Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

E
DENGAN DIAGNOSA MEDIS DEMAM TIFOID DI RUANG
BOUGENVILLE RSUD Dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Disusun Oleh:

Nama : Purnadi Nakalelu


Nim : 2018.C.10a.0945

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA
KEPERAWATAN
T.A 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :

Nama : Purnadi Nakalelu

NIM : 2018.C.10a.0938

Program Studi : S-1 Keperawatan

Judul : Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Ny. E


Dengan Diagnosa Medis Demam Tifoid Di Ruangbougenville Rsud
Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan


Praktik Pra-klinik Keperawatan 2 Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik

Yelstria Ulina Tarigan, S.Kep, Ners


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat Asuhan Keperawatan Pada Ny. E
Dengan Diagnosa Medis Demam Tifoid Di Ruang Bougenville Rsud Dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya ”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas
(PPK2). Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners STIKes
Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Yelstria Ulina Tarigan, S.Kep, Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan
keperawatan ini
4. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan pengabdian
kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini dapat
mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangka Raya,17 september 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................


DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................
1.3.1 Tujuan Umum .............................................................................................
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................
1.4 Manfaat .......................................................................................................
1.4.1 Untuk Mahasiswa ........................................................................................
1.4.2 Untuk Klien dan Keluarga ..........................................................................
1.4.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit) ...........................................
1.4.4 Untuk IPTEK ..............................................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Penyakit Demam Tifoid..................................................................
2.1.1 Definisi ........................................................................................................
2.1.2 Anatomi Fisiologi .......................................................................................
2.1.3 Etiologi ........................................................................................................
2.1.4 Klasifikasi ...................................................................................................
2.1.5 Patofisiologi (pathway) ...............................................................................
2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala) .......................................................
2.1.7 Komplikasi .................................................................................................
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................
2.1.9 Penatalaksanaan Medis ...............................................................................
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia ............................................................
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan ..............................................................
2.3.1 Pengkajian keperawatan ..............................................................................
2.3.2 Diagnosa Keperawatan ...............................................................................
2.3.3 Intervensi Keperawatan ...............................................................................
2.3.4 Implementasi Keperawatan .........................................................................
2.3.5 Evaluasi Keperawatan .................................................................................

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian ...................................................................................................
3.2 Diagnosa ......................................................................................................
3.3 Intervensi .....................................................................................................
3.4 Implementasi ...............................................................................................
3.5 Evaluasi .......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang
diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s
patch. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga
dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular
yang disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat.
Wabah penyakit demam typhoid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada
tahun 1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang dikenal sebagai karier tifoid
yang sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid mary” (Soedarmo, et al., 2015).
Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga
dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular
yang disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat.
Wabah penyakit demam typhoid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada
tahun 1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang dikenal sebagai karier tifoid
yang sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid mary”
Menurut data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka
insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta 2 jiwa per tahun, angka kematian akibat
demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Menurut WHO angka
penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000
Demam tifoid di negara maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya,
sedangkan di negara berkembang demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta
orang per tahun (CDC, 2013 dalam Batubuaya, 2017). Secara global diperkirakan
setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus dan 222.000 menyebabkan kematian.
Demam tifoid menjadi penyebab utama terjadinya mortalitas dan morbiditas di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2016 dalam Batubuaya,
2017).
Di Indonesia Salmonella typhi merupakan isolat Salmonella yang sering
menginfeksi dengan insiden dapat mencapai 500 per 100.000 (0,5 %) dan angka
mortalitas tinggi (Bhutta, 2011). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011
demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak
pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang
meninggal 274 orang dengan Case fatality rate sebesar 0,67% (Depkes RI, 2011).
Menurut data dari jurnal ekologi kesehatan tahun 2010, prevalensi tifoid klinis
nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3%-3%). Prevalensi hasil analisa lanjut ini sebesar
1,5% yang artinya setiap 100.000 penduduk terdapat kasus tifoid 1.500 dengan
kisaran nilai (0,4%- 2,6%).
Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi demam thypoid diatas prevalensi
nasional yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (2,96%), Bengkulu (1,60%), Jawa Barat
(2,14%), Jawa Tengah (1,61%), Banten (2,24%), NTB (1,93%), NTT (2,33%),
Kalimantan Selatan (1,95%), Kalimantan Timur (1,80%), Sulawesi Selatan (1,80%),
Sulawesi Tengah (1,65%), Gorontalo (2,25%), Papua Barat (2,39%), dan Papua
(2,11%). Prevalensi demam thypoid banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah
(5-24 tahun) yaitu 1,9%, dan tertendah pada bayi yaitu 0,8% (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan 2013).
Demam tifoid sering terjadi yaitu akibat faktor kebersihan. Seperti halnya
ketika makan di luar apalagi di tempat-tempat umum biasanya terdapat lalat yang
beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat
menularkan Salmonella thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau
muntah penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan yang akan
dikonsumsi Bakteri yang tertelan melalui makanan akan menembus membran
mukosa epitel usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk ke dalam
kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki peredaran darah sehingga
terjadi bakterimia pertama yang asimtomatis, lalu bakteri akan masuk ke organ-
organ terutama hati dan sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan bakteri
dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan bakterimiakedua. Bakteri
yang berada di hati akan masuk kembali ke dalam usus merangsang pelepasan
sitokin proinflamasi yang menginduksi reaksi inflamasi. Respon inflamasi akut
menyebabkan diare dan dapat menyebabkan ulserasi serta penghancuran mukosa.
Sebagian bakteri lainnya akan dikeluarkan bersama feses (Bula-Rudas, et al., 2015)
Penanganan yang dilakukan untuk demam tifoid adalah meningkatkan asupan
cairan pada tubuh pastikan cairan terpenuhi paling tidak 8-10 gelas air putih, lalu
biarkan diri beristirahat sepenuhnya saat menderita demam tifoid, dan lakukan
PHBS, dan usahakan mengonsumsi makanan-makana bersih.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan suatu masalah yaitu
bagaimana penatalaksanaan Asuhan Keperawatan pada pasien Demam Tifoid dengan
system pencernaan RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Agar penulis mampu berpikir secara tepat dan ilmiah dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien Demam Tifoid dengan menggunakan pendekatan
manajemen keperawatan secara benar, tepat dan sesuai dengan standard keperawatan
secara professional.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep penyakit Demam Tifoid
1.3.2.2 Mahasisiwa mampu menjelaskan konsep penyakit pada klien Demam Tifoid
1.3.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan manajemen asuhan keperawatan pada pasien
demam tifoid
1.3.2.4 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan diagnosa medis
demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.
1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan diagnosa pada klien dengan diagnosa
medisdemam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.
1.3.2.6 Mahasiswa dapat menentukan intervensi pada klien dengan diagnosa medis
dimam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.
1.3.2.7 Mahasiswa dapat melakukan implementasi pada klien dengan diagnosa medis
demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.
1.3.2.8 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada klien dengan diagnosa medis
demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.
1.3.2.9 Mahasiswa mampu membuat dokumentasi pada klien dengan diagnosa medis
demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Untuk Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan demam
tifoid
1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga
Klien dan keluarga mampu memahami mengenai demam tiofid sehingga
keluarga dan klien mampu mengetahui betapa pentingnya ini bagi bereka dan
mereka mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan mereka.
1.4.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit)
Institusi mampu mengembangkan dan memperbaiki laporan mengenai demam
tifoid sehingga mampu mengembangkan ilmu untuk dibagi kepada institusi/
mahasiswa pada institusi tersebut sehingga dapat membuat institus semakin
berkembang menjadi lebih baik dan lebih bijak.
1.4.4 Untuk IPTEK
IPTEK mampu mengembangkan lebih dalam lagi mengenai pengetahua di
bidang kesehatan khususnya pada asuhan keperawatan pada pasien demam
tifoid
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar


2.1.1 Defenisi
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan gejala
demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat
menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang
diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s
patch (Soedarmo, et al., 2015).
Demam Typhoid atau Typhoid Fever ialah salah satu sindrom sistemik
terutama disebabkan oleh salmonella typhi . Demam thphoid merupakan Jenis
terbanyak dari salmonellosis. Jenis lain dari demam entrik adalah demam paratifoid
yang disebabkan oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri ( semula S. paratyhi B ), dan
S. hirschfeldii ( semula S. paratyphi C). Demam Typhoid memperlihatkan gajala
lebih berat dibandingkan demam enteric yang lain (Widagdo, 2011).
Jadi disimpulkan bahwa demam typhoid merupakan demam yang disebabkan
infeksi bakteri salmonella typhi yang menyebar melalui makanan dan air yang
terkontaminasi sehingga menyebabkan gangguan pencernaan mengakibatkan demam
pada penderita yang dimana demam nya lebih dari satu minggu.

2.1.2 Anatomi Fisiologi


Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut, faring, esofagus, lambung
(gaster), usus halus (terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (yang
terdiri atas caecum, colon ascenden, colon transversum, colon descendens, colon
sigmoid), rectum, hingga anus. Pada orang dewasa, panjang saluran pencernaan dari
mulut hingga anus sekitar 9 meter.
1. Rongga Mulut
Makanan masuk ke dalam tubuh pertama kali melalui rongga mulut dan
dalam dicerna secara mekanik oleh gigi yang tersusun atas strukturSelain
secara mekanik, adanya ludah (saliva) yang mengandung enzim amilase
yang mengubah 8karbohidrat makanan menjadi maltosa dan dextrosa; dan
enzim lipase yang memecah lemak menjadi bentuk yang lebih sederhana.
seperti tulang (dentin) yang dilapisi jaringan yang paling kuat pada tubuh,
yaitu enamel ( Muttaqin, 2011 ).
2. Faring
Faring tidak hanya merupakan bagian dari saluran pencernaan saja,
melainkan juga merupakan bagian dari sistem respirasi. Faring dibagi
menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Orofaring
dan laringofaring terlibat dalam proses pencernaan. Untuk mencegah
masuknya makanan ke dalam saluran nafas pada laringofaring terdapat
suatu kartilago elastis, yaitu epiglotis yang akan menutup saat menelan
sehingga rongga laring akan menutup dan makanan masuk ke dalam
esophagus ( Muttaqin, 2011 ).
3. Esofagus
Esofagus merupakan suatu tabung muskular yang akan dilalui makanan
yang masuk dari faring dan memiliki sfingter pada bagian atas dan bawah.
Sfingter atas mencegah kembalinya makanan ke faring, sedangkan sfingter
sebelah bawah mencegah makanan yang sudah sampai ke gaster kembali
ke dalam esofagus. Makanan masuk melalui esofagus menuju gaster
dibantu dengan adanya gerakan peristaltik dan gaya berat dari makanan itu
sendiri, serta adanya relaksasi otot sfingter bawah esophagus ( Muttaqin,
2011 ).
4. Lambung
Setelah makanan masuk ke gaster terjadi pencernaan secara mekanik oleh
gerak otot-otot dinding gaster dan secara kimiawi oleh sekret yang
dikeluarkan oleh mukosa gaster Mukosa gaster menghasilkan:
a) Asam hidroklorik yang berfungsi sebagai anti kuman
b) Faktor intrinsik (oleh sel parietal pada fundus gaster) yang berperan
dalam absorpsi vitamin B12
c) Pepsinogen yang berfungsi memecah protein
d) Lipase gastrik (oleh sel chief pada fundus gaster) berfungsi memecah
lemak, meskipun tidak seefektif lipase pancreas.
e) Hormon gastrin (oleh sel G) yang berfungsi memacu kerja enzim
pencernaan
f) Histamin (oleh sel enterokromafin), endorfin, serotonin,
cholecystokinin, dan somatostatin (yang dihasilkan oleh sel
enteroendokrin gaster)
g) Mukus (oleh sel goblet) bersifat protektif terhadap mukosa lambung
Absorbsi juga terjadi pada lambung walau hanya sedikit, bahan yang
diabsorbsi pada lambung bersifat sangat larut lemak, seperti alkohol dan
beberapa jenis obat seperti aspirin dalam jumlah kecil.20 Setelah makanan
masuk ke dalam lambung, 1-2 jam kemudian campuran makanan dengan
sekret lambung berbentuk cairan tebal semi-liquid yang disebut dengan
chymus dan masuk ke usus halus ( Muttaqin, 2011 )
5. Usus Halus
Usus halus terdiri dari 3 segmen, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum,
berperan sangat penting pada proses pencernaan dan penyerapan. Terdapat
muara dari ductus hepatopancreaticus yang mengalirkan cairan empedu dan
sekret dan enzim pencernaan yang dihasilkan pancreas untuk membantu
proses pencernaan makanan di dalam duodenum. Chymus yang bersifat
asam dibuat menjadi bersifat lebih alkali dengan penambahan empedu dari
kantung empedu (vesica felea) dan sekresi bikarbonat dari pancreas dan
kelenjar Brunner pada duodenum sehingga melindungi dinding duodenum
dan membuat enzim pencernaan dapat bekerja dengan baik.
Proses kimiawi yang terjadi di dalam usus halus, antara lain :
a) Pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino oleh tripsin
aminopeptidase dan dipeptidase.
b) Lemak akan diemulsi oleh empedu kemudian dipecah menjadi asam
lemak dan monogliserida oleh lipase pancreas.
c) Amilase pancreas akan memecah karbohidrat kompleks (amilum)
menjadi oligosakarida, kemudian akan dipecah oleh dextrinase,
glukoamilase, maltase, sucrase, dan laktase.
Laktase tidak terdapat pada hampir semua orang dewasa, sehingga
laktosa tidak dicerna pada usus halus. Selulosa juga tidak dicerna oleh usus
halus karena selulosa tersusun atas beta glukosa dan manusia tidak memiliki
enzim untuk memecah ikatan beta glukosa.
Mukosa usus halus tersusun atas epitel kolumner dengan plica
circulares dan villi yang berperan besar dalam proses absorpsi makanan
secara difusi atau transport aktif. Absorpsi pada usus halus paling banyak
dilakukan oleh jejunum, kecuali untuk zat besi (diabsorpsi pada
duodenum),vitamin B12 dan garam empedu (diabsorbsi pada ileum
terminal), air dan lemak (diabsorpsi secara difusi pasif di sepanjang usus
halus), sodium bikarbonat (diabsorpsi secara transport aktif bersama
glukosa dan kotransport asam amino), dan fruktosa (diabsorbsi secara difusi
terfasilitasi) ( Muttaqin, 2011 ).
6. Usus Besar
Usus besar dimulai dari caecum, colon ascenden, colon transversum, colon
descenden, hingga colon sigmoid. Setelah sekitar 90% bagian makanan
diabsorpsi pada usus halus, chymus yang tersisa akan masuk ke dalam usus
besar. Elektrolit seperti sodium, magnesium, klorida yang tidak diserap usus
halus menjadi satu dalam makanan yang tidak dicerna, seperti serat.
Fungsi utama colon adalah mengabsorpsi air dan elektrolit dari chymus dan
menjadi tempat penimbunan bahan feces sampai dapat dikeluarkan.
Setengah bagian proksimal colon berhubungan dengan fungsi absorpsi,
sedangkan setengah bagian distal berhubungan dengan fungsi penyimpanan
( Muttaqin, 2011 ).

