Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit hirschprung merupakan kelainan bawaan sejak lahir, dimana usus
besar (colon) tidak dapat mengeluarkan feses melalui rectum sehingga terjadinya
penumpukan pada colon (megacolon), hal ini terjadi karena tidak adanya syaraf
pada lapisan colon yang berfungsi membantu colon untuk melakukan gerak
peristaltic sehingga makanan yang telah diserap airnya dapat mengalir ke rectum.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rochadi, staff pengajar fakultas
kedokteran UGM , insiden kejadian hirschprung ini adalah 1 dalam 5000
kelahiran. Sehingga diperkirakan akan terjadi 1200 kasus setiap harinya.
Penyebab terjadinya hirschprung belum diketahui secara pasti, namun menurut
William Schwartz (1995) penyakit hirschprung dipercaya diakibatkan oleh
kegagalan migrasi kraniokaudal precursor sel ganglion di sepanjang saluran cerna
selama minggu ke-5 hingga ke 12 masa gestasi.
Newborn sangat berisiko mengalami hirschprung dilihat dari factor
biologisnya, karena struktur anatomi pencernaannya belum mature ditambah lagi
jika ada kelainan syaraf seperti yang telah disebutkan diatas maka besar
kemungkinan newborn tersebut akan mengalami hirschprung. faktor resiko lain
yang memperparah anak dengan hirschprungh yaitu factor ekonomi, anak dengan
hirschprung harus segera mendapatkan tindakan medis yang membutuhkan biaya
tidak sedikit, jika keluarga anak dari kalangan ekonomi kurang maka akan
memperparah kondisi si anak.
Penanganan medis yang tepat dilakukan yaitu dengan menerapkan konsep
Family Centered Care, dimana keluarga di ikutsertakan dalam setiap tindakan
medis dan perawatan si anak. Ajak diskusi keluarga dan berikan informasi terkait
tindakan medis yang dilakukan, serta biarkan keluarga menemani anak saat dalam
perawatan karena akan mengurangi stress anak terhadap situasi rumah sakit.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja factor resiko yang mempengaruhi terjadinya Hirschprung
pada newborn ?
2. Bagaimana proses tumbuh kembang newborn ?
3. Bagaimana sistem eliminasi pada newborn ?
4. Bagaimana konsep Family Centered Care dan aplikasinya pada
newborn dengan hirschprung ?
5. Bagaimana konsep istirahat dan tidur pada newborn serta pengaruhnya
dengan newborn yang mengami hirschprung ?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada newborn dengan hirsprung ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami factor resiko terjadinya hirschprung pada newborn
2. Memahami proses tumbuh kembang newborn
3. Memahami sistem eliminasi newborn
4. Memahami konsep Family Centered Care
5. Memahami konsep istirahat dan tidur pada newborn
6. Mengetahui asuhan keperawatan pada newborn dengan hirschprung
D. Metode Penulisan
Metode penyusunan makalah yang digunakan adalah studi pustaka.
Pengkajian studi

dilakukan melalui studi pustaka dengan menggunakan

berbagai literatur dan pencarian data dari internet. Tim penyusun mencari
literatur-literatur yang relevan dengan tema makalah ini, baik dari buku
maupun dari internet yang berkaitan dengan topik. Literatur tersebut kemudian
dianalisis dengan cara berdiskusi dalam group discussion dan dinterpretasikan
dengan topik.
E. Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri dari lima bab. Makalah ini diawali dengan Bab
1, pendahuluan, yang terdiri dari paragraf yang menjabarkan latar
belakang masalah yang akan dibahas, perumusan masalah dan ruang
lingkupnya, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika
2

penulisan. Makalah dilanjutkan dengan Bab 2, tinjauan pustaka, yang


melingkupi semua materi yang ingin disampaikan dari referensi yang telah
didapatkan. Berikutnya Bab 3 yang berisi analisis kasus, Bab 4 berisi
pembahasan berisi implikasi aplikasi konsep, dan diakhiri dengan Bab 5
yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II
KONSEP AT RISK
A. Definisi, Etiologi, Tanda dan Gejala Hisprung
Hirschprung adalah penyakit yang mempengaruhi usus besar (colon)
pada newborn, bayi dan toddler dimana kondisi ini menghambat pergerakan
feses melewati colon karena kehilangan sel syaraf pada bagian bawah colon.
Usus besar (colon) menyerap beberapa materi makanan seperti air dari usus
halus dengan pergerakan peristaltik, pergerakan ini diatur oleh syaraf yang
3

berada dilapisan otot usus besar. Anak yang menderita penyakit hirschprung
tidak mempunyai syaraf tersebut yang dikarenakan cacat kongenital sehingga
menghalangi pengeluaran feses dan terjadi dilatasi colon (megacolon).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian dari usus
(Wong. D. L & Schwartz P, 2009). Hirschprung diindikasikan dengan adanya
bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai
persarafan (ganglion), sehingga terjadi kelumpuhan usus besar dalam
menjalankan fungsinya. Hal ini mengakibatkan terakumulasinya feses dan
dilatasi colon (megakolon) yang masif (Behrman&Arvin, 2000).
Terdapat beberapa pendapat mengenai etiologi dari

penyakit

Hirschprung, menurut William Schwartz (1995) penyakit Hirschprung


dipercaya diakibatkan oleh kegagalan migrasi kraniokaudal precursor sel
ganglion di sepanjang saluran cerna selama minggu ke-5 hingga ke 12 masa
gestasi. Ineversi parasimpatis yang tidak lengkap pada segmen aganglionik
menyebabkan peristaltic abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional.
Pendapat lain menyebutkan, jika penyebab Hirschprung yaitu karena factor
genetic dan lingkungan (Betz, C. L. & Sowden L. A., 2009). Faktor genetik
yang menjadi etiologi terjadinya Hirschsprung yaitu sindrom down (trisomi
21),divertikulum kandung kemih, agenesis ginjal, neuroblastomas, dsb.
Sedangkan faktor lingkungan dapat terjadi karena adanya mutasi genetik saat
bayi berada di dalam rahim ibu.
Tanda dan gejala anak dengan penyakit Hirschprung yaitu : tidak
mengeluarkan feses setelah 48 jam setelah kelahiran ( pertanda khusus
hirschprung

