Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana merupakan peristiwa yang biasanya mendadak (bisa
perlahan) disertai jatuhnya banyak korban dan bila tidak ditangani dengan
tepat akan menghambat, mengganggu dan merugikan masyarakat,
pelaksanaan dan hasil pembangunan. Indonesia merupakan super market
bencana. Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat ulah manusia.
Untuk mencegah terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk mengurangi
dan menyelamatkan korban bencana, diperlukan suatu cara penanganan yang
jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Ditingkat
nasional ditetapkan Bakornas-PBP (sekarang Banas), Satkorlak-PBP
dipropinsi dan Satlak-PBP dikabupaten kota. Unsur kesehatan tergabung
didalamnya.
Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana, penanganan pasien gadar
melibatkan pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS. Memerlukan
penanganan terpadu dan pengaturan dalam sistem. Ditetapkan SPGDT-S dan
SPGDT-B (sehari-hari dan bencana) dalam Kepres dan ketentuan pemerintah
lainnya.
Disadari untuk peran jajaran kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa
memerlukan kesiapsiagaan dan berperan penting dalam penanggulangan
bencana, mengingat dampak yang sangat merugikan masyarakat. Untuk itu
seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui tujuan dan langlah-langkah
kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya kesiapsiagaan dan
penanggulangan secara menyeluluruh.

1
Dalam manajemen bencana ada dua kegiatan besar yang dilakukan :
Pertama; pada saat sebelum bencana (pre event) berupa kesiapsiagaan
menghadapi bencana (disaster preparedness) dan pengurangan resiko bencana
(disaster mitigation), Kedua ; kegiatan tanggap bencana (emergency response)
dan kegiatan pemulihan akibat bencana (disaster recovery).
Berdasar realitas, kita selama ini banyak melakukan kegiatan pasca
bencana berupa kegiatan tanggap darurat dan pemulihan (recovery) akibat
bencana, tapi sangat sedikit sekali perhatian terhadap kegiatan untuk
kesiapsiagaan pra bencana dan pengurangan resiko bencana. Kegiatan-
kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari kesiapsiagaan dan
pengurangan resiko bencana adalah : Kegiatan pendidikan kesadaran bencana
(disaster awareness), Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat,
Penyiapan Teknologi Tahan/Siaga Bencana, Membangun Sistem Sosial yang
tanggap bencana dan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Bencana secara
komprehensif dan terpadu.
Bencana menjadi tanggung jawab seluruh komponen masyarakat dan
pemerintah maupun swasta. Namun dalam pelaksanaannya menolong korban
haruslah secara tepat dan cepat, selain itu juga diperlukan koordinasi yang
bagus. Diperlukan skill dan pengetahuan yang cukup tentang penanganan
pertama disamping pengetahuan medan bencana serta komunikasi yang
terpadu dalam menolong korban bencana.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memberitahukan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai sistem
penanggulangan bencana terpadu

2
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian sistem penanggulangan gawat darurat
terpadu
b. Untuk mengetahui Penanggulangan Bencana
c. Untuk mengetahui Evaluasi terhadap jaminan kualistas pertolongan
bencana
d. Untuk mengetahui Perlunya Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu
e. Untuk mengetahui Gerakan Safe Community

3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Sistem penanggulangan Gawat darurat terpadu ( SPGDT )


SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat
yang terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit
dan antar Rumah Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang
menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan
oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans
gawat darurat dan sistem komunikasi.
Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat
darurat untuk kematian atau kerusakan organ sehingga produktivitasnya dapat
dipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
Didalam memberikan pelayanan medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub
sistem yaitu: sistem pelayanan pra rumah sakit, sistem pelayanan pelayanan di
rumah sakit dan sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga sub sistem ini
tidak dapat di pisahkan satu sama lain, dan bersifat saling terkait dalam
pelaksanaan sistem.
Prinsip SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat, dan
tepat, dimana tujuannya adalah untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah
kecacatan (time saving is life and limb saving) terutama ini dilakukan sebelum
dirujuk ke rumah sakit yang dituju.

Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu : fase deteksi, fase supresi, fase
pra rumah sakit, fase rumah sakit, dan fase rehabilitasi. Fase-fase ini berjalan
dengan baik bika ada ketersediaan dana yang memadai.