2.1.3 Etiologi
Demam tifoid merupakan Salmonella typhi, Salmonella yang tergolong dalam
family Enterobacteriaceae. Salmonela besrsifat bergerak, berbentuk batang, tidak
membentuk spora, tidak berkapsul, dan gram suhu (-). Tahan terhadap berbagai
bahan kimia, beberapa hari atau minggu, bahan limbah, bahan farmasi , bahan
makanna kering, serta tinja. Salmonella mati pada suhu 54.4°C dalam 1 jam, atau
60°C dalam 15 menit. Salmonella mempunyai antigen O (Somatic) yaitu komponen .
Dinding sel dari lipopolisakarida yang satbil pada panas, dan antigen H (flagellum)
merupakan protein yang labil terhadap panas. Pada Salmonella typhi, terdapat juga
pada Salmonella dublin, dan Salmonella hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu
polisakarida kapsul (Widagdo, 2011).
Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di
kalangan masyarakat adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonela typhi yang menyerang saluran pencernaan. Kuman ini masuk ke dalam
tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar, baik saat memasak ataupun
melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih. Selanjutnya, kuman itu diserap
oleh usus halus yang masuk bersama makanan, lantas menyebar ke semua organ 25
tubuh, terutama hati dan limpa, yang berakibat terjadinya pembengkakan dan nyeri.
Setalah berada di dalam usus, kuman tersebut terus menyebar ke dalam peredaran
darah dan kelenjar limfe, terutama usus halus. Dalam dinding usus inilah, kuman itu
membuat luka atau tukak berbentuk lonjong. Tukak tersebut bisa menimbulkan
pendarahan atau robekan yang mengakibatkan penyebaran infeksi ke dalam rongga
perut. Jika kondisinya sangat parah, maka harus dilakukan operasi untuk
mengobatinya. Bahkan, tidak sedikit yang berakibat fatal hingga berujung kematian.
Selain itu, kuman Salmonela Typhi yang masuk ke dalam tubuh juga mengeluarkan
toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala demam pada anak. Itulah sebabnya,
penyakit ini disebut juga demam tifoid (Fida & Maya, 2012).

2.1.4 Klasifikasi
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik
berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini 27
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus dari pada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut
kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika
infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat (Putra et al.,
2012).

2.1.5 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus
pada ileum terminalis. Bakteri melekat pada mikrovili di usus, kemudian melalui
barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan
internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke
sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan
gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode
inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. 26 Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat
melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia
sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada
Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis
dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ system
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya
Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier
(Linson et al., 2012).
Web Of Caution (WOC)
Food (makanan dan minuman) Feses Fomitus (muntahan) Fingers (jari)

Kuman Sallmonella Typhi

Dibawa oleh lalat

Masuk kedalam saluran cerna melalui mulut

Demam Typhoid

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Kuman berlebih Kuman masuk Kuman masuk Diare Kuman masuk System cerna
dibronkus aliran darah kedalam usus kedalam usus terganggu
Muntah
Proses peradangan endotoksin Kuman berkembang Kehilangan banyak air Menghasilkan Anoreksia
biak di usus dan elektrolit toksin mual muntah
Akumulasi secret dibronkus Terjadi
kerusakan sel Imunitas humoral Proses inflamasi Anoreksia
Peningkatan metabolisme
(IgA) kurang baik local pada usus nutrisi
Suara nafas ronchi halus
Merangsang pelepasan adekuat
Kehilangan cairan tubuh
zat pirogen oleh leukosit Masuk kesaluran Respon patologis
Batuk dehidrasi
limfatik
Penurunan
Zat pirogen beredar Sekresi cairan dan
Bersihan jalan Resiko ketidak tonus otot
dalam darah Diileum terminalis membentuk mucus
nafas tidak efektif seimbangan cairan
limpoid plaque payeri Kelemahan fisik
Isi usus berlebihan
Sebagian masuk kelamina propia
Intoleransi aktifitas
Mempengaruhi Masuk ke aliran limfe Makanan dengan cepat
termogulasi dihipotalamus terdorong ke anus

Menyerang organ
Suhu tubuh meningkat RES DIARE

Hipertermi Hati

Hepatomegali

Nyeri tekan
abdomen
kanan atas

Nyeri Akut
2.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat
baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau
timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini 27
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat
muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari
jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika
infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat
(Putra et al., 2012).

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi Interestinal
1) Pendarahan Interestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka akan terjadi pendarahan. Selanjutnya jika
luka menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena
luka, pendarahan juga dapat terjadi karena koagulasi darah (Widodo et al,
2014)
2) Perforasi usus
Perforasi usus biasanya terjadi pada minggu ketiga, namun juga dapat
timbul pada minggu pertama. Gejala yang terjadi adalah nyeri perut hebat
di kuadran kanan bawah kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda-tanda
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan dapat terjadi
syok leukositosis dengan pergeseran ke kiri dengan menyokong adanya
perforasi (Widodo et al, 2014).
Komplikasi Ekstra-Intestinal
1) Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati dari ringan sampe sedang.. Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang (Widodo et al,
2014).
2) Pakreasitis tifosa
Pankreasitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri,
cacing, maupun farmakologik. Penatalaksanaan pakreasitis sama seperti
pankreasitis pada umumnya, antibiotic yang diberikan adalah antibiotic
intravena, antibiotic yang diberikan adalah seftriaxon dan kuinolon
(Widodo et al, 2014).
3) Miokarditis
Pada pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau
dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kohesif, aritma, syok
kardiogenik dan perubahan elektrokardiograf. Komplikasi ini disebabkan
kerusakan mikrokardium oleh kuman S.typhi (Widodo et al, 2014).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik terus dilakukan
hingga saat ini (Sudoyo, 2010).
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, uji serologis, pemeriksaan kuman
secara molekuler (Sudoyo, 2010).
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella typhi dari
darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis karakteristik
demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah sugestif demam tifoid
tetapi tidak definitif .Pemeriksaan kultur mempunyai spesifisitas yang tinggi tetapi
sensitivitasnya rendah dan kelemahan dari pemeriksaan kultur berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan (5-7 hari), peralatan yang tidak canggih untuk identifikasi
bakteri, kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan juga mempengaruhi proses pemeriksaan (Wain, 2015). Sensitivitas
uji widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu
diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi
pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya penyakit. Keadaan ini
menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain dari
uji widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering
bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis penyakit, dan
dalam jumlah yangcukup besar (15% atau lebih) tidak terjadi kenaikan titer O
bermakna. Tes yang ideal untuk suatu pemeriksaan laboratorium seharusnya bersifat
sensitif, spesifik dan cepat diketahui hasilnya (Bakr et al., 2011).