pada

newborn),

perut

kembung

dan

keras,

terlambat

mengeluarkan meconium pada 48 jam setelah lahir (pada bayi normal akan
langsung mengeluarkan meconium), konstipasi, muntah kehijauan yang
mengandung cairan empedu, colon berbentuk U inferted.
B. Patofisiologi Hisprung
Kelainan pada penyakit kongenital ini berhubungan dengan spasme pada
kolon distal dan sphincter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Oleh sebab
itu, bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
4

sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian


proksimalnya. Kelainan pada penyakit ini didasari pada tidak adanya sel
ganglion parasimpatis pada plexus auerbach di kolon. Hal ini akan
menyebabkan tidak adanya gelombang propulsif dan abnormalitas atau
hilangnya

relaksasi

dari

sphincter

anus

internus

yang

disebabkan

aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus yang terkena.


Peristaltik usus yang menghilang karena aganglionik menyebabkan
profulsi feses dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya
distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik
sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi dibawahnya. Hal ini membuat
isi kolon statis dan terakumulasi. Keadaan ini akan menimbulkan gejala
obstruksi usus akut, atau kronis. Obstruksi kronis menimbulkan distensi usus
sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi feses sehingga
menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Obstruksi ini juga akan menyebabkan
sistem saraf aferen ulseral merangsang muntah dan mual. Pada anak
hirschprung, anak belum mengeluarkan mekonium sehinga pada awal gejala
hirschprung anak akan mengalami muntah berwarna hijau. Jika muntah terus
berlanjut, anak bisa mengalami dehidrasi.
Selanjutnya, hipertrofi serta distensi kolon akan menekan rongga
abdomen sehingga abdomen akan membesar. Selain itu, tekanan akan
menyebabkan anak mengalami nyeri. Pada hal ini, anak akan mengungkapkan
nyeri tersebut dengan menangis. Hal ini bisa menimbulkan kekhawatiran pada
ibu karena anak rewel dan terus menangis. Jika hirschprung tidak segera
ditangani anak jga akan merasa tidak ingin menyusui karena adanya
akumulasi isi kolon. Hal ini akan menyebabkan anak kekurangan intake
nutrisi sehingga anak memiliki risiko kekurangan nutrisi kebutuhan tubuh dan
gangguan perkembangan.
Tipe Hischprung (Kliegman, R.M., 2011):
1. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat
kecil dari rectum.
2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil

dari kolon.
3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar
kolon.
5

4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum

dan kadang sebagian usus kecil.


C. Pengkajian Anak dengan Hisprung
Pada pengkajian anak dengan penyakit hisprung dapat ditemukan tanda
dan gejala sebagai berikut. Adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam
waktu 24-28 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau, dan konstipasi. Pada
pengkajian terhadap faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi
karena faktor genetis dan faktor lingkungan. Penyakit ini dapat muncul pada
semua usia akan tetapi paling sering ditemukan pada neonates. Berikut
pengkajian yang harus dilakukan pada pasien anak dengan hisprung.
1. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama,
alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
2. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat
dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB,
distensi abdomen, kembung, muntah.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam
setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal. Tanyakan
sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya
klien mengatasi masalah tersebut.
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
5. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
6. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada
perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
7. Riwayat kesehatan keluarga
6

Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang
menderita Hirschsprung.
8. Riwayat sosial
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
9. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
10. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
11. Pemeriksaan Fisik
a.

Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat
dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.

b.

Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan

c.

Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut
nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.

d.

Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata

e.

Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising
usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen,
muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.

D. Pemeriksaan Diagnostik pada Hisprung


Pada bayi baru lahir yang mengalami masalah pada sistem eliminasi
khususnya pada kasus kali ini megacolon (Hirschsprung). Hirschsprung
7

adalah masalah yang terjadi akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding
usus, meluas ke proksimal dan berlanjut sampai anus (Behrman.2000). Pada
penderita Hirschprung dapat dilakukan beberapa pemeriksaan diagnostik
diantaranya foto polos abdomen, enema barium, biopsi rektum, manometri
anorektal dan X-ray. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui secara
lebih dalam tentang masalah pada sistem eliminasi yang diderita bayi. Selain
itu, untuk memastikan apakah masalah yang diderita bayi sudah sangat parah
atau belum dan memnentukan secara pasti jenis masalah yang dialaminya.
Pada kasus Hirschsprung berikut ada pemeriksaan diagnostik yang bisa
dilakukan, diantaranya :
1. Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen bertujuan untuk melihat pelebaran yang terjadi pada
colon bayi, pada penyakit mega colon (hirschsprung) pada bayi akan
terlihat pelebaran anorektal. Hal ini akan menyebabkan bayi susah untuk
buang air besar. Foto polos abdomen adalah cara yang paling sederhana
dilakukan dengan harga yang terjangkau tetapi untuk kasus yang lebih
komplit pemeriksaan ini tidak akurat dan harus melakukan jenis
pemeriksaan lain agar mendapatkan hasil yang akurat.

2. Barium enema
Barium enema adalah sebuah tindakan untuk melakukan pemeriksaan
terkait masalah yang terjadi pada colon. Pemeriksaan jenis ini
menggunakan system X-Ray tetapi sebelum melakukan pemeriksaan
8

terlebih dahulu dimasukkan cairan barium ke dalam kolon melalui anus.


