Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 2


A. Latar Belakang ........................................................................................... 2
B. Tujuan ......................................................................................................... 3
C. Rumusan masalah ...................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. Definisi ......................................................................................................... 4
B. Etiologi ......................................................................................................... 4
C. Manifestasi Klinis ....................................................................................... 5
D. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 5
E. Komplikasi .................................................................................................. 7
F. Penatalaksanaan Nefrotik Syndrome ....................................................... 9
G. Patofisiologi ........................................................................................... 14
H. Kebutuhan cairan dan elektrolit ......................................................... 15
I. Jenis Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari atau Dapat
Dikonsumsi ....................................................................................................... 15
J. Kasus .......................................................................................................... 20
K. Pertanyaan dan Jawaban ..................................................................... 21
BAB III ................................................................................................................. 23
PENUTUP ............................................................................................................ 23
Kesimpulan ....................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24

1
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan
hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7
per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal
ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%.
Menurut Raja Sheh angka kejadian kasus sindrom nefrotik di asia tercatat
sebanyak 2 kasus tiap 10.000 penduduk (Republika, 2005). Sedangkan angka
kejadian di Indonesia pada sindrom nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari
100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002).
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan
kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan
menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat
dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus
eritematosus sitemik.Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih
pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital
(umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik
sebagai lesi minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan
steroid (sensitif steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak
memberikan respons terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-4
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) membuat panduan

2
gambaran klinis dan laboratorium untuk memperkirakan jenis lesi pada anak
yang menderita SN. Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia
saat serangan pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar
kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah diketahui, bentuk
histopatologik memberikan gambaran terhadap respons pengobatan steroid,
seperti jenis glomerulonefritis mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85%
adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum terdapat data gambaran
histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik resisten steroid
(SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan
gambaran klinis yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC.
Kadar protein nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena
belum pernah diteliti sebelumnya.Penelitian ini bertujuan untuk menilai
hubungan antara berbagai gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-
sama dengan respons terhadap pengobatan steroid (SNRS dan
SNSS).(Behrman, 2000)
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindroma nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang
mendasari dan responnya terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).
B. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik
2. Menjelaskan cara menghitung cairan.
3. Menjelaskan makanan dan minuman yang tidak boleh diberikan
C. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari sindroma nefrotik ?
2. Bagaiman cara menghitung kebutuhan cairan bagi penderita sindrom
nefrotik ?
3. Apa saja makanan dan minuman yang boleh dan tidak boleh diberikan ?

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Sindrom nefrotik merupakan sekolompok gejala seperti proteinuria,


hipoabuminemia, edema dan hyperlipidemia.Sindrom nefrotik dikaitkan
denganr rekasi alergi, infeksi, penyakit sistemik dan masalah sirkulasi.
(Baradero,2009)

Sindrom nefrotik adalah sekelompok gejala klinis termasuk proteinuria


massif, hypoalbuminemia,hyperlipidemia dan edema. Penyakit ini
dikarakteristikan dengan terjadinya peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma, yang akhirnya akan menyebabkan tubuh kehilangan
protein dalam jumlah yang besar. (Wong,2008)

B. Etiologi

Menurut Ngastiyah, 2005, umumnya etiologi di bagi menjadi 3 (tiga),


yaitu :
1. Sindroma Nefrotik bawaan.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reksi maternofetal,
resisten terhadap semua pengobatan. Gejala : Edema pada masa
neonatus.
2. Sindroma Nefrotik Idiopatik atau sindrom nefrotik primer
Sekitar 90% nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui,
berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron.Diduga ada
hubungan dengan genetic imunologik dan alergi.
3. Sindroma Nefrotik Sekunder
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritemosus desiminata, purpura
anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena
renalis.

4
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif, hipokomplementemik.
C. Manifestasi Klinis
1. Edema
Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat
(anasarka).Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan
umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke
abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2. Proteinuria berat
3. Ekskresi protein <40 mg/jam/m2
4. Hipoalbuminemia
5. Kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah
untuk memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau
tidak, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria
(pada protein-losing enteropathy) dan edema dapat terjadi tanpa adanya
hipoalbuminemia (seperti pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal
jantung kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis
sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan
laboratorium yang dibutuhkan diantaranya:
a. Pemeriksaan darah rutin
1) Red blood cell
2) Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan
adanya hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular.
3) Leukosit
4) Nilai platelet biasanya meningkat.

5
b. Urinalisis
1) Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus.
2) Hematuria makroskopik jarang ditemukan.
c. Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin
pagi, atau dengan protein urin 24 jam.
1) Dikatakan proteinuria jika adanya protein di dalam urine manusia
yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam
atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2
2) Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat
mengeksklusi proteinuria orthostatic (dimana protein baru
muncul di urin setelah penderita berdiri cukup lama). - Nilai
protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau dengan dipstick +2---+4,
dapat pula nilai protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang
mencapai 1000mg/dL. Sebagian besar protein yang diekskresi
pada SN adalah albumin.
d. Albumin serum
1) Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum
kurang dari 2.5 g/dL.
2) Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3) Jarang mencapai 0.5 g/dL
e. Pemeriksaan lipid
1) Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low
density lipoprotein).
2) Kadar serum kolesterol >400mg/dl
3) Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.
4) Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal
atau menurun
f. Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan
fosfor.
1) Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh
karena deplesi volume intravascular.

6
2) Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia.
3) Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.
g. Tes HIV, hepatitis B dan C
Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN.
h. Pemeriksaan C3
1) Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post
infeksi, SN tipe membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.
2. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan
awitan pada usia 1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada
pemeriksaan fisik, maupun hasil dari pemeriksaan laboratorium
mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN primer
selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia< 1
tahun, dimana SN kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia >
8 tahun dimana penyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih
tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan,
dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN sekunder.
3. Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai
adanya trombosis vena ginjal
4. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.

E. Komplikasi
1. Infeksi

SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis


danperitonitis.Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemenfaktor B dan D di urin.Pemakaian obat imunosupresif
menambah risikoterjadinya infeksi.Bila terjadi peritonitis primer
(biasanya disebabkan olehkuman Gram negatif dan Streptococcus

7
pneumoniae) perlu diberikan pengobatanpenisilin parenteral,
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitusefotaksim atau
seftriakson, selama 10-14 hari.

2. Tromboemboli

Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi,


peningkatankadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi
antitrombin III.Trombosis dapat terjadi di dalam vena maupun
arteri.Adanya dehidrasimeningkatkan kemungkinan terjadinya
trombosis.Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
aspirindosis rendah (80 mg) dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum
ada studiterkontrol terhadap efektivitas pengobatan ini.9 Heparin
diberikan bila sudahterjadi trombosis.

3. Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar


kolesterol LDLdan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa),
sedangkan kolesterol HDLmenurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik.Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan
zat-zat tersebut bersifatsementara, cukup dengan pengurangan diet
lemak. Pada SN resisten steroiddapat dipertimbangan pemberian obat
penurun lipid seperti questran, derivatfibrat dan inhibitor HMgCoA
reduktasia (statin), karena biasanya peningkatankadar lemak tersebut
berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebutmasih
diperdebatkan.

4. Hipokalsemia

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

a. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis


danosteopenia

8
b. Kebocoran metabolit vitamin D

c. Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid


dianjurkanpemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin
D. Bila telah terjaditetani, diobati dengan kalsium glukonas 50
mg/kgBB intravena.
5. Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps


dapatmengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitasdingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera
diberi infus NaClfisiologik dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau
plasma 20 ml/kgBB(tetesan lambat 10 per menit).Bila hipovolemia telah
teratasi dan pasien tetapoliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB
intravena.

6. Malnutrisi

7. Gagal ginjal

F. Penatalaksanaan Nefrotik Syndrome


1. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Terapi Corticosteroid
Terapi kortikosteroid dinilai palinga efektifdalam penanganan
nefrotik syndrome. Kortikosteroid langsung diberikan ketika pertama
kali diagnose ditegakkan. Kortikosteroid biasanya jenis prednisone
diberikan per oral dengan dosis 60 mg/m2/ hari selama 6 minggu di
term pertama lalu dosis 40 mg/m2/hari untuk 6 minggu
kedua.Penilitian menganjurkan treatmen kortikosteroid minimal
dilakukan selama 3 bulan. Pada kebanyakan pasien dalam 7 hingga
21 hari akan berkurang beberapa gejala seperti penurunan
proteinuria, tidak adanya immunoglobulin G di urin, penurunan
hipertensi, hematuria, biasanya akan lebih baik setelah penggunaan
prednisone. Pada anak dengan MCNS beberapa akan mengalami

9
relaps atau kekambuhan sehingga membutuhkan treatmen steroid
dengan dosis yang lebih banyak. Dosis atau penggunaan steroid yang
berlebih akan mampu menimbulkan beberapa komplikasi seperti
cushingoid dan retardasi pertumbuhan. Dalam penggunaan
kortikosteroid perlu disertai dengan penggunaan diuretic karena efek
samping korikosteroid diantaranya adalah mampu meretensi cairan.
Berikut adalah klasifikasi dari nefrotik syndrome sesuai dengan
respon terhadap steroid:
1) Steroid sensitive → respon terhadap steroid sangat baik, relaps
mungkin terajadi bergantung pada perjalanan penyakit
2) Frequent relaps → 2 kali atau lebih relaps dalam 6 bulan, atau 4
kali atau lebih relaps dalam 12 bulan
3) Steroid dependent → 2 kali relaps berurutan ketika penggunaan
steroid atau 2 minggu saat penggunaan steroid mulai dikurangi
4) Steroid resistant → tidak menunjukkan perbaik setelah 4 minggu
terapi prednisone

b. Terapi Immunosupresant

Jenis obat immunosupresant yang sering dipakai adalah


cyclophosphamide (Cytoxan). Immunosupresant dapat membuat
berkurangnya frekuensi relaps dan mampu meningkatkan immunitas
klien yang rentan terkena infeksi. Efek samping dari terapi
immunosupresant diantaranya adalah leukopenia, azotemia, atau
bahkan kemandulan yang lebih sering terjadi pada klien laki-laki

c. Terapi Diuretik

Jenis obat diuretik yang sering digunakan adalah furosemide


dengan kombinasi metolazone. Obat obat tersebut berguna untuk
mengurangi beberapa gejala yang biasanya ada pada klien nefrotik

10
syndrome diantaranta adalah gangguan napas, hipertensi,
hiponatrium, serta kerusakan kulit

2. Penatalaksanaan Keperawatan/ Nursing Care Management


a. Pencegahan Infeksi

Perawat serta seluruh keluarga yang menemani klien harus


memperhatikan standard precaution seperti cuci tangan, hindari
interaksi dengan klien lain yang mempunyai atau sedang terinfeksi
penyakit menular, pantau kadar leukosit/ sel darah putih, dan pantau
TTV juga perhatikan bila terjadi tanda-tanda infeksi pada kulit yang
mengalami edema

b. Mencegah Kerusakan Kulit

Kaji keadaan kulit klien secara rutin, putar posis anak secara
berkala supaya tidak mengalami penekanan pada area edema, atau
juga untuk mencegah dekubitus akibat penekanan yang lama pada
area kulit yang menonjol karena tulang seperti area tumit atau
scapula.pastikan area kulit selalu bersih serta kering untuk
menghindari tempat untuk tumbuhnya kuman/ mikroorganisme
terutama di area edema yang biasanya lembab akibat penguapan air
dan keringat dari dalam kulit. anjurkan klien untuk meenggunakan
pakaian yang menyerap keringat misalnya yang berbahan katun dan
tipis.

c. Nutrisi dan kebutuhan cairan

anak dengan nefrotik syndrome bisa jadi mengalami anorexia


yang disebabkan oleh penekanan edema area abdomen (ascites) ke
area lambung sehungga menimbulkan perasaan kenyang, oleh karena
itu perawat harus mampu melakukan modifikasi bagi klien anak
yang mengalami kesulitan makan salah satunya dengan cara
membuat tampilan makanan semenarik mungkin untuk

11
meningkatkan nafsu makan anak. Selain itum anak juga dianjurkan
makan sedikit tapi sering.

Untuk masalah cairan berikan retriksi cairan sesuai dengan


derajat edema yang dialami oleh klien karena bila klien mendapatkan
asupan cairan berlebih dikhawatirkan akan membuat cairan semakin
menumpuk didalam tubuh. Selain itu pertahankan diet rendah
natrium/ sodium, tidak hanya mengurangi makanan yang asin namun
juga orang tua mampu memilah makanan yang mengandung MSG
atau pengawet yang mengandung banyak sodium. Diet tinggi protein
juga mampu diberikan pada klien dengan kondisi ketika klien sudah
mengalami perbaikan fungsi ginjal dilihat dari keseimbangan intake
dan output.

Hal lain yang perlu diperhatikan perawat adalah pemantauan


berat badan (BB) secara rutin, memeriksa secara rutin lingkar perut
klien, memantau dan menghitung jumlah intake dan output klien
diharapkan sudah mampu seimbang sesuai ketentuan, dan
pemantauan tanda-tanda vital setiap 4 jam untuk memantau bila
terjadi syok hipovolemik akibat kurangya cairan intravaskuker

d. Anjurkan klien untuk istirahat

Klien dengan nefrotik syndrome biasanya adalah anak-anak usia


3 hingga 7 tahun yang sedang dalam fase senang bermain, namun
klien dengan nefrotik syndrome harus mengurangi aktifitasnya guna
mengefektifkan treatmen yang telah dilaksanakan. Klien dianjurkan
bedrest untuk mengurangi edema dengan lebih cepat serta mencegah
adanya peningkatan tekanan darah. Perawat harus mampu mengkaji
adanya tanda fatigue, kelemahan, atau iritable pada klien.

e. Tingkatkan support emosional

12
Kecemasan mungkin timbul pada orang tua dengan anak yang
mengalami nefrotik syndrome apalagi melihat kondisi anak yang
anasarka/ edema di sekujur tubuh, oleh karena itu perawat harus
mampu memberikan pengetahuan kepada orang tua mengenai
penyakit serta mengkaji mekanisme koping keluarga adaptif atau
tidak dengan adanya anak dengan nefrotik syndrome iini.

f. Discharge Planning

Sebelum pulang klien harus diberi tahu beberapa hal mengenai


penyakit ini seperti tanda tanda relaps atau kekambuhan, tanda tanda
eksaserbasi atau penyakit bertambah parah, cara melakukan
perawatan kulit klien terutana area yang edema, mengenai medikasi
obat-obatan serta efek samping dan cara penanggulangannya, serta
tanda kegawatan yang mengaharuskan keluarga untuk segera
mencari pertolongan tim medis

13
G. Patofisiologi

14
H. Kebutuhan cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan rumatan per hari pada anak–anak diperhitungkan sesuai
berat badannya. Anak dengan BB ≤10 kg adalah 100 mL/24 jam, untuk BB
11–20 kg adalah 1000 mL+50 mL/24 jam untuk setiap kilo gram BB antara
11–20 kg, dan untuk BB > 20 kg adalah 1500 mL+20 mL/kgBB/24 jam untuk
setiap kilogram diatas 20 kg. Pada sindroma nefrotik diperlukan pertimbangan
ada tidaknya oliguria atupun ketidak stabilan volume intravaskular, termasuk
adanya edema berat yang tidak responsif terhadap steroid dan adanya
hipertensi yang sulit terkontrol. Pada keadaan ini cairan diretriksi menjadi 400
mL/m2 body surface area (BSA) + urin out put, dilanjutkan untuk beberapa
hari sampai diuresis normal kembali.3

Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 2 g natrium per hari, meskipun
demikian pada pasien dengan edema berat, relaps ataupun dalam terapi steroid,
tidak dianjurkan menambahkan garam dalam makanan. Pada pasien tidak
sensitif steroid asupan natrium yang dianjurkan adalah 23 sampai 46
mg/kgBB/hari dengan maksimal 690 mg/hari. Pada prinsipnya tetap
disesuaikan dengan keadaan pasien, bagaimanapun makanan tanpa rasa enak
akan sulit diterima anak–anak, sehingga modifikasi pemilihan, pembuatan dan
penyajian makanan menjadi sangat penting untuk menarik perhatian dan selera
makan anak.

I. Jenis Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari atau Dapat


Dikonsumsi
Diet rendah sodium membatasi asupan sodium per hari antara 1500-2000
mg per hari[2-4]

Jenis
Makanan Harus Dihindari Dapat Dikonsumsi

Keju yang sudah


Keju diproses seperti saus keju keju keras

15
Susu rendah lemak
Puding / pai susu

Es krim

Yogurt
Susu -

Daging olahan
seperti sosis,
bakso, smoked Daging segar atau
Daging beef, kornet. beku yang belum diolah

Chicken
nuggetChicken wings siap
Daging ayam saji

Ikan dalam kemasan


seperti sarden siap saji
Ikan asin
Ikan Ikan segar

Roti tawar putih


atau roti tawar gandum
Pancake
Waffle
Roti kering yang Biskuit
Roti sudah diproses

Nasi siap saji dalam Nasi putih atau nasi


Nasi kemasan merah

Sereal gandum
Sereal - polos

16
Kentang
Keripik kentang rebusKentang goreng
Kentang dalam kemasan tanpa garam

Mi Instan
Mi telur atau mi
pabrikan lainnya
Mi Homemade pasta

Buah segar
Buah dalam kaleng

Buah beku
Buah -

Asinan sayur/acar Sayuran segar


Sayuran yang sudah Sayuran beku
diasinkan
Sayuran dalam
Jus sayuran dalam kaleng yang rendah
kemasan sodium
Sayuran

Makanan ringan
dalam kemasan
Potato chips Coklat
Popcorn Sup yang dimasak
Makanan Sup dalam kaleng sendiri tanpa garam
ringan

Garam
Monosodium Cabe bubuk
Glutamate (MSG) Bubuk kari
Bumbu

17
Olives (zaitun) Cengkeh
Barbeque sauce
Saus dan sambal Pala

botol/dalam kemasan
Lada hitam dan

Kecap putih

Mustard Cuka

Salad
Bawang putih dan
Dressing seperti
bawang putih bubuk
saus Thousand Island

Bawang bombay

Paprika

Daun salam

Daun kemangi

Mentega
Margarin

Minyak sayur

Mayonnaise
Lemak Lemak dari daging

Minuman ringan
berkarbonasi (soft drink)
Minuman Jus buah dalam Air mineral

18
kemasan

Minuman penambah
energi (energy drink)

Definisi dari Klaim Rendah Sodium Pada Kemasan Makanan

Tulisan Pada Kemasan


Makanan Definisi

Kurang dari 5 mg sodium per


Bebas sodium (sodium-free) takaran saji

Bebas garam (salt-free) Sama dengan bebas sodium

Rendah sodium (low Sama dengan atau kurang dari 140


sodium) mg sodium per takaran saji

Sangat rendah sodium (very Sama dengan atau kurang dari 35


low sodium) mg sodium per takaran saji

Paling tidak mengandung 25%


sodium yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan produk yang tidak
Reduced sodium berlabel "reduced sodium"

Mengandung 50% sodium yang


lebih rendah jika dibandingkan dengan
makanan yang memiliki lebih dari 40
kalori per takaran saji atau makanan
yang mengandung lemak lebih dari 3
Light in sodium gram per takaran saji.

Tanpa garam (Unsalted, no Garam tidak ditambahkan selama


added salt, without added salt) proses pembuatan makanan

19
J. Kasus

An. G, seorang anak laki–laki berusia tiga tahun, beragama Islam, masuk
rumah sakit pada tanggal 24 Januari 2013 dan dilakukan skrining gizi pada
tanggal 25 januari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. G
memerlukan pemantauan Tim Terapi Gizi (TTG), karena asupan yang tidak
adekuat sejak lima hari SMRS, kadar albumin < 3 g/dL (1,5 mg/dL), dan
adanya penyakit dengan stres metabolik.

Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, menyatakan


bahwa keluhan utama pasien dibawa ke RS karena bengkak seluruh tubuh.
Riwayat perjalanan penyakitnya adalah dua minggu SMRS pasien
menderitabatuk, pilek dan demam. Data obyektif diperoleh tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 120 x/menit, pernafasan 28 x/menit, suhu 36,6 0C. Pada
pemeriksaan fisik tampak kepala normosepal, rambut tipis kemerahan, edema
kedua palpebra, konjungtiva tidak anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak
hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tidak tampak iga gambang, terdapat
ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung tidak terdapat murmur ataupun
gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, shifting
dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan dan kedua kaki
edema, kapasitas fungsional mampu berjalan perlahan dan memegang botol
minum sendiri.
Hasil laboratorium Hb 11,3 mg/dL, leukositosis (11.900/μL),
hipoalbuminemia (1,5 mg/dL), natrium 141 mmol/L, kalium 5,06 mmol/L,
klorida 113 mmol/L, ureum 31 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL, dislipidemia
(trigliserida 331 mg/dL, kolesterol total 476 mg/dL, HDL 43 mg/dL, LDL 408
mg/dL), titer ASTO (-). Pada pemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh,
pH 6, berat jenis 1025, proteinuria (++), glukosa (-), darah samar (++), eritrosit
9–12/LPB, leukosit 2– 3/LPB, silinder 0–1/LPB. Pemeriksaan thorak foto
tampak gambaran bronkhopneumonia. Selama pemantauan, data laboratorium
menunjukkan perbaikan.

20
Pada pemeriksaan antropometri, TB 93 cm (P25-50) (sesuai TB anak usia
dua tahun tujuh bulan), LLA 14 cm (-1 SD > Z >-2 SD), lingkar kepala 47 cm
(P10), BB 15 kg, berat badan dua minggu sebelum sakit 12 kg, berat badan ideal
14 kg. Penentuan status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka
berdasarkan berat badan menurut tinggi badan adalah sebesar 85,7 %, kesan
gizi kurang.

K. Pertanyaan dan Jawaban

1. Apa rencana perawat dalam pemberian nutrisi untuk pasien tersebut?


Jawab: Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan
energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB). Kebutuhan energi
basal diperoleh 795,586 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET
sebesar 1000 kkal, protein 22 g, sumber protein dengan bioavailabilitas
tinggi. lemak 28 g (25%) dengan komposisi MUFA 10 %, PUFA 8 %,
dan SAFA 7 %, karbohidrat 166 g (66 %), saran pemberian mikronutrien
sesuai RDA berupa niacin (vitamin B3) 6 mg, tiamin (vitamin B1) 0,5
mg, riboflavin (vitamin B2) 0,5 mg, vitamin B6 0,5 mg, vitamin C 40
mg, vitamin D 5 μg, calsium 500 mg, zink 8,2 mg, copper 340 mcg,
vitamin K 15 μg, omega tiga sirup 3 x 1 cth.
2. Apa saja terapi farmakologik yang diberikan perawat sesuai advice
dokter?
Jawab: Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara
intra vena adalah lasix 2x20 mg dan cefotaxim 2x750 mg, secara oral
aldakton 2x6,25 mg, captopril 3x0,25 mg, prednison 3x2 tab dan
mucera sirup 3x1 sendok teh, zamel sirup 3x1 sendok teh.

3. Apa rute pemberian makanan yang diberikan dan berapa frekuensi


makanan dari RS ?

Jawab: rute pemberian nutrisi secara oral, frekuensi pemberian terbagi


dalam tiga kali makan utama dan dua kali selingan

21
4. Apa jenis makanan yang diberikan dari Rumah Sakit?

Jawab: berupa diet lunak bubur nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium
per hari dan susu formula RS.

5. Apa saja makanan minuman yang tidak boleh diberikan kepada pasien
sindrom nefrotik?
Jawab: mie instan, saus keju, olahan daging (sosis, bakso, nugget).
Minuman : jus buah dalam kemasan, minuman berenergi dan
berkarbonasi.

22
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh


proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan
hiperlipidemia.
Kebutuhan cairan rumatan per hari pada anak–anak diperhitungkan sesuai
berat badannya. Anak dengan BB ≤10 kg adalah 100 mL/24 jam, untuk BB
11–20 kg adalah 1000 mL+50 mL/24 jam untuk setiap kilo gram BB antara
11–20 kg, dan untuk BB > 20 kg adalah 1500 mL+20 mL/kgBB/24 jam untuk
setiap kilogram diatas 20 kg.
Makanan yang boleh diberikan yaitu makanan tidak mengandung garam,
daging yang masih segar (belum diolah seperti sosis, bakso dan lain-lain);
minuman yang boleh diberikan adalah air mineral. Sedangkan makanan yang
tidak boleh diberikan yaitu makanan siap saji (seperti mie instan, saus keju, dan
lain-lain), lemak dari daging; minuman yang tidak boleh diberikan seperti jus
dalam kemasan, minuman berenergi, minuman ringan berkarbonasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alataskujm, H., 2002, Pemeriksaan Laboratorium pada Penyakit Ginjal, dalam


Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P., dan Pardede, S. (Editor), Buku Ajar
Nefrologi Anak: Jakarta, Balai Penerbit FKUI, hal. 51-72.

Behrman, R. E., Kliegman., & Arvin, M. (2000). Ilmu Kesehatan Anak.


Nelson vol 2 (Editor Wahab, A. S)

Betz & Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. (Edisi 3). Alih
Bahasa jan Tamboyan Editor Sari Kurniasih. Jakarta : EGC
Smeltzer. 2002. Buku Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 2. Jakarta : EGC
Hockenberry,Marilyn and David Wilson. 2008. Wong’s Nursing care of infants
and children. Canada : Elsvier

Wilson, David, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : Buku
Kdokteran : EGC

24

Anda mungkin juga menyukai