4
1. Fase deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya
adalah frekuensi kejadian, penyebab, korban, tempat tempat rawan, kualitas
kejadian dan dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas
maka dapat di prediksi:kecelakaan lalu lintas(KLL), buruknya kualitas
“helm” sepeda motor yang di pakai, jarangnya orang memakai”safty belt”,
tempat kejadian tersering di jalan raya yang padat atau di jalan
protocol,korban kecelakaan mengalami luka di berbagai tempat atau
multiple injuries. Contoh lain bila terkait dengan bencana alam, maka dapat
di predikisi: daerah rawan gempa, jenis bangunan yang sering hancur,
kelompok korban, dan jenis bangunan tenaga kesehatan yang paling di
butuhkan pada korban gempa.
2. Fase supresi
Kalau kita dapat memprediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan
atau terjadi bencana yang dapat mnimbulkan korban masal maka kita dapat
melakukan supresi.supresi atau menekan agar terjadi penurunan gawat
darurat di lakukan dengan berbagai cara yaitu: perbaikan konstruksi jalan
(engineering) peningkatan pengetahuan peraturan lalu lintas (enforcement)
perbaikan kualitas “helm”, pengetatan elalui undang undang alu lintas,
pengetatan peratuan keselamatan kerja, peningkatan patrol keamanan, atau
membuat pemetaan daerah bencana (disaster map)
3. Fase pra rumah sakit
Pada fasepra rumahsakit, keberhasilan penanggulangan penderita
gawat darurat pada fase ini tergantung pada beberapa komponen yaitu:
akses masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih atau
akses petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih ke korban atau
masyarakat, komunikasi dan ajrngan komunikasiyang dapat di
manfaatkan,serta ketersediaan sarana gawat darurat seperti ambulan.

5
Saluran informasi yang dapat di akses bila memerlukan bantuan
pertolongan korban bencana di masyarakat:
 POLISI----------------------------------------TELP : 112
 PEMADAM KEBAKARAN (RESCUE)------------------- TELP : 113
 RUMAH SAKIT SETEMPAT---------------------- ?

Untuk daerah dapat menghubungi DINAS PEMADAM


KEBAKARAN dan penanggulangan bencana provinsi atau kabupaten kota.
a. Komunikasi
Lalu lintas komunikasi yang vital di perlukan dalam penanggulangan
bencana di antaranya mencakup
1) Pusat komunikasi keambulan.
2) Pusat ke rumah sakit.
3) Pusat komunikasi ke instansi lain.
4) Instansi terkait lain.
5) Ambulan ke ambulan.
6) Ambula ke rumah sakit.
7) Masyarakat terkatih ke pusat lomunikasiatau pelayanan
kesehatan.

Untuk komunikasi ini dapat di gunakan saluran melalui radio


medic dengan frekuensi khusus, ORARI / RAPI dengan memakai “ten
code” sehingga rahasia masih dapat di jaga, radio-telpon seluler,
komunikasi satelit, atau melalui internet.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima memberikan
informasi, memonitor, bekerja sama termasuk memberikan komando
penanggulangan bencana baik secara lintas provinsi, nasional maupun
internasional. Di pusat komunikasi dapat dilibatkan “Orang Awam”,
yaitu mereka yang menemukan korban kali pertama, atau yang

6
memberikan pertolongan pertama. Orang awam ini dapat di latih,
sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus yang terorganisir
dengan baik antara lain seperti Pramuka, Palang Merah Remaja, Siswa
Sekolah, Mahasiswa, Hansip atau petugas keamanan, atau karang
taruna.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara
minta tolong, cara memberikan bantuan hidup dasar, cara
menghentikan perdarahan, cara memasang balut bidai, cara
mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan untuk awam khusus
dapat di tingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang diemban setiap
hari misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai biomekanik
kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi. Dengan
demikian korban dapat di tolong dengan benar dan optimal.

b. Ambulan Gawat Darurat (AGD)

Ambulan gawat darurat idealnya harus mampu tiba di tempat


korban dalam waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian.
Kematian dapat terjadi karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti
jantung, dan perdarahan masif.

Untuk daerah perkotaan yang lalu lintasnya padat seperti Jakarta


diperlukan “ambulan sepeda motor gawat darurat” dimana
kemampuannya sama dengan ambulan gawat darurat/AGD hanya tidak
mempunyai tandu (Stretcher), tetapi dapat sampai ditempat kejadian
lebih cepat dari AGD roda empat. AGD dan Ambulan Sepeda Motor
Gawat Darurat memiliki personil yang mampu melakukan Pre Hospital
Cardiac Life Support (PHCLS) dan Pre Hospital Trauma Life Support
(PHTLS) serta masalah gawat darurat lainnya.

