Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELOMPOK KHUSUS


KORBAN PEMERKOSAAN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK XI

1. INDRI SAFITRI 1811165772


2. MURTI SARI NINGSIH 1811165724
3. OZAFINA MARTAVIANI 1811165740
4. RIZKA ARDIANTI 1811165475

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNTIVERSITAS RIAU
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan karuniNya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tugas Keperawatan Jiwa, yang berjudul ”Asuhan Keperawatan Pada Kelompok
Khusus Korban Pemerkosaan” dalam bentuk makalah.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata ajar Keperawatan Jiwa.
Dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapat
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Jiwa,
yang telah membimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, baik dari segi bahasa maupun penyusunannya. Oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dan
mendidik demi perbaikan, perkembangan dan kesempurnaan makalah ini dimasa
yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, khususnya Mahasiswa/i fakultas keperawatan program B 2018
Universitas Riau.

Pekanbaru, 02 April 2019

Kelompok XI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORITIS


A. Defenisi pemerkosaan .............................................................................. 3
B. Klasifikasi ................................................................................................ 5
C. Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan ...................................................... 6
D. Efek kekerasan sesksual ............................................................................ 6
E. Risiko dan reproduksi ............................................................................... 7
F. Konsekuensi dari kekerasan sesksual ....................................................... 7
G. Fase reaksi psikologi terhadap pemerkosaan ............................................ 8
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 8
I. Asuhan Keperawatan Pada Korban Pemerkosaan .................................... 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 17
B. Saran .......................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Maraknya pemberitaan di media massa mengenai kekerasan seksual
terhadap anak cukup membuat masyarakat terkejut. Kasus kekerasan seksual
terhadap anak masih menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan
kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual enggan melapor.
Karena itu, sebagai orang tua harus dapat mengenali tanda-tanda anak yang
mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak akan
berdampak panjang, di samping berdampak pada masalah kesehatan
dikemudian hari, juga berkaitan dengan trauma yang berkepanjangan, bahkan
hingga dewasa.
Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang diaoami oleh anak-
anak antara lain, pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap
orang dewasa (betrayal), trauma secara seksual (traumatic sexualization),
merasa tidak berdaya (powerlessness), dan stigma (stigmatization). Secara
fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak
yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa menimbulkan
ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam. Bila tidak ditangani serius,
kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak social yang luas
di masyarakat. Penanganan dan penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan
seksual haruslah mendapatkan perhatian besar dari semua pihak yang terkait,
seperti keluarga, masyarakat maupun Negara.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Kelompok Khusus Korban
Pemerkosaan?

1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun agar mahasiswa dapat mengetahui tentang
Asuhan Keperawatan pada anak klien kebutuhan khusus: Anak Korban
Pemerkosaan.

2. Tujuan Khusus
Setelah disampaikannya materi tentang pemerkosaan diharapkan
mahasiswa mampu:
a. Mahasiswa mampu memahami secara menyeluruh tentang perilaku
korban pemerkosaan
b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi bentuk serta faktor-faktor
terjadinya pemerkosaan
c. Mahasiswa mampu mengimplementasikan dan mengetahui
bagaimana proses asuhan keperawatan dalam masalah korban
pemerkosaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Pemerkosaan
Pemerkosaan atau verkrachting termasuk kejahatan kesusilaan yang ada di
dalam Buku II KUHP pasal 285. Menurut pasal 285 KUHP perkosaan adalah
suatu tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap wanita diluar pernikahan si
pelaku. Salah satu unsur di dalam pasal 285 adalah kekerasan. Kekerasan yang
dimaksud dalam pasal 285 adalah kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.
Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapare yang berarti mencari,
memaksa, merampas atau membawa pergi. Pemerkosaan adalah suatu usaha
untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.
Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan
seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak
mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang
bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau
orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya
untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual.
Seksual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri,
anak dan pekerjaan rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa seksual abuse
adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan
tertentu. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang
biasanya dibagi dalam kategori berdasarkan identitas pelaku terdiri dari:
1. Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah,
menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang
tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.

3
Kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak.
Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Kategori kedua, sexual
assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin,
mastrubasi, fellatio (stimula oral pada penis), dan crunnilingus (stimulasi oral
pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape
(perkosaan secara paksa). Meliputi kontak seksual.

2. Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban,
dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang
dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban
utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan “menyukai anak-anak”
sedangkan Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan
anak laki-laki. Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan
seksual, kemungkinan perilaku mencoba perilaku untuk mengukur
kenyamanan korban.
Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa
nudity (dilakukan oleh orang dewasa), disrobing (orang dewasa membuka
pakaian didepan anak), genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa),
observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air),
mencium anak yang memakai pakaian dalam, fondling (meraba-raba dada
korban, alat genital, paha, dan bokong), masturbasi, fellatio (stimulasi pada
penis, korban atau pelaku sendiri), cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area
vagina, pada korban atau pelaku), digital penetration (pada anus atau rectum),
penile penetration (pada vagina), dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku
atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban).

4
B. Klasifikasi
Menurut kriminolog Kusumaningtyas (2013), menyebutkan beberapa
pemerkosaan sebagai berikut :
1. Sadistic Rape
Pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang
rusak. Pelaku pemerkosaan telah tampak menikmati kesenangan erotic
bukan melalui hubungan seksnya, tapi melalui serangan yang mengerikan
atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. Angea Rape
Penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana
untuk menyatakan dan melamiaskan perasaan gera dan marah yang
tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakn objek terhadap
siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi,
kelemahan, keulitan, dan kekecewaan hidupnya.
3. Dononation Rape
Suatu pemerkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk
gigih atas kekuasan dan superioritas terhadap korban. Tjuannya adalah
penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki
keinginan berhubungan seksual.
4. Seductive rape
Suatu pemerkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang
merangsang, yang tercifta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban
memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai
sejauh kesegmaan. Pelaku pada umunya mempunyai rasa bersalah yang
menyangkut stress.
5. Victim Precipitateid Rape
Pemerkosaan yang terjadi dengan menempatkan korban sebagai
pencetusnya.
6. Exploitation Rape
Pemerkosaan yang menunjukan bahwa setiap kesempatan
melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan

5
mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang
bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.

C. Faktor-faktor terjadinya perkosaan


Umunya dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni faktor internal
(yang berasal dari korban sendiri) dan faktor eksternal (yang berasal dari luar
diri korban sendiri). Pada dasarnya seorang wanita menjadi korban
pemerkosaan karena kondisi fisik maupun psikisnya yang lebih lemah dari
pada laki-laki.

D. Efek kekerasan seksual


Empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual yaitu :
1. Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar autama bagi korban kekerasan
sosial. Setiap anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu
dimengerti dan dipahami.
2. Traumatic sexualization (trauma seksual)
Perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung
menolak hubungan seksual dan sebagai konsekuensinya menjadi korban
kekerasan seksual dalam rumah tangga.
3. Powerlessness (merasa tidak berday)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Korban merasa dirinya
tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban merasa
sakit pada tubuhnya.
4. Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambara diri yang buruk. Korban sering merasa berbeda dengan orang
lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayan yang
dialaminya.

6
E. Risiko psikis dan reproduksi
1. Korban perkosaan biasanya mengalami trauma
2. Rasa takut yang berkepanjangan
3. Tidak mampu kembali berinteraksi secara social
4. Tidak jarang dikucilkan
5. Resiko tinggi menjadi tidak mampu melakukan aktivitas seksual secara
normal.

F. Konsekuensi dari kekerasan seksual


1. Kehamilan dan koplikasi ginekologis
Kehamilan dapat terjadi dari pemerkosaan, sebuah studi mengenai
remaja di Amerika Serikat menemukan bahwa dari 4000 perempuan yang
diikuti selam 3 tahun, rasio kehamilan dari pemerkosaan adalah 5 % dari
pemerkosan diantara diantara korban berusia 12-45 tahun.
2. Penyakit penyakit menular seksual
HIV dan penyakit menular seksual lainya merupakan konsekuensi
yang jelas dari pemerkosaan. Pada perempuan yang diperjual belikan
untuk pekerjaan seks, tingkat penyakit menular seksual cukup tinggi.
3. Kesehatan mental
Kekerasan seksual telah diasosiasikan dengan beberapa
permasalah mental pada remaja dan dewasa. Pada kondisi-kondisi
dimana tidak dilakukannya konseling trauma, efek psikologis yang
negative dapat menetap sampai setahun setelah kejadian berlalu,
sementara trauma fisik yang diderita cenderung membaik selama periode
tersebut gangguan stress. Adapun perempuan yang mengalami kekerasan
seksual pada waktu kecil maupun dewasa memiliki resiko lebih untuk
tindakan bunuh diri.
4. Pengasingan sosial
Pada berbagai lingkungan sosial, dipercayai pria tidak bisa
mengendalikan nafsu seksualnya dan perempuan bertanggung jawab
untuk menarik hasrat sekksual pada pria. Pada beberapa masyarakat,
disetujui bahwa perempuan yang diperkosa sebaiknya menikahi pelaku,

7
sehingga menjaga integritas dari perempuan tersebut dan keluarganya
dengan mengesahkan hubungan tersebut. Selain dari pernikahan,
keluarga cenderung menekan korban untuk tidak melaporkan atau
menuntut pelaku. Pria biasanya diperbolehkan untuk meolak seorang
perempuan sebagai istri jika ia sudah diperkosa. Dibeberapa negara
mengembalikan kehormatan seorang perempuan yang mengalami
kekerasan seksual dapat berarti sang perempuan harus diasingkan, atau
dalam kasus yang ekstrim perempuan tersebut akan dibunuh.