2.1.9 Penatalaksanaan
1. Farmakaologis
a. Kloramfenikol dosis tinggi yaitu 100 mg/kg BB/ hari oral atau IM/IV
bila dianjurkan.
b. Tiamfenikol
Dengan pemberian tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari.
Komplikasi hematologi pada pengguna tiamfenikol jarang terjadi. Dosis
oral yang di anjurkan 50-100 mg/kg BB/ hari, selama 10-14 hari.
c. Kotrimoxazol
Kelebihan kotrimoxazol bagi penderita Thypus Abdominalis antara lain
digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol,
penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya
kekambuhan 21 pengobatan lebih kecil dibandingkan dengan
kloramfenikol. Kelemahannya adalah dapat terjadi Skin Rash ( 1-15 % ),
sindrom Steven Jhonson, trombositopenia, Anemia Megaloblastik.
d. Ampixillin dan amoxillin
Ampixillin mempunyai dara bakteri yang lambat untuk menurunkan
demam di banding dengan kloramfenikol tapi lebih efektif untuk
mengobati karier serta kurang toksis. Kelemahannya dapat terjai skin
rash ( 3-18% ), dan diare ( 11% ) Amoxillin mempunyai daya bakteri
yang sama dengan ampixillin, tetapi penyerapan per oral lebih baik
sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dasn lebih sedikit
timbulnya kekambuhan ( 2-5 % ) dan karier ( 0-5 % ). Dosis yang di
anjurkan adalah : 1) Ampixillin 100-200 mg/ kg BB/hari, selama 10-14
hari 2) Amoxillin 100 mg/kg BB/ hari, selama 10-14 hari
( T.H.Rampegan, 60 : 2010 ).

2. NonFarmakologis
1) Tirah baring
Tirah baring (bed rest) dilakukan pada pasien yang membutuhkan
perawatan akibat sebuah penyakit atau kondisi tertentu dan merupakan
upaya mengurangi aktivitas yang membuat kondisi pasien menjadi lebih
buruk. Petunjuk dari dokter akan diberikan berupa apa saja yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama bed rest. Semua itu
tergantung pada penyakit yang diderita pasien. Ada yang hanya diminta
untuk mengurangi aktivitas, ada yang memang benar – benar harus
beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas
apapun(Kusumastuti,2017).
2) Kebiasaan mencuci tangan
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada
kejadian demam tifoid, untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk
meningkatkan praktik cuci tangan sebelum makan untuk mencegah
penularan bakteri Salmonella typhi ke dalam makanan yang tersentuh
tangan yang kotor dan mencuci tangan setelah buang air besar agar
kotoran atau feses yang mengandung mikroorganisme patogen tidak
ditularkan melalui tangan ke makanan(Andayani dan Fibriana, 2018).
Tangan harus dicuci dengan sabun setidaknya selama 15 detik dibilas
dan dikeringkan dengan baik(Upadhyay, et al., 2015).
3) Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring
adalah perawatan ditempat, termasuk makan, minum, mandi, buang air
besar, dan buang air kecil akan membantu proses penyembuhan. Dalam
perawatan perlu dijaga kebersihan perlengkapan yang dipakai (Widodo
et al 2014).
4) Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid. Berdasarkan tingkat kesembuhan pasien, awalnya pasien
diberi makan bubur saring, kemudian bubur kasar, dan ditingkatkan
menjadi nasi. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari
komplikasi dan pendaraham usus (Widodo et al 2014)
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
1. B1 (Breathing)
Biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus berat biasanya didapatkan
komplikasi yaitu pneumonia.
2. B2 (Blood)
TD menurun, diaphoresis terjadi pada minggu pertama, kulit pucat, akral
dingin, penurunan curah jantung dengan adanya bradikardi kadang terjadi
anemia, leukopeni pada minggu awal, nyeri dada, dan kelemahan fisik
3. B3 (Brain)
Pada klien dengan typhoid biasanya terjadi derilium dan diikuti penurunan
kesadara didiri composmentis keapatis, somnolen hingga koma pada
pemeriksaan GCS.
4. B4 (Bladder)
Pada kondisi berat akan terjadi penurunan output respon dari curah jantung
5. B5 (Bowel)
1) Inspeksi
Lidah kotor,terdapat selaput putih, lidah hipertermis, stomatis, muntah,
kembung, adanya distensi abdomen dan nyeri abdomen, diare atau
konstipasi
2) Auskultasi
Penurunan bisisng usus 5x/menit pada minggu pertama dan selanjutnya
meningkat akibat adanya diare
3) Perkusi
Didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya kembung
4) Palpasi
Adanya hepatomegali, spelenomegali, mengidentifikasi adanya infeksi pada
minggu kedua. Adanya nyeri tekan pada abdomen
6. B6 (Bone)
Adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise . Kelemahan umum,
integument : timbulnya roseola temboli dari kuman diman didalamnya
mengandung kuman salmonella Ttphosa, yang timbul diperut, dada, dan bagian
bokong, turgor kulit menurun. Kulit kering (Muttaqin, 2011)
2.2.2 Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
2. Hipertermi (D.0130)
3. Nyeri akut (D.0020)
4. Resiko ketidak seimbangan cairan (D.0034)
5. Diare (D.0020)
6. Intoleransi Aktifitas (D.0056)