7
AGD atau Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi
rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit
pelayanan bencana maka AGD dan atau Ambulan Sepeda Motor Gawat
Darurat perlu meningkatkan jalinan komunikasi dengan pusat
komunikasi, rumah sakit dan ambulan lain.

c. Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga

AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan


peran PUSKESMAS Keliling menjadi Ambulan Gawat Darurat (AGD)
Desa Siaga. Peralatan standar yang dianjurkan seperti Orotracheal
Tube dan Suction untuk membebaskan jalan nafas (airway). Oksigen
dan Bag and Mask untuk membantu pernafasan (breathing) balut cepat
dan infus untuk membantu mempertahankan sirkulasi yang baik
(circulation) dan bidai termasuk Neck Collar, Long/Short Board dan
traksi untuk membantu penderita yang mengalami cedera
musculoskeletal atau spinal.

Di Indonesia terdapat sekatitar 2000 rumah sakit dengan UGD


yang bervariasi dan belum ada koordinasi dalam penanggulangan
korban gawat darurat maupun penanggulangan bencana. Masing-
masing berusaha untuk mendapat citra ekslusif sehingga pelayanan
kesehatan menjadi mahal apabila korban tidak memiliki asuransi atau
tidak ada keluarga yang mendampingi, maka kemungkinan akan
terlantar. Keadaaan ini bukan saja di Indonesia tetapi juga terjadi di
negara maju seperti Amerika Serikat sebelum tahun 1990-an. Pada
tahun 1976 setelah perang Vietnam selesai para dokter dan perawat
kembali dan mengembangkan system PPGD sesuai dengan pengalaman
mereka di Vietnam.

8
Rumah sakit juga saling berlomba membentuk Trauma Center
dengan prinsip “The Right Patient To The Right Hospital By The Right
Surgeon”, sehingga sering terjadi keterlambatan karena Ahli Bedah
tidak ditempat. Baru tahun 1990 Amerika Serikat menyadari kesalahan
ini dan mengubah system PPGD menjadi “Inclusive System”. Sistem
ini menjamin semua korban gawat darurat akan mendapat pelayan dan
penanggulangan yang optimum pada fasilitas yang sesuai dengan berat
cederanya. System ini memanfaatkan semua sarana Pra RS dan UGD
yang ada di kota dan daerah yang menjadi satu kesatuan secara terpadu.
Sejak tahun 1990-an, pada fase pra-rumahsakit semua Ambulan Gawat
Darurat dihimpun dibawah satu system di Amerika Serikat adalah 911.

4. Fase Rehabilitasi

Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus


dilakukan rehabilitasi secara utuh, mencangkup fisik, mental, spiritual dan
social. Hal ini perlu dilakukan agar dapat berfungsi kembali didalam
kehidupan bermasyarakat. Pada faserehabilitasi melibatkan berbagai
disiplin ilmu, dengan harapan terjadi reorientasi terhadapkehidupan nya
sesuai kondisinya saat ini.

B. Penanggulangan Bencana
Dalam penanggulangan bencana ada beberapa hal yang perlu kita cermati
yaitu penanggulangan bencana adalah eskalasi penanggulangan gawat darurat
sehari-hari, penanggulangan bencana tidak akan berhasil kalua penanggulangan
gawat darurat sehari-hari buruk, dan bencana dapat terjadi di setiap tempat, baik
di kota maupun di desa.
Peristiwa bencana dapat terjadi pada semua tempat dari setiap saat.
Peristiwa akan terjadinya bpredisikan sehingga meminimalkan korban dan
kerusakan. Bencana dapat terjadi setiap saat dan setiap tempat seperti :

9
1. Di dalam rumah sakitnya sendiri
2. Korban bencana dibawa ke UGD/RS
3. Bencana dalam kota (urban)
4. Bencana dilua kota (rural)
5. Bencana diluar pulau (regional)
6. Bencana nasional
7. Bencana huru-hura (perang)
Mencermati kondisi tersebut, maka semua rumah sakitwajib mempunyai
“Disaster Plan” sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. Untuk daerah
“Rural” atau di luar pulau maka sebaiknya didatangkan bantuan dari daerah
“Urban” jika :
1. Tingkat penanggulangan gawat darurat sehari0hari di bawah standar
nasional (ada/tidaknya spesialis empat besar/ahli bedah)
2. Jumlah korban melebihi kemampuan petugas/ahli bedah)
a. Bantuan yang didatangkan adalah dengan memindahkan sarana Rumah
Sakit (UGD, Kamar Operasi, ICU, Farmasi, Rontgen, Laboratorium,
Dapur, Satpan).
Agar penanggulangan bencana dapat berjalan baik dan maksimal harus
pernah melakukan simulasi penanggulangan bencana, minimal bila terjadi di
rumah sakitnya sendiri. Stimulasi dilakukan secara periodik agar semua petugas
yang terlibat memahami secara utuh suatu saat terjadi bencana.
Dalam organogram BAKORNAS penanggulangan bencana jalur komando
adalah dari pemerintah/menteri kepada gubernur lalu bupati/walikota,
sedangkan dibawah bupati akan dibentuk satgas bila diperlukan dan ini
memakan waktu. Kenyataan di lapangan tidak ada organisasi yang terorganisi
yang mampu bergerak cepat untuk menanggulangi bencana. Sehingga
masyarakat awam khusus atau masyarakat awam yang peduli bencana memiliki
pisisi stategis yang sangat menguntungkan korban bila bencana tiba. Sayangnya

10
sampai saat ini, awam khusus belum diberdayakan secara optimal, khususnya
persiapan pada tahap pra-bencana (pra-impact).
Dalam penanggulangan bencana “Rapid Response” dan “Ra[id
Assesment” Rapid Response dilaksanakan didaerah perkotaan (Urban
Community) oleh unsur-unsur :
1. Sector keeamanan oleh POLRI (112), memastikan bahwa daerah bencana
telah aman untuk petugas kesehatan. Misalnya tidak ada lagi bahaya
ancaman bom yang akan meledak atau serpihan kaca yang bergantungan
didinding sudah tidak membahayakan.
2. Sector rescue oleh dinas kebakaran dan penangulangan bencana (113)
3. Sector kesehatan oleh petugas kesehatan terlatih.

Ketiga unsur ini sebaiknya berada pada satu atap, sehingga terbiasa
bekerja sama dalam keadaan gawat darurat sehari-hari maupun dalam keadaan
bencana. Hal ini akan memudahkan akses masyarakat mencari bantuan.

Untuk didaerah pedesaan (Rural community) mungkin ketiga unsur


tersebut tidak ada atau belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Sehingga
yang dapat dioptimalkan untuk didaerah pedesaan adalah :

1. Sector keamanan dan rescue oleh babinsa, hansip atau babincamtidmas


2. Sector kesehatan oleh petugas PUSKESMAS

Rapid assessment perlu segera dilakukan bila terjadi bencana.

Rapid assessment merupakan suatu proses pengkajian segera didaerah


bencana untuk memperoleh onformasi tentang berat ringannya kerusakan,
jumlah korban, klasifikasi tingkat keparahan korban termasuk korban yang
meninggal yang harus sudah didapat dalam waktu kurang dari 2-4 jam sejak
serangan terjadi. Yang dapat melakukan hal ini hanya ketiga unsur tersebut

11
dibawah koordinasi pada badan penanggulangan bencana nasional (BPBN) atau
badan penanggulangan bencana daerah (BPBD).

Dalam setiap penanggulangan bencana kita harus selalu bekerja sama


dengan institusi yang telah terorganisi dengan baik seperti kementrian
kesehatan, kerumah sakit dan AGD karena mereka punya : keahlian khusus
untuk emergenci kesehatan, tenaga kesehatan spesialis dan terampil seperti
dokter dan perawat, memiliki alat dan persediaan obat. Perlu kerja sama dengan
TNI karena mempunyai : sarana kesehatan khusus seperti rumah sakit lapangan,
alat transportasi (darat, laut dan udara), TNI mampu bergerak cepat dengan satu
komamdan.

Pada masa yang akan datang perlu difikirkan untuk mempersiapkan


pramuka peduli bencana. Pramuka merupakan sesuatu unsur bangsa yang belum
dilibatkan secara optimal dalam mengatasi permasalahan bangsa ini. Pramuka
saat ini hanya symbol-simbol yang bersifat dekoratif tanpa kegiatan yang dapat
memberikan makna terhadap pembangunan bangsa Indonesia. Refitalisasi
geraka pramuka yang dicamkan presiden 14 Agustus 2016 harus dipandang
sebagai momentum kebangkitan bangsa serta kesempatan membangun pramuka
yang professional, yang handal dan peduli bencana. Pramuka memiliki keahlian
pada manajement perkemahan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengelola
tenda-tenda darurat sebagai tempat penampungan sementara korban bencana.

C. Evaluasi terhadap jaminan kualistas pertolongan bencana

Evaluasi terhadap jaminan kualitas pertolongan yang diberikan terhadap


korban bencana perlu ditingkatkan. Jaminan kualitas pertolongan bencana
merupakan suatu system yang harus mampu:

12
1. Memonitor kegiatan penanggulangan korban. Baik yang dilaksanakan
dirumah sakit lapangan ,yan rujuk maupun yang sedang direhabilitasi
mental spiritnya.
2. Kegiatan evaluasi dilaksankan terus menerus yang bermafaat untuk :
a. Monitoring distribusi bantuan yang dibutuhkan dan untuk
pengembangan distribusi bantuan
b. Monitoring distribusi tenaga ahli dan terampil yang dibutuhkan dan
untuk pengembangan model distribusi SDM yang dibutuhkan
c. Monitoring dampak pada morbilitas dan mortalitas korban bencana.

Kegiatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan program manajemen


jaminan kualitas. Untuk mengimplementasikan program manajemen jaminan
kualitas dalam suatu system oleh program “assessment and improvement” baik
untuk fase pra RS maupun fase RS dalam penanggulangan bencana. Selain itu
juga harus dilakukan audit yang menjamin kualitas pelayanan kesehatan. Inipun
harus dinamis dan tanggap terhadap perubahan situasi yang cepat untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan korban gawat darurat maupun komunitas. Dari
segi kesehatan, daam penanggulangan trauma kita memerlukan satu “bahasa”
yang sama yang dipakai di semua RS sehingga kita dapat :

1. Mengumpulkan data tentang trauma di Indonesia berdarkan klasifikasi yang


telah disepakati
2. Dapat membandingkan kualitas pelayanan gawat darurat di berbagai tempat
3. Memanfaatkan teknologi informasi untuk jaringan komunikasi.

Penanggulangan korban gawat darurat pra Rumah Sakit

SPGDT pra Rumah Sakit (pre hospital emergency medical service)


merupakan suatu pendekatan sistematikuntuk membawa korban gawat darurat ke
suatu tempat penanganan yang definitive. Konsep AGD adalah mendekatkan
sarana gawat darurat kepada korban gawat darurat dan bukajn korban gawat

13
darurat ke sarana gawat darurat. Korban gawat darurat dapat merupakan akibat
trauma namun juga non trauma seperti penyakit jantung ayau keadaan
hemodinamik seperti diare akut atau ketakutan yang hebat.

Termasuk dalam system ini adalah mewaspadakan staf gawat darurat


rumah sakit ,mengenai keadaan gawat darurat , resusitasi dan stabilisasi korban
gawat darurat, komunikasi dengan tim medis penanggulangan di lokasi gawat
darurat. Salam SPGDT pada fase pra-rumah sakit ini juga termasuik pelatuhan
,pendidikan ,dan pemberian sertifikasi yang terlibat di dalam system. Konsep
utama SPGDT pra-rumah sakit di fokuskan pada kerangka waktu
penanggulangan pra-rumah sakit yang dikenal sebagai” response time” atau
waktu tanggap.

SPGDT pra-rumah sakit dibagi dalam beberapa sub system yaitu :

1. Akses
Masyarakat perlu diinformasikan dan dibekali sumber-sumber yang
dapat diakses secara langsung segera saat terjadi serangan. Akses dapat
berupa nomor telepon langsung untuk meminta bantuan , baik di tingkat
kecamatan ,kabupaten, provinsi ataupun nasional. Akses dapat juga berupa
tempat yang paling mudah dijangkau orang-orang yang dapat dihubungi setiap
saat diperlukan.
2. Komunikasi

Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber


kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah
laku mereka (Everett M.Rogers, 1999). Komunikasi adalah suatu proses
dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi
dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang mendalam (Rogers & D.Lawrence Kincaid, 2003).

14
Komunikasi gawat darurat adalah suatu proses mencari bantuan dari
pihak korban sebagai sender kepada yang akan pemberi bantuan sebagai
receiver dengan tujuan korban dapat ditolong sesegera dan seakurat mungkin.
Komunikasi dalam kondisi gawat darurat juga dapat berupa komunikasi antar
lembaga yang bila ditinjau secara geografik dapat bersifat lokal, nasional
maupun internasional. Hal ini dilakukan dengan tujuan merujuk korban ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat sesuai kondisi korban, sehingga
korban dapat dilayani sesuai kondisinya. Komunikasi yang efektif merupakan
salah satu kunci utama keberhasilan pertolongan terhadap korban.

Untuk menghindari kejadian berulang agar tidak menelan korban yang


lebih banyak, perlu diadakan “Tanda Peringatan Dini”. Tanda Peringatan Dini
berada di Alarm Center sebagai pusat operasional komunikasi SPGDT.

3. Penanggulangan di Tempat Kejadian


a. Masyarakat Awam dan Awam Khusus

Korban gawat darurat umumnya ditemukan oleh orang terdekat yang


dapat dikategorikan sebagai masyarakat awam seperti guru sekolah,
pelatih, pengawal pribadi, orang tua, supir, atau sekretaris. Ataupun
ditemukan oleh masyarakat awam khusus seperti petugas pemadam
kebakaran, pramuka, polisi dan satpam.

Kita perlu melatih kemampuan masyarakat awam dan awam khusus


untuk penanggulangan gawat darurat dalam hal cara meminta tolong,
memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD), teknik mengkontrol
perdarahan, teknik memasang pembalut dan bidai, melakukan evakuasi
dan transfortasi korban samapai kepada petugas atau pelayanan kesehatan.

15
b. Perawat, Bidan dan Tenaga Kesehatan Lain

Keberhasilan perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain dalam


pertolongan gawat darurat sangat ditentukan oleh waktu Tanggap
(“Respon Time”). Penanggulangan terdiri atas assessment, resusitasi,
ekstrikasi dan stabilisasi. Keempat komponen penanggulangan ini
dilakukan secara simultan dengan skala prioritas ABCDE dan selalu
memperhatikan tulang belakang.

Pengamanan Airway dan C-Spine control serta memberikan “High


Flow” oksigen, mengatur posisi kepala korban gawat darurat, penggunaan
“Oropharyngeal Tube”, “Endothracheal Tube”, serta tindakan
“Cricothyroidotomy” sambil tetap menjaga “C-Spine”. Pada kasus cedera
toraks, perawat terlatih dapat melakukan “Needle thoracocentesis” sampai
pemasangan “Chest Tube”. Mengkontrol perdarahan , mengatasi shock
hipovolemik dengan pemasangan jalur intravena, pemasangan PASG pada
Fraktur Pelvis, pembalut tekan, stabilisasi fraktur dengan traction splint
dan air splint.

Terhadap gangguan neurologis, Perawat, Bidan dan tenaga


kesehatan lain dapat menilai pupil, tingkat kesadaran dengan AVPU atau
Glasgow Coma Scale (GCS) dan Revised Trauma Score. Penggunaan
obat-obatan sesuai denga protocol tetap. Stabilisasi korban gawat darurat
sampai siap untuk ditransportasi dengan prinsip kerja “Do No Further
Harm”, yaitu jangan membuat luka bertambah parah atau luka baru.

4. Transportasi dan Evakuasi

Prinsip transportasi pra rumah sakit ialah untuk mengangkut korban


gawat darurat dengan cepat dan aman ke rumah sakit atau sarana kesehatan
yang sesuai, tercepat dan terdekat. Sarana angkutan yang umum digunakan

16
ialah kendaraan darat misalnya dibopong (three men lift), kuda, motor,
becak, atau mobil AGD. Kendaraan lewat laut atau air seperti perahu,
speedboat atau ambulan sungai. Kendaraan lewat udara misalnya “fixed
wing”, playing fox misalnya antar bukit atau dari atas ke tempat yang lebih
rendah, dan helicopter (“Rotary Wing”).

Pada keadaan bencana, untuk mengatasi korban gawat darurat maka


AGD dapat difungsikan sebagai rumah sakit lapangan dan Triase lapangan
untuk mengatasi korban sementara. Sepeda, motor,kuda atau speed boat
dapat digunakan sebagai sarana transportasi dan evakuasi khusus bagi
perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain sebagai penolong yang menuju ke
lokasi korban gawat darurat untuk mendahului ambulan roda empat atau
helicopter.

Puskesmas keliling dapat ditingkatkan menjadi ambulan untuk


pelayanan “Rural” gawat darurat. Dalam menjalankan fungsi transportasi,
ambulan harus memenuhi persyaratan:

1. Kelayakan jalan kendaraan


2. Kelengkapan, peralatan non medic
3. Kelengkapan peralatan medic
4. Personil tenaga kesehatan yang mempunyai SIM dan mentaati tata tertib
operasinal pemerintah.
Tidak boleh melanggar lalu lintas, bila membawa korban sirine
dimatikan karena dapat meningkatkan adrenalin yang memicu peningkatan
tekanan darah dan perdarahan.
Dalam keadaan tertentu dimana terjadi bencana atau korban masal,
diperlukan pembentukan rumah sakit lapangan darurat yang dapat dibuat
dengan menggabung-gabungkan beberapa ambulan sejenis ataupun berbeda
jenis. Rumah sakit lapangan ini dapat berfungsi Triase Lapangan dan Unit

17
Gawat Darurat Sementara. Rumah sakit lapangan idealnya terbuat dari tenda
“Bivouac Pneumatic” yang dapat dipergunakan juga sebagai kamar operasi
atau tindakan lainnya, dengan demikian berlakulah prinsip “sarana
kesehatan ke tempat bencana dan bukan korban bencana ke sarana
kesehatan”
Ambulan berfungsi juga sebagai alat transportasi antar rumah sakit,
biasanya dari fasilitas kesehatan yang lebih rendah kemampuannya ke yang
lebih tinggi kemampuannya (misalnya dari Trauma Center level III ke level
I). system rujukan ini dipandu oleh protocol yang berlaku secara nasional
atau minimal di tingkat provinsi. Diperlukan satu unit ambulan siap jalan
untuk setiap 50.000 penduduk, sehingga dapat memenuhi waktu tanggap
gawat darurat yaitu kurang dari 10 menit. Dalam keadaan luar biasa atau
gawat, maka jumlah ini sebaiknya ditambah menjadi kira-kira 1 ambulan
dapat melayani 10 ribu penduduk.
5. Personil

Jenis personil yang diperlukan pada umumnya adalah dokter


spesialis atau dokter umur terlatih, perawat gawat darurat lebih diutamakan
yang bersertifikasi registered nurse (RN) atau certified nurse, bidan gawat
darurat khususnya untuk kegawat daruratan persalinan didaerah bencana
yang terlatih, mekanik, administrasi dan pekarya. Seluruh personil ini
mutlak harus mempunyai keterampilan dalam menanggulangi korban gawat
darurat pra-rumah sakit.

Sesuai dengan keterampilan yang dimiliki maka tenaga kesehatan


gawat darurat dapat dibagi menjadi :

a. Perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain tingkat satu mempunyai


keterampilan “basic, life support” (BLS)

18
b. Perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain tingkat dua mempunyai
keterampilan : BLS dan “advanced life support” (ALS), baik dalam
bentuk PHTLS maupun PHCLS, namun non-infasif.
c. Perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain tingkat tiga mempunyai
keterampilan BLS dan ALS yang infasif

Tenaga lain-lain :

Markas besar ambulan harus dilengkapi dengan bengkel “service


station” dengan personil beberapa orang mekanik sesuai dengan kebutuhan.
Bengkel pemeliharaan adalah untuk sarana non medic dan medic serta juga
untuk melayani pemeliharaan markas gawat darurat bagian perawatan.

6. Organisasi
Keberhasilan penanggulangan korban gawat darurat dengan keadaan
yang berat sangat tidak terlepas dari pengorganisasian yang baik disemua
tingkat. Organinasi harus menjamin kesiapan pelayanan 24 jam setiap hari.
Secara terus menerus. Penilaian organisasi yang baik dilihat dari waktu
tanggap yang baik. Unit gawat darurat dibeberapa daerah mempunyai
organisasi yang berfariasi.
Misalnya kementrian kesehatan RI mempunyai bagian yang disebut
pusat penanggulangan krisis atau crisis center, yang berfungsi pada kejadian-
kejadian luar biasa terutama pada keadaan siaga satu untuk bencana. Jajaran
kelembagaan gawat darurat dalam SPGDT berikutnya seperti kepolisian serta
dinas pemadan kebakaran dan penangulangan bencana. Jakarta sampai saat ini
belum memiliki AGD yang melayani masyarakat dengan rasio 1:250.000
penduduk atau 1:50 KM atau peruas jalan tol.

19
D. Perlunya Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
Untuk mengurangi dan menyelamatkan korban bencana, diperlukan cara
penanganan yang jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan kesiap-siagaan dan penanggulangan bencana.
Tujuan :
1. Didapatkan kesamaan pola pikir / persepsi tentang SPGDT
2. Diperoleh kesamaan pola tindak dalam penanganan kasus gawat darurat
dalam keadaan sehari-hari maupun bencana

Safe Community, (SC) :


Keadaan sehat dan aman yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat.
Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan pembina.

SPGDT :
Sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur pra RS,
RS dan antar RS. Berpedoman pada respon cepat yang menekankan  time
saving is life and limb saving, yang melibatkan masyarakat awam umum dan
khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan komunikasi.

PSC (Public Safety Center) :


Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal kegawat-
daruratan, termasuk pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam waktu
singkat dan dimanapun berada (gabungan dari AGD 118, SAR/PK 113, Polisi
110).

Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk


mendapatkan respons cepat (quick response) terutama pelayanan pra RS.

20
E. Gerakan Safe Community
Adalah gerakan agar tercipta masyarakat yang merasa hidup sehat, aman
dan sejahtera dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan
profesi maupun masyarakat (misal : PSC, Poskesdes dll).
1. Aspek Safe Community :
a. Care
Kerja-sama lintas sektoral non kesehatan dalam menata perilaku dan
lingkungan untuk mempersiapkan, mencegah dan melakukan mitigasi
dalam menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan,
keamanan, dan kesejahteraan.
b. Cure
Peran utama sektor kesehatan dibantu sektor terkait dalam penanganan
keadaan dan kasus-kasus gawat-darurat.
2. Visi gerakan Safe Community :
a. Menjadi gerakan yang mampu melindungi masyarakat dalam keadaan
darurat sehari-hari dan bencana, maupun atas dampak akibat terjadinya
bencana.
b. Terciptanya perilaku masyarakat dan lingkungan untuk menciptakan
situasi sehat dan aman.
3. Misi gerakan Safe Community :
a. Menciptakan gerakan di masyarakat
b. Mendorong kerja-sama lintas sektor-program
c. Mengembangkan standar nasional
d. Mengusahakan dukungan dana dalam rangka pemerataan dan
perluasan jangkauan pelayanan terutama dalam keadaan darurat.
e. Menata sistem pendukung pelayanan diseluruh unit pelayanan
kesehatan
4. Nilai dasar Safe Community :

21
a. Care : pencegahan, penyiagaan dan mitigasi
b. Equity : adanya kebersamaan dari institusi pemerintah,
kelompok/organisasi profesi dan masyarakat.
c. Partnership : menggalang kerja-sama lintas sektor dan masyarakat
untuk mencapai tujuan.
d. Net working: membangun jaring kerja-sama dalam suatu sistem
dengan melibatkan seluruh potensi yang terlibat dalam gerakan SC
e. Sharing : memiliki rasa saling membutuhkan dan kebersamaan dalam
memecahkan segala permasalahan dalam gerakan SC.
5. Maksud Usaha Safe Community :
Memberikan pedoman baku bagi daerah dalam melaksanakan gerakan SC
agar tercipta masyarakat sehat, aman dan sejahtera.
6. Tujuan Usaha Safe Community :
a. Partisipasi masyarakat menata perilaku.
b. SPGDT yang dapat diterapkan.
c. Membangun respons masyarakat melalui pusat pelayanan terpadu dan
potensi penyiagaan fasilitas.
d. Mempercepat response time untuk menghindari kematian dan
kecacatan.
7. Sasaran Usaha Safe Community :
a. Tingkatkan kesadaran, kemampuan dan kepedulian dalam kewaspadaan
dini kegawat-daruratan.
b. Terlaksananya koordinasi lintas sektor terkait, tergabung dalam satu
kesatuan.
c. Terwujudnya subsistem komunikasi dan transportasi sebagai pendukung
8. Falsafah dan Tujuan Safe Community:
a. Memberikan rasa sehat dan aman dengan melibatkan seluruh potensi,
memanfaatkan kemampuan - fasilitas secara optimal.

22
b. Merubah perilaku agar mampu menanggulangi kegawat-daruratan
sehari-hari.
c. Ada visi, misi, tujuan dan sasaran.
d. Motto ‘time saving is life and limb saving’ dan kemampuan rehabilitasi.
9. Ketentuan organisasi :
a. Didasarkan pada organisasi yang melibatkan multi disiplin dan multi
profesi.
b. Memiliki unsur Pimpinan/wakil, sekretaris, bendahara dan anggota.
c. Minimal melibatkan unsur kamtib & SAR. Kemudian unsur keselamatan
& kesehatan kerja karyawan dan humas.

23
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat
yang terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit
dan antar Rumah Sakit.
Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat
darurat untuk kematian atau kerusakan organ sehingga produktivitasnya dapat
dipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu : fase deteksi, fase supresi,
fase pra rumah sakit, fase rumah sakit, dan fase rehabilitasi.

B. SARAN
Setelah mendapatkan materi Sistem Penanggulangan Bencana Terpadu
sebaiknya audien atau mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikannya
dalam keadaan darurat atau bencana dan kehidupan sehari-hari.

24

Anda mungkin juga menyukai