G. Fase reaksi psikologi terhadap perkosaan


Menurut kusumaningtyas (2013), Fase reaksi psikologi terhadap
perkosaan terbagi menjadi:
1. Fase disorganisasi akut
Fase yang dimanifestasikan dalam 2 cara yaitu:
a. Keadaan terekspresi yaitu syok, tidak percaya, takut, rasa memalukan,
marah dan bentuk emosi yang lasinnya.
b. Keadaan terkontrol, dimana perasaan tertutup atau tersembunyi dan
korban tampak tenang.
2. Fase menyangkal dan tanpa keinginan untuk bicara tentang kejadian.
Diikuti tahap cemas yang meningkat, takut mengingat kembali, gangguan
tidur, terlalu waspada dan reaksi psikosomatik.
3. Fase reorganisasi, dimana kejadian ditempatkan pada perspektif,
beberapa korban tidak benar-benar pulit dan mengembangkan ganggunan
stress kronik.

H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah memberikan dukungan simpatis untuk
menurunkan trauma, emosional pasien dan mengumpulkan bukti yang ada
untuk kemungkinan tindakan legal.
1. Hormati privacy dan sensitifitas pasien, bersikap baik dan memberikan
dukungan
2. Yakinkan pasien bahwa cemas adalah sesuatu yang dialami

8
3. Terima reaksi emosi pasien, misalnya terlalu perasa
4. Jangan tinggalkan pasien sendirian

I. Asuhan Keperawatan Pada Korban Pemerkosaan


1. Pengkajian
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha untuk
mengatasi kecemasan. Setiap melakukan pengkajian, tulis tempat klien
dirawat dan tanggal dirawat, isi pengkajian meliputi:
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, dan alamat
klien.
b. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang
lain) komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar,
menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan
sehari-hari.
c. Faktor predisposisi
Terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya perasaan malu karena
sesuatu yang terjadi (korban pemerkosaan) perlakuan orang lain
yang tidak menghargai klien atau perasaan negatif terhadap diri
sendiri yang berlangsung lama.
d. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu,
pernapasan, tinggi badan, berat badan) dan keluhan fisik yang
dialami oleh klien.
e. Aspek psikososial
Genogram yang emnggambarkan tiga generasi.
Konsep diri:
1) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang
berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah

9
terjadi, menolak penjelasan perubahan tubuuh, persepsi negatif
tentang tubuh, penyesalan dengan bagian tibuh yang hilang,
mengungkapkan keputusasaan dan mengungkapakan ketakutan.
2) Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri dan tidak mampu mengambil
keputusan.
3) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan oleh
perkosaan (contohnya berhenti bersekolah yang seharusnya
masih berperan sebagai seorang pelajar).
4) Ideal diri
Mengungkapakan keputusasaan karea perilaku perkosaan.
5) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah
terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, menciderai diri
sendiri dan kirang percaya diri.
f. Status mental
Kontak mata klien berkurang atau tidak dapat
mempertahankan kontak mata dengan lawan bicara, tidak dapat
memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan adanya perasaan
keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup setelah mendapatkan
perilaku yang tidak baik.
g. Kebutuhan persiapan pulang (discart planning)
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan
WC, membersihkan diri dan merapikan pakaian
3) Pada observasi mandi: bagaimana cara mandi, menyikat gigi,
cuci rambut, gunting kuku dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4) Klien dapat meakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas
didalam dan diluar rumah
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar
6) Klien mampu mengatur aktivitas sehari-hari didalam rumah

10
7) Klien mampu melakukan aktivitas sehari-hari diluar rumah
h. Mekanisme koping
Klien tidak mau menceritakan masalahnya dengan orang lain
dikarenakan takut apabila masalahnya akan membuat klien lebih
tidak bisa menerima kenyataan.
i. Aspek medik
Terapi yang diterima bisa berupa terapi farmakologis dan
rahabilitasi.