Pada

saat

memasukkan

cairan

perawat

sangat

penting

untuk

memperhatikan posisi agar cairan barium yang dimasukkan bisa merata di


sepanjang colon sehingga pada saat dilakukan X-Ray hasilnya akan
terlihat adanya penyempitan dibagian rectum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi. Setelah memasukkan cairan barium lalu dilakukan
foto sehingga pada hasil akan terlihat bagian yang bermasalah seperti ada
pembesaran dan penyempitan. Pada saat melakukan tes ini pasien akan
merasakan sedikit sakit jadi dianjurkan sebelum melakukan pemeriksaan
ini pasien untuk minum yang banyak dan mengkosumsi buah-buahan 1-2
hari sebelum dilakukan tes karena beberapa jam akan dilakukan tes ini
setiap pasien harus puasa.
3. Biopsi rektum
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya sel ganglion atau tidak
dalam rectum bayi. Pada bayi menderita hirschsprung tidak akan
ditemukan sel ganglion.
4. Manometri anorektal
Manometri anorektal dilakukan untuk melihat pengembangan sfingter
interna pada rektum. Pada keadaan normal rectum akan mengembang
karena ada relaksasi sfingter internal sedangkan pada bayi dengan
hirschsprung tidak ada sfingter atau relaksasi paradoks.
5. X-Ray abdomen
X-Ray abdomen tidak jauh berbeda dengan barium enema tetapi X-Ray
langsung dilakukan tanpa harus memasukkan cairan apapun kedalam
colon. Pemeriksaan ini cukup hanya menyarankan pasien untuk puasa
sebelum dilakukan tindakan ini.
Jika dilihat pada kasus anak berusia 3 hari belum pernah defekasi,
perut diraba keras dan dari hasil pemeriksaan foto polos abdomen
didapatkan

gambaran

colon

membesar

membentuk

inferted.

Berdasarakan teori diatas terkait foto polos abdomen bisa disimpulkan


bahwa anak menderita hirschprung dilihat dari hasil terlihat colon U
9

inferted. Jadi, pada colon bayi tertumpuk tinja yang tidak bisa keluar
biasanya

karena

terlambat

keluarnya

mekonium

(Behrman.2000).

Kegagalan mengeluarkan tinja ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal


usus besar dan perut menjadi kembung.
Jadi, pada kasus diatas dengan melakukan satu pemeriksaan
diagnostik dan sudah didapatkan kesimpulan maka tidak perlu dilakukan
pemeriksaan lainnya, tetapi jika masih diragukan maka sebaiknya
dilakukan pemeriksaan lainnya untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat.

E. Konsep At Risk
Risiko (at risk), term risiko muncul mulai dari riwayat kesehatan. Risk
didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya penyakit atau cedera yang
diakibatkan oleh sekelompok faktor baik dari individu maupun lingkungan
atau keduanya (Mc Murray, 2003). Risiko merupakan suatu kondisi kesehatan
dari adanya interaksi yang dipengaruhi banyak faktor, diantaranya faktor
genetik, gaya hidup, fisik, dan lingkungan sosial dimana mereka tinggal dan
bekerja (Janes & Lundy. 2010). Efek dari penggabungan faktor-faktor tersebut
kemudian mengakibatkan peningkatan atau penurunan risiko. Risiko adalah
peluang dari suatu peristiwa yang merugikan, seperti masyarakat yang
terpapar asap rokok, stres, polusi suara, atau bahan kimia yang dapat
menimbulkan penyakit tertentu (Ewen & Nies. 2001). Jadi, risiko merupakan
suatu peluang munculnya suatu kondisi yang mengancam masyarakat,
disebabkan

oleh

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

sehingga

dapat

mengakibatkan suatu masalah kesehatan.


Adapun population at risk adalah sekumpulan individu atau kelompok
yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik tertentu untuk mengalami penyakit,
cedera, atau masalah kesehatan lainnya dibandingkan dengan kelompok yang
lainnya (Clemen-Stone, McGuire & Eigsti, 2002). Stanhope dan Lancaster
(2002) mendefinisikan population at risk adalah sekumpulan orang yang
mempunyai resiko atau kemungkinan untuk timbulnya masalah kesehatan.
10

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan, at risk mengarah pada


suatu pengertian tentang adanya peluang munculnya suatu kejadian atau
masalah kesehatan dalam periode waktu tertentu.
Ada beberapa faktor yang dapat menentukan atau mempengaruhi
terhadap kejadian kesakitan atau keadaan tidak sehat, yang dikenal dengan
istilah health risks, (Stanhope & Lancaster. 2004) antara lain:
1. Risiko biologi:
Risiko biologi adalah faktor genetik atau kondisi fisik tertentu yang
berpeluang untuk terjadinya risiko kesehatan.
2. Risiko sosial:
Risiko sosial adalah kondisi yang dapat meningkatkan risiko
kesehatan seperti faktor kehidupan yang tidak teratur atau tinggal di
lingkungan yang dapat berkontribusi untuk terjadinya masalah
kesehatan.
3. Risiko ekonomi:
Risiko ekonomi ditentukan oleh adanya ketidakseimbangan antara
pendapatan dengan pengeluaran. Krisis ekonomi yang berkepanjangan
dapat berpengaruh terhadap kebutuhan perumahan, pakaian, makanan,
pendidikan, dan kesehatan.
4. Risiko gaya hidup:
Risiko gaya hidup adalah kebiasaan atau gaya hidup yang dapat
menimbulkan risiko kesehatan, termasuk didalamnya nilai dan
keyakinan terhadap kesehatan, pengaturan pola tidur, rencana aktifitas
keluarga dan persepsi terhadap kesehatan.
5. Risiko kejadian hidup:
Risiko kejadian hidup adalah kejadian dalam kehidupan yang dapat
berisiko terjadinya masalah kesehatan, seperti pindah tempat tinggal.
Jadi, status sehat dan sakit seseorang sangat dipengaruhi oleh risiko pada
diri seseorang tersebut baik internal maupun eksternal. Seseorang yang
berisiko adalah inidividu yang mempunyai kemungkinan masalah pada status
kesehatannya disebabkan karena beberapa faktor tersebut. Oleh karena itu,
individu ataupun kelompok sangat penting mengetahui risiko yang akan
menimbulkan masalah pada kesehatannya. Perawat harus menjadi edukator
untuk individu ataupun masyarakat dalam memberikan edukasi tentang faktor
risiko yang akan mengganggu status kesehatan klien agar individu ataupun
masyarakat sejahtera dalam hidupnya.
11

