Anda di halaman 1dari 7

KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

A. PENGERTIAN GAWAT DARURAT


Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan
penanganan/pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan
cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu meka korban akan
mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup. (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-waktu/
kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja sebagai akibat
dari suatu kecelakaan, suatu proses medic atau perjalanan suatu penyakit (Saanin,
2012).
Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikkan pelayanan untuk
mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan
asuhan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.
Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan professional keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik
kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgent, sehingga filosofi
tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang
dialami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan (Hati,
2011 dalam Saanin, 2012).

B. PELAYANAN KEGAWATDARURATAN
1. Pengertian dan Fase SPGDT
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang dirancang
untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk
mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat
didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
System penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu pada pertolongan
harus cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak mati atau cacat maka harus
ditangani secara bersama dan terpadu, oleh berbagai komponen penolong atau
pertolongan. Ini berarti penanganan harus dilakukan multi disiplin, multi profesi
dan multi sektor meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelarnatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi,
Fase Pra Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini
dapat berjalan dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang memadai.
Beberapa referensi ada pula yang menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3
subsistem, yaitu : sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah
Sakit, sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga subsistem ini bersifat saling
terkait didalam pelaksanaannya. Pada pelaksanaanya bergantung kepada
kebijakan Negara yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah frekuensi
kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan dampaknya.
Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat diprediksi : frekuensi,
Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas “Helm” sepeda motor yang
dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety Belt”, tempat kejadian tersering
dijalan raya yang padat atau dijalan protocol, korban kecelakaan mengalami luka
mengalami luka diberbagai tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait
dengan bencana alam, maka dapat diprediksi : daerah rawan gempa, frekuensi
gempa, jenis bangunan yang sering hancur, kelompok korban, dan jenis bantuan
tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan pada korban gempa. Melatih tenaga
kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan dapat
berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien Gawat Darurat
Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan Jantung dan CADR
(Community action & Disaster Response ) untuk pengawal pribadi, pasukan
keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/ senam ; atau pelatihan Dasi pena
(Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka, pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan atau terjadi
bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita dapat melakukan
supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat
dilakukan dengan berbagai cara : perbaikan kontruksi jalan, peningkatan
pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui
UU lalu lintas atau peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan
keselamatan kerja, peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan
daerah bencana.
c. Fase Pra Rumah Sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu: akses
masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau akses petugas
terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban, komunikasi dan jaringan
komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta ketersediaan gawat darurat. Pada fase
ini keberhasilan korban gawat darurat salah satunya bergantung adanya akses.
Akses dari masyarakat kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau
masyarakat tidak dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
guannya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah
Indonesia sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu
memiliki nomor yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta
pertolongan. Saluran informasi yang dapat diakses bila memerlukan bantuan
pertolongan gawat darurat atau bencana dimasyarakat diantaranya : polisi,
pemadam kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat yang
dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana setempat.
Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana komunikasi yag belum ada
komunikasi telepon, akses dapat berupa : bedug, kentongan, asap, radio
komunikasi, atau hamdphone.
1) Komunikasi
Lalulintas komunikasi yang vital diperlukan dalam penanggulangan bencana
diantaranya mencakup : pusat komunikasi ke ambulan, pusat komunikasi ke
rumah sakit, pusat komunikasi ke instalasi terkait lain, ambulan ke ambulan,
ambulan ke rumah sakit, masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau pelayanan
kesehatan.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan informasi,
memonitor, bekerjasama termasuk memberikan komando penanggulangan
bencana baik secara lintas propinsi, nasional, maupun internasional. Di pusat
komunikasi dapat dilibatkan “orang awam”, yaitu mereka yang menemukan
korban kali pertama, atau yang memberikan pertolongan pertama. “orang awam”
ini dapat dilatih, sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus yang
terorganisir dengan baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja, siswa
sekolah, mahasiswa, hansip atau petugas keamanan, atau karang taruna.
Pendidikan masyarakat melibatkan latihan masyarakat sebagai penolong pertama.
Dengan mewajibkan semua pelajar mendapatkan pendidikan pertolongan pertama
sebelum lulus dari SLTP dan pertolongan pertama lanjutan sebelum lulus dari
SLTA atau sebelum mendapat SIM, maka kita dapat memastikan bahwa dalam
dua generasi yang akan datang, tiap orang di tempat kecelakaan atau pada
penyakit akut akan lebih sanggup menyelamatkan nyawa dan extremitas sampai
tiba bantuan profesional.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara minta tolong,
cara memberikan bantuan hidup dasar, cara menghentikan perdarahan, cara
memasang balut bidai, cara mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan
untuk awam khusus dapat ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang diemban
setiap hari, misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai biomekanik
kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi. Dengan demikian
korban dapat ditolong dengan benar dan optimal.
2) Ambulan Gawat Darurat (AGD)
Ambulan gawat darurat idealnya harus mampu tiba ditempat korban dalam
waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian. Kematian dapat terjadi karena
sumbatan jalan napas, henti napas, henti jantung, dan perdarahan massif.
Untuk daerah perkotaan yang lalu lintasnya padat seperti Jakarta diperlukan
ambulan sepeda motor. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi respon time.
Selanjutnya bila sudah distabilkan maka tinggal menunggu mobil ambulan untuk
dievakuasi dan transportasi.
Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi rumah sakit lapangan
dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit pelayanan bencana maka ambulan
sepeda motor gawat darurat perlu meningkatkan jalinan komunikasi dengan pusat
komunikasi, rumah sakit dan ambulan lain.
3) Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga
AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan peran Puskesmas
keliling menjadi AGD desa siaga. Peralatan standar yang diajukan seperti
Orotracheal Tube dan Suction untuk membebaskan jalan napas (airway), Oksigen
dan Bag and Mask untuk membantu pernafasan (breathing), balut cepat dan dan
infus untuk membantu mempertahankan sirkulasi yang baik (circulation), dan
bidai termasuk Neck Collar, Long/Short Board dan traksi untuk membantu bila
ada hendaya (disability).
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus dilakukan
rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual dan sosial. Hal ini perlu
dilakukan agar dapat berfungsi kembali di dalam kehidupan bermasyarakat. Pada
fase rehabilitasi melibatkan berbagai disiplin ilmu, dengan harapan terjadi re-
orientasi terhadap kehidupannya sesuai kondisinya saat ini.
Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:
a. Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit dan
sistem pelayanan antar Rumah Sakit. Pada sistem pelayanan medic pra rumah
sakit terdapat public safety center atau Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana,
Pelayanan Ambulance, Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam yang
belum digarap secara serius oleh pemerintah.
b. Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam pelaksanaan sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diperlukan adalah penyediaan sarana,
prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal tersebut diatas harus tersedia unit
kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap, laboratorium,
Xray room, farmasi, klinik gizi, dan ruang penunjang yang lainnya serta kamar
mayat, dan lainnya. Dalam pelaksanaan pelayanan medic di rumah sakit untuk
korban bencana diperlukan : hospital Disaster Plan, Unit Gawat Darurat,
Brigade Siaga Bencana Rumah Sakit, High Care Unit, dan kamar jenazah.
c. Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit. Sistem pelayanan kesehatan
antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan
kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas untuk menerima pasien. Misal di Jakarta bila ada bencana
bila ada patah tulang pasien dapat dirujuk ke RS Fatmawati. Ini semua sangat
berhubungan dengan kemampuan SDM, fasilitas medis yang tersedia di rumah
sakit tersebut. Agar sistem ini dapat memberikan pelayanan yang baik
memerlukan sistem ambulan yang baik dan dibawa oleh SDM yang terlatih dan
khusus menangani keadaan darurat. Dalam pelayanan kesehatan antar rumah
sakit: pelayanan fiksasi dan evakuasi, transportasi dan rujukan, dan
pengelolaan lalu lintas untuk transportasi dan rujukan.
C. ASPEK LEGAL DAN ETIK
Etik ditunjukan untuk mengukur perilaku yang diharapkan dari individu atau
kelompok tertentu / profesi keperawatan, maka peraturannya merupakan suatu
kesepakan dari kelompok tersebut yang disebut kode etik.
Hukum dapat diartikan sebagai aturan yang disahkan pemerintah yang
bertujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna  yang menyediakan pelayanan rawat Inap, Rawat
Jalan dan Rawat Darurat.  Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib
memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti
kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam
pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum
dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit”.
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan
medis. Gawat  Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita,
keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita  ke
rumah sakit memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat
memerlukan pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau.  (Etika dan
Hukum Kesehatan,  Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo 2010).
Kepmenkes RI Nomor  1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang  Registrasi dan
Praktik Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi dn
izin praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal  8, Pasal 11 poin (a)
Perawat berhak Memperoleh perlindungan hukum.
Permenkes Nomor  152/Menkes/Per/IV/2007  Tentang Izin dan
penyelenggaran Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal  15
Ayat  (I), Dokter dan dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan
kedokteran  dan tindakan  kedokteran gigi  , kepada perawat, bidan atau tenaga
kesehatn lainnya secara tertulis.  
Tingkat pasien gawat darurat :
1. Kelompok dengan cedera ringan yang tanpa pelayanan medis tidak akan
mengancam nyawanya.
2. Kelompok dengan cedera sedang/berat yang jika diberi pertolongan akan
dapat menyelamatkan jiwanya.
3. Kelompok dengan cedera sangat berat atau parah yang walau diberi
pertolongan tidak akan menyelamatkan jiwanya (Etika dan Hukum
Kesehatan,  Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo 2010).

Anda mungkin juga menyukai