2.2.3 Intervensi Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret
berlebih
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif
Kriteria hasil : produksi sputum menurun, batuk efektif cukup meningkat
Rencana tindakan :
1) memonitor pola nafas
Rasional : mengetahui pola nafas klien apakah normal atau tidak
2) monitor bunyi nafas tambahan
Rasional : mengetahui apakah terdapat bunyi nafas tambahan seperti
rochi, mengi dan lain”
3) monitor sputum
Rasional : mengetehau jumlah produksi sputum klien
4) posisikan semi fowler atau fowler
Rasional : memudahkan nafas klien dan membantu pengluaran secret
5) berikan minuman hangat
Rasional : membantu mengencerkan secret
6) ajarkan batuk efektif
Rasional : membantu mengeluarkan secret yang tertahan
2. Hipertermi berhubungan dengan suhu tubuh meningkat
Tujuan : suhu tubuh menurun
Kriteria hasil : suhu tubuh cukup membaik, tekanan darah sedang, pucat
cukup menurun.
Rencana Tindakan :
1) Identifikasi penyebab hipertermia
Rasional : mengetahui penyebab kenaikan suhu klien
2) monitor suhu tubuh
Rasional : mengotrol keadaan suhu tubu klien
3) sediakan lingkungnan yang dingin
Rasional : memudahkan penurunan suhu pada tubuh klien
4) menganjurkan tirah baring
Rasional : membantu mengurangi aktifitas klien
3. Nyeri akut berhubungan dengan Nyeri tekan abdomen kanan atas
Tujuan : Nyeri Menurun
Kriteria hasil :keluhan nyeri cukup menurun, meringis cukup menurun
Rencana tindakan :
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
Rasional : mengetahu kondisi nyeri pada klien
2) Identifikasi skala nyeri
Rasional : mengetahui skala yang dirasakan nyeri
3) Identifikasi respon non verbal
Rasional : mengetahui apa yang diraskan klien
4) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
Rasional : mengetahui apa faktor yang memperberat nyeri
5) Berikan teknin nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
Rasional : menjelaskan teknin peralihan rasa nyeri
6) Fasilitasi istirahat dan tidur
Rasional : mengatur pola tidur klien agar lebih efektif
7) Jelaskan Penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Rasional : mengetahui pemicu nyeri klien seperti apa
8) Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyrei
Rasional : mengajarkan teknik peralihan rasa terhadap klie nyeri
4. Resiko ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan dehidras
Tujuan: Memenuhi kebutuhan cairan
Kriteria hasil :dehidrasi menurun, asupan cairan meningkat,berat badan
cukup membaik.
Rencana tindakan :
1) Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
Rasional: mengembalikan pemenuhan cairan pada tubuh klien
2) Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
Rasional : mengontrol keseimbangan cairan yang keluar dan masuk
3) Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
Rasional: memenuhi asupan cairan klien
4) Berikan cairan intravena, jika perlu
Rasional : membantu memenuhi cairan lewat intravena
5) Diare berhubungan dengan inflamasi pada usus
Tujuan : Diare berkurang
Kriteria hasil :kontrol pengeluaran feses sedang, keluhan defekasi lama dan
suli cukup menurun, peristaltic usus cukup membaik.
Rencana tindakan :
1) Identifikasi penyebab diare
Rasional : mengetahui penyebab diare klien
2) Identifikasi riwayat pemberian makan
Rasional : mengetahui makanan apa yang pernah dikonsmsi klien
3) Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja
Rasional : mengetahui kondisi tinja klien
4) Berikan cairan intravena, jika perlu
Rasional : memenuhi kebutuhan cairan lewat intravena
5) Kaloborasi pemberian obat pengeras feses (mis. Atapulgit, smektif,
kaolin-pektin)
Rasional : membantu mengeraskan feses klien yang sebelumnya cair
6) Intolerasi aktifitas berhubungan dengan penurunan tonus otot
Tujuan : energy kembali untuk melakukan katifitas
Kriteria hasil : kemampuan melakukan aktivitas rutin meningkat, verbalisasi
kepulihan energy cukup meningkat, verbalisasi lelah lesu menurun.
Rencana tindakan :
1) Monitor kelelahan fisik dan emosional
Rasional : Mengetahui seberapa besar kelelahan fisik dan emosional
klien
2) Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
Rasional : membantu peningkatan efektifitas klien
3) Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
Rasional : memenuhi aktifitas secara teratur

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah tatus kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Perawat
melakukan tindakan implementasi terapeutik terhadap klien yang bermasalah
kesejajar tubuh dan mobilisasi yang akatual maupaun beresiko.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaanya sudah berhasi dicapai. Perawat melakuakn evaluasi pada pasien
setelah dilakukan tindakan
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Nama : Purnadi Nakalelu


NIM : 2018.C.10a.0945
Ruang Praktek : Bougenvile
Tanggal Praktek : 15-09-2020
Tanggal & Jam Pengkajian : 15-09-2020 jam 15:00

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : wanita
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : S-1 Ekonomi
Status Perkawinan : belum menikah
Alamat : Jl. Rafleesia No.72
Tgl MRS : 14-09-2020
Diagnosa Medis : Demam Tifoid
3.1.2 Riwayat Kesehatan /Perawatan
1. Keluhan Utama :
Klien mengatakan “ saya merasa pusing”
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien Pada tanggal 07 september 2020 jam 11.40 klien merasa demam disertai
mual dan muntah. lalu pada tanggal 13 september 2020 klien mengatakan
demamnya masih tinggi dan masih disertai mual muntah sehingga klien dibawa
oleh keluarga kerumah sakit Dr.Doris Sylvanus dan langsung dilakukan
pemeriksaan di IGD pada tanggal 13 september 2020 . keadaan umum pada
saat dilakukan pemeriksaan di IGD yaitu kesadaran klien delirium, mukosa
bibir tampak kering, lidah tampak kotor, Nyeri tekan di bagian epigatrium ,
TTV : TD: 100/60mmHg, HR:100 x/menit, S:40° C, RR: 24 x/menit. Klien
kemudian dibawa ke ruang Bougenville untuk mendapat perawatan dan
pemeriksaa lebih lanjut.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Klien mengatakan bahwa klien sebelumnya belum pernah dirawat dirumah
sakit dan klien mengatakan belum pernah melakukan operasi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan “dari anggota keluarga saya tidak ada yang mengalami
penyakit yang sama seperti saya baik penyakit menular seperti hepatitis,HIV,
maupun penyakit keturunan seperti hipertensi,DM dan lain-lain.”

3.1.3 Genogram Keluarga :

Keterangan :

: Laki-Laki : Meninggal

: Perempuan : Hubungan keluarga

: pasien : Tinggal Serumah

3.1.4 Pemerikasaan Fisik


1. Keadaan Umum :
pada saat pengkjian yang di ambil tanggal 15 september 2020 keadaan umum
klien Delirium, mukosa bibir tampak kering, lidah tampak kotor, Nyeri tekan di
bagian epigatrium , terpasang infuse RL 20 tpm.

2. Status Mental :
Tingkat kesadaran klien delirium, dengan ekspresi wajah tampak
gelisah ,bentuk badan klien sedang, klien dalam posisi supinasi , klien
berbicara dengan jelas, penampilan sedikit kurang rapi , Fungsi kognitif untuk
orientasi klien dapat mengetahui waktu pagi,siang dan malam, untuk orientasi
orang klien dapat membedakan keluarga dan perawat, untuk orientasi tempat
klien tau bahwa sekarang dirawat dirumah sakit. Insight klien baik, mekanisme
pertahana diri adaptif.
3. Tanda-tanda Vital :
Pada saat pengkajian tanda-tanda vital didapatkan hasil : suhu yang diukur di
aksila menunjukan 400C, nadi yaitu 100 x/menit , pernafasan yaitu 24x/ menit,
dan tekanan darah yaitu 100/60 mmHg.
4. Pernapasan (Breathing)
Pengkajian system pernafasan ditemukan:saat inspeksi tampak bentuk dada
klien normal (simetris). tidak ada nyeri dada, dengan tipe pernafasan dada dan
perut dengan irama yang teratur, tidak ada suara nafas tambahan yang
terdengar.
Pada system pernafasan terdapat masalah keperawatan
5. Cardiovasculer (Bleeding)
Pengkajian pada system cardiovascular (bleeding) klien mengeluh sakit
kepala.selain itu, tidak didapatkan masalah pada pengkajian lainnya. Klien juga
tidak tampak pucat. Untuk CRT atau capillary refill time didapatkan hasil
kurang dari 2 detik. Ictus cordis klien tidak terlihat, suara jantung terdenganr
(S1dan S2 reguler) dengan bunyi lub-dub. Nadi teraba kuat dan teratur, akral
hangat, konjungtiva anemis.
“Pada system cardiovascular didapatkan masalah keperawatan
Hipertermi”
6. Persyarafan (Brain)
Pengkajian pada system persyarafan didapatkan : nilai GCS klien untu eye
adalah 3; untuk verbal adalah 2; untuk motoric klien bernilai 5 dan dengan data
tersebut didapat total nilai GCS adalah 11(delirium). Pupil klien isokor dengan
reflex cahaya untuk kanan dan kiri adalah positif. Klien tampak cemas. Untuk
uji saraf kranial, saraf I (olfaktori) :pada saat pengkajian Klien dapat
membedakan bau susu dan kopi Saraf kranial II (Optikus): klien mampu
melihat dengan jelas membaca nama di name tag perawat. Saraf kranial III
(Okulomotor): Bola mata klien mampu beraksi terhadap cahaya. Saraf kranial
IV (Troklearis): Klien dapat menggerakkan bola matanya dengan normal. Saraf
kranial V (Trigeminalis): Klien dapat mengunyah yang makanan yang
disediakan kepada klien dengan baik. Saraf kranial VI (Abdusen): klien dapat
menggerakan bola matanya ke kiri dan kekanan. Saraf kranial VII (Fasialis):
Klien dapat bereaksi terhadap rasa manis dan asin. Saraf kranial VIII
(Auditorius): klien dapat menjawab dengan benar dimana suara detik jam
tangan perawat di telinga kiri dan kanan. Saraf kranial IX (Glosofaringeus):
klien dapat merasakan rasa asam. Saraf kranial X (Vagus): psaat makan klien
mampu mengontrol proses menelan. Saraf kranial XI (Assesorius): Klien dapat
menggerakkan leher dan bahu dengan bebas. Saraf kranial XII (Hipoglosus):
klien mampu mengeluarkan lidahnya.
Hasil uji koordinasi ekstremitas atas jari ke jari positif, jari ke hidung positif.
Ekstremitas bawah tumit ke jempol kaki, uji kestabilan positif; pasien dapat
menyeimbangkan tubuhnya, refleks bisep dan trisep kanan dan kiri postif
dengan skala 5, refleks brakioradialis kanan dan kiri positif dengan skala 5,
refleks patela kanan dan kiri positif dengan skala 5, refleks akhiles kanan dan
kiri positif dengan skala 5, refleks babinski kanan dan kiri positif dengan skala
Uji sensasi pasien di sentuh bisa merespon.
Pada system persayarafan, tidak ada keluhan lainnya dan tidak ada masalah
keperawatan.
7. Eliminasi Uri (Bladder) :
Pada system eliminasi urine didapatkan :produksi urine yang dihasilkan adalah
± 300 mL dalam 24 jam dengan warna kuning, bau khas amoniak/pesing
Pada system eliminasi uri tidak ada keluhan lain dan Tidak ada masalah
keperawatan.
8. Eliminasi Alvi (Bowel) :
Pada pengkajian system eliminasi alvi didapatkan: yaitu mukosa bibir kering,
gigi pasien lengkap dan kebersihan juga cukup; pada gusi tidak ada pendarahan
dan peradangan; pada lidah tampak kotor ; mukosa terlihat lembab; pada tonsil
tidak ada masalah; rectum tidak ada kelainan dan klien heaemoroid. BAB 7 x
sehari, hasil dari auskultasi bising usus hiperaktif, konsistensi cair pada saat
palpasi ditemukan adanya hepatomegaly, ditemukan nyeri tekan pada
epigatrium.
“masalah keperawatan pada sistem ini ditemukan resiko ketidak
seimbangan cairan”
9. Tulang - Otot – Integumen (Bone) :
Pengkajian pada system tulang-otot-integumen didapatkan : klien memiliki
kemampuan untuk menggerakan sendinya secara bebas. Hemiparese tidak
ada ,bengkak tida ada , uji kekuatan otot didapatkan pada ekstremitas atas 5/5
dan pada ekstremitas bawah 5/5.
Berdasarkan hasil pengkajian diatas, tidak terdapat masalah keperawatan
10. Kulit-Kulit Rambut:
Klien tidak memiliki riwayat alergi baik pada obat,makananm dan kosmetik.
Suhu kulit pasient hangat, warna kulitnya normal,turgor baik/elastis kembali
dalam waktu 1 detik dan teksturnya halus. Pada kuit pasient tidak terdapat
jaringan parut,macula,pustule,nodula,vestikula, papula dan ulkus. Tekstur
rambut pendek, berwarna hitam dan terdistribusi secara merata. Bentuk kuku
klien juga simetris. Pada system integume tidak ada ditemukan masalah
keperawatan.
11. Sistem Penginderaan :
sistem pengindraan meliputi mata,telinga dan hidung hasil pemeriksaan adalah:
mata pasien tidak mengalami ganguan dan dapat melihat, bola mata bergerak
normal,visus mata kanan dan kiri tidak dikaji, sclera berwarna putih atau
normal dan kornea, tampak bening, telinga pasien tidak mengalami ganguan.
Bentuk hidung pasien pun tampak simetris, tidak terdapat adanya lesi, tidak
terdapat patensi, tidak terdapat obstruksi,tidak terdapat nyeri tekan pada sinus.
Septum nasal juga tidak mengalami deviasi dan tidak terdapat polip pada
hidung.
Pada sistem pengindraan tidak ada keluhan dan tidak ada masalah keperawatan
yang muncul.
12. Leher Dan Kelenjar Limfe
Pada pemeriksaan daerah leher dan kelenjar limfe, tidak ada ditemukan
adannya massa, tidak ada jaringan parut,kelenjar limfe dan tiroid tidak teraba,
dan mobilitas leher klien bergerak terbatas. Untuk pemeriksaan reproduksi
tidak dilakukan pemeriksaan.
1.1.5 Pola Fungsi Kesehatan
1. persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit :
Klien menerima keadaan yang dia alami sekarang dan berharap cepat sembuh
dan bisa berktifitas kembali seperti dulu
2. Nutrisida Metabolisme
Klien mengatakan bahwa selama sakit nafsu makan kurang baik dan tidak ada
selera makan. Klien ada makan sekitar setengah porsi saja.pemeriksaan
selanjutnya didapatkan pola makan sehari-hari klien sebelum sakit/hari dan saat
sakit hanya 1 kali /hari karena klien berada di RS. Porsi yang bisa dihabiskan
sebelum sakit 1 porsi, saat sakit mendapat kan 1 porsi makanan hanya bisa
menghabiskan ½ porsi saja. Jenis makanan yang dikonsumsi sebelum sakit
nasi+ lauk dan jenis makana sesudah sakit bubur+lauk, jenis minuman klien
sebelum sakit yaitu air putih saja dan sedudah sakit hanya air putih juga. Klien
dapat menghabiskan minum sebelum sakit ±1200-1500 cc/hari, sedangkan saat
sakit ± 700-100 cc/liter dalam sehari. Klien tidak merasa mual dan muntah. BB
sebelum sakit 60 kg dan saat sakit 58 kg.bentuk badan sedang IMT klien
58
=21,32
1,65 x 1,65

Berdasarkan hasil pengkajian di atas, tidak ada masalah keperawatan yang


muncul.
1. Pola istirahat dan tidur
Pada saat pengkajian pola istirahat dan tidur klien sebelum sakit yaitu
mengatakan masih dapat tidur siang dengan nyenyak selama ± 1 jam; pada
malam hari biasanya 7-8 jam. Pola istirahat dan tidur saat sakit yaitu siang < 1
jam dan tidur malam 5-4 jam.
2. Kognitif :
klien dapat sudah mengetahui penyakit yang di deritannya setelah diberikan
jelaskan dokter dan tenaga medis.
Tidak ada masalah keperawatan
3. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran ) :
Klien dapat menerima keadaan dirinya sekarang, klien ingin lekas sembuh,
klien seorang wanita berumur 20 tahun, klien merasa selalu dihargai
Tidak ada masalah keperawatan
4. Aktivitas Sehari-hari
Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit klien dapat beraktifitas seperti
biasa.
Tidak ada masalah keperawatan
5. Koping –Toleransi terhadap Stress
Klien selalu berdiskusi dengan keluarga disetiap permasalahan dalam
pelayanan.
Tidak ada masalah keperawatan
6. Nilai-Pola Keyakinan
Klien menatakan “ saya beragama Kristen “tidak ada masalah dalam tindakan
keperawatan.
Tidak ada masalah keperawatan

1.1.6 Sosial - Spiritual


1. Kemampuan berkomunikasi
Klien cukup mampu berkomunikasi dengan baik dengan dokter perawat dan
keluarga.
2. Bahasa sehari-hari
Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia/dayak
3. Hubungan dengan keluarga :
Hubungan dengan keluarga harmonis
4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain :
Hubungan dengan keluarga terutama tenaga medis sangat baik dilihat dari segi
penerimaan saat perawat datang untuk merawat.
5. Orang berarti/terdekat :
Orang terdekat adalah keluarga ayah dan ibu
6. Kebiasaan menggunakan waktu luang :
Klien bisa menggunakan waktu luang untuk membaca belajar dan belajar
7. Kegiatan beribadah :
Klien beragama Kristen sebelum sakit klien rutin beribadah ke gereja sesudah
sakit klien anya berdoa agar bias cepat sembuh dari penyakitnya.

3.1.7 DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATO RIUM, PENUNJANG


LAINNYA)

No PARAMETER UNIT REFFERENCE RANGES


1 WBC 6,73 {10^3/ul} 4.50 - 11.00{10^3/ul}
2 HBG 8.8 - {g/dl} 10.5 - 18.0{g/dl}
3 RBC 4.30x{10^3/ul} 3.5-5.5 x {10^3/ul}
4 PLT 241 {10^3/ul} 150 - 400 {10^3/ul}
5 GDS 106 mg/dl <200 mg/dl
6 Ureum 28 mg/dl 21-53 mg/dl
7 Creatin 1,2 mg/dl 0,17-1,5 mg/dl
8 SGOT/AST 14 U/L (L:<37, p :<32)
9 SGPT/ALT 10 U/L (L:<40, p :<32)
10 pH darah arteri PH <7,27 pH < 7,35 pH > 7,45

Hasil USG (14 september 2020)

1. Pada hasil USG menunjugan bahwa terjadi pembesaran pada hati klien
hepatosplenomegal
3.1.8 PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi medis Dosis Rute Indikasi
No
1. RL 20 tpm IV Untuk mengembalikan keseimbangan
elektrolit pada dehidrasi

Palangka Raya,
…………………………………

Mahasiswa,

(………………………………..)
ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN


MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB

DS : Klien mengatakan “saya Diare Resiko


sering muntah” ketidakseimbangan
Muntah cairan
DO :

 Klien terlihat pucat Menghasilkan toksin


 Mukosa bibir klien terlihat
kering peningkatan metabolisme
 Klien dehidrasi
 Lidah klien tampak kotor
Kehilangan cairan tubuh
 TTV : dehidrasi
TD : 100/60 mmHG
N : 100 x/menit
Resiko ketidak seimbangan
S : 40 ° C
cairan
RR : 24 x/menit
ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN


MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : - Kuman masuk aliran Hipertermi
DO : darah
 Klien tampak lemas
 Suhu klien diatas Endotoksin

normal 40°C
Terjadi kerusakan sel
 Kulit terasa hangat
 Klien tampak pucat
Terjadi kerusakan sel
 TTV :
TD : 100/60 mmHG
Merangsang pelepasan zat
N : 100 x/menit pirogen oleh leukosit
S : 40 ° C
RR : 24 x/menit
zat pirogen beredar dalam
darah

Mempengaruhi
termogulasi dihipotalamus

Suhu tubuh menigkat

Hipertermi
ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN


MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS: Klien mengeluh “saya Gangguan metabolism Diare
sering Sering BAB”. jaringan

DO: Metabolisme Anaerob


 Defekasi klien lebih
dari tiga kali dalam 24
Produksi ATP menurun
jam
 Konsistensi feses
klien cair Energi berkurang
 klien terlihat lemas
 Frekuensi peristaltic Lelah/lemah
usus 5-35x/menit
 Bising usus hiperaktif
Gangguan pola tidur
PRIORITAS MASALAH
1. Hipertermi berhubungan dengan invasi bakteri Salmonella typhi ditandai dengan
,klien tampak lemas, suhu tubuh klien diatas normal 40°C, kulit klien terasa
hangat, klien tampak pucat, TTV: TD :100/60, HR : 100 x/menit, S: 40°C,
RR :24x/ menit

2. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan Diare dan Muntah


ditandai dengan klien tampak pucat, mukosa bibir klien kering, lidah klien
kotor, klien dehidrasi .

3. Diare Berhubungan dengan proses inflamasi local pada usus ditandai dengan
Defekasi klien lebih dari tiga kali dalam 24 jam,Konsistensi feses klien cair,
klien terlihat lemas Frekuensi peristaltic usus 5-35x/menit , Bising usus
hiperaktif
42

RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Ny.A


Ruang Rawat : Bougenville
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional

1. Hipertermi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab hipertermia 1. Mengetahui penyebab kenaikan suhu
invasi bakteri Salmonella typhi keperawatan selama 1x 7 jam 2. Monitor suhu tubuh klien
ditandai dengan ,klien tampak diharapkan suhu tubuh menurun 2. Mengontrol keadaan suhu tubuh klien
3. Sediakan lingkungan yang dingin
lemas, suhu tubuh klien diatas dengan 3. Memudahkan penurunan suhu pada
normal 40°C, kulit klien terasa 4. Menganjurkan tirah baring tubuh klien
Kriteria hasil :
hangat, TTV: TD :100/60, HR : 100 4. Membantu mengurangi aktifitas klien
x/menit, S: 40°C, RR :24x/ menit 1. suhu tubuh cukup membaik
dengan nilai 5
2. pucat cukup menurun dengan
nilai 5
3. Suhu kulit cukup membaik 4
43

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional

1. Resiko setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status hidrasi (mis, frekuensi 1. Memantau pemenuhan hidrasi pada
ketidakseimbangan cairan keperawatan 1 x 7 jam diharapkan nadi, kekuatan nadi, akral , pengisian tubuh klien.
berhubungan dengan Diare dan cairan tubuh klien terpenuhi kapiler, kelembapan mukosa, turgor 2. Memudahkan oksigen terpenuhi untuk
Muntah ditandai dengan klien kulit, tekanan darah) klien
tampak pucat, mukosa bibir kriteria hasil: 3. Memenuhi asupan cairan klien
2. Catat intake- output balans cairan 24
klien kering, lidah klien kotor, 1. Asupan cairan meningkat cukup 4. Membantu mempercepat pemenuhan
jam
klien dehidrasi meningkat dengan nilai 4 cairan lewat intravena pada tubuh klien
2. Dehidrasi menurun dengan nilai 3. Berikan asupan cairan,kebutuhan
5 kebutuhan
3. Kelembapan membrane mukosa
4. Berikan cairan intravena ,jika perlu
cukup membaik dengan nilai 4
4. Denyut nadi radial sedang
dengan nilai 3
5. Membrane mukosa cukup
membaik dengan nilai 4
44

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional


1. Diare Berhubungan dengan proses Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab diare 1. Mengetahui penyebab diare yang
inflamasi local pada usus ditandai keperawatan 1x7 jam diharapkan 2. Identifikasi riwayat pemberian makan dialami klien
dengan Defekasi klien lebih dari tiga diare klien berkurang dengan 3. Monitor warna, volume, frekuensi, dan 2. Mengetahui makanan apa yang pernah
kali dalam 24 jam, Konsistensi feses konsistensi tinja dikonsumsi klien
klien cair,klien terlihat lemas Kriteria hasil: 4. Berikan cairan intravena, jika perlu 3. Mengetahui kondisi tinja tinja klien
Frekuensi peristaltic usus 1. Kontrol pengeluaran feses 5. Kaloborasi pemberian obat pengeras feses ( 4. Memenuhi kebutuhan cairan lewat
5-35x/menit , Bising usus hiperaktif sedang dengan nilai 3 mis. Atapulgit, smektif, kaolin-pektin) inravena
2. Nyeri abdomen berkurang 5. Membantu mengeraskan feses klien
3. Frekuensi defekasi cukup yang sebelumnya konsistensinya cair.
membaik dengan nilai 4
4. Peristaltic usus membaik
dengan nilai 5
45

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN


Nama Pasien : Ny.A
Ruang Rawat : Bougenville

Tanda tangan
Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Nama Perawat
Senin -17-09 2020 1. Mengidentifikasi penyebab hipertermia S:-

2. Memonitor suhu tubuh O:

3. Menyediakan lingkungan yang dingin  Klien masih tampak lemas

4. Menganjurkan tirah baring


 Suhu klien masih diatas normal 38,8°C
 Kulit terasa hangat
 Klien tampak pucat
 TTV :
Purnadi Nakalelu
TD : 100/60 mmHG
N : 100 x/menit
S : 38,8° C
RR : 20 x/menit
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi 2 dan 3
46

1. Memonitor suhu tubuh

2. Menyediakan lingkungan yang dingin


47

Tanda tangan dan


Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP)
Nama Perawat
Senin -17-09-2020 1. Memonitor status hidrasi (mis, frekuensi nadi, S : Klien mengatakan “ muntah berkurang”
O:
kekuatan nadi, akral , pengisian kapiler,
 Mukosa bibir klien terlihat lembab
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
 Lidah klien tampak bersih
2. Mencatat intake- output balans cairan 24 jam  TTV :
TD : 100/60 mmHG
3. Memberikan asupan cairan,kebutuhan kebutuhan
N : 100 x/menit
4. Memberikan cairan intravena ,jika perlu S : 38,8° C Purnadi Nakalelu
RR : 20 x/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi 2,3 dan 4
1. Mencatat intake- output balans cairan 24 jam
2. Memberikan asupan cairan,kebutuhan kebutuhan
3. Memberikan cairan intravena ,jika perlu
48

Tanda tangan dan


Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP)
Nama Perawat
Senin -17-09-2020 1. Mengidentifikasi penyebab diare S : Klien mengatakan “masih nyeri pada abdomen”
2. Mengidentifikasi riwayat pemberian makan O:
3. Memonitor warna, volume, frekuensi, dan  Defekasi klien masih lebih dari tiga kali dalam 24 jam

konsistensi tinja  Konsistensi feses klien masih cair

4. Memberikan cairan intravena, jika perlu  klien masih terlihat agak lemas
Purnadi nakalelu
5. berkaloborasi pemberian obat pengeras feses ( mis.
 Frekuensi peristaltic usus 5-35x/menit

Atapulgit, smektif, kaolin-pektin)  Bising usus masih hiperaktif

A : Masalah teratasi belum teratasi

P: lanjutkan intervensi 1,2,3,4 dan 5.


1. Mengidentifikasi penyebab diare
2. Mengidentifikasi riwayat pemberian makan
3. Memonitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja
4. Memberikan cairan intravena, jika perlu
5. berkaloborasi pemberian obat pengeras feses ( mis.
Atapulgit, smektif, kaolin-pektin)
49
50

DAFTAR PUSTAKA

Soedarmo, P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., Satari, H. I., 2015. Buku Ajar Infeksi
dan pediatri Tropis. 2nd ed. jakarta: badan penerbit IDAI.

Ramatillah, D. L., Eff, A. R., & Lukas, S. (2015). CASE REPORT TYPHOID
FEVER AT PGI CIKINI HOSPITAL, JAKARTA. Wood Industry Drvna Industrija,6.

Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India,
63.

Widodo, D., 2015. Demam Tifoid. In: Siti, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp.

Fida & Maya. (2012). Pengantar Ilmu kesehatan Anak. Jogyakarta: D-Medika

Anda mungkin juga menyukai