F. Tumbuh Kembang Pada Neonatus


Masa neonatus merupakan masa perkembangan motorik, kognitif, dan
sosial yang cepat. Neonatus dimulai pada bayi baru lahir sampai usia 28 hari.
Tumbuh kembang merupakan proses peningkatan dan matangnya seluruh
aspek baik fisik maupun psikis. Pada hari-hari pertama setelah kelahiran, bayi
mulai bisa melihat pada jarak 20 cm. Kemudian, bayi akan memiliki gerak
refleks alami, kepekaan terhadap sentuhan seperti sentuhan jari, serta
beradaptasi dengan lingkungan baru. Anak akan secara refleks, kepala anak
akan bergerak ke bagian tubuh yang disentuh. Anak juga sudah mulai bisa
tersenyum dan bahasa komunikasi yang digunakan ialah menangis. Ketika
anak mengalami nyeri, anak akan mengkomunikasikannya dengan cara
menangis. Pada bayi yang sehat menangis sampai 3 jam/hari, kemudian
berkurang menjadi 1 jam atau kurang pada 3 bulan. Pada masa ini, tidur dan
istirahat serta nutrisi berupa ASI Ibu sangat penting bagi masa pertumbuhan
dan perkembangan anak.
Teori psikoseksual sigmund freud mengatakan pada masa neonatus, bayi
mengalami tahap oral yaitu bayi mulai menyadari bahwa ibu adalah sesuatu
yang terpisah darinya. Bayi lebih senang menghisap jari dan memuaskan diri
dengan kepuasan oral. Sedangkan, menurut teori psikososial Erikson
mengatakan bahwa bayi ada pada tahap kepercayaan versus ketidakpercayaan.
bayi mulai belajar untuk mempercayai orang lain. Teori kognitif Piaget
menjelaskan bahwa pada tahap ini bayi mengalami kemajuan refleks sampai
tindakan sederhana yang berulang. perkembangan yang dialami bayi adalah
perkembangan motorsensorik. Perkembangan ini termasuk memukul, melihat,
menggenggam, atau menendang.
Pertumbuhan fisiolgis bayi dapat dilihat melalui pertumbuhan berat
badannya. Berat badan bayi melebihi berat badan lahir pada saat berumur 2
minggu dan harus bertumbuh kira-kira 30 gr selama 1 bulan. Kemudia,
dimulai dari ia baru dilahirkan, bayi bernapas dengan paru-paru secara
mandiri. Hal ini menyebabkan pembentukan surfaktan di alveolus bayi.
Sistem sirkulasi terkana dampak, yaitu pembuluh darah mengalami pelebaran
akibat tekanan yang diakibatkan darah yang terisi oksigen. Penutupan foramen
12

ovale-pun terjadi. Selain itu, pada sistem hemopoetika, volume darah


bergantung pada jumlah yang ditransfer plasenta. Segera setelah lahir volume
darah menjadi 300 ml. Saat lahir, 73% dari berat badan total bayi adalah
cairan.
Pada sistem gastrointestinal, bayi baru lahir sudah memiliki kemampuan
untuk mencerna, mengabsorbsi, dan memetabolisme sudah adekuat, tetapi
hanya terbatas pada beberapa fungsi, yaitu protein dan karbohidrat sederhana.
Hati merupakan organ gastrointestinal yang paling imatur. Hal ini
menyebabkan konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat dan berkontribusi
terhadap jaundis fisiologis pada bayi baru lahir. Hati juga tidak adekuat dalam
membentuk protein plasma. Bayi baru lahir rentan terhadap hipoglikemia,
kondisi ini dapat dicegah dengan pemberian makan dini dan efektif, terutama
ASI. Kapasitas lambung terbatas sekitar 90ml, sehingga bayi memerlukan
pemberian makan sedikit tapi sering. Volume kolon juga kecil dan sudah
memiliki gerakan usus setelah diberi makan (Wong, 2008).
Tabel. Kebutuhan Nutrisi Neonatus
Kebutuhan
Energi
Karbohidrat
Protein
Lemak

Banyak
50 60 kkal/ Kg BB/ hari
6 -8 mg/kg BB/menit
1 3,5g/kg BB/ hari
1 3 g/kg BB/ hari

Tabel. Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang

Biologis
Suku bangsa
Jenis kelamin
Umur
Gizi
Hormon

Fisik
Cuaca, musim,
dan keadaan
geografis suatu
daerah.
Sanitasi
Keadaan rumah:
struktur
bangunan,
ventilasi, cahaya,
kepadatan
hunian.
Radiasi

Psikososial
Stimulasi
Motivasi belajar
Ganjaran atau
hukuman yang

wajar
Kelompok sebaya
Stress
Sekolah
Cinta dan kasih

sayang
Kualitas interaksi

Keluarga
Pekerjaan/pendapatan
orangtua
Pendidikan orangtua
Jumlah saudara
Jenis kelamin dalam
keluarga
Stabilitas

