Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

ASUHAN KEPERAWATAN IBU HAMIL DAN PERSALINAN DENGAN


HIV/AIDS

Dosen Pengampu : Ns. SYAHID AMRULLAH, M. Kep

Di susun oleh :
Agus Joko Prasetyo NIM.19214001
Riana Barita B NIM.19214002
Eristia Novarianda NIM.19214003
Dewi Ultari Srimentari NIM.19214004
Astika NIM. 19204007

S1 KEPERAWATAN REGULER B KHUSUS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH


PONTIANAK

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...............................................................................4
B. TUJUAN PENULISAN............................................................................5
1. Tujuan Umum............................................................................................5
2. Tujuan Khusus...........................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI.................................................................................................6
A. KONSEP PENYAKIT HIV/AIDS............................................................6
1. Pengertian..................................................................................................6
2. Klasifikasi..................................................................................................7
3. Etiologi......................................................................................................8
4. Tanda dan Gejala.......................................................................................8
5. Patofisiologi...............................................................................................9
6. Penatalaksanaan medis............................................................................10
B. CARA PENULARAN.............................................................................12
C. PROGRAM PREVENTION OF MOTHER TO CHILD
TRANSMISSON (PMTCT)...............................................................................16
1. Pengertian................................................................................................16
2. Tujuan, Sasaran dan Stategi Program PMTCT.......................................16
3. Bentuk – Bentuk Intervensi PMTCT.......................................................17
4. Kebijakan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi........................20
5. Jalinan Kerjasama Kegiatan PMTCT antara Sarana Kesehatan dan
Organisasi Masyarakat....................................................................................30
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN................................................33
1. Pengkajian Keperawatan.........................................................................33
2. Diagnosa Keperawatan............................................................................36
3. Intervensi Keperawatan...........................................................................36
BAB III..................................................................................................................41
PENUTUP..............................................................................................................41
A. KESIMPULAN.......................................................................................41
B. SARAN...................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................43
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus golongan RNA


yang secara spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia
menyebabkan AIDS. HIV positif ialah orang yang telah terinfeksi virus HIV
dan tubuh telah membentuk antibodi (zat anti) terhadap virus tersebut.
Mereka berpotensi sebagai sumber penularan bagi orang lain. AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala klinis akibat
penurunan system imun yang timbul akibat infeksi HIV. AIDS sering
bermanifestasi dengan munculnya berbagai penyakit infeksi opportunistik,
keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya. HIV adalah penyebab utama
kematian wanita usia reproduksi di seluruh dunia dan merupakan penyebab
kematian bayi. Sehingga pentingnya PPIA sebagai pintu gerbang untuk
pencegahan HIV, pengobatan, perawatan dan layanan dukungan seluruh
keluarga (Brou et al., 2007).

Penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu kondisi


klinis oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pada
kebanyakan kasus infeksi HIV menyebabkan Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS). Penyakit AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat
terbesar di dunia dewasa ini. Penyakit ini terdapat hampir di semua negara di
dunia tanpa kecuali termasuk Indonesia (Irianto, 2014).

Menurut Betancourt et al (2010) bahwa 2/3 ibu HIV positif yang hamil
di negara berkembang tidak memiliki akses pada pengobatan untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke bayi (mother-to-child HIV transmission/MTCT).
Masalah tersebut mengakibatkan 370.000 kasus HIV baru di antara bayi
setiap tahun. Diantara 1,5 juta ibu hamil yang HIVpositif setiap tahun di
negara berkembang, hanya kurang lebih sepertiganya menerima terapi
pemberian ARV selama kehamilan, pertolongan persalinan dengan Caesar,
pemberian susu formula pada bayi yang dilahirkan dan kebanyakan upaya itu
tidak sesuai karena ketidakpatuhan ibu hamil yang mengidap HIV tersebut
sehingga tidak berhasil mencegah MTCT (Agadjanian dan Hayford, 2009).

Risiko penularan HIV sebenarnya tidak hanya berbatas pada sub


populasi perilaku yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga pada pasangan
atau istrinya, bahkan anaknya. Tanpa upaya khusus, diperkirakan pada akhir
tahun 2016 akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari
26.997 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Para ibu ini
sebagian besar tertular dari suaminya (Kemenkes RI, 2013).

Mengetahui status HIV secara dini pada waktu hamil sangat bermanfaat
untuk perempuan khususnya ibu hamil dan bayinya. Kemampuan perempuan
untuk mengatasi kesehatan dan kehidupan sendri perlu ditingkatkan bila dia
mengetahui dirinya HIV-positif, ibu dapat mencegah terjadinya penularan
pada bayinya.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Tujuan umum pada makalah ini adalah untuk memberikan gambaran


tentang asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tentang konsep penyakit HIV/AIDS.


b. Mengetahui bagaimana cara penularan HIV/AIDS pada ibu hamil.
c. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan
HIV/AIDS.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP PENYAKIT HIV/AIDS

1. Pengertian
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang
menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau
merusak fungsinya. Setelah infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh
menjadi lemah, dan pengidap nya menjadi lebih rentan terhadap infeksi
(Nasution et al., n.d.)

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia


yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka
waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS
sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks
dalam waktu relative lama karena penurunan system kekebalan tubuh yang
disebaban infeksi HIV.

AIDS (acquired immunodeficiencysyndrome) adalah kumpulan


gejala klinisakibat penurunan system imun yang timbulakibat infeksi HIV.
AIDS sering bermani-festasi dengan munculnya berbagai penyakitinfeksi
opportunistik, keganasan, gangguanmetabolisme dan lainnya. HIV adalah
pe-nyebab utama kematian wanita usia repro-duksi di seluruh dunia dan
merupakan pe-nyebab kematian bayi. Sehingga pentingnyaPPIA sebagai
pintu gerbang untuk pen-cegahan HIV, pengobatan, perawatan danlayanan
dukungan seluruh keluarga (Brou etal., 2007) dalam (Wahyuni, 2018).

Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS.


Penularan HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual
dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara berkembang
isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih
rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula
masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.

Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus


(HIV) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif,
wanita hamil lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang
tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil.

3. Klasifikasi
Klasifikasi HIV/AIDS pada oran dewasa menurut CDC (Centers for
Disease Control) dibagi atas empat tahap, yakni :

a. Infeksi HIV akut


Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan
muncul setelah 2-4 minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa
demam, ruam merah pada kulit, nyeri telan, badan lesu, dan
limfadenopati. Pada tahap ni, diagnosis jarang dapat ditegakkan
karena keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes
serologi standar masih negatif (Murtiastutik, 2008) dalam (Nasution
et al., n.d.)
b. Infeksi Seropo sit if HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif
tetapi gejala asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung
lama dan penderita bisa tidak mengalami keluhan apapun selama
sepuluh tahun atau lebih. Berbeda dengan anak- anak, fase ini lebih
cepat dilalui (Murtiastutik, 2008) (Nasution et al., n.d.).
c. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di
dua tempat selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena
jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV.
PGL terjadi pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis.
Pembesaran menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan
(Murtiastutik, 2008) dalam (Nasution et al., n.d.).
d. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di
dua tempat selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena
jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV.
PGL terjadi pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis.
Pembesaran menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan
(Murtiastutik, 2008) dalam (Nasution et al., n.d.)

4. Etiologi

Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human


immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun
1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika
ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.

5. Tanda dan Gejala

Menurut Noviana (2013) dalam (Nasution et al., n.d.), Individu yang


terinfeksi HIV menjadi AIDS di bagi menjadi dua gejala yaitu mayor
(umum terjadi) dan minor (tidak umum terjadi).

a. Gejala Mayor
1) Penurunan berat badan > 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
5) Demensia/ HIV enselofat.
b. Gejala Minor
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisat
3) Kandidias orofaringeal
4) Herpes simpleks kronis progresif
5) Limfadenopati generalisata
6) Retinitis virus sitomegalo
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
8) Herpes zoster multisegmental
9) Herpes zoster berulang

6. Patofisiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan etiologi dari


infeksi HIV/AIDS. Penderita AIDS adalah individu yang terinfeksi HIV
dengan jumlah CD4 < 200µL meskipun tanpa ada gejala yang terlihat atau
tanpa infeksi oportunistik. HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan
darah yang terinfeksi atau sekret dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang
terinfeksi kepada janinnya atau melalui laktasi.

Molekul reseptor membran CD4 pada sel sasaran akan diikat oleh
HIV dalam tahap infeksi. HIV terutama akan menyerang limfosit CD4.
Limfosit CD4 berikatan kuat dengan gp120 HIV sehingga gp41 dapat
memerantarai fusi membrane virus ke membran sel. Dua ko-reseptor
permukaan sel, CCR5 dan CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120
dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4. Koreseptor menyebabkan
perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel
sasaran.

Selain limfosit, monosit dan makrofag juga rentan terhadap infeksi


HIV. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai
reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat
politronik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel Natural
Killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik,
sel mikroglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4, maka berlangsung serangkaian proses kompleks kemudian
terbentuk partikel-partikel virus baru dari yang terinfeksi.
Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan
provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi sehingga
menghasikan banyak virus. Infeksi pada limfosit CD4 juga dapat
menimbulkan sitopatogenitas melalui beragam mekanisme termasuk
apoptosis (kematian sel terprogram) anergi (pencegahan fusi sel lebih
lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi sel).

7. Penatalaksanaan medis
a. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik di bagi menjadi tiga, yaitu:
1) Pemeriksaan Laboratorium
2) Tes Antibody
3) Pelacakan H yang terdiri dari:
a) Serologis : Tes Antibody Serum, Tes Western Blot, Sel T
Limfosit, sell T4 Hel per, T8 (sel supresor sitopatik), P24,
Kadar Ig, Reaksi Rantai Polimerasi dan Tes PHS 
b) Neurologis : EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan
saraf)
c) Tes Lainnya : Sinar X Dada, Tes Fungsi Pulmonal, Scan
Gallium, Biopsi.
b. Pengobatan
Obat-obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan
untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka
yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya
permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis
direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap
HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka
suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum
ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif
(HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan :
Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA
(contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
1) Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan
reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim
tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi
turunan kedalam sel-sel. Obat-obatan NNRTI termasuk:
Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
2) Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul
pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang
wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada
bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui.
Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan
bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan
terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia
untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–
obatan tersebut adalah:
1) Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian
panjang dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi
menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan
mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada
kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan.
Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas
38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari
Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2) Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam
masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar
2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan
penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada
ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa
persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu
dosis dalam 3 hari.

Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari


beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap
harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi
terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan
seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan
permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus
dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan.
Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan
orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati,
kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV.
Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan
3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan
mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang
berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena
infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai
sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk
mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan,
maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomen dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS
sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat
memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku
seksual yang tidak aman.

8. Cara Penularan
Menurut Permenkes (2013) dalam (Nasution et al., n.d.), Human
Immunidefeciency Virus (HIV) dapat masuk ke tubuh memlaui tiga cara,
yaitu melalui hubungan seksual, penggunaan jarum sunti yang tidak steril
atau terkontaminasi HIV dan penularab HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke
janin dalam kandungan.

1. Hubungan seksual
Penularan melalui hungungan seksual adalah cara yang paling
dominan dari semua cara penularan. Paling sering, infeksi HIV menyebar
dengan melakukan hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi.
Virus ini dapat masuk ke dalam tubuh melalui selaput vagina, vulva,
penis, rektum, atau mulut selama seks. Transmisi oral seks juga mungkin
(Tran, 2014). Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki
(homoseksual) yang sebahagian besar dipengaruhi oleh faktor perilaku
(WHO/UNAIDS (2009) dalam (Nasution et al., n.d.).
Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman dengan orang
yang terinfeksi HIV dapat terjadi penularan. Walaupun secara statistik
kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1% (jauh dibawah risiko penularan
HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus penularan
HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman. karena
kegiatan sehari-hari Odha tidak memungkinkan terjadinya pertukaran
cairan tubuh yang menularkan HIV. Kita tidak tertular HIV selama kita
mencegah kontak darah dengan Odha dan jika berhubungan seks, kita
melakukannya secara aman dengan memakai kondom. Seorang Odha
kelihatan biasa, seperti halnya orang lain karena tidak menunjukkan
gejala klinis. Kondisi ini disebut “asimptomatik” yaitu tanpa gejala. Pada
orang dewasa sesudah 5-10 tahun mulai tampak gejala-gejala AIDS.
Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko
menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah
terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah
masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan
lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup
rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di
dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih
tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke
aliran darah melalui saluran kencing pasangannya.
AIDS tidak ditularkan melalui :
a. Makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum
bersama.
b. Pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC
umum, dan kolam renang.
c. Ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya.
d. Lewat keringat, atau gigitan nyamuk
2. Pajanan oleh darah, produk darah atau organ dan jaringan yang terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji
saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit
suntikan, atau penggunaan alat medis lainnya yang dapat menembus kulit
yang dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit,
poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada
pengguna napza suntik (Permenkes, 2013).
3. Penularan dari ibu ke anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya
selama masa kehamilan, saat persalinan dan menyusui (Permenkes,
2013). WHO/UNAIDS (2009) melaporkan terjadi peningkatan signifikan
usia anak dibawah 15 tahun terinfeksi HIV dengan perkiraan 1.2 - 2.9
juta. Penularan dari ibu ke anak dapat terjadi karena faktor
biologi(Inherited Biological Risk) dimana infeksi ditularkan secara
langsung dari ibu ke janin yang di kandungnya.
a. Periode kehamilan
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat
kecil. Hal ini disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak
dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi
dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak
oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV.
Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
1) Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama
malaria) pada plasenta selama kehamilan.
2) Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya
muatan virus pada saat itu.
3) Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
4) Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak
langsung berkontribusi untuk terjadinya penularan ibu ke anak.
b. Periode persalinan
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar
jika dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui
transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane
mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko
penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat
dipersingkat dengan section caesaria.
c. Periode Post Partum
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui
ASI. Berdasarkan data penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui
bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan
HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui
bayinya. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari:
1) Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara
eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian
campuran.
2) Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan
putting susu dan infeksi payudara lainnya.
3) Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar
kemungkinan infeksi.
4) Status gizi ibu yang buruk secara langsung (transfusi darah,
produk darah atau tranplatasi organ tercemar HIV).
C. PROGRAM PREVENTION OF MOTHER TO CHILD TRANSMISSON
(PMTCT)

1. Pengertian
Pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak Prevention
of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan bagian dari
pelayanan perawatan, dukungan dan Pengobatan/CST bagi pasien
HIV/AIDS. Pelayanan PMCT menjadi perhatian karena epidemic
HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat, dimana penularan HIV
dari ibu ke anak terus meningkat seiring bertambahnya jumlah perempuan
pengidap HIV , dari data pada tahun 2008 dari jumlah ibu hamil yang
mengikuti test HIV sebanyak 5.167 orang dimana 1.306 (25%) diantaranya
positive HIV. Meningkatnya jumlah perempuan hamil yang positif, akan
meningkat pula kebutuhan untuk layanan PMTCT berdasarkan hasil
proyeksi dan pemodelan epidemic HIV, jumlah ibu hamil yang positif
memerlukan pelayanan PMTCT akan meningkat dari 5.730 orang pada
tahun 2010 menjadi 8170 pada tahun 2014.

Dengan mempertimbangkan keadaan geografis wilayah Indonesia


yang luas serta terdiri dari kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar
dan tersebar di seluruh wilayah sehingga akan mengalami kesulitan dalam
mengakses layanan kesehatan terutama di daerah terpencil atau pelosok,
sedangkan terus terjadi peningkatan penularan HIV/AIDS dari Ibu ke
Anak, untuk mengoptimalkan pelayanan PMTCT perlu adanya
pemanfaatan teknologi komunikasi sebagai alternative dalam pelaksanaan
program PMTCT yang memberikan layanan kesehatan jarak jauh.

9. Tujuan, Sasaran dan Stategi Program PMTCT


a. Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk:
1. Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi.
Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari
ibu. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu
kesehatan anak. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah
dan mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut.
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi.
Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan
produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus
ditanggung oleh Odha dan masyarakat Indonesia di masa
mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap Ibu dan Bayi.
Epidemi HIV terutama terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu
diperhatikan, dipikirkan dan diantisipasi sejak dini untuk
menghindari terjadinya dampak akhir tersebut.
b. Srategi yang dilakukan dalam kegiatan PMTCT, yaitu:
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncananakan pada ibu dengan
status pisitif HIV.
3. Pencegahan terjadinya penularan HIV, dari ibu yang Positif HIV
kepada bayi yang dikandungnya.
4. Merujuk ibu dengan HIV positif ke sarana pelayanan
kesehatan tingkat Kabupaten atau Provinsi untuk mendapatkan
layanan tindak lanjut.
c. Sasaran Program PMTCT, antara lain:
1. Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT.
2. Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT.
3. Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan
nifas.
4. Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan
(Care, Support dan Treatment) bagi ibu dan bayi.

10. Bentuk – Bentuk Intervensi PMTCT


Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan
intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar
25 – 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes,
setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di
Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar
3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi
tersebut meliputi 4 konsep dasar,yaitu:
1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, berarti penularan
infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan intrapartum
(persalinan). Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke
bayi selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap
ibu yakni Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi
Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi
Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat adanya kemungkinan
transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses
kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak
dianjurkan untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan
Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses
konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk
mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup
baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak
terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara
teratur.
2. Menurunkan viral load serendah-rendahnya, obat antiretroviral (ARV)
yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi
virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh
Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam
upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus.
3. Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu
positif HIV persalinan secarea berencana sebelum saat persalinan tiba
merupakan pilihan pada ODHA. Pada saat persalinan pervaginam, bayi
terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga
terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara
tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian
menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan
HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa
dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif
yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada
kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada
ibu (episiotomi). Telah dicatat adanya penularan melalui ASI pada
infeksi CMV, HIV1 dan HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain, jarang
dijumpai transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada
dalamkolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada
bayi dan anak . Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat
konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu
formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu
HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pemberian
susu formula harus memenuhi 5 persyaratan, yaitu AFASS dari WHO
(Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah
dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan,
Safe = aman penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian
susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif
dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3
bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan
AFASS sebelum 3 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI
eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan
pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan pemberian makanan campuran
(mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI
lainnya. Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan
mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi
tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan
kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus. Risiko penularan
HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan
pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu). Oleh karenanya
diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik.
4. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif, melalui
pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan
keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan
kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi,
cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol
juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk
menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau
mencegah penularan bila pasangan bukan ODHA.

11. Kebijakan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Data Epidemiologi dalam publikasi rekomendasi WHO maupun
UNAIDS tahun 2010, dikatakan bahwa terdapat 33,4 juta orang dengan
HIV/AIDS di seluruh dunia. Sebanyak 15,7 juta (47%) diantaranya adalah
perempuan dan 2,1 juta anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Secara
global, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan usia
reproduksi. Selama tahun 2008 terdapat 1,4 juta perempuan dengan HIV
positif melahirkan di negara berkembang dan terjadi 430,000 bayi
terinfeksi HIV. Di Indonesia, hingga akhir tahun 2010 dilaporkan sekitar
24,000 kasus AIDS dan 62.000 kasus HIV. Sekitar 62,7% berjenis kelamin
laki-laki dan 37,7% berjenis kelamin perempuan. Menurut golongan umur,
proporsi terbesar terdapat pada kelompok usia muda, yaitu 20–29 tahun
sebanyak47,4%. Estimasi kasus HIV/AIDS usia 15-49 tahun di seluruh
Indonesia diperkirakan 186,257 (132.089-287.357). Meskipun secara
umum prevalensi HIV di Indonesia tergolong rendah (kurang dari 0,2%),
tetapi sejak tahun 2005 Indonesia telah dikategorikan sebagai negara
dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat daerah-daerah
dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada populasi tertentu, kecuali Papua
(sudah termasuk populasi umum yaitu 2,4%).
Penularan HIV dari ibu ke bayi ini dapat dicegah dengan program
PMTCT. Di negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya
sekitar < 2%, hal ini karena tersedianya layanan optimal untuk
pencegahanpenularan HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang
atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risikonya
penularan meningkat menjadi antara 25%–45%. Walaupun berbagai upaya
telah dilaksanakan selama beberapa tahun, ternyata cakupan PMTCT
masih rendah, yaitu 10% di tahun 2004,kemudian meningkat menjadi 35%
pada tahun 2007 dan 45% di tahun2008 sesuai dengan laporan Universal
Akses 2009. Bahkan pada laporan Universal Akses 2010, cakupan layanan
PMTCT di Indonesia masih sangat rendah, yaitu sebesar 6%, sehingga
upaya peningkatan cakupan sejalan dengan program pencegahan perlu
ditingkatkan.
Kebijakan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014 dari
Menkokesra dan Rencana Aksi Kegiatan Pengendalian AIDS dari
Kemenkes, menegaskan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi atau
dikenal dengan Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT)
merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV/AIDS. Dalam
rangka meningkatkan cakupan Program Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Bayi di Indonesia perlu adanya kerja sama antara berbagai sektor
terkait, organisasi profesi, organisasi masyarakat sipil termasuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Kebijakan umum Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Bayi sejalan dengan kebijakan umum kesehatan ibu dan
anak serta kebijakan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. Tes HIV
merupakan pemeriksaan rutin yang ditawarkan kepada ibu hamil. Pada ibu
hamil dengan hasil pemeriksaan HIV reaktif, ditawari pemeriksaan infeksi
menular seksual lainnya terutama sifilis. Layanan Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Bayi diintegrasikan dengan paket pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak serta layanan KeluargaBerencana di tiap jenjang pelayanan
kesehatan. Semua perempuan yang datang ke pelayanan Kesehatan Ibu
dan Anak dan layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan
kesehatan mendapatkan informasi pencegahan penularan HIV selama
masa kehamilan dan menyusui. Untuk mencegah terjadinya penularan HIV
dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan
empat prong, yaitu:
1. Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi.
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan
HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi
untuk tertular HIV. Strategi ini bisa juga dinamakan pencegahan primer
(primary prevention). Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum
terjadinya hubungan seksual. Artinya, mencegah perempuan muda di
usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya agar tidak terinfeksi HIV.
Dengan mencegah infeksi HIV pada perempuan usia reproduksi atau
ibu hamil, maka bisa dijamin pencegahan penularan HIV ke bayi.
Untuk menghindari penularan HIV, pemerintah dan berbagai lembaga
swadaya masyarakat menggunakan konsep “ABCD”, yang artinya :
 A (Abstinence), artinya Absen seks ataupun tidak melakukan
hubungan seks bagi orang yang belum menikah.
 B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti).
 C (Condom), artinya cegah penularan HIV melalui hubungan
seksual dengan menggunakan Kondom.
 D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.

Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan pada Prong (pencegahan


primer) antara lain:

a) Menyebarluaskan informasi tentang HIV/AIDS baik secara


individu maupun secarakelompok, yaitudengan cara: meningkatkan
kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari
penularan HIV dan IMS, menjelaskan manfaat dari konseling dan
tes HIV, meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan ODHA perempuan.
b) Mobilisasi masyarakat dengan melibatkan petugas lapangan (kader
PKK) untuk memberikan informasi pencegahan HIV dan IMS
kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses
layanan kesehatan, menjelaskan tentang pengurangan risiko
penularan HIV dan IMS (termasuk penggunaan kondom dan alat
suntik steril), melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam
menghilangkan stigmatisasi dan diskriminasi.
c) Konseling untuk perempuan HIV negative, ibu hamil yang hasilnya
tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV
negative, menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV,
membuat pelayanan kesehatan ibu dan anak yang bersahabat untuk
pria sehingga mudah diakses oleh suami/pasangan ibu hamil.
d) Mengadakan kegiatan ‘kunjungan pasangan’ pada kunjungan ke
pelayanan kesehatan ibu dan anak dan memberikan informasi
kepada suami bahwa jika ia melakukan seks tak aman akan bisa
membawa kematian bagi calon bayinya, termasuk istrinya dan
dirinya sendiri. Para suami biasanya memiliki rasa tanggung jawab
untuk melindungi keluarganya. Informasi ini akan lebih efektif
diterima suami jika disampaikan oleh petugas kesehatan di klinik
kesehatan ibu dan anak ketika ia mengantarkan istrinya. Ketika ibu
melahirkan bayinya di rumah sakit ataupun klinik, biasanya ibu
diantar oleh suaminya. Pada saat itu, perasaan suami sangat bangga
dan mencintai istri dan anaknya. Saat tersebut akan efektif untuk
menyampaikan informasi kepada suami untuk menghindari
perilaku seks tak aman dan informasi tentang pemakaian kondom.
Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil,
akan membuat adanya dialog yang lebih terbuka antara suami dan
istri/pasangannya tentang seks aman dan perilaku seksual.
Sebaiknya, materi penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi bagian
dari pelatihan keterampilan hidup (life skill training) bagi remaja
sehinggasejak dini mereka belajar tentang cara melindungi
keluarga merekakelak dari ancaman penularan HIV. Informasi
tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi juga penting
disampaikan kepada masyarakat luas untuk memperkuat dukungan
kepada perempuanyang mengalami masalah seputar penularan HIV
dari ibu ke bayi. Upaya mencegah penularan HIV pada perempuan
usia reproduksi menjadi sangat penting dilakukan pada saat selama
kehamilan, selama persalinan dan selama masa menyusui. Hal ini
dikarenakan kadar HIV tertinggi di tubuh ODHA berada pada
minggu-minggu pertama setelah seseorang terinfeksi. Jumlah kadar
HIV yang tinggi akan meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi. Oleh karenanya, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
menjadi lebih besar jika ibu terinfeksi HIV selama kehamilan
ataupun masa menyusui.
2. Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada
Perempuan HIV Positif.
Salah satu cara efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari
ibu ke bayi adalah dengan mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada perempuan HIV positif usia reproduksi. Hal yang
dibutuhkan adalah layanan konseling dan tes HIV dan sarana
kontrasepsi yang aman dan efektif untuk pencegahan kehamilan yang
tidak direncanakan. Penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif
serta konseling yang berkualitas akan membantu perempuan HIV
positif dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah
anak yang dilahirkannya, serta menghindari lahirnya anak-anak yang
terinfeksi HIV. Ibu HIV positif mungkin cukup yakin untuk tidak ingin
menambah jumlah anaknya karena khawatir bayinya tertular HIV dan
menjadi yatim piatu di usia muda. Namun dengan adanya kemajuan
intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, ibu HIV positif
dapat merencanakan kehamilannya. Sebagian dari mereka yakin untuk
bisa punya anak yang tidak terinfeksi HIV. Konselor hanya bisa
memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan,
baik tentang kemungkinan terjadinya penularan, maupun peluang bayi
untuk tidak terinfeksi HIV.
Ibu HIV positif berhak menentukan keputusannya sendiri. Ibu
HIVpositif sebaiknya tidak dipaksa untuk tidak hamil ataupun
menghentikan kehamilannya (aborsi). Mereka harus mendapatkan
informasi yang akurat tentang risiko penularan HIV ke bayi, sehingga
mereka dapat membuat pemikiran sendiri setelah berkonsultasi dengan
suami dan keluarganya. Di Indonesia, umumnya keinginan ibu untuk
memiliki anak amat kuat, dan ibu akan kehilangan status sosialnya jika
tidak mampu menjadi seorang ibu yang melahirkan anak. Jika kondisi
fisik ibu HIVpositif cukup baik, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebenarnya menjadi kecil. Artinya, ia mempunyai peluang besar untuk
memiliki anak HIV negatif. Tetapi, ibu HIV positif yang memiliki
banyak tanda penyakit dan gejala HIV akan lebih berisiko menularkan
HIV ke bayinya,sehingga ibu tersebut perlu mendapatkan pelayanan
konseling secara cermat untuk memastikan bahwa mereka benar-benar
paham akan risiko tersebut dan telah berpikir bagaimana merawat si
bayi jika mereka telah meninggal karena AIDS. Jika ibu HIV positif
tetap ingin memiliki anak, WHO menganjurkan jarak antar kelahiran
minimal dua tahun. Untuk menunda kehamilan, alat kontrasepsi yang
dianjurkan adalah kontrasepsi mantap (IUD maupun kontrasepsi
hormonal) dengan didampingi penggunaan kondom untuk mencegah
terjadinya penularan infeksi HIV dan IMS. Jika memutuskan tidak
ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang palingtepat adalah sterilisasi
(tubektomi atau vasektomi). Apapun cara kontrasepsi yang dipilih
untuk mencegah penularaninfeksi HIV maupun IMS, setiap
berhubungan seks dengan pasangannya harus menggunakan kondom.
Beberapa aktivitas untuk mencegah kehamilan yang tidakdirencanakan
pada ibu HIV positif antara lain: Mengadakan KIE tentang HIV/AIDS
dan perilaku seks aman, menjalankan konseling dan tes HIV sukarela
untuk pasangan, melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS
melakukan promosi penggunaan kondom, menganjurkan perempuan
HIV positif mengikuti keluarga berencana dengan cara yang tepat,
senantiasa menerapkan kewaspadaan standar, membentuk dan
menjalankan layanan rujukan bagi perempuan HIV positif yang
merencanakan kehamilan.
3. Prong 3: Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil HIV Positif ke
Bayi
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi
HIV ini merupakan inti dari intervensi pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi. Bentuk-bentuk intervensi tersebut adalah :
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif meliputi
layanan pra persalinan, pasca persalinan serta kesehatan anak.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak bisa menjadi awal atau pintu
masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi bagi
seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan
suaminya ketika datang ke klinik kesehatan ibu dan anak akan
meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang
kemungkinan adanya risiko penularan HIV diantara mereka,
termasuk juga risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke
bayi. Harapannya, dengan kesadarannya sendiri mereka akan
sukarela melakukan konseling dan tes HIV. Berbagai bentuk
layanan yang diberikan klinik kesehatan ibu dan anak, seperti :
imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS terutama siifilis, pemberian
suplemen zat besi, dapat meningkatkan status kesehatan semua ibu
hamil, termasuk ibu hamil HIV positif. Hendaknya klinik kesehatan
ibu dan anak juga menjangkau dan melayani suami atau
pasangannya sehingga terdapat keterlibatan aktif para suami atau
pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke
bayi.
b. Layanan konseling dan tes HIV
Layanan Konseling dan Tes Sukarela Layanan konseling dan tes
HIV sukarela atau Voluntary Counseling and Testing (VCT)
merupakan salah satu komponen penting dalam upaya pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi. Cara untuk mengetahui status HIV
seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah
didahului dengan konseling sebelum dan sesudah tes, menjaga
kerahasiaan serta adanya persetujuan tertulis (informed consent).
Jika status HIV sudah diketahui, untuk ibu dengan status HIV
positif dilakukan intervensi agar ibu tidak menularkan HIV kepada
bayi yang dikandungnya. Untuk yang HIV negatif sekalipun masih
dapat berkontribusi dalam upaya mencegah penularan HIV dari ibu
ke bayi, karena dengan adanya konseling perempuan tersebut akan
semakin paham tentang bagaimana menjaga perilakunya agar tetap
berstatus HIV negatif. Layanan konseling dan tes HIV tersebut
dijalankan di layanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga
berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Layanan konseling
dan tes HIV akan sangat baik jika diintegrasikan dengan pelayanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, dengan
alasan menjadikan konseling dan tes HIV sukarela sebagai sebuah
layanan rutin di layanan kesehatan ibu dan anak dan layanan
keluarga berencana (ditawarkan kepada semua pengunjung) akan
mengurangi stigma terhadap HIV/AIDS, layanan rutin konseling
dan tes HIV sukarela di pelayanan kesehatan ibu dan anak akan
menjangkau banyak ibu hamil, menjalankan konseling dan tes HIV
sukarela di klinik kesehatan ibu dan anak akan mengintegrasikan
program HIV/AIDS dengan layanan kesehatan lainnya, seperti
pengobatan IMS dan infeksi lainnya, pemberian gizi, dan keluarga
berencana. Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar
dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan Keluarga
Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Pelaksanaan
konseling dan tes HIV untuk pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV. Tes
HIV merupakan pemeriksaan rutin yang ditawarkan kepada ibu
hamil. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan
untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV
atau tidak. Layanan tes HIV untuk program pencegahan penularan
HIV dari ibu ke bayi dipromosikan dan dimungkinkan tidak hanya
untuk perempuan, namun juga diperuntukan bagi pasangan laki-
lakinya. Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan
konseling dan tes HIV dalam paket pelayanan kesehatan ibu dan
anak dan layanan keluarga berencana, harus ada petugas yang
mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Pada
pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan Keluarga Berencana
yang memberikan layanan konseling dan tes HIV, konseling pasca
tes (post-test counseling) bagi perempuan HIV negatif diberikan
informasi dan bimbingan untuk tetap HIV negatif selama
kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada tiap jenjang pelayanan
kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil
ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Tes Diagnostik HIV Prosedur pemeriksaan diagnostik HIV
menggunakan metode strategi 3 yaitu pemeriksaan tes HIV secara
serial dengan menggunakan tiga reagen yang berbeda. Test HIV
yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan adalah pemeriksaan
dengan tiga reagen rapid HIV. Namun untuk sarana kesehatan yang
memiliki fasilitas yang lebih baik, test HIV bisa dikonfirmasi
dengan pemeriksaan ELISA. Pemilihan jenis reagen yang
digunakan berdasarkan sensitifitas dan spesifisitasnya, yang
merujuk pada standar nasional.
c. Pemberian obat antiretroviral
Pada ODHA dewasa, penentuan saat yang tepat memulai terapi
obat antiretroviral (ARV) selain dengan menggunakan stadium
klinis, diperlukan pemeriksaan CD4. Namun pada kebijakan
PMTCT 2011, ARV diberikan kepada semua perempuan hamil
HIV positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4-nya lebih
dahulu. Penentuan stadium HIV/AIDS pada ibu hamil dapat
dilakukan berdasarkan kondisi klinis pasien dan dengan atau tanpa
pemeriksaan CD4. CD4 untuk ibu hamil positif HIV digunakan
untuk memantau pengobatan. Waktu yang tepat untuk Pemberian
ARV Populasi Target Pedoman pemberian ARV tahun 2010 Pasien
naive dengan CD4 ≤350 sel/mm3HIV+ asimtomatikPasien naive
HIV+ Stadium 2 dengan CD4 ≤350 sel/mm3dengan gejala atau
Stadium 3 atau 4 tanpa memandang nilai CD4nya Ibu Hamil.
Semua ibu hamil diberi ARV tanpa memandang nilai CD4nya.
tanpa indikasi: ARV pada umur kehamilan ≥ 14 minggu, dengan
indikasi: segera berikan ARV Pemberian ARV pada ibu hamil HIV
positif selain dapatmengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke
bayinnya,untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara
menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pemberian ARV
sebaiknya disesuaikan dengan kondisi klinis yang sedang dialami
oleh ibu. Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV
kepada ibu selama kehamilan dan dilanjutkan selama menyusui
adalah intervensi yang paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga
mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi pada
kelompok wanita dengan risiko tinggi.
4. Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada
Ibu HIV Positif Beserta Bayi dan Keluarganya
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi tidak terhenti setelah
ibu melahirkan. Ibu tersebut akan terus menjalani hidup dengan HIV di
tubuhnya, ia membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan
sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi
masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Sangat
penting dijaga faktor kerahasiaan status HIV si ibu. Dukungan juga
harus diberikan kepada bayi dan keluarganya. Beberapa hal yang
mungkin dibutuhkan oleh ibu HIV positif antara lain: pengobatan ARV
jangka panjang, pengobatan gejala penyakitnya, pemeriksaan kondisi
kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 ataupun viral
load ), informasi dan edukasi pemberian makanan bayi, pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik untuk dirinya dan bayinya, penyuluhan
kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan
pencegahannya, layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat,
kunjungan ke rumah (home visit), dukungan teman-teman sesama HIV
positif (terlebih sesama ibu HIV positif), didampingi jika sedang
dirawat dan dukungan dari pasangan. Dengan dukungan psikososial
yang baik, ibu HIV positif akan bersikap optimis dan bersemangat
mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif
untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya dan berperilaku
sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA
ini perlu diketahui oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia
reproduktif. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka
yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes
HIV agar mengetahui status HIV mereka.

12. Jalinan Kerjasama Kegiatan PMTCT antara Sarana Kesehatan dan


Organisasi Masyarakat
Jalinan kerjasama kegiatan PMTCT antara sarana Kesehatan dan
organisasi masyarakat merupakan faktor penting dalam kegiatan PMTCT
komprehensif yang meliputi 4 Prong. Jalinan kerjasama tersebut akan
mengatasi kendala medis yang menyangkut tes HIV, ARV, CD4, viral
load, persalinan aman, serta kendala psikososial seperti kebutuhan
dampingan ,kunjungan rumah, bimbingan perubahan perilaku dan
kesulitan ekonomi keluarga ODHA. Dengan adanya jejaring (networking)
PMTCT yang baik disebuah daerah, diharapkan akan terbentuk layanan
PMTCT berkualitas yang dibutuhkan oleh perempuan usia reproduktif, ibu
hamil, perempuanHIV positif, ibu hamil HIV positif beserta pasangan dan
keluarganya..Bentuk jalinan kerjasama yang perlu dikembangkan antara
lain memperkuat sistem rujukan klien, memperlancar hubungan
komunikasi untuk saling berbagi informasi tentang situasi dan jenis
layanan yangdiberikan dan membentuk sistem penanganan kasus secara
bersama.
Uraian Tugas dan Ruang Lingkup Dalam jejaring PMTCT, setiap
institusi memiliki peran tersendiri yang terintegrasi dan saling
berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana kesehatan, pelayanan
PMTCT dijalankan oleh Puskesmas dan rumah sakit, serta bidan praktek
swasta. Sedangkan di tingkat masyarakat, pelayanan PMTCT dijalankan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) ODHA. Pelayanan PMTCT di Puskesmas dan jajarannya
(puskesmas pembantu dan puskesmas keliling) meliputi pelayanan
konseling sebelum dan sesudah tes HIV, pelayanan tes HIV, rujukan ke
rumah sakit rujukan AIDS serta dukungan yang terintegrasi dengan
pelayanan KIA (meliputi pelayanan antenatal, persalinan, nifas bayi baru
lahir) dan pelayanan KB (konseling pilihan alat kontrasepsi bagi
perempuan HIVpositif), termasuk menerima rujukan dari pelayanan
PMTCT berbasis masyarakat yang dijalankan oleh LSM ataupun KDS.
Dengan demikian,Puskesmas menjalankan Prong 1, 2, dan 3 dari kegiatan
PMTCT komprehensif. Pelayanan PMTCT di rumah sakit dilaksanakan
secara terintegrasi dengan pelayanan asuhan antenatal, persalinan dan
pasca persalinan kepada ibu, pasangan dan bayinya. Pelayanan tersebut
meliputi konseling sebelum dan sesudah tes HIV, pemeriksaan
laboratorium darah HIV, IMS, TB-HIV, KB, ARV profilaksis, tes CD4,
VL dan pengobatan jangka panjang, kemoprofilaksis, persalinan yang
aman, penatalaksanaan perawatan bayi termasuk dukungan dan perawatan.
Dengan demikian, rumah sakit secara khusus menjalankan Prong 3 dari
kegiatan PMTCT komprehensif. Selain Puskesmas dan rumah sakit,
pelayanan PMTCT bisa pula dijalankan oleh bidan praktek swasta. Bidan
terlatih diharapkan mamp umelakukan penilaian (assesment) perilaku
terhadap ibu hamil yang berkunjung ke kliniknya. Jika perilakunya dinilai
berisiko tertular HIV,maka ibu hamil tersebut dirujuk oleh bidan ke
Puskesmas ataupun rumah sakit untuk menjalani VCT dan mendapatkan
layanan lanjutan jika hasil tesnya HIV positif. Bidan diharapkan mampu
pula melakukan konseling terhadap kehamilan ibu HIV positif, konseling
pilihan persalinan, serta melakukan persalinan pervaginam terhadap ibu
HIV positif. Untuk persalinan seksio sesarea, bidan merujuk ibu hamil
kerumah sakit. Bidan praktek swasta menjalankan Prong 1,2, 3 dari
kegiatan PMTCT komprehensif. Peran LSM dalam memberikan pelayanan
PMTCT antara lain melakukan penyuluhan PMTCT kepada perempuan
usia reproduktif, ibu hamil, perempuan HIV positif, ibu hamil HIV positif
beserta pasangan dan keluarganya, memobilisasi ibu hamil untuk
menjalani VCT di Puskesmas, rumah sakit, ataupun mobile-VCT LSM
bekerjasama dengan kader masyarakat (PKK/posyandu), mengajak laki-
laki/pasangan ibu hamil untuk terlibat aktif selama masa kehamilan,
persalinan dan nifas, memberikan konseling dan bimbingan kepada ibu
hamil HIV positif(pilihan persalinan dan makanan bayi), memberikan
konseling perencanaan kehamilan kepada perempuan HIV positif,
memberikan dampingan terhadap ibu HIV positif (kunjungan
rumah,bantuan/dukungan ekonomi keluarga), membentuk dan
mengaktifkan kegiatan support group perempuan HIV positif, serta
layanan rujukan ke Puskesmas ataupun rumah sakit.
Melihat bentuk aktivitas yang dijalankan, maka LSM menjalankan
Prong 1, 2, dan 4 dari kegiatanPMTCT. Seiring dengan keterlibatan yang
makin aktif dari orang yangterinfeksi HIV, KDS memiliki peran dalam
pelayanan PMTCT dengan menjalankan kegiatan penyuluhan PMTCT
bagi perempuan HIV positif dan ibu hamil HIV positif, memberikan
dukungan sebaya dalam kegiatan support group, mendampingi anggota
KDS yang sedang menjalani terapi pengobatan, melakukan advokasi
kepada pembuat kebijakan dan sarana kesehatan terhadap pelayanan
PMTCT yang dibutuhkan perempuan HIV positif serta layanan rujukan ke
Puskesmas ataupun rumah sakit. Seperti LSM, KDS menjalankan Prong 1,
2, dan 4 dari kegiatan PMTCT. Agar peran masing-masing institusi
berjalan secara optimal, diperlukan sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan danketerampilan pelayanan PMTCT yang memadai. Untuk
itu, diperlukanadanya pelatihan-pelatihan PMTCT yang berorientasi
terhadap kebutuhan pelayanan di lapangan. Kegiatan pelatihan-pelatihan
tersebut memerlukan dukungan dari ikatan profesi, seperti IDI, IDAI,
POGI, IBI,PAPDI, PDUI, PPNI serta ikatan profesi lainnya. Ikatan profesi
juga berperan memantau kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin
pemberian pelayanan yang berkualitas, serta menjalin koordinasi antar
ikatan profesi dan bermitra dengan stackholders lainnya. Alur Rujukan
Jejaring pelayanan PMTCT komprehensif seperti di atas perlu dibentuk
dan diaktifkan oleh Dinas Kesehatan pada masing-masing Provinsi dengan
koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi.

D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
a. Biodata Klien
b. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat
kelainan imun. Umur ,kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang
sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada
lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan
melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker
adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini
harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status
imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit
serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
1) Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik,
limfoma, kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik
congenital.
2) Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia
congenital, protein liosing enteropati (peradangan usus).
c. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah, intoleransi aktivitas, progresi malaise,
perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon
fisiologi aktifitas (Perubahan TD, frekuensi Jantung dan
pernafasan).

2) Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama
pada cedera.
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi
perifer, pucat/ sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
3) Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan, mengkuatirkan
penampilan, mengingkari diagnosa, putus asa dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri dan
marah.
4) Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau
tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare
pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,
perianal, perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
5) Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi
dan gusi yang buruk, edema
6) Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
7) Neurosensoro
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,
kerusakan status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan
penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks
tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis.

8) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri
dada pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan
rentan gerak, pincang.
9) Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif,
batuk, sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas,
adanya sputum.
10) Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka, transfusi darah,
penyakit defisiensi imun, demam berulang, berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit, luka perianal / abses,
timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan
umum, tekanan umum.
11) Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi,
menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan, herpes genetalia.
12) Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi,
kesepian, adanya trauma AIDS.
Tanda : Perubahan interaksi.

13. Diagnosa Keperawatan


a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan manifestasi HIV,
ekskoriasi dan diare pada kulit
b. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan/atau infeksi
HIV
c. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan immunodefisiensi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keadaan mudah letih,
kelemahan, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
dan hipoksia yang menyertai infeksi paru
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan asupan oral.
f. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari
sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya
menulari orang lain.
g. Berduka diantisipasi berhubungan dengan perubahan gaya hidup serta
pernannya, dan dengan prognosis yang tidak menyenangkan.
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan cara-cara mencegah
penularan HIV dan perawatan mandiri.

14. Intervensi Keperawatan


a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan manifestasi HIV,
ekskoriasi dan diare pada kulit
Intervensi: Kulit dan mukosa oral harus dinilai secara rutin dari
adanya infeksi dan kerusakan kulit. Pasien dianjurkan
mempertahankan keseimbangan antara istirahat dan mobilitas. Bantu
mengubah posisi pasien setiap 2 jam bagi yang imobilisasi. Pasien
diminta untuk tidak menggaruk dan menggunakan sabun nonabrasif,
memakai pelembab tanpa parfum untuk mencegah kekeringan kulit.

b. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan/atau infeksi


HIV
Intervensi: Nilai pola defekasi, frekuensi defekasi, dan konsistensi
feses serta pasien yang melaporkan rasa sakit pada perut terkait
dengan defekasi. Kuantitas dan volume feses cair diukur untuk
mencatat kehilangan volume cairan. Kultur feses untuk menentukan
penyebab diare. Konseling untuk pengobatan dan asupan makanan
yang adekuat.

c. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan immunodefisiensi


Intervensi: Kepada pasien dan orang yang merawatnya diminta untuk
memantau tanda dan gejala infeksi, yaitu demam, mengigil, keringat
malam, batuk dengan atau tanpa produksi sputum, napas pendek,
kesulitan bernapas, sakit/sulit menelan, bercak putih di rongga mulut,
penurunan BB yang tidak jelas penyebabnya, kelenjar limfe
membengkak, mual, muntah, diare persisten, sering berkemih, sulit
dan nyeri saat berkemih, sakit kepala, perubahan visual dan penurunan
daya ingat, kemerahan, keluar sekret pada luka, lesi vaskuler pada
wajah, bibir atau daerah perianal. Perawat harus memantau hasil
laboratorium, seperti hitung leukosit dan hitung jenis. Penyuluhan
mencakup higiene perorangan, rumah (seperti kamar, dapur) harus
bersih untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur. Jika harus
membersihkan kotoran, pasien harus memakai sarung tangan.
Pengidap AIDS dan pasangannya harus menghindari kontak dengan
cairan tubuh selama melakukan hubungan seksual dan selalu
menggunakan kondom pada segala bentuk hubungan seks. Pentingnya
menghindari rokok dan mempertahankan keseimbangan antara diet,
istirahat, dan latihan. Semua petugas kesehatan harus selalu
mempertahankan tindakan penjagaan universal dalam semua
perawatan pasien.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keadaan mudah letih,


kelemahan, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
dan hipoksia yang menyertai infeksi paru
Intervensi: Toleransi terhadap aktivitas dinilai dengan memantau
kemampuan pasien untuk bergerak (ambulasi) dan melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Bantuan dalam menyusun rencana rutinitas
harian untuk menjaga keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
mungkin diperlukan. Barang-barang pribadi yang sering digunakan
harus ditaruh pada tempat yang mudah dijangkau. Terapi relaksasi
dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan yang turut
menimbulkan kelemahan dan keadaan mudah letih. Kolaborasi dengan
tim kesehatan lain mungkin diperlukan, seperti kelemahan akibat
adanya anemia, yang memerlukan terapi obat-obatan.

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


penurunan asupan oral
Intervensi: Status nutrisi dinilai melalui memantau BB, asupan
makanan, antropometri, kadar albumin, BUN, protein serta transferin
dalam serum. Pengendalian mual dan muntah dengan obat antiemetik
dapat meningkatkan asupan diet pasien. Menganjurkan pasien
memakan makanan yang mudah ditelan dan menghindari makanan
kasar, pedas atau lengket, serta terlalu panas atau dingin.
Menganjurkan menjaga higiene oral sebelum dan sesudah makan.
Jadwal makan harus diatur sehingga tidak jatuh pada saat pasien baru
saja menjalani tindakan yang menyebabkan nyeri dan dalam keadaan
kelelahan. Konsultasi dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan
nutrisi. Penggunaan suplemen yang khusus dirancang untuk pengidap
AIDS dapat dianjurkan pada pasien. Bila asupan oral tidak dapat
dipertahankan, memerlukan terapi nutrisi enteral atau parenteral.
Perawat komunitas atau perawatan di rumah (home care) dapat
memberikan pelajaran tambahan serta dukungan setelah pasien pulang
dari rumah sakit.

f. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari


sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya
menulari orang lain
Intervensi: Isolasi sosial adalah pengalaman sendiri individu akibat
perlakuan orang lain dan dianggap sebagai hal yang negatif dan
mengancam status. Isolasi sosial dapat terjadi akibat adanya penyakit
yang menyeramkan, dan mengakibatkan kegelisahan di suatu
masyarakat, sehingga menyebabkan seseorang diasingkan, misalnya
penyakit tuberkulosis dan AIDS. Pengidap AIDS menarik diri baik
secara fisik maupun emosional dari kontak sosial, akibat stigmatisasi
ganda. Perawat berada dalam posisi kunci untuk menciptakan suasana
penerimaan dan pemahaman terhadap pengidap AIDS dan keluarga
serta pasangannya. Pasien dianjurkan untuk mengekspresikan
perasaan terisolasi, kesepiannya, dan perawat harus menetramkannya
dengan menjelaskan bahwa semua perasaan ini merupakan hal yang
lazim serta normal. Berikan informasi tentang cara melindungi diri
sendiri dan orang lain dapat membantu pasien agar tidak menghindari
kontak sosial. Menjelaskan kepada pasien, keluarga dan sahabatnya
bahwa penyakit AIDS tidak ditularkan melalui kontak biasa.
Pendidikan bagi petugas kesehatan untuk mengurangi faktor-faktor
yang membuat pasien merasa terisolasi.

g. Berduka diantisipasi berhubungan dengan perubahan gaya hidup serta


pernannya, dan dengan prognosis yang tidak menyenangkan
Intervensi: Membantu pasien untuk mengutarakan perasaannya dan
menggali serta mengenali sumber yang bisa memberikan dukungan
dan mekanisme untuk mengatasi persoalan tersebut. Mendorong
pasien untuk mempertahankan kontak dengan keluarga, sahabatnya
dan memanfaatkan kelompok pendukung. Pasien juga dianjurkan
untuk meneruskan kegiatan yang biasa mereka lakukan.

h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan cara-cara mencegah


penularan HIV dan perawatan mandiri
Intervensi: Pasien, keluarga, dan sahabatnya diberitahu mengenai
cara-cara penularan penyakit AIDS. Semua ketakutan dan
kesalahpahaman harus dibicarakan dengan seksama.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia
yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu
yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah
suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relative
lama karena penurunan system kekebalan tubuh yang disebaban infeksi HIV.

AIDS (acquired immunodeficiencysyndrome) adalah kumpulan gejala


klinisakibat penurunan system imun yang timbulakibat infeksi HIV. AIDS
sering bermani-festasi dengan munculnya berbagai penyakitinfeksi
opportunistik, keganasan, gangguanmetabolisme dan lainnya. HIV adalah pe-
nyebab utama kematian wanita usia repro-duksi di seluruh dunia dan
merupakan pe-nyebab kematian bayi. Sehingga pentingnyaPPIA sebagai
pintu gerbang untuk pen-cegahan HIV, pengobatan, perawatan danlayanan
dukungan seluruh keluarga (Brou etal., 2007) dalam (Wahyuni, 2018).

Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus


(HIV) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita
hamil lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak
terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil.

Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus
itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat
menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin
dari infeksi HIV. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses
melahirkan, karena pada saat terjadi konntak secara langsung antara darah ibu
dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat mengenai bayi. Bayi juga dapat
tertular virus dari ibu sewaktu dalam kandungan atau juga dari pemberian
ASI, sehingga ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI.
E. SARAN

Diharapkan sebelum melakukan asuhan keperawatan pasien ibu hamil


dan persalinan dengan HIV AIDS terlebih dahulu menguasai konsep
sehingga dapat mempermudah pengumpulan data. Dalam pengumpulan data
sebaiknya melakukan hubungan baik dengan dan keluarga sehingga
mempermudah dalam pengumpulan data. Jadi diharapkan mampu melakukan
hubungan yang baik dengan pasien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Burns A, August . (2009). Perempuan dan AIDS. Yogyakarta: INSISTPress


Djuanda, Adhi. (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta:
fakultas kedokteran universitas Indonesia.

Doenges, Marilyn. E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Peremcanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2,
(Terjemahan), EGC, Jakarta

Green. W, 2005, HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan (Terjemahan), HIV


i-base http://www.i-base.info

Irianto, Koes. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular Dan Tidak Menular


Panduan Klinis. Bandung: ALFABET

Nasution, D. S. S., Kp, S., Kep, M., & Mat, S. (n.d.). Asuhan Keperawatan Pada
Ibu Hamil Resiko Tinggi: HIV-AIDS Dengan Melibatkan Masyarakat. 113.

Noer, Sjaefullah, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3, Jilid I, FKUI,
Jakarta.

Wahyuni, S. (2018). Kepatuhan ibu pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas
dalam pelaksanaan program pencegahan penularan HIV. Jurnal Kebidanan
dan Keperawatan Aisyiyah, 12(1), 38–45. https://doi.org/10.31101/jkk.123

Anda mungkin juga menyukai