2. Masalah Keperawatan
a. Sindrom Trauma Pemerkosaan
Defenisi : respon maladaptif terus-menerus terhadap kekerasan
hubungan seksual secara paksa yang bertentangan dengan keinginan
dan persetujuan korban.
b. Ketakutan
Defenisi : respon terhadap persepsi ancaman yang secara sadar
dienali sebagai sebuah bahaya.
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1 Sindrom trauma Setelah dilakukan Konseling.
pemerkosaan tindakan keperawatan Def: penggunaan
Defenisi : respon selama 3 x 24 jam proses membantu
maladaptif terus- diharapkan klien anak interaksi yang
menerus terhadap mampu : berfokus pada
kekerasan Tingkat depresi kebutuhan masalah
hubungan seksual keparahan alam atau merasa klien
secara paksa yang perasaan menkolis dan san SO untuk
bertentangan kehilangan minat pada meningkatkan dan
dengan keinginan peristiwa kehidupan. mendukung koping.
dan persetujuan Kriteria hasil : Penyelesaian
korban. o Perasaan depresi masalah dan
Batasan di tingkatkan . hubungan

11
karakteristik : dipertahankan interpersoalan.
o Ansietas pada skala 1-3 Aktivitas :
o Agitasi o Rasa bersalah o Bangun hub
o Depresi yang berlebihan terapeutik yang
o Fobia (skala 1-3) didasarkan (rasa)
o Gangguan o Perasaan tidak saling percaya
dalam berharga (skala 1- dan saling
berhubungan 3) menghormati
o Harga diri o Berat badan turun o Tunjukkan
rendah (dipertahankan empati,
o Keputusan pada skala 2 dan kehangatan dan
o Ketidak di tingkatkan ke ketulusan.
berdayaan skala 3) o Sediakan privasi
o Meyalahkan o Nafsu makan dan jaminan
diri menurun kerahasiaan
o Merasa terhina (dipertahankan o Bantu pasien
o Pikiran dendam pada skala 2 dan unruk
o Riwayat upaya di tingkatkan ke mengidentifikasi
bunuh diri skala 3) masalah atau
o Syok o Pikiran bunuh diri siatuasi yag
o Trauma fisik yang berulang menyebabkan
o Waspada (dipertahankan distres.
berlebihan pada skala 2 dan o Tentukan
di tingkatkan ke bagaimana
skala 3) perilaku keluarga
o Kesedihan mempengaruhi
(dipertahankan pasien.
pada skala 1 dan
di tingkatkan ke
skala 3)
o Kemarahan
(dipertahankan

12
pada skala 2 dan
di tingkatkan ke
skala 3)
o Keputusasaan
(dipertahankan
pada skala 2 dan
di tingkatkan ke
skala 3)
o Rendahnya harga
diri (dipertahankan
pada skala 2 dan
di tingkatkan ke
skala 3)
2 Ketakutan Setelah dilakukan Pengurangan
Defenisi : respon tindakan kecemasan.
terhadap persepsi keperawwatan selama Def : mengurangi
ancaman yang 2 x 24 jam diharapka tekanan, ketakutan,
secara sadar pasien mampu : firasat, maupun
dikenali sebagai Tingkat rasa takut : ketidaknyamanan
sebuah bahaya. keparahan rasa takut terkait dengan
Batasan yang diwujudkan, sumber-sumber
karakteristik : ketegangan atau bahaya yang tidak
o Gelisah ketidaknyamanan teridentifikasi.
o Penurunan yang muncul dari Aktivitas :
kepercayaan sumber yang bisa o Gunakan
diri diidentifikasi pada pendekatan yang
o Rasa diteror anak berumur 1 tahun tenang dan
o Raa spanik hingga 7 tahun. meyakinkan.
o Rasa takut Kriteria hasil : o Pahami situasi
o Rasa terancam o Menangis krisi yang terjadi
o Rasa waspada (dipertahankan dari perspektif
o Perilaku pada skala 1 dann klien.

13
menghindar ditingkatkan dari o Berada disisi
skala 3) klien untuk
o Asupan cairan meningkatkan
intravena rasa ama dan
(dipertahankan mengurangi
pada skala 2 dan ketakutan.
ditingkatkan dari o Dorong keluarga
skala 4) untuk
o Asupan nutrisi mendampingi
parenteral klien dengan
(dipertahankan cara yang tepat.
pada skala 2 dan o Dorong
ditingkatkan dari verbalisasi
skala 4) perasaan,
o Emosi labil persepsi dan
(dipertahankan ketakutan.
pada skala 1 dan o Bantu klien
ditingkatkan dari untuk mengerti
skala 3) kulasikan
o Menarik diri diskripsi yang
(dipertahankan realistis
pada skala 2 dan mengenai yang
ditingkatkan ke akan datang.
skala 3)
o Ketakutan
(dipertahankan
pada skala 1 dan
ditingkatkan ke
skala 3)
o Kenaikan
(dipertahankan
pada skala 3 dan

14
ditingkatkan dari
ke 4)

3. Strategi pelaksanaan
a. Pasien
Stategi pelaksanaan 1 :
1) Identifikasi penyebab menarik diri, siapa yang serumah, siapa
yang dekat, yang dekat dan apa sebabnya.
2) Melatih berinteraksi dengan keluarga atau teman sebaya daam
satu kegiatan harian.
3) Masukkan dalam jadwal untuk kegiatan sehari-hari.

Strategi pelaksanaan 2 :
1) Evaluasi kegiatan berinteraksi dengan keluarga atau teman
sebaya (beberapa orang). Beri pujian
2) Melatih cara berinteraksi dengan orang lain dalam 2 kegiatan
harian (misalnya bermai dengan teman sebaya) Beri pujian.
3) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berinteraksi
dengan orang lain saat pelakukan kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 3
1) Evaluasi kegiatan berinteraksi dengan orang lain dalam 2
kegiatan harian (misalnya bermain dengan teman sebaya). Beri
pujian
2) Melatih cara berinteraksi (4-5) dalam 2 kegiatan harian baru.
3) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berinteraksi
dengan 4-5 orang saat melakukan 4 kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 4 :
1) Evaluasi kegiatan berinteraksi saat melakukan kegiatan harian.
Beri pujian.
2) Melatih cara erinteraksi dala kegiatan sosial (misal meminta
sesuatu atau menjawab pertanyaan).

15
3) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latian berinteraksi
dengan > 5 orang saat melakuan kegiatan harian.

b. Keluarga
Strategi pelaksanaan 1:
1) Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
pemerkosaan
2) Menjelaskan cara merawat: berinteraksi saat melakukan
kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2:
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat atau melatih pasien
berinteraksi saat melakukan kegiatan harian
2) Menjelaskan kegiatan rumah yang dapat melibatkan pasien
berinteraksi (contoh: makan, sholat bersama, bermain bersama
saudara)
3) Melatih cara membimbing pasien berinteraksi dan memberi
pujian

Strategi pelaksanaan 3:
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat atau melatih pasien
berinteraksi saat melakukan kegiatan harian dan dalam rumah
2) Menjelaskan cara melatih pasien dalam melakukan kegiatan
sosial (contohnya berbelanja bersama orang tua, meminta
sesuatu)
3) Melatih keluarga mengajak pasien pergi kesuatu tempat
(contohnya pasar, taman bermain, dll)

Strategi pelaksanaan 4:
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat atau melatih pasien
berinteraksi saat melakukan kegiatan harian dalam rumah
2) Menganjurkan membantu pasien melakukan kegiatan sehari-hari
sesuai dengan jadwal.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapare yang berarti
mencari, memaksa, merampas atau membawa pergi. Pemerkosaan adalah
suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh
seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar
menurut moral dan hukum.
Faktor-faktor terjadinya perkosaan umunya dapat dibedakan
menjadi dua jenis yakni faktor internal (yang berasal dari korban sendiri)
dan faktor eksternal (yang berasal dari luar diri korban sendiri). Pada
dasarnya seorang wanita menjadi korban pemerkosaan karena kondisi fisik
maupun psikisnya yang lebih lemah dari pada laki-laki.
Bila tidak ditangani serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat
menimbulkan dampak social yang luas di masyarakat. Penanganan dan
penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapatkan
perhatian besar dari semua pihak yang terkait, seperti keluarga, masyarakat
maupun Negara.

B. Saran
Diharapkan kepada mahasiswa/i program B tahun 2018 Universitas
Riau dapat memahami makalah tentang asuhan keperawatan jiwa pada
kelompok khusus korban pemerkosaan dan dapat mengaplikasikannya di
dunia kesehatan yang nyata.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anindyati, gina. 2013., modul pelatihan layanan kesehatan seksual & reproduksi
ramah remaja. Yogyakarta.

http://www.google.com/url.http://id.scribd.com/doc/asuhan-keperawatan-pada-
anak-korban-kekerasan-seksual.

http://www.google.com/http://id.scribd.com/document/askep-korban-
pemerkosaan.

Kusumanigtyas, U., Rokhmah (2013)., Dampak Kesehatan Mental Pada Anak


Korban Kekerasan Seksual. Artikel ilmiah hasil penelitian mahasiswa
2013. Retrieved from http://repisitory.unej.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai