Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

‘ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SINDROM

NEFROTIK’

DOSEN PENGAMPU : NS. TISA GUSMIAH, M. KEP

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

DEWI RIANTI SNR 19214014


DEWI ULTARI S SNR 19214004
MELKY SNR SNR 19214010

PROGRAM STUDI NERS REGULER B KHUSUS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH


PONTIANAK

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun selama
menempuh pendidikan dan dalam menyusun makalah yang berjudul Asuhan
Keperawatan Pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik

Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi salah satu prasyarat dari
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2 Program Studi Ners Reguler Khusus
Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) Muhammadiyah
Pontianak.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi mahasiswa/i keperawatan dalam meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan di masyarakat.

Pontianak, 22 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................1
1. Tujuan Umum.....................................................................1
2. Tujuan Khusus....................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3
A. Konsep Medik...........................................................................................3
B. Kegawatan Diabetik..................................................................................3
C. Asuhan Keperawatan Kegawatan Diabetik.............................................18
BAB III..................................................................................................................23
PENUTUP..............................................................................................................23
A. Kesimpulan..............................................................................................23
B. Saran........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Didalam tubuh manusia, terdapat salah satu organ penting yang berkaitan
erat dengan sindrom nefrotik, yaitu ginjal. Ginjal berfungsi mengatur
keseimbangan tubuh dan mengekskresikan zat-zat yang sudah tidak berguna
dan beracun jika terus berada didalam tubuh. Ginjal sangat penting bagi tubuh
kita, karena ginjal bertugas mempertahankan homeostatis bio kimiawi normal
didalam tubuh manusia, dengan cara mengeluarkan zat sisa melalui proses
filtrasi, absorbsi, dan augmentasi. Pada saat proses urinasi, bladder
berkontraksi dan urin dikeluarkan melalui uretra. Tetapi semua fungsi organ
tersebut tidak luput dari adanya abnormalitas fungsi, yang mana jika hal itu
terjadi dapat menyebabkan suatu masalah atau gangguan, salah satunya yaitu
sindrom nefrotik (Siburian, 2013; Astuti, 2014).

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang

ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m 2 luas permukaan tubuh

per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia,

lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi

menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer

glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan

oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T

diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya

peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin

serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang

mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.

4
5

Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit yang sering ditemukan di

Indonesia. Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun

diperkirakan pada anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7

kasus per tahun pada setiap 1.000.000 anak. Sindroma nefrotik tanpa disertai

kelainan-kelainan sistemik disebut Sindrom Nefrotik Primer, ditemukan pada

90% kasus Sindrom Nefrotik anak. Berdasarkan kelainan histopatologis, SN

pada anak yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal.

International Study Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan 76% SN

pada anak adalah kelainan minimal. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai

bagian dari penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka

disebut sindroma nefrotik sekunder. Insiden sindroma nefrotik primer ini 2

kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan

angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio

antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri

menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang

dari lima tahun.

Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi

minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental,

glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder sangat

banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit

multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit

herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis

arteri renalis, obesitas massif.


6

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).Pada

anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-

85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat

dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling

banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan

perbandingan laki-laki dan wanita 2:1. Kejadian SN idiopatik 2-3

kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom

nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes

mellitus. Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau

melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum

memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN

dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah

terapi dihentikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulis yang telah dikemukakan
sebelumnya maka penulis menetapkan sebuah rumusan masalah sebagai
berikut : “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Sindrom
Nefrotik?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penulisan ini memiliki tujuan umum yaitu mengetahui Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
kerusakan glomerulus karena ada peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan edema (Betz & Sowden, 2009). Sindrom nefrotik adalah
penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013). Sindrom nefrotik
merupakan keadaan klinis yang meliputi proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperlipemia dan edema (Wong, 2008).
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong,
2004).

Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh


injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari


proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).

Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang mengenai glomerulus


(ginjal terdiri dari tubulus, glomerulus dll.) dan ditandai proteinuria (keluarnya
protein melalui air kencing) yang masif, hipoalbuminemia (kadar albumin di
dalam darah turun), edema (bengkak) disertai hiperlipid emia (kadar lipid atau
lemak dalam darah meningkat) dan hiperkolesterolemia (kadar kolesterol
8

darah meningkat) jadi untuk memastikannya perlu pemeriksaan laboratorium.


Sindroma nefrotik biasanya menyerang anak laki-laki lebih sering dari pada
anak perempuan dengan perbandigan 2 berbanding 1 dan paling banyak pada
umur 2 sampai 6 tahun.

Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala)


yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan
menyebabkan:

- proteinuria (protein di dalam air kemih)

- menurunnya kadar albumin dalam darah

- penimbunan garam dan air yang berlebihan

- meningkatnya kadar lemak dalam darah.

Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan


bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala yang terjadi
pada anak dengan karakteristik proteinuria massif hipoalbuminemia,
hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema dan hiperkolestrolemia.
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria
masif, edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.

B. Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), Penyebab Sindrom nefrotik yang
pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu suatu reaksi antigen antibody. Umumnya etiologi dibagi
menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi
maternofetal. Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala edema pada
masa neonatus. Pernah dicoba pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal pada
bulan-bulan pertama kehidupannya.
9

2. Sindrom nefrotik sekunder Disebabkan oleh :


a. Malaria quartana atau parasit lainnya
b. Penyakit kolagen seperti SLE, purpura anafilaktoid
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena
renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun otak, air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrane
proliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom Nefrotik Idiopatik
Adalah Sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya
atau juga disebut sindrom nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis
yang tampak pada biopsy ginjal dengan pemeriksaan mikroskopi biasa dan
mikroskopi electron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu kelainan
minimal, nefropati membranosa, glomerulonefritis proliferatif,
glomerulosklerosis fokal segmental.

C. Patofisiologi
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan
merupakan pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.
1. Proteinuria
Ekskresi protein yang berlebihan akibat terjadi peningkatan filtrasi protein

glomerulus karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus

terhadap serum protein, umumnya protein plasma dengan BM rendah

seperti albumin, transferin diekskresi lebih mudah dibanding protein

dengan BM yang lebih besar seperti lipoprotein. Clearance relative plasma

protein yang berbanding terbalik dengan ukuran atau berat molekulnya

mencerminkan selektivitas proteinuria. Faktor-faktor yang menentukan

derajat proteinuria:
10

a. Besar dan bentuk molekul protein

b. Konsentrasi plasma protein

c. Struktur dan faal integritas dinding kapiler glomerulus

d. Muatan ion membrane basalis dan lapisan epitel

e. Tekanan dan aliran intra glomerulus

2. Hipoalbuminemi

Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan

peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati

biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan

albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

3. Hiperlipidemi

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density

lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density

lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini

disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme

di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan

intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis

lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan

tekanan onkotik.

4. Lipiduri
11

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.

Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis

glomerulus yang permeabel. 

5. Edema

Walaupun edema hampir selalu ditemukan untuk beberapa waktu dalam

perjalanan penyakit dan merupakan tanda yang mendominasi pola klinis,

namun merupakan tanda yang paling variabel diantara gambaran

terpenting sindrom nefrotik.

a. Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan

konsentrasi albumin serum yang bertanggungjawab terhadap

peergeseran cairan ekstraselular dari compartment intravaskuler ke

dalam intertisial dengan timbulnya edema dan penurunan volume

intravaskuler.

b. Penurunan nyata ekskresi natrium kemih akibat peningkatan reabsorbsi

tubular.mekanisme meningkatnya reabsorbsi natrium tidak dimengerti

secara lengkap tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume

intravascular dan tekanan koloid osmotic. Terdapat peningkatan ekresi

renin dan sekresi aldosteron.

c. Penurunan tekanan koloid osmotic plasma dan retensi seluruh natrium

yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema

pada sindrom nefotik, agar timbul edema harus ada retensi air.

Tonisitas normal ini dipertahankan melalui sekresi hormon antidiuretik

yang menyebabkan reabsorbsi air dalam tubuli distal dan duktus


12

koligens serta pembentukan kemih hipertonik atau pekat. Hal ini

mungkin merupakan penjelasan mendasar retensi air pada sebagian

besar nefrotik anak, seperti yang ditunjukkan dari pengamatan

pengurangan nyata masukan natrium ternyata tidak memerlukan

pembatasan masukan air sebab kemampuan ekskresi air tidak biasanya

mengalami gangguan yang berarti. Retensi garam dan air pada pasien

nefrotik dapat dianggap sebagai suatu respons fisiologis terhadap

penurunan tekanan onkotik plasma dan hipertonisitas, tidak dapat

mengkoreksi penyusutan volume intravascular, sebab cairan yang

diretensi akan keluar keruang

6. Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C

dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V,

VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,

perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX,

XI).  

7. Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat

ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan

peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti

Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi

gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni

dan peritonitis.
13

Sindrom Nefrotik Bawaan,


D. Pathway Sindrom Nefrotik Sekunder,
Sindrom Nefrotik Idiopatik

Dinding kapiler glomerulus


kehilangan muatan negatif
glikoprotein

Permeabilitas glomerolus ↑

Kenaikan filtrasi plasma protein

Kenaikan reabsorbsi plasma protein Albuminuria/proteinuria

Katabolisme Beban kerja Hipoalbuminemia


albumin ginjal ↑

Tubuh ke- Kerusakan sel ↓ Tekanan onkotik Kenaikan sintesis protein


kurangan protein tubulus plasma intravaskuler dalam sel hepar

Malnutrisi Gagal ginjal Transudasi Cairan Hipokolestrolemia


melalui dinding
pembuluh darah
Kwashiokor keruang interstitial Lipiduria

Gangguan nutrisi kurang
Volume intravaskuler ↓ Kelebihan volume
dari kebutuhan tubuh
Intersisial

Kerusakan ginjal Perfusi ginjal ↓


Resiko kekurangan
volume cairan

Pelepasan ADH Pengaktifan system renin-


angiotensi-aldosteron

Reabsorbsi dalam
ductus kolektivus
Reabsorbsi natrium
ditubulus ginjal

Edema
14

Edema

Permiabilitas Pinggang Perut Tungkai bawah Paru

Acites Efusi pleura

Resiko infeksi Ekspansi paru tidak


maksimal

Peritonitis
Suplai O2 ↓
Nyeri akut

Intolerasnsi aktivitas Hipoksia

Resiko tinggi kerusakan


integritas kulit

E. Tanda dan Gejala


Adapun manifestasi klinis menurut Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 2 (2001),
manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya lunak dan
cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan di sekitar mata
(periorbital), pada area ekstremitas (sekrum, tumit, dan tangan), dan pada
abdomen (asites). Gejala lain seperti malese, sakit kepala, iritabilitas dan
keletihan umumnya terjadi.
15

(Sumber: Irapanussa, 2015) (Sumber: nursingbegin.com, 2010)

(Sumber: ujeuji.blogspot.co.id) (Sumber: pakarobatherbal.com)

F. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak ditentukan dengan hanya
penampilan klinis. Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui
beberapa pemeriksaan penunjang berikut yaitu urinalisis, pemeriksaan
sedimen urin, pengukuran protein urin, albumin serum, pemeriksaan serologis
untuk infeksi dan kelainan immunologis, USG renal, biopsi ginjal, dan darah,
dimana :
1. Urinalisis
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri ) yang terjadi
dalam 24-48 jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang
dari 1,020 menunjukkan penyakit ginjal. Protein urin meningkat (nilai
normal negatif). Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik.
Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat, 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
2. Pemeriksaan sedimen urin
16

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel


sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.
3. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single
spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24
jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya.
Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah
dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan
pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
4. Albumin serum
kualitatif : ++ sampai ++++
kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen
ESBACH)
5. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
6. USG renal: Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
7. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia >
8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak
diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.
Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing
tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk
membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan
glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon
yang lebih baik terhadap steroid. Prosedur ini digunakan untuk
mengambil sampel jaringan pada ginjal yang kemudian akan diperiksa di
laboratorium. Adapan prosedur biopsi ginjal sebagai berikut :
a. Peralatan USG digunakan sebagai penuntun. USG dilakukan oleh
petugas radiologi untuk mengetahui letak ginjal.
17

b. Anestesi (lokal).
c. Jarum (piston biopsi). Apabila tidak ada piston biopsi dapat
menggunakan jarum model TRUCUT maupun VIM SILVERMAN.
d. Tempat (pool bawah ginjal, lebih disukai disukai ginjal kiri).
e. Jaringan yang didapatkan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
untuk pemeriksaan mikroskop cahaya & imunofluoresen.
f. Setelah biopsi.
1) Berikan pasien tengkurap + - sejam, tetapi apabila pada posisi
tengurap pasien mengalami sejas nafas maka biopsi dilakukan
pada posisi duduk
2) Anjurkan untuk minum banyak
3) Monitor tanda-tanda vital terutama tekanan darah, & lakukan
pemeriksaan lab urin lengkap.
g. Apabila tidak terdapat kencing darah (hematuria) maka pasien
dipulangkan. Biasanya untuk pada pasien yang beresiko rendah, pagi
biopsi sore pulang (one day care ).
8. Darah
Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium
meningkat tapi biasanya bervariasi, kalium meningkat sehubungan
dengan retensi dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran
jaringan (hemolisis sel darah nerah). Penurunan pada kadar serum dapat
menunjukkan kehilangan protein dan albumin melalui urin, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan
asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun :
kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pada pemeriksaan kimia darah
dijumpai Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin menurun
(N:4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2
globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-0,9
gm/100ml), γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml), rasio
albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120
mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
18

(Sumber: Siburian, 2013)

G. Penatalaksanaan Medis
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit.

2. Dietetik

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap

kontra indikasi karena kana menambah beban glomerulus untuk

mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan

terjadinya skerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal

sesuai dengan RDA (Recommended Dailiy Allowances) yaitu 2-3

gram/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan mallnutrisi energi

protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2

gram/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema

3. Diuretikum

Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan

loop diuretik seperti furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila diperlukan

dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik

hamat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari

1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan

natrium).

Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema

refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia

berat (kadar albumin ≤1gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25%

denagn dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari


19

jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-

2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan

plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit

untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila

diperlukan albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari untuk

memberrikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan

4. Antibiotika profilaksis

Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan

antibiotik profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari,

sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian

antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila

ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik

5. Pengobatan dengan Kortikosteroid

a. Pengobatan inisial

Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseasein

Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison

dosis penuh (full dose) 60 mg/m 2LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari

(maksimal 80mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi.

Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan

terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama

4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah

terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan

steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka


20

pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis

40mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1

kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan

steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai

resisten steroid.

b. Pengobatan relaps

Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)

dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada

SN yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema,

sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari

pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi

diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik

kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan

relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema,

maka didiagnosis sebagai relaps.

Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan

inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit

selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama

pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa

golongan:

 Tidak ada relaps sama sekali (30%)

 Dependen steroid.

 Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)


21

 Relaps jarang : jumlah relaps

c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen

steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,

diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan

perlahan / bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak

menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis

ini disebut dosis threshold dan dapat diterukan selama 6-12 bulan,

kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison

rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.

Bila ditemukan keadaan dibawah ini:

 Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau

 Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis,

sepsis.

Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal,

selama 8-12 minggu.

d. Pengobatan SN resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS

dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi

ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi

prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik

bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat


22

juga diberikan Siklosporin (CyA), metil prednisolon puls, dan obat

imunosupresif lain

H. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi pada penderita Sindrom Nefrotik, yaitu:

1. Kelainan Koagulasi dan Tendensi Trombosis

Beberapa kelainan koagulasi dan sistem fibrinolitik banyak ditemukan

pada pasien SN. Angka kejadian terjadinya komplikasi tromboemboli pada

anak tidak diketahui namun lebih jarang daripada orang dewasa. Diduga

angka kejadian komplikasi ini sebesar 1,8 % pada anak. Pada orang

dewasa umunya kelainannya adalah glomerulopathi membranosa (GM)

suatu kelainan yang sering menimbulkan trombosis. Secara ringkas

kelainan hemostasis SN dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda:

a. Peningkatan permeabilitas glomerulosa mengakibatkan :

 meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin

seperti anti thrombin III, protein S bebas, plasminogen dan anti

plasmin.

 Hipoalbunemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan

A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia

dan tertekannya fibrinolisis.

b. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor

jaringan monosit dan oleh paparan matrik subendotel pada kapiler

glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan

agregasi trombosit.
23

2. Kelainan Hormonal dan Mineral

Gangguan timbul karena terbuangnya hormone-hormon yang terikat pada

protein. Thyroid binding globulin umumnya berkaitan dengan proteinuria.

Hipokalsemia bukan hanya disebabkan karena hipoalbuminemia saja,

namun juga terdapat penurunan kadar ionisasi bebas, yang berarti terjadi

hiperkalsiuria yang akan membaik bila proteinuria menghilang. Juga

terjadi penurunan absorpsi kalsium dalam saluran cerna yang terlihat

dengan adanya ekskresi kalsium dalam feses yang sama atau lebih besar

dari intake. Adanya hipokalsemia, hipokalsiuria dan penurunan absorpsi

kalsium dalam saluran cerna diduga karena adanya kelainan

metabolismevitamin D. Namun demikian, karena gejala-gejala klinik

berupa gangguan tulang jarang dijumpai pada anak, maka pemberian

vitamin D rutin tidak dianjurkan.

3. Ganggguan Pertumbuhan dan Nutrisi

Sejak lama diketahui bahwa anak-anak dengan sindrom nefrotik

mengalami gangguan pertumbuhan. Ganguan pertumbuhan pada anak

dengan sindrom nefrotik adalah disebabkan karena malnutrisi protein

kalori, sebagai akibat nafsu makan yang berkurang, terbuangnya protein

dalam urin, malabsorbsi akibat sembab mukosa saluran cerna serta

terutama akibat terapi steroid. Terapi steroid dosis tinggi dalam waktu

lama menghambat maturasi tulang, terhentinya pertumbuhan tulang linear

dan menghambat absorbsi kalsium dalam intestinum, terutama bila dosis

lebih besar dari 5 mg/m/hari. Kortikosteroid mempunyai efek antagonis


24

terhadap hormone pertumbuhan endogen dan eksogen dalam jaringan

perifer melalui efek somatomedin. Cara pencegahan terbaik adalah dengan

menghindari pemberian steroid dosis tinggi dalam waktu lama serta

mencukupi intake kalori dan protein serta tidak kalah pentingnya adalah

juga menghindari stress psikologik.

4. Infeksi

Kerentanan terhadap infeksi meningkat karena rendahnya kadar

immunoglobulin, defisiensi protein, defek opsonisasi bakteri, hipofungsi

limpa dan terapi imunosupresan. Kadar Ig G menurun tajam sampai 18 %

normal. Kadar Ig M meningkat yang diduga karena adanya defek pada

konversi yang diperantarai sel T pada sintesis Ig M menjadi Ig G. defek

opsonisasi kuman disebabkan karena menurunnya faktor B ( C3

proactivator) yang merupakan bagian dari jalur komplemen alternatif yang

penting dalam opsonisasi terhadap kuman berkapsul, seperti misalnya

pneumococcus dan Escherichia coli. Penurunan kadar faktor B ( BM

80.000 daltons ) terjadi karena terbuang melalui urine. Anak-anak dengan

sindrom nefrotik berisiko menderita peritonitis dengan angka kejadian 5

%. Kuman penyebabnya terutama Streptococcus pneumoniae dan kuman

gram negatif. Infeksi kulit juga sering dikeluhkan. Tidak dianjurkan

pemberian antimikroba profilaksis.

5. Anemia

Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer, anemia yang khas defisiensi

besi, tetapi resisten terhadap terapi besi. Sebabnya adalah meningkatnya


25

volume vaskuler, hemodilusi dan menurunnya kadar transferin serum

karena terbuang bersama protein dalam urine.

6. Gangguan Tubulus Renal

Hiponatremia terutama disebabkan oleh retensi air dan bukan karena

defisit natrium, karena meningkatnya reabsorbsi natrium di tubulus

proksimal dan berkurangnya hantaran Na dan H2O ke pars asenden Ansa

Henle. Pada anak dengan sindrom nefrotik terjadi penurunan volume

vaskuler dan peningkatan sekresi renin dan aldosteron sehingga sekresi

hormone antidiuretik meningkat. Angiotensin II meningkat akan

menimbulkan rasa haus sehingga anak akan banyak minum meskipun

dalam keadaan hipoosmolar dan adanya defek ekskresi air bebas.

Gangguan pengasaman urine ditandai oleh ketidakmampuan manurunkan

pH urine setelah pemberian beban asam. Diduga defek distal ini

disebabkan oleh menurunnya hantaran natrium ke arah asidifikasi distal.

Keadaan tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian furosemide yang

meningkatkan hantaran ke tubulus distal dan menimbulkan lingkaran

intraluminal yang negatif yang diperlukan agar sekresi ion hydrogen

menjadi maksimal. Disfungsi tubulus proksimal ditandai dengan adanya

bikarbonaturia dan glukosuria. Disfungsi tubulus proksimal agak jarang

ditemukan.

7. Gagal Ginjal Akut

Dapat terjadi pada sindrom nefrotik kelainan minimal atau

glomerulosklerosis fokal segmental dengan gejala-gejala oliguria yang


26

resisten terhadap diuretik. Dapat sembuh spontan atau dialysis.

Penyebabnya bukan karena hipovolemia, iskemi renal ataupakibat

perubahan membran basal glomerulus, tetapi adalah karena sembab

interstitial renal sehingga terjadi peningkatan tekanan tubulus proksimal

yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Adanya gagal

ginjal akut pada sindrom nefrotik harus dicari penyebabnya. Apakah

bukan karena nefritis interstitial karena diuretic, nefrotoksik bahan kontras

radiologi, nefrotoksik antibiotik atau nefritis interstitial alergi karena

antibiotik atau bahan lain.

I. Asuhan Keperawatan Sindrom Nefrotik


1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Klien
 Umur: Lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-
sekolah (3-6 th). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem
imunitas tubuh dan kelainan genetik sejak lahir.
 Jenis kelamin: Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan
anak perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur
anak 3-6 tahun terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak
berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan
ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama daerah genital.
Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan
kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat
memicu terjadinya infeksi.
 Agama
 Suku/bangsa
 Status
27

 Pendidikan
 Pekerjaan
b. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan
hubungannya dengan klien.
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: Kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik,
perut membesar (adanya acites)
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu
menanyakan hal berikut:
3) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
4) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai
dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah
5) Kaji adanya anoreksia pada klien
6) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Perawat perlu mengkaji:
1) Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
2) Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan
penyakit hipertensi pada masa sebelumnya?
3) Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang
memicu timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
f. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
1) Pola nutrisi dan metabolisme: Anoreksia, mual, muntah.
2) Pola eliminasi: Diare, oliguria.
3) Pola aktivitas dan latihan: Mudah lelah, malaise
4) Pola istirahat tidur: Susah tidur
28

5) Pola mekanisme koping :  Cemas, maladaptif
6) Pola persepsi diri dan konsep diri : Putus asa, rendah diri
g. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
2) Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
3) Kesadaran: biasanya compos mentis
4) TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
5) Pemeriksaan sistem tubuh
a) B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan
jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan
terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan
adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan
respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b) B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder
dari peningkatan beban volume.
c) B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat
parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
d) B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna
kola
e) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
Didapatkan asites pada abdomen.
f) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek
sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum
29

h. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria,
terutama albumin. Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya
permeabilitas membran glomerulus.

(Astuti, 2014; Munandar, 2014)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologis (hipoproteinemia) dan kurang
asupan makanan (anoreksia)
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit (edema)
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mokus
dengan jumlah berlebihan (efusi pleura)
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penekanan tubuh terlalu dalam akibat edema
f. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan nafas tidak
adekuat
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
h. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi
jantung
3. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan &


Intervensi Rasional
Dx. Keperawatan Kriteria Hasil
1. Kelebihan Setelah Timbang berat badan Estimasi penurunan
volume cairan dilakukan setiap hari dan monitor edema tubuh
berhubungan tindakan status pasien
dengan keperawatan
gangguan selama … x 24
valuasi harian
mekanisme jam, Jaga intake/asupan yang
30

regulasi diharapkan akurat dan catat output keberhasilan terapi


kelebihan dan dasar penentuan
volume cairan tindakan
tidak terjadi
dengan kriteria Kaji lokasi dan luasnya menentukan
hasil : edema intervensi lebih
a. Terjadi lanjut
penurunan
edema dan Berikan cairan dengan mencegah edema
ascites tepat bertambah parah
b. Tidak
terjadi Berikan diuretik yang Diberikan dini
peningkata diresepkan oleh dokter pada fase
n berat oliguria untuk meng
badan (NIC, 2013) ubah ke fase
nonoliguria, dan
meningkatkan
volume urine
adekuat
2. Ketidakseimba Setelah Monitor kalori dan Membantu dan
ngan nutrisi dilakukan asupan makanan mengidentifikasi
kurang dari tindakan defisiensi dan
kebutuhan keperawatan kebutuhan diet
tubuh selama … x 24
berhubungan jam, Lakukan atau bantu Mulut yang bersih
dengan faktor diharapkan pasien terkait perawatan dapat meningkatkan
biologis ketidakseimba mulut sebelum makan nafsu makan
(hipoproteinem ngan nutrisi
ia) dan kurang kurang dari Pastikan makanan Meningkatkan selera
asupan kebutuhan disajikan secara dan nafsu makan
makanan tubuh tidak menarik dan pada suhu
31

(anoreksia) terjadi, dengan yang paling cocok


kriteria hasil : untuk konsumsi secara
a. Nafsu optimal
makan
klien Anjurkan pasien terkait Pasien dapat
meningkat dengan kebutuhan diet kooperatif dan
b. Tidak untuk kondisi sakit melakukan apa yang
terjadi dianjurkan
hipoprotein Kolaborasi dengan ahli
emia gizi untuk mengatur Diet yang tepat dapat
c. porsi diet yang diperlukan meningkatkan status
makan (NIC, 2013) nutrisi pasien
yang
dihidangka
n
dihabiskan
3. Gangguan citra Setelah Monitor apakah anak Mengidentifikasi
tubuh dilakukan bisa melihat bagian respon anak terhadap
berhubungan tindakan tubuh mana yang perubahan tubuhnya
dengan keperawatan berubah
penyakit selama … x 24
(edema) jam, Identifikasi strategi- Respon orangtua
diharapkan strategi penggunaan menentukan
gangguan citra koping oleh orangtua bagaimana persepsi
tubuh dapat dalam berespon anak terhadap
teratasi, terhadap perubahan tubuhnya
dengan kriteria penampilan anak
hasil :
a. Citra tubuh Bangun hubungan Memudahkan
positif saling percaya dengan komunikasi personal
b. Mendeskri anak dengan anak
32

pisikan
secara Gunakan gambaran Mekanisme evaluasi
faktual mengenai gambaran diri dari persepsi citra
perubahan diri anak
fungsi
tubuh Ajarkan untuk melihat Membantu
c. Mempertah pentingnya respon meningkatkan citra
ankan mereka terhadap tubuh anak
interaksi perubahan tubuh anak
sosial dan penyesuaian di
masa depan, dengan
cara yang tepat.
(NIC, 2013)

4. Ketidakefektif Setelah Monitor respirasi dan Data dasar dalam


an bersihan dilakukan status O2 menentukan
jalan nafas tindakan intervensi lebih
berhubungan keperawatan lanjut
dengan mukus selama … x 24
Auskultasi suara nafas.
dengan jumlah jam, Suara nafas
Catat adanya suara
berlebihan diharapkan tambahan
nafas tambahan
(efusi pleura) bersihan jalan mengidentifikasikan
nafas dapat ada sumbatan dalam
efektif, dengan jalan nafas
kriteria hasil :
Atur intake untuk
a. Klien Mencegah edema
cairan
mampu bertambah parah
bernafas
Posisikan pasien
dengan Memaksimalkan
semifowler
mudah ventilasi
Lakukan fisioterapi
b. Mampu Membantu
dada jika perlu
mengidenti mengeluarkan sekret
33

fikasi dan (NIC, 2013)


mencegah
faktor yang
dapat
menghamb
at jalan
nafas
5. Ketidakefektif Setelah Monitor denyut dan Mengetahui kelainan
an perfusi dilakukan irama jantung jantung
jaringan tindakan
perifer keperawatan Ukur intake dan outtake Mengetahui
berhubungan selama … x 24 cairan kelebihan atau
dengan jam, kekurangan
penekanan diharapkan
tubuh terlalu perfusi Berikan oksigen sesuai Meningkatkan
dalam akibat jaringan kebutuhan perfusi
edema perifer efektif,
dengan kriteria Lakukan perawatan Menghindari
hasil : kulit, seperti pemberian gangguan integritas
a. Waktu lotion kulit
pengisian
kapiler < 3 Hindari terjadinya Mempertahankan
detik palsava manuver seperti pasukan oksigen
b. Tekanan mengedan, menahan
sistol dan napas, dan batuk
diastol (NIC, 2013)
dalam
rentang
yang
diharapkan
c. Tingkat
34

kesadaran
membaik
6. Ketidakefektif Setelah Monitor jumlah Mengetahui status
an pola nafas dilakukan pernapasan, pernapasan
berhubungan tindakan penggunaan otot bantu
dengan nafas keperawatan pernapasan, batuk,
tidak adekuat selama … x 24 bunyi paru, tanda vital,
jam, warna kulit, AGD
diharapkan
pola nafas Berikan oksigen sesuai Mempertahankan
dapat efektif, program oksigen arteri
dengan kriteria
hasil : Atur posisi pasien Meningkatkan
a. Pasien fowler pengembangan paru
dapat
mendemon Alat-alat emergensi Kemungkinan terjadi
strasikan disiapkan dalam kesulitan bernapas
pola keadaan baik akut
pernapasan (NIC, 2013)
yang
efektif
b. Pasien
merasa
lebih
nyaman
dalam
bernafas
7. Intoleransi Setelah Monitor keterbatasan Merencanakan
aktivitas dilakukan aktivitas, kelemahan intervensi dengan
berhubungan tindakan saat aktivitas tepat
dengan keperawatan
35

kelemahan selama … x 24 Catat tanda vital Megkaji sejauh mana


umum jam, sebelum dan sesudah perbedaan
diharapkan aktivitas peningkatan selama
intoleran aktivitas
aktivitas dapat
teratasi, Lakukan istirahat yang Membantu
dengan kriteria adekuat setelah latihan mengembalikan
hasil : dan aktivitas energi
a. Kelemahan
yang Berikan diet yang Metabolisme
berkurang adekuat dengan membutuhkan energi
b. Mempertah kolaborasi ahli diet
ankan (NIC, 2013)
kemampua
n aktivitas
semaksima
l mungkin
8. Penurunan Setelah Kaji suara nafas dan Data dasar dalam
curah jantung dilakukan suara jantung menentukan
berhubungan tindakan intervensi lebih
dengan keperawatan lanjut
perubahan selama … x 24
frekuensi jam, Ukur CVP pasien Mengetahui
jantung diharapkan kelebihan atau
curah jantung kekurangan cairan
mengalami tubuh
peningkatan,
dengan kriteria
hasil : Monitor aktivitas pasien Mengurangi
a. Menunjukk kebutuhan oksigen
an curah
36

jantung Monitor saturasi Mengetahui


yang oksigen manifestasi
memuaska penurunan curah
n jantung
dibuktikan
oleh Kolaborasi pemberian Mengejan dapat
efektifitas laksatif memperparah
pompa penurunan curah
jantung, (NIC, 2013) jantung
status
sirkulasi,
perfusi
jaringan,
dan status
TTV
b. Tidak ada
edema
paru,
perifer, dan
asites

4. Implementasi Keperawatan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 2011).
5. Evaluasi Keperawatan
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom
nefrotik diharapkan sebagai berikut :
a. Kelebihan volume cairan teratasi
b. Meningkatnya asupan nutrisi
37

c. Meningkatnya citra tubuh


d. Bersihan jalan nafas efektif
e. Perfusi jaringan perifer efektif
f. Pola nafas efektif
g. Aktivitas dapat ditoleransi
h. Curah jantung mengalami peningkatan
8.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nefrotik sindrom adalah gangguan klinik yang ditandai dengan


peningkatan protein urine (proteinuria), edema, penurunan albumin dalam
darah (hipoalbuminemia), dan kelebihan lipid dalam darah
(hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh kelebihan pecahan plasma
protein ke dalam urine karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
glomerulus. (dr. Nursalam, dkk. 2009). Penyebab sindrom nefrotik dibagi
menjadi dua menurut Muttaqin, 2012 adalah primer, yaitu berkaitan
dengan berbagai penyakit ginjal, dan sekunder, yaitu yang diakibatkan
infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain.

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama


adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan
berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadinya
proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia.
Dengan menurunya albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga
cairan intravascular berpindah ke dalam intertisial. Pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis yaitu urinalisis, pemeriksaan sedimen urin,
pengukuran protein urin, albumin serum, pemeriksaan serologis untuk
infeksi dan kelainan immunologis, USG renal, biopsi ginjal, dan darah.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih
terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta kejanggalan baik dalam
penulisan maupun dalam pengonsepan materi. Untuk itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepan lebih baik
dan penulis berharap kepada semua pembaca mahasiswa khususnya, untuk
lebih ditingkatkan dalam pembuatan makalah yang akan datang.

38
39

DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda Nurarif, S.Kep., Ns., dan Hardhi Kusuma S.Kep., Ns. 2015. Aplikasi

Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC

NOC Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta: MediAction

Bulechek, Gloria, dkk. 2013. Nursing Intervensions Classification (NIC) Edisi

Bahasa Indonesia, Edisi Keenam. Mosby: Elsevier Inc.

2010. Askep Sindrom Nefrotik. http:// (diakses pada tanggal 22 September 2020)

Munandar, Riza. Asuhan Keperawatan pada Kasus Sindrom Nefrotik. 2014.

http:// (diakses pada tanggal 22 September 2020)

NANDA Internasional Inc. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi

2015-2017, Edisi 10. Jakarta: EGC.

Siburian, Apriliani. 2013. ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN ANAK


KESEHATAN MASYARAKAT PADA PASIEN SINDROM NEFROTIK DI
LANTAI 3 SELATAN RSUP FATMAWATI.
http://www.google.com/lib.ui.ac.id (Diunduh pada tanggal 22 September
2020)

Wati, Nur Ekma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.A DENGAN

GANGGUAN SISTEM NEFROLOGI : SINDROMA NEFROTIK

DI RUANG MINA RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA. http://


(Diunduh pada tanggal 22 September 2020)

Anda mungkin juga menyukai