rumah

tangga
Adat istiadat, normanorma
Agama

orangtua-anak

13

G. Sistem Eliminasi
Organ pencernaan utama neonates sama seperti orang dewasa yang
terdiri dari mulut, faring, esophagus, lambug, usus kecil, usus besar, rektum,
dan anus. Sedangkan organ pencernaan tambahan terdiri dari gigi, lidah,
kantung empedu, appendix, kelenjar saliva, hati, dan pancreas. Saluran
pencernaan pada neonates sama dengan yang dimiliki orang dewasa, hanya
saja pada neonates memiliki beberapa keterbatasan.
Dimulai dari mulut yang terdiri atas gigi, lidah, dan kelenjar saliva. Gigi
pada bayi akan mulai tumbuh saat ia berusia 6 bulan dan akan tumbuh dengan
lengkap saat berusia 2 tahun (Haffield, 2008). Refleks pada neonates sudah
terbentuk yang membuatnya mampu mengisap dan menelan. Refleks ini
mencegah terjadinya aspirasi ketika neonates menelan yang dilakukan tanpa
menggunakan otot volunteer. Kemampuan mengunyah akan terbentuk pada
usia 6 bulan seiring dengan pertumbuhan gigi primer. Kelenjar saliva pada
neonates akan terus tumbuh dan mature pada usia tiga tahun. Neonates telah
mengenal rasa manis dan asam. Rasa manis akan meningkatkan keinginan
frekuensi neonates dalam menghisap (Luxner, K.L, 2005)
Spinkter cardiac yang terletak di akhir esophagus masih lemah pada
neonates. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan resiko terjadinya
regurgitasi dari lambung ke esophagus. Seiring dengan bertambahnya usia otot
spinkter akan bekerja dengan lebih efektif dan dapat mencegah terjadinya
regurgitasi. Organ selanjutnya ialah lambung yang memiliki kapasitas kecil
sehingga perpindahan makanan ke saluran GI terjadi sangat cepat. Untuk itu
pemberian makanan pada neonates dilakukan dalam porsi yang sedikit tapi
sering. Lambung pada neonates berbentuk bundar dan akan memanjang seperi
elips serta psosisinya akan menyerupai orang dewasa hingga ia berusia tujuh
tahun. Kapasitas lambung newborn berkisar antara 10-20 ml dan akan
mencapai 30 ml saat ia berusia tiga minggu. Neonates akan mengosongkan
lambungnya dalam waktu 3-4 jam. Makanan yang telah masuk melalui mulut
dan lambung secara perlahan akan masuk ke usus halus 1-2 jam setelah
makanan tersebut masuk ke mulut.
Organ tambahan juga penting bagi sistem pencernaan neonates seperti
hati dan pancreas. Hati pada neonates dapat dipalpasi di bawah costal margin
14

kanan sepanjang 1-2 cm. apabila hati teraba melebihi 3 cm maka dicurigai
terjadi pembesaran hati. Pada neonates ia memiliki keterbatasan dalam
mengkonjugasi bilirubin dan baru mampu mensekresikan empedu dengan baik
di dua minggu dan mature pada usia enam bulan (Luxner, K.L, 2005).
Sistem pencernaan yang elum mature ini juga akan mempengaruhi
pergerakan makanan pada saluran cerna neonates. Makanan yang masuk akan
didorong secara cepat melewati saluran pencernaan sehingga terjadi
peningkatan eliminasi fekal dan feses yang lebih cair akibat kurangnya
absorbsi air pada saluran cerna neonates. Flora normal pada usus berasal dari
rongga mulut, yang akan ada pada bayi yang berusia dua hari dan setelahnya.
Feses yang akan keluar pada bayi pertamakali ialah meconium yang berwarna
hijau tua. Feses selanjutnya akan mwngalami perubahan warna dari hitam
kehijauan, coklat kehijauan, kuning kehijauan, hingga kekuningan dan sedikit
pucat. Pada neonates yang diberikan susu formula, fesesnya akan terlihat lebih
pucat dari bayi yang diberikan ASI. Dan pemenuhan kebutuhan kalori pada
infant sebesar 110-120 kal/kg/hari.
H. Family Centered Care
1. Definisi Fanily Centered Care
Menurut Association for the Care of Childrens Health (ACCH )
family centered care didefinisikan sebagai filosofi dimana pemberi
perawatan mementingkan dan melibatkan peran penting dari keluarga,
dukungan keluarga akan membangun kekuatan, membantu untuk membuat
suatu pilihan yang terbaik dan meningkatkan pola normal yang ada dalam
kesehariannya selama anak sakit dan menjalani penyembuhan. Menurut
Dunst (2002), family centered care merupakan pelayanan yang
memperlakukan keluarga dengan rasa hormat, individual, fleksibel dan
tanggung jawab. Pelayanan family centered care melibatkan adanya
pertukaran informasi dalam pengambilan keputusan bagi anak, adanya
pilihan keluarga dalam penentuan program intervensi, adanya kolaborasi
antara orang tua dengan tenaga professional, adanya kemitraan keluarga
dengan propgram, serta adanya penyediaan sumber dan dukungan untuk
keluarga dalam memberikan hasil optimal bagi anak, orang tua dan
15

keluarga. Family centered care menjadi sebuah program yang menjanjikan


dalam menjalin hubungan dengan keluarga karena pendekatannya di
sesuaikan dengan perhatian, prioritas dan keinginan setiap keluarga.
Pelayanan family centered care membutuhkan kerjasama orang tua
dan para tenaga professional dalam suatu tim khusus. Dalam family
centered care, setiap keluarga dapat menentukan pilihan dan pelayanan
optimalnya sendiri. Keluarga yang berbeda memiliki pilihan yang berbeda
pula dalam keterlibatan pengasuhan anak. Tenaga professional khususnya
tenaga medis harus mampu menghargai dan membiarkan keluarga untuk
mengarahkan mereka dalam pilihan program pengasuhan yang individual.
Pelayanan family centered care digambarkan sebagai sebuah
pendekatan yang menyeluruh terhadap pemberian pelayanan, dimana
kekuatan, sumber dan rangkaian kebutuhan yang unik dari setiap anak dan
keluarga menjadi dasar pengasuhan yang individual dan dinamis. Dalam
pelayanan family centered care , orang tua dan tenaga professional
menjadi rekan sejajar dan bekerja sama, berbagi tujuan, informasi dan
tanggung jawab.
2. Manfaat Family Centered Care

Tujuan dari family centered care adalah untuk meningkatkan


kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Oleh karena itu keluarga
dilibatkan secara penuh dalam setiap pemberian tindakan. Manfaat yang
dihasilkan dari penerapan pelayanan Family centered care ini yaitu: dapat
meningkatkan kehidupan pasien khussnya anak dengan memfasilitasi
proses yang adaptif pada anak yang dirawat di rumah sakit dengan
keluarganya, dapat meninngkatkan komunkasi tenaga medis dengan orang
tua si anak, sehingga timbul kepuasan bagi orang tua dalam pelayanan
yang diberikan, menurunkan pengeluaran financial dan meningkatkan
hasil perawatan. Jika orang tua dilibatkan dalam berbagai tindakan dan
proses medis maka si anak akan mengalami proses penyembuhan yang
cepat karena anak masih tergantung pada orang tuanya, sehingga tidak
diperlukan biaya yang lebih untuk mengantisipasi jika terjadi komplikasi
dsb.
16

3. Konsep Fanily Centered Care


Menurut Shelton (1997), terdapat beberapa elemen dasar Family
Centered Care, yaitu :
1. Perawat menyadari bahwa keluarga adalah bagian konstan dalam
kehidupan anak, sementara sistem layanan dan anggota dalam system
tersebut berfluktuasi.
2. Memfasilitasi kerjasama anatar keluarga dan perawat di semua tingkat
pelayanan kesehatan, merawat anak secara individual, pengembangan
program, pelaksanaan dan evaluasi serta pembentukan kebijakan
3. Menghormati keanekaragaman ras, etnis, budaya dan sosial ekonomi
dalam keluarga.
4. Mengakui kekuatan keluarga dan individualitas serta memperhatikan
perbedaan mekanisme koping dalam keluarga
5. Memberikan informasi yang lengkap dan jelas kepada orangtua secara
berkelanjutan dengan dukungan penuh.
6. Mendorong dan memfasilitasi keluarga untuk saling mendukung
7. Memahami dan menggabungkan kebutuhan dalam setiap perkembangan
bayi, anak-anak, remaja dan keluarga mereka dalam system perawatan
kesehatan.
8. Menerapkan kebijakan yang komprehensif dan program-program yang
member dukungan emosional dan keuangan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga
9. Merancang sistem perawatan kesehatan yang fleksibel, dapat dijangkau
dengan mudah dan responsif terhadap kebutuhan keluarga yang
teridentifikasi.
Hutchfield (1999), menyatakan bahwa dalam Family Centered Care terdapat
hirarki. Hirarki ini merupakan proses antara orangtua dan perawat dalam
membangun hubungan kerjasama dalam perawatan anak. Pada setiap tahap,
dibahas beberapa aspek yang ditingkatkan oleh orangtua dan perawat agar
mencapai hubungan kerjasama yang baik untuk menunjang perawatan anak di
rumah sakit. Aspek tersebut adalah status hubungan orang tua dan keluarga,
komunikasi, peran perawat dan peran orangtua. Hirarki Family Centered Care
terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Keterlibatan orangtua
2. Partisipasi orangtua
17

3. Kerjasama dengan orangtua


4. Family Centered Care

BAB III
ANALISA DAN APLIKASI KONSEP at Risk
Berdasarkan data pada kasus, anak berusia 3 hari belum pernah mengalami
defekasi perut teraba keras dan muntah bewarna hijau dapat dikatakan bahwa anak
tersebut adalah individu yang berisiko mengalami masalah kesehatan pada
dirinya. Jika di telusuri lebih dalam lagi didapat bahwa anak tersebut bisa
mengalami risiko biologi. Risiko biologi adalah faktor genetik atau kondisi fisik
tertentu yang berpeluang untuk terjadinya risiko kesehatan. Risiko biologi yang
menyebabkan anak mengalami hirsprung adalah karena kondisi fisik yang terjadi
pada kolon anak yaitu tidak adanya sel ganglion pada kolon yang menyebabkan
mekonium atau tinja tidak bisa terdorong keluar. Sehingga dengan terjadinya
masalah kesehatan ini menyebabkan anak menderita hirsprung ditandai dengan
perut anak yang teraba keras dan didukung dengan pemeriksaan diagnostik
menggunakan foto polos abdomen.
Berdasarkan empat faktor risiko yang mempengaruhi masalah kesehatan
pada individu dapat disimpulkan bahwa anak tersebut menjadi berisiko
disebabkan karena risiko biologi. Sedangkan untuk risiko sosial, risiko ekonomi
dan risiko gaya hidup anak tersebut menderita hirsprung bukan disebabkan oleh
faktor risiko tersebut karena berdasarkan kasus anak tersebut baru berusia 3 hari
yang diasumsikan bahwa anak tersebut belum mengenal sendiri dunianya. Anak
tersebut belum terlalu banyak berinteraksi sosial, belum mengalami hal yang
berkaitan dengan ekonomi serta belum mengikuti gaya hidup yang terdapat
disekitarnya.
Anak dengan hirschprung juga dapat berisiko mengalami gangguan pada
proses tumbuh kembang. Pada anak neonatus seperti pada kasus, anak akan
mengalami proses tumbuh kembang sebagai berikut. Setelah kelahiran, bayi mulai
bisa melihat pada jarak 20 cm, memiliki gerak refleks alami, kepekaan terhadap
sentuhan serta beradaptasi dengan lingkungan baru. Anak juga mulai bisa
18

tersenyum dan menangis sebagai komunikasi. Pada kasus ini, anak menangis. Hal
ini merupakan bahasa komunikasi anak yang menyampaikan bahwa anak
menagalami nyeri. Pada masa tumbuh kembang ini, ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Dalam kasus, faktor penghambat tumbuh kembang yang
mungkin ada ialah faktor gizi dan stres. Hal ini akan mengganggu tumbuh
kembang anak. Anak hirscrprung bisa mengalami kekurangan gizi karena isi
kolon belum dikeluarkan sehingga anak akan tidak mau minum ASI. Selain itu,
nyeri yang disebabkan oleh penumpukan tinja di kolon dan mendorong abdomen
akan menyebabkan anak mengalami stres. Kedua hal ini akan mengganggu
istirahat dan intake nutrisi sehingga anak berisiko mengalami gangguan tumbuh
kembang.
Kemudian, melihat dari patofisiologis bayi dengan hirscprung, bayi dengan
Hirschprung mengalami penumpukan sisa makanan di dalam kolonnya. Bayi yang
seharusnya memiliki frekuensi defekasi yang tinggi tidak dapat mengeluarkannya
akibat tidak adanya persyarafan di daerah kolon yang memicu gerakan peristaltik.
Karena hal tersebut kapasitas kolon yang aganglionik menjadi membesar dan bayi
beresiko mengalami perforasi dan enterocolitis apabila tidak segera ditangani.
Neonatus yang seharusnya mengeluarkan meconium pada 24 jam pertama tidak
terjadi dikibatkan penuhnya kolon oleh obstruksi memicu regurgitasi pada bayi
dan akhirnya muntah bewarna kehijauan. Disamping penumpukan sisa makanan
di area kolon, spinkter anal internal juga gagal berelaksasi akibat segmen ganglion
kehilangan neorotransmiter yang menghambat asam oksida.
Pada setiap masalah yang terjadi pada anak, khususnya anak neonatus
pada kasus, peran orang tua sangat dibutuhkan terutama melalui pelayanan
Family Centered care. Bentuk pelayanan Family Centered care yaitu berfokus
pada keikutsertaan keluarga dalam pengambilan keputusan dan pemberian
tindakan medis yang diberikan pada anak, sehingga proses penyembuhan anak
dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan target. Dalam kasus dikatakan jika
anak baru berusia 3 hari dan mengalami hirschprung, anak ini harus segera
mendapat penanganan medis demi keberlangsungan hidupnya. Tenaga medis dan
pihak rumah sakit pun harus melibatkan keluarga terutama ibu dari anak tersebut
untuk mendapatkan informasi seputar anak dan riwayat kehamilan sebelum atau
19

kesehatan si ibu pada saat hamil. Ibu dari anak tersebut harus selalu dilibatkan
dalam setiap tindakan medis yang akan dilakukan, beritahu dan ajak diskusi si ibu
terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan medis karena si ibu mengetahui pasti
kondisi anaknya dan biarkan ibu selalu mendampingi anaknya sehingga anak
merasa sangat tenang. Dengan demikian proses medis pun akan berjalan lancar
dan anak akan kembali sehat sesuai harapan orang tua dan keluarga, serta tidak
terjadinya miscommunication antara keluarga dengan tenaga medis yang dapat
mempengaruhi proses penyembuhan si anak.

BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus: Ibu ani membawa bayinya usia 3 hari ke klinik karena bayi belum pernah
defekasi, perut teraba keras, pernah muntah berwarna kehijauan. Dari
pemeriksaan foto polos abdomen, ditemukan gambaran kolon membesar seperti U
inferted. Anak nampak menangis hampir sepanjang hari dan ibu klien nampak
letih dan bingung.
A. Analisa Masalah
Data

Masalah Keperawatan

Data Objektif:
Perut teraba keras
Gambaran kolon membesar

Gangguan Eliminasi

Data Subjektif:
Ibu mengatakan bayi belum pernah
defekasi
Data Objektif:

Kebutuhan nutrisi

Muntah berwarna kehijauan

20

Data Subjektif tambahan :


Ibu mengatakan anaknya tidak mau
minum ASI
Data Objektif:
Anak nampak menangis
Gambaran kolon membesar

Gangguan kenyamanan : Nyeri

Data Subjektif Tambahan :


Ibu mengatakan anaknya rewel dan
tidak berhenti menangis
Data Objektif:
ibu klien nampak letih dan bingung
Data Subjektif Tambahan:

Pengetahuan orang tua

Ibu mengatakan tidak megetahui


bagaimana caara merawat anak

B. Diagnosa
Pre-Operasi:
1. Nyeri akut berhubungan dengan distensi abdomen
2. Ketidakseimbangan Nutrisi : kurang dari kebutuhan
3. Defisit pengetahuan tentang penyakit anak, pembedahan dan cara
perawatan
Pasca- Operasi:
1. Konstipasi berhubungan dengan Megakolon (Hirschsprung)
2. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pascabedah
3. Gangguan integritas kulit
C. Rencana Intervensi
Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan distensi abdomen dan insisi
pascabedah

21

Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak


menangis
Intervensi
1.

Kaji terhadap tanda nyeri.

2.

Berikan tindakan
kenyamanan : menggendong,
suara halus, ketenangan. pijat
punggung

3.

Rasional
Mengetahui tingkat nyeri
Upaya dengan distraksi dapat
mengurangi rasa nyeri
Mengurangi persepsi terhadap
nyeri yang kerjanya pada sistem
saraf pusat

Kolaborsi dengan dokter


pemberian obat analgesik
sesuai program.

Dx 2: Ketidakseimbangan Nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan muntah
Tujuan: Kebutuhan nutrisi (ASI) terpenuhi
Intervensi

Rasional

1. Bantuan pemberian ASI :

1. Asupan ASI menentukan

menejemen laktasi
2. Timban berat badan anak

status hidrasi anak dan

setiap hari
3. Kaji warna kulit anak,
turgor kulit, fontanel (pada
seorang bayi), tingkat
kesadaran, waktu pengisianulang kapiler, dan membran

menjadi pedoman dalam


terapi asupan makanan dan
cairan bagi bayi.
2. Berat badan secara langsung
mengukur status nutrisi dan
hidrasi
3. Kulit pucat, turgor kulit

mukosa, pada setiap

buruk, fontanel yang

pergantian dinas. Beri tahu

melesak kedalam, penurunan

dokter dengan segera, setiap

tingkat kesadaran,

perubahan segnifikan pada

peningkatan waktu

status anak.

pengisian-ulang kapiler, dan

4. Pantau anak untuk

membrane mukosa kering

mendeteksi demam.
22

mengindikasikan dehidrasi.
4. Demam meningkatkan
dehidrasi dan dapat
menandakan infeksi.

Dx 3: Defisit pengetahuan berhubungan dengan penyakit anak,


pembedahan dan cara perawatan
Tujuan / Kriteria evaluasi: orang tua memahami dan mampu melakukan
perawatan kolostomi
Intervensi
1. Kaji tingkat pengetahuan orang
tua tentang kondisi yang dialami
pasien dan tentang operasi
2. Ajarkan pada orang tua untuk
mengekspresikan perasaan,
kecemasan dan perhatian
tentang operasi dan perawatan

Rasional
1. Menentukan pemahaman dan
cara berkomunikasi kepada
orang tua
2. Mendukung secara psikologis
dan kognitif tentang prosedur
operasi dan perawatan ostomi
3. Memahami kemajuan atau
adanya tanda-tanda infeksi pada
luka pembedahan
4. Memantau sejauh mana

ostomi.
3. Jelaskan perbaikan pembedahan
dan proses kesembuhan.

pemahaman orang tua dalam


melakukan perawatan ostomi

4. Ajarkan perawatan ostomi


segera setelah pembedahan dan
lakukan supervisi saat orang tua
melakukan perawatan ostomi.

Dx 4: Konstipasi berhubungan dengan Megakolon (Hirschsprung)


Tujuan / Kriteria evaluasi: konstipasi menurun yang dibuktikan oleh
kemampuan mengeluarkan feses
Intervensi
1. Kaji dan dokumentasikan :

Rasional
Bising usus, flatus dan keluarnya
23

Frekuensi, warna, konsistensi

feses mengindikasikan kemampuan

feses pertama pascaoperasi


Keluarnya flatus
Bising usus dan distensi

sistem pencernaan

abdomen pada keempat


kuadran abdomen
2. Monitor cairan yang keluar dari
kolostomi.
3. Mengajarkan cara perawatan
ostomi kepada keluarga

Jumlah cairan yang keluar dapat


dipertimbangkan untuk penggantian
cairan.
Keluarga mampu melakukan
perawatan ostomi

Dx 5: Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan


Tujuan : Memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi
Intervensi
1. Kaji insisi pembedahan,
bengkak, drainage dan tanda

Rasional
Memahami kemajuan atau adanya
tanda-tanda infeksi pada luka

infeksi.
2. Berikan perawatan kulit:

pembedahan.

Oleskan krim jika perlu.


3. Mengajarkan cara perawatan

Mencegah kerusakan jaringan

pembedahan kepada keluarga

disekitar luka pembedahan


Keluarga mampu melakukan
perawatan kulit

24

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan kasus dan pemaparan tinjauan pustaka yang telah
disampaikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa hirschsprung
merupakan salah satu kelainan kongenital pada perkembangan sistem saraf. Tidak
adanya sel ganglion pada dinding usus menyebabkan penjalaran saraf yang tidak
sempurna, sehingga usus tidak mampu untuk mengeluarkan feses. Feses yang
semakin

menumpuk

dapat

menyebabkan

distensi

kolon,

hal

tersebut

menyebabkan ketidakadekuatan pemenuhan kebutuhan dasar eliminasi pada bayi.


Selain terganggunya kebutuhan dasar eliminasi, hirschsprung juga akan
berdampak pada kebutuhan dasar lain seperti cairan, nutrisi, istirahat dan tidur
pada bayi yang pada akhirnya akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan
dan perkembangan pada anak.
Penatalaksanaan medis untuk kelainan hirschsprung yaitu operasi
kolostomi dengan dibuatkan stoma. Selain asuhan keperawatan pada bayi, orang
tua terlibat dalam setiap tindakan keperawatan yang diberikan dan pendidikan
kesehatan dalam perawatan anak, seperti membersihkan kantong stoma. Sehingga,
tindakan yang dilakukan selain tindakan perawatan langsung pada bayi,
memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan orang tua
tentang perawatan dan dukungan psikologis untuk orang tua perlu dilakukan.
B. SARAN
Penatalaksanaan yang benar mengenai kelainan hirschsprung perlu
dipahami dengan oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk
tercapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik
dan memberi dukungan antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga
medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi. Terutama orang
25

tua berperan penting untuk mampu melakukan perawatan kolostomi, sehingga


diharapkan orang tua harus mampu menangani masalah fisik, psikologis maupun
psikososial yang terjadi.

Daftar Pustaka
Behrman&Arvin. (2000). Nelson textbook of pediatrics 15/E. Philadelphia:
Saunders Company
Betz, C. L. & Sowden L. A. (2009). Buku saku keperawatan pediatrik.
Ed 5. Alih bahasa: Meiliya, E. Jakarta: EGC
Bullechek, G.M.,McCloskey, J.C.(2004). Nursing Interventions Classification
(NIC). St. Loui: Mosby
Bowden, V. R. & Greenberg, C. S. (2012). Pediatric Nursing Prosedures 3rd
edition. Philadephia : Lippincott William & Wilkins.
Dunst, C. J. (2002). Family Centered Practice : Birth Through high school.
Journal of special education.
Minford, JL. Et al. Comparison of Functional Outcomes of Duhamel and
Transanal Endorectal Coloanal Anastamosis for Hirschsprungs Disease. J Ped
Surg. 2004; 39(2): 161-165
NANDA. (2012). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014.
Philadelphia: NANDA International.
Schwartz, William M. (1995). Clinical Handbook of Pediatrics. USA : Baltimore,
Maryland
Swenson et al. Hirschsprungs Disease: A Review. Pediatrics. 2002; 109(5): 1-9
Wong. D. L & Schwartz P (2009). Wong buku ajar keperawatan pediatrik. Alih
bahasa: Hartono A. Jakarta : EGC
Wong. (2001). Wong's Essentials of Pediatric Nursing, 6 edition. Philadelphia:
Mosby El-Sevier

26

Anda mungkin juga menyukai