Disusun Oleh :
MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang ASUHAN KEPERAWATAN Pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang ASUHAN KEPERAWATAN Pada
Pasien dengan Sindrom Nefrotik dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam tubuh manusia terdapat salah satu organ penting yang berkaitan erat
dengan sindrom nefrotik, yaitu ginjal. Ginjal berfungsi mengatur keseimbangan tubuh
dan mengekskresikan zat-zat yang sudah tidak berguna dan beracun jika terus berada
di dalam tubuh. Ginjal sangat penting bagi tubuh kita, karena ginjal bertugas
mempertahankan hommeostatis bio kimiawi normal dii dalam tubuh manusia, dengan
cara mengeluarkan zat sisa melalui proses filtrasi, absorbs, dan augmentasi. Pada saat
proses urinasi, bladder berkontraksi dan urin dikeluarkan melalui uretra. Tetapi
semua fungsi organ tersebut tidak luput dari adanya abnormalitas fungsi yang mana
jika hal itu terjadi dapat menyebabkan suatu masalah atau gangguan salah satunya
yaitu sindrom nefrotik (Siburian, 2013 ; Astuti 2014).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, masalah yang dapat kami kaji dalam makalah ini
diantaranya:
C. Tujuan
Tujuan penyusunan dalam askep ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Tujuan Umum
Tujuan umu dalam penyusunan askep ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
tentang konsep dasar penyakit sindrom nefrotik dan asuhan keperawatan yang
benar pada pasien dengan sindrom nefrotik.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit sindrom
nefrotik yang meliputi definisi sindrom nefrotik, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pathways, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.
b. Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar pada klien
dengan sindrom nefrotik yang meliputi pengkajian, diagosa keperawatan,
intervensi, dan evaluasi keperawatan.
D. Manfaat
BAB II
LANDASAN TEORI
B. Etiologi
Menurut pembagian berdasarkan etiologi (penyebab) dibagi menjadi:
1. Sindrom nefrotik primer yang atau disebut juga Sindrom nefrotik Idiopatik, yang
diduga ada hubungan dengan genetik, imunoligik dan alergi, Meliputi:
a. Nefropati lesi minimal (minimal change disease)
b. Nefropati membranosa
c. Glomerulo sklerosis fokal segmentral (focal segmental glomerulosclerosis)
d. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (membranoproliferative
glomerulonephritis)
2. Sindrom nefrotik sekunder yang penyebabnya berasal dari ekstra renal (diluar
ginjal). Penyebab SN sekunder adalah sangat banyak, diantaranya ialah:
a. Infeksi yang disebabkan oleh cirus hepatitis B (HBV), HIV, infeksi
streptococcal, serta endokardtitis
b. Neoplasma seperti limfoma, leukemia, serta karsinoma (karnker)
c. Obat-obatan seperti penicillamine, captropril, heroin
d. Penyakit sistemik, contohnya SLE, amiloidosis, kencing manis (Diabetes),
dll.
e. Obesitas dan penyakit-penyakit metabolic serta penyakit-penyakit
multisystem lainnya.
3. SN bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi matemofetal, Resisten
terhadap suatu pengobatan, Gejala edema pada masa neonatus, Pernah dicoba
pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi tidak berhasil. Prognosis buruk
biasanya pasien meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
C. Patofisiologi
Manifestasi primer sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma protein,
terutama albumin, ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi
albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika albumin
terus menerus hilang melalui ginjal. Akhirnya terjadi hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal menyebabkan edema. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin).
Hipotesis menunjukan kehilangan albumin mengakibatkan penurunan tekanan
onkotik dalam saluran darah. Ini mengakibatkan kebocoran cairan dari dalam darah
ke intestitium. Isi dari cairan yang berkurang dalam saluran darah seterusnya akan
mengaktifkan renin- angiotensin- aldosteron sistem. Hormon vasopresin (ADH) akan
dirembes untuk menstabilkan kandungan cairan dalam saluran darah seperti
sediakala. Meskipun demikian, pengumpulan cairan ini menyebabkan kehilangan
cairan yang terus- menerus ke interstitium karena protein terus – menerus hilang
kedalam urin diikuti dengan kerusakan pada membran basal glomerulus. Ini
menyebabkan penumpukan cairan secara berlebih dalam jaringan dan mengakibatkan
edema. Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia) hal ini menyebabkan
intake nutrisi berkurang sehingga menyebabkan terjadinya malnutrisi. Menurunnya
respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena
hipoalbuminemia, hyperlipidemia.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Urinalisa (protein, eritrosit, silinder)
a. Protein urin – meningkat
b. Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin – meningkat
2. Clearance kreatinin (BUN / SC)
3. Uji darah
a. Albumin serum – menurun
b. Kolesterol serum – meningkat
c. Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
d. Laju endap darah (LED) – meningkat
e. Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan
4. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin (Betz,
Cecily L, 2002 : 335).
F. Penatalaksanaan
1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan
tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk
mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat
badan yang cepat.
2. Diet. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/
hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi
diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan
masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif
nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan
protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak
yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan
yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit.
Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau
verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus
diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara
mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum
harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan
menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
a. Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai
efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis
pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya
sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat
dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan
hipertensi.
b. Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan sitotoksik (
imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan
imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-
merkaptopurin dan siklofosfamid.
6. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan
mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
7. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung
mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga
merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
8. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,
penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
9. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu
dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang
penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan
masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini
harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti
perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka
karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Kasus
B. Pembahasan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Mutaqqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta: Salemba Medika