Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

ANAK DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN AKIBAT


SINDROM NEFROTIK AKUT (SNA)

Dosen : Rimba Aprianti, S.Kep., Ners

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Tingkat III B/Semester V

1. Aprila 2018.C.10a.0958
2. Dantini 2018.C.10a.0963
3. Fitrialiyani 2018.C.10a.0967
4. Fredrick Immanuel 2018.C.10a.0968
5. Melatia Paska 2018.C.10a.0977
6. Rama 2018.C.10a.0981
7. Sarpika Yena Amalia 2018.C.10a.0985
8. Yuni Elia Kartika 2018.C.10a.0993

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
pada Anak Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Akibat Sindrom Nefrotik
Akut (SNA)”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas
Keperawatan Anak II”

Palangka Raya, 27 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................1
2.1 Konsep Penyakit ...............................................................................................4
2.1.1 Definisi....................................................................................................4
2.1.2 Anatomi Fisologi.....................................................................................4
2.1.3 Etiologi....................................................................................................9
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................10
2.1.5 Fatofisiologi (WOC) .............................................................................12
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................13
2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................13
2.1.8 Pemerikasaan Penunjang ......................................................................14
2.1.9 Penatalaksanaan Medis .........................................................................15
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan ..................................................................16
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ........................................................................21
2.3.2 Diagnosa Keperawatan ...........................................................................25
2.3.3 Intervensi Keperawatan ..........................................................................25
2.3.4 Implementasi Keperawatan ....................................................................27
2.3.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................................27
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................28
3.1 Pengkajian ...................................................................................................28
3.2 Diagnosa ......................................................................................................40
3.3 Intervensi .....................................................................................................41
3.4 Implementasi ...............................................................................................45
3.5 Evaluasi .......................................................................................................45
BAB 4 PENUTUP ................................................................................................48
4.1 Kesimpulan .................................................................................................48
4.2 Saran ............................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Nefrotik akut (SNA) sering terjadi pada anak usia 5-12 tahun,
jarang terjadi pada anak dibawah 3 tahun. Sekitar 97% kasus terjadi di negara
berkembang dan berkurang di industri atau negara maju. Terbukti, selama 2-3
tahun terakhir, kejadiannya telah menurun di Amerika Serikat dan juga di negara
lain, seperti Jepang, Eropa Tengah, Inggris Raya dan Korea Selatan. Hal ini
berkaitan dengan kondisi hygien yang baik, lingkungan yang sehat, serta
penggunaan antibiotik. WHO (world health organization) memperkirakan kasus
sindrom nefrotik akut terjadi kira-kira 472.000 kasus setiap tahunnya secara
global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Kira-kira 404.000 kasus
dilaporkan terjadi pada anak-anak dan 456 terjadi pada negara berkembang
(Parmar, 2016).
Sindrom Nefrotik Akut (SNA) yang ditandai dengan gross hematuria,
oedema, hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Gangguan ini sering terjadi pada
anakanak, disebabkan oleh infeksi kuman Streptococcus β-hemolyticus group A
strain
nephritogenic, dan 97% kasus terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia
pada tahun 2013-2017. Terdapat 67 sampel terdiri dari 48 (71,6%) Sindrom
Nefrotik Akut (SNA) dan 19 (25,3%) kasus yang tidak mengalami Sindrom
Nefrotik Akut (SNA). Berdasarkan analisis bivariat ditemukan 5 variabel yang
berhubungan dengan kejadian sindrom nefrotik akut yaitu jenis kelamin laki-laki,
usia ≥ 5 tahun, status sosial ekonomi rendah, gizi baik, dan musim hujan. Faktor
risiko yang tidak berhubungan dengan kejadian sindrom nefrotik akut ialah
pendidikan orang tua (Gunasekaran, 2015).
Sindrom Nefrotik Akut (SNA) mempunyai karakteristik berupa trias
gejala klasik yaitu oedema yang terjadi secara tiba-tiba, hematuria, dan hipertensi.
Meskipun gambaran klinisnya cukup jelas, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium
dapat memberikan tambahan untuk mendukung diagnosis. Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi gambaran klinis dan komplikasi dari sindrom nefrotik akut
yang terjadi pada anak di RSUP Prof. Dr. R. Kandou Manado. Jenis penelitian
ialah retrospektif pada pasien-pasien dari periode Desember 2009-2014. Sebanyak
45 pasien di diagnosis sindrom nefrotik akut. Hasil penelitian mendapatkan bahwa
sebagian besar pasien (88,8%) berusia 5-12 tahun, hanya 5 pasien dengan usia ≤ 5
tahun. Anak laki-laki dua kali lebih sering terkena daripada anak perempuan.
Penyakit ini ditandai dengan oedema yang terjadi secara tiba-tiba (64,4%),
hipertensi (46,6%), urin berwarna seperti teh (33,3%), dan demam (28,8%).
Peningkatan titer ASTO di atas 250 Todd unit dijumpai pada 68,8% kasus. Dari
45 pasien, hanya 18 pasien yang diperkirakan nilai C3 dan hasilnya
memperlihatkan bahwa 18 pasien tersebut memiliki hasil C3 < 50 mg/dL.
Komplikasi yang sering terjadi ialah hipertensi ensefalopati (8,9%) dan (4,4%)
krisis hipertensi (Umboh, 2014).
Berdasarkan data di rumah sakit RSUD R. Syamsudin, SH, penyakit
sindrom nefrotik akut pada anak tidak termasuk penyakit terbesar di rumah sakit.
Terdapat kejadian kasus Sindrom Nefrotik Akut (SNA) termasuk langka pada
bulan Oktober 2018 hanya 1 orang dan Januari 2019 hanya ada 2 orang, walaupun
penyakit sindrom nefrotik akut jarang terjadi namun berdampak buruk pada anak
hingga menyebabkan kematian. Apabila tidak segera ditangani sindrom nefrotik
akut juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi serius, meliputi malnutrisi,
penggumpalan darah, gangguan kolesterol, tekanan darah tinggi, dan gagal ginjal.
Sebagian besar sindrom nefrotik akut pada anak muncul lantaran penyebab yang
tidak diketahui.
Penderita Sindrom Nefrotik Akut (SNA) pada anak harus mendapat
perawatan yang cukup selama di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak, hal ini disebabkan
oleh lingkungan fisik rumah sakit seperti bangunan/ruang rawat, alat-alat, bau
yang khas, pakaian putih petugas rumah sakit. Lingkungan sosial rumah sakit
seperti interaksi dengan sesama pasien anak ataupun interaksi dan sikap petugas
kesehatan menimbulkan perasaan takut, cemas, tegang dan perasaan tidak
menyenangkan lainnya yang sering dialami oleh anak. Maka dari itu, anak perlu
mendapatkan perhatian khusus dalam proses tumbuh kembangnya.
Sehubungan dengan masalah yang muncul pada pasien dan melihat
fenomena di atas, maka dari itu kelompok merasa tertarik untuk menyusun
makalah yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Anak
dengan Gangguan Sistem Perkemihan Akibat Sindrom Nefrotik Akut (SNA)”.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada An. A dengan diagnosa medis
Sindrom Nefrotik Akut?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Intruksional Umum (TIU)
Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan Asuhan Keperawatan pada
An. A dengan diagnosa Sindrom Nefrotik Akut.
1.3.2 Tujuan Intruksional Khusus (TIK)
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar penyakit Sindrom Nefrotik
Akut.
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada
Tn. S Vulnus Punctum
1.3.2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada An. A Sindrom Nefrotik
Akut
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menentukan diagnosa pada An. A Sindrom Nefrotik
Akut
1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi pada An. A
Sindrom Nefrotik Akut.
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada An. A
Sindrom Nefrotik Akut.
1.3.2.7 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada An. A Sindrom Nefrotik
Akut di.
1.3.2.8 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi keperawatan.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya Sindrom Nefrotik Akut.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan dapat mengedukasi keluarga untuk dapat selalu menjaga
kesehatannya dan sebagai sumber informasi pada keluarga tentang Sindrom
Nefrotik Akut.
1.4.3 Bagi Institusi
Menjadi sumber refrensi bagi institusi pendidikan maupun rumah sakit.
1.4.4 Bagi IPTEK
Hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat peraktis dalam
keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus pada pasien
dengan Sindrom Nefrotik Akut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi Sindrom Nefrotik Akut
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ( Ngastiyah, 2005 dalam Rahma, 2012).
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi
proteinuria masif > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia.
Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membrane kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus (Muttaqin,
2012).
2.1.2 Anatomi Fisiologi

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding


abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar.
Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula
renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah
fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang
dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian
apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan
hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis
ginjal (Tortora, 2011). Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur
volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan
mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai
dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat
terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan
zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem
pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012). Menurut Sherwood (2011), ginjal
memiliki fungsi yaitu:
a) Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b) Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri
c) Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d) Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e) Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood,
2011). Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara
bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi
lengkap dan kemudian akan dieksresi (Sherwood, 2011).
2.1.3 Etiologi
Menurut Mansjoer, 2010 Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum
diketahui, akhir- akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu
reaksi antigenantibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi:
2.1.3.1 Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2.1.3.2 Sindrom Sefrotik Sekunder
Disebabkan oleh: malaria kuartana atau parasit lainnya, penyakit kolagen
seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid, glumerulonefritis akut
atau kronik, trombosis vena renalis, bahan kimia seperti trimetadion, paradion,
penisilamin, garam emas, air raksa, amiloidosis, penyakit sel sabit,
hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
2.1.3.3 Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron. Churg dkk membagi menjadi 3
golongan yaitu kelainan terpadu, nefropati membranosa, dan glomerolunefritis.
(Ngastiyah, 2005 dalam Niken, 2014).
2.1.4 Klasifikasi Sindrom Nefrotik Akut
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut
berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk
menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan
hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik,
yaitu :
2.1.4.1 Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2.1.4.2 Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
2.1.5 Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat
pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan
dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin,
tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke
dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal
karena hypovolemi.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi
dengan merangsang produksi renin - angiotensin dan peningkatan sekresi anti
diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi
kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari
peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan
penurunan onkotikplasma. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya
produksi lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya
protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria).
Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng.
(Yuliani, 2007 dalam Niken, 2014)
WOC Sindrom Nefrotik Akut
2.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang menyertai sindrom nefrotik (Ngastiyah, 2005)
antara lain :
2.1.6.1 Proteunuria
2.1.6.2 Edema
2.1.6.3 Penurunan jumlah urine, urine gelap dan berbusa
2.1.6.4 Hematuria
2.1.6.5 Anoreksia
2.1.6.6 Diare
2.1.6.7 Pucat
2.1.7 Komplikasi
2.1.7.1 Penurunan volume intravascular
2.1.7.2 Pemburukan pernafasan
2.1.7.3 Kerusakan kulit
2.1.7.4 Infeksi sekunder akibat kadar immunoglobulin yang rendah karena
hipoalbumenia. (alimul aziz, 2009).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
2.1.8.1 Uji urine
1) Protein urin : >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh
2) Berat jenis urin (normal : 285 mOsmol)
2.1.8.2 Uji darah
1) Albumin serum <3 g/dl
2) Kolesterol serum meningkat
3) Hemoglobin dan hematokrit meningkat
4) LED meningkat
2.1.8.3 Uji diagnostic
1) Rotgen dada menunjukan adanya cairan berlebih
2) USG ginjal dan CT scan
2.1.9 Penatalaksanaan
2.1.9.1 Penatalaksanaan medis
1. Istirahatkan sampai edema berkurang, batasi asupan natrium 1g/hari
2. Diit protein tinggi sebanyak 2 – 3 g/kg BB dengan garam minimal bila
edema masihh berat dan bila edema berkurang dapat di beri sedikit garam
3. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam sapat digunakan
deuretik (furosemid 1mg/kg BB/hari)
4. Mencegah infeksi harus diperiksa, kemungkinan anak menderita
tuberkolosis
2.1.9.2 Penatalaksanaan keperawatan
1. Tirah baring: Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa
hari mungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi
edema.
2. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal
diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan
lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
3. Mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbangan harian, pencatatan
tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
4. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk
mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi
keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
(Ngastiyah, 2005 dalam Niken, 2012).
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Anamnesa, Indentitas pasien, riwayat penyakit,keluhan utama
2.2.1.2 Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama : Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya
yaitu adanya rasa nyeri. Lokasi luka biasanya terdapat pada daerah-
daerah yang menonjol, misalnya pada daerah abdomen , daerah
tangan , telapak kaki,.
2) Riwayat Penyakit Sekarang : Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai
kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas, lamanya atau
frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta
keluhan- keluhan lain yang menyertai dan upaya- upaya yang telah
dilakukan perawat disini harus menghubungkan masalah kulit dengan
gejalanya seperti: gatal, panas, mati rasa, immobilisasi, nyeri, demam,
edema, dan neuropati
3) Riwayat Kesehatan masa lalu:
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi,
DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum
oleh klien pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek
samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi
alergi apa yang timbul
4) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan karena penyembuhan luka
dapat dipengauhi oleh penyakit-penyakit yang diturunkan seperti :
DM, alergi, Hipertensi ( CVA ). Riwayat penyakit kulit dan prosedur
medis yang pernah dialami klien. Hal ini untuk memberikan informasi
apakah
perubahan pada kulit merupakan manifestasi dari penyakit sistemik
seperti : infeksi kronis, kanker, DM
2.2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien biasanya baik atau
compos mentis (CM) dan umumnya penderita datang dengan keadaan
sakit dan gelisah atau cemas akibat adanya kerusakan integritas kulit
yang dialami.
2) B1 (Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas
normal.
3) B2 (Blood)
Tekanan darah biasanya mengalami peningkatan atau dalam batas
normal tidak ada bunyi jantung tambahan dan tidak ada kelainan
katup.
4) B3 (Brain)
Kaji adanya hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, terlihat
kelemahan/kehilangan fungsi. Pergerakan mata atau kejelasan
penglihatan, dilatasi pupil. Agitasi berhubungan denan nyeri atau
ansietas.
5) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien.
Perubahan pola kemih seperti inkontinesia urin, disuria, distensi
kandung kemih, warna dan bau urin, dan kebersihan.
6) B5 (Bowel)
Kaji adanya konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi
bising usus, anoreksia, adanya anoreksia abdomen, dan nyeri tekan
abdomen.
7) B6 ( Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Kaji adannya berat
tiba-tiba mungkin teralokasi pada area jaringan dapat berkurang pada
imobilisasi, kontraktur atrofi otot ,laserasi kulit dan perubahan warna.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
2.2.2.1 Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan SDKI
(D.0022. hal. 62)
2.2.2.2 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kekurangan atau kelebihan
volume cairan SDKI (D0129. Hal 282)
2.2.2.3 Ansietas berhubungan dengan krisis situasional SDKI (D0080. Hal 180)
2.2.2.4 Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurang nya terpapar informasi
SDKI (0111, hal 246)
2.2.2.5 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot(D.0056. Hal 128
2.2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Cairan SLKI ( I.03098 hal.159)
selama 1x8 jam diharapkan status nyeri Observasi :
berhubungan dengan
membaik dengan kriteria hasil : 1. Monitor stats hidrasi
kelebihan asupan cairan 2. Monitor berat badan harian
1. Turgor kulit meningkat dengan skor 5
3. Monitor hasil pemerikasaan labarotorium
SDKI (D.0022. hal. 62) 2. Output urine meningkat dengan skor 5
4. Monitor status hemodinamika
3. Pengisian vena meningkat dengan skor
5 Terapeutik :
4. Edema perifer menurun dengan skor 5 1. Catat intake-output dan hitung balance cairan 24 jam
5. Distensi vena jugularis menurun 2. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
dengan skor 5 3. Berikan cairan intravena , jika perlu
6. Membrane mukosa membaik dengan Kolaborasi :
skor 5 1. Kolaborasi pemberian diuretic, jika perlu
2. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan ( Perawatan luka I.14564, Hal.328)
selama 1x8 jam diharapkan keutuhan kulit Observasi :
kulit berhubungan
meningkat dengan kriteria hasil : 1. Monitor karakteristik luka
dengan kekurangan atau 1. Suhu kulit membaik.(5) 2. Monitor tanda-tanda infeksi
2. Sensasi kulit membaik.(5) Terapeutik :
kelebihan volume cairan
3. Tekstur kulit membaik.(5) 1. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
SDKI (D0129. Hal 282) 4. Nyeri menurun.(5) 2. Cukur rambut disekitar daerah luka, jika perlu
5. Kemerahan pada kulit menurun.(5) 3. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih
6. Elastisitas kulit meningkat.(5) nontoksik, sesuai kebutuhan
4. Besihkan jaringan nekrotik
5. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
6. Pasang balutan sesuai jenis luka
7. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan
luka
8. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
9. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai
kondisi pasien
10. Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari
dan protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari
11. Berikan suplemen vitamin dan mineral
12. Berikan terapi TENS (stimulasi saraf
transcutaneous), jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan
protein
3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi prosedur debridement
2. Kolaborasi pemberian antibiotik
3. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Reduksi ansietas (I.09314. Hal 200)
selama 1x8 jam diharapkan tingkat ansietas Observasi :
dengan krisis situasional
menurun dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi tingkat ansietas berubah (mis. kondisi,
SDKI (D0080. Hal 180) 1. Verbalisasi kebingungan menurun waktu, stressor)
dengan skor 5 2. Ciptakan suasana terapeutik untuk menimbulkan
2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang kepercayaan
dialami menurun dengan skor 5 Terapeutik :
3. Perilaku gelisah menurun dengan skor 5 3. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
4. Anoreksia menurun dengan skor 5 perlu
5. Pola berkemih membaik dengan skor 5 4. Pahami situasi yang membuat ansietas
6. Pucat menurun dengan skor 5 5. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
7. Tekanan darah menurun dengan skor 5 kecemasan
Edukasi :
6. Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin
dialami
7. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
8. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
9. Latih tehnik relaksasi
Kolaborasi :
10. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
4. Deficit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang
selama 1x8 jam diharapkan tingkat penyakitnya.
berhubungan dengan
pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil : 2. Berikan penjelasan pada klien tentang kondisinya
kurang nya terpapar 1. Perilaku sesuai anjuran meningkat sekarang
dengan skor 5 3. Berikan informasi pada klien dan keluarga tentang
informasi SDKI (0111,
2. Perilaku sesuai dengan pengetahuan penyakitnya
hal 246) meningkat denga skor 5 4. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali
3. Pertanyaan tentang masalah yang tentang materi yang telah diberikan.
dihadapi menurun dengan skor 5
4. Persepsi yang keliru terhadap masalah
menurun dengan skor 5
5. Perilaku membaik dengan skor 5

5. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan (Dukungan Mobilisasi I.05173, hal 30)
berhubungan dengan selama 1x8 jam diharapkan mobilisasi fisik Observasi :
kelemahan otot(D.0056. meningkat dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Hal 128 ) 1. Kekuatan otot pasien cukup meningkat. 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
(5) 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
2. Rentang gerak pasien cukup meningkat. sebelum memulai mobilisasi
(4) 4. Monitor kondisi umum selama melakukan
3. Nyeri menurun.(5) mobilisasi
4. Kecemasan pasien menurun. (5) Terapeutik :
5. Kelemahan fisik menurun. (5) 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
6. Gerakan terbatas pasien menurun. (5) 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
7. Kekakuan sendi menurun. (5) 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan

6 Resiko Syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan ( Manajemen syok hipovolemik I.02050. hal. 222)
Hipovolemik selama 1x8 jam diharapkan Tingkat syok Observasi :
berhubungan dengan menurun dengan kriteria hasil : 1. Monitor status kardiopulmonal
perdarahan yang 1. Kekuatan nadi meningkat. (5) 2. Monitor status oksigenasi
berlebihan, pindahnya 2. Output urine meningkat. (5) 3. Monitor status cairan
cairan intravaskuler ke 3. Tingkat kesadaran meningkat. (5) 4. Periksa tingkat kesadaran dan respom pupil
ekstravaskuler. 4. Pucat pada wajah pasien menurun. (5) 5. Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap
(D.0039) 5. Tekanan nadi membaik. (5) adanya DOTS
6. Mean arterial pressure membaik.(5) Terapeutik :
7. Frekuensi napas membaik.(5) 1. Pertahankan jalan napas paten
8. Frekuensi nadi membaik. (5) 2. Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturnasi oksigen >94%
3. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis,jika
perlu
4. Lakukan penekanan langsung (direct pressure)
pada pendarahan eksternal
5. Berikan posisi syok
6. Pasang jalur IV berukuran besar
7. Pasang kateter urine untuk dekompresi lambung
8. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah
lengkap dean elektrolit
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 1-2
L pada orang dewasa
2. Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 20
mL/kgBB pada anak
3. Kolaborasi pemberian transfuse darah, jika perlu
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada
langkah sebelumnya (intervensi).
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan
intervensi keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah
diberikan (Deswani, 2009).
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana
keperawatan (Manurung, 2011). Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan SOAP.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien dan Keluarga
Nama pasien : An.A
Tanggal lahir/umur : 9 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : Kelas 3 SD
Alamat : jalan menteng
3.1.2 Identitas Penangung jawab
Nama ayah : Tn.H
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : SMA
Nama ibu : Ny.H
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerajaan : IRT
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ( Ngastiyah, 2005 dalam Rahma, 2012).
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi
proteinuria masif > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia.
Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membrane kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus (Muttaqin,
2012). Menurut Mansjoer, 2010 Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum
diketahui, akhir- akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu
reaksi antigenantibodi.
4.2 Saran
Penderita Sindrom Nefrotik Akut (SNA) pada anak harus mendapat
perawatan yang cukup selama di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak, hal ini disebabkan
oleh lingkungan fisik rumah sakit seperti bangunan/ruang rawat, alat-alat, bau
yang khas, pakaian putih petugas rumah sakit. Lingkungan sosial rumah sakit
seperti interaksi dengan sesama pasien anak ataupun interaksi dan sikap petugas
kesehatan menimbulkan perasaan takut, cemas, tegang dan perasaan tidak
menyenangkan lainnya yang sering dialami oleh anak. Maka dari itu, anak perlu
mendapatkan perhatian khusus dalam proses tumbuh kembangnya.
DAFTAR PUSTAKA

Yuliani, Rita. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Suharyanto, Toto , Abdul Madjid. 2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
Israr, Yayan Akhar. 2008. Sidroma Nefrotik (SN). http://www.Belibis17.com.
diakses tanggal 29 Mei 2016.
Marloviana, Niken F. 2014. “Asuhan Keperawatan pada An.A Usia Toddler
(1,5tahun)Dengan Diagnosa Medis Nefrotik Sindrom di Ruang Alamanda
RSUD. dr. Hi. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung”. Studi Kasus. STIKes
Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

Anda mungkin juga menyukai