setiaji, UNDIP, 2014. Epilepsy
huda, ama dan kusuma, hardhe 2016, asuhan keperawatan praktu jilid 2.
Jogjakarta modiaction
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rj
a&uact=8&ved=2ahUKEwjAqImwnvzeAhUBbysKHQ9kBz0QFjAAegQIC
hAC&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F44421%2F3%2FADRI
AN_SETIAJI_22010110130154_Bab2KTI.pdf&usg=AOvVaw0wjIVeLbK
BzfLxSs3ginzd (diakses tanggal 2 desember 2018)
Cut Ana Juita, Aceh universitas teuku umar fakultas kesehatan masyarakat. 2017,
faktor - faktor penyebab epilepsi pada pasien rawat jalan di poli saraf rumah
sakit umum
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
ved=2ahUKEwjh8oP5kIHfAhXNF3IKHVJsBiAQFjAAegQIChAC&url=htt
p%3A%2F%2Frepository.utu.ac.id%2F994%2F1%2FBAB%2520I_V.pdf&
usg=AOvVaw28bwgGBs43NJOUw1ZP0W6z (diakses tanggal 2 desember
2018)
Nurwinta Catur Wulan Maryanti, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada,
2016. Vol. 24, No. 1, 22 – 31, Epilepsi dan Budaya
https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi (diakses tanggal 2 desember 2018)

Anda mungkin juga menyukai