Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya
meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi
yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga,
kelompok, organisasi, atau komunitas. American Nurses’ Association
mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi
bidang keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya
dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya(Stuart,2013).
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2010,tidak kurang dari
450 juta orang di seluruh dunia manderita gangguan jiwa.Pada tahun 2016
rencana WHO (Kesehatan Mental Action 2013-2020), disahkan oleh Majelis
Kesehatan Dunia pada tahun 2013, mengakui peran penting dari kesehatan jiwa
dalam mencapai kesehatan bagi semua orang. Rencana tersebut meliputi 4
tujuan utama : kepemimpinan yang lebih efektif dan pemerintahan untuk
kesehatan jiwa, penyediaan komprehensif, kesehatan jiwa dan kepedulian
sosial layanan terpadu dalam pengaturan berbasis masyarakat, pelaksanaan
strategi promosi dan pencegahan dansistem informasi diperkuat, bukti dan
penelitian.
Masalah kesehatan jiwa masyarakat saat ini semakin meningkat, yaitu
dengan semakin meningkatnya tindak kekerasan, tingginya kenakalan remaja,
meningkatnya penyalahgunaan NAPZA, meningkatnya tawuran,
pengangguran dan perselingkuhan juga merupakan faktor penyebab gangguan
jiwa di masyarakat. Untuk penanganan masalah ini, masyarakat perlu
mendapatkan informasi yang luas tentang kesehatan jiwa baik dalam
permasalahan maupun pencegahan dan penanganannya.

1
B. Rumusan Masalah
Bagaimana menganalisis sejarah keperawatan jiwa dan trend isu dalam
keperawatan jiwa global ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa/i dapat mengembangkan pola pikir dan menganalisis
mengenai sejarah keperawatan jiwa dan trend isu dalam keperawatan jiwa
global.
2. Tujuan Khusus
Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang:
a. Pengertian kesehatan jiwa.
b. Sejarah keperawatan jiwa.
c. Trend dan isu dalam keperawatan jiwa global.

D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mampu meningkatkan wawasan dan pengetahuan
dalam menganalisis sejarah keperawatan jiwa dan rend isu dalam
keperawatan jiwa global.
2. Bagi Institusi Pelayanan
Menjadi acuan dalam memberikan wawasan dalam menganalisis sejarah
keperawatan jiwa dan trend isu dalam keperawatan jiwa global.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan dalam menganalisis sejarah keperawatan jiwa dan
trend isu dalam keperawatan jiwa global.
4. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan wawasan dan
pengetahuan dalam menganalisis sejarah keperawatan jiwa dan trend isu
dalam keperawatan jiwa global.

2
E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
BAB I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat dan sistematika penulisan.
BAB II : Berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian kesehatan jiwa,
sejarah keperawatan jiwa, trend dan isu dalam keperawatan jiwa
global.
BAB III : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kesehatan Jiwa


Menurut Keliat (2011), kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental
sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagian yang
utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi
kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya,
mampu menghadapi stress kehidupan dengan wajar, mampu bekerja dengan
produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam
lingkungan hidup, menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya dan
merasa nyaman dengan orang lain.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria
orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut.
1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun
kenyataan itu buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling
memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian
hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
Pada perundangan terdahulu, UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966
tentang Upaya Kesehatan Jiwa, memberikan batasan bahwa upaya kesehatan
jiwa adalah suatu kondisi dapat menciptakan keadaan yang memungkinkan
atau mengizinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal
pada seseorang, serta perkembangan ini selaras dengan orang lain.

4
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Bab IX
tentang kesehatan jiwa menyebutkan Pasal 144 ayat 1 “Upaya kesehatan jiwa
ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan
yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa”. Ayat 2, “Upaya kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif
pasien gangguan jiwa, dan masalah psikososial”.
Batasan ini pun sulit dipenuhi, sehingga semua kriteria dapat
dipertimbangkan dalam menilai kesehatan jiwa. Oleh karenanya, orang yang
sehat jiwanya adalah orang yang sebagai berikut :
1. Melihat setiap hari adalah baik, tidak ada satu alasan sehingga pekerjaan
harus ditunda, karena setiap hari adalah baik.
2. Hari besok adalah hari yang baik.
3. Tahu apa yang diketahui dan tahu apa yang tidak diketahui.
4. Bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan membuat lingkungan
menjadi lebih baik.
5. Selalu dapat mengembangkan usahanya.
6. Selalu puas dengan hasil karyanya.
7. Dapat memperbaiki dirinya dan tidak menganggap dirinya selalu benar.

B. Sejarah Keperawatan Jiwa


1. Zaman Mesir Kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya
roh jahat yang bersarang di otak. Oleh karena itu, cara menyembuhkannya
dengan membuat lubang pada tengkorak kepala untuk mengeluarkan roh
jahat yang bersarang di otak tersebut.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya lubang di kepala pada orang
yang pernah mengalami gangguan jiwa. Selain itu, ditemukan pada tulisan
Mesir Kuno tentang siapa saja yang pernah kena roh jahat dan telah
dilubangi kepalanya.

5
Tahun-tahun berikutnya, pasien yang mengalami gangguan jiwa
diobati dengan dibakar, dipukuli, atau dimasukkan dalam air dingin
dengan cara diajak jalan melewati sebuah jembatan lalu diceburkan dalam
air dingin dengan maksud agar terkejut, yakni semacam syok terapi dengan
harapan agar gangguannya menghilang.
Hasil pengamatan berikutnya diketahui ternyata orang yang menderita
skizofrenia tidak ada yang mengalami epilepsi (kejang atau hiperplasia).
Padahal penderita epilepsi setelah kejangnya hilang dapat pulih kembali.
Oleh karenanya, pada orang skizofrenia dicoba dibuat hiperplasia dengan
membuat terapi koma insulin dan terapi kejang listrik (elektro convulsif
theraphy).
2. Zaman Yunani (Hypocrates)
Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Upaya
pengobatannya dilakukan oleh dokter dan orang yang berdoa untuk
mengeluarkan roh jahat. Pada waktu itu, orang sakit jiwa yang miskin
dikumpulkan dan dimasukkan dalam rumah sakit jiwa. Jadi, rumah sakit
jiwa lebih banyak digunakan sebagai tempat penampungan orang
gangguan jiwa yang miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok.
Sementara orang kaya yang mangalami gangguan jiwa dirawat di rumah
sendiri.
Pada tahun 1841, Dorothea Line Dick melihat keadaan perawatan
gangguan jiwa. Ia tersentuh hatinya, sehingga berusaha memperbaiki
pelayanan kesehatan jiwa. Bersamaan dengan itu, Herophillus dan
Erasistratus memikirkan apa yang sebenarnya ada dalam otak, sehingga ia
mempelajari anatomi otak pada binatang. Karena kurang puas hanya
mempelajari otak, sehingga ia berusaha mempelajari seluruh sistem tubuh
hewan (Notosoedirjo, 2001).
3. Zaman Vesalius
Vesalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja,
sehingga ia ingin mempelajari otak dan sistem tubuh manusia. Namun,
membelah kepala manusia untuk dipelajari merupakan hal yang mustahil,

6
apalagi mempelajari seluruh sistem tubuh manusia. Akhirnya, ia berusaha
mencuri mayat manusia untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut
diketahui masyarakat, sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam
hukuman mati (pancung). Namun, ia bisa membuktikan bahwa
kegiatannya itu untuk kepentingan keilmuan, maka akhirnya ia
dibebaskan.
Versailus bahkan mendapat penghargaan karena bisa menunjukkan
adanya perbedaan antara manusia dan binatang. Sejak saat itu dapat
diterima bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit. Namun
kenyatannya, pelayanan di rumah sakit jiwa tidak pernah berubah. Orang
yang mengalami gangguan jiwa dirantai, karena petugasnya khawatir
dengan keadaan pasien.
4. Revolusi Prancis I
Phillipe Pinel, seorang direktur di RS Bicetri Prancis, berusaha
memanfaatkan Revolusi Prancis untuk membebaskan belenggu pada
pasien gangguan jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal dengan revolusi
humanisme dengan semboyan utamanya “Liberty, Equality, Fraternity”.
Ia meminta kepada walikota agar melepaskan belenggu untuk pasien
gangguan jiwa. Pada awalnya, walikota menolak. Namun, Pinel
menggunakan alasan revolusi, yaitu “Jika tidak, kita harus siap diterkam
binatang buas yang berwajah manusia”. Perjuangan ini diteruskan oleh
murid-murid Pinel sampai Revolusi II.
5. Revolusi Kesehatan Jiwa II
Dengan diterima gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka
terjadilah perubahan orientasi pada organo biologis. Pada saat ini, Qubius
menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam bidang kedokteran. Oleh
karena itu, ganguan jiwa dituntut mengikuti paradigma natural sciences,
yaitu ada taksonomi (penggolongan penyakit) dan nosologi (ada
tanda/gejala penyakit). Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat
penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa. Sejak saat itu, kesehatan

7
jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan spesifikasinya masing-
masing.
6. Revolusi Kesehatan Jiwa III
Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II masih
berorientasi pada berbasis rumah sakit (hospital base), maka pada
perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis komunitas (community
base) dengan adanya upaya pusat kesehatan mental komunitas (community
mental health centre) yang dipelopori oleh J.F. Kennedy. Pada saat inilah
disebut revolusi kesehatan jiwa III.

C. Trend dan Isu dalam Keperawatan Jiwa Global


Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah
yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah
tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar
pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan
jiwa di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Kesehatan Jiwa Dimulai Sejak Masa Konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada
saat onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia
banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang
sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan
terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus
dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa pranikah.
Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam
kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang
akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan
mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang
berada pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih
tinggi untuk menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting

8
ini menunjukkan bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang
tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko menderita
skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif,
yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan
perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan
neurokognitif seperti berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan
perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan, working memory,
dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam
kandungan dan dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan,
misalnya, tekanan berat dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau
terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba.
Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari
gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir,
waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh
jumlah penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa
Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat
kelas bawah, kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas
juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater
dan dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik
strata sosial maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat,
setelah kehilangan semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu
kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan kecenderungan
meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang
mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang
berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas
penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu.

9
Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan
sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada
anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik.
Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau
masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik.
Klien yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata.
Inilah orang yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal
yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
3. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan
merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan
berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World
Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh
dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001)
menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami
masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia
yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan
kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450
juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang
diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini
lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para
penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak
hal. Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
(psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo,
ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik,
biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor
keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria
dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan

10
mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola
pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara
anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga,
gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor
psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal
dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan
lain-lain).
4. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas
sebagai ciri globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk
kesehatan. Perawat dituntut mampu memberikan askep yang profesional
dan dapat mempertanggung jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut
senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan
khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus
membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan
pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa
entrepreneurship.
5. Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan
termasuk keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan
persaingan penyelenggaraan pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga
kesehatan (perawat “jiwa”) harus mempunyai standar global dalam
memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena
masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa mendatang
bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan
berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan
hanya menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas hidup.
Jadi konsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit, tetapi kondisi
optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social
Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk

11
pencegahan daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa
lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwa
bergeser dari hospital base menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg
diperalat oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang
diperalat/ memperalat diri sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat
dari semua aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan
perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya,
merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu
membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa
seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan
berlebihan, narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup
keuntungan material tanpa batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam
dimensi-dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi
aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Untuk
mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap orang harus
meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya
kondisi sehat yang sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada
orang lain merupakan orientasi paradigma kesehatan jiwa.
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of
disease“ (Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan
bagi ”Public Health Policy” yang secara tradisional memberi perhatian
yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan
kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit.
Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah. Dengan
adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year)

12
diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama
secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik
yang tidak menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran,
kemiskinan, dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian
krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan
seperti psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang
memadai baik dari segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan
kejadian Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian
yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya dan
mereka yang cedera serta yang dalam ancaman terhadap integritas fisik
diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa rasa takut yang
kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar
rentang. Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian
sehari-hari. Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik
peperangan (memang sedang terjadi), pemerkosaan (banyak dialami
sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa dan bencana
tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan
berusaha untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria
klinik seperti yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of
Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis
gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan, gejala yang ditemukan pada
mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia yang
invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir
penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada

13
diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman
katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya
Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu
memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi
kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian
yang mirip, terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan
terjadi. Mereka juga menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan
terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, tidur yang seharusnya kan
membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi adalah
sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam
kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-
akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai
memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang
bersifat individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan
antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang
mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan
bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan
kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan
menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi
keamanan di daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma
sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang bersifat personal
mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami
bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri
pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi.
Dan, karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak
sadar dalam periode yang cukup lama. Guncangan psikologis yang
disebabkan oleh ingatan mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang

14
mayat-mayat yang berserakan, dan tentang kehilangan banyak anggota
keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian
trauma, juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering
disebut sebagai transference. Istilah ini merujuk pada
‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi dari orang yang secara fisik
langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang lain yang
tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa
psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak
sadar melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori Laub,
psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa
transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang
melakukan wawancara dengan korban.
7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman
trauma yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari.
Mengakibatkan keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak
mengalami stress yang demikian. Mereka menjdi manusia yang invalid
dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak produktif.
Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma
muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
8. Meningkatnya Masalah Psikososial
Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling
berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada
undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu
Kedokteran Jiwa (psychitri), secara garis besar masalah kesehatan jiwa
digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan
kualitas, hidup yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna
dan nilai-nilai kehidupan manusia, misalnya:

15
1) Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle
kehidupan manusia, mulai dari persiapan pranikah, anak dalam
kandungan, balita, anak, remaja, dewasa, usia lanjut.
2) Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan
disabilitas.
3) Pemukiman yang sehat.
4) Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul
sebagai aikbat terjadinya perubahan sosial, misalnya :
1) Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat
umum dan diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan
dianggap mengganggu ketertiban/keamanan lingkungan).
2) Pemasungan penderita gangguan jiwa.
3) Masalah anak jalanan.
4) Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
5) Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-
lain).
1) Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi
nafkah, korban kekerasaan pada anak dan lain-lain).
2) Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali
merasakan kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam,
ledakan, kekerasaan, penyerangan/penganiyaan secara fisik atau
seksual, termasuk pemerkosaan, terorisme dan lain-lain).
3) Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul
sebagai akibat terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas,
depresi, stress pascatrauma, dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan
fisik, gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap
perubahan, perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi,
gangguan pada daya ingat, dll).

16
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga
kerja, penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).
9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja
Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat
mengancam Sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang
diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria,
Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang. Urutan pertama diduduki Jerman
dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit
seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang
sebenarnya 10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong.
Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat
terjadi pada anak-anak dan remaja.
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering
diberitakan bahwa warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri
(menikam atau merobek perut sendiri) sering dilakukan bawahan untuk
melindungi nama baik atasannya. Sebagai contoh, sekretaris pribadi
mantan Perdana Menteri Takeshita melakukan bunuh diri, ketika skandal
suap perusahaan Recruits Cosmos terbongkar pada tahun 1984 atau yang
paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir pribadi mantan Perdana menteri
Tanaka, ketika skandal suap Lockheed terbongkar. Sang sopir menusuk
perutnya, demi menjaga kehormatan pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003
mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya
atau terjadi dalam seiap 40 detiknya. Bunuh diri juga termasuk satu dari
tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain faktor
kecelakaan.
10. Masalah Napza dan HIV/AIDS
Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan
dampak dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin
maju. Hal terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita
adalah perangkat hukum yang lemah bahkan terkadang oknum aparat

17
hukum seringkali menjadi backing, ditambah dengan keragu-raguan
penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga dampaknya
SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas
terhadap pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin
menigkat untuk masa yang akan datang khususnya dalam era globalisasi.
Dalam era globalisasi tersebut terdapat gerakan yang sangat besar yang
disebut dengan istilah “Gerakan Kafirisasi“. Bila beberapa dekade yang
lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan dengan
globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut
dengan Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan
dunia global yang sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang
mereka anggap sebagai kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya
wajah kaum beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat
islam sebagai fundamentalis, ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington
(Misionaris Yahudi) pernah mengatakan : “Musuh Barat terbesar setelah
Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu program mereka adalah
menghancurkan islam melalui penghancuran generasi mudanya dengan
cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi
yang tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang
berusia 15-25 tahun melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya)
dan telah membunuh 30 orang perbulannya. Masalah lainnya muncul
seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA. Menjelang tahun 2008
pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang permenit. Ini
merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil
menyelamatkan generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA
(Narkotika, Alkohol, psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya). Perawat
merupakan komponen terbesar dari seluruh tim kesehatan, maka upaya-
upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan menjadi hal yang

18
sangat penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam
rentang waktu yang lama di banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum
presentasi orientasi keperawatan jiwa kami berusaha memaparkan suatu
topik dengan tema Asuhan Keperawatan pada Pengguna NAPZA.
11. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa
Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini
pola asuh keluarga menjadi sorotan. Pola asuh yang baik adalah pola asuh
dimana orang tua menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan
kontrol yang tinggi. Kehangatan adalah bagaimana orang tua menjadi
teman curhat, teman bermain, teman yang menyenangkan bagi anak
terutama saat rekreasi, belajar, dan berkomunikasi. Adakalanya
kehangatan diwujudkan dengan mendekap, mencium, menggendong atau
mengajak anak menjalajahi alam sambil belajar. Kehangatan adalah
upaya-upaya yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan berani bicara
pada orang tuanya pada saat anak mendapatkan masalah. Orang tua
menjadi teman dalam express feeling anak sehingga anak menjadi sehat
jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan
mengenal disiplin di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat
penting dalam kesehatan jiwa. Anak mandiri terbiasa menyelesaikan
masalahnya, ia akan memiliki self confidence yang cukup. Contoh kontrol
yang diterapkan orang tua adalah kapan anak harus bangun pagi, kapan
belajar, kapan anak berlatih memakai kaos kaki sendiri, makan sendiri dan
berpakaian secara mandiri. Orang tua juga melatih anak bertanggung
jawab mengerjakan tugas-tugas di rumah seperi mencuci, menyiram
bunga, dan sebagainya.
Tipe pola asuh :
a. Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang
tinggi dan kehangatan tinggi.
b. Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi
dan kehangatan rendah.

19
c. Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol
rendah dan kehangatan tinggi.
d. Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol
rendah dan kehangatan rendah.
12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan
Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat
Indonesia semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah,
lingkungan buruk, kurang gizi, mudah terigitasi, kekebalan menurun dan
infrastruktur yang masih rendah menyebabkan banyaknya rakyat
Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Masalah ekonomi merupakan
masalah yang paling dominant menjadi pencetus gangguan jiwa di
Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan BBM selalu
disertai dengan peningkatan dua kali lipat angka gangguan jiwa. Hal ini
diperparah dengan biaya sekolah yang mahal, biaya pengobatan tak
terjangkau dan penggusuran yang kerap terjadi.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi
pada awal abad ke-19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental
psikiatri mulai berkembang pesat, tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah
Sakit. Hal ini terjadi sejalan dengan program deinstitusionalisasi.
Deinstitusionalisasi adalah suatu program pembebasan klien gangguan jiwa
kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan mereka ke lingkungan
rehabilitas di masyarakat. Angka kejadian gangguan jiwa dapat diminimalkan
dengan menggunakan cara-cara preventif seperti menemukan kasus-kasus
secara dini, diagnosa dini dan intervensi krisis.

B. Saran
Perawat/mahasiswa keperawatan perlu untuk mengetahui mengenai
sejarah keperawatan jiwa dan mengkaji serta mempelajari trend dan isu
keperawatan jiwa global agar dapat mengetahui dan menangani masalah
kesehatan jiwa yang terjadi di masyarakat sehingga dapat diterapkan dalam
pelayanan keperawatan/asuhan keperawatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009


Tentang Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Depkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013. Jakarta:
Depkes RI.
Katona, C., Cooper C., dan Robertson M. (2012). At a Glance Psikiatri 4th. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Keliat, B. A. & Akemat. (2011). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Jakarta:
EGC.
Maramis, W.F. (2010). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Notosoedirjo, M. Latipun. (2001). Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan.
Malang: UMM Press.
Stuart dan Laraia. (2008). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th
Edition. St Louis: Mosby.
World Health Organization. (2008). Investing in Mental Health. Geneva: WHO
Yusuf, AH., PK, Rizky Fitryasari., Nihayati, Hanik